• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PASAL 211 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG STATUS HIBAH ORANG TUA YANG DIPERHITUNGKAN SEBAGAI WARISAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PASAL 211 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG STATUS HIBAH ORANG TUA YANG DIPERHITUNGKAN SEBAGAI WARISAN"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SH) Pada Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyah) Fakultas

Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh

ULFA NIM.105261105216

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH) FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 1442H/2021M

(2)

i

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

Kantor:Jl. Sultan Alauddin No.259 Gedung Iqra lt. IV telp. (0411) 851914 Makassar 90222

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul :” Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 211 Kompilasi

Hukum Islam Tentang Status Hibah Orang Tua Yang Diperhitungkan Sebagai Warisan” telah diajukan pada hari Sabtu, 19 Ramadhan 1442 H/ 1 Mei

2021 di hadapan tim penguji dan dinyatakan telah dapat diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.H) pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, 19 Ramadhan 1442 1 Mei 2021

Dewan Penguji :

Ketua : Dr. Amirah Mawardi, S.Ag., M.Si (……….……) Sekretaris :Dr. Amirah Mawardi, S.Ag., M.Si (……….) Tim Penguji :

1. Dr. M. Ilham Muchtar, Lc., M.A. (... ) 2. Hasan bin Juhanis, Lc., M.S. (... ) 3. Dr. Muh. Ali Bakri, S.Sos., M.Pd. (... ) 4. Rapung, Lc., M.H.I. (... )

Disahkan Oleh : Dekan Fakultas Agama Islam

Dr. Amirah Mawardi, S.Ag., M.Si

(3)

ii

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

Kantor:Jl. Sultan Alauddin No.259 Gedung Iqra lt. IV telp. (0411) 851914 Makassar 90222

BERITA ACARA MUNAQASYAH

Dekan Fakultas Agama Islam Makassar, setelah mengadakan sidang munaqasyah pada hari Sabtu, 1 Mei 2021 M/ 19 Ramadhan 1442 H yang bertempat di Gedung Prodi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyah) Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar Jln. Sultan Alauddin No. 259 Makassar.

Judul Skripsi : Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 211 Kompilasi

Hukum Islam Tentang Status Hibah Orang Tua Yang Diperhitungkan Sebagai Warisan

Dinyatakan : LULUS

Ketua, Sekretaris,

Dr. Amirah Mawardi, S.Ag., M.Si Dr. Amirah Mawardi, S.Ag., M.Si

NBM : 77423 NBM : 77423

Dewan Penguji:

1. Dr. M. Ilham Muchtar, Lc., M.A. (... ) 2. Hasan bin Juhanis, Lc., M.S. (... ) 3. Dr. Muh. Ali Bakri, S.Sos., M.Pd. (... ) 4. Rapung, Lc., M.H.I. (... )

Disahkan Oleh : Dekan Fakultas Agama Islam

Dr. Amirah Mawardi, S.Ag., M.Si

(4)

iii

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

Kantor:Jl. Sultan Alauddin No.259 Gedung Iqra lt. IV telp. (0411) 851914 Makassar 90222

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Judul : Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 211

Kompilasi Hukum Islam Tentang Status Hibah Orang Tua Yang Diperhitungkan Sebagai Warisan

Nama : Ulfa

NIM : 105261105216

Fakultas/Program Studi : Agama Islam/Hukum Keluarga (Ahwal

Syakhsiyah)

Setelah dengan seksama memeriksa dan meneliti, maka skripsi dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diajukan dan dipertahankan tim penguji ujian skripsi Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar.

Menyetujui : Pembimbing I

Dr. M. Ilham Muchtar, Lc., M.A.

Pembimbing II

(5)

iv

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

Kantor:Jl. Sultan Alauddin No.259 Gedung Iqra lt. IV telp. (0411) 851914 Makassar 90222

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ulfa

NIM : 105261105216

Fakultas : Agama Islam

Program Studi : Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyah)

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya penulis sendiri. Jika kemudian hari hal ini terbukti bahwa skripsi ini merupakan duplikat, tiruan, plagiat dibuatkan atau dibantu semua atau sebagian secara langsung oleh orang lain, maka skripsi dan gelar kesarjanaan yang diperoleh karenanya batal demi hukum.

Makassar,19 Ramadhan 1442 H 1 Mei 2021 M

Penulis

Ulfa

(6)

v

ABSTRAK

Ulfa, 105261105216. “Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 211 Kompilasi

Hukum Islam Tentang Status Hibah Orang Tua Yang Diperhitungkan Sebagai Warisan” Skripsi. (Dibimbing oleh M. Ilham Muchtar dan Hasan bin Juhanis)

Penelitian ini bertujuan 1) Untuk mengetahui bagaimana status pemberian hibah orang tua kepada anaknya yang diperhitungkan sebagai warisan menurut pasal 211 KHI 2) Untuk mengetahui analisis hukum Islam tentang hibah orang tua yang dapat diperhitungkan sebagai warisan.

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian keperpustakaan (library research). Yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder. Objek penelitian adalah status pemberian hibah orang tua kepada anaknya yang diperhitungkan sebagai warisan menurut pasal 211 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sumber data utama dalam penelitian ini adalah data keperpustakaan atau data sekunder. Di dalam keperpustakaan hukum, maka sumber data disebut bahan hukum. Adapun bahan hukum dalam penlitian normatif ini terdiri dari: Bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan data melalui teknik dokumentasi. Teknik analisis data penulis menggunakan anlisis konten (content analisys). Metode penelitian menggunakan Metode Deduktif dan Metode Deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Dalam pasal 211 Kompilasi Hukum Islam kata “dapat” bukan berarti harus akan tetapi merupakan salah satu alternatif untuk menyelesaikan sengketa di antara ahli waris apabila ada di antara ahli waris yang sudah mendapatkan hibah dan anak yang lain tidak mendapatkan hibah. Maka dari itu pasal 211 bisa dijadikan landasan hukum. 2) Dalam hukum Islam hibah dari orang tua kepada anaknya tidak dapat diperhitungkan sebagai warisan karena tidak sejalan dengan Alqur’an. Maka sebagai solusi dan untuk menjaga keutuhan hukum waris maka masalah hibah orang tua kepada anaknya tidak dapat diperhitungkan sebagai warisan, kalaupun hendak memberikan hibah kepada anakanya hendaknya hibah manfaat saja, adapun fisik barang tersebut tetap menjadi milik orang tua. Untuk menghindari sengketa di antara ahli waris nantinya. Dan apabila orang tua hendak memberikan hibah kepada anaknya dimasa hidupnya harus secara adil. Dengan begitu orang tua tidak boleh membeda-bedakan di antara anaknya yang lain.

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Salawat serta salam selalu kita haturkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad sawyang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengakui bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan. Dalam penyelesaian skripsi ini penulis telah banyak mendapat bimbingan, motivasi serta petunjuk dari berbagai pihak yang sangat berjasa bagi penulis, sehingga pada saat ini penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan sangat baik dan tepat pada waktunya. Terima kasih kepada orang tua saya bapak Muhammad Bakri dan ibu Sitti Halijah yang selalu mendoakan keberhasilan anaknya dan menjadi tempat saya berkeluh kesah. Semoga Allah swt merahmati dan mengampuni dosa keduanya. Dan kepada orang-orang yang berjasa di balik layar dengan kerendahan hati penulis ingin menyempaikan terima kasih.

1. Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag. selaku rektor Universitas Muhammadiyah Makassar beserta para wakil rektor yang telah banyak memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini, dan menerima sebagai mahasiswa pada Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyah).

2. Dr. Mohamed M.T. Khoory sebagai donatur utama AMCF (Yayasan Muslim Asia) yang telah memberikan beasiswa selama menjalani studi di Program Studi Hukum Keluarga.

