• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN HUKUM PIDANA ADAT ENGGROS TOBATI PAPUA DALAM PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA NASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERAPAN HUKUM PIDANA ADAT ENGGROS TOBATI PAPUA DALAM PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA NASIONAL"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN HUKUM PIDANA ADAT ENGGROS TOBATI PAPUA DALAM PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA NASIONAL

IMPLEMENTATION OF CRIMINAL CUSTOMARY LAW IN PAPUA ENGGROS TOBATI NATIONAL CRIMINAL LAW DEVELOPMENTS

Hamid Muhammad Amin1, Aminuddin M. Salle2, M. Syukri AKub2

1

Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin 2

Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin

Alamat Korespondensi:

Hamid Muhammad Amin Magister Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin

Makassar, 90245

E-mail : aminuniyap11@gmail.com HP : 081240520607

(2)

ABSTRAK

Pengembangan hukum nasional mestinya bersumber dan digali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) sehingga hukum nasional mencerminkan nilai sosial, budaya, dan struktural masyarakat Indonesia. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui kaidah hukum pidana adat suku Enggros Tobati di Papua dan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan hukum pidana adat tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research), yang dipusatkan pada sistem hukum adat Papua. Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan dengan mengumpulkan data skunder dan primer melalui studi teknik dokumentasi. Dan wawancara narasumber dalam hal ini tokoh/pemuka adat Papua. Data yang dikumpulkan berupa informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Bentuk hukum adat sebagian besar adalah tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan, namun tetap ditaati dalam masyarakat karena mempunyai suatu sanksi tertentu bila tidak ditaati. Masyarakat Enggros Tobati mengenal asas yang identik dengan asas ultimum remedium. Konsep musyawarah dalam penyelesaian perkara pidana tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan dengan model restorative justice dalam menyelesaikan perkara pidana. Setiap warga Enggros Tobati dilekati hukum pidana adat Enggros Tobati ke mana pun ia pergi, sekalipun seorang Enggros Tobati yang berada di luar wilayah Enggros Tobati. Selanjutnya hasil penelitian menunjukkan bahwa, hukum pidana adat Enggros Tobati memiliki kaidah hukum pidana yang meliputi hukum matriil dan hukum formiil yang hingga saat ini masih digunakan dalam menyelesaikan sengketa adat yang terjadi melalui Dewan Adat Enggros Tobati.

Kata kunci: Hukum Adat, Masyarakat Papua.

ABSTRACT

Development of national laws should be sourced and extracted from the legal values that live in the community so that national laws reflect social, cultural, and structural Indonesian society. This study was aimed to determine the rules of criminal law Enggros tribal Tobati in Papua and the factors that affect the application of the customary criminal law. This research is a field (field research), which focused on the existing legal system in Papua. In this study, data analysis was done by collecting secondary data and primary research through engineering documentation. And interview informants in this figure / Papuan traditional leaders. Data collected in the form of information berakaitan with problems that are then analyzed by descriptive qualitative. Most forms of customary law was not written and is not codified, but still adhered to in the community because they have a certain sanctions if not complied with. Enggros community know Tobati principle identical with the principle ultimum. The concept of deliberations in the completion of the criminal case basically have in common with restorative justice models in solving criminal cases. Every citizen Enggros Tobati glued Enggros Tobati customary criminal law wherever he goes, even a Enggros Tobati outside the region Enggros Tobati. Furthermore, the results showed that, the criminal law has Tobati Enggros customary rules of law which include criminal law and laws matriil formiil which is still used in traditional dispute resolution that occurs through the Tribal Council Enggros Tobati.

(3)

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya memiliki keragaman suku, ras, agama dan adat kebiasaan yang tersebar di kota dan di desa. Keragaman itu menjadi suatu kekayaan dan potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dalam kehidupan bermasyarakat, hukum dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ibi ius ibi societas, dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Oleh karena itu dibutuhkan suatu aturan hukum untuk mengatur kehidupan bermasyarakat demi mencapai ketertiban umum. Aturan hukum tersebut ada yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Berlaku secara nasional maupun kedaerahan, di dalam lapangan hukum publik maupun hukum privat (Soepomo, 2007). Antara hukum dengan kehidupan masyarakat memang berkaitan erat, hukum berperan besar dalam mewujudkan kehidupan yang tertib dan aman. Apabila terjadi hal-hal yang menyimpang maka peran hukum dapat dilihat secara lebih konkrit. Di dalam lapangan hukum pidana, ada dua hukum yang berbeda yang digunakan oleh masyarakat yaitu hukum pidana yang bersumber pada peraturan tidak tertulis lainya dan hukum yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta peraturan yang tertulis ataupun kebiasaan yaitu hukum pidana adat (Santoso, 1990).

