183 TOTOBUANG
Volume 8 Nomor 2, Desember 2020 Halaman 183—194
ANALISIS NILAI BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT MALUKU AIR TUKANG (The Analysis of Cultural Value in Maluku’s Folklore Air Tukang)
Helmina Kastanya Kantor Bahasa Maluku
Kompleks LPMP Maluku, Wailela, Rumah Tiga, Ambon Pos-el: emikastanya@gmail.com
Diterima: 21 September 2020; Direvisi: 24 Oktober 2020; Disetujui: 23 November 2020 doi: https://doi.org/10.26499/ttbng.v8i2.251
Abstract
The folklore of Air Tukang is one of the Maluku folktales categorized as a myth. This story was interesting and had been made into a written manuscrip by Evi Olivia Kumbangsila as literacy material for children at the junior high school and published by the Language Development and Development Agency in 2016. The Maluku’s folklore of Air Tukang tells the story of seven angels contained abundance of cultural value. The depiction of several cultural aspects in this story wasso important included the oral tradition of Maluku that has slowly being abandoned by its society owner. This research was a qualitative research used qualitative descriptive method. The data used was the text of Maluku’s folkloreAir Tukang. The key instrument in this study was the researcher himself. The data analysis technique usedwas the content analysis technique. The results showed that there were some cultural values founded, such as educational values, social values, and moral values. These cultural values are very beneficial for society.
Keywords: Cultural Values, Maluku folklore, Air Tukang. Abstrak
Cerita rakyat Air Tukang merupakan salah satu cerita rakyat Maluku yang dapat dikategorikan sebagai mitos. Cerita ini menarik dan telah dibuatkan naskah tertulisnya oleh Evi Olivia Kumbangsila sebagai bahan literasi bagi anak-anak di jenjang sekolah menengah pertama dan diterbitkan oleh Badan pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada tahun 2016. Cerita rakyat Maluku Air Tukang yang mengisahkan tentang kehidupan tujuh bidadari ini sarat dengan nilai budaya di dalamnya. Penggambaran beberapa aspek kebudayaan dalam cerita ini sangat penting terutama terkait nilai-nilai budaya termasuk di dalamnya tentang tradisi lisan Maluku yang perlahan mulai ditinggalkan masyarakat pemiliknya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dangan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data yang digunakan adalah teks cerita rakyat Maluku Air Tukang. Instrumen kunci di dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis isi. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat nilai pendidikan, nilai sosial, dan nilai moral dalam cerita tersebut. Nilai-nilai budaya tersebut sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Kata-kata kunci: Nilai Budaya, Cerita rakyat Maluku, Air Tukang. PENDAHULUAN
Tradisi lisan (oral tradition)
merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang tersebar di seluruh wilayah di dunia dan merupakan bagian dari budaya lisan (oral culture). Ong (2005, hlm. 14)
mengemukakan bahwa budaya lisan
menghasilkan pertunjukan seni dan mengandung nilai kemanusiaan yang tinggi. Dengan demikian tradisi lisan perlu mendapat perhatian untuk dikembangkan sebagai media penanaman nilai kebudayaan,
nilai kemanusian, nilai pendidikan, nilai agama, dan lainnya. Menurut Vansina (2014, hlm. xiv), tradisi lisan adalah pesan yang tidak tertulis, dan pemeliharaan pesan ini merupakan tugas dari generasi ke generasi. Tradisi lisan baik produk maupun prosesnya akan hilang dari masyarakat jika tidak diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut Vansina (1985, hlm. 3), ungkapan “tradisi lisan” berlaku baik untuk produk maupun prosesnya. Produk adalah pesan
Totobuang Vol.8, No.2, Desember 2020: 183—194
184
lisan yang diperoleh dari pesan lisan sebelumnya, setidaknya satu generasi. Sedangkan prosesnya berupa transmisi pesan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari waktu ke waktu sampai pesan itu hilang.
Berbicara tentang tradisi lisan mengarahkan kita untuk belajar dari Afrika yang sangat menjunjung tinggi tradisi lisan sebagai identitas komunitasya. Seperti yang dikemukakan oleh Finnegan (2012, hlm. 307) berikut ini;
“The existence of stories in
Africa is well known. On of the first things student of African oral
literature or of comparative
literature generally discover about Africa is the great number of socalled ‘folktales’. They will hear above all of the many animal tales that so vividly and humorously portary the tricks of the spider, the little hare, or the antelope, or exhibit the discomfiture of the heavy and powerful members of the animal world through the wiles of their tiny adversaries”.
Bukan hanya di Afrika, Indonesia pun memiliki tradisi lisan yang dapat dijumpai hampir di semua daerah. Indonesia sangat kaya dengan kekayaan budayanya. Beragam suku bangsa dan bahasa merupakan penanda banyaknya keragaman tradisi lisan di Indonesia. Namun sejauh ini tradisi lisan di Indonesia belum dikembangkan dan dikelola dengan maksimal oleh pemerintah dan
masyarakat. Perlu adanya upaya
pengembangan tradisi lisan dan upaya untuk menjadikan tradisi lisan sebagai bagian dari identitas diri masyarakat yang patut untuk dibanggakan. Berbagai hal dapat dilakukan mulai dari revitalisasi sampai dengan pengembangan tradisi lisan menjadi produk yang dapat diterima di setiap masa oleh semua kalangan. Salah satu bentuk tradisi lisan yang dapat dikembangkan adalah sastra lisan.
