• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODUL BELAJAR MANDIRI CALON GURU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODUL BELAJAR MANDIRI CALON GURU"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Pegawai

Pemerintah

dengan

Perjanjian Kerja

(PPPK)

Bidang Studi

Pendidikan Luar Biasa

Penulis :

Tim GTK DIKDAS

Desain Grafis dan Ilustrasi :

Tim Desain Grafis

Copyright © 2021

Direktorat GTK Pendidikan Dasar

Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengopi sebagian atau keseluruhan isi buku ini untuk k epentingan komersial tanpa izin tertulis dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan

(3)

Kata Sambutan

Peran guru profesional dalam proses pembelajaran sangat penting sebagai kunci keberhasilan belajar peserta didik. Guru profesional adalah guru yang kompeten membangun proses pembelajaran yang baik sehingga dapat menghasilkan pendidikan yang berkualitas dan berkarakter Pancasila yang prima. Hal tersebut menjadikan guru sebagai komponen utama dalam pendidikan sehingga menjadi fokus perhatian Pemerintah maupun Pemerintah Daerah dalam seleksi Guru Aparatur Sipil Negara (ASN) Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK).

Seleksi Guru ASN PPPK dibuka berdasarkan pada Data Pokok Pendidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengestimasi bahwa kebutuhan guru di sekolah negeri mencapai satu juta guru (di luar guru PNS yang saat ini mengajar). Pembukaan seleksi untuk menjadi guru ASN PPPK adalah upaya menyediakan kesempatan yang adil bagi guru-guru honorer yang kompeten agar mendapatkan penghasilan yang layak. Pemerintah membuka kesempatan bagi: 1). Guru honorer di sekolah negeri dan swasta (termasuk guru eks -Tenaga Honorer Kategori dua yang belum pernah lulus seleksi menjadi PNS atau PPPK sebelumnya. 2). Guru yang terdaftar di Data Pokok Pendidikan; dan Lulusan Pendidikan Profesi Guru yang saat ini tidak mengajar.

Seleksi guru ASN PPPK kali ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, dimana pada tahun sebelumnya formasi untuk guru ASN PPPK terbatas. Sedangkan pada tahun 2021 semua guru honorer dan lulusan PPG bisa mend aftar untuk mengikuti seleksi. Semua yang lulus seleksi akan menjadi guru ASN PPPK hingga batas satu juta guru. Oleh karenanya agar pemerintah bisa mencapai target satu juta guru, maka pemerintah pusat mengundang pemerintah daerah untuk mengajukan formasi lebih banyak sesuai kebutuhan.

Untuk mempersiapkan calon guru ASN PPPK siap dalam melaksanakan seleksi guru ASN PPPK, maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) mempersiapkan modul-modul pembelajaran setiap bidang studi yang digunakan sebagai bahan belajar mandiri, pemanfaatan komunitas pembelajaran menjadi

(4)

hal yang sangat penting dalam belajar antara calon guru ASN PPPK secara mandiri. Modul akan disajikan dalam konsep pembelajaran mandiri menyajikan pembelajaran yang berfungsi sebagai bahan belajar untuk mengingatkan kembali substansi materi pada setiap bidang studi, modul yang dikembangkan bukanlah modul utama yang menjadi dasar atau satu-satunya sumber belajar dalam pelaksanaan seleksi calon guru ASN PPPK tetapi dapat dikombinasikan dengan sumber belajar lainnya. Peran Kemendikbud melalui Ditjen GTK dalam rangka meningkatkan kualitas lulusan guru ASN PPPK melalui pembelajaran yang bermuara pada peningkatan kualitas peserta didik adalah menyiapkan modul belajar mandiri.

Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Dasar (Direktorat GTK Dikdas) bekerja sama dengan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) yang merupakan Unit Pelaksanana Teknis di lingkungan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan yang bertanggung jawab dalam mengembangkan modul belajar mandiri bagi calon guru ASN PPPK. Adapun modul belajar mandiri yang dikembangkan tersebut adalah modul yang di tulis oleh penulis dengan menggabungkan hasil kurasi dari modul Pendidikan Profesi Guru (PPG), Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), Peningkatan Kompetensi Pembelajaran (PKP), dan bahan lainnya yang relevan. Dengan modul ini diharapkan calon guru ASN PPPK memiliki salah satu sumber dari banyaknya sumber yang tersedia dalam mempersiapkan seleksi Guru ASN PPPK.

Mari kita tingkatkan terus kemampuan dan profesionalisme dalam mewujudkan pelajar Pancasila.

Jakarta, Februari 2021

Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan,

(5)

Kata Pengantar

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas selesainya Modul Belajar Mandiri bagi Calon Guru Aparatur Sipil Negara (ASN) Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK) untuk 25 Bidang Studi (berjumlah 39 Modul). Modul ini merupakan salah satu bahan belajar mandiri yang dapat digunakan oleh calon guru ASN PPPK dan bukan bahan belajar yang utama.

Seleksi Guru ASN PPPK adalah upaya menyediakan kesempatan yang adil untuk guru-guru honorer yang kompeten dan profesional yang memiliki peran sangat penting sebagai kunci keberhasilan belajar peserta didik. Guru profesional adalah guru yang kompeten membangun proses pembelajaran yang baik sehingga dapat menghasilkan pendidikan yang berkualitas dan berkarakter Pancasila yang prima.

Sebagai salah satu upaya untuk mendukung keberhasilan seleksi guru ASN PPPK, Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Dasar pada tahun 2021 mengembangkan dan mengkurasi modul Pendidikan Profesi Gur u ( PPG) , Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), Peningkatan Kompetensi Pembelajaran (PKP), dan bahan lainnya yang relevan sebagai salah satu bahan belajar mandiri.

Modul Belajar Mandiri bagi Calon Guru ASN PPPK ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan bacaan (bukan bacaan utama) untu k dapat meningkatkan pemahaman tentang kompetensi pedagogik dan profesional sesuai dengan bidang studinya masing-masing.

Terima kasih dan penghargaan yang tinggi disampaikan kepada pimpinan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidik an (PPPPTK) yang telah mengijinkan stafnya dalam menyelesaikan Modul Belajar Mandiri bagi Calon Guru ASN PPPK. Tidak lupa saya juga sampaikan terima kasih kepada para widyaiswara dan Pengembang Teknologi Pembelajaran (PTP) di dalam penyusunan modul ini.

(6)

Semoga Modul Belajar Mandiri bagi Calon Guru ASN PPPK dapat memberikan dan mengingatkan pemahaman dan keterampilan sesuai dengan bidang studinya masing-masing.

Jakarta, Februari 2021 Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Dasar,

Dr. Drs. Rachmadi Widdiharto, M.A. NIP. 196805211995121002

(7)

Daftar Isi

Hlm.

Kata Sambutan ...iii

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ...vii

Daftar Gambar ... x

Daftar Tabel ...xi

Pendahuluan... 1

A. Deskripsi Singkat... 1

B. Peta Kompetensi ... 2

C. Ruang Lingkup ... 5

D. Petunjuk Belajar ... 6

Pembelajaran 1. Konsep Dasar Pendidikan Khusus ... 9

A. Kompetensi ... 9

B. Indikator Pencapaian Kompetensi... 9

C. Uraian Materi ... 9

1. Sejarah Pendidikan Khusus ... 9

2. Pendidikan Segregasi ... 22

3. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus ... 34

D. Rangkuman... 38

Pembelajaran 2. Anak dengan Hambatan Penglihatan ... 41

A. Kompetensi ... 41

B. Indikator Pencapaian Kompetensi... 41

C. Uraian Materi ... 41

1. Pengertian Anak dengan Hambatan Penglihatan ... 41

2. Penyebab ketunanetraan ... 42

3. Karakteristik Anak Dengan Hambatan Penglihatan ... 45

4. Klasifikasi Hambatan Penglihatan ... 49

5. Identifikasi dan Asesmen Anak Dengan Hambatan Penglihatan... 51

6. Dampak anak dengan Hambatan Penglihatan pada Fungsi Kognitif .. 55

7. Progsus Bagi Anak dengan Hambatan Penglihatan ... 56

(8)

Pembelajaran 3. Anak dengan Hambatan Pendengaran ... 60

A. Kompetensi ... 60

B. Indikator Pencapaian Kompetensi... 60

C. Uraian Materi ... 61

1. Pengertian Ketunarunguan... 61

2. Penyebab Ketunarunguan... 62

3. Karakteristik Peserta Didik Tunarungu/Hambatan Pendengaran ... 64

4. Klasifikasi Tunarungu ... 65

5. Identifikasi dan Asesmen Anak Dengan Hambatan Pendengaran .... 67

6. Dampak ketunarunguan/hambatan pendengaran terhadap perkembangan bahasa dan komunikasi, kognisi, psikologis, se rta sosial emosi... 70

7. Progsus Bagi Anak dengan Hambatan Penglihatan ... 72

D. Rangkuman... 73

Pembelajaran 4. Anak dengan Hambatan Intelektual ... 75

A. Kompetensi ... 75

B. Indikator Pencapaian Kompetensi... 75

C. Uraian Materi ... 75

1. Pengertian anak dengan hambatan Intelektual ... 75

2. Faktor Penyebab anak dengan hambatan intelektual ... 77

3. Karakteristik anak dengan hambatan intelektual ... 78

4. Klasifikasi anak dengan hambatan intelektual ... 80

5. Identifikasi dan Assesment Hambatan Intelektual dan Lambat Belajar 83 6. Dampak Hambatan Intelektual dan lambat belajar ... 86

