• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

C. TINJAUAN TEORITIS TENTANG WARIS

Hukum waris sering dikenal dengan istilah faraidh. Istilah faraidh, bentuk jamak dari kata ةَضْي ِرَف yang artinya wajib atau perlu.33 Dan hubungannya dengan waris adalah bagian yang ditentukan untuk ahli waris. Hal ini karena dalam Islam bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah dibakukan di dalam Alqur’an. Hukum kewarisan di dalam Islam mendapat perhatian besar, karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan.34.

Dalam sistem hukum Islam, kata waris merupakan kata yang diambil dari bahasa Arab اًثْرِإ- ث ِرَي- َث ِر َو yang artinya mempusakai (mewarisi).35 Sedangkan kata Mawarits adalah bentuk jamak dari kata Mirats artinya harta pusaka.36 Yaitu harta pusaka yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang nantinya akan dibagikan ke ahli waris yang berhak. Jika dikaitkan dengan kondisi yang berkembang di masyarakat Indonesia, istilah waris dapat diartikan sebagai suatu perpindahan berbagai hak dan kewajiban serta harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.37

Sedangkan menurut istilah, asy-Syirbini mendefinisikan sebagai berikut:

33 H. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, h. 313.

34 Ahmad Badawi, Warisan Menurut Hukum Islam dan Adat Jawa (Medan: Deepublish,

2019), h. 14.

35 H. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, h. 496.

36 H. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, h. 497.

37 T.M. Hasby As-Shidiqy, Fiqh Mawaris (Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, cet.

Artinya: “Ilmu fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui cara perhitungan kadar harta warisan yang wajib diberikan kepada tiap orang yang berhak.”

Dari pengertian hukum waris dan faraidh di atas, dapat diambil suatu titik temu bahwa pada dasarnya hukum waris dan faraidh merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang membahas permasalahan yang berkaitan dengan hubungan orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang masih hidup terhadap harta kekayaan maupun hak dan kewajiban yang ditinggalkannya.

2. Dasar Hukum Waris

Dasar hukum waris terdapat dalam beberapa sumber hukum Islam di antaranya Alqur’an, Hadis, Ijma’ dan Ijtihad.

a. Alqur’an

Di dalam Alqur’an ada banyak ayat yang secara detail menyebutkan tentang pembagian waris menurut hukum Islam. Khusus di surat an-Nisa’.

a) Allah swt berfirman adanya hak bagi ahli waris dari setiap harta peninggalannya. QS. an-Nisa’/4:33.

38 Muhammad Khatib al-Syirbini, Mugni al-Muhtaj, (Beirut-Libanon: Dar Al-Fikr, t.th), h. 3.

Terjemahnya:

"Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Dan orang-orang kamu telah bersumpah setia dengan mereka. Maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.”39

b) Allah berfirman bahwa ahli waris laki-laki dan perempuan, masing-masing berhak menerima warisan sesuai dengan bagian yang ditentukan. QS. An-Nisa’/4:7.

Terjemahnya:

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”40

c) Ayat yang menerangkan secara rinci ketentuan bagi ahli waris (furud al-muqaddarah) terdapat pada surat an-Nisa’ ayat 11, 12 dan 176.

QS. an-Nisa’/4:11.

Terjemahnya:

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan

39 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 73.

yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”41

QS. an-Nisa’/4:12.

Terjemahnya:

“Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari skedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya

dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.”42

QS. an-Nisa’/4:176.

Terjemahnya:

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”43

b. Hadis

Selain Alqur’an, hukum kewarisan juga disebutkan dalam Hadis Rasulullah saw. Adapun hadis yang berhubungan dengan hukum kewarisan diantaranya:

Artinya:

42 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 79.

43 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 106.

44 Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al Bukhari, Shahih Bukhari, XX/454, nomor hadis

“Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah saw bersabda: Berikanlah faraidh (bagian yang telah ditentukan dalam Alqur’an) kepada yang berhak dan sisanya berikanlah kepada keluarga laki-laki yang terdekat.”

