• Tidak ada hasil yang ditemukan

DARUL ULUM Jurnal Ilmiah Keagamaan,Pendidikan dan Kemasyarakatan Volume 11,Nomor 1,2020 E-ISSN: ,P-ISSN:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DARUL ULUM Jurnal Ilmiah Keagamaan,Pendidikan dan Kemasyarakatan Volume 11,Nomor 1,2020 E-ISSN: ,P-ISSN:"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1

PEMBERDAYAAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM MERESPON TANTANGAN GLOBALISASI

(Telaah Pengembangan Profesionalitas Pendidik dan Penguatan Sekolah Berkualitas)

AHMAD DZAKY

(Dosen STAI RAKHA Amuntai Kalsel)

Abstrak

Lembaga Pendidikan Islam lahir seiring dengan kehadiran agama Islam itu sendiri, dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial- budaya disekitarnya sehingga akan memunculkan tantangan tersendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada era globalisasi telah mengubah tatanan kehidupan termasuk pendidikan, namun kualitas pendidikan Islam di Negara berkembang masih tertinggal jauh dari pendidikan di Negara barat. Tulisan ini menyuguhkan tantangan globalisasi lembaga pendidikan Islam dengan upaya pemberdayaan pendidikan Islam.

Globalisasi telah menjelma sebagai sistem mainstream yang menjadikan masyarakat lokal menjadi global, sehingga terjadi pergeseran nilai-nilai dan norma-norma. Fenomena globalisasi dipandang sebagai tantangan karena begitu cepat dan mendasarnya perkembangan iptek, krisis moral-sosial-identitas bangsa yang ditimbulkannya, perdagangan bebas, liberalisasi ekonomi,dan budaya. Oleh karena itu, keberadaan lembaga pendidikan Islam diperlukan untuk menjawab tantangan globalisasi. Upaya pemberdayaan pendidikan Islam dilakukan secara konkrit dan berkesinambungan. Upaya tersebut berupa peningkatan profesionalitas guru dan pengembangan sekolah unggul.

(2)

2 A. PENDAHULUAN

Lembaga pendidikan Islam muncul seiring berkembanganya ajaran Islam itu sendiri. Ajaran Islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW disampaikan melalui suatu proses pendidikan yang panjang bersentuhan dengan dimensi ruang dan waktu. Secara historis, pengalaman pelaksanaan pendidikan Islam berjalan dengan era dan masa-masa tertentu yang menurut realitas sosial dan budaya yang berbeda-beda.

Lembaga pendidikan Islam berkembang sesuai dengan perkembangan sosial dan budaya serta berada dalam situasi yang mengitarinya. Pendidikan Islam akan selalu berhadapan dengan konteks sosial dan budaya pada zamannya dan faktor ini memunculkan berbagai tantangan tersendiri yang menghendaki adanya upaya antisipasi untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya.

Di era modernisasi dan globalisasi, masyarakat dunia termasuk muslim di berbagai belahan dunia telah menghadapi suatu keadaan perubahan yang sangat cepat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah seluruh tatanan kehidupan dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Arus modernisasi dan globalisasi telah memunculkan sistem kehidupan baru yang sangat berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Sistem kehidupan berubah dari agraris ke industrialis dan berkembang menjadi masyarakat modern dengan teknologi komunikasi dan informasi.

Dengan perkembangan teknologi dan informasi, maka dunia menjadi menyatu dan cenderung tidak dibatasi lagi oleh batas negara. Dunia menjelma menjadi satu dalam dalam kekuatan teknologi dan informasi. Nilai-nilai global dengan mudah menyebarkan doktrin, nilai, muatan-muatan yang dapat berdampak negatif di samping aspek-aspek positif yang dikandungnya. Dalam konteks ini, pendidikan Islam telah menghadapi tantangan-tantangan tersendiri yang dapat menggerus nilai-nilainya dan menenggelamkannya dalam pusaran globalisasi yang sangat dahsyat.

Diakui bahwa di era globalisasi, pendidikan Islam masih tertinggal jauh dari pendidikan di negara barat. Kualitas pendidikan Islam di berbagai negara-negara berkembang seperti Indonesia masih tertinggal dan belum memiliki daya saing

(3)

3

dalam kancah pergaulan internasional. Pendidikan Islam masih menapak jalan untuk sampai pada posisi setara sebagai pendidikan berkualitas dan unggul.

Makalah ini menyajikan tantangan globalisasi yang dihadapi lembaga pendidikan Islam dikaitkan dengan upaya pemberdayaan pendidikan Islam. Pemberdayaan pendidikan Islam terkait dengan pengembangan profesionalitas pendidikan dan sekolah unggul dalam kontestasi pergaulan global dalam era globalisasi saat ini.

B. TANTANGAN GLOBALISASI

Istilah globalisasi1 merupakan sebuah istilah yang sering terdengar dan disebutkan dalam berbagai kesempatan. Istilah ini sebenarnya bukan barang baru tetapi istilah yang telah terjadi dalam percaturan pengaruh dunia. Pengaruh-pengaruh ini merupakan bentuk ekspansi negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang dalam berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bisa saja diasumsikan globalisasi merupakan fenomena gradual yang bersumber hanya semata-mata dari negara-negara barat. Asumsi ini agak berbeda dengan pandangan Azyumardi Azra2 yang beranggapan bahwa globalisasi telah

terjadi dan menampakan bentuknya dalam dua fenomena terutama terkait dengan komunitas muslim yaitu globalisasi sebagai bentuk penyebaran pengaruh dari Timur Tengah dan juga globalisasi berasal dari barat.

1Nurul Kawakib mengutip Robertson yang mengemukakan defenisi globalisasi yaitu“globalization is a concept that refers to the compression of the world and the intensification of the consciousness of the world as a whole”, artinya “ globalisasi adalah sebuah konsep yang menujukkan penyatuan dunia serta mengintesifkan kesadaran akan dunia sebagai suatu kesatuan. Lihat A. Nurul Kawakib, Pesantren and Globalization Cultural and Educational transformation (Malang: UIN Malang Press, 2009), h. 11. Istilah globalisasi berasal dari kata “global” yang berarti ‘embracing the whole of a group of system” (merangkul keseluruhan kelompok yang ada). Lihat Abdullah idi, Sosiologi Pendidikan Individu Masyarakat dan Pendidikan (Jakarta:Rajawali Pers, 2011), h. 230

2 Azyumardi Azra mengemukakan bahwa globalisasi sebenarnya bukan fenomena baru bagi masyarakat muslim. Pembentukan dan perkembangan masyarakat muslim Indonesia bahkan berbarengan dengan datangnya berbagai gelombang global yang bersumber dari Timur Tengah, khususnya mula-mula Mekah dan Madinah dan juga Kairo. Globalisasi ini lebih bersifat religio intelektual, meski dalam kurun-kurun tertentu juga diwarnai oleh semangat religio politik. Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi Modernisasi Menuju Milenium Baru, Cet. 4 (Jakarta :Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 44