3. Dr. Amirah Mawardi, S.Ag,. M.Si. Sebagai dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar beserta wakil dekan I, II, III, dan IV.

(8)

vii

4. Ketua Prodi Ahwal Syakhsiyah, Dr. M. Ilham Muchtar, Lc., M.A. dan seluruh jajarannya. Kebaikan hati, kebijakan, dan keramahan mereka semua tentu tidak bisa dibalas dengan hanya sebuah tanda hormat dan ucapan terima kasih.

5. K.H. Lukman Abdul Shamad, Lc. Sebagai direktur Ma’had Al-Birr Unismuh Makassar.

6. Kepada Dr. M. Ilham Muchtar, Lc., M.A. yang kesekian kalinya saya ucapkan terima kasih karena beliau juga selaku pembimbing pertama. Dan kepada Hasan bin Juhannis, Lc., MS. Selaku pembimbing kedua. Mereka sangat berjasa dalam membimbing penulisan skripsi ini. Terima kasih sudah meluangkan waktunya.

7. Kepada para dosen Prodi Hukum Keluarga yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih telah mengajarkan banyak hal yang mungkin tidak diketahui sebelumnya.

8. Kepada seluruh teman-teman di Ma’had Al-Birr khususnya Prodi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Agama Islam. Terkhusus teman-teman angkatan 2017 yang telah membersamai suka dan duka selama menempuh studi di Prodi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyah).

9. Kepada sahabat-sahabat saya Alimatunnisa’, Puput Chalifah, A. Husnul Mawaddah, Afifah Mardiyatunnuha, Wahidah Muhlis. Terima kasih atas supportnya selama ini, yang selalu meyakinkan saya bahwa saya bisa menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari penulisan ini maka penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan. Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan bagi para pembaca.

Makassar,10 Ramadhan 1442 H 22 April 2021 M

Penulis

Ulfa

(9)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PENGESAHAN SKRIPSI ... ii

BERITA ACARA MUNAQASYAH ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PERNYATAAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. LATAR BELAKANG ... 1 B. RUMUSAN MASALAH ... 4 C. TUJUAN PENELITIAN ... 5 D. MANFAAT PENELITIAN ... 5 E. METODOLOGI PENELITIAN ... 6 1. Jenis Penelitian ... 6 2. Objek Penelitian ... 6

3. Sumber Data Penelitian ... 6

4. Teknik Pengumpulan Data ... 7

(10)

ix

6. Metode Penulisan ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. PENELITIAN TERDAHULU ... 9

B. TINJAUAN TEORITIS TENTANG HIBAH ... 11

1. Pengertian Hibah ... 11

2. Dasar Hukum Hibah ... 12

3. Rukun dan Syarat Hibah ... 14

4. Pelaksanaan Hibah ... 17

5. Macam-Macam Hibah ... 17

C. TINJAUAN TEORITIS TENTANG WARIS ... 20

1. Pengertian Hukum Waris ... 20

2. Dasar Hukum Waris ... 21

3. Rukun dan Syarat Waris... 26

4. Sebab-Sebab Mewarisi ... 27

BAB III KONSEP HIBAH DAN WARIS ... 30

A. Perbedaan Hibah dan Waris ... 30

1. Waktu Akad Penetapan ... 30

2. Waktu Implementasi... 30

3. Penerimaan ... 31

4. Nilai Harta ... 31

5. Hukum Bagi Pemberi ... 32

(11)

x

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 34

A. Status Pemberian Hibah Orang Tua Kepada Anaknya Yang Diperhitungkan Sebagai Warisan Menurut Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam ... 34

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Pemberian Hibah Orang Tua Kepada Anaknya Yang Diperhitungkan Sebagai Warisan... 43

BAB V PENUTUP ... 62

A. Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 63

(12)

1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah suatu istilah untuk menunjukkan himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang bersumber dari kitab-kitab fiqih empat madzhab. Seluruh pandangan ulama terkait fiqih disatukan dalam satu buku yang disusun dengan memakai bahasa perundang-undangan.

Bagi bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, adalah mutlak adanya suatu hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia. Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, jo Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan lainnya sebagai peradilan negara. Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama Islam yang pada garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum Perkawinan, hukum Kewarisan dan hukum Perwakafan. Berdasarkan surat edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Februari 1958 Nomor B/1/735 hukum Materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut di atas adalah yang bersumber pada 13 kitab yang kesemuanya madzhab Syafi’i.1

(13)

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik maka kebutuhan hukum masyarakat semakin berkembang sehingga kitab-kitab tersebut dirasakan perlu pula untuk diperluas baik dengan menambahkan kitab-kitab dari madzhab yang lain maupun memperluas penafsiran terhadap ketentuan di dalamnya membandingkannya dengan Yurisprudensi Peradilan Agama, fatwa para ulama maupun perbandingan di negara-negara lain. Hukum tersebut perlu dihimpun dan diletakkan dalam suatu dokumenYustisia atau buku Kompilasi Hukum Islam sehingga dapat dijadikan pedoman bagi Hakim dan lingkungan badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.2

Dan salah satu hukum islam yang tertulis dalam kitab Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHper) adalah perkara hukum hibah. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.3

Hukum Islam dan Hukum Perdata sepakat memaknai hibah sebagai pemberian cuma-cuma sebagai perwujudan kasih sayang terhadap sesama.4 Adanya hukum yang berlaku adalah untuk mengatur dan membatasi kebebasan kepemilikan atas suatu hak. Hak milik meskipun dalam konsep hukum perdata merupakan hak mutlak namun kenyataan hukum menunjukkan bahwa terdapat

2 Tim permata press, Kompilasi Hukum Islam (KHI) , h. 73-74.

3 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia (Gadjah Mada

University Press, 2018) , h.1

(14)

pembatasan-pembatasan tertentu dalam mempergunakannya.5 terkait pemberian hibah yang diperhitungkan sebagai warisan dapat dikatakan pemberian hibah tersebut tidak boleh menafikan keberadaan ahli waris atau merugikan ahli waris. Artinya kebebasan dari subjek hak milik dalam memberikan harta sesukanya terbentur pada keberadaan legitime portie.6

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ( KUHPer) pasal 1666 menyatakan bahwa, hibah adalah suatu persetujuan dengan mana si penghibah di waktu hidupnya dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.7

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 huruf (g) dikatan hibah pemberian sesuatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.8 Selanjutnya menurut Pasal 210 KHI

pada ayat (1) menyatakan bahwa orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki. Selanjutnya pada ayat (2) menyatakan harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.9 Dengan demikian apabila

seseorang yang menghibahkan harta yang bukan merupakan haknya, maka

5 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, h. 114. 6 Hak Mutlak

7Tim Permata Press, Himpunan Kitab Undang-Undang KUHAP Dan KUHper (Permata

Press, 2019), h. 696.

8 Tim permata press, Kompilasi Hukum Islam (KHI), h. 54. 9 Tim permata press, Kompilasi Hukum Islam (KHI) , h. 64.

(15)

hibahnya menjadi batal. Selanjutnya menurut pasal 211 KHI menyatakan bahwa hibah dari orang tua dapat diperhitungkan sebagai warisan.10

Hibah adalah pemberian ketika pemilik harta masih hidup, sedangkan warisan diberikan ketika pemilik harta telah meninggal dunia. Oleh karena itu sering terjadi sengketa antara ahli waris. Satu pihak berpendapat bahwa hibah yang sudah diberikan berbeda dengan warisan, sedangkan pihak lain (ahli waris yang tidak menerima hibah) menyatakan hibah yang sudah diterima merupakan harta warisan yang sudah dibagi. Oleh karena itu, ahli waris yang sudah menerima hibah tidak akan mendapat harta warisan lagi. Pada umumnya hibah memang berbeda dengan warisan. Oleh karena itu hibah tidak dapat diperhitungkan sebagai warisan. Dengan melihat permasalahan maka peneliti terdorong untuk mengadakan penelitian ilmiah dengan meganalisa dan menyusun skripsi dengan judul: Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam

Tentang Status Hibah Orang Tua Yang Diperhitungkan Sebagai Warisan.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana status pemberian hibah dari orang tua kepada anaknya yang diperhitungkan sebagai warisan menurut pasal 211 KHI?