7. Progsus Bagi Anak dengan Hambatan Intelektual... 88

D. Rangkuman... 89

Pembelajaran 5. Anak dengan Hambatan Motorik ... 91

A. Kompetensi ... 91

B. Indikator Pencapaian Kompetensi... 91

C. Uraian Materi ... 91

1. Pengertian Hambatan Anak dengan Hambatan Motorik ... 91

2. Faktor Penyebab Anak Dengan Hambatan Motorik... 94

(9)

4. Klasifikasi Anak Dengan Hambatan Motorik... 98

5. Identifikasi dan asesmen Hambatan Motorik ... 112

6. Dampak Hambatan Anak Dengan Hambatan Motorik ... 122

7. Progsus Bagi Anak dengan Hambatan Motorik ... 124

D. Rangkuman... 125

Pembelajaran 6. Anak dengan Autisme ... 128

A. Kompetensi ... 128

B. Indikator Pencapaian Kompetensi... 128

C. Uraian Materi ... 129

1. Pengertian anak dengan Autisme ... 129

2. Penyebab anak dengan autisme ... 131

3. Karakteristik anak dengan autisme ... 132

4. Klasifikasi anak dengan autisme... 135

5. Identifikasi dan Asesmen Autisme pada Individu... 138

6. Dampak Autisme terhadap Perkembangan Belajar ... 141

7. Progsus Bagi Anak dengan Autisme... 142

D. Rangkuman... 143

Pembelajaran 7. Anak dengan Kesulitan Belajar Spesifik ... 145

A. Kompetensi ... 145

B. Indikator Pencapaian Kompetensi... 145

C. Uraian Materi ... 145

1. Pengertian Anak dengan Kesulitan Belajar ... 145

2. Penyebab anak dengan Kesulitan Belajar... 147

3. Karakteristik Anak dengan Kesulitan Belajar Spesifik ... 148

4. Klasifikasi Anak dengan Kesulitan Belajar ... 149

5. Identifikasi dan Asesmen Kesulitan Belajar pada Individu ... 149

6. Dampak Kesulitan Belajar terhadap Perkembangan Individu dan Kebutuhan Khususnya dalam Pendidikan... 151

D. Rangkuman... 151

Penutup ... 154

(10)

Daftar Gambar

Hlm Gambar 1 Alur Pembelajaran Bahan Belajar Mandiri ... 6 Gambar 2 Identifikasi Hambatan Intelektual ... 85 Gambar 3 Informasi yang dibutuhkan dalam Assesment ... 86

(11)

Daftar Tabel

Hlm.

Tabel 1. Target Kompetensi Guru P3K... 2

Tabel 2. Peta Kompetensi Bahan Belajar Bidang Studi Pendidikan Luar Biasa ... 2

Tabel 3. Sekolah, tendik, rombel dari SLB di Indonesia ... 25

Tabel 4. Sebaran jumlah sekolah luar biasa berdasarkan Dapodikdasmen Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2019 -2020 ... 26

Tabel 5. Klasifikasi tunarungu/hambatan pendengaran berdasarkan tingkatan derajat pendengaran ... 66

Tabel 6. Klasifikasi Tunagrahita dari berbagai Sudut Pandang ... 81

Tabel 7. Klasifikasi autisme menurut ICD 10 dan DSM IV ... 135

(12)
(13)

Pendahuluan

A. Deskripsi Singkat

Dalam rangka memudahkan guru mempelajarinya bahan belajar mandiri calon guru P3K, di dalam bahan belajar ini dimuat pada model kompetensi terkait yang memuat target kompetensi guru dan indikator pencapaian kompetensi.

Modul belajar mandiri bidang studi PLB berisi pembelajaran - pembelajaran bagi calon guru P3K yang yang terdiri dari,

• Pembelajaran 1. Konsep Dasar Pendidikan Khusus • Pembelajaran 2. Anak dengan Hambatan Penglihatan • Pembelajaran 3. Anak dengan Hambatan Pendengaran • Pembelajaran 4. Anak dengan Hambatan Intelektual • Pembelajaran 5. Anak dengan Hambatan Motorik • Pembelajaran 6. Anak dengan Autisme

• Pembelajaran 7. Anak dengan Kesulitan Belajar Spesifik

Komponen-komponen di dalam modul belajar mandiri ini dikembangkan dari beberapa modul yang telah dikembangkan oleh Dirjen GTK diantaranya Modul Pendidikan profesi Guru (PPG) dan Modul Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) serta referensi lainnya dengan tujuan agar calon gu ru P3K dapat dengan mudah memahami teori dan konsep Bidang Studi PLB dari pembelajaran pada setiap materi materi dan substansi materi yang disajikan.

Modul belajar mandiri calon guru P3K diberikan latihan -lathan soal dan kasus beserta pembelahasan yang bertujuan memberikan pengalaman dalam meningkatan pengetahuan dan keterampilan calon guru P3K.

Rangkuman pembelajaran selalu diberikan disetiap akhir pembelajaran yang berfungsi untuk memudahkan dalam membaca substansi materi esensial, mudah

(14)

dalam mengingat pembelajaran dan matari-materi esensial, mudah dalam memahami pembelajaran dan matari-materi esensial, dan cepat dalam mengingat kembali pembelajaran dan matari-materi esensial

B. Peta Kompetensi

Peta komptensi dari model kompetensi hingga ke indikator pendac apain komptensi

Bahan belajar mandiri ini dikembangkan berdasarkan model kompetensi guru. Kompetensi tersebut dapat dijabarkan menjadi beberapa indikator. Target kompetensi menjadi patokan penguasaan kompetensi oleh guru P3K.

Kategori Penguasaan Pengetahuan Profesional yang terdapat pada dokumen model kompetensi yang akan dicapai oleh guru P3K ini dapat dilihat pada T abel 1.

Tabel 1. Target Kompetensi Guru P3K

KOMPETENSI INDIKATOR

Menganalisis struktur & alur pengetahuan untuk pembelajaran

1.1.1 Menganalisis struktur & alur pengetahuan untuk pembelajaran

1.1.2 Menganalisis prasyarat untuk menguasai konsep dari suatu disiplin ilmu

1.1.3.Menjelaskan keterkaitan suatu konsep dengan konsep yang lain

Untuk menterjemahkan model kompetensi guru, maka dijabarkanlah target komptensi guru bidang studi yang terangkum dalam pembelajaran -pembelajaran dan disajikan dalam bahan belajar mandiri bidang studi PLB. Komptensi guru bidang studi PLB dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Peta Kompetensi Bahan Belajar Bidang Studi Pendidikan Luar Biasa

KOMPETENSI GURU INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPTENSI Pembelajaran 1. Konsep Dasar Pendidikan Khusus

Menganalisis Konsep Dasar Pendidikan Khusus

1. Menjelaskan Sejarah perkembangan Pendidikan Khusus

2. Mendeskripsikan Pendidikan Segregasi 3. Mendeskripsikan Karakteristik anak

(15)

Pembelajaran 2. Anak dengan Hambatan Penglihatan

Menganalisis Anak dengan Hambatan Penglihatan

1. mendeskripsikan pengertian anak dengan hambatan penglihatan;

2. mendeskripsikan penyebab ketunanetraan;

3. mendeskripsikan karakteristik anak dengan hambatan penglihatan; 4. mengklasifikasikan anak dengan

hambatan penglihatan;

5. menjelaskan identifikasi dan asesmen anak dengan hambatan penglihatan; 6. mendeskripsikan dampak anak dengan

Hambatan Penglihatan pada Fungsi Kognitif.

7. menjelaskan progsus anak dengan hambatan penglihatan.

Pembelajaran 3. Anak dengan Hambatan Pendengaran

Menganalisis Anak dengan Hambatan Pendengaran 1. mendeskripsikan pengertian ketunarunguan; 2. mendeskripsikan penyebab ketunarunguan; 3. mendeskripsikan karakteristik ketunarunguan;

4. mengklasifikasikan anak ketunarunguan; 5. menjelaskan identifikasi dan asesmen

ketunarunguan;

6. mendeskripsikan dampak

ketunarunguan/hambatan pendengaran terhadap perkembangan bahasa dan komunikasi, kognisi, psikologis, serta sosial emosi anak dengan Hambatan Penglihatan pada Fungsi Kognitif. 7. menjelaskan progsus anak dengan

hambatan pendengaran. Pembelajaran 4. Anak dengan Hambatan Intelektual

(16)

Menganalisis Anak dengan Hambatan Intelektual

1. mendeskripsikan pengertian anak dengan hambatan intelektual;

2. mendeskripsikan penyebab hambatan intelektual;

3. mendeskripsikan karakteristik anak dengan hambatan intelektual; 4. mengklasifikasikan anak dengan

hambatan intelektual;

5. menjelaskan identifikasi dan asesmen anak dengan hambatan intelektual; 6. mendeskripsikan dampak anak dengan

hambatan intelektual.

7. menjelaskan progsus anak dengan hambatan intelektual.

Pembelajaran 5. Anak dengan Hambatan Motorik

Menganalisis Anak dengan Hambatan Motorik

1. mendeskripsikan pengertian anak dengan hambatan motorik;

2. mendeskripsikan penyebab anak dengan hambatan motorik;

3. mendeskripsikan karakteristik anak dengan hambatan motorik

4. mengklasifikasikan anak dengan hambatan motorik;

5. menjelaskan identifikasi dan asesmen anak dengan hambatan motorik; 6. mendeskripsikan dampak anak dengan

hambatan motorik.

7. menjelaskan progsus anak dengan hambatan motorik.