Artinya:

Dari Ibnu Mas’ud ra. Tentang (bagian warisan) anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan, Nabi SAW menetapkan, untuk anak perempuan setengah, cucu perempuan seperenam, sebagai penyempurna dua pertiga, dan selebihnya adalah milik saudara perempuan.

c. Ijma dan Ijtihad

Ijma’ dan Ijtihad para sahabat, imam-imam madzhab dan mujtahid-mujtahid kenamaan mempunyai peranan besar terhadap pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum dijelaskan oleh nash-nash yang sharih.46 Ijma’ dan Ijtihad disini menerima hukum warisan sebagai ketentuan hukum yang harus dilaksanakan dalam upaya mewujudkan keadilan masyarakat dan menjawab persoalan yang muncul dalam pembagian warisan, yaitu dengan cara menerapkan hukum, bukan mengubah pemahaman atau ketentuan yang ada.

Masalah-masalah tentang warisan ada yang sudah dijelaskan permasalahannya di dalam Alqu’an dan Sunnah dengan keterangan yang konkret, sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi dan penafsiran di kalangan ulama dan umat Islam. Akan tetapi masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan.

46 Ahmad Badawi, Warisan Menurut Hukum Islam dan Adat Jawa (Medan:Deepublish,

Penyebab timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam berbagai masalah waris cukup banyak. Salah satunya metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad berbeda. Kemudian Kondisi masyarakat dan waktu ulama melakukan ijtihad juga berbeda.47

Hal itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai madzhab atau aliran dalam hukum fiqih Islam, termasuk hukum waris. Maka dengan maksud mempersatukan dan memudahkan umat Islam, Ibnu Muqaffa menyarankan Khalifah Abu Ja’far Mansur agar disusun sebuah Kitab Hukum Fiqih Islam yang lengkap berdasarkan Alqur’an, as-Sunnah, dan ar-Ra’yu yang sesuai dengan keadilan dan kemaslahatan umat.

d. Rukun dan Syarat Waris

Sebagaimana hukum lainnya, masalah warispun memiliki ketentuan khusus (rukun-rukun) yang harus terpenuhi. Dengan kata lain, hukum waris dipandang sah secara hukum Islam jika dalam proses penetapannya dipenuhi tiga rukun, waris, muwaris dan maurus.48 Rukun-rukun waris ada tiga, yaitu:

a. Al-Muwaris, yaitu orang yan meninggal dunia, baik mati haqiqi maupun mati hukmi, seperti orang yang hilang kemudian dihukumi mati.

b. Al-Waris, yaitu orang yang akan mewarisi harta peninggalan si muwaris lantaran mempunyai sebab-sebab mempusakai seperti adanya ikatan perkawinan, hubungan darah (keturunan) dan hubungan hak perwaliandengan si muwaris.

c. Al-Maurus, disebut juga tirkah dan miras yaitu harta benda atau hak yang akan dipindahkan dari muwaris kepada al-waris

47 Ahmad Badawi, Warisan Menurut Hukum Islam dan Adat Jawa, h.24.

48 Wahbah Zuhayli, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu,h. 346. Lihat juga karya Muhammad

Adapun syarat adalah sesuatu yang harus ada pada saat pekerjaan pokok dilaksanakan.49Berikut ini syarat-syarat menjadi ahli waris:

a) Mempunyai hak terhadap peninggalan waris, misal hubungan keluarga atau tertulis dalam surat wasiat (testamen).

b) Ahli waris sudah ada saat pewaris (pemilik harta) meninggal.

c) Seseorang yang sudah meninggal dunia dan digantikan oleh keturunannya. Misal seorang kakek dapat mewariskan ke cucu, karena si anaknya sudah meninggal terlebih dahulu.

d) Cakap untuk menerima warisan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

e. Sebab-Sebab Mewarisi

Ada tiga hal dimana seseorang bisa memperoleh harta warisan menurut hukum Islam.50

1. Karena Hubungan Keluarga

Hubungan keluarga baik laki-laki dan perempuan, orang tua ataupun anak-anak, lemah maupun kuat, semuanya menerima warisan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga ditegaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 7. Jalur perwarisan ini berlaku untuk semua arah. Baik ke bawah anak dan cucu, dan ke atas seperti bapak, ibu, kakek, nenek maupun ke samping seperti saudara laki-laki, perempuan dan paman. Dilihat dari penerimanya, hubungan kekerabatan ini dapat dibagi ke dalam tiga kelompok.