Pada dasarnya perkembangan hukum pidana mencakup persoalan-persoalan utama yang berkaitan dengan ketiga permasalahan pokok tersebut meliputi tindak pidana (criminal act), kesalahan atau pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility), dan sanksi (sanction) yang dapat berupa pidana dan tindakan (punishment and treatment). Dalam ketiga permasalahan pokok tersebut tentunya hukum pidana adat akan mendapatkan tempat tersendiri dalam sistem hukum pidana nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ketentuan mengenai pengakuan hukum adat terdapat pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Darurat tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil disebutkan bahwa kecuali pengadilan desa seluruh badan pengadilan yang meliputi badan pengadilan gubernemen, badan pengadilan swapraja (zelbestuurrechtspraak) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian dari pengadilan swapraja, dan badan pengadilan adat (Inheemse rechtspraak in rechtsreeks bestuur gebied) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari pengadilan adat telah dihapuskan. Hakikat dasar adanya ketentuan

(4)

tersebut berarti sebetulnya Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 telah meniadakan badan-badan pengadilan lain kecuali badan pengadilan umum, agama dan pengadilan desa.

Pengakuan terhadap hukum adat atau hukum pidana adat tercantum pula pada Pasal 1 ayat (3) dan (4) Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut RUU-KUHP) tahun 2008, menyebutkan bahwa "... hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa" (Pratama, 2010). Pengembangan hukum nasional mestinya bersumber dan digali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) sehingga hukum nasional mencerminkan nilai sosial, budaya, dan struktural masyarakat Indonesia. Dalam rangka menata sistem hukum nasional, maka hukum adat mendapat tempat sebagai bahan penyusun dan pembuat peraturan perundang-undangan. Ini berarti hukum pidana adat perlu dikaji secara mendalam agar materi atau bahan-bahan yang ada dan masih hidup dalam hukum pidana adat dapat dijadikan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan.

Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup dan akan terus hidup, selama ada manusia budaya, jadi untuk mengetahui pidana adat, sanksi adat, dan peradilan adat untuk masing-masing wilayah atau daerah yang masih memperhatikan hukum pidana adat, maka sangat diperlukan untuk mengadakan pengkajian secara mendalam tentang hukum pidana adat beserta sanksi adatnya dan cara penyelesaiannya dalam peradilan adat yang tersebar diseluruh Indonesia termasuk hukum pidana adat di Papua. Diantara beragam masyarakat hukum adat yang tersebar di Papua, hukum adat suku Enggros Tobati adalah salah satu hukum adat yang hingga kini masih ada dan berlaku mengatur masyarakat adat Enggros Tobati dari generasi ke generasi. Sebagaimana masyarakat adat di Papua pada umumnya, merekapun memiliki hukum adat sendiri yang berlaku mengikat pada masing-masing anggota masyarakatnya, termasuk hukum pidana adat yang merupakan subsistem dari hukum adat Enggros Tobati.

Fenomena sebagaimana dijabarkan di atas menunjukkan bahwa hukum pidana adat merupakan hukum yang nyata ada dimasyarakat dan berlaku serta ditaati walaupun ketentuannya tidak tertulis dan bersifat terbuka. Mengingat kenyataan bahwa hukum pidana adat Enggros Tobati masih ada dan berlaku mengikat bagi masyarakat Enggros Tobati dan juga masyarakat luar Enggros Tobati yang berada di kawasan Enggros Tobati, sementara

(5)

pengetahuan mengenai hal tersebut masih sangat minim. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui kaidah hukum pidana adat suku enggros tobati di papua dan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan hukum pidana adat tersebut.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan rancangan penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian dengan mengambil data secara langsung dari tempat penelitian penerapan hukum adat papua, yakni pada suku Enggros Tobati di kota Jayapura.