(4)

4

Menurut Azra, globalisasi yang berlangsung dan melanda masyarakat muslim saat ini menampilkan sumber dan watak yang berbeda. Globalisasi saat ini tidak lagi bersumber dari Timur Tengah tetapi dari barat yang terus memegang supremasi dan hegemoni dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat pada umumnya. Globalisasi yang bersumber dari barat tampil dengan watak ekonomi politik dan sains teknologi.3

Global atau globalisasi4 adalah sebuah istilah yang mengacu kepada keadaan bersatu atau menyatunya sesuatu dengan sesuatu yang lain yakni menyatu dan saling berpengaruhnya antar satu bangsa dengan bangsa lain di dunia, baik dari segi ekonomi, sosial, politik, budaya, ilmu pengetahuan dan lainnya yang terjadi akibat terjadinya komunikasi dan interaksi global yang didukung oleh ilmu dan teknologi canggih, khususnya teknologi informasi.5

Tidak ada yang bisa meragukan bahwa pengaruh barat terhadap dunia muslim sangat dominan sekali dalam berbagai dimensi kehidupan baik ekonomi, politik, sosial, dan budaya serta pendidikan. Pengaruh tersebut secara gradual telah berdampak secara langsung terhadap keadaan dan pola kehidupan masyarakat muslim baik secara struktural maupun kultural. Hegemoni yang pada awalnya merupakan globalisasi ekonomi dan sains teknologi berkembang sedemikian rupa ke dalam bidang-bidang lain seperti intelektual, nilai, gaya hidup dan sebagainya. Singkatnya, globalisasi yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia semakin tanpa batas. Hal ini tentu akan berakibat pada munculnya budaya global.

3 Meskipun hegemoni dan dominasi politik barat dalam perang dunia kedua dan perang dingin merosot, tetapi hegemoni politik dan sains teknologi barat tetap belum tergoyahkan. Hegemoni tersebut menemukan momentum yang mempercepat proses globalisasi. Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam.., h. 44

4 Abuddin Nata menulis bahwa secara harfiah global berarti sedunia, sejagat. Kata selanjutnya menjadi istilah yang merujuk kepada suatu keadaan di mana antara suatu negara dengan negara lainnya sudah menyatu. Batas-batas teritorial, kultural, dan sebagainya sudah bukan merupakan hambatan lagi untuk melakukan penyatuan tersebut. Situasi ini tercipta berkat adanya dukungan teknologi canggih di bidang komunikasi seperti radio, televisi, telepon, faksmili, internet dan sebagainya. Lihat Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. 4 ( Jakarta: Kencana, 2010), h. 206-207

(5)

5

Haidar Putra Dualiy menulis bahwa budaya global ini ditandai dengan bidang ekonomi perdagangan akan menuju pada terbentuknya pasar bebas, baik dalam kawasan ASEAN, Asia Pasifik bahkan meliputi seluruh dunia. Dalam bidang politik, akan tumbuh semangat demokratisasi. Dalam bidang budaya, akan terjadi pertukaran budaya antar bangsa yang berlangsung begitu cepat yang saling pengaruh memengaruhi. Dalam bidang sosial akan muncul semangat konsumeris yang tinggi disebabkan pabrik-pabrik yang memproduksi kebutuhan-kebutuhan konsumeris akan berupaya memproduk barang-barang baru yang akan bertukar dengan cepat pada setiap saat dan merangsang manusia untuk memilikinya.6

Globalisasi menjadi sebuah sistem yang dengan sendirinya berjalan secara alamiah. Globalisasi juga dapat berlaku secara otomatis dan tidak dapat dihindari oleh setiap warga dunia. Mastuhu menulis sebagai berikut ;

Globalisasi adalah sebuah sistem yang mendunia, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, ekonomi, politik, budaya dan tentu di dalamnya termasuk pendidikan. Sistem masyarakat yang tanpa mengenal batas ini meniscayakan potensi lokal dan nasional untuk unjuk kekuatan dalam mengarungi kompetisi secara global tersebut. Kenyataan bahwa tata kehidupan “lokal” dan keragaman daerah-daerah lengkap dengan tradisinya, budaya, kebiasaan-kebiasaan dan ikatan-ikatan sosial dalam berbagai aspek kehidupan terus masuk ke dalam tatanan kehidupan ‘nasional”, kemudian masuk dalam kehidupan global atau ‘internasional”.7

Apa yang ditulis oleh Mastuhu di atas menunjukan bahwa globalisasi saat ini telah menjadi sistem arus utama (mainstream) yang menyentuh ke berbagai lapisan masyarakat lokal dan nasional untuk menjadi warga “global” atau dunia dengan segala konsekuensi dan dampaknya. Sistem yang telah terbangun pada tingkat lokal

6 Lihat Haidar Putra Dualiy, Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009), h. 199

7 Mastuhu, Menata Ulang Sistem pendidikan Nasional dalam Abad 21, (Yogyakarta: safiria Insania Press, 2003), h. 126

(6)

6

pada akhirnya ikut dalam percaturan sistem global. Akibatnya akan terjadi pergeseran nilai-nilai dan norma-norma sistem yang telah dianut untuk kemudian berubah mengikuti nilai-nilai global yang secara langsung berdampak pada pola pergaulan dan interaksi sebagai masyarakat global (dunia).

Arus globalisasi telah merubah tatanan kehidupan secara drastis, bahkan globalisasi berdampak secara total terhadap perkembangan kehidupan manusia. Tanpa disadari, arus globalisasi telah menjelma sebagai suatu kekuatan dahsyat yang menentukan dalam berbegai aspek kehidupan baik ekonomi, sosial, politik dan budaya.

Akibat globalisasi yang merubah pola hidup manusia, maka terdapat berbagai kecenderungan yang terkandung dalam globalisasi. Emil Salim sebagaimana dikutip oleh Abdullah Idi mengemukakan bahwa globalisasi memiliki beberapa kecenderungan yaitu perkembangan globalisasi ekonomi, perkembangan teknologi yang cepat, perubahan demografi, perubahan politik, dan perubahan sistem nilai.8 Supriyoko sebagaimana dikutip oleh Abdullah Idi juga mengatakan bahwa konsep dasar globalisasi dapat dilihat dari aspek ketergantungan (interdependency) dalam masalah sosial, politik dan budaya, peran strategis informasi dan era industri sebagai kemajuan suatu bangsa.9

Abdullah Idi juga melihatnya fenomena globalisasi sebagai tantangan yaitu ; 1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dan

mendasar

2. Krisi moral yang melanda bangsa dan negara Indonesia akibat pengaruh iptek dan globalisasi telah terjadi pergeseran nilai-nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat.

