• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 NEQUALITY DAN MUNCULNYA PERILAKU ANOMI

Beberapa konsep yang digunakan pada kajian ini ialah, komunitas, inequality, konflik, dan pola perilaku. Komunitas yang dimaksud disini ialah masyarakat desa yang mengalami konflik, yang terbagi secara etnik, ataupun lapisan sosial. Inequality atau ketidaksamaan, dibatasi oleh fenomena perbedaan-perbedaan yang bersifat sosial, ekonomi, dan budaya, yang melibatkan masyarakat desa dengan berbagai kepentingan untuk mempertahankan lahan hutannya dari pihak yang lebih berkuasa. Berbagai perbedaan antara komunitas ini kemudian memunculkan konflik serta pertikaian-pertikaian, baik yang diungkapkan dalam bentuk unjuk-rasa atau gerakan sosial lainnya, maupun yang tidak diungkapkan, namun akan berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari.

Sedangkan untuk konsep pola tingkah-laku yang dimaksudkan pada kajian ini dibatasi pada skop berikut : aktivitas bersama dalam aspek ekonomi, sosial, dan budaya; kesamaan hak atas pelayanan sosial dan ekonomi, termasuk akses ekonomi dan kesempatan kerja ; kesamaan orientasi sosial, ekonomi, budaya ; identifikasi masalah yang dihadapi, di dalam komunitas (internal) dan antara komunitas (external) ; Pola pemecahan masalah (minat dan partisipasi terhadap isu-isu yang berkembang dalam komunitas ; kerjasama dalam pemecahan masalah ; peran pemimpin formal (aparat hukum dan kepolisian, pemerintah desa, dan sebagainya) dan pemimpin informal (pemuka adat) dalam pemecahan masalah. Semua pola tingkah laku ini berkaitan dengan potensi sumber daya alam yang utama pada masyarakat sasaran kajian.

Pendekatan utama yang digunakan untuk memahami fenomena konflik yang diamati adalah munculnya perilaku anomi dalam masyarakat. Anomi sosial muncul ketika terjadi ketimpangan (‘inequality’) antara ‘institutional means’ dengan ‘cultural goals’. Fasilitas dan kesempatan untuk mencapai tujuan, yang tidak pernah cukup tersedia untuk semuanya, akan menghasilkan perilaku-perilaku yang anomi, yang mana salah satunya adalah ‘rebellion’ atau memberontak, yang maknanya adalah menggunakan cara-cara yang tidak biasa, termasuk kekerasan, untuk mencapai

(2)

13 tujuannya. Perilaku-perilaku seperti ini tentunya akan menimbulkan konflik ketika berhadapan dengan kelompok yang lebih menguasai akses ekonomi atau politik. Komunitas etnis yang merasa tidak mendapat kesempatan yang sama dengan komunitas yang dominan, akan melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai dominan, dan akan menciptakan sebuah konflik yang sangat intens.

Mengikuti para pendahulunya maka Mertonpun menyusun suatu tipologi bentuk adaptasi individual terhadap keadaan disequilibrium atau anomie. Perilaku anomie memiliki lima variasinya, sesuai dengan keadaan anomie yang berlaku pada individu yang berkenaan. Kelima-lima bentuk perilaku tersebut ialah : conformity, innovation, ritualism, retreatism, rebellion. Perbedaan tingkat keseimbangan antara cultural goals dengan institutionalized means, menentukan bentuk perilaku anomie yang berlaku. Tipologi bentuk adaptasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Adaptasi terhadap anomie

Bentuk Adaptasi Tujuan Budaya (‘cultural goals’) Sarana Baku (‘Institutionalized means’) I. Conformity + + II. Innovation + - III. Ritualism - + IV. Retreatism - - V. Rebellion - + - +

Sumber : Jonathan H. Turner. 1978. The Structure of Sociological Theory.Illinois : Dorsey Press.

Keterangan : + : penerimaan - : penolakan

- + : penolakan, dan mengganti dengan nilai-nilai baru

Bentuk adaptasi kesatu bukanlah penyimpangan, tetapi sebaliknya iaitu 'conformity'. Individu menerima tujuan budaya dan menggunakan cara-cara yang sah dalam usaha mewujudkannya. Bagi Merton, penyebab konformiti, secara sederhana merupakan kebalikan dari penyebab anomie dan penyimpangan. Hubungan ini diperinci pada proposisi berikut : “semakin meluas dan penting secara psikologis tujuan-tujuan keberhasilan (sukses) yang ditentukan oleh budaya, semakin sama tersedianya cara-cara

(3)

14 yang sah bagi para anggota sistem untuk mewujudkannya, semakin kurang potensi untuk berlakunya anomie dan semakin tinggi angka tingkah laku yang mematuhi aturan (konformiti) di dalam sistem tersebut”.