Sastra lisan merupakan ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang yang disebarkan dan diturunkan secara lisan dari mulut ke mulut (Hutomo, 1991, hlm. 1). Bentuk dari tradisi lisan ini masih sering diabaikan. Di dalam sastra lisan dapat dijumpai cerita rakyat sebagai medium penyampaian pesan-pesan atau kisah masa lalu baik berupa mitos, legenda, maupun dongeng. Dengan demikian sastra lisan dianggap sebagai milik masyarakat primitif. Padahal cerita rakyat sebagai bentuk dari sastra lisan memiliki potensi sebagai budaya lisan yang dapat digunakan untuk pembelajaran bagi masyarakat terutama bagi anak-anak. Melalui cerita rakyat anak-anak dapat memahami tentang berbagai hal yang berada di dekatnya. Apa yang dilihat dan dirasakan di lingkungan tempatnya berada merupakan bagian yang mestinya diketahui melalui cerita-cerita rakyat yang mengisahkan tentang peristiwa masa lalu. Dengan demikian cerita rakyat harus dikembangkan menjadi sebuah tulisan yang
kemudian dapat digunakan untuk
menghasilkan produk-produk menarik lainnya sebab sesungguhnya cerita rakyat sebagai tradisi lisan perlu menghasilkan dan ditakdirkan untuk menghasilkan tulisan sebagaimana yang dikemukakan oleh Ong (2005, hlm. 14). Selain itu, Sugihastuti (2011, hlm. 95) mengemukakan bahwa sebelum tradisi tulisan, audio, dan audiovisual maju pesat seperti sekarang ini, anak-anak dan kebanyakan audiens berada dalam tradisi kelisanan yang kuat. Banyak cerita didengarnya secara lisan, dari mulut ke mulut melalui pencerita.
Di Maluku, setiap daerah memiliki cerita rakyat yang menarik. Sayangnya belum mendapat perhatian penting dari semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat atau komunitas pemiliknya. Sangat disayangkan, jika cerita rakyat yang populer di masyarakat terutama di kalangan anak-anak adalah cerita rakyat yang berasal dari daerah lain. Sedangkan cerita rakyat yang berasal dari Maluku tidak begitu
Analisis Nilai Budaya ….(Helmina Kastanya)
185
banyak dikenal. Hal ini menandakan bahwa butuh keseriusan dalam upaya menjadikan cerita rakyat sebagai salah satu tradisi lisan yang bernilai tinggi dan bermanfaat. Maluku memiliki banyak cerita rakyat yang ada di setiap daerah. Dongeng, legenda, dan mitos dapat dijumpai di masyarakat terutama di negeri-negeri adat. Sayangnya orang tua tidak menjadi pendongeng yang baik bagi anak-anak di rumah. Padahal dengan mendongeng atau menceritakan legenda atau mitos kepada anak-anak, menjadikan cerita rakyat dapat hidup dan bertahan. Selain itu, melalui cerita rakyat dapat menjadi catatan sejarah bagi pemiliknya. Melalui cerita rakyat, orang dapat mengetahui asal-usul dirinya, mengetahui asal mula nenek moyang. Sebagai catatan sejarah, cerita rakyat perlu diwariskan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu, orang tua perlu menjadi pendongeng yang baik bagi anak-anak di rumah.
Cerita rakyat Air Tukang merupakan salah satu cerita rakyat Maluku yang dapat dikategorikan sebagai mitos. Cerita ini menarik dan telah dibuatkan naskah tertulisnya oleh Evi Olivia Kumbangsila sebagai bahan literasi bagi anak-anak di sekolah dan diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada tahun 2016. Buku cerita ini diharapkan
dapat digunakan sebagai media
pembelajaran cerita rakyat di sekolah dan di rumah. Cerita rakyat Air Tukang yang mengisahkan tentang kehidupan tujuh bidadari ini sarat dengan nilai budaya di dalamnya. Penggambaran beberapa aspek kebudayaan dalam cerita ini berupa nilai budaya dan tradisi lisan Maluku yang perlahan mulai ditinggalkan masyarakat atau komunitas pemiliknya. Padahal nilai-nilai budaya termasuk di dalamnya tradisi lisan tersebut memiliki manfaat yang penting bagi masyarakat. Di Maluku cerita rakyat yang mengisahkan tentang tujuh bidadari memiliki varian yang sama dengan yang terdapat di daerah lain di Maluku seperti
cerita rakyat Putri Tujuh, cerita rakyat
Salambous dan Tujuh Bidadari, dan cerita
rakyat Putri Djula Wali Komu.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang nilai budaya dalam cerita rakyat Maluku Air
Tukang. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan nilai budaya dalam cerita
Air Tukang yang mencakup nilai-nilai
pendidikan, nilai religi, nilai moral, dan nilai sosial yang di dalamnya terdapat tradisi perkawinan orang Maluku dan istilah-istilah budaya yang diungkapkan dalam isi cerita tersebut. Adapun manfaat dari cerita rakyat tersebut adalah dapat menambah referensi pengetahuan tentang nilai budaya dalam cerita rakayat Maluku. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya karena belum ada penelitian terkait cerita rakyat Air Tukang termasuk penelitian nilai budayanya. Beberapa kajian terdahulu telah dilakukan namun bukan pada objek yang sama seperti yang dilakukan oleh Sugiharto dan Widyawati (2012) tentang kajian strukturalisme Levi-Straus terhadap legenda
Curug 7 Bidadari. Cerita tersebut memiliki
struktur cerita yang hampir sama dengan cerita rakyat Maluku Air Tukang. Namun latar tempat dan alur cerita serta penokohannya berbeda. Demikian pula dengan kajian yang dilakukan oleh Haniva dan Hayati (2020) yang mengkaji cerita rakyat yang berisikan kisah yang sama yaitu tentang kisah tujuh bidadari namun kajian
yang dilakukan adalah melakukan
perbandingan dengan cerita rakyat The Swan
Maidens dari London. Hendrike (2020) pun
telah melakukan kajian terhadap cerita yang mengisahkan tujuh bidadari juga namun pada objek kajian yang berbeda.