Pembelajaran 6. Anak dengan Autisme

Menganalisis Anak dengan Autisme

1. mendeskripsikan pengertian anak dengan autisme;

2. mendeskripsikan penyebab anak dengan autisme;

(17)

dengan autisme

4. mengklasifikasikan anak dengan autisme; 5. menjelaskan identifikasi dan asesmen

anak dengan autisme;

6. mendeskripsikan dampak anak dengan autisme.

7. menjelaskan progsus anak dengan autisme.

Pembelajaran 7. Anak dengan Kesulitan Belajar Spesifik

Menganalisis Anak dengan Kesulitan Belajar Spesifik

1. mendeskripsikan pengertian anak dengan kesulitan belajar spesifik;

2. mendeskripsikan penyebab anak dengan keslitan belajar spesifik;

3. mendeskripsikan karakteristik anak dengan kesulitan belajar;

4. mengklasifikasikan anak dengan kesulitan belajar spesifik;

5. menjelaskan identifikasi dan asesmen anak dengan anak kesulitan belajar spesifik;

6. mendeskripsikan dampak anak dengan kesulitan belajar spesifik.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup materi pada Modul belajar mandiri calon guru P3K ini disusun dalam dua bagian besar, bagian pertama adalah pendahuluan dan bagian berikutnya adalah pembelajaran – pembelajaran.

Bagian Pendahuluan berisi deskripsi singkat, Peta Kompetensi yang diharapkan dicapai setelah pembelajaran, Ruang Lingkup, dan Petunjuk Belajar. Bagian Pembelajaran terdiri dari empat bagian, yaitu bagian Kompetensi, Indikator Pencapaian Kompetensi, Uraian Materi dan Rangkuman. Bahan belajar mandir i diakhiri dengan Penutup dan Daftar Pustaka,

(18)

Rincian materi pada bahan belajar mandiri bagi calon guru P3K adalah substansi materi esensial terkait Konsep Dasar Pendidikan Khusus, Anak dengan Hambatan Penglihatan, Anak dengan Hambatan Pendengaran, Anak dengan Hambatan Intelektual, Anak dengan Hambatan Motorik dan Pendidikan dengan Autisme serta Anak dengan Kesulitan Belajar Spesifik. Modul ini mengacu pada modul Profesional PPG Tahun 2019 dan Modul PKB Bagi Guru Tahun 2018.

D. Petunjuk Belajar

Secara umum, cara penggunaan modul belajar mandiri bagi calon guru P3K pada setiap Pembelajaran disesuaikan dengan skenario setiap penyajian susbstansi materi bidang studi. Bahan belajar mandiri ini dapat digunakan dalam kegiatan peningkatan komptensi guru bidang studi, baik melalui untuk moda mandiri, maupun moda daring yang menggunakan konsep pembelajaran Bersama dalam komunitas pembelajaran secara daring.

Gambar 1 Alur Pembelajaran Bahan Belajar Mandiri

Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa akses ke modul belajar mandiri dapat melalui SIMPB, dimana bahan belajar mandir akan didapat secara mudah dan dipalejari secara mandiri oleh calon Guru P3K. Bahan belajar mandiri dapat di unduh dan dipelajari secara mandir, system LMS akan memberikan perangkat ajar lainnya dan latihan-latihan soal yang dimungkinkan para guru untuk berlatih.

(19)

Sisten dikembangkan secara sederhana, mudah, dan ringan sehingga user

friendly dengan memanfaatkan komunitas pembelajaran secara daring , sehingga

segala permasalahan yang muncul dalam proses pembelajaran mandiri dapat di selesaikan secara komunitas, karena konsep dari bahan belajar ini tidak ada pendampingan narasumber/instruktur/fasilitator sehingga komunitas pembelajaran menjadi hal yang sangat membantu guru.

(20)
(21)

P

embelajaran 1. Konsep Dasar Pendidikan Khusus

Sumber Utama : Indra Jaya, M.Pd. dan Dr. Indina Tarjiah, M.Pd 2019.

Modul

PPG Progam Studi PLB

. Kemendikbud.

A. Kompetensi

Penjabaran model kompetensi yang selanjutnya dikembangkan pada kompetensi guru bidang studi yang lebih spesifik pada pembelajaran 1. Konsep dasar Pendidikan Khusus, ada beberapa kompetensi guru bidang studi yang akan dicapai pada pembelajaran ini, adalah guru P3K mampu:

1. menganalisis Sejarah perkembangan Pendidikan khusus 2. menganalisis Pendidikan Segregasi

3. menganisis karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus

B. Indikator Pencapaian Kompetensi

Setelah mempelajari materi pokok 1 tentang konsep dasar ABK, diharapkan Anda mampu:

1. Menjelaskan Sejarah Pendidikan Khusus 2. Mendeskripsikan Pendidikan Segregasi

3. Mendeskripsikan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

C. Uraian M ateri

1. Sejarah Pendidikan Khusus

Masih ingatkah Anda, bagaimana perkembangan sejarah layanan pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus?

Perkembangan sejarah pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang disebut Pendidikan Luar Biasa (sebagai terjemahan dari Special Education), selama

(22)

beberapa dekade telah mengalami banyak perubahan. Perubahan itu dipengaruhi oleh sikap dan kesadaran masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus dan pendidikanya, metodologi dan perubahan konsep yang digunakan.

Sejarah layanan pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus dapat dibagi menjadi tiga masa atau periode.

1) Masa Peradaban Kuno

Pada masyarakat timur, meskipun filsafat dan kepercayaan yang berlaku mengajarkan mereka untuk menghargai sesama, dalam praktiknya, ajaran ini tidak berlaku bagi penyandang cacat (Lynch (Ian Lewis, 1988). Masyarakat Mesir kuno menganggap tabu untuk membunuh bayi, tetapi bayi yan g lahir cacat ternyata dibunuh. Masyarakat Babilonia menerapkan hukum Hamurabi pada tahun 2.500 SM yang melindungi wanita dan anak-anak, tetapi tidak ada petunjuk bahwa penyandang cacat termasuk di dalamnya. Agama -agama besar di dunia muncul pertama kali pada masyarakat timur, ajaran agama-agama tersebut menganjurkan kepedulian dan kasih sayang bagi umat yang kurang beruntung. Tetapi dalam praktiknya, kecacatan sering dianggap sebagai akibat dari dosa. Kecacatan hanya dapat ditangani melalui keyakinan dan i man, dan jika tidak dapat disembuhkan, penyandang cacat masih dianggap dirasuki roh jahat dan belum mempunyai iman yang kuat. Ini terjadi pada abad -abad permulaanMasyarakat Yunani, Romawi, dan Sparta mengagungkan kebugar an jasmani, kekuatan, kecerdasan, kegagahan, kecantikan, dan keberanian. Hal ini mendorong tindakan pembinasaan penyandang cacat, karena dianggap menjadi kendala dalam pembentukan bangsa yang lebih kuat dan sempurna (Schreerenberger, 1982). Di Sparta, ada dewan yang bertugas memeriksa bayi yang lahir. Jika ditemukan tanda-tanda kecacatan, bayi dilemparkan ke jurang yang dalam atau dibiarkan mati di huntan belantara. Pada masyarakat Yunani dan Romawi juga banyak ditemukan orang buta, karena pembutaan ternyata merupakan salah satu hukuman bagi narapidana. Pada masa ini, sebenarnya terjadi kemajuan luar biasa dalam bidang hukum, dan tarnpaknya para pemikirlah yang mendorong praktik-praktik perlakuan negatif terhadap

(23)

penyandang cacat. Penyandang cacat dianggap sebagai penjahat, dan banyak juga penyandang cacat mental yang dijadikan hiburan/pelawak pada keluarga kaya yang dianggap sebagai pelopor pelayanan sosial bagi penyandang cacat adalah sistem bentuan sosial di Athena yang diberlakukan oleh tokoh pembaharu, Solon, yang hidup antara 639-559 SM. Sistem ini mula-mula disediakan bagi para prajurit yang cacat karena oerang, tetapi jangkauannya kemudian diperluas bagi penyandang cacat lain, termasuk anak -anak. Pelayanan yang diberikan terbatas pada pemberian makanan, pakaian, dan tempat tinggal (Lynch dan Lewis, 1988).

2) Masa Abad Pertengahan

Abad pertengahan merupakan abad yang menyedihkan bagi penyandang cacat, meskipun hak untuk hidup dsudah diakui oleh masyarakat. Banyak penyandang cacat yang menjadi peminta-minta atau pengamen, baik secara perorangan atau secara berkelompok. Banyak di antara mereka yang sebenarnya pemusik yang hebat, tetapi profesi mereka lebih disebabkan oleh kecacatannya daripada bakat musiknya (Lowenfeld, 1975).

Pada masa Renaissance, juga banyak penyandang cacat mental, gangguan emosi, cacat fisik, atau epilepsi yang dijadikan penghibur / pelawak oleh raja. Ada lagi yang dipelihara oleh ilmuwan sebagai peramal atau pemberi petunjuk. Isyarat atau katakata penyandang cacat dianggap dapat memberi petunjuk tentang alam, seperti bintang, bulan, matahari dan sebagainya.

Masa yang paling menyedihkan bagi penyandang cacat adalah masa Reformasi yang lebih menekankan pada peran agama dan ilmu gaib (Kanner, 1964). Lambatnya reaksi penyandang cacat mental, kejangnya penderita epilepsi, atau diamnya penyandang tuna wicara dianggap sebagai tanda-tanda kesurupan roh halus. Mereka dianggap bukan (berjiwa) manusia, oleh karenanya tidak ber hak menikmati kesejahteraan seperti halnya manusia normal.