Jenis dan sumber data

Jenis dan sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini bahan hukum primer, terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, serta yang terkait dengan pokok masalah dalam penelitian ini dan juga data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama (responden) dengan cara wawancara. Selain itu digunakan juga bahan hukum sekunder, berupa bahan atau materi yang menjelaskan tentang penerapan hukum adat yang meliputi literatur, karya-karya ilmiah yang ditulis oleh pakar hukum, serta tulisan-tulisan lepas yang dimuat dalam situs-situs internet yang mengkaji dan membahas materi yang terkait dengan objek dan masalah dalam penelitian ini.

Metode pengumpulan data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan, penelitian ini menggunakan 2 (dua) metode yakni penelitian kepustakaan (library research), yang dilakukan dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah, peraturan-peraturan lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam penelitian ini dan selanjutnya menganalisa masalah-masalah yang dihadapi untuk menghimpun data sekunder. Juga dilakukan penelitian lapangan (field research), yang dilakukan untuk mendapatkan data primer sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian dengan mewawancarai pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini.

Analisis data

Keseluruhan data yang diperoleh baik data primer maupun sekunder diolah, kemudian dianlisis secara kualitatif, yaitu data yang diperoleh disusun secara sistematis, sehingga memperoleh gambaran baru ataupun menguatkan suatu gambaran yang sudah ada untuk menjawab permasalahan dan membuat kesimpulan serta saran yang bermanfaat. Selanjutnya, dikelompokkan dan diinterpretasi dengan menggunakan cara penafsiran hukum dan

(6)

konstruksi hukum serta dianalisis secara yuridis kualitatif. Cara dalam analisis ini, akan berpedoman pada pendekatan keobjektivisan, sistematis, dan generalisasi guna menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan permasalahan serta penyelesaiannya yang berkaitan erat dengan penelitian ini.

HASIL

Tobati dan Enggros adalah nama dua kampung yang terletak diteluk Youtefa. Kampung Tobati dan Enggros terbagi dalam dua kecamatan dan kelurahan yang berbeda. Letak geografis Kampung Tobati berada di Distrik Jayapura Selatan Kota Jayapura, dengan batas-batas sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Hamadi, sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Enggros, sebelah timur berbatasan dengan Laut Pasifik dan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Waichorock. Sedangkan Kampung Enggros merupakan salah satu kampung yang termasuk dalam wilayah Administratif Distrik Abepura Kota Jayapura, dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Asano, sebelah timur berbatasan dengan Kampung Holtekamp, sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Tobati, dan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Vim. Walaupun secara administrasi kedua kampung ini terpisah dalam kelurahan yang berbeda, namun mempunyai satu sistem kekerabatan yang sama dan berada dibawah pemimpin adat yang sama.

Dalam sistem kekerabatan dikenal istilah “Matarumah” untuk menyebutkan beberapa keret yang merupakan satu sub-klen, disebut Matarumah karena pada mulanya mereka bersama-sama menghuni satu rumah besar yang dibagi menjadi beberapa kekerabatan. Bilik-bilik keluarga inilah yang kemudian terpecah dan disebut Matarumah yang kemudian berkembang meliputi beberapa keret. Kelas sosial dalam masyarakat terjadi seiring mengikuti peran setiap orang dalam komunitasnya. Hal ini terjadi pada masyarakat adat Enggros Tobati yaitu terdapat kelas atau struktur sosial beserta nama-nama sebutannya. Istilah-istilah tersebut sekaligus menunjukkan hubungan kekerabatan dikalangan suku Enggros Tobati. Masyarakat adat Enggros Tobati terdiri atas beberapa keret dan mengikuti garis keturunan ayah (patrilineal).