2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap pemberian hibah dari orang tua kepada anaknya yang diperhitungkan sebagai warisan?

(16)

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui bagaimana status pemberian hibah orang tua kepada anaknya yang diperhitungkan sebagai warisan menurut pasal 211 KHI b. Untuk mengetahui analisis hukum Islam tentang hibah orang tua yang

dapat diperhitungkan sebagai warisan

D. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

a. Dengan adanya penelitian ini, penulis harap dapat memberi manfaat, umumnya kepada pembaca dan khususnya kalangan mahasiswa/i yang pemahamannya dikonsentrasikan pada Hukum Keluarga Islam di bidang pemenuhan hibah dan waris.

b. Penelitian ini juga diharapkan memberikan sumbangan karya ilmiah dan juga sumbangan pemikiran bagi perkembangan khazanah ilmu pengetahuan dan literasi pada Prodi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyah) Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar.

c. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan membantu mengatasi permasalahan tentang hibah orang tua yang dapat diperhitungkan sebagai warisan.

(17)

E. METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi merupakan cara-cara tertentu yang secara sistematis diperlukan dalam setiap bahasa ilmiah. Untuk itu pembahasan ini menjadi terarah, sistematis, obyektif, maka digunakan metode ilmiah. Dalam membahas permasalahan yang ada di dalam tulisan ini, penulis menggunakan metode pembahasan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian ini adalah hukum Islam normatif dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian keperpustakaan (library research) yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder.

2. Objek Penelitian

Yang menjadi objek penelitian adalah status pemberian hibah orang tua kepada anaknya yang diperhitungkan sebagai warisan menurut pasal 211 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

3. Sumber Data Penelitian

Sumber data utama dalam penelitian ini adalah data keperpustakaan atau data sekunder. Di dalam keperpustakaan hukum, maka sumber data disebut bahan hukum. Adapun bahan hukum dalam penlitian normatif ini terdiri dari:

(18)

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer pada penelitian ini terdiri dari perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian, adapun hukum primer dalam penelitian ini adalah Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

b. Bahan Hukum Sekunder

Adapun bahan hukum sekunder adalah buku-buku dan tulisan ilmiah hukum yang terkait dengan objek penelitian ini, seperti: buku Shohih Bukhori karya Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al Bukhari, Fiqhu Sunnah karya Sayyid Sabiq, Kompilasi Hukum Islam karya Tim Permata Press, Fiqih Hibah dan Waris karya Muhammad Ajib. Fiqh mawaris karya Hasanuddin.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, jurnal-jurnal terkait tentang hibah dan warisan.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data melalui teknik dokumentasi yaitu sebuah metode yang dilakukan dengan cara mencari dan mengkaji data-data dari buku-buku, dan sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini.

(19)

5. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan anlisis konten (content analisys) atau kajian isi adalah suatu cara penelitian dengan tahapan tertentu untuk mengambil inti dari suatu gagasan maupun informasi yang kemudian ditarik sebuah kesimpulan. Karena jenis penelitian ini adalah jenis penelitian keperpustakaan yang sumber datanya berupa buku-buku dan dokumen-dokumen maupun literatur dalam bentuk yang lain, dalam keperpustakaan.

6. Metode Penulisan

Untuk mengolah data dan menganalisa data yang telah terkumpul, maka penulis menggunakan beberapa metode, yaitu:

a. Metode Deduktif adalah cara analisis dari kesimpulan umum yang diuraikan menjadi contoh-contoh kongkrit atau fakta-fakta untuk menjelaskan kesimpulan.

b. Metode Deskriptif adalah suatu uraian penulisan yang menggambarkan secara utuh dan apa adanya tanpa mengurangi dan menambahnya.

(20)

9

TINJAUAN PUSTAKA A. PENELITIAN TERDAHULU

Untuk menguji kemurnian hasil penelitian ini, terlebih dahulu dilakukan kajian pustaka atau telaah untuk menguatkan bahwa penelitian ini belum pernah diteliti sebelumnya, yakni dengan meneliti karya ilmiah yang membahas tentang hibah. Oleh karena itu penulis berupaya meneliti karya ilmiah berupa skripsi yang berkaitan dengan penelitian ini.

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Dyah Hidayati (2103234), Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang, lulus tahun 2008 dengan judul “Studi Analisis Pendapat Sayyid Sabiq Tentang Hibah Umra’. Skripsi ini membahas pendapat Sayyid Sabiq kaitannya dengan pengembalian barang ketika penerima hibah meninggal dunia. Mayoritas ulama mengatakan bahwa hibah ‘umra ialah hibah yang diberikan seseorang kepada orang lain yang masih hidup selama seumur hidup dari orang yang diberi. Jika orang yang diberi itu telah meninggal dunia maka barang tersebut menjadi milik dari yang diberi dan menjadi waris dari orang yang diberi. Karena dalam pemberian tersebut melibatkan masalah pewarisan.11

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Nur Hudam Mustaqim (062111048), Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang, lulus tahun 2011 dengan judul “Hak Anak Angkat Dalam Hibah”. Skripsi ini membahas tentang pemberian hibah merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan oleh orang tua angkat kepada

(21)

anak angkatnya sebagai wujud kasih sayang yang telah terjalin diantara keduanya. Karena Islam secara jelas menegaskan bahwa hubungan antara orang tua angkat dengan anak angkatnya tidak menyebabkan keduanya mempunyai hubungan waris-mewarisi, dengan demikian seorang anak angkat tidak mewarisi harta orang tua angkatnya kecuali dengan cara hibah.12

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Mariana Batubara (22154036), Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sumatera Utara, lulus tahun 2019 dengan judul “Penarikan Kembali Hibah Seseorang Kepada Orang Lain Perspektif KUH dan KHI”. Skripsi ini membahas tentang hibah pada dasarnya adalah suatu pemberian dengan perasaan kasih sayang antara sesama, baik hibah kepada anak maupun hibah kepada orang lain. Dari ketentuan KUH Perdata dan KHI tentang larangan dalam penarikan hibah yang telah diberikan, disini dapat dipahami bahwa hibah tidak boleh ditarik kembali kecuali hibah yang diberikan seorang ayah kepada anaknya. Jadi hukum hibah dalam KHI mutlak. Sedangkan menurut KUH Perdata, hibah boleh ditarik kembali.13

Dalam beberapa penelitian di atas, terlihat ada kesamaaan pembahasan. Akan tetapi belum ada pembahasan tentang analisis hukum Islam terhadap pasal 211 Kompilasi Hukum Islam tentang status hibah orang tua yang diperhitungkan sebagai warisan. Oleh karena itu, penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Oleh sebab itu, penulis yakin untuk tetap melaksanakan penelitian tanpa ada kekhawatiran asumsi plagiasi.

B. TINJAUAN TEORITIS TENTANG HIBAH

12 Dikutip dari Nur Hudam Mustaqim dalamhttp://eprints.walisongo.ac.id. 13 Dikutip dari Mariana Batubara dalam http://repository.uinsu.ac.id.