(24)

Bertolak belakang dengan gambaran di atas, tampaknya , mulai ada upaya memperbaiki kehidupan para penyandang cacat pada akhir abad per tengahan (Lowenfeld, 1975; Moores, 1978). Juan Luis Nives, seorang humanis dan pembaharu berkebangasaan Spanyol yang hidup antara tahun 1492 -1540, secara persuasif menulis tentang jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh para tuna netra. Pada tahun 1620, juga di Spanyol, Juan Bonet menerbitkan buku pertama tentang pendidikan bagi anak tuna rungu. Pada waktu yang hampir bersamaan, George Philip Harsdofler (Jerman) dan Fransesco Lane-Terri (Italia) mengembangkan cara membuat huruf sehingga dapat dibaca oleh para tuna netra, yaitu dengan menggunakan lilin atau mengganti alfabet dengan titik dan sudut.

3) Masa Abad ke-18 sampai Abad 20

Abad XVIII ditandai dengan perluasan bentuk pelayanan sosial bagi penyandang cacat dari upaya perawatan menjadi layanan pendidikan. Meskipun telah adabeberapa upaya mendidik penyandang cacat sejak abad XVI, pendidikan formal bagi ALB baru muncul pertama kali pada abad XVIII (Irvine, 1988). Berikut akan– diuraikan perkembangan layanan pendidikan bagi setiap jenis kecacatan berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh Irvine.

a) Pendidikan bagi Anak Tuna Rungu

Pada tahun 1555, seorang pendeta berkebangsaan Spanyol bernama Pedro Ponce de Leon mencoba mengajar membaca, menulis, berbicara, berhitung, dan menguasaai sejumlah mata pelajaran akademik kepada sekelompok anak tuli. Rintisan ini kemudian diikuti dengan penerbitan beberapa buku tentang pendidikan untuk anak tuli oleh Juan Pablo Bonet (Spanyol) pada tahun 1620 , berisi tentang berbagai metode yang dikembangkan dari rintisan de Leon; John Buwler (Inggris) pada tahun 1644; dan George Dalgarno (Inggris) pada tahun 1680 berjudul Didasopholus: The Deaf and Dumb Man’s Tutor. Yang disebutkan terakhir ini dianggap sebagai buku rintisan yang paling berpengaruh, berisi gar is besar metode pembelajaran yang sampai sekarang secara luas dipakai oleh para

(25)

pendidik, dengan penekanan bahwa penyandang tuna rungu mempunyai kapasitas belajar sama dengan mereka yang dapat mendengar.

Sekolah formal bagi anak tuna rungu yang pertama di Inggris didirikan oleh Thomas Braidwood di Eidenburgh pada tahun 1767. Metode mengajar yang dipakai merupakan gabungan antara oral dan manual, yang berarti bahwa kecuali belajar bahasa isyarat, para murid juga belajar abjad biasa dan artikulasi. Sekolah ini memang berhasil, dan pada tahun 1783, sekolah ini pindah ke Hackney, sebuah kota kecil dekat London, untuk dapat menampung lebih banyak murid dari kota London. Tidak lama kemudian, Joseph Watson, kemena kan dan asisten Braidwood, mendirikan sekolah bagi anak tuna rungu dari keluarga miskin yang pertama di Inggris, terletak di kota London.

Pada waktu yang hampir bersamaan, Samuel Heinche (Jerman) mengembangkan metode pembelajaran yang sepenuhnya oral, mene kankan pengembangan kemampuan berbicara dan membaca bibir. Metode ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Friedrich Moritz Hill yang kemudian dipakai di seluruh dunia.

Di Perancis, Abbe Charles Michel de 1’Epee dan Abbe RochAmbroise Sicard mengembangkan bahasa isyarat modern. Sistem pembelajaran menggunakan gagasan Jacob Pereire yang menekankan penggunaan isyarat dan alfabet biasa untuk berkomunikasi dan pelatihan indra penglihatan dan peraba. Ide inilah yang dianggap sebagai perintis pelatihan indera sebagai bagian tak terpisahkan dalam PLB.

Pendidikan bagi anak tuna rungu di Amerika Serikat bermula dari dikirimnya Thomas Hopkins Gallaudet untuk belajar pada Sicard di Perancis. Sekembali ke Amerika Serikat, bersama dengan seorang Perancis yang lain, yaitu Laurent Clerc, mereka mendirikan sekolah bagi anak tuna rungu yang pertama. Sejak itu, sekolah sejenis banyak bermunculan di negara tersebut, dan sebagai puncaknya adalah berdirinya satu perguruan tinggi khusus bagi penyandang tuna rungu pada tahun 1864, yang sekarang bernama Gallaudet University di kota

(26)

Washington, yang mungkin merupakan satu-satunya di dunia. Pada perkembangan selanjutnya, kelas khusus bagi anak tuna rungu juga banyak dibuka, dipelopori di Boston pada tahun 1869. Beberapa nama terkenal kemudian bermunculan di Amerika Serikat karena sumbangannya terhadap perkembangan layanan pendidikan bagi anak tuna rungu, antara lain Alexander Graham Bell (penemu telepon dan tokoh pendidikan bagi anak tuna r ungu) dan Hellen Keller (penyandang tuna netra dan tuna rungu yang mengangkat eksistensi pendidikan bagi penyandang cacat).

Di samping kemajuan luar biasa dalam pendidikan bagi anak tuna rungu, satu hal yang sampai sekarang belum disepakati adalah apakah menggunakan sistem oral, manual, atau gabungan. Masih terdapat ketidaksepakatan di antara para pakar tentang tingkat keefektifan dari setiap sistem

b) Pendidikan bagi Anak Tuna Netra.

Sekolah bagi anak tuna netra yang pertama didirikan di Perancis pada tahun 1784 oleh Valentine Hauy,seorang dermawan. Sekoiah ini juga menerima mur id yang awas, dengan tujuan untuk tidak mengisolasikan anak tuna netra. Keberhasilan Hauy ini mendorong dibukanya banyak sekolah sejenis di Eropa.

Sekolah sejenis di Amerika Serikat didirikan pada tahun 1829 oleh Samuel Gridley Howe, bernama the Perkins School for the Blind di kota Watertown Massachusetts. Rintisan ini kemudian diikuti oleh pendirian sekolah -sekolah sejenis di berbagai negara bagian, dan sampai dengan akhir abad XIX, sekolah berasrama merupakan satu-satunya sistem layanan pendidikan bagi anak tuna netra. Perkembangan baru terjadi pada awal XX dengan dibukanya kelas -kelas khusus bagi anak tuna netra di sekolah umum, dipelopori di Chicago pada tahun 1900.

Satu hal penting yang sangat berkaitan dengan layanan pendidika n bagi anak tuna netra adalah perkembangan sistem baca-tulis. Hauy mengembangkan

(27)

sistem huruf timbul untuk dibaca dengan menggunakan jari. Dengan sistem ini, Hauy menerbitkan buku-buku bagi anak tuna netra. Tetapi, huruf timbul ternyata sangat sulit untuk dibaca, dan Louis Barille-lah, seorang tuna netra sejak lahir yang menjadi salah seorang murid Hauy, yang kemudian mengembangkan sistem bacatulis yang sekarang dipakai di seluruh dunia. Sampai bertahun-tahun, buku-buku braile harus ditulis dengan tangan. Adalah Frank H. Hall yang berjasa mengembangkan mesin ketik huruf braile pada tahun 1892 dan sistem percetakan dengan huruf braile pada tahun 1893.

c) Pendidikan bagi Anak Tuna Grahita

Pendidikan bagi anak tuna grahita bermula dari upaya seorang dokter berkebangasaan Perancis bernama Jean Marc Garpart Itard untuk mendidik seorang anak berusia 11 tahun yang ditemukan di hutan. Ini tei jadi pada abad XVIII. Usaha Itard ini tidak sepenuhnya berhasil, karena anak tersebut ternyata menyandang cacat mental. Metode yang dipakai kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul The Wild Boy of Aveyron yang terbit pada tahun 1801. Metode tersebut sampai sekarang menjadi dasar pembelajaran anak cacat mental, setelah diterjemahkan secara rinci oleh muridnya yang bernama Edo uard Sequin dan terbit dalam sebuah buku ber j udul Idiocy and Its Treadment by the

Physiological Method pada tahun 1866. Beberapa konsep penting yang diuraikan

dalam kedua buku tersebut antara lain:

a. pendidikan anak secara utuh,

b. pembelajaran secara individual,

c. mulai pembelajaran sesuai dengan tingkat kemampuan

anak, dan

d. hubungan dekat antara murid dan guru.

Pada abad XX, konsep-konsep ini dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh pendidik berkebangsaan Italia, Maria Montessori, yang menekankan pada pelatihan semua syaraf / indera. Ovide Dcroly (Belgia) mengembangkan kurikulum yang efektif bagi anak tuna grahita dan mendirikan sekolah yang kemudian menjadi

(28)

model di seluruh Eropa. Konsep yang berasal dari Itard dan Sequin tersebut sekaramg juga banyak diterapkan dalam sistem pembelajaran modern.

Di Amerika Serikat, sekolah khusus bagi anak tuna grahita yang pertama didirikan pada tahun 1848 oleh Hervey Backus Wilbur di Barre Massachusetts; sedangkan kelas khusus bag] anak tuna grahita di sekolah umum yang per tama dibuka pada tahun 1896 di Providence, Rhode Island. Di Jerman, kelas khusus serupa dibuka pertama kali pada tahun 1859, yang kemudian disusul dengan beberapa sekolah lagi di seluruh Eropa.