3. Krisis sosial seperti kriminalitas, kekerasan, pengangguran, dan kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat dunia.

4. Krisis identitas sebagai bangsa.

8 Lihat Abdullah idi, Sosiologi Pendidikan…, h. 231 9 Lihat Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan…, h. 231

(7)

7

5. Adanya perdagangan bebas, baik tingkat ASEAN, Asia, Asia Pasifik maupun dunia.10

Selain itu, Haidar Putra Daulay juga mengemukakan bahwa era global akan mempengaruhi tatanan kehidupan manusia abad ini yaitu

1. Abad ini akan mengedepankan ilmu pengetahuan sebagai andalan manusia untuk memecahkan problema kehidupannya,

2. Di era ini akan muncul dunia tanpa batas (borderless world). Sekat-sekat geografis menjadi semu sebagai akibat dari kemajuan ilmu komunikasi dan informasi. Dampak negatifnya adalah terjadinya persaingan budaya dan moral yang mengarah pada budaya negatif. Budaya suatu bangsa dari suatu bangsa akan mudah diadopsi oleh bangsa lain.

3. Era ini akan memunculkan persaingan global. Di sini akan muncul era kompetitif.11

Senada dengan uraian di atas, Abuddin Nata juga menyatakan bahwa di era global saat ini masyarakat diperhadapkan kepada lima kecenderungan yang membawa dampak bagi kehidupan yang amat luas. Kelima kecenderungan tersebut adalah ;

1. Kecenderungan untuk berintegrasi dalam kehidupan ekonomi seperti European Union (EU), di Asia Pasifik dalam bentuk Asian Pasifik Economic Cooperation (APEC), Asia Tenggara dalam bentuk Asean Free Trade Area (AFTA). Integrasi ekonomi ini pada gilirannya mengharuskan membuka diri pada setiap negara untuk membuka usaha di negaranya masing-masing. Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut menandatangani General Agreement for Trading Service (GATS), mau tidak mau harus mempersilahkan Negara lain untuk membuka usahanya di Indonesia.

10 Lihat Abdullah Idi, Sosilogi Pendidikan…, h. 235 - 236

11 Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009), h. 93-94.

(8)

8

2. Kecenderungan untuk berpecah belah (fragmentasi) dalam kehidupan politik. Fragmentasi. Fragmentasi politik ini terjadi karena semakin terbukanya kebebasan untuk menyatakan hak-hak seseorang, menuntut perlakuan yang lebih adil dan demokratis.

3. Kecenderungan interpendensi (saling ketergantungan) antara satu Negara dengan Negara yang lain. Pertambahan penduduk, masalah lingkungan, masalah kelaparan, masalah narkotika, masalah pelanggaran hak asasi manusia dipandang sebagai persoalan global. Dalam menghadapi masalah tersebut, suatu Negara bergandengan tangan dengan Negara-negara lain. 4. Kecenderungan semakin meningkatnya kemajuan dalam bidang ilmu

pengetahuan dan teknologi yang selanjutnya mengubah secara radikal situasi pasar kerja.

5. Kecenderungan semakin tergesernya kebudayaan dan tradisi masa lalu oleh kebudayaan dan tradisi baru yang selanjutnya menimbulkan new colonization in culture. Terjadinya perubahan pola pikir, sikap, perilaku dalam berpakaian, tempat tinggal, pergaulan, pola komsumsi dan sebagainya telah menimbulkan ketegangan dan benturan kebudayaan.12

Musthofa Rembangy mengemukakan beberapa fenomena globalisasi seperti liberalisasi ekonomi, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya. 13 Tiga aspek yang disebutkan ini, dalam pandangan pemakalah, merupakan hegemoni dan dominasi barat terhadap dunia Islam yang melahirkan berbagai dampak negatif. Adanya liberalisasi ekonomi, tidak saja memunculkan ideologi kapitalis tetapi juga berakibat penguasaan produk-produk pasar yang menjadikan masyarakat muslim sebagai konsumen. Terkait dengan ini, Azra menulis ;

12 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. 4 ( Jakarta: Kencana, 2010), h. 67

13Lihat Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, Cet. 2 (Yogyakarta: Teras, 2010), h. 33-37

(9)

9

Hegemoni dalam bidang-bidang ini bukan hanya menghasilkan globalisasi ekonomi, sains dan teknologi, tetapi juga dalam bidang-bidang lain ; intelektual, sosial, nilai-nilai, gaya hidup dan seterusnya. Globalisasi coca cola atau mc Donald, bukan sekedar ekspansi ekonomi, tetapi juga gaya hidup dengan segala implikasinya…14

Lebih lanjut Azra menulis sebagai berikut ;

Hal yang sama juga bisa dilihat pada hegemoni barat dalam bidang sains dan teknologi. Hegemoni barat dalam kemajuan telekomunikasi, misalnya telah memunculkan globalisasi “kotak segi empat” yang bernama televisi. Benda ini sebagai produk kemajuan sains dan teknologi per se mungkin “bebas nilai”, tetapi muatan yang dibawanya tak diragukan lagi sarat dengan nilai-nilai tertentu…lalu yang terjadi adalah “telenovelisasi” masyarakat-masyarakat Muslim atau “Power Rangerisasi” anak-anak muslim…. Melalui program inilah terjadi ekspansi dan penetrasi nilai-nilai semacam “keserbalonggaran” (permissiveness) hubungan antara laki-laki dan perempuan, kehidupan yang serba materialistik dan hedonistik atau kultur kekerasan, yang semuanya tidak cocok dengan nilai-nilai budaya dan agama masyarakat Indonesia.15

Meskipun globalisasi memiliki sejumlah dampak positif, tetapi akibat globalisasi banyak pula menimbulkan dampak negatif. Abuddin Nata menulis bahwa munculnya situasi global tersebut di samping menimbulkan dampak positif yaitu semakin mudahnya mendapatkan informasi yang dapat merusak moral. Pola hubungan serba bebas antara lawan jenis, model pakaian melewati batas aurat, tingkah laku kekerasan, gambar-gambar porno dan sebagainya.16

14 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam.., h. 44 15 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam…,h.