(22)

1. Pengertian Hibah

Kata hibah berasal dari bahasa Arab dan telah diadopsi menjadi bahasa Indonesia. Kata ini merupakan masdar dari kata berarti memberi atau pemberian.14

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pemberian secara sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.15

Menurut kamus ilmu Alqur’an yang dimaksud hibah adalah pemberian kepada seseorang diwaktu hidupnya, dengan tidak mengharapkan balasan atau ikatan baik secara lisan maupun tertulis.16

Sedangkan pengertian Hermeneutika, di dalam buku Abdul Ghofur Anshori mengatakan bahwa hibah dalam hukum adat dikenal dengan “beri-memberi” be-ulah be-atei (berkarya hati) yang memiliki makna memberi orang lain barang-barang untuk menunjukkan belas kasih, harga-menghargai, tanda ingat, tanda hormat, tanda terima kasih, tanda akrab, tanda prihatin, dan sebagainya. Beri memberi ini dapat dilakukan dengan objek yang berupa barang ringan atau barang berat. Barang ringan adalah yang nilai harganya rendah, sedangkan barang berat adalah barang-barang yang bernilai tinggi.17

Jadi kesimpulannya hibah adalah segala bentuk pemberian seseorang secara sukarela kepada orang lain yang masih hidup tanpa meminta imbalan.

14 H. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa

Dzurriyyah, 2007), h. 507.

15 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, cet ke-3, 2005), h. 398

16 Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta:Amzah. cet ke-2, 2006), h. 99. 17 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, h. 60.

(23)

2. Dasar Hukum Hibah

Untuk menentukan dasar-dasar hukum hibah dalam Alqur’an secara langsung sulit ditemukan. Dalam Alqur’an penggunaan kata hibah digunakan dalam konteks pemberitahuan Allah swt kepada utusan-utusan-Nya dan menjelaskan sifat Allah yang Maha Pemberi Karunia, hanya saja dapat dijadikan petunjuk dan anjuran secara umum agar seseorang memberikan rizkinya kepada orang lain.

Dasar hukum hibah dapat dijadikan pedoman berdasarkan firman Allah SWT:

Terjemahnya:

“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat mereka dan kepada anak yatim piatu dan orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang mendirikan shalat dan membayar zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemeralatan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” QS al-Baqarah/2: 177.18

Dengan memperhatiakan hak orang lain, seseorang akan mencapai “al-birr” atau kebaikan karena kebaikan ditandai dengan berbagai perbuatan yang mempunyai implikasi positif untuk kehidupan sosial. Sebagaimana firman Allah dalam Alqur’an:

18 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung:

(24)

Terjemahnya:

“Kamu sekali-kali tidak samapai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. QS. Ali ‘Imran/3:92.19

Karena itu hibah dapat meneguhkan rasa kecintaan antara manusia juga dapat memperkokoh keimanan kita. Islam mengantarkan dan memberikan keselamatan secara utuh memiliki ajaran yang sangat lengkap dalam segala aspek kehidupan.

Hibah merupakan salah satu bentuk mendekatkan diri kepada Allah, dalam rangka mempersempit kesenjangan antara hubungan keluarga serta menumbuhkan rasa setia kawan dan juga kepedulian sosial.

Hal ini berdasarkan firman Allah, surat an-Nisa’:

Terjemahnya:

“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan peliharalah hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” QS. an-Nisa’/4:1.

Berikut hadis yang memerintahkan adil dalam memberikan hibah atau `athiyyah terhadap anak-anak kandung.

Artinya:

“Dari Nu`man Ibn Basyir Radhiyallahu `Anhu: bahwa ayahnya menghadap Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersama dia, lalu berkata:”Saya

19 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 62.

20 Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar Taouq

(25)

berikan seorang budak kepada anakku ini”. Maka Rasulullah bersabda: “Apakah semua anakmu kau beri seperti ini?” ia menjawab: “tidak”. Rasulullah bersabda: “Ambillah ia kembali”.

Artinya:

“Dari Ibnu `Abbas Radhiyallahu `Anhu, ia berkata; Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam telah bersabda: “Orang yang meminta kembali barang yang telah diberikan, sama dengan anjing yang muntah lalu ia memakan muntahnya itu kembali.”

Hadis pertama menunjukkan bahwa seseorang harus berlaku adil. Dan yang kedua menunjukkan bahwa seseorang yang telah menghibahkan sesuatu kepada orang lain, tidak diperbolehkan pemberiannya itu ditarik kembali. Rasulullah mengibaratkan, orang yang menarik kembali hibahnya, adalah seperti anjing yang memakan muntah yang dikeluarkannya.

3. Rukun dan Syarat Hibah

Hibah dinyatakan sah dengan adanya ijab dan qabul dengan ungkapan apapun yang bermakna penyerahan kepemilikan harta tanpa imbalan. Yaitu pihak yang memberikan hibah mengucapkan; aku hibahkan kepadamu. Atau; aku hadiahkan kepadamu. Atau aku memberikan kepadamu. Dan ungkapam semacamnya. Dan pihak yang menerimanya mengucapkan; aku terima. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa dengan penerimaan maka hibah sudah dapat dinyatakan sah.22 Menurut para ulama dalam Madzhab Hanafi, rukun

21 Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al Bukhari, Shahih Bukhari. IX/43, nomor hadis

2400.

(26)

hibah adalah ijab dan qabul berdasarkan dalil qiyas. Karena hibah adalah akad seperti jual beli. Pengambilan barang orang yang diberi juga merupakan rukun. Karena pengambilan barang merupakan hal yang harus berlangsung agar kepemilikan beralih, berbeda dengan jual beli. Akan tetapi menurut al-Kasani dan sebagian Madzhab Hanafiyyah, hal-hal di atas adalah rukun berdasarkan dalil istihsan saja.23

Menurut mereka qabul dari orang yang diberi (al-mauhub lah) bukanlah rukun. Sedangkan yang rukun hanyalah ijab dari orang memberi (wahib). Sebab hibah dalam bahasa adalah ungkapan tentang ijab dari sang pemilik saja tanpa ada syarat qabul dari orang yang diberi. Sedangkan qabul diperlukan agar hukumnya tetap, yaitu agar seluruh konsekuesinya berlangsung, yaitu perpindahan kepemilikan.24

Adapun pendapat Madzhab Hanbali mengatakan, “Hibah dinyatakan sah dengan adanya pemberian dan penerimaan yang menunjukkan maksud hibah. Sebab Rasulullah saw. Memberi hadiah dan menerima hadiah, demikian pula yang dilakukan oleh para sahabat beliau (tanpa ungkapan ijab qabul). Dan tidak ada riwayat dari mereka yang menyatakan bahwa mereka menetapkan syarat ijab serta syarat semacamnya.”25

Adapun rukun hibah menurut jumhur ulama ada empat26 yaitu: a. Al-Wahib (pemberi)

23 Muhammad Ajib, Fiqih Hibah dan Waris (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019), h.

16.

24 Muhammad Ajib, Fiqih Hibah dan Waris, h. 17

25 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 539.

(27)

Wahib adalah pemberi hibah, yang menghibahkan barang miliknya. Jumhur ulama berpendapat, jika orang yang sakit memberikan hibah, kemudian ia meninggal, maka hibah yang dikeluarkan adalah sepertiga dari harta peninggalan (tirkah).

b. Al-Mauhub lah (penerima)

Penerima hibah adalah seluruh manusia. Ulama sepakat bahwa seseorang dibolehkan menghibahkan seluruh hartanya.

c. Al-Mauhub (benda yang dihibahkan)

Mauhub adalah barang yang diberikan seseorang kepada orang lain. Pada dasarnya segala macam benda dapat yang dapat dijadikan hak milik bisa dihibahkan, bergerak atau tidak bergerak.

d. Sighat (ijab dan qobul)

Sighat hibah adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan ijab dan qobul, seperti dengan lafadz hibah, athiyah (pemberian dsb). Ijab dapat dilakukan secara sharih, seperti seseorang berkata, ”saya hibahkan benda ini kepadamu” atau tidak jelas yang tidak akan lepas dari syarat, waktu, atau manfaat.

e. Syarat-Syarat Pemberi Hibah

Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah dengan demikian tidaklah sah menghibahkan barang orang lain. Penghibah merupakan orang yang berakal, baligh dan menjaga hartanya, dan harus dengan kesukarelaan (tidak ada paksaan).27