Satu titik tolak yang kemudian memberi warna pada perkembangan layan an pendidikan bagi anak cacat mental terjadi juga pada awal abad XX, tepatnya tahun 1905, dengan dikembangkannya tes intelegensi oleh Alfred Binet yang bekerja di sekolah di Paris. Temuan ini memberikan sumbangan sangat besar sehingga penentuan cacat mental dapat dilakukan secara obyektif.

d) Pendidikan bagi Anak Tuna Laras

Penelesuran perkembangan layanan pendidikan bagi anak tuna lar as mungkin termasuk yang paling sulit. Ada beberapa penyebabm antara lain:

a. kurangnya ketepatan (precision) dalam mengklasifikasi jenis kelainannya b. kesulitan dalam mendiagnosis, dan

c. kecenderungan menempatkan anak-anak ini dengan jenis kecacatan lain.

Di Amerika Serikat, sekolah klrusus bagi anak-anak ini memang jarang ditemukan. Kategori gangguan emosi atau gangguan perilaku sendi ri baru dikenal pada akhir abad XIX, itupun oleh ilmu kedokteran jiwa dianggap sebagai bagian dari gangguan mental. Pada akhir abad XIX, beberapa sekolah umum mulai mengembangkan program bagi anak tuna laras, misalnya di New Haven pada tahun 1871 dan di New York pada tahun 1874.

(29)

Penelitian terhadap penyandang gangguan emosi tingkat berat baru dimulai pada tahun 1930-an, dan pada awalnya sekolah menolak tanggung jawab atas pendidikan anak-anak ini. Tetapi dengan berkembangnya ilmu kedokteran jiwa sebagai cabang ilmu tersendiri, dunia pendidikan mulai mengembangkan program intervensi bagi anak tuna laras berdasarkan hasil diagnosa dan rekomendasi psikiatris.

e) Pendidikan bagi Anak Tuna Daksa

Sama seperti halnya yang terjadi dengan tuna laras, layanan pendidikan khusus bagi anak tuna daksa memang termasuk langka. Salah satu sebabnya adalah bahwa anak-anak tuna daksa sebenarnya tidak memerlukan layanan pendidikan tersendiri, yang diperlukan adalah layanan kesehatan atau bantuan mobilitas. Namun demikian, ada beberapa sekolah yang membuka kelas khusus bagi anak tuna daksa, sperti di Chicago pada tahun 1899, di Providence pada tahun 1908, dan di Baltimore pada tahun 1909. Jika sekarang ada sekolah khusus, sekolah -sekolah ini hanya menampung anak-anak yang menyandang tuna ganda yang tidak mungkin sama sekali berada di sekolah biasa, seperti anak-anak celebr al palsy.

Dari gambaran singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk pendidikan bagi penyandang cacat yang paling tua adalah sekolah khusus sepanjang hari (institution). Tetapi menjelang berakhirnya abad XIX, bentuk kelas khusus tampaknya lebih banyak dibuka. Pemisahan secara penuh anak cacat dari anak normal mulai dipertanyakan.

Pada pertengahan abad XX, ada dua isu pokok yang berkaitan dengan PLB, yaitu isu mengenai penggunaan label dan isu tentang pendidikan terpisah (kelas khusus atau sekolah khusus) bagi anak cacat.

Seperti dikemukakan oleh Marozas dan May (1988), penggunaan label bagi anak cacat seperti tuna netra, tuna rungu, tuna grahita dsb, memang memper mud ah

(30)

komunikasi antar tenaga profesi, berguna dalam mencari dana, dan mendorong toleransi atas kekurangan yang disandang oleh penyandang cacat. Di lain pihak, penggunaan label membawa dampak negatif pada anak (stigma, stereotipe), menimbulkan anggapan bahwa penyandang jenis kecacatan yang sama mempunyai karakteristik yang sama pula, banyak anak yang tidak dapat dimasukkan secara tepat dalam salah satu kategori, dan tidak menggambar kan secara tepat kebutuhan akan layanan khusus setiap individu. Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah ini adalah dengan tidak menggunakan label, tetapi cukup dengan deskripsi tentang kelemahan dan kelebihan anak. Daripada mengatakan Anto tuna grahita, misalnya, lebih positif dikatakan Anto dapat

menghitung sampai dengan 10, tetapi belum mampu menggunakan kamar mandi sendiri.

Isu kedua adalah pendidikan terpisah bagi anak cacat. Berdasarkan hasil penelitian, pemisahan anak cacat (terutama anak-anak bermasalah belajar ringan dan sedang) dari temannya yang normal tidak membawa da mpak positif, baik secara akademik maupun sosial. Anak cacat perlu diberi kesempatan berinteraksi dengan teman temannya yang normal, karena kelak mereka juga akan tinggal dalam masyarakat normal, tidak membentuk masyarakat khusus bagi penyandang cacat. Di samping itu, secara ekonomis, pendidikan terpisah jauh lebih mahal daripada pendidikan terpadu. Akhirnya, kemajuan bidang teknologi kependidikan telah memungkinkan guru menangani kelas yang heterogen.

Untuk mengatasi kedua masalah tersebut di atas, konsep mainstreaming yang berkembang sejak tahun 1960-an dianggap sebagai gagasan yang tepat. Dengan konsep ini, ALB akan dapat memperoleh layanan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhan individualnya, kecuali kesempatan mengembangkan sikap sosial bersama teman-temannya yang normal. Dengan konsep ini, pendidikan luar biasa dipadukan dengan pendidikan umum, sehingga pendidikan semua anak menjadi tanggung jawab beberapa profesi terkait, seperti para gur u pendidikan luar biasa, guru kelas, psikolog, psikiater, guru BP, tenaga medis, pekerja sosial, ahli fisioterapi, ahli bina wicara dan lain-lain. Seor ang anak juga

(31)

mempunyai beberapa alternatif penempatan yang bersifat temporer, misalnya bimbingan khusus di kelas biasa, bimbingan khusus di luar kelas, kelas khu sus, sampai yang paling berat adalah institusi (sekolah berasrama). Di sinilah pentingnya program pengajaran individual bagi anak luar biasa, yang menggambarkan secara pasti kebutuhan khususnya, misalnya bimbingan sosial seminggu sekali, bina wicara dua kali seminggu, bimbingan khusus membaca dan menulis, atau fisioterapi setengah jam sehari. Bahkan, di negara yang mempunyai layanan PLB paling maju di dunia, seperti di negara -negara Skandinavia, sudah tidak ada lagi pemisahan antara anak norma l dengan anak luar biasa. Inilah yang dikenal dengan inclusion yang meungkinkan setiap anak memperoleh perlakuan secara individual. Konsep mainstreaming yang pertama kali muncul di negara-negara Skandinavia inilah yang tampaknya akan menjadi arah baru dalam PLB di dunia. (Reynolds dan Birch, 1988).

Bagaimana perkembangan pendidikan berkebutuhan khusus di Indonesia?

Perkembangan pendidikan berkebutuhan khusus di Indonesia dapat diklasifikasi menjadi masa sebelum merdeka, masa sampai dengan tahun 1984, dan ma sa sejak tahun 1984. Klasifikasi ini berdasarkan kenyataan bahwa sistem pendidikan nasional baru dikenal pada tahun 1945, meskipun sebelumnya telah ada upaya untuk mendidik anak luar biasa. Bentuk layanan PLB mengalami perubahan yang berarti pada tahun 1984, dengan dicanangkannya wajib belajar enam tahun.

a. Pendidikan Luar Biasa Sebelum Merdeka

Pendidikan luar biasa di Indonesia dapat ditelusuri sampai dengan awal abad XX. Atas inisiatif dr.Westhoff, pada tahun 1901 dibukalah satu lembaga untuk penyandang tuna netra yang pertama di Indonesia, bertempat di kota Bandung. Layanan yang diberikan kepada penyandang tuna netra, baik untuk anak - anak maupun dewasa, adalah penampungan dan latihan kerja dalam bentuk sheltered

workshop (bengkel kerja terbimbing). Modal utama dalam pendirian yayasan ini

(32)

Sekolah bagi anak tuna grahita yang pertama juga didirikan dikota Bandung pada tahun 1927. Pendiri sekolah ini adalah Vereniging Bijzonder Onderwijs dengan promotornya bernama Folker, sehingga sekolah ini diberi nama Folker School. Pada tahun 1942, nama sekolah ini diganti menjadi Perkumpulan Pengajaran Luar Biasa.

Kota Bandung tampaknya merupakan kota bersejarah bagi PLB di Indonesia. Kecuali kedua jenis layanan di atas yang pertama kali dib uka di Bandung, sekolah bagi anak tuna rungu-wicara yang pertama juga dibuka di Bandung pada tahun 1930, berdasarkan Surat keputusan Nomor 34 Tahun 1930 sebagai tambahan Berita Negara 1930-09. Pendiri sekolah ini adalah Ny.C.M.Roelfsema, isteri seorang dokter ahli THT, dan sekolah ini bernama Vereniging Voor

Ondervijs an Doofstomme Kinderen in Indonesia.

Pada saat yang hampir sama, sebuah sekolah khusus bagi anak tuna rungu -wicara putri didirikan di kota Wonosobo Jawa Tengah. Nama sekolah ini adalah

Werk Voor Misdeelde Kinderen in Nederlands host Indie yang pada tahun 1958

diubah menjadi Yayasan Dana Uphakara. Sedangkan bagi anak tuna rungu -wicara putra didirikan Bruder Karitae yang kernudian diganti menjadi Yayasan Karya Bahkti.