(10)

10

Globalisasi adalah doktrin neo-liberal17 yang telah berpengaruh terhadap pelaksanaan sistem penyelenggaraan Negara di berbagai belahan dunia. Menurut Rezkiana Chandra, point-point pokok dari doktrin neo-liberal adalah aturan pasar yang membebaskan swasta dari setiap keterikatan dengan pemerintah, memotong pengeluaran publik dalam hal pelayanan sosial, deregulasi dari pemerintah yang bisa mengurangi keuntungan penguasaha, privatisasi yaitu menjual BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor swasta dan menghapus konsep barang-barang publik (public goods) atau komunitas.18

Globalisasi telah mencenkram mutu pendidikan di Indonesia. Penomena doktrin neo-liberal juga telah nampak dalam dalam praktek pelaksanaan pendidikan. Hal ini terlihat pada regulasi pemerintah membuka pasar bebas dalam bidang pendidikan. Pemerintah membuka kran seluas-luasnya bagi asing untuk berinvestasi di bidang pendidikan. Dengan dibukanya kran ini, pihak asing secara bebas mengakses sekolah-sekolah yang memiliki potensi besar untuk dijadikan sebagai pasar demi keuntungan dan memperkukuh penanaman nilai-nilai asing yang mengalir dapat mengalir secara cepat seperti sekularisme, liberalism, individualism, gender, hak asasi manusia, demokrasi, pluralism, globalisasi. Di samping dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merambah budaya masyarakat melalui transmisi nilai-nilai kapitalis, maka nilai-nilai tersebut juga dapat secara langsung berinteraksi dengan lingkungan sekolah melalui muatan-muatan nilai global yang tak dapat dibendung lagi kehadirannya.

Berbagai tantangan globalisasi di atas merupakan problema tersendiri bagi eksistensi pendidikan Islam. Pendidikan Islam lebih banyak berada pada posisi marginal dan sekedar sebagai konsumen dari dari sistem global tersebut. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masih didominasi oleh ilmuan dari

17 Doktrin Neo liberal dipelopori oleh Friedrich Von Hayek (1899-1992) yang disebut sebagai bapak Neo-Liberal dan memiliki murid utama yang bernama Milton Friedman. Prinsip utama neo liberal adalah ‘laisess faire’ (kompetisi bebas). Lihat Arif Rohma dan Teguh Wiyono, Education Policy in Decentralization Era, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 59

(11)

11

barat yang humanis-antroposentris, serta kurang concern dan tidak apresiatif terhadap ajaran dan nilai-nilai fundamental dari agama yang hanif dan lebih manusiawi.

Keberadaan lembaga pendidikan Islam yang mampu menjawab tantangan globalisasi sangat diperlukan dalam rangka pemberdayaan sistem pendidikan Islam. Pemberdayaan ini dimaksudkan untuk menyelaraskan dengan trend perkembangan kontemporer dalam rangka membangun kualitas sumber daya manusia berkualitas.19

Untuk merealisasikan upaya tersebut, maka setidaknya berbagai langkah-langkah konkret dan strategis harus diwujudkan. Pemberdayaan pendidikan Islam secara nyata perlu dilakukan secara berkelanjutan dalam berbagai aspek pendidikan baik dari sisi kelembagaan maupun aspek penguatan kualitas output (lulusan) agar mampu berdaya saing pada kawasan regional dan global.

C. PEMBERDAYAAN PENDIDIKAN ISLAM 1. Peningkatan Profesionalitas Guru

Guru merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Ia memiliki peranan yang sangat penting dalam mencetak lulusan yang berkualitas. Sebagai faktor determinan dalam pendidikan, maka untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam, langkah utama yang harus dilakukan adalah memperbaiki kualitas pendidiknya. Kualitas pendidik dipandang sangat penting untuk terus ditingkatkan seiring tuntutan globalisasi yang menghendaki adanya perubahan drastis dalam keseluruhan dimensi kehidupan.

Terkait dengan kualitas guru, istilah profesionalitas merujuk pada profesi yang diperankan oleh guru. Arif Rohman mengemukakan bahwa profesi merupakan bidang usaha manusia berdasarkan pengetahuan, di mana

19 Ciri-ciri kualitas sumber daya manusia tersebut adalah indikator-indikator lulusan penddidikan Islam yang memiliki kekuatan akidah dan spiritual, keunggulan moral, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta penguasaan keahlian dan kematangan professional sesuai standar nasional dan internasional yang didukung oleh jasmani yang sehat dan mampu berkompetisi dengan para lulusan dari Negara-negara lain. Lihat Muhaimin dkk, Manajemen Pendidikan Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah,Cet. 3, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 21

(12)

12

keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh masyarakat.20 Dengan demikian, profesinal dapat diartikan tuntutan pekerjaan yang mesti dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan bidang keilmuan dan keahlian yang dimiliki. Profesionalitas guru berarti keahlian bidang pekerjaan mendidik dan mengajar yang dilakukan oleh guru yang dilakukan berdasarkan tuntutatn profesi keguruan dan pendidikan.21

Guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya) mengajar. Dengan kata lain pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain.

Guru merupakan profesi atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Jenis pekerjaan ini tidak dapat dikerjakan sembarang orang di luar bidang kependidikan. Oleh sebab itu seseorang yang akan menjalani profesi ini harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.22

Dalam rangka menunjukkan bahwa guru memiliki kompetensi keilmuan tertentu, maka diperlukan indikator-indikator tertentu misalnya keahlian yang bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal dan sertifikasi. Di dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 39 ayat 2 menjelaskan bahwa Pendidik merupakan tenaga

20 Arif Rohman, Education Policy in Desentralization Era…, h. 199

21 Keprofesian guru dapat dilihat dari ilmu, kemampuan teknis, komitmen moral yang tinggi terhadap tugasnya. Ilmu pengetahuan dalam kaitannya guru profesional adalah guru memiliki pengetahuan dalam bidang yang diajarkannya, sehingga memungkinkan dia untuk mentransfer ilmu kepada peserta didiknya. Kemampuan teknis keguruan dalam hal ini memiliki berbagai keterampilan mengajar seperti persiapan mengajar, proses pembelajaran, sampai kepada evaluasi. Komitmen moral berkenaan dengan sikap mental seorang guru, meliputi mencintai pekerjaannya, displin, objektif, objektif dan lain-lain. Lihat Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam…, h. 77

22 Umiarso dan Imam Gojali, Manajemen Mutu Sekolah di Era Otonomi Pendidikan, Cet. 1 (Yogyakarta : IRCiSoD, 2010), h. 202

(13)

13

profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.23

Dalam Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tersurat pada pasal 7 tentang prinsip profesionalitas yaitu profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:

a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;

b. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;

c. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;

d. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; e. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; g. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara

berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;

h. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan

i. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.24

Selanjutnya pada ayat 2 disebutkan bahwa pemberdayaan profesi guru diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan

23 Lihat Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 24 Lihat Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP dilengkapi UUD No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Cet. 5 (Jakarta : Gaung Persda Press, 2008), h. 199

(14)

14

menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi. 25

Pada pasal 8 disebutkan bahwa guru atau pendidik Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal 9 disebutkan Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Pasal 10 disebutkan bahwa kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.26

Dalam rangka pengembangan profesionalisme guru, keempat kompetensi ini yang diujikan dalam program sertifikasi guru sesuai dengan Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 10 dan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 28.27

Sertifikasi diberikan untuk memberikan suatu status keprofesionalan kepada guru dan menjadi bukti bahwa guru sebagai pendidik professional telah memiliki kompetensi yang diperlukan terkait dengan profesi yang akan dijalani.