Sistem kepemimpinan adat yang terdapat pada Kampung Enggros Tobati, terdiri dari pimpinan adat (charsori), dan pimpinan klan (har-hbur). Pemerintahan adat di Kampung Enggros Tobati berpusat pada pimpinan adat (charsori), yang kedudukan pemimpinnya diperoleh karena pewarisan (ascribed status) yang bersifat senioritas baik dilihat dari urutan kelahiran (hak kesulungan) maupun klan berdasarkan garis patrilineal dan diwariskan secara

(7)

turun-temurun. Segala hal yang menyangkut aktivitas kehidupan masyarakat adat mengenai aturan-aturan, norma-norma, dan nilai-nilai yang harus dipatuhi dan dilarang, serta masalah-masalah yang menyangkut penyelesaian sengketa yang terjadi di dalam masyarakat adat. Masalah-masalah yang menyangkut penyelesaian sengketa yang terjadi di dalam masyarakat adat, diselesaikan dan diputuskan oleh Charsori dan Har-hbur. Peranan yang dimiliki oleh seorang Charsori dan Har-hbur sangat penting di dalam menentukan, memutuskan, dan memberi sanksi, setiap aktivitas maupun program pembangunan yang dijalankan masyarakat adatnya (lihat gambar 1).

Berbagai ketentuan umum mengenai hukum pidana adat Enggros Tobati dikenal asas legalitas, asas ultimum remedium, musyawarah, personalitas, territorial, pengulangan, penyertaan, pembarengan, dan belum cukup umur. Bentuk hukum adat sebagian besar adalah tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan, namun tetap ditaati dalam masyarakat karena mempunyai suatu sanksi tertentu bila tidak ditaati. Sistem pelanggaran yang dianut hukum pidana adat Enggros Tobati adalah terbuka tidak seperti KUHP yang bersifat tertutup yang terikat pada suatu ketentuan yang terdapat pada Pasal 1 KUHP karena apa yang dilarang atau dibolehkan menurut hukum adat itu akan selalu diukur dengan mata rantai lapangan hidup seluruhnya. Apabila terjadi peristiwa yang mengganggu keseimbangan kehidupan masyarakat adat maka itu dikategorikan sebagai pelanggaran. Masyarakat Enggros Tobati mengenal asas yang identik dengan asas ultimum remedium dan diterapkan integral dalam penyelesaian tindak pidana. Artinya jika ada suatu tindak pidana, maka penyelesaian dalam tahap keluarga sedapat mungkin dilakukan. Jika para pihak tidak puas barulah kemudian diserahkan pada sistem peradilan adat Enggros Tobati. Konsep musyawarah dalam penyelesaian perkara pidana tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan dengan model restorative justice dalam menyelesaikan perkara pidana.

Sama halnya dengan hukum pidana nasional, hukum pidana adat Enggros Tobati mengenal ketentuan semacam asas personalitas. Dalam asas personalitas yang terpokok adalah orang, person. Berlakunya hukum pidana dikaitkan dengan orangnya, tanpa mempersoalkan di mana orang itu berada, hukum pidana nasional selalu melekatinya. Pada prinsipnya hukum pidana adat Enggros Tobati menganut pula asas teritorial. Keberlakuan asas teritorial bagi masyarakat di luar Enggros Tobati pada delik-delik yang bersifat umum seperti penganiayaan, mencuri, penipuan, dan sebagainya. Dalam hukum pidana adat Enggros Tobati, dibedakan bobot hukuman peran dalam suatu tindak pidana. Maka pelaku

(8)

(dader), penyuruh (doenpleger), turut serta melakukan (mededader/ medepleger), pembujuk (uitlokker), dan pembantu (medeplichtige) dibedakan dalam hal bobot hukumannya. Berbagai peran sebagaimana di atas juga dikenal dalam hukum pidana adat Enggros Tobati hanya sekadar membedakan peran yang dilakukan dalam suatu tindak pidana tetapi hukumannya berbeda. Pelaku tindak pidana yang belum cukup umur dalam hukum pidana adat Enggros Tobati dipertimbangkan untuk tidak dipidana. Umumnya terhadap pelaku tersebut dikembalikan pada orang tuanya kecuali jika orang tuanya menyerah, tidak sanggup untuk mendidik anak tersebut dan diserahkan ke hukum pidana adat Enggros Tobati. Sama halnya dengan pelaku yang gila, akibat yang timbul dari tindak pidana dialihkan kepada orang tua untuk diselesaikan. Hal yang perlu diperhatikan dari tindak pidana yang dilakukan kedua jenis pelaku diatas (gila dan belum cukup umur) adalah bahwa perbuatannya tetap merupakan tindak pidana tetapi karena terdapat semacam alasan pemaaf maka pelaku tindak pidana tidak dipidana.