Bentuk adaptasi kedua ialah 'innovation', iaitu keadaan dimana tujuan budaya diterima, tetapi cara-cara tidak tersedia atau ditolak, yang hasilnya ialah cara-cara baru ditemukan untuk mewujudkan tujuan tersebut. Disebutkan oleh Merton, ada beberapa sebab mengapa perilaku ini berlaku: (1) Merton menegaskan bahawa pengalaman sosialisasi individu, terutama dalam keluarga, ialah sangat penting menentukan kemauan mereka untuk menggunakan cara-cara yang tidak sah dan menanggung beban psikologi dengan tidak berusaha mendapatkan cara-cara yang sah; (2) Di dalam masyarakat dengan nilai-nilai budaya yang menekankan pencapaian sukses individu (individual achievements), sebagai lawan dari pencapaian sukses kelompok (collective achievements), tekanan yang sangat besar dialami oleh individu-individu dalam mewujudkan tujuan keberhasilan. Tidak diikutinya tekanan sosial ini menyebabkan seseorang mendapat stigma sebagai pribadi yang gagal, dan kemudian apabila individu tidak berusaha untuk melawan penggunaan cara-cara yang tidak sah, sementara tingkat pentingnya tujuan keberhasilan tetap tinggi, maka kemungkinan penyimpangan innovation meningkat; (3) Tersirat suatu pernyataan bahawa, karena cara-cara yang tidak sah pernah digunakan pada masa lalu oleh populasi yang mendapat tekanan anomie, maka cara-cara tersebut menjadi lebih mudah dipilih oleh individu-individu yang memerlukannya untuk mengejar keberhasilan, dan yang bersedia melawan cara-cara yang sah. Semua kondisi ini menguatkan adaptasi innovation terhadap anomie, yang lebih formal dijelaskan pada proposisi berikut : “semakin kurang tersedianya cara-cara sruktural yang sah bagi anggota suatu populasi, dan semakin sedikit larangan internal yang melawan penggunaan cara-cara yang tidak sah, maka semakin meluas berlakunya penyimpangan innovation di dalam populasi tersebut, apabila: (4a) nilai-nilai budaya yang mengharuskan pencapaian keberhasilan individu meluas dan penting, dan (4b) cara-cara yang tidak sah lebih tersedia”.

Merton beralih pada bentuk adaptasi ketiga iaitu ritualisme. Ritualisme iaitu suatu keadaan dimana individu-individu tidak ingat, tidak menyadari, bimbang, atau menolak tujuan budaya, akan tetapi cara-cara yang sah diterima dan menjadi sasaran kepatuhan yang mutlak. Didalam menjelaskan ritualisme, Merton menyatakan bahawa kecenderungan ini merupakan hasil dari 'status anxiety' (hasrat mengejar status) yang

(4)

15 dialami oleh orang-orang yang memiliki akses untuk menggunakan sarana, tetapi yang mengalami kecemasan yang tinggi ketika menggunakan sarana dalam usahanya memperjuangkan keberhasilan, pada budaya yang menekankan 'individual achievements' untuk keberhasilan dan stigma pribadi untuk kegagalan. Sejak individu-individu ini ditempatkan pada posisi dimana terdapat akses kearah sarana-sarana, pengalaman sosialisasi mereka dapat menekankan konformiti pada norma-norma budaya. Individu-individu ini mengatasi 'status anxiety' mereka dengan mematuhi sarana-sarana dan menolak tujuan-tujuan. Pernyataan yang implisit dan kabur ini, disusun secara lebih formal pada proposisi berikut : “semakin tersedianya cara-cara struktural yang sah bagi anggota-anggota suatu populasi, dan semakin besar 'status anxiety' yang dialami oleh anggota-anggota populasi ini dalam usaha mengejar tujuan kultural untuk sukses, semakin besar kecenderungan berlakunya perilaku yang ritualistik diantara populasi apabila: (5a) nilai-nilai kultural yang mengharuskan pencapaian individual meluas dan penting, dan (5b) pengalaman sosialisasi menciptakan kesepakatan psikologis yang kuat pada sarana-sarana yang sah” (Turner 1978).