Lahirnya Undang-Undang guru dan seperangkat aturan lainnya merupakan jawaban atas persoalan mutu guru yang selama ini mewarnai dunia pendidikan. Selama ini guru dianggap kurang memberi jaminan terhadap kelangsungan kualitas pendidikan, terutama sekali di lembaga pendidikan Islam. Profesionalitas guru diragukan karena dalam prakteknya terdapat banyak guru yang underqualified (tidak berkualifikasi) dan mismatch (tidak sesuai) dengan bidang yang mereka ajarkan.

25 Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru..,h. 199

26 Lihat Undang-undang RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

27 Masnur Muslich, Sertifikasi Guru menuju Profesionalisme Pendidik, Cet. 1 (Jakarta : Bumi Aksara, 2007), h. 12

(15)

15

Pemerintah menyadari permasalahan rendahnya profesionalitas guru menjadi hambatan dalam menghasilkan pendidikan berkualitas. Pemerintah berupaya melakukan berbagai terobosan yang dipandang perlu untuk mengatasi rendahnya profesionalitas guru tersebut. Melalui berbagai kebijakan, pemerintah melakukan upaya-upaya konkret peningkatan kualitas pendidikan nasional.

Salah satu bentuk peningkatan kualitas pendidik adalah penyelenggaraan program sertifikasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Perlu dicermati berbagai pasal-pasal dalam undang-undang ini sebagai dasar dalam pengembangan profesionalitas guru. Tercantum dalam pasal 7 sebagai berikut; Pemberdayaan profesi guru diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dank ode etik profesi.28

Selanjutnya dalam pasal 20 point b disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.29

Dua pasal dari undang-undang guru dan dosen di atas menunjukkan adanya keharusan untuk mengembangkan profesionalitas pendidik secara terus menerus baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun penyelenggara pendidikan lainnya. Prioritas pengembangan profesionalitas ini perlu dilakukan karena kualitas pendidikan berada ditangan pendidik. Di tangan pendidik, dihasilkan peserta didik yang berkualitas baik secara akademis, skill (keahlian), kematangan emosional, moral dan mental spritual. Wujud

28 Lihat Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru.., h.199 29 Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru.., h.203

(16)

16

profesionalitas yang dimiliki oleh guru adalah kualifikasi, kompetensi dan dedikasi tinggi dalam menjalankan profesinya. Dengan program sertifikasi pendidik, maka diharapkan akan lahir pendidik yang memiliki kemampuan profesional tinggi dalam menjalankan tugas-tugas profesinya.

Tantangan globalisasi menuntut pendidik (guru) pada lembaga pendidikan Islam untuk selalu mengembangkan diri secara terus menerus dan menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.30 Guru yang profesional adalah sosok guru yang mampu mengembangkan diri dan memiliki paradigma baru dalam menjalankan profesinya. Sosok guru yang dikehendaki adalah pendidik yang memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas dalm bidangnya dan mampu menjalankannya secara profesional dan penuh integritas.

Terkait sosok pendidik yang ideal bagi lembaga pendidikan Islam, Abdullah Idi menulis sebagai berikut ;

Idealnya seorang pendidik perlu memiliki beberapa karakteristik : (1) memiliki komitmen terhadap profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif ; (2) menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, atau sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi, dan amaliyah (implementasi) ; (3) mendidik dan menyiapkan anak didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur serta memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya ; (4) mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat panutan atau teladan dan konsultan bagi peserta didiknya ; (5) memiliki kepekaan intelektual dan

30 Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, terjadinya revolusi teknologi informasi merupakan sebuah tantangan yang harus mampu dipecahkan secara mendesak. Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian akan mengubah pola hubungan guru murid, teknologi instruksional dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk menyesuaikan dengan hal yang demikian itu. Lihat Arif Rohman, Education Policy in Decentralization Era.., h. 203

(17)

17

informasi serta memengaruhi pengetahuan dan keahliannya serta berkelanjutan dan berusaha mencerdaskan peserta didik ; (6) bertanggungjawab dalam membangun peradaban bangsa yang berkualitas di masa depan.31

Profesionalitas ditunjukkan dengan dedikasi terhadap profesi, berwawasan luas dalam pengetahuan di bidangnya, penuh tanggungjawab dalam memberikan pendidikan dan pengajaran dalam rangka mencerdaskan anak didiknya, serta memiliki rasa tanggungjawab dalam membangun masyarakat agar berkualitas pada masa akan datang. Tentu aspek-aspek sikap dan integritas kepribadian ini harus terus dihidupakn dalam diri setiap guru yang mengaku profesional sebagai tuntutan profesi yang dijalaninya.

2. Pengembangan Sekolah Unggul

Sekolah unggul atau sekolah unggulan di satu sisi dapat dibanggakan untuk menjawab keraguan akan lahirnya sekolah yang diidamkan oleh masyarakat. Tetapi di sisi lain, sekolah unggulan juga memiliki banyak dampak yang tidak baik bagi penyelenggaraan pendidikan secara keseluruhan. Penulis berasumsi bahwa meskipun sekolah unggulan merupakan model sekolah berkualitas tetapi implikasi adanya sekolah unggulan menunjukkan adanya diskriminasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Sekolah unggulan kerap mendapatkan atensi dari pemerintah yang lebih daripada sekolah lainnya. Di sisi lain, sekolah unggulan dapat melahirkan gejala komersialisasi pendididikan karena sekolah unggulan kerap kali hanya dinikmati oleh anak-anak dari keluarga dengan tingkat ekonomi tinggi atau kalangan orang yang kaya yang sanggup membayar sekolah dengan tarif yang tinggi.

Suyanto menulis sebagai berikut ;

(18)

18

Program kelas (baca : sekolah) unggulan di Indonesia secara paedagogis menyesatkan, bahkan ada yang telah memasuki wilayah malpraktik dan akan merugikan pendidikan kitadalam jangka panjang. Kelas-kelas unggulan diciptakan dengan cara mengelompokkan siswa menurut kemampuan akademisnya tanpa didasari filosofi yang benar. Pengelompokan siswa ke dalam kelas-kelas menurut kemampuan akademis tidak sesuai dengan hakikat kehidupan di masyarakat. Sementara, ita ketahui bahwa kehidupan di masyarakat tidak ada yang memiliki karakteristik homogen.32

Sebutan sekolah unggul dipandang kurang tepat. Kata “unggul” menyiratkan adanya superioritas dibanding dengan yang lain. Kata ini menunjukkan adanya “kesombongan” intelektual yang sengaja ditanamkan di lingkungan sekolah.33 Penulis melihat beberapa istilah sekolah yang dipersepsikan unggul dalam bahasa Inggris disebut dengan effective school.34

Penggunaan istilah sekolah efektif menunjukan bahwa sekolah yang berkualitas sesungguhnya dapat dibangun dengan pelibatan semua pihak dan memberdayakan semua potensi yang dimiliki oleh sekolah. Semua pihak dan potensi tersebut akan menciptakan iklim sekolah yang mampu membentuk keunggulan sekolah.