LANDASAN TEORI
Tradisi lisan harus bermanfaat untuk kehidupan masa kini dan kehidupan generasi mendatang. Penelitian tradisi lisan berusaha
menggali, menjelaskan, dan
menginterpretasi secara ilmiah warisan-warisan budaya leluhur pada masa lalu,
Totobuang Vol.8, No.2, Desember 2020: 183—194
186
menginterpretasikannya untuk implementasi pada pendidikan karakter generasi masa kini demi mempersiapkan kehidupan yang damai dan sejahtera untuk generasi masa mendatang (Sibarani, 2012, hlm. 1--3). Lebih lanjut Sibarani mengemukakan bahwa wacana tradisi lisan tidak hanya berupa cerita dongeng, mitologi, dan legenda dengan berbagai pesan di dalamnya, tetapi juga mengenai sistem kognitif masyarakat, sumber identitas, sarana ekspresi, sistem religi dan kepercayaan, pembentukan dan peneguhan adat-istiadat, sejarah, hukum, pengobatan, keindahan, kreativitas, asal-usul masyarakat, dan kearifan lokal dalam komunitas dan lingkungannya.
Hutomo (1991, hlm. 1--2)
menjelaskan bahwa sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan dituruntemurunkan secara lisan. Adapun ciri sastra lisan yaitu (1) penyebaran melalui mulut ke mulut; (2) lahir di masyarakat yang masih bercorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal huruf; yang sekarang kita masih dapat menemukan kelisanan tahap pertama ini (primary
orality); (3) mengambarkan ciri-ciri budaya
suatu masyarakat; (4) tidak diketahui siapa pengarangnya; (5) bercorak puitis, teratur, dan diulang-ulang; (6) tidak mementingkan fakta atau kebenaran karena lebih mementingkan khayalan atau fantasi yang tidak diterima masyarakat modern; (7) terdiri atas berbagai versi; dan (8) bahasa yang digunakan bahasa lisan dan kadang-kadang tidak begitu lengkap.
Tradisi bercerita rakyat (folktale
story telling) yang hidup dan berkembang di
masyarakat dapat menjadi kekayaan budaya yang mengandung kearifan lokal. Cerita rakyat seharusnya bisa dimanfaatkan pada masa kini untuk menggugah kembali nilai-nilai budaya yang dibutuhkan dalam kehidupan. Cerita rakyat memang tidak
mengandung fakta, tetapi dapat
menghasilkan nilai dan norma yang lebih
bermakna dari fakta itu. semakin banyak orang yang membaca cerita rakyat, maka semakin kaya pengetahuan seseorang tentang kebudayaan yang melampaui batas
ruang dan waktu, dan menemukan
kebebasan mutlak dan kreativitas yang tinggi dan melampaui batas logika. Meskipun cerita rakyat telah dituliskan, dia masih tetap cerita rakyat yang dikategorikan sebagai sastra lisan (Sibarani, 2012, hlm. 22). Cerita rakyat berfungsi sebagai alat untuk pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan yang terpendam seperti yang ada pada cerita rakyat Maluku Air
Tukang yang mengisahkan tentang peristiwa
masa lalu dan sarat akan nilai-nilai kebudayaan di dalamnya.
METODE
Deskriptif kualitatif merupakan metode yang digunakan dalam penelitian ini. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungan dengan konteks keberadaannya yang dalam ilmu sastra sumber datanya adalah karya, kata, kalimat, dan wacana (Ratna, 2013, hlm. 46). Data dalam penelitian ini adalah semua kutipan yang terdapat dalam cerita rakyat Maluku Air Tukang yang ditulis oleh Evi Olivia Kumbangsila dan diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada tahun 2017 sebagai bahan bacaan literasi untuk jenjang anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang bersumber dari sastra lisan cerita rakyat Negeri Booi, Kabupaten Maluku Tengah. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka dan teknik pengumpulan data dilakukan melalui pembacaan teks naskah cerita rakyat Maluku
Air Tukang. Adapun instrumen kunci dalam
penelitian ini adalah penulis sendiri. Dalam
menganalisis data penelitian ini
menggunakan teori analisis isi. Menurut Ratna (2013, hlm. 48), dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran yang memberikan perhatian pada isi pesan.
Analisis Nilai Budaya ….(Helmina Kastanya)
187
Dengan menggunakan metode ini peneliti menekankan tentang makna isi komunikasi, memaknakan isi interaksi simbolik yang terjadi dalam peristiwa komunikasi. Dengan demikian, untuk mendapatkan hasil yang akurat penelitian ini dilakukan dengan memperhatikan tahapan-tahapan berikut: (1) membaca dengan cermat cerita rakyat Air
Tukang,; (2) mengidentifikasi dan
mengkalisfikasikan data berdasarkan nilai budaya; (3) mendeskripsikan nilai budaya tersebut; (4) menarik kesimpulan.