Sebuah sekolah bagi anak tuna netra kernudian didirikan di Temanggung atas inisiatif masyarakat. Dalam perkembangannya, yayasan Zending Protestan membantu membesarkan sekolah tersebut, bahkan juga dibuka layanan bagi anak tuna grahita.

Berbeda dengan perhatian terhadap anak tuna netr a, tuna rungu, atau tuna grahita, bagi anak-anak nakal belum diselengga-rakan sekolah khusus, meskipun sudah ada badan-badan seperti Pro Juventute di beberapa tempat. Badan ini bertugas menampung anak-anak nakal dan anak terlantar. Di penampungan, mereka memdapat layanan pendidikan dan pengajaran, meskipun yang disediakan bukan pendidikan khusus. Di Tangerang, anak-anak nakal eks nar a pidana dilatih dengan berbagai ketrampilan.

(33)

Pada masa penjajahan Jepang, lembaga-lembaga PLB ini diijinkan untuk terus beroperasi, dengan biaya dari masyarakat sendiri atau oleh yayasan. Tetapi karena masalah biaya, selama penjajahan Jepang hampir tidak ada kemajuan yang terlihat.

b. Perkembangan Sampai Dengan Tahun 1984

Setelah Indonesia merdeka, keberadaan PLB semakin terjamin, karena undang undang yang berlaku, dalam hal ini UU Pendidikan Nomor 12 Tahun 1954, memuat ketentuan tentang pendidikan dan pengajaran luar biasa. Namun demikian, lembaga yang mengawasi dan mengelola PLB telah berkali -kali mengalami perubahan, sejalan dengan perkembangan dan perubahan dalam tata usaha negara.

Pada kurun waktu ini, satu-satunya lembaga PLB yang ada di tanah air adalah sekolah luar biasa, yaitu sekolah khusus bagi penyandang jenis kecacatan tertentu.

Yang menarik adalah bahwa sampai dengan tahun 1963, PLB dan lembaga pendidikan guru PLB, yaitu SGPLB masih dikelola dan diawasi oleh instansi yang sama. Organisasi pengawasannya mengalami perkembangan, yaitu tahun 1954 oleh Seksi Pengajaran Luar Biasa, bagian dari Balai Pendidikan Guru yang berkedudukan di Bandung; tahun 1955 oleh Urusan Pendidikan Luar Biasa, bagian dari Jawatan Pengajaran, berkedudukan di Jakarta; tahun 1957 oleh Urusan Pendidikan Luar Biasa, bagian dari Jawatan Pendidikan Umum, berkedudukan di Jakarta.

c. Perkembangan Setelah Tahun 1984

Tahun 1984 merupakan tahun yang mempunyai arti besar bagi dunia pendidikan di Indonesia, karena pada tahun itulah pemerintah mencanangkan gerakan wajib belajar enam tahun, yang berarti bahwa semua anak usia sekolah harus

(34)

menyelesaikan pendidikan minimal sampai dengan tingkat SD: Untuk menuntaskannya, berbagai langkah telah ditempuh, misalnya pendirian sekolah -sekolah baru, gerakan Kejar Paket A, -sekolah kecil, -sekolah terbuka,dan sebagainya.

Gerakan wajar 6 tahun ini ternyata mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan PLB di tanah air. Anak luar biasa tidak mungkin tertampung di SLB-SLB yang telah ada. Kecuali jumlahnya masih sangat terbatas, letaknyapun sebagian besar berada di kota-kota besar, sedangkan hampir semua pengelolanya adalah yayasan swasta.

2. Pendidikan Segregasi

A. Pengertian Pendidikan Segregasi

Secara etimologis istilah segregasi berasal dari kata segregate yang berarti memisahkan, memencilkan atau segregation yang diartikan pemisahan. Secar a umum segregasi diartikan sebagai proses pemisahan suatu golongan dari golongan lainnya; atau pengasingan; atau juga pengucilan (Casmini, 2017). Pendidikan segregasi dalam konteks pendidikan khusus adalah suatu sistem pendidikan dimana sekolah penyelenggara pendidikan memisahkan peserta didik berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan hambatan atau kelainan peserta didik. Berkaitan dengan Pendidikan Khusus, pendidikan segregasi adalah suatu system pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang terpisah dari system pendidikan anak regular pada umumnya.

Sistem pendidikan segregasi merupakan ssstem layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus tertua di tanah air kita, bahkan berdiri sebelum Indonesia merdeka. Pemisahan yang terjadi bukan sekedar tempat/lokasi, tetapi mencakup keseluruhan program penyelenggaraannya. Layanan pendidikan semacam ini disebut layanan pendidikan bagi anak

(35)

berkebutuhan khusus melalui pemisahan program penyelenggaraan pendidikan secara penuh dari program pendidikan anak-anak pada umumnya.

Munculnya istilah pendidikan segregasi sejalan dengan sikap, pandangan masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus pada saat itu, bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang berbeda dalam banyak hal dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya. Artinya ada per bedaan yang sangat mencolok, sehingga menimbulkan kekhawatiran/keraguan akan kemampuan anak-anak berkebutuhan khusus jika belajar secara bersama-sama dengan anak normal pada umumnya. Oleh karena itu mereka harus mendapat layanan pendidikan secara khusus (terpisah dari yang normal). Maka timbulah pandangan bahwa konsep Pendidikan Luar Biasa saat itu identik dengan Sekolah Luar Biasa.

Selain sikap atau pandangan masyarakat dalam memisahkan pendidikan anak, juga profesi para pendahulu yang peduli terhadap mereka. Jika kita melihat sejarah, para pendahulu penggagas pendidikan segregasi ini seperti Maria Montessori, Edward Seguin, dan Itard, cara pandang mereka terhadap anak berkelainan seperti layaknya pasien. Cara pandang seperti itu cukup ber alasan karena mereka merupakan akhli medis. Dengan profesi mereka, tentu saja pendekatan terhadap anak akan menggunakan pendekatan medis pula. Oleh karena itulah anak-anak berkelainan dianggap sebagai orang yang sakit. Dengan menganggap mereka sakit, maka pendekatan yang digunakan untuk mereka yaitu diagnosa. Setelah mereka didiagnosa maka akan muncul label penyakit. Dengan cara kerja seperti di atas, yang dibawa pada bidang pendidikan maka ditemukanlah anak tunanetra bagi anak dengan hambatan penglihatan, anak tunarungu bagi anak dengan hambatan pendengaran, dan anak tunagrahita bagi anak dengan hambatan intelektual, dan seterusnya. Dengan kata lain, adanya diagnosis memunculkan anak khusus (ALB), sekolah/tempat khusus (PLB) atau

Special Education, layanan pendidikan khusus, sesuai dengan labelnya yang

akhirnya memunculkan katagori-katagori anak. Sifat sekolah yang khusus inilah yang kita sebut pendidikan segregasi. Jadi dalam pendidikan segregasi kebutuhan (needs) anak tidak dilihat secara individu.

(36)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan segregasi dalam konteks pendidikan khusus adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa yang disesuaikan dengan jenis hambatan peserta didik.

B. Bentuk Satuan Pendidikan Segregasi

Mengacu pada Permendiknas No. 32 tahun 2008 pendidikan khusus berupa layanan pendidikan segregasi adalah sebutan untuk kelompok layanan pendidikan pada tingkat pendidikan prasekolah, dasar dan menengah yang menyelenggarakan pendidikan jalur formal bagi peserta didik berkebut uhan khusus karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Bentuk satuan pendidikan khusus pada jalur formal terdiri atas T aman Kanak – kanak Luar Biasa/Raudatul Atfal Luar Biasa (TKLB/RALB), Sekolah Dasar Luar Biasa/Madrasah Ibtidaiyah Luar Biasa (SDLB/MILB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa /Madrasah Tsanawiyah Luar Biasa (SMPLB/MTsLB), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa /Madrasah Aliyah Luar Biasa (SMALB/MALB) dan/atau bentuk lain yang sederajat.

Bentuk satuan pendidikan segregasi bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia adalah Sekolah Luar Biasa (SLB). SLB tersebut pada awalnya didirikan oleh masyarakat hanya menampung dan melayani pendidikan untuk satu jenis ketunaan, misalnya Tunanetra saja, Tunarungu saja, dan seterusnya, namun dalam perkembangannya sekarang SLB-SLB tersebut sudah banyak yang menampung dan melayani berbagai anak berkebutuhan khusus dari beberapa jenis ketunaan. Adapun jenis-jenis SLB berdasarkan jenis ketunaan ABK adalah sebagai berikut.

(37)

2. SLB untuk peserta didik Tunarungu 3. SLB untuk peserta didik Tunagrahita 4. SLB untuk peserta didik Tunadaksa 5. SLB untuk peserta didik Tunalaras 6. SLB untuk peserta didik Autistik

7. SLB untuk peserta didik Berkelainan Ganda

8. SLB untuk peserta didik dari beberapa jenis ketunaan

Dilihat dari jenjang pendidikannya, SLB – SLB tersebut ada yang mengelola satu jenjang dan ada yang lebih dari satu jenjang pendidikan di tingkat dasar dan menengah.