Untuk mewujudkan sekolah unggul tidak harus mengondisikan sedemikian rupa sekolah dengan input-input yang berprestasi, dan memiliki kemampuan finansial lebih. Keunggulan sesungguhnya terletak pada bagaimana cara sekolah merancangbangun sekolah sebagai organisasi. Keunggulan itu ada pada bagaimana struktur sekolah itu disusun, bagaimana warga sekolah berpartisipasi, bagaimana setiap orang memiliki peran dan

32 Dikutip oleh Umiarso dan Imam Gojali, Manajemen Mutu Sekolah.., h. 195 33 Lihat Umiarso dan Imam Gojali, Manajemen Mutu Sekolah.., h. 194

34 Penulis membaca dalam beberapa buku bahwa sekolah unggulan tidak disebut dengan excellent, tetapi digunakan istilah “effective school” yang berarti sekolah efektif atau berkualitas.

(19)

19

tanggungjawab yang sesuai, serta bagaimana terjadinya pelimpahan dan pendelegasian wewenang yang disertai tanggungjawab. Kuncinya adalah keunggulan dalam pelayanan kepada siswa dengan memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya.35

Sekolah yang unggul adalah sekolah yang dapat menunjukkan diri bahwa dia memiliki kualitas. Unggul bisa diartikan sebagai sesuatu yang sifatnya lebih baik dari sebelumnya melalui proses pendidikan yang dilaksanakan, bukan pada keunggulan yang dimiliki. Melalui proses pendidikan maka siswa bisa lebih baik, lebih cakap dan memiliki perkembangan dalam hal pengetahuan, kompetensi, keterampilan dan sikap. Namun fenomena yang berkembang sekarang menunjukkan adannya sekolah-sekolah unggul hanya melayani orang-orang kaya sementara orang yang tidak kaya, walaupun cerdas, kurang disentuhnya. Dalam hal ini untuk masuk sekolah unggulan harus memiliki dana yang besar, namun tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang tidak kaya dapat juga masuk di sekolah unggulan.36

Kebanyakan pada umumnya sekolah unggulan yang dimaksud adalah memiliki bangunan dan fasilitasnya lengkap dan kondisinya terawat dengan baik, sistem kurikulumnya tersusun dan dikelola dengan baik, ekstrakurikulernya banyak dan dikelola dengan aktif, sering mengikuti atau mengadakan event, siswa-siswinya baik-baik dan pintar-pintar, sekolah sering juara dalam berbagai bidang, dan berstandar internasional.

Dengan adanya hal tersebut, maka sekolah tersebut dapat dikategorikan sebagai sekolah unggul yang dapat bersaing dengan sekolah unggul lainnya yang berada di wilayah-wilayah lainnya. Selain itu SDM pun menjamin dan berperan penting dalam mewujudkan tercapainya suatu

35 Lihat Umiarso dan Imam Gojali, Manajemen Mutu Sekolah.., h. 195

36 Ibrahim Bafadal, Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2006), h. 28

(20)

20

keunggulan dari sekolah tersebut. Dengan kata lain sekolah unggulan adalah sekolah yang mampu membawa setiap siswa mencapai kemampuannya secara terukur dan mampu menunjukkan prestasi akademik yang berdimensi kognitif.

Menurut Terry Bergeson dalam buku “ Nine Characteristics of High-performing School”, sekolah unggul (effective school) adalah sekolah yang memiliki sembilan ciri khas yaitu a clear and shared focus,37 high standards and expectations for all students,38 Effective school leadership,39 High levels of collaboration and communication,40 Curriculum, instruction and assessments aligned with state standards41, Frequent monitoring of learning and teaching,42 Focused professional development43, Supportive learning environment44, High level of family and community involvement.45

37 Everybody knows where they are going and why. The focus is on achieving a shared

vision, and all understand their role in achieving the vision. The focus and vision are developed from common beliefs and values, creating a consistent direction for all involved. Lihat Terry Bergeson,

Nine Characteristics of High-performing School, ed. 2 (Washington:Office of Superintendent of Public Instruction, 2007) h. 27

38 Teachers and staff believe that all students can learn and meet high standards. While

recognizing that some students must overcome significant barriers, these obstacles are not seen as insurmountable. Students are offered an ambitious and rigorous course of study. Lihat Terry Bergeson,

Nine Characteristics of High-performing School..,h. 33

39 Effective instructional and administrative leadership is required to implement change

processes. Effective leaders are proactive and seek help that is needed. They also nurture an instructional program and school culture conducive to learning and professional growth. Effective leaders can have different styles and roles—teachers and other staff, including those in the district office, often have a leadership role. Lihat Terry Bergeson, Nine Characteristics of High-performing School..,h. 43

40There is strong teamwork among teachers across all grades and with other staff. Everybody

is involved and connected to each other, including parents and members of the community, to identify problems and work on solutions. Lihat Terry Bergeson, Nine Characteristics of High-performing School.., h. 54

41 The planned and actual curricula are aligned with the essential academic learning

requirements (EALRs). Research-based teaching strategies and materials are used. Staff understands the role of classroom and state assessments, what the assessments measure, and how student work is evaluated. Lihat Terry Bergeson, Nine Characteristics of High-performing School.., h. 63

42 A steady cycle of different assessments identify students who need help. More support and

(21)

21

Berdasarkan kriteria di atas dapat dipahami bahwa sekolah unggul adalah sekolah yang berhasil mengembangkan potensi peserta didik dengan melakukan langkah-langkah dan prinsip pengembangan sekolah berkualitas yaitu ;

1. Memiliki fokus yang jelas dan tersosialisasi

2. Memiliki standar tinggi dan harapan yang besar bagi siswa 3. Kepemimpinan sekolah yang efektif

4. Bekerjasama dan membangun komunikasi

5. Memiliki kurikulum, pembelajaran dan penilaian yang mengacu pada standar nasional pendidikan

6. Melakukan monitoring evaluasi terhadap proses belajar mengajar 7. Pengembangan profesional yang terfokus

8. Dukungan lingkungan pembelajaran

9. Partisipasi orangtua dan masyarakat terhadap sekolah

Senada dengan uraian di atas, David J. Kirk dan Terry L. Jones mengemukakan bahwa sekolah berkualitas ditentukan oleh tujuh hal yaitu clear school mission, high expectation for success, instructional leadership, opportunity to learn and time on task, safe and orderly environment, positive

students who need more help. Teaching is adjusted based on frequent monitoring of student progress and needs. Assessment results are used to focus and improve instructional programs. Lihat Terry Bergeson, Nine Characteristics of High-performing School.., h. 86