PEMBAHASAN

Penelitian ini menunjukkan bahwa pada dasarnya, sistem hukum adat masyarakat Enggros Tobati memiliki sistem hukum yang sama dengan sistem hukum pidana Indonesia, yang meliputi prinsip dasar (asas), jenis tindak pidana beserta sanksinya, maupun yang berkaitan dengan hukum acara peradilannya. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan adat masyarakat Enggros Tobati mencakup aspek perundang-undangan dan kelembagaan masyarakat adatnya. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP menegaskan bahwa tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.

Dalam hukum pidana, dikenal asas legalitas, yakni asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang. Dalam bahasa latin, dikenal sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli yang artinya lebih kurangnya adalah tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu. Sistem pelanggaran yang dianut hukum pidana adat Enggros Tobati adalah terbuka tidak seperti KUHP yang bersifat tertutup yang terikat pada suatu ketentuan yang terdapat pada Pasal 1 KUHP karena apa yang dilarang atau dibolehkan menurut hukum adat itu akan selalu diukur dengan mata rantai lapangan hidup seluruhnya (Mursalim, 2010). Apabila terjadi peristiwa yang mengganggu keseimbangan kehidupan masyarakat adat maka itu dikategorikan sebagai pelanggaran. Sama halnya dengan hukum

(9)

pidana nasional, hukum pidana adat Enggros Tobati mengenal ketentuan semacam asas personalitas. Dalam asas personalitas yang terpokok adalah orang, person. Berlakunya hukum pidana dikaitkan dengan orangnya, tanpa mempersoalkan di mana orang itu berada, hukum pidana nasional selalu melekatinya (Sianturi, 2002).

Demikian halnya dengan Enggros Tobati, setiap warga Enggros Tobati dilekati hukum pidana adat Enggros Tobati ke mana pun ia pergi, sekalipun seorang Enggros Tobati yang berada di luar wilayah Enggros Tobati.Dalam hukum pidana adat Enggros Tobati, dibedakan bobot hukuman peran dalam suatu tindak pidana. Maka pelaku (dader), penyuruh (doenpleger), turut serta melakukan (mededader/ medepleger), pembujuk (uitlokker), dan pembantu (medeplichtige) dibedakan dalam hal bobot hukumannya. Berbagai peran sebagaimana di atas juga dikenal dalam hukum pidana adat Enggros Tobati hanya sekadar membedakan peran yang dilakukan dalam suatu tindak pidana tetapi hukumannya berbeda.

Menurut Daniel Hamadi pelaku utamanya itu lebih berat yang ikut itu agak ringan. Dalam Hukum pidana adat Enggros Tobati niat merupakan cerminan perilaku hati, maka semua yang terkait dengan suatu tindak pidana harus bertanggungjawab dan dikenakan denda adat sesuai permintaan korban dan keluarga korban. hukum pidana adat Enggros Tobati tidak dibedakan dan dipisahkan secara tegas antara kejahatan dan pelanggaran, tetapi perbedaan didasarkan pada kriteria berat dan ringannya delik, maka hukum pidana adat Enggros Tobatipun mengenal tindak pidana berdasarkan berat dan ringannya perbuatan. Kendati demikian tidak ada pemisahan tegas mana yang merupakan tindak pidana ringan dan tindak pidana berat, ukuran berat ringannya perbuatan nampaknya didasarkan pada seberapa besar tindak pidana tersebut mengguncangkan perasan kemanusiaan dan masyarakat Enggros Tobati.

Dalam penyelesaian perkara-perkara pidana seperti yang telah disebutkan diatas oleh Dewan adat Enggros Tobati adalah dengan mengedepankan musyawarah dalam pengambilan keputusan. Kedua belah pihak diundang untuk diselesaikan di depan forum yang terbuka untuk umum, setelah mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak lalu diambil keputusan sesuai tingkat kesalahannya/pelanggarannya dan diberi sanksi adat dengan membayar sejumlah uang atau denda adat. Selanjutnya proses penyelesaian dapat berlanjut kalau penyelesaian perkara pidana adat tidak mencapai perdamaian di tingkat keret maka perkara tersebut dilanjutkan ke Para-Para Adat dengan Ondoafi sebagai Hakim Adat. Secara

(10)

skematik prosedur penyelesaian tindak pidana dalam hukum pidana adat Enggros Tobati (Lihat Gambar II).

