• Tidak ada hasil yang ditemukan

(Arya P 2001) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "(Arya P 2001) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

4. Parameter Stabilitas Statis lokal (s)

Parameter stabilitas statis merupakan nilai yang digunakan untuk mengidentifikasi ketidakstabilan atmosfer. Tetapi penggunaan parameter ini sudah tidak relevan lagi, sehingga untuk mengidentifikasi ketidakstabilan atmosfer digunakan parameter stabilitas statis non-lokal (θ) (Arya 2001). Untuk menentukan parameter stabilitas statis lokal digunakan persamaan:

𝑠 =

𝑔 𝑇𝑣

𝑥

𝜕𝜃 𝜕𝑍...(7) (Arya P 2001)

5. Richardson Number (Ri)

Richardson Number merupakan ratio antara gaya bouyance (faktor konveksi) dengan shear angin. Nilai Ri digunakan untuk mengidentifikasi terjadinya turbulensi (Holton 2004).

𝑅𝑖 =

𝑔 . ∆𝜃𝑣 . ∆𝑍 𝑇𝑣 . ∆𝑈 2+ ∆𝑉 2...(8) (Arya P 2001) 3.3.2 Mengkonversi data

Data yang telah diolah dalam perangkat lunak Ms. Excel yang ber-ekstensi .xls dikonversi ke dalam bentuk .mat (matlab) agar lebih mudah dalam pembuatan profil vertikal variabel-variabel ABL.

3.3.3 Membuat profil vertikal variabel-variabel ABL

Nilai-nilai variabel ABL yang telah ber-ekstensi .mat diplotkan dalam plot tiga dimensi menggunakan syntax dalam software matlab dan disimpan dalam bentuk .fig (Away 2006).

3.3.4 Menentukan ketebalan ABL

Berdasarkan pola profil suhu potensial virtual secara diurnal, ditentukan ketebalan ABL dengan terlebih dahulu menentukan ketebalan Mixing Layer (ML), Stable Boundary Layer (SBL), dan Residual Layer (RL) dengan menggunakan prinsip stabilitas statis non-lokal.

Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Teori Meteorologi Atmospheric

Boundary Layer

4.1.1 Konsep Atmospheric Boundary Layer (ABL)

Konsep ABL dalam aliran fluida pertama kali ditemukan oleh Froud yang melakukan penelitian tentang tahanan gaya gesek dari lempengan tipis ketika diseret di dalam air pada tahun 1870an. Sedangkan pemahaman tentang ABL sendiri pertama kali dipublikasikan dalam sebuah literatur oleh Prandtl tahun 1905 yang bekerja di bidang aerodinamik yang fokus pada aliran fluida dengan viskositas rendah hingga tinggi. Dalam penelitiannya ia memperkenalkan transisi dan kekasapan sebuah lapisan aerodinamik yang tipis (Garrat 1992).

Dalam konteks atmospheric, para ahli meteorologi cukup sulit untuk mendefinisikan ABL. Dengan usaha yang cukup keras akhirnya ABL didefinisikan sebagai lapisan udara yang berhubungan langsung dengan permukaan bumi yang memberikan pengaruh langsung pada permukaan (gaya gesek, pemanasan, dan pendinginan) dalam rentang waktu yang relatif singkat (kurang dari satu hari) (Garrat 1992).

4.1.1.1 Definisi Atmospheric Boundary Layer (ABL)

Matahari terbit, matahari terbenam, dan terbit lagi, terus berulang membentuk siklus harian. Siklus harian dari pemanasan radiasi matahari menyebabkan siklus fluks panas

(2)

laten dan panas terasa diantara permukaan bumi dan udara. Bagaimanapun, fluks tidak dapat secara langsung mencapai keseluruhan atmosfer. Fluks-fluks tersebut dihasilkan oleh troposfer pada lapisan yang dangkal dekat permukaan bumi yang disebut Atmospheric Boundary Layer (ABL). Kondisi di dalam lapisan ABL tersebut menyebabkan siklus diurnal (harian) beberapa unsur-unsur meteorologi (suhu, kelembaban, dan angin) dan variasi polusi udara. Turbulensi intensif juga terjadi di dalam lapisan ABL, inilah salah satu karakter alami yang menyebabkan ABL begitu unik (Stull 2000).