43 A strong emphasis is placed on training staff in areas of most need. Feedback from learning and teaching focuses extensive and ongoing professional development. The support is also aligned with the school or district vision and objectives. Lihat Terry Bergeson, Nine Characteristics of High-performing School.., h. 96

44 The school has a safe, civil, healthy and intellectually stimulating learning environment. Students feel respected and connected with the staff and are engaged in learning. Instruction is personalized and small learning environments increase student contact with teachers. Lihat Terry Bergeson, Nine Characteristics of High-performing School.., h. 107

45 There is a sense that all have a responsibility to educate students, not just the

teachers and staff in schools. Families, as well as businesses, social service agencies, and community colleges/universities all play a vital role in this effort. Lihat Terry Bergeson, Nine

(22)

22

home school relations, frequent of student progress.46 Maksudnya bahwa sekolah berkualitas memiliki misi sekolah yang jelas, motivasi sukses yang tinggi, kepemimpinan pendidikan yang kuat, memiliki kesemptan belajar dan waktu untuk tugas, dukungan lingkungan yang aman dan tertib, kerjasama positif sekolah dan keluarga, dan sering mengevaluasi siswa.

Terkait hal tersebut, Arcaro menguraikan bahwa ada beberapa faktor yang harus dicapai ataupun diwujudkan bila sekolah tersebut ingin menjadi sekolah unggul diantaranya kepemimpinan kepala sekolah yang profesional, guru-guru yang tangguh dan profesional, memiliki tujuan pencapaian filosofis yang jelas, lingkungan yang kondusif untuk pembelajaran, jaringan organisasi yang baik, kurikulum yang jelas, evaluasi belajar yang baik berdasarkan acuan patokan untuk mengetahui apakah tujuan pembelajaran dari kurikulum sudah tercapai serta partisipasi orang tua murid yang aktif dalam kegiatan sekolah. 47

Tugas seorang pemimpin seperti kepala sekolah menyangkut bagaimana kepala sekolah bertanggung jawab atas sekolahnya dan melaksanakan berbagai kegiatan, seperti bagaimana mengelola berbagai masalah menyangkut pelaksanaan administrasi sekolah, pembinaan tenaga pendidikan maupun pendayagunaan sarana dan prasarana. Maka kepala sekolah itu sangat berperan dalam mengendalikan keberhasilah kegiatan pendidikan.48

Kepala Sekolah seharusnya memiliki kemampuan pemahaman dan pemahaman yang menonjol. Dari beberapa penelitian menguatkan bahwa peran kepala sekolah yang efektif dan profesional mampu mengangkat nama sekolah mereka sehingga mampu memperbaiki prestasi akademik mereka.

46 Lihat David J. Kirk dan Terry L. Jones, Effective School, Assesment Report , tahun 2004, h. 1-9

47 Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), h. 10 48 Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), h. 187-188

(23)

23

Guru merupakan ujung tombak kegiatan sekolah karena berhadapan langsung dengan siswa. Guru yang profesional mampu mewujudkan harapan-harapan orang tua dan kepala sekolah dalam kegiatan sehari-hari di dalam kelas maupun di dalam lingkungan sekolah. Di sini peranan guru sangat penting dalam mengembangkan sekolah yang unggul, sehingga seorang guru tersebut harus memiliki sifat yang kreatif, inovatif, profesional dalam pengembangan dan membangun sekolah unggul tersebut. Seorang guru harus mempunyai kemampuan yang baik dalam mengelola kegiatan belajar (KBM), yakni mampu merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan belajar mengajar secara profesional.

Tujuan filosofis diwujudkan dalam bentuk visi dan misi seluruh kegiatan sekolah. Tidak hanya itu, visi dan misi dapat dicerna dan dilaksanakan secara bersama oleh setiap elemen sekolah. Untuk mewujudkan sekolah yang unggul dan pilihan masyarakat, sekolah tersebut harus mempunyai visi dan misi yang jelas dan di mana visi dan misi tersebut dijalankan dengan baik, profesional serta adanya kerja sama dari semua elemen sekolah tersebut agar tercapainya tujuan yang jelas.

Organisasi yang baik dan solid baik itu organisasi guru, orang tua akan menambah wawasan dan kemampuan tiap anggotanya untuk belajar dan terus berkembang. Perlu pula dialog antar organisasi tersebut, misalnya forum Orang Tua Murid dengan forum guru dalam menjelaskan harapan dari guru dan kenyataan yang dialami guru di kelas. Dengan jaringan organisasi yang baik, maka semua pelaksanaan kegiatan dapat berjalan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan.

Istilah Kurikulum berasal dari bahasa latin, yakni “ curriculai “ artinya jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Pada waktu itu, pengertian kurikulum adalah jangka waktu pendidikan yang harus di tempuh oleh siswa yang bertujuan untuk memperoleh ijazah. Dengan kata lain, kurikulum

(24)

24

dianggap sebagai jembatan yang sangat penting untuk mencapai titik akhir dari suatu perjalanan dan di tandai oleh perolehan suatu ijazah tertentu.49

Ada baiknya kemampuan membuat dan mengembangkan kurikulum disesuaikan di tiap daerah bahkan sekolah. Pusat hanya membuat kisi-kisi materi yang akan diujikan secara nasional. Sedang pada pelaksanaan pembelajaran diserahkan kepada daerah dan tiap sekolah menyusun kurikulum dan target pencapaian pembelajaran sendiri. Diharapkan akan muncul sekolah unggulan dari tiap daerah karena memiliki corak dan pencapaian sesuai dengan potensinya. Seperti misalnya sekolah di Kalimantan memiliki corak dan target pencapaian mampu mengolah hasil hutan dan tambang juga potensi seni dan budaya mampu dihasilkan sekolah-sekolah di Bali.

Orang tua dapat dikatakan sebagai salah satu pihak yang ikut bertanggung jawab bagi kesuksesan program atau kegiatan sekolah, artinya keberhasilan sekolah itu sangat ditentukan seberapa jauh tingkat partisipasi orang tua program atau kegiatan yang diselenggarakan sekolah.50 Diharapkan

partisipasi orangtua yang dapat bersinergi dengan sekolah sehingga sekolah dapat berkembang dengan suatu pola kerjasama yang baik.