Dalam penegakan hukum yaitu untuk memperoleh kepastian hukum, keadilan, dan manfaat dari penegakan hukum tersebut. Proses penegakan hukum dapat berjalan dengan efektif apabila terbentuk suatu mata rantai beberapa proses yang tidak boleh di pisahkan antara lain : penyidikan, tuntutan jaksa, vonis hakim, dan pembuatan peraturan perudang-undangan (Negarawan,2010). Namun pada kenyataanya penegakan hukum mengalami beberapa kendala atau hambatan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor. Kemudian Faktor-faktor tersebut dijabarkan menurut Soerjono Soekanto, antara lain, faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, Faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan (Ali, 2006).

Istilah “peradilan adat” dan “pengadilan adat” digunakan dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 tahun 1951. Walaupun kedua istilah tersebut sesungguhnya dapat dibedakan pengertiannya, yaitu ”peradilan adat” menyangkut proses atau sistem, sedangkan ”pengadilan adat” menyangkut lembaga peradilannya; tetapi Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tampaknya tidak membedakan pengertian keduanya, karena kedua istilah tersebut digunakan secara bersamaan dalam tanpa membedakan pengertiannya. Dalam pasal-pasal undang-undang tersebut, istilah yang digunakan adalah ”pengadilan adat”, sedangkan dalam penjelasannya di samping istilah “pengadilan adat” juga digunakan istilah ”peradilan adat”(Rosslina, 2009).

Diakuinya peradilan adat dalam Undang-undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua merupakan suatu dinamika tersendiri dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia khususnya masyarakat Enggros Tobati yang memiliki aturan adat dan peradilan adat tersendiri dalam menyelesaikan suatu pelanggaran adat. Ini membuktikan bahwa faktor hukum (UUD 1945, UU Darurat No. 1 tahun 1951, UU Otsus dan PERDASUS) sangat mendukung dalam penerapan hukum pidana Enggros Tobati di Papua.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hukum pidana adat Enggros Tobati memiliki kaidah hukum pidana yang meliputi hukum matriil dan hukum formiil. Perumusan tindak pidana, pertanggungjawaban dan sanksi dalam hukum pidana adat Enggros Tobati dirumuskan secara tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan dalam sebuah kitab. Pengetahuan dan pemahaman hukum pidana adat Enggros Tobati dilestarikan melalui budaya lisan tutur secara turun temurun maupun melalui

(11)

upacara adat. Ketentuan peraturan Perundang-undangan, sangat mendukung diterapkannya hukum pidana Enggros Tobati di Papua. Keberadaan kelembagaan seperti Majelis Rakyat Papua (MRP) yang terbentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2004, MRP merupakan representasi kultural orang asli Papua. Lembaga Masyarakat Adat (LMA) yang terbagi atas tujuh daerah wilayah adat di Papua juga mendorong diberlakukannya penyelesaian sengketa adat melalui hukum adat. Adanya kelembagaan ini merupakan faktor pendukung penerapan hukum pidana Enggros Tobati Papua. Faktor yang juga tatkalah penting yang mempengaruhi penerapan hukum pidana adat Enggros Tobati di Papua yakni budaya hukum masyarakat yang sampai saat ini masih menggunakan hukum adatnya dalam menyelesaikan sengketa adat yang terjadi melalui Dewan Adat Enggros Tobati.