1. TKLB 2. SDLB 3. SMPLB 4. SMALB

Sebagian besar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Indonesia mendapatkan layanan pendidikan melalui system segregasi dalam bentuk SLB. Berdasarkan data rekapitulasi Pendidikan Nasional tahun 2019 sampai dengan jumlah satuan pendidikan segregasi (SLB) jalur formal di Indonesia mencapai 2246 sekolah. Berikut adalah data lengkap tentang sekolah, tendik, robel dari SLB di Indonesia

Tabel 3. Sekolah, tendik, rombel dari SLB di Indonesia

Jumlah

Peserta

didik

Rombel

Guru

Tendik

Jumlah

kirim

SLB

2.246

136.364

31.041

24.735

5.699

2.175

Jumlah sekolah luar biasa yang tertera di atas, meliputi jenjang SDLB, SMPLB, dan SMALB yang menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Berikut adalah data lengkap tentang Sebaran jumlah sekolah luar biasa berdasarkan Dapodikdasmen Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2019 -2020 sebagai berikut :

(38)

Tabel 4. Sebaran jumlah sekolah luar biasa berdasarkan Dapodikdasmen Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2019-2020

No. Provinsi Jumlah Sekolah

1. Bengkulu 17 2. D.I. Yogyakarta 79 3. D.K.I. Jakarta 91 4. Jambi 18 5. Jawa Tengah 189 6. Kalimantan Utara 5 7. Kepulauan Riau 17 8. Maluku Utara 19 9. Papua Barat 5 10. Jawa Barat 382 11. Banten 99 12. Aceh 75 13. Jawa Timur 447 14. Sumatera Utara 58 15. Sumatera Barat 151 16. Riau 47 17. Kalimantan Timur 35 18. Sumatera Selatan 34 19. Lampung 27 20. Sulawesi Tenggara 72 21. Sulawesi Selatan 85 22. Kalimantan Selatan 29 23. Bali 14 24. Papua 10 25. Sulawesi Tengah 29

26. Kepulauan Bangka Belitung 9

27. Kalimantan Tengah 24

(39)

29. Nusa Tenggara Barat 45

30. Sulawesi Utara 30

31. Kalimantan Barat 22

32. Nusa Tenggara Timur 36

33. Maluku 14

34. Sulawesi Barat 25

C. Prinsip-prinsip Pendidikan Segregasi

Penyelenggaraan pendidikan segregasi menganut prinsip-prinsip antar a lain sebagai berikut :

1. Prinsip Individualisasi

Prinsip ini meyakini bahwa ABK memiliki kondisi dan kebutuhan yang berbeda-beda sehingga tidak dapat disatukan dengan peserta didik pada umumnya. Oleh karena itu pendidikan bagi ABK harus bersifat individual disesuaikan dengan potensi, bakat dan minat serta hambatan yang dialami individu anak.

2. Prinsip Fungsionalisasi

Prinsip ini meyakini bahwa sebagian besar ABK tidak mampu mengikuti tuntutan kurikulum sekolah regular pada umumnya, karena itu perlu diberikan kurikulum khusus yang lebih fungsional dengan menekankan pada aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan hidup yang kelak dibutuhkan untuk memenuhi kemandirian ABK.

Prinsip ini menekankan bahwa pendidikan bagi ABK lebih mengutamakan pada pengetahuan, sikap dan keterampilan fungsional untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan kemandiriannya.

(40)

Prinsip ini menekankan bahwa kurikulum yang digunakan bagi PDBK harus bersifat fleksibel yang sewaktu-waktu dapat diubah dan disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan PDBK.

D. Tujuan pendidikan segregasi

a) Untuk menyediakan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus

b) Agar peserta didik berkebutuhan khudus dapat mengembangkan potensinya secara optimal

c) Untuk memudahkan dalam pengelolaan pembelajaran di kelas

E. Landasan pendidikan segregasi Landasan Filosofis/religi:

Sebagai wujud keberagaman manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang dicirikan dengan keberagaman ras, agama, budaya, Bahasa, kemampuan dan sebagainya. Keberadaan individu berkebutuhan khusus/disabilitas adalah wujud dari keberagaman di bidang intelektual, fisik, sosial, emosional

Landasan Yuridis :

a) UUD tahun 1945 Pasal 31 ayat 1 dan Pasal 5 ayat 2 b) UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional c) PP No. 72 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa d) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional e) PP No, 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

f) Permendiknas No. 32 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan kompetensi Guru Pendidikan Khusus.

g) Permendiknas No. 33 tahun 2008 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB)

h) PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan

i) Perdirjendikdasmen No. 10 tahun 2017 tentang Struktur Kurikulum, Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar dan Pedoman Implementasi Kurikulum 2013 Pendidikan Khusus.

(41)

j) Permendikbud RI No. 15 tahun 2018 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah.

Landasan Psikologis :

Individu yang memiliki hambatan intelektuan, fiksik, motoric, sosial dan emosi secara signifikan jika dibandingkan dengan individu pada umumnya (normal) memiliki perbedaan yang sangat beragam, oleh sebab itu perlu dikalsifikasikan.

Landasan Pedagogis:

Individu dengan hambatan intelektual, fisik, motorik, sosial dan emosi membutuhkan dukungan dan/atau bantuan dari pihak lain agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Untuk itu kepada mereka perlu diberikan pendidikan secara khusus yang berbeda dari anak-anak pada umumnya sebagai bentuk dukungan dan bantuan. Kemampuan mereka secara signifikan berada di bawah rata-rata sangat beragam, oleh karena itu memerlukan layanan pendidikan khusus dengan layanan program pendidikan yang terpisah dengan anak pada umumnya.

Kita sudah mempelajari tentang berbagai kebijakan yang melandasi pendidikan segregasi, untuk lebih memahami bagaimana penjelasan detailnya, anda dapat membaca dan mempelajarinya dengan mengkaji berbagai kebijakan di atas, terutama kebijakan yuridis yang mengatur dan menjelaskan tentang pelaksanaan pendidikan segregasi di Indonesia.

F. Kelebihan dan Kekurangan Pendidikan Segregasi

Kelebihan:

a) Ada rasa ketenangan pada anak luar biasa, karena keadaan yang homogen

b) Komunikasi yang mudah dan lancar.

c) Metode pembelajaran yang khusus sesuai dengan kondisi dan kemampuan anak.

d) Guru dengan latar belakang pendidikan luar biasa/pendidikan khusus e) Mudahnya kerjasama dengan multidisipliner.

(42)

f) Sarana dan prasarana yang sesuai.

g) Merasa diakui kesamaan haknya dengan anak normal terutama dalam memperoleh pendidikan.

h) Dapat mengembangakan bakat ,minta dan kemampuan secara optimal

i) Lebih banyak mengenal kehidupan orang normal.

j) Mempunyai kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi.

k) Harga diri anak luar biasa meningkat.

l) Dapat menumbuhkan motipasi dalam belajar.

m) Guru lebih mudah untuk merencanakan dan melakukan pembelajaran karena siswanya homogen.

n) Siswa tidak menjadi bahan ejekan dari siswa lain yang normal.

Kekurangan :

a) Perkembangan sosial dan emosi anak kurang optimal, karena sosialisasi terbatas

b) Penyelenggaraan pendidikan yang relative mahal c) Bebas bersaing

d) Egoistik, menumbuhkan kesenjangan kualitas pendidikan e) Efektif dan efisien untuk kepentingan individu

f) Menumbuhkan disintegrasi g) Tidak terikat

h) Mahal dan butuh fasilitas banyak spesifik dan spesialis i) Memperlemah persatuan nasional

j) Potensial untuk pengembangan otonomi.

G. Pelaksanaan Pendidikan Segregasi di Indonesia

Pelaksanaan layanan pendidikan segregasi yang disebut sekolah luar biasa atau sekolah khusus, pada dasarnya dikembangkan ber dasar kan pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No.2 tahun 1989. Bentuk pelaksanaannya diatur melalui pasal-pasal dari Per aturan Pemerintah (PP) No. 72/91. Pasal 4 menyebutkan bahwa Satuan

(43)

Pendidikan Dasar berupa: Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB), serta Satuan Pendidikan Menengah adalah Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB) . Berkaitan dengan lamanya pendidikan dari tiap-tiap satuan pendidikan luar biasa sesuai dengan PP No.. 72 tahun 1991 pasal 5 dan pasal 6, dijelaskan bahwa TKLB, SDLB, SLTPLB, dan SMLB terdiri dari berbagai jenis sesuai dengan hambatan atau kelainan masing-masng. Hal ini diperlukan untuk memudahkan program pembelajaran.

Jenis-jenis satuan pendidikan luar biasa yang dimaksud, terdiri dari : SLB A, SLB B,SLB C, SLB D, SLB E dan SLB Tunaganda (G). Adapun banyaknya siswa dalam satu kelas dibatasi antara 5 sampai 10 siswa. Kelas yang kecil jumlahnya dikarenakan setiap siswa memerlukan program perorangan selain program bersama. Mengacu pada bentuk -bentuk layanan pendidikan khusus, ada dua jenis pelaksanaan pendidikan segregasi di Indonesia yaitu Sekolah Khusus Harian (Special

Day School) dan Sekolah Khusus Berasrama (Residential School)

Berdasarkan PP no. 72 tahun 1991, jenjang dan lama pendidikan dalam satuan PLB sama dengan sekolah biasa. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum pendidikan khusus 2013, dan juga kurikulum biasa dengan penyesuaian hambatan yang dimiliki peserta didik dengan kebtuhan khusus.