PEMBAHASAN
1. Sinopsis Cerita Rakyat Maluku Air Tukang
Dikisahkan bahwa pada zaman dulu di Kampung Booi yang terletak di Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah ada seorang lelaki bujangan yang bernama Roberth Soumokil yang sering disapa Obeth. Lelaki sederhana yang sehari-hari bekerja di kebun dan kerap ke laut untuk mencari ikan. Obeth sejak kecil telah hidup seorang diri tanpa ayah dan ibunya. Ibunya meninggal setelah melahirkan Obeth dan ayahnya meninggal saat Obeth remaja. Obeth tumbuh dan dibesarkan oleh kakek dan neneknya. Setelah kakek dan neneknya meninggal, Obeth hanya hidup sebatang kara di Kampung Booi. Usia Obeth sudah sangat matang untuk menikah dan berumah tangga. Karena usianya yang sudah berumur 35 tahun tetapi belum menikah, akhirnya Obeth sering menjadi bahan cibiran orang-orang kampung yang setiap waktu selalu menanyakan kapan Obeth akan menikah dan berkeluarga. Obeth merasa malu dengan orang-orang di sekitarnya. Obeth pun ingin sekali mendapatkan seorang perempuan cantik sebagai istrinya, apalagi Obeth adalah seorang pekerja keras yang pasti sanggup menjadi suami dan ayah yang baik.
Suatu hari saat bulan purnama, Obeth keluar mencari tempat yang nyaman untuk menikmati bulan purnama. Ia berkeliling rumah untuk melihatnya. Dalam
hatinya, Obeth berharap jika bulan purnama seperti ini ia ditemani oleh seorang istri dan anak-anak yang memanggilnya bapak. Obeth sangat berharap hal itu terjadi dalam hidupnya. Lamunannya pun terhenti ketika ia tersadar bahwa ia hanya seorang diri saja. Malam itu Obeth pun memutuskan untuk pergi ke sebuah kolam air agar dapat menikmati keindahan bulan purnama yang terpancar di dalam air. Kolam air tersebut merupakan tempat orang-orang Kampung Booi mengambil air untuk digunakan sehari-hari. Obeth pun berjalan menuju kolam air. Ketika Obeth hendak mendekati kolam air tersebut terdengarlah suara-suara yang indah dan merdu. Obeth panasaran dengan suara-suara itu sehingga ia semakin mendekati kolam air tersebut. Semakin dekat semakin terdengar suara-suara indah itu. Obeth kemudian berhenti dan memutuskan untuk bersembunyi di balik sebuah pohon agar dapat melihat siapakah mereka yang sedang berada di kolam air. Obeth tidak ingin diketahui kehadirannya oleh mereka. Obeth sangat terkejut ketika melihat ada tujuh gadis cantik yang sedang mandi di kolam air itu. Kecantikan gadis-gadis itu melebihi gadis-gadis yang ada di Kampung Booi. Obeth lalu menyimpulkan bahwa gadis-gadis itu bukan gadis-gadis sembarangan tetapi mereka adalah putri-putri dari kayangan. Melihat paras cantik mereka, timbulah keinginan di hatinya untuk bisa memiliki salah satu dari ketujuh putri itu sebagai istrinya. Obeth kemudian melihat dengan cermat di sekitar kolam air itu. Pandangannya terhenti pada tujuh pasang sayap yang terletak di samping kolam air. Obeth lalu berjalan perlahan-lahan ke dekat kolam dan mengambil secara acak salah satu pasang sayap itu lalu menyembunyikannya.
Malam semakin larut dan ketujuh putri harus kembali ke kayangan. Saat mereka bersiap-siap untuk kembali. Angel, putri yang bungsu kebingungan mencari sayapnya. Kemudian putri-putri yang lain membantu Angel mencarikan sayapnya. Pencarian mereka nihil. Sayap Angel tidak
Totobuang Vol.8, No.2, Desember 2020: 183—194
188
ditemukan. Keenam putri akhirnya
memutuskan untuk kembali ke kayangan sedangkan Angel sedih dan menangis karena harus menerima kenyataan bahwa dia harus tetap tinggal dan tidak dapat kembali ke kayangan. Angel lalu berusaha untuk mencarinya sekali lagi. Namun hasilnya juga nihil. Sementara Obeth tetap
bersembunyi di balik pohon dan
menyaksikan peristiwa perpisahan Angel
dengan kakak-kakaknya. Fajar pun
menyingsing, Obeth lalu keluar dari persembunyiannya dan mendekati Angel yang sedang duduk bersedih di dekat kolam. Dengan wajah tidak bersalah Obeth
berusaha menenangkan Angel dan
memperkenalkan dirinya. Obeth kemudian mengajak Angel untuk ikut dengannya pulang ke rumah. Angel lalu menuruti ajakan Obeth.
Matahari semakin terang, orang Kampung Booi mulai berdatangan untuk mengambil air di kolam. Obeth dan Angel kemudian berjalan menuju rumah Obeth. Di perjalanan semua orang kampung menatap dengan terkesima melihat Obeth berjalan dengan seorang gadis yang sangat cantik.
Mulailah mereka bertanya-tanya,
mungkinkah Angel adalah calon istrinya Obeth? Hingga suatu waktu setelah hampir setahun mereka hidup bersama, Obeth mengajari Angel tentang berkebun dan menanam selayaknya manusia biasa. Obeth jatuh hati pada Angel dan melamarnya untuk menjadi istri. Angel pun bersedia menerima lamaran Obeth. Tidak menunggu waktu lama, Obeth menghubungi bapak raja untuk menjadi wali pernikahan untuk Angel. Prosesi mulai dari pelamaran sampai menikah dilakukan oleh Obeth dan Angel. Mulai dari upacara maso minta sampai dengan prosesi pernikahan yang dilakukan dengan menggunakan tradisi yang berlaku di Kampung Booi yaitu tradisi “makan piring balapis”. Pernikahan Obeth dan Angel dilalui dengan penuh kebahagiaan. Perjalanan hidup keluarga mereka juga
dipenuhi kedamaian. Mereka dikaruniai dua anak laki-laki bernama Minggus dan Butje.