Penulis menyarankan agar konsep ganti rugi/denda adat dan pertanggungjawaban pelaku yang menderita kelainan jiwa dalam hukum pidana adatnya Enggros Tobati hendaknya diadopsi para penegak hukum di Papua khususnya di Jayapura dalam penyelesaian perkara pidana sehingga dapat mengakomodir kepentingan korban, pelaku dan masyarakat. Selain itu Perlu di bentuknya Peraturan Daerah (PERDA) di Kota Jayapura (Port Numbay) tentang perlindungan dan pengakuan masyarakat adat di Kota Jayapura yang sampai saat ini masih mempertahankan dan menggunakan hukum adat dalam menyelesaikan pelanggaran adat yang terjadi termasuk didalamnya adalah masyarakat adat Enggros Tobati.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. (2011). Menguak Tabir Hukum (Edisi Kedua). Bogor: Ghalia Indonesia. Ilyas, Amir. (2010). Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Rangkang Publishing.

Mursalim. (2010). Tindak Pidana Khusus dalam Hukum Pidana Nasional. Palu: Jurnal Ilmu Hukum “RECHSTAAT” Vol.3.

Negarawan, Bhakti Purnama. (2010). Analisis Hukum Terhadap Penerapan Hukum Pidana Nasional yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Khusus. Samarinda: Jurnal Hukum “Mulawarman Pers” Vol. 1.

Pratama, Ikhsan. (2010). Hukum Adat dalam Hukum Nasional Indonesia. Palu: Jurnal Ilmu Hukum “RECHSTAAT” Vol.3.

Rosslina, Andi. (2009). Bingkai Hukum Nasional dalam Prespektif Keberagaman Masyarakat Adat. Makassar: Jurnal Ilmiah “MEJA-HIJAU” Vol.1.

Santoso, Topo. (1990). Pluralisme Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: P.T. Eresco. Soepomo, R. (2007). Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.

(12)

LAMPIRAN

Gambar 1:

Struktur Masyarakat Adat Enggros Tobati

KEPALA KAMPUNG TOBATI ONDOAFI BESAR

SUKU HAMADI

KLEN ENGGROS KLEN TOBATI

DEWAN ADAT

KERET ATAS KERET BAWAH KERET ATAS KERET BAWAH

MARGA 1. SANYI 2. DRUNYI MARGA 1. MERAUJE 2. SEMRA 1. HANASBEI 2. IWO 3. HAAI 4. SAMAI 5. HAMADI 6. HABABUK 7. ITAR MARGA 1. HAMADI 2. IREEUW MARGA 1. INJAMA 2. AFAAR 3. DAWIR 4. HASSOR 5. MANO 6. HAAI 7. HABABUK 8. ITAR 9. SREM SREM 10. MERAUJE 11. IWO MASYARAKAT ADAT KEPALA KAMPUNG ENGGROS

(13)

Gambar 2:

Alur Penyelesaian Perkara Dalam Hukum Adat Enggros Tobati

PELANGGARAN ADAT PENYELESAIAN ANTARA KELUARGA KORBAN DAN

PELAKU TIDAK SELESAI

SELESAI KEPALA KERET (Har-Hbur) PROSES PEMBUKTIAN (DEWAN ADAT) TIDAK BERSALAH BERSALAH DENDA

KEBERATAN PROSES HUKUM NASIONAL (POLISI)

Referensi

Dokumen terkait

pendidikan pemilik berpengaruh terhadap penggunaan informasi akuntansi. 2) Nilai signifikansi skala usaha terhadap penggunaan informasi akuntansi sebesar 0,173 sehingga

pengaruh pengajaran iman dan penderitaan terhadap pertumbuhan iman jemaat, maka bagi setiap keluarga Kristen diharapkan dapat memberikan waktu dan tenaga untuk

Di dalam aktivitas model konseptual menunjukkan bahwa peningkatan kompetensi sumber daya manusia didahului dengan aktivitas menganalisis tugas apa yang dibutuhkan

Perubahan langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti memang berdampak positif dalam proses pembelajaran, dengan merubah langkah-langkah penggunaan media audio

Setelah dilihat dari penyusunan RPJMD di Provinsi Riau dimana terdapat tahapan-tahapan dalam hal ini penyusunan dilaksanakan oleh badan atau instansi yang

Kecenderungan untuk menafsirkan dogmatika agama (scripture) secara rigit dan literalis seperti dilakukan oleh kaum fundamentalis Protestan itu, ternyata ditemukan

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, hidayah, serta inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Penelitian lain yang dilakukan oleh (Dewi, Dantes, & Sadia, 2013) t entang pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing juga menunjukkan bahwa penerapan