(28)

f. Syarat-Syarat Penerima Hibah

Bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan. Adapun yang dimaksud dengan benar-benar ada ialah orang tersebut (penerima hibah) sudah lahir. Dengan begitu orang gila tidak boleh menerima hibah. Akan tetapi imam Malik tidak dipersoalkan apakah ia anak-anak, kurang akal (gila), dan dewasa. Dalam hal ini berarti setiap orang dapat menerima hibah, walaupun bagaimanapun kondisi fisik dan keadaan mentalnya. Dengan demikian memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalam kandungan adalah tidak sah.28

4. Pelaksanaan Hibah

Pelaksanaan hibah menurut ketentuan syari’at Islam adalah penghibah dilaksanakan semasa hidup, demikian juga penyerahan barang yang dihibahkan. Penghibah hendaklah berakal, baligh dan menjaga hartanya, begitupun dengan si penerima hibah. Kemudian dalam melaksanakan penghibahan harus ada pernyataan, terutama si pemberi hibah. Penghibahan hendaknya dilaksanakan di hadapan beberapa orang saksi (hukumnya sunnah), hal ini dimaksudkan untuk menghindari silang sengketa dibelakang hari.

5. Macam-Macam Hibah

Adapun macam-macam hibah berikut ini:

a. Hibah Barang

(29)

Hibah barang yaitu memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, tanpa ada harapan apapun. Seperti halnya orang tua dapat memberikannya kepada sebagian anaknya dengan menghibahkan rumah atau sepeda motor, baju dan lain sebagainya.29 Dalam masalah hibah barang, sebaiknya orang tua tidak membedakan pemberiannya di antara sesama anak. Tidak dihalalkan bagi seorangpun untuk melebihkan sebagian anak-anaknya dalam hal pemberian di atas anak-anaknya yang lain, karena hal demikian akan menanamkan permusuhan dan memutuskan hubungan silaturrahmi yang diperintahkan Allah untuk menyambungnya.

Hibah barang juga ada yang dimaksudkan untuk mencari pahala dan ada pula yang tidak dimaksudkan untuk mencari pahala. Maksud untuk mencari pahala ada yang ditujukan untuk memperoleh keridhaan Allah dan ada pula yang ditujukan untuk memperoleh kerelaan makhluk. Hibah yang bukan untuk mencari pahala tidak diperselisihkan kebolehannya, akan tetapi masih diperselisihkan hukum-hukumnya. Mengenai hibah untuk mencari pahala para fuqaha masih memperselisihkannya. Imam Malik dan Abu Hanifah membolehkannya, tetapi Imam Syafi'i melarangnya. Pendapat yang melarang ini juga dipegang oleh Daud dan Abu Tsaur.

b. Hibah Manfaat (Hibah Muajjalah)

29 Chairuman Pasaribu dan Suhrawarni Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta:

(30)

Hibah manfaat atau hibah muajjalah yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah, dengan kata lain dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja.30 Selanjutnya, dalam masalah hibah manfaat, orang tua dibolehkan secara mutlak memberikannya kepada anak tertentu saja dan tanpa memberikannya sama sekali kepada anak yang lain atas dasar pertimbangan keadilan. Dalam pemberian hibah manfaat ini, tidak mesti jumlahnya sama antara sesama anak. Siapa yang dianggap paling membutuhkan, maka kepadanya diberikan seluruh manfaat yang terdapat dalam harta milik orang tua tersebut. Dalam hibah manfaat, bendanya tetap milik orang tua, yang dihibahkannya hanya manfaatnya saja. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi anak yang lain yang sudah mapan merasa dirugikan atau merasa diperlakukan tidak adil, karena zat benda tersebut masih ada, yang dihibahkan adalah manfaatnya saja.31 Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (Hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri) dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.32

30 M. Hasballah Thalib, Hukum Benda Menurut Islam, (Medan: Universitas Dharma

Wangsa, 1992), h. 92.

31 M. Hasballah Thalib, Hukum Benda Menurut Islam, h. 93.

32 Rosnidang Sembiring, Hukum Keluarga Harta Benda dan Perkawinan, (Jakarta:PT. Raja

(31)

C. TINJAUAN TEORITIS TENTANG WARIS 1. Pengertian Hukum Waris

Hukum waris sering dikenal dengan istilah faraidh. Istilah faraidh, bentuk jamak dari kata ةَضْي ِرَف yang artinya wajib atau perlu.33 Dan hubungannya dengan waris adalah bagian yang ditentukan untuk ahli waris. Hal ini karena dalam Islam bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah dibakukan di dalam Alqur’an. Hukum kewarisan di dalam Islam mendapat perhatian besar, karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan.34.

Dalam sistem hukum Islam, kata waris merupakan kata yang diambil dari bahasa Arab اًثْرِإ- ث ِرَي- َث ِر َو yang artinya mempusakai (mewarisi).35 Sedangkan kata Mawarits adalah bentuk jamak dari kata Mirats artinya harta pusaka.36 Yaitu harta pusaka yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang nantinya akan dibagikan ke ahli waris yang berhak. Jika dikaitkan dengan kondisi yang berkembang di masyarakat Indonesia, istilah waris dapat diartikan sebagai suatu perpindahan berbagai hak dan kewajiban serta harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.37

Sedangkan menurut istilah, asy-Syirbini mendefinisikan sebagai berikut:

33 H. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, h. 313.

34 Ahmad Badawi, Warisan Menurut Hukum Islam dan Adat Jawa (Medan: Deepublish,

2019), h. 14.

35 H. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, h. 496.

36 H. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, h. 497.

37 T.M. Hasby As-Shidiqy, Fiqh Mawaris (Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, cet.

(32)

Artinya: “Ilmu fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui cara perhitungan kadar harta warisan yang wajib diberikan kepada tiap orang yang berhak.”

Dari pengertian hukum waris dan faraidh di atas, dapat diambil suatu titik temu bahwa pada dasarnya hukum waris dan faraidh merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang membahas permasalahan yang berkaitan dengan hubungan orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang masih hidup terhadap harta kekayaan maupun hak dan kewajiban yang ditinggalkannya.

2. Dasar Hukum Waris

Dasar hukum waris terdapat dalam beberapa sumber hukum Islam di antaranya Alqur’an, Hadis, Ijma’ dan Ijtihad.

a. Alqur’an

Di dalam Alqur’an ada banyak ayat yang secara detail menyebutkan tentang pembagian waris menurut hukum Islam. Khusus di surat an-Nisa’.

a) Allah swt berfirman adanya hak bagi ahli waris dari setiap harta peninggalannya. QS. an-Nisa’/4:33.

38 Muhammad Khatib al-Syirbini, Mugni al-Muhtaj, (Beirut-Libanon: Dar Al-Fikr, t.th), h.

(33)

Terjemahnya:

"Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Dan orang-orang kamu telah bersumpah setia dengan mereka. Maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.”39

b) Allah berfirman bahwa ahli waris laki-laki dan perempuan, masing-masing berhak menerima warisan sesuai dengan bagian yang ditentukan. QS. An-Nisa’/4:7.

Terjemahnya:

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”40

c) Ayat yang menerangkan secara rinci ketentuan bagi ahli waris (furud al-muqaddarah) terdapat pada surat an-Nisa’ ayat 11, 12 dan 176.

QS. an-Nisa’/4:11.

Terjemahnya:

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan

39 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 73.

(34)

yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”41

QS. an-Nisa’/4:12.

Terjemahnya:

“Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari skedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya

(35)

dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.”42

QS. an-Nisa’/4:176.

Terjemahnya:

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”43

b. Hadis

Selain Alqur’an, hukum kewarisan juga disebutkan dalam Hadis Rasulullah saw. Adapun hadis yang berhubungan dengan hukum kewarisan diantaranya:

Artinya:

42 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 79.