Sesuai dengan tuntutan masyarakat, perubahan kurikulum telah terjadi beberapa kali yang akhirnya memunculkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang tersebut Pasal 2 dan pasal 4 dijelaskan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, social, dan atau memililk potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Adapun tujuan pendidika khusus mengacu pada pada tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Implementasi Undang -undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan dalam sejumlah peraturan antara lain PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasio nal pendidikan. Peraturan Pemerintah (PP) ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: standar

(44)

isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.

Pada tanggal 23 Mei 2006, menteri Pendidikan Nasional menetapkan Peratur an Menteri Pendidikan Nasional tentan Standar Isi (SI) Nomor 22 Tahun 2006 dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Nomor 23 Tahun 2006 untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Kurikulum ini dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (KTSP). Untuk memenuhi tuntutan kebutuhan bagi pendidikan khusus, dikeluarkanlah Struktur Kur ikulum Satuan Pendidikan Khusus, yang dikembangkan dengan memperhatikan faktor -faktor sebagai berikut: Kurikulum untuk peserta didik berkebutuhan khusus tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata -rata, menggunakan sebutan kurikulum SDLBA, B, D, E; SMPLBA, B, D, E; dan SMALBA, B, D, E (A = Tunanetra, B = Tunarungu, D = Tunadaksa ringan, E = Tunalaras). Kur ikulum untuk peserta didik berkebutuhan khusus yang disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata, menggunakan sebutan Kurikulum SDLBC, C1, D1, G; SMPBC, C1, D1, G; SMALBC, C1, D1, G; (C = Tunagrahita ringan, C1 = Tunagrahita sedang, dan D1 = Tunadaksa sedang, G = Tunaganda).

Kurikulum satuan pendidikan SDLB A, B, D, E, relative sama dengan kurikulum Sekolah Dasar (SD) umum. Pada satuan pendidikan SMPLB A, B, D, E dan SMALB A, B, D, E dirancang untuk peserta didik yang tidak memungkinkan dan/atau tidak berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Proporsi muatan isi kurikulum satuan pendidikan SMPLB A, B, D, E, terdiri atas 60 %/70% aspek akademik dan 40%/30% berisi aspek keterampilan. Muatan isi kurikulum satuan pendidikan SMALB A, B, D, E terdiri atas 40%/50% aspek akademik dan 60%/50% aspek keterampilan vokasional. Kurikulum satuan pendidikan SDLB, SMPLB, SMALB C, C1, D1, dan G, dirancang sangat sederhana sesuai dengan batas-batas kemampuan peserta didik dan sifatnya lebih individual. Pembelajaran untuk satuan pendidikan SDLB,SMPLB, dan SMALB C, C1, D1, dan G, menggunakan pendekatan tematik. Standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) mata pelajaran umum SDLB, SMPLB, SMALB A, B, D, dan E mengacu kepada SK dan KD sekolah umum yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan khusus paserta didik, dikembangkan oleh BNSP, sedangkan SK da n KD untuk mata

(45)

pelajaran program khusus, dan keterampilan dikembangkan oleh satuan pendidikan khusus dengan memperhatikan jenjang dan jenis satuan pendidikan. Pengembangan SK dan KD untuk semua mata pelajaran pada SDLB, SMPLB, dan SMALB C, C1, D1, G diserahkan kepada satuan pendidikan khusus yang bersangkutan dengan mempertimbangkan tingkat dan jenis satuan pendidikan. Struktur kurikulum pada satuan pendidikan khusus SDLB dan SMPLB mengacu pada struktur kurikulum SD dan SMP dengan penambahan program khusus sesuai jenis kelainan, dengan alokasi waktu 2 jam per minggu. Untuk jenjang SMALB, program khusus bersifat kasuistik sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik tertentu dan tidak dihitung sebagai beban belajar. Penjelasan tentang kurikulum pendidikan khusus dijelaskan dalam Permendikbud RI No. 157 tahun 2014. Dalam permendikbud tersebut di jelasakan bahwa Kurikulum Pendidikan Khusus adalah kurikulum bagi peserta didik berkelainan atau berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan pada satuan pendidikan khusus atau satuan pendidikan reguler di kelas khusus.

Penambahan program khusus disesuaikan dengan jenis hambatan peserta didik meliputi sebagai berikut; (a) Orientasi dan Mobilitas untuk peserta didik Tunanetra (b) Bina Komunikasi, Persepsi Bunyi dan Irama untuk peserta didik Tunarungu (c) Bina Diri untuk peserta didik Tunagrahita Ringan dan Sedang ( d) Bina Gerak untuk peserta didik Tunadaksa Ringan (e) Bina Pribadi dan Sosial untuk peserta didik tunalaras (f) Bina Diri dan Bina Gerak untuk peserta didik Tunadaksa Sedang dan Tunaganda. Adapun begiatan pembelajaran dapat dilakukan secara indinidual, kelompok, dan klasikal. Sistem pengajarannya mengarah pada individualisasi pengajaran (individualized instruction ) . Sebelum individualisasi pengajaran dilaksanakan, terlebih dahulu dibuat rencana pengajaran yang diindividualisasikan (Individualized Education Plan). Rencana pengajaran yang diindividualisasikan harus memuat tujuan pembelajaran baik tujuan jangka pendek maupun jangka panjang.

Selain berisi tujuan, rencana program harus memuat prosedur dan layanan khusus yang disediakan bagi anak, disamping evaluasi keberhasilan program. Program ini dikembangkan dan diperbaharui setiap tahun. Rencana program dibuat oleh team multidisiplin. Para professional yang terlibat selain ortopedagog yaitu; psikolog, pediatris, optalmolog, neurolog, fisiatris, ortopedis, occupational therapist, akhli terapi bicara, dan psikiater anak. Sebelum IEP dibuat, terlebih

(46)

dahulu dilakukan assessmen yang lengkap berkaitan dengan pend idikan. Assessmen berkaitan dengan tingkat kemampuan kognitif (IQ), emosi, dan adaptasi social bagi semua anak. Disamping hal tersebut assessmen terhadap hal lain masih diperlukan, sesuai dengan hambatan anak. Sebagai contoh, assessmen untuk anak tunadaksa dilakukan untuk melihat kemampuan fisik dan motoriknya. Untuk anak tunanetra, selain hal yang umum juga yang khusus berkaitan dengan sisa penglihatannya. Begitu juga anak tunarungu, hal yang ingin diketahui berkaitan dengan kemampuan mendengarnya. Hal yan g sama juga dilakukan pada mereka dengan kelainan yang lain.

IEP merupakan rencana pembelajaran yang diindividualkan, dibuat oleh team multi disiplin, dengan assessmen sebelumnya sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak. Berkaitan dengan lingkungan belajar , walaupun layanan ini sifatnya segregasi, namun telah menjadi bahan pemikiran bahwa lingkungan yang terbatas harus diminimalisir (least restrictive environment). Hal ini mengandung pengertian bahwa, jika anak mampu menerima program pembelajaran pada kelas biasa secara efektif maka anak harus ditempatkan di kelas biasa.

3. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus

Masih ingatkah Anda siapa anak berkebutuhan khusus itu?

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami hambatan perkembangan, hambatan belajar dan memiliki kebutuhan khusus dalam pendidikan, yang diakibatkan oleh faktor internal dan eksternal atau kombinasi dari keduanya, sehingga diperlukan adaptasi dan modifikasi dalam pembelajaran (tujuan, bahan, metode/media, dan penilaian).

Anak berkebutuhan khusus meliputi dua kategori yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporary special needs) atau factor ekster nal dan anak kebutuhan khusus yang bersifat menetap ( permanently special needs ) atau factor internal.

Tahukah Anda, Anak yang seperti apa dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus yang temporer?

Anak berkebutuhan khusus temporer/sementara (temporary special needs) yang disebabkan karena factor eksternal adalah anak-anak yang mengalami hambatan akibat dari faktor-faktor lingkungan seperti: (1) anak mengalami

Gambar

Tabel 1. Target Kompetensi Guru P3K
Gambar 1 Alur Pembelajaran Bahan Belajar Mandiri
Tabel 3.   Sekolah, tendik, rombel dari SLB di Indonesia  Jumlah  Peserta
Tabel 4.  Sebaran jumlah sekolah luar biasa berdasarkan Dapodikdasmen  Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2019-2020
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dengan kata lain maf’ul bih pada kelima contoh tersebut beri’rab nashab dengan tanda fathah karena berupa isim mufrad (contoh 1,2,4, dan 5) dan jamak taksir (contoh 3). Atas

Manusia pada dasarnya adalah unik dan memiliki kecenderungan berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan

a) Matahari dan planet-planet lainnya masih berbentuk gas, kabut yang begitu pekat dan besar. b) Kabut tersebut berputar dan berpilin dengan kuat, di msns pemadatan

Widjono (2007) menyebutkan beberapa ciri paragraf efektif sebagai berikut: (1) kalimat pertama menjorok ke dalam delapan ketukan, (2) paragraf mempunyai satu pokok pikiran atau

Tujuan di atas merupakan pedoman bagi guru PJOK dalam melaksanakan tugasnya. Tujuan tersebut harus bisa dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang direncanakan secara matang,

• Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN. Penembakan terhadap mahasiswa memicu terjadinya demonstrasi yang lebih besar dan tersebar ke beberapa kota di luar Jakarta

Dengan menggunakan garis bilangan (perlu diperhatikan aturan yang telah disepakati pada operasi hitung penjumlahan) berlaku, suatu bilangan bulat positif menggambarkan gerakan ke

Prinsip-prinsip dasar pelaksanaan politik luar negeri Indonesia telah dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama, Indonesia percaya “bahwa