49 Hasanuddin, Fiqh Mawaris (Jakarta: Prenadamedia Group, 2020), h.17.

a. Ashab al-furud an-nasabiyyah, yaitu ahli waris yang akan mendapatkan bagian tertentu dan mempunyai hubungan nasab dengan orang yang meninggal

b. Ashabah an-nasabiyyah, yaitu ahli waris dari golongan nasab yang tidak mempunyai bagian tertentu, akan tetapi akan mendapatkan bagian sisa dari ashab al-furud atau mengambil seluruh harta jika ashab al-furud tidak ada. Akan tetapi mereka tidak mendapatkan warisan jika harta warisan tersebut telah habis dibagikan kepada ashab al-furud.

c. Zawi al-arham, ialah kerabat yang tidak masuk ke dalam ashab al-furud dan ashabah. Mereka akan mendapatkan bagian dari harta warisan jika ahli waris yang dekat tidak ada.

2. Hubungan Pernikahan

Pernikahan atau perkawinan yang sah menurut Islam menjadi salah satu sebab adanya pewarisan antara suami dan istri. Jika salah seorang dari suami istri meninggal sebelum persetubuhan maka bisa saling mewarisi, karena keumuman dari makna ayat warisan antara suami istri pada awal surah an-Nisa ayat 12. Juga karena Nabi Muhammad sawmemutuskan kasus Barwa’ binti Wasyiq bahwa dia mendapatkan warisan. Suaminya meninggal sebelum menyetubuhinya, dan nabi tidak mewajibkan mahar untuknya.51

Jika pernikahan telah dilaksanakan oleh sepasang suami istri tidak sah menurut hukum islam, maka keduanya tidak dapat saling mewarisi jika salah

satunya meninggal dunia.52 Hal tersebut tentunya terjadi jika kedua pasangan suami istri masih dalam ikatan pernikahan atau dalam masa iddah dalam talak raj’i. Namun jika kedua pasangan suami istri di luar masa iddah talak raj’i (bain sugra) atau bain kubra (talak tiga dan sudah habis masa iddah), maka keduanya tidak dapat saling mewarisi. Keempat imam madzhab sepakat dalam masalah ini. Adapun jika wanita tersebut tertalak bain dan suaminya dalam keadaan sakit yang mengakibatkan kematian, maka dalam hal ini tejadi perbedaan pendapat. Menurut Madzhab Syafi’i, sang istri tidak berhak mendapatkan warisan. Adapun menurut Madzhab Hanafiah wanita yang tertalak bain masih berhak mendapatkan warisan jika belum selesai masa iddahnya. Dan menurut Madzhab Hambali sang istri yang tertalak bain masih berhak mendapatkan warisan jika ia belum menikah dengan laki-laki lain. Lain halnya dengan Madzhab Maliki. Mereka mengatakan bahwa wanita yang tertalak bain dan selesai masa iddah dan sudah menikah dengan laki-laki lain, maka ia (wanita itu) berhak medapatkan warisan.53

3. Karena Hubungan Wala’

Secara bahasa wala’ artinya kerabat. Adapun secara istilah wala’ adalah status ‘ashabah yang didapatkan karena memerdekakan budak. Ahli waris wala’ (mu’tiq) berhak mendapatkan harta dari orang yang dimerdekakannya hanya sebagai ‘ashabah bukan zawi al-furud baik laki-laki maupun perempuan.

52 Hasanuddin, Fiqh Mawaris, h. 19.

53 Hasanuddin, Fiqh Mawaris, h. 20.

54Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al Bukhari, Shahih Bukhari, XX/488, nomor hadis

Artinya:

”Dari Ibnu Umar r.a. Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya wala’ itu untuk orang yang memerdekakan (budak).”

Dokumen terkait