43 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 106.

44 Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al Bukhari, Shahih Bukhari, XX/454, nomor hadis

(36)

“Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah saw bersabda: Berikanlah faraidh (bagian yang telah ditentukan dalam Alqur’an) kepada yang berhak dan sisanya berikanlah kepada keluarga laki-laki yang terdekat.”

Artinya:

Dari Ibnu Mas’ud ra. Tentang (bagian warisan) anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan, Nabi SAW menetapkan, untuk anak perempuan setengah, cucu perempuan seperenam, sebagai penyempurna dua pertiga, dan selebihnya adalah milik saudara perempuan.

c. Ijma dan Ijtihad

Ijma’ dan Ijtihad para sahabat, imam-imam madzhab dan mujtahid-mujtahid kenamaan mempunyai peranan besar terhadap pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum dijelaskan oleh nash-nash yang sharih.46 Ijma’ dan Ijtihad disini menerima hukum warisan sebagai ketentuan hukum yang harus dilaksanakan dalam upaya mewujudkan keadilan masyarakat dan menjawab persoalan yang muncul dalam pembagian warisan, yaitu dengan cara menerapkan hukum, bukan mengubah pemahaman atau ketentuan yang ada.

Masalah-masalah tentang warisan ada yang sudah dijelaskan permasalahannya di dalam Alqu’an dan Sunnah dengan keterangan yang konkret, sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi dan penafsiran di kalangan ulama dan umat Islam. Akan tetapi masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan.

46 Ahmad Badawi, Warisan Menurut Hukum Islam dan Adat Jawa (Medan:Deepublish,

(37)

Penyebab timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam berbagai masalah waris cukup banyak. Salah satunya metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad berbeda. Kemudian Kondisi masyarakat dan waktu ulama melakukan ijtihad juga berbeda.47

Hal itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai madzhab atau aliran dalam hukum fiqih Islam, termasuk hukum waris. Maka dengan maksud mempersatukan dan memudahkan umat Islam, Ibnu Muqaffa menyarankan Khalifah Abu Ja’far Mansur agar disusun sebuah Kitab Hukum Fiqih Islam yang lengkap berdasarkan Alqur’an, as-Sunnah, dan ar-Ra’yu yang sesuai dengan keadilan dan kemaslahatan umat.

d. Rukun dan Syarat Waris

Sebagaimana hukum lainnya, masalah warispun memiliki ketentuan khusus (rukun-rukun) yang harus terpenuhi. Dengan kata lain, hukum waris dipandang sah secara hukum Islam jika dalam proses penetapannya dipenuhi tiga rukun, waris, muwaris dan maurus.48 Rukun-rukun waris ada tiga, yaitu:

a. Al-Muwaris, yaitu orang yan meninggal dunia, baik mati haqiqi maupun mati hukmi, seperti orang yang hilang kemudian dihukumi mati.

b. Al-Waris, yaitu orang yang akan mewarisi harta peninggalan si muwaris lantaran mempunyai sebab-sebab mempusakai seperti adanya ikatan perkawinan, hubungan darah (keturunan) dan hubungan hak perwaliandengan si muwaris.

c. Al-Maurus, disebut juga tirkah dan miras yaitu harta benda atau hak yang akan dipindahkan dari muwaris kepada al-waris

47 Ahmad Badawi, Warisan Menurut Hukum Islam dan Adat Jawa, h.24.

48 Wahbah Zuhayli, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu,h. 346. Lihat juga karya Muhammad

(38)

Adapun syarat adalah sesuatu yang harus ada pada saat pekerjaan pokok dilaksanakan.49Berikut ini syarat-syarat menjadi ahli waris:

a) Mempunyai hak terhadap peninggalan waris, misal hubungan keluarga atau tertulis dalam surat wasiat (testamen).

b) Ahli waris sudah ada saat pewaris (pemilik harta) meninggal.

c) Seseorang yang sudah meninggal dunia dan digantikan oleh keturunannya. Misal seorang kakek dapat mewariskan ke cucu, karena si anaknya sudah meninggal terlebih dahulu.

d) Cakap untuk menerima warisan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

e. Sebab-Sebab Mewarisi

Ada tiga hal dimana seseorang bisa memperoleh harta warisan menurut hukum Islam.50

1. Karena Hubungan Keluarga

Hubungan keluarga baik laki-laki dan perempuan, orang tua ataupun anak-anak, lemah maupun kuat, semuanya menerima warisan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga ditegaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 7. Jalur perwarisan ini berlaku untuk semua arah. Baik ke bawah anak dan cucu, dan ke atas seperti bapak, ibu, kakek, nenek maupun ke samping seperti saudara laki-laki, perempuan dan paman. Dilihat dari penerimanya, hubungan kekerabatan ini dapat dibagi ke dalam tiga kelompok.

49 Hasanuddin, Fiqh Mawaris (Jakarta: Prenadamedia Group, 2020), h.17.

(39)

a. Ashab al-furud an-nasabiyyah, yaitu ahli waris yang akan mendapatkan bagian tertentu dan mempunyai hubungan nasab dengan orang yang meninggal

b. Ashabah an-nasabiyyah, yaitu ahli waris dari golongan nasab yang tidak mempunyai bagian tertentu, akan tetapi akan mendapatkan bagian sisa dari ashab al-furud atau mengambil seluruh harta jika ashab al-furud tidak ada. Akan tetapi mereka tidak mendapatkan warisan jika harta warisan tersebut telah habis dibagikan kepada ashab al-furud.

c. Zawi al-arham, ialah kerabat yang tidak masuk ke dalam ashab al-furud dan ashabah. Mereka akan mendapatkan bagian dari harta warisan jika ahli waris yang dekat tidak ada.

2. Hubungan Pernikahan

Pernikahan atau perkawinan yang sah menurut Islam menjadi salah satu sebab adanya pewarisan antara suami dan istri. Jika salah seorang dari suami istri meninggal sebelum persetubuhan maka bisa saling mewarisi, karena keumuman dari makna ayat warisan antara suami istri pada awal surah an-Nisa ayat 12. Juga karena Nabi Muhammad sawmemutuskan kasus Barwa’ binti Wasyiq bahwa dia mendapatkan warisan. Suaminya meninggal sebelum menyetubuhinya, dan nabi tidak mewajibkan mahar untuknya.51

Jika pernikahan telah dilaksanakan oleh sepasang suami istri tidak sah menurut hukum islam, maka keduanya tidak dapat saling mewarisi jika salah

(40)

satunya meninggal dunia.52 Hal tersebut tentunya terjadi jika kedua pasangan suami istri masih dalam ikatan pernikahan atau dalam masa iddah dalam talak raj’i. Namun jika kedua pasangan suami istri di luar masa iddah talak raj’i (bain sugra) atau bain kubra (talak tiga dan sudah habis masa iddah), maka keduanya tidak dapat saling mewarisi. Keempat imam madzhab sepakat dalam masalah ini. Adapun jika wanita tersebut tertalak bain dan suaminya dalam keadaan sakit yang mengakibatkan kematian, maka dalam hal ini tejadi perbedaan pendapat. Menurut Madzhab Syafi’i, sang istri tidak berhak mendapatkan warisan. Adapun menurut Madzhab Hanafiah wanita yang tertalak bain masih berhak mendapatkan warisan jika belum selesai masa iddahnya. Dan menurut Madzhab Hambali sang istri yang tertalak bain masih berhak mendapatkan warisan jika ia belum menikah dengan laki-laki lain. Lain halnya dengan Madzhab Maliki. Mereka mengatakan bahwa wanita yang tertalak bain dan selesai masa iddah dan sudah menikah dengan laki-laki lain, maka ia (wanita itu) berhak medapatkan warisan.53

3. Karena Hubungan Wala’

Secara bahasa wala’ artinya kerabat. Adapun secara istilah wala’ adalah status ‘ashabah yang didapatkan karena memerdekakan budak. Ahli waris wala’ (mu’tiq) berhak mendapatkan harta dari orang yang dimerdekakannya hanya sebagai ‘ashabah bukan zawi al-furud baik laki-laki maupun perempuan.