Bentuk adaptasi keempat ialah 'retreatism' (penarikan diri), yang melibatkan penolakan keduanya, cara-cara dan tujuan. Hasilnya adalah individu yang masa bodoh (apatis) didalam suatu sistem sosial. 'Retreatism', ditegaskan oleh Merton, ialah akibat hilangnya atau terbatasnya akses pada cara-cara yang diterima, bersamaan dengan dorongan internal yang kuat melawan penggunaan cara-cara yang tidak sah. Frustrasi psikologis yang melekat pada situasi ini akan memburuk terutama apabila nilai-nilai budaya yang mengharuskan pencapaian keberhasilan individual terinternalisasi. Bagi individu yang terjebak dalam situasi ini, sikap menarik diri dari kesepakatan pada tujuan-tujuan kultural dan semua cara-cara, baik yang sah maupun tidak, merupakan adaptasi yang paling mungkin muncul. Proposisi berikut akan lebih formal menjelaskan bentuk adaptasi ini, “kurang tersedianya cara-cara struktural yang sah bagi anggota suatu populasi, dan semakin besar dorongan internal melawan penggunaan cara-cara yang tidak sah, semakin besar kemungkinan berlakunya perilaku 'retreatism' dalam populasi tersebut, apabila: (6a) nilai-nilai budaya yang mengharuskan pencapaian keberhasilan individu meluas dan penting, dan (6b) pengalaman sosialisasi menciptakan kesepakatan yang kuat terhadap cara-cara yang sah”.

(5)

16 Bentuk adaptasi terakhir yang disebutkan oleh Merton adalah 'rebellion'. Perilaku dengan sifat memberontak seperti ini, menurut Merton, sangat mungkin berlaku apabila frustrasi dan deprivasi (kerugian) yang dirasakan akibat kegagalan didalam mewujudkan tujuan melalui saluran-saluran yang sah, meningkat secara dramatis, dan apabila kemudian terdapat kelompok-kelompok yang menyusun ideologi yang mampu menggerakkan deprivasi-deprivasi. Pernyataan yang lebih formal dijabarkan pada proposisi berikut: “semakin anggota populasi mengalami perasaan frustrasi dan deprivasi atas keterlibatannya pada cara-cara struktural yang sah untuk mewujudkan tujuan sukses, dan semakin tersedia bagi anggota-anggota ini pengelompokan-pengelompokan yang mengecam struktur dari sistem tersebut secara ideologis, semakin besar kemungkinan berlakunya tingkah laku yang memberontak didalam populasi tersebut”.

2.2 INTERVENSI DALAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS

Perilaku individu anggota masyarakat dalam situasi anomie pada beberapa variasinya akan berwujud sebagai penyimpangan terhadap norma dan tatanan perilaku, serta sebagai tindakan-tindakan yang disintegrative atau kontra integrasi. Kesenjangan dalam komuniti lokal dapat berlaku pada relasi antarpribadi, dan pada keterampilan memecahkan masalah. Hal ini akan memunculkan anomie dan keterasingan (alienasi). Dinyatakan oleh Rukminto Adi (2008), bahawa komuniti lokal sering tertutupi oleh komuniti yang lebih besar (larger community) dan berlaku kesenjangan antara harapan dan realiti. Pada setiap komuniti pasti ada orang-orang yang cuba melakukan pelanggaran atau membelokkan peraturan yang ada agar peraturan tersebut dapat menguntungkan kelompok tertentu.

Kondisi Anomie yang meluas tentu menimbulkan keresahan pada masyarakat, oleh karena akan menghasilkan perilaku-perilaku yang tidak adaptive terhadap perubahan dan keterbatasan, yang pada gilirannya akan menciptakan konflik sosial. Perspektif konflik menyatakan bahawa perbedaan-perbedaan kepentingan sangat potensial untuk menciptakan konflik sosial dan politik, dan bahawa intensitas konflik bukan disebabkan oleh perbedaan-perbedaan budaya, akan tetapi lebih diakibatkan oleh masalah-masalah yang bersifat struktur (Alqadrie 2003). Inequality dan anomie merupakan potensi konflik sosial, dan dalam keadaan demikian community integration dan community capacity akan sukar dicapai.