ABL didefinisikan Stull (1999) sebagai bagian dari troposfer yang dipengaruhi

langsung oleh pemukaan bumi dan

merespon karakter-karakter permukaan dalam rentang waktu satu jam atau

kurang. Karakter permukaan yang

mempengaruhi ABL yaitu gaya gesek antar lapisan udara, evaporasi dan transpirasi, transfer panas, emisi polutan, dan tanah lapang yang menyebabkan modifikasi aliran. Secara langsung, keseluruhan troposfer dapat berubah dengan merespon karakter-karakter permukaan, tetapi respon ini relatif lemah di luar batas ABL. Dengan demikian, kalimat merespon karakter permukaan dalam rentang waktu satu jam atau kurang bukan berarti bahwa ABL mencapai keseimbangannya dalam waktu tersebut, hanya saja perubahan paling kecil dimulai dalam rentang waktu tersebut (Stull 1999).

4.1.1.2 Formasi Atmospheric Boundary

Layer (ABL)

ABL yang sering turbulen menyebabkan percampuran sehingga bagian bawah atmosfer menjadi homogen, daerah ini dinamakan sebagai daerah turbulensi. Suhu potensial udara dari atmosfer standar yang lebih hangat di bagian atas bercampur dengan suhu potensial udara di bagian bawah yang lebih dingin menghasilkan suhu potensial udara campuran yang sedang dan seragam dengan naiknya ketinggian. Kondisi ABL yang sangat turbulen ini menyebabkan ABL disebut sebagai Mixed Layer (ML). Di atas ML udara tidak dimodifikasi oleh turbulen sehingga profil suhu udara sama dengan skenario standar atmosfer, lapisan ini disebut sebagai Free Atmosphere (FA).

Adanya turbulen di ML menyebabkan terjadinya lapisan campuran, sedangkan pada lapisan di atasnya yaitu FA yang tidak tercampur terjadi kenaikan suhu. Daerah ini disebut sebagai daerah inversi, ketinggian

inversi disimbolkan dengan zi dan daerah ini

digunakan sebagai ukuran dalam menentukan ketebalan ABL. Inversi pada lapisan FA berperan seperti cap (penutup) bagi ABL. Jika turbulen memaksa keluar dari ABL, maka udara akan lebih dingin dari lingkungan sekitarnya, sehingga Bouyance Force (gaya apung) yang kuat akan menekan kembali ke lapisan campuran. Batas inversi pada lapisan atas ABL menyebabkan troposfer terbagi menjadi dua bagian yaitu ABL yang sangat turbulen (ML) dan FA yang lebih laminar (Gambar 8).

Gambar 8 Troposfer dibagi menjadi dua bagian yaitu Boundary Layer dan free atmosfer (modifikasi dari: Stull 1999)

Ketebalan ABL sangat di pengaruhi oleh faktor lokasi dan waktu. Turbulen menyebabkan ABL merasakan langsung pengaruh permukaan bumi (Stull 2000).

Gambar 9 Variasi suhu potensial di dalam

Atmospheric Boundary Layer dan Free Atmosfer. Siklus harian pemanasan dan

pendinginan yang kita kenal di dekat

permukaan tidak terjadi di atas

Boundary Layer (modifikasi dari: Stull

2000)

4.1.1.3 Evolusi dan Struktur Atmospheric

Boundary Layer (ABL)

ABL dibagi ke dalam tiga komponen, yaitu Mixed Layer (ML) atau Convective Boundary Layer (CBL) yang terjadi pada siang hari saat kondisi atmosfer unstable,

FA

ABL Troposfer

Tropopause

(3)

Stable Boundary Layer (SBL) yang terbentuk saat kondisi atmosfer stable terbentuk di bawah Residual Layer (RL) yaitu lapisan atmosfer yang netral, kedua lapisan ini terbentuk pada malam hari (Gambar 10).

Gambar 10 ABL di bagi menjadi tiga bagian mixed

layer (ML), stable boundary layer (SBL), dan residual layer (RL)

(modifikasi dari: Stull 1999)

Surface Layer (SL) disebut juga sebagai Prandtl Layer, lapisan ini ketebalannya antara 20-100 m. Pada lapisan ini turbulen relatif konstan terhadap ketinggian. Pengaruh gaya koriolis dapat diabaikan dekat permukaan, jadi pembentukan angin di dalam Prandtl Layer dapat diabaikan. Kecepatan angin meningkat dengan kuat pada lapisan ini, kecepatannya bahkat lebih kuat setengah kali lipat dari kecepatan angin pada puncak ABL (Zdunkowski dan Bott 2003).