Di sekolah berkualitas dimanapun, selalu melibatkan orang tua dalam kegiatannya. Kontribusi yang paling minimal sekali adalah memberikan pengawasan secara sukarela kepada siswa pada saat istirahat. Pada proses yang intensif, orang tua dilibatkan dalam proses penyusunan kurikulum sekolah sehingga orang tua memiliki tanggung jawab yang sama di rumah dalam mendidik anak sesuai pada tujuan yang telah dirumuskan sehingga terjalin sinkronisasi antara pola pendidikan di sekolah dengan pola pendidikan di rumah.

49 Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), h. 77

(25)

25

Pada akhirnya sekolah unggulan adalah program bersama seluruh masyarakat, yang tidak hanya dibebankan kepada pemerintah, sekolah dan orang tua secara perorangan, namun menjadi tanggung jawab bersama dalam peningkatan SDM Indonesia.

Dengan kriteria sekolah berkualitas di atas, sekolah dapat dikembangkan ke dalam unsur-unsur seperti yang dipersyaratkan. Penyelenggaraan sekolah tidak lagi dengan labelnya yang –unggulan-51 dan memaksakan keadaan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan seperti selama ini yang berlaku pada kebanyakan sekolah unggul. Pengembangan sekolah berkualitas harus mengacu pada perbaikan aspek-aspek pendidikan untuk memberikan pelayanan bagi peserta didik tanpa diskriminatif agar siswa dapat mengembangkan potensi secara alami.

Dengan demikian diperlukan upaya shifting paradigm (perubahan paradigma) dalam memberdayakan pendidikan, termasuk pendidikan Islam dengan melakukan berbagai langkah konkret dalam mewujudkan Sekolah Unggul.

D. KESIMPULAN

Arus globalisasi telah berimplikasi dalam seluruh dimensi kehidupan manusia. Selain memberikan dampak positif baik manusia, globalisasi juga telah menimbulkan berbagai implikasi buruk dalam berbagai aspek ekonomi, sosial, budaya, termasuk bidang pendidikan. Dampak globalisasi sedemikian rupa telah berwujud dan menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga pendidikan Islam. Lembaga

51 Jika dikritisi label sekolah unggulan memiliki banyak kelemahan yaitu pertama, sekolah unggulan membutuhkan legitimasi pemerintah, bukan atas inisiatif masyarakat atau pengakuan masyarakat. Kedua, sekolah unggulan hanya melayani golongan kaya sementara golongan miskin tidak mungkin mampu mengikuti sekolah unggulan walaupunn secara akademis memenuhi syarat. Ketiga, profil sekolah unggulan kita hanya dilihat dari dari segi karakteristik prestasi tinggi berupa NEM. Lihat Umiarso dan Imam Gojali, Manajemen Mutu Sekolah., h. 198

(26)

26

pendidikan Islam harus mau berhadapan dengan arus globalisasi pada saat yang sama juga harus mampu beradaptasi atas berbagai dampak yang ditimbulkannya.

Arus globalisasi sebagai sebuah keniscayaan atas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memaksa untuk mengikuti kecenderungan yang dibawanya. Oleh karena itu, lembaga pendidikan Islam harus mau menerima perubahan, dan senantiasa merancang bangun sistem pendidikanya agar tetap survive di tengah gelombang arus globalisasi, dengan tidak meninggalkan jati dirinya sebagai lembaga pendidikan yang memegang nilai-nilai Islam sebagai doktrinnya.

Untuk menghadapinya, pendidikan Islam harus memiliki guru-guru yang profesional dengan pengetahuan, kompetensi, keterampilan serta integritas yang mumpuni. Di samping itu, sekolah-sekolah Islam harus mampu menjelma menjadi sekolah yang unggul dan berkualitas yang memegang teguh prinsip-prinsip mutu dalam pengelolaannya serta menghasilkan lulusan-lulusan yang mampu berdaya saing dalam arus globalisasi pengetahuan dan perkembangan teknologi.

E. DAFTAR ISI

Abdullah idi, Sosiologi Pendidikan Individu Masyarakat dan Pendidikan, Jakarta:Rajawali Pers, 2011

Abuddin Nata, Pendidikan di Era Global, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005

Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. 4, Jakarta: Kencana, 2010

Abuddin Nata, Pendidikan di Era Global, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005

Arif Rohma dan Teguh Wiyono, Education Policy in Decentralization Era, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi Modernisasi Menuju Milenium Baru, Cet. 4, Jakarta :Logos Wacana Ilmu, 2002

(27)

27

Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 2009

Haidar Putra Dualiy, Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 2009

Ibrahim Bafadal, Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2006

Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007 Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP dilengkapi UUD No.

14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Cet. 5, Jakarta : Gaung Persda Press, 2008

Masnur Muslich, Sertifikasi Guru menuju Profesionalisme Pendidik, Cet. 1, Jakarta : Bumi Aksara, 2007

Mastuhu, Menata Ulang Sistem pendidikan Nasional dalam Abad 21, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003

Muhaimin dkk, Manajemen Pendidikan Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah,Cet. 3, Jakarta: Kencana, 2011

Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007

Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, Cet. 2, Yogyakarta: Teras, 2010

Nurul Kawakib, Pesantren and Globalization Cultural and Educational transformation, Malang: UIN Malang Press, 2009

Sutrarinah Tirtonegoro, Anak Supernormal dan Program Pendidikannya, Yogyakarta: Bina Aksara

Umiarso dan Imam Gojali, Manajemen Mutu Sekolah di Era Otonomi Pendidikan, Cet. 1, Yogyakarta : IRCiSoD, 2010

Undang-undang RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Referensi

Dokumen terkait

Konsentrasi oksigen terlarut pada setiap bobot perlakuan cenderung menurun baik sebelum maupun sesudah makan yang disebabkan oleh pengambilan oksigen dari media

HTML juga merupakan file teks murni yang dapat dibuat dengan editor teks sembarang yaitu yang dikenal sebagai web page atau dokumen yang disajikan dalam web

Berdasarkan data pada tabel 6, rata-rata guru pengamat mengatakan bahwa: 1) Guru model dalam memulai pembelajaran masih kurang dalam menyampaikan bahan pengait (appersepsi),

Surya (2002:11) mendefinisikan model pembelajaran sebagai berikut: “Pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang

teks deskrip tif lisan dan tulis, pendek dan sederhana, terkait tem- pat wisata dan bangunan bersejarah terkenal dengan memperhatikan fungsi sosial, struktur teks, dan

Secara umum, koleksi anggrek yang ditemukan di lokasi penelitian di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Resort Balik Bukit telah ditanam atau dikonservasikan

Kecamatan Sagulung memiliki 6 SMP/MTs yang ada, dibina oleh 122 guru, artinya jika diambil angka rerata bahwa tiap SMP/MTs dibina oleh 20 orang guru, dilihat dari sudut

Meningkatkan tata kelola pemerintahan daerah yang baik, melalui pelayanan prima sesuai dengan prinsip-prinsip good governance, dengan indikator kinerja sebagai berikut