Suatu ketika saat Obeth dan Minggus pergi ke kebun, Angel dan Butje membersihkan rumah. Angel kemudian menemukan sayapnya yang tersembunyi di dalam sebuah bambu yang tersimpan di atas rumah. Angel sangat terkejut dan bersyukur akhirnya ditemukan sayapnya yang dapat membawanya kembali ke kayangan dan bertemu keluarganya. Angel tidak langsung menyampaikan hal itu kepada Obeth dan anak-anak. Angel tetap beraktivitas seperti biasa sebagai seorang ibu dan istri. Hingga tiba suatu hari yang dirasanya merupakan hari yang tepat untuknya kembali ke kayangan. Ketika itu, Obeth pergi ke kebun dan menginap di kebun. Kesempatan itu dipakainya untuk menyampaikan latar belakang dirinya kepada anak-anak dan kembali ke kayangan. Angel kemudian memanggil anak-anaknya lalu menceritakan semua hal tentang dirinya yang berasal dari
kayangan. Angel pun menyampaikan
keinginannya untuk kembali ke kayangan kepada kedua anaknya. Minggus dan Butje pun sangat sedih mendengar semua cerita dan permintaan ibunya. Mereka tidak ingin berpisah dari Angel. Namun Angel meyakinkan mereka bahwa ia akan tetap berkomunikasi dengan mereka walaupun secara tidak langsung. Minggus dan Butje akhirnya menyetujui permintaan ibunya untuk kembali ke kayangan. Mereka
membantu Angel untuk kembali ke
kayangan dengan menggunakan asap api unggun yang dibakar oleh Minggus dan Butje. Angel pun memesan kepada mereka untuk setiap bulan purnama membakar api unggun agar asap apinya dapat membuatnya dapat berhubungan dengan kedua anaknya dengan perjanjian bahwa pada saat itu Angel akan mengirim semua keperluan sehari-hari mereka melalui seutas tali dan saat menerima kiriman tidak boleh memotong tali atau memutuskan tali.
Setelah hari-hari berlalu, Angel pun
Analisis Nilai Budaya ….(Helmina Kastanya)
189
mengirimkan semua keperluan sehari-hari untuk suami dan anak-anaknya. Hingga pada suatu waktu, Angel mengirimkan mereka bingkisan yang berbeda dengan bingkisan yang sering mereka terima. Isi bingkisan tersebut sangat berat dan sulit untuk dibuka. Obeth dan anak-anak berusaha untuk membukanya namun sangat sulit. Akhirnya mereka memutuskan untuk memutuskan tali tersebut agar bingkisan dapat dibuka. Ketika mereka membukanya mereka terkejut dengan isinya yang berupa alat-alat perlengkapan pertukangan yang dikirimkan untuk mereka dengan tujuan
akan menjadi harta mereka. Alat
pertukangan dapat mereka gunakan setiap waktu untuk bekerja dan mendapatkan uang. Sampai saat ini keturunan Obeth Soumokil di Kampung Booi dikenal sebagai orang-orang yang sangat mahir dalam melakukan pekerjaan pertukangan baik tukang kayu maupun tukang batu. Dan sampai saat ini kolam air tempat Obeth bertemu dengan Angel diberi nama Air Tukang.
2. Nilai Budaya dalam Cerita Rakyat Maluku Air Tukang
Setelah melakukan pembacaan
terhadap teks cerita rakyat Maluku Air
Tukang, dapat ditemukan nilai-nilai budaya
yang terkandung di dalamnya. Nilai cerita rakyat tersebut sangat penting untuk diwariskan kepada generasi selanjutnya agar tetap dijaga dan dipelihara dengan baik. Adapun nilai-nilai yang ditemukan sebagai berikut:
a. Nilai pendidikan
Nilai pendidikan merupakan nilai yang berhubungan dengan kepribadian dan karakter seseorang yang dimiliki dalam diri. Kepribadian seseorang biasanya bersifat alamiah yang dimiliki sejak lahir. Namun lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukannya. Nilai pendidikan biasanya didapatkan oleh seseorang dari lingkungan keluarga dan masyarakat. Pendidikan dan karakter seseorang akan terbentuk menjadi
baik dan buruk berdasarkan lingkungan tempatnya bertumbuh.
Dalam cerita rakyat Maluku Air Tukang ditemukan nilai pendidikan dalam teks cerita. Setiap karakter tokoh dalam cerita menunjukkan nilai pendidikan yang dapat dijadikan pelajaran bagi generasi selanjutnya. Seperti yang ditunjukan melalui karakter tokoh Obeth, Angel, Minggus, dan Butje. Adapun nilai pendidikan yang ditemukan antara lain;
1) Keteladanan
Tokoh Obeth memberikan gambaran sebagai seorang lelaki yang mampu menjadi contoh dan teladan bagi istri dan anak-anak. Hal tersebut tergambar dalam kutipan teks berikut;
“...Obeth mengajari sang putri layaknya manusia biasa yang
bisa berkebun, memancing,
memasak, mencuci, dan
merapikan
rumah...”(Kumbangsila,
2016:19).
Kutipan di atas menggambarkan nilai pendidikan yang baik. Mengajarkan orang lain untuk dapat melakukan sesuatu yang baik kepada orang lain merupakan contoh perbuatan baik yang harus dilakukan oleh semua orang.