(6)

17 Pendekatan pengembangan masyarakat perlu dilakukan untuk boleh mengamati kohesi sosial lebih dekat. Modal sosial adalah norma dan aturan yang mengikat warga masyarakat yang berada di dalamnya, dan mengatur pola perilaku warga, juga unsur kepercayaan (trust) dan jaringan (networking) antara warga masyarakat, secara internal maupun eksternal. Modal sosial menjadi perekat antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya. Pemberdayaan masyarakat yang menekankan pada pengembangan komuniti, berorientasi pada perluasan dan pemeliharaan sistem (system maintenance and enhancement),yang bertujuan :

1) Memapankan relasi kerja sama antarkelompok dalam suatu komuniti; menciptakan struktur pemecahan masalah komuniti yang terpelihara secara baik dalam/oleh komuniti tersebut (self maintaining)

2) Menstimulasi masyarakat agar mempunyai minat dan partisipasi yang luas terhadap isu-isu dalam komuniti; mengembangkan sikap dan perilaku suka bekerja sama

3) Meningkatkan peran kepemimpinan yang berasal dari komunitinya (indigenous leadership)

Upaya dijalankan untuk mengintegrasikan masyarakat (community integration), serta mengembangkan kapasitas masyarakat tersebut (community capacity). Pendekatan Kapital Sosial menegaskan bahwa struktur sosial merupakan salah satu sumber kapital sosial yang dapat digunakan bersama kapital-kapital lainnya untuk mengatasi masalah sosial. Bentuk-bentuk interaksi yang muncul boleh berupa bonding capital, modal sosial yang mengikat anggota masyarakat dalam satu kelompok tertentu; bridging capital, modal sosial yang menghubungkan warga masyarakat dari kelompok yang berbeda ; linking capital, ikatan antar kelompok warga masyarakat yang lemah dengan kelompok warga masyarakat yang lebih kuat (powerfull people).

Pola interaksi yang terjadi antara anggota masyarakat akan menemukan sistem norma yang sesuai untuk masyarakatnya. Sistem nilai dan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat menjadi modal yang tidak ternilai dalam upaya mempersatukan suatu komuniti. Trust yang ada dalam setiap jalinan interaksi akan melemah apabila masyarakat berpandangan negatif terhadap powerful people yang dianggap memanipulasi kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Dalam perkembangan setiap komuniti pasti ada orang-orang

(7)

18 yang cuba melakukan pelanggaran atau membelokkan peraturan yang ada agar peraturan tersebut dapat menguntungkan kelompok tertentu. Inequality dan anomi merupakan potensi konflik sosial, dan dalam keadaan demikian community integration dan community capacity akan sukar dicapai.

Berdasarkan kerangka berpikir yang telah diuraikan, maka muncul beberapa pertanyaan berkenaan dengan kondisi inequality dan anomi, dan keterkaitannya pada upaya-upaya integrasi untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah : Apakah benar, dalam kondisi inequality dan anomi, maka struktur sosial akan merupakan faktor yang memunculkan masalah sosial? Lalu faktor perekat apa yang mampu menggerakkan community capacity pada kondisi inequality dan berkembangnya perilaku anomi ?. Pengamatan dan penelitian yang lebih mendalam pada komuniti yang mengalami kurangnya akses pada institutional means diharapkan mampu menjawab permasalahan ini.

2.3. ROAD MAP PENELITIAN

Rangkaian peta jalan penelitian yang telah dan akan dilakukan tergambar sebagai berikut:

Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014

 Identifikasi tentang konflik di Provinsi Riau yang meningkat seiring dengan keluarnya

beberapa izin perkebunan, dan diduga disebabkan oleh lima faktor yang saling terkait, yakni pertumbuhan penduduk, membengkaknya pengangguran, penyempitan areal, keperluan pangan yang meningkat, dan perambahan besar-besaran terhadap kawasan konservasi.  Pengamatan terhadap fenomena demonstrasi yang tersebar hampir di semua kabupaten, dengan peringkat teratas dalam frekuensi demonstrasi, yaitu Kabupaten Kampar,

 Penelitian mengenai bentuk konflik yang muncul serta sumber-sumber konflik dilaksanakan pada komunitas desa Kesuma, sebagai desa yangg terletak pada kawasan perluasan taman nasional Teso Nilo (TNTN)

 Melakukan pengamatan lebih dalam terhadap permasalahan yang dihadapi oleh berbagai pihak yang bertanggungjawab terhadap kepentingan konservasi hutan dan taman nasional. Terjadi eskalasi perlawanan dan gerakan sosial oleh masyarakat kawasan perluasan

 Melakukan pengamatan terhadap desa-desa lain yang berada di kawasan taman nasional Teso Nilo, dengan warga desa yang memiliki

 Melakukan penelitian lebih mendalam mengenai

komunitas desa Kesuma yang aktif mengadakan gerakan sosial menolak perluasan taman nasional Teso Nilo. Menghasilkan identifikasi komunitas menurut karakter sosial budayanya, serta orientasi nilai masing-masing komunitas.