52 Hasanuddin, Fiqh Mawaris, h. 19. 53 Hasanuddin, Fiqh Mawaris, h. 20.

54Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al Bukhari, Shahih Bukhari, XX/488, nomor hadis

(41)

Artinya:

”Dari Ibnu Umar r.a. Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya wala’ itu untuk orang yang memerdekakan (budak).”

BAB III

KONSEP HIBAH DAN WARIS A. Perbedaan Hibah dan Waris

Adapun perbedaan antara waris dan hibah adalah sebagai berikut:

1. Waktu Akad Penetapan

Harta waris tidak dibagi-bagi kepada ahli warisnya, juga tidak ditentukan berapa besar masing-masing bagian, kecuali setelah pemilik harta itu (pewaris) meninggal dunia. Sehingga tidak dikenal adanya akad pemberian harta waris yang dilakukan oleh pewaris atau pemilik harta. Yang ada hanyalah pembagian harta oleh sesama ahli waris. Pewaris tidak memberi harta kepada ahli warisnya. Pewaris hanya meninggalkan harta itu, tidak memberi. Maka tidak ada akad pemberian harta dari pewaris kepada ahli warisnya.

Sedangkan harta yang dihibahkan harus ada akadnya, yaitu ketetapan dari pemilik harta untuk menghibahkan hartanya kepada penerima. Dan si penghibah

(42)

tentunya masih hidup. Sebab jika penghibah sudah meninggal, tidak bisa membuat ikrar atau akad penetapan.

2. Waktu Implementasi

Implementasi pembagian harta waris hanya bisa dilakukan kepada pewaris setelah meninggal dunia. Sedangkan implementasi pembagian hibah tidak dilakukan setelah kematian pemiliknya. Implementasinya justru dilakukan pada saat akad penetapan dilakukan.

3. Penerimaan

Yang berhak menerima waris hanyalah orang-orang yang terdapat di dalam daftar ahli waris. Syaratnya, ahli waris itu memenuhi ketentuan seperti beragama Islam, masih hidup, dan yang paling utama adalah dia tidak terkena hijab oleh ahli waris yang lain dan menghalanginya. Sedangkan yang berhak menerima harta hibah boleh siapa saja, baik dari kalangan calon ahli waris ataupun di luar calon ahli waris. Dan penting untuk dicatat bahwa bila ada calon ahli waris yng mendapat hibah, maka hal itu tidak menggugurkan haknya atas harta warisan nantinya. Sehingga seorang ahli waris bisa saja mendapat harta dua kali, yaitu dari jalur hibah ketika pewaris masih hidup dari dari waris ketika pewaris telah meninggal dunia.55

4. Nilai Harta

(43)

Dari segi nilai, harta yang dibagi waris sudah ada ketentuan besaranya, yaitu sebagaimana ditetapkan di dalam Ilmu Faraidh. Ada ashabul furudh yang sudah ditetapkan besarannya, seperti1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8, hingga 2/3. Ada juga para ahli waris dengan status menerima ‘ashabah, yaitu menerima warisan berupa sisa harta dari yang telah diambil oleh para ashabul furudh. Dan ada juga yang menerima lewat jalur furudh. Dan ashabah sekaligus.

Sedangkan besaran nilai harta yang diberikan kepada penerima hibah 1/3 dari hartanya menurut pasal 210 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.

5. Hukum Bagi Pemberi

Kalau dilihat dari pihak pemberi harta warisan, maka seorang pewaris secara otomatis akan kehilangan haknya begitu maut datang menjemput. Maka pada hakikatnya seorang pewaris itu tidak memberikan harta warisannya, tetapi pewaris itu meninggalkan harta. Dan harta itu pun tidak disebut dengan pemberian, melainkan disebut dengan peninggalan.56

Maka tidak ada hukum kewajibah atau keharusan terkait dengan pihak pewaris untuk memberikan harta warisan, sebab yang diberikan beban kewajiban hanya orang yang masih hidup. Sedangkan orang mati, sama sekali bebas dari perintah atau larangan. Sedangkan kalau dilihat dari pihak pemberi hibah, hukumnya tentu bukan merupakan kewajiban, melainkan hanya kebolehan atau sunnah.

6. Hukum Penerapannya

(44)

Hukum untuk mengimplementasikan pembagian waris adalah kewajiban yang mutlak. Kelalaian dari penerapan kewajiban ini berdampak pada dosa dan ancaman siksa di neraka. Yang berkewajiban untuk menjalankan tentu para ahli waris itu sendiri. Kalau seluruh ahli waris sepakat untuk tidak membagi harta waris dengan ketentuan Allah SWT, semuanya ikut berdosa.

Sedangkan hibah apabila suatu harta sudah dihibahkan oleh pemiliknya kepada orang yang dihibahkan, maka wajib atas semua pihak unruk menerima dan menjalankan hibah tersebut. Hibah kepada pihak tertentu, maka wajib hukumnya untuk dilaksanakan oleh para ahli waris.57

Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa waris dan hibah mempunyai enam perbedaan yang mendasar. Mulai dari perbedaan waktu akad penetapan, waktu implementasi, penerima, nilai harta, hukum bagi pemberi dan yang terakhir hukum penerapannya.

Demikian pemaparan tinjauan teori tentang hibah dan waris. Dimana keduanya memiliki dasar hukum syariat, baik di dalam Alqur’an maupun Hadis Nabi. Dan keduanya berbeda dalam segi hukum, yang mana waris merupakan wajib untuk dilakukan seperti membagi harta waris sesuai dengan bagian masing-masing ahli waris, sedangkan hibah hukumnya adalah sunnah atau boleh dilakukan tanpa ada larangan.

(45)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Status Pemberian Hibah Orang Tua Kepada Anaknya yang

Diperhitungkan Sebagai Warisan Menurut Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 211 disebutkan bahwa “Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.” Kehadiran Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan respon pemerintah atas keresahan-keresahan masyarakat khususnya umat Islam di Indonesia dalam menghadapai permasalahan hukum waris dan hibah, juga sebagai rujukan untuk para hakim yang ada di Pengadilan Agama. Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan langkah awal untuk kodifikasi58 hukum nasional.

Kompilasi Hukum Islam merupakan suatu produk hukum seperti halnya sebuah kodifikasi. Kompilasi tidak lain hanya kumpulan hukum yang memuat uraian atau bahan-bahan, pendapat, atau aturan hukum. Pengertiannya berbeda dengan kodifikasi, namun kompilasi dalam pengertian ini juga merupakan sebuah

58Proses pengumpulan hukum-hukum di wilayah tertentu untuk menghasilkan sebuah

(46)

hukum. Dilihat dari rencana kegiatan yang bersangkutan yaitu untuk menghimpun bahan-bahan hukum yang diperlukan sebagai pedoman dalam bidang hukum materiil di lingkungan peradilan agama, bahan-bahan dimaksud diangkat dari berbagai kitab yang biasa digunakan sebagai referensi dalam penetapan hukum yang dilakukan oleh para hakim dan bahan-bahan lainnya yang berhubungan dengan itu.59

Kompilasi Hukum Islam juga merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama fikih yang biasa digunakan sebagai referensi pada pengadilan agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan. Materi atau bahan-bahan hukum tersebut telah diolah melalui proses dan metode tertentu, kemudian dirumuskan dalam bentuk serupa dengan peraturan perundang-undangan (yaitu dalam pasal-pasal tertentu). Bahan ini ditetapkan berlakunya dan untuk selanjutnya dapat digunakan oleh para hakim pengadilan agama dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya sebagai pedoman.60

Satjipto Rahadjo melihat teori hukum sebagai bagian dari ilmu hukum (dalam arti luas) yang melakukan sistematisasi masalah-masalah hukum sampai kepada landasan filosofinya yang paling dalam, dengan ruang lingkup sebagai berikut:61

59Achmad Irwan Hamzani, Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta:

Prenamedia Group, 2020), h. 127.