2) Kepatuhan
Selain itu, tokoh Minggus dan Butje dalam cerita juga memiliki nilai pendidikan yang berhubungan dengan kepatuhan kepada orang tua yang tergambar dalam kutipan berikut;
“...dalam kesederhanan itu,
mereka diajarkan untuk
saling menyayangi, saling berbagi, saling melindungi, saling membantu, dan saling menghargai. Ketika mereka bermain bersama, mereka
tidak saling menyerang
ataupun saling menyakiti. Saat mereka bermain dengan anak-anak seumuran, mereka akan saling menjaga dan
Totobuang Vol.8, No.2, Desember 2020: 183—194
190
berusaha untuk tidak mencari masalah dengan orang lain. Minggus dan Butje benar-benar diajarkan kehidupan orang saudara (hidup kakak-beradik)...”. (Kumbangsila,
2016:30)
Kutipan di atas memberikan gambaran nilai pendidikan yang baik. Pada tokoh Obeth dan Angel sebagai orang tua maupun Minggus dan Butje sebagai anak-anak. Penggambaran nilai pendidikan sangat jelas dalam teks cerita rakyat ini karena sangat penting bagi orang tua untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan yang baik bagi anak-anak agar mereka dapat bertumbuh dengan karakter yang baik. Demikian juga dengan anak-anak yang tergambar dalam karakter Minggus dan Butje pada kutipan di atas. Hal ini menunjukkan bahwa jika cerita rakyat ini dibaca oleh anak-anak akan memberikan dampak positif bagi pembaca.
b. Nilai sosial
Nilai sosial merupakan nilai yang dapat ditemukan di setiap karya sastra yang diciptakan termasuk di dalam cerita rakyat Maluku Air Tukang. Nurgiyantoro (2002, hlm. 326) menjelaskan bahwa nilai sosial berhubungan dengan kemasyarakatan. Nilai sosial didapatkan dari tata cara kehidupan sosial yang meliputi sikap seseorang terhadap peristiwa di sekitarnya yang berhubungan dengan orang lain, cara
berpikir, dan hubungan sosial
kemasyarakatan. Dengan demikian nilai sosial adal nilai yang berhubungan antara satu individu dengan individu yang lain. Dalam cerita rakyat Maluku Air Tukang ditemukan nilai sosial antara lain;
1) Saling membantu
Cerita rakyat Maluku Air Tukang memiliki nilai sosial yang baik untuk dicontohi oleh masyarakat yaitu saling membantu. Dalam hidup bermasyarakat setiap orang diwajibkan untuk saling membantu satu dengan yang lain. Hal ini tergambar pada kutipan teks berikut ini;
“... berhentilah bertanya dan saling menyalahkannya, kak? Sebaiknya kita bantu
dia untuk mencari
sayapnya...” (Kumbangsila,
2016, hlm. 10).
Kutipan teks di atas memberikan pelajaran kepada pembaca agar dalam menjalani hidup bersama sebagai makhluk sosial, saling membantu satu dengan yang lain merupakan hal penting, tidak saling menyalahkan ketika menghadapi masalah.
Sebaliknya saling mendukung dan
menolong merupakan perbuatan baik yang harus dilakukan setiap hari.
2) Melestarikan tradisi budaya setempat Hal yang tidak kalah menarik dari nilai-nilai yang telah dipaparkan di atas adalah nilai sosial yang berhubungan dengan pewarisan tradisi yang berlaku di masyarakat. Pada teks cerita rakyat Maluku
Air Tukang, ditemukan adanya gambaran
nilai sosial yang berhubungan dengan nilai kebudayaan yang sangat penting yang pada teks cerita tersebut penulis menggambarkan tentang tradisi perkawinan yang berlaku di
Kampung Booi, Kecamatan Saparua,
Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Dipaparkan dalam teks tersebut tentang tradisi lisan masyarakat yaitu tradisi
maso minta dan tradisi makan piring balapis. Hal ini menarik karena tradisi lisan
ini perlahan mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Adapun gambaran tentang tradisi-tradisi tersebut dipaparkan berikut ini.
a) Tradisi Maso Minta
Salah satu tradisi lisan Maluku adalah tradisi maso minta. Tradisi ini berlaku di masyarakat Maluku sebagai rangkaian acara menjelang pernikahan. Tradisi maso minta adalah prosesi lamaran yang dilakukan oleh calon pengantin pria kepada calon pengantin perempuan yaitu seorang pria berkewajiban untuk melamar secara resmi calon istrinya. Lamaran dilakukan dengan cara laki-laki bersama keluarganya mendatangi rumah keluarga
Analisis Nilai Budaya ….(Helmina Kastanya)
191
calon istri dan menyampaikan keinginanya untuk menikahi anak gadis mereka. Jika lamaran tersebut diterima maka proses pernikahan dapat dilangsungkan. Tradisi tersebut hampir sama dengan tradisi lamaran yang berlangsung di daerah lain. Namun penyebutan istilah yang berbeda dengan daerah lain yaitu menggunakan istilah maso
minta.
Teks cerita rakyat Maluku Air
Tukang mengisahkan proses pelaksanaan
tradisi maso minta dilakukan dengan beberapa tahapan yang diawali dengan calon pengantin pria membuat surat kepada calon pengantin perempuan yang berisikan pemberitahuan tentang waktu kedatangan mereka untuk melamar calon pengantin
perempuan, setelah membuat surat
ditentukan orang yang akan mengantarkan surat tersebut ke rumah calon pengantin perempuan. Tahapan selanjutnya adalah
menyiapkan keperluan yang akan
dibawakan sebagai seserahan untuk keluarga calon pengantin perempuan. Setelah persiapan dilakukan dan tiba waktunya acara
maso minta dilaksanakan, keluarga calon
pengantin laki-laki berjalan kaki menuju
rumah calon pengantin perempuan.