 Mengamati lebih mendalam mengenai stereotype yang muncul pada setiap komunitas terhadap pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perluasan taman nasional serta konservasi hutan

 Mengikuti sosialisasi dan dialog yang dilakukan oleh Balai TNTN mengenai rencana pengelolaan taman nasional, kepada seluruh

(8)

19 Kabupaten Bengkalis, dan

Kabupaten Pelalawan.

 Identifikasi salah satu perselisihan yang cukup kuat berpengaruh pada pihak-pihak yang telibat, ialah sebuah kasus perluasan taman nasional Teso Nilo yang terjadi di Kabupaten Pelalawan, yang melibatkan pemerintah dengan masyarakat tempatan.

 Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai latar belakang konflik masyarakat di kawasan hutan yang mengadakan perlawanan terhadap konservasi hutan

karakteristik berbeda, dan lebih bisa menerima keberadaan taman nasional serta mendukung kepentingan konservasi hutan

kepala desa seputar kawasan taman nasional (22 desa), pihak pemerintah daerah dan swasta yang terkait. Sosialisasi yang lebih personal, dalam lingkup dan sasaran yang lebih kecil sangat diperlukan, agar tujuan sosialisasi tercapai, dan kepentingan konservasi terpenuhi.

Tahun 2015 Rencana ke depan

 Melakukan penelitian mengenai perilaku anomi yang muncul pada masing-masing komunitas yang diamati. Pengetahuan mengenai perilaku anomi, orientasi nilai serta stereotype pada masing-masing komunitas, diperlukan untuk menyusun sebuah model upaya sosialisasi yang sebaiknya dijalankan.

 Melakukan pengamatan serta pendekatan lebih mendalam kepada instansi-instansi yang terlibat dengan kepentingan perluasan taman nasional, seperti balai taman nasional, dinas kehutanan kabupaten, lembaga adat, WWF. Mengadakan pertemuan-pertemuan yang melibatkan instansi pemerintah daerah dan swasta serta lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi, dengan unsur-unsur masyarakat yang mewakili setiap komunitas pada masyarakat kawasan perluasan.

 Menciptakan sebuah model upaya sosialisasi yang diperlukan dalam komunikasi antara pihak berwenang dengan masyarakat

 Melakukan pengamatan mendalam mengenai implementasi konservasi hutan dan perluasan taman nasional Teso Nilo.

 Berkenaan telah dilakukannya upaya sosialisasi, maka perlu dilakukan pengamatan mendalam mengenai potensi gerakan sosial, sebagaimana demonstrasi menentang perluasan taman nasional yang pernah digerakkan pada bulan September tahun 2011

Referensi

Dokumen terkait

Tanggapan masyarakat atas nama-nama calon tersebut di atas dapat disampaikan melalui e-mail : humas.kpujakbar@gmail.com atau melalui surat ke Kantor KPU Jakarta Barat

Data primer diperoleh dengan cara mengikuti beberapa kegiatan teknis lapang secara langsung bersama petugas Dinas Agribisnis Bidang Usaha Peternakan Kota Bogor dan

11 Ibid., h.. sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. 14 Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik wawancara tak berstruktur, yaitu

Pemberdayaan SDM untuk pelaku Usaha Mikro dengan memberikan pelatihan pembukuan sederhana diadakan di Balai Pertemuan Desa Bangunrejo, dengan jumlah peserta yang hadir 17 orang

Konsep pemasaran sosial (social marketing) seringkali keliru dipahami sebagai pemasaran berwawasan sosial (societal marketing) dan belum secara luas dikaji di

Hasil penelitian diketahui bahwa kemampuan guru dalam implementasi e-raport dalam teknik dan manajerial yang diperoleh dari kuesioner dengan kemampuan menggunakan

(3) Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat berhak memperoleh gaji dan tunjangan sesuai dengan

(3) wawancara. Metode pengumpulan data melalui pengamatan langsung terhadap kinerja lulusan pelatihan pada pekerjaan yang sebenarnya, merupakan pendekatan paling efektif