60 Achmad Irwan Hamzani, Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, h. 128.

61 Jazim Hamidi, Membedah Teori-Teori Hukum Kontemporer, (Malang: UB Press,

(47)

1. Sebabnya berlaku hukum 2. Cara memahami hukum

3. Hubungan hukum dengan individu dan masyarakat 4. Tugas dari hukum

5. Arti keadilan

Telah banyak tokoh mengemukakan mengenai makna keadilan. Plato memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan berbagai organisme sosial karenanya setiap warga negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat alamiyahnya. Pandangan Plato ini sangat dipengaruhi oleh cita-cita kolektivistik. Pandangan Plato tersebut merupakan pernyataan kelas, maka keadilan Platonis berarti bahwa para anggota setiap masyarakat harus menyelesaikan pekerjaan masing-masing dan tidak boleh mencampuri urusan anggota kelas lain. 62

Menurut Aristoteles keadilan ideal adalah ketika semua unsur ketika semua masyarakat mendapat bagian yang sama dari semua benda yang ada di alam. Manusia dipandang sejajar dan mempunyai hak yang sama atas kepemilikan suatu barang (materi). Dalam pandangan Aristoteles, keadilan dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, keadilan distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proposional. Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi, dan memelihara distribusi, serta melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada

(48)

prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo63 dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan hanya distribusi sama rata, akan tetapi berada dalam keadaan tertentu juga merupakan keadilan.64

Adapun John Rawls berpendapat bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama, keadilan tidak selalu berarti semua orang harus diperlakukan secara sama tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan penting yang secara objektif ada pada setiap individu. Ketidaksamaan dalam distribusi nilai-nilai sosial selalu dapat dibenarkan asalkan kebijakan itu ditempuh demi menjamin dan membawa manfaat bagi semua orang.65

Membedah Teori Hukum Kontemporer, sebenarnya kajian kritis atas berbagai macam pandangan dalam berbagai bidang keilmuan dari segi keilmuan hukum. Artinya pandangan para tokoh keilmuan tersebut dianalisis kritis secara mendalam. Tujuannya adalah memberikan pandangan baru terhadap khazanah keilmuan khususnya dalam paradigma teori hukum yang kontemporer. Banyak pandangan keilmuan yang dimunculkan para tokoh di berbagai bidang yang sebenarnya dapat berkaitan atau digunakan dalam menganalisis teori hukum itu sendiri. Hal ini membuktikan hukum merupakan bidang keilmuan khusus serta bidang ilmu yang terkait dengan ilmu lain. Pentinganya paradigma baru dalam

63 Keadaan yang ada

64 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, h. 106. 65 John Rawls, A Theory of Justice (Teori Keadilan), (Harvard University Press of

(49)

memandang teori hukum menempati tempat yang penting dalam ranah ilmu hukum.66

Prinsip keadilan yang dapat diterima seluruh masyarakat akan mejadi prinsip keadilan yang bukan sekedar lahir dari kata “setuju”, namun merupakan jelmaan kesepakatan yang mengikat dan mengandung isyarat komitmen menjaga kelestarian prinsip keadilan tersebut. Dengan demikian seseorang kemudian mempertimbangkan “biaya psikologis” yang harus ditanggung dalam memenuhi konpensasi kesepakatan pengikat gerak sosial dan individual tersebut. Masalah keadilan muncul ketika individu-individu yang berlainan mengalami konflik atas kepentingan mereka, maka prinsip-prinsip keadilan harus mampu tampil sebagai pemberi keputusan dan penentu akhir bagi perselisihan masalah keadilan.67

Sedangkan keadilan dalam Islam merupakan perpaduan antara hukum dengan moralitas, Islam tidak bertujuan menghancurkan kebebasan individu, tetapi mengontrol kebebasan itu demi keselarasan dan harmonisasi masyarakat yang terdiri dari individu-individu itu sendiri. Hukum Islam memiliki peran dalam mendamaikan pribadi dengan kepentingan kolektif, bukan sebaliknya. Individu diberi hak untuk mengembangkan hak pribadinya dengan syarat tidak mengganggu kepentingan orang banyak.68

Melalui penelitian hukum hal yang juga tidak boleh dilupakan dalam memahami ontologi dari penelitian hukum, yaitu para ahli hukum, termasuk di

66Jazim Hamidi, Membedah Teori-Teori Hukum Kontemporer, h. 13.

67Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: EKONESIA,

2005), h. 78-79.

(50)

dalamnya para praktisi, dan advokat (lawyers), menentukan sumber-sumber (the sources) hukum yang mereka butuhkan untuk memperkirakan bagaimana pengadilan akan bertindak, dan juga kemungkinan pula meyakinkan pengadilan untuk mengambil langkah-langkah tertentu yang mereka pandang tepat dari sudut pandang hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.69

Memahami ontologi penelitian tidak dapat dilepaskan juga dari keasadaran bahwa untuk menerapkan hukum kedalam suatu situasi kemasyarakatan tertentu membutuhkan keahlian (expertise) dalam melakukan analisis hukum (legal analysis). Seorang ahli hukum (jurist or lawyer), dikatakan memiliki kemampuan untuk melakukan suatu analisis hukum apabila bisa membedakan apa yang dimaksudkan dengan sesuatu peristiwa konkret dan kemudian mentransformasikannya menjadi suatu peristiwa hukum sebelum menerapkan doktrin, asas, atau kaidah dan peraturan hukum konkret tertentu yang berlaku dalam suatu sistem hukum yang sudah dibangun atau terkonstruksi dalam situasi yang secara analogi dapat dipersamakan dengan yang tengah si jurist itu hadapi. Hal ini juga merupakan bagian yang tidak boleh dilupakan dalam memahami ontologi penelitian hukum.70

Demikian pula pasal 211 Kompilasi Hukum Islam jika dilihat dari subtansi dari pasal tersebut memiliki kaitan dengan Islam. Pendekatan kaidah Usul Fiqih yang digunakan yaitu metode “Mashlahah Al-Mursalah” yang berarti prinsip kemashlahatan yang dipergunakan untuk menetapkan suatu hukum Islam. Juga

69 Teguh Prasetyo, Penelitian Hukum Suatu Perspektif Teori Keadilan Bermartabat,

(Bandung: Penerbit Nusa Media, 2019), h. 26.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut : (1) pola pembelajaran ceramah, tanya jawab, pemberian tugas dan diskusi merupakan metode

Untuk mengetahui lebih mendalam ada beberapa alasan timbulnya komersialisasi pendidikan yaitu: 1) Pemerintah kurang mampu mengelola pendidikan sebagai sektor publik

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh persepsi harga, iklan dan kemasan terhadap niat beli pada produk biscuit sandwich Oreo di Surabaya.. Pada

Sedangkan variabel independen yang dikumpulkan adalah: (1) Karakteristik sosial meliputi pendidikan dan SHNHUMDDQ LVWHUL GDQ VXDPL 'HPRJUD¿ PHQFDNXS umur isteri dan

Berdasakan hasil penelitian diketahui dari 139 remaja dengan status gizi normal, sebanyak 11 (7,9%) remaja dengan usia menarche tidak baik, hal ini

[r]

dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan hara pada tanaman melon dan meningkatkan pertumbuhan tanaman melon, sehingga jika dimanfaatkan sebagai pupuk hayati di

Nilai total ketakteraturan titik dari graf