Biasanya, ada seorang anggota keluarga yang dipercayai sebagai juru bicara yang bertugas untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka, seperti yang tergambar dalam bagian teks berikut ini;
“...kami dari keluarga
Soumokil, jawab juru bicara. Ada apa ke sini?, tanya suara yang di balik pintu itu. Anak kami Obeth sangat menyukai anak dari keluarga bapak ibu. Karena itu bila kami diizinkan masuk, kami ingin
meminang anak dari
keluarga ini yang bernama
Angel. Kemudian pintu
terbuka. Seakan kalimat itu menjadi kalimat kunci untuk
keluarga perempuan
membukakan pintu...”
(Kumbangsila, 2016, hlm. 25)
Setelah menyampaikan maksud kedatangan mereka, pembicaraan pun berlangsung antara keluarga perempuan dan laki-laki. Selanjutnya calon pengantin perempuan dimintai keterangan dan jawaban apakah menerima lamaran tersebut atau tidak. Setelah mendengar jawaban calon pengantin
perempuan, selanjutnya dilakukan
pengaturan untuk waktu dan prosesi pernikahan yang akan berlangsung secara resmi. Dalam prosesi maso minta biasanya pakaian yang digunakan dalam cara tersebut adalah pakaian adat Maluku. Perempuan mengenakan pakaian berupa baju kebaya berwarna putih dan kain panjang berbentuk rok berwarna merah. Sedangkan laki-laki mengenakan baju berupa jas berwarna merah bermotif Maluku dan celana panjang berwarna putih.
b) Tradisi Makan Piring Balapis.
Makan piring balapis merupakan
tradisi lisan yang berlaku di Kampung Booi, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah. Tradisi tersebut biasanya berlangsung pada acara pesta pernikahan. Liem (2015, hlm. 31) menjelaskan bahwa proses pelaksanaan tradisi makan piring
balapis dilakukan dengan cara pengantin
laki-laki, pengantin perempuan, dan sebagian tamu undangan dipersilakan menuju meja makan. Saat duduk di meja makan, diwajibkan untuk makan makanan yang telah disediakan dengan mengikuti arahan atau perintah yang ditandai dengan bunyi peluit. Makanan pertama biasanya berupa sup. Saat bunyi pluit, semua memakan sup sebagai makanan pembuka yang telah dihidangkan oleh para pelayan. Setelah sup selesai dimakan oleh semua orang yang duduk di meja makan, selanjutnya dibunyikan pluit kedua sebagai tanda untuk menikmati makanan selanjutnya yang telah disediakan dengan menggunakan piring yang telah disiapkan pada bagian berikutnya. Setelah piring kedua, selanjutnya peluit dibunyikan untuk
Totobuang Vol.8, No.2, Desember 2020: 183—194
192
menikmati makanan selanjutnya sampai piring yang disediakan selesai. Selanjutnya para pelayan akan memanggil rombongan berikutnya yaitu tamu-tamu undangan lain untuk menikmati makanan dengan cara yang sama.
Tradisi makan piring balapis
perlahan mulai ditinggalkan oleh
masyarakat. padahal tradisi ini penuh makna. Dapat disimpulkan bahwa tradisi tersebut melambangkan kebersamaan dan saling menghormati. Dalam cerita rakyat Maluku Air Tukang disebutkan tentang tradisi tersebut seperti yang digambarkan pada kutipan teks berikut;
“... di sebuah tenda tersendiri terdapat beberapa buah meja diatur memanjang sepanjang ukuran tenda. Di atas meja itu ditata beberapa piring dan mangkuk yang disusun mulai dari piring yang lebih besar, sedang, dan kecil dan begitu juga dengan sebuah mangkuk di
atasnya. Piring dan
mangkung disusun sebanyak
kursi yang juga diatur
sepanjang meja itu. Tenda ini
dikhususkan untuk para
pemangku adat. Keluarga kedua mempelai mengikuti acara setelah pemberkatan
nikah yang dalam adat
Negeri Booi disebut “makan
piring balapis”. Pada saat itu
yang makan di meja makan akan dilayani oleh
pelayan-pelayan yang siap
menyajikan makanan bagi tiap-tiap orang yang ada saat itu...” (Kumbangsila, 2016,
hlm. 28—29). c. Nilai moral
Nurgiyantoro (2002, hlm. 321) menjelaskan bahwa nilai moral merupakan nilai yang didapatkan dari membacakan atau mendengarkan cerita yang berhubungan
dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis. Dalam teks cerita rakyat Maluku Air
Tukang ditemukan nilai moral antara lain;
1) Kejujuran
Cerita rakyat Maluku Air Tukang memiliki nilai moral yang dapat ditemukan di dalam teks cerita. Berikut adalah salah satu kutipan teks yang mengisyaratkan nilai moral bagi pembaca.
“...seperti yang dijanjikan
Obeth, sang putri menempati rumah warisan kakek dan neneknya, sedangkan dia rela
pindah ke Walang...”
(Kumbangsila, hlm. 2016:). Kutipan teks tersebut menggambarkan tokoh Obeth yang menepati janjinya terhadap
Angel. Sebagai laki-laki Obeth
menunjukkan sikap sopan dan menghargai perempuan sehingga dia tidak memaksakan diri untuk tinggal serumah dengan seorang perempuan yang bukan anggota keluarga atau istrinya. Selain memberikan pesan moral tentang menepati janji, kutipan teks ini juga memberikan pesan moral tentang menghargai orang lain, dan tidak melakukan perbuatan tercela.
2) Penurut pada orang tua
“...selain itu mereka berdua
adalah anak-anak yang
sangat penurut. Apapun yang dikatakan ayah dan ibu mereka, kakak-beradik ini
selalu menurut...”
(Kumbangsila, 2016, hlm. 30).
Kutipan di atas merupakan gambaran tentang rasa hormat anak-anak pada orang tua yang ditunjukkan melalui sikap penurut pada orang tua. Anak-anak dididik oleh orang tua untuk menjadi anak-anak yang baik yang menuruti kedua orang tua. Tidak menjadi anak yang nakal.
3) Membantu orang tua
Selain kejujuran dan kepatuhan pada orang tua, ada juga nilai moral yang mengisyaratkan untuk membantu orang tua. Pesan moral ini sangat baik bagi pembaca
Analisis Nilai Budaya ….(Helmina Kastanya)
193
terutama bagi anak-anak seperti yang tergambar pada kutipan teks berikut:
“... Minggus dan Butje selalu
membantu ayahnya
mengerjakan semua
pekerjaan pria seperti
berkebun, memancing,
menimba air, dan lain-lain. Bukan itu saja, mereka juga membantu ibu mereka, Angel untuk mengerjakan beberapa
pekerjaan rumah seperti
merapikan tempat tidur,
merapikan rumah, dan
sesekali membantu ibu
mereka mencuci piring...”
(Kumbangsila, 2016, hlm. 30).
Membantu orang tua merupakan nilai moral yang sangat penting dipedomani oleh anak-anak. Menjadi anak yang baik diajarkan melalui cerita rakyat Maluku Air Tukang. Nilai moral yang praktis seperti inilah yang diharapkan dapat diteladani oleh pembaca.
PENUTUP
Cerita rakyat Maluku Air Tukang merupakan cerita rakyat yang sangat baik untuk dibaca atau diceritakan kembali kepada orang lain terutama bagi anak-anak. Di dalam cerita rakyat Maluku Air Tukang ditemukan beberapa nilai budaya yaitu nilai pendidikan, nilai sosial, dan nilai moral. Nilai pendidikan dapat digambarkan melalui beberapa tokoh yaitu Obeth, Angel, Minggus, dan Butje. Adapun nilai pendidikan yang didapatkan dalam cerita rakyat tersebut adalah kepatuhan dan keteladanan. Nilai sosial yang ditemukan dalam cerita tersebut adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan sikap saling membantu yang ditunjukkan melalui tokoh Obeth, Minggus, dan Butje. Selain saling membantu, hal menarik yang ditemukan dalam nilai sosial adalah rasa cinta pada budaya yang berupa kearifan lokal dalam bentuk tradisi maso minta dan tradisi makan
piring balapis. Kedua tradisi ini menarik
untuk dikaji lebih lanjut untuk menambah pengetahuan dan referensi bagi kajian-kajian lainnya yang relavan, tidak hanya nilai pendidikan dan nilai sosial, ditemukan juga nilai moral dalam cerita rakyat Maluku Air
Tukang. Nilai moral dalam cerita ini
digambarkan melalui karakter tokoh yang memiliki beberapa sikap yang baik yaitu kejujuran, kepatuhan pada orang tua, dan sikap mau membantu orang tua. Dengan demikian maka secara umum cerita rakyat Maluku Air Tukang merupakan cerita rakyat yang menarik dan memiliki nilai-nilai positif sehingga sangat penting untuk diwariskan kepada anak-anak agar nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya dapat tetap terpelihara dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Finnegan Ruth. (2012). World Oral Literatur Series. Oral Lietarture in Africa. United Kingdom: The World
Oral Literature Project.
Haniva dan Hayati. (2020). Cerita Rakyat
Jawa Tengah Tujuh Bidadari dari Kayangan dengan The Swan Maidens dari London, Analisis Unsur Intrinsik Sastra Bandingan. Jurnal Diglosia,
Vol. 4, Nomor 1, Februari 2020. Halaman 81—92.
Hutomo, Sadi Suripan. 1991. Mutiara yang
Terlupakan. Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: Himpunan Sarjana
Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Jawa Timur.
Liem, Nike Dessy Natalia. (2015).
Landasan Konseptual Perencanaan dan Perancangan Wedding Venue
sebagai Tempat Resepsi dan
Exhibition di Sleman.
http://e-journal.uajy.ac.id/id/eprint/8469 diakses pada tanggal 20 September 2020. Halaman 29—31.
Nurgiyantoro, Burhan. (2002). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah
Totobuang Vol.8, No.2, Desember 2020: 183—194
194
Ong, J. Walter. (2005). Orality and Literacy
The Technologizing of The Word. New
York: Taylor and Farncis e-liberary. Priventa, Hendrike. (2020). The Meaning of
Tolaki, Minangkabau, and Timor Cultural Symbol in Three Nusantara Folklores: Oheo, Kaba Malin Deman, and Tujuh Bidadari. Jurnal Seloka:
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesai, (9) 2, 2020 halaman 118— 128.
Ratna, Nyoman Kutha. (2013). Teori,
Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sibarani, Robert. (2012). Kearifan Lokal
Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.
Sugihastuti. (2011). Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiharto dan Widyawati. (2012). Legenda
Curug 7 Bidadari, Kajian Strukturalis Levi-Strauss. Jurnal Suluk Indo, Vol.
1, Nomor 2, October 2012. halaman 10—25.
Vansina, Jan. (2014). Tradisi Lisan sebagai
Sejarah. Yogyakarta: PenerbitOmbak.
Vansina Jan, (1985). Oral Tradition as
History. London: The University of