Di atas lapisan Prandtl yang merupakan ML disebut juga sebagai Ekman Layer, ketebalannya mencapai 1000 m tergantung pada stabilitas atmosfer. Turbulensi pada lapisan ini menurun hingga nol pada puncak ekman layer. Di atas Ekman Layer aliran udara relatif tidak turbulen (turbulensi sangat lemah). Pengaruh gaya koriolis pada lapisan ini menyebabkan pembentukan vektor angin. Daerah antara permukaan bumi hingga puncak Ekaman Layer di sebut Planetary Boundary Layer (Atmospheric Boundary Layer) (Zdunkowski dan Bott 2003).

Dalam siklus ABL di daratan, transisi terjadi di antara dua model dasar yang mendekati kondisi netral. Seperti siklus diurnal yang menunjukkan dua tahapan utama, pertama model unstable, pada model ini lapisan campuran terjadi setelah matahari terbit dan berlangsung sampai sore hari atau ketika evening trantition terjadi. Kedua, model stable yang terbentuk setelah matahari terbenam dan mulai menghilang ketika pagi hari menjelang matahari terbit, memberikan

sedikit jeda hingga lapisan campuran terjadi lagi (Columbie 2008).

ABL secara kontinyu merespon pemanasan dan pendinginan permukaan bumi, yang menyebabkan ABL memiliki kondisi yang berbeda yang digambarkan dalam bentuk yang sederhana. Bentuknya mengikuti pergerakan matahari, ketika matahari terbit sebuah CBL terbentuk di dekat permukaan kemudian sinar matahari memanaskan permukaan. CBL tumbuh pada pagi hari hingga mencapai ketebalan 1-2 km pada siang hari. Inversi permukaan umumnya ada sebelum matahari terbit yang menjadi lapisan penutup, lapisan ini terus naik seiring dengan naiknya CBL (Kaimal dan Finnigan 1994).

Gambar 11 Evolusi CBL dan SBL dalam merespon pemanasan dan pendinginan permukaan (modifikasi dari: Garrat 1992)

4.1.2 Parameter Karakter Atmospheric

Boundary Layer (ABL)

ABL adalah lapisan yang sangat dipengaruhi oleh permukaan bumi. Interaksi antara ABL dan permukaan bumi menyebabkan terjadinya proses-proses unik yang menjadi karakter ABL. Karakter-karakter ABL tersebut dapat diidentifikasi oleh beberapa parameter/variabel meteorologi seperti suhu udara, kelembaban, dan kecepatan angin. Selain variabel-variabel meteorologi tersebut, faktor stabilitas atmosfer juga menjadi hal yang penting dalam menentukan karakter ABL.

4.1.2.1 Stabilitas Atmosfer

Dalam menentukan stabiltas atmosfer dilakukan dengan dua pendekatan yaitu stabilitas statis dan stabilitas dinamis. Pada stabilitas statis penentuan stabilitas atmosfer didasarkan pada gaya apung (Bouyance Force) dan tidak mempertimbangkan shear

(4)

angin. Sedangkan pada stabilitas dinamis mempertimbangkan gaya apung dan shear angin.

Stabilitas Statis

Stabilitas statis membagi kondisi atmosfer menjadi tiga yaitu kondisi unstable, neutral, dan stable. Ketiga kondisi tersebut didasarkan pada laju penurunan suhu terhadap ketinggian (lapse rate). Ahrens (2002) membagi laju penurunan suhu ke dalam tiga kategori yaitu SALR (Saturated Adiabatic Lapse Rate), DALR (Dry Adiabatic Lapse Rate), dan ELR (Environmental Lapse Rate). Berdasarkan data radisonede nilai lapse rate tersebut adalah: SALR = 6˚C/1000 m ELR = 4˚C/1000 m, stable DALR = 10˚C/1000 m ELR = 11˚C/1000 m, unstable a) Unstable

Kondisi unstable terjadi ketika ELR lebih besar dari DALR. Kondisi ketidakstabilan (conditional instability) terjadi ketika ELR berada diantara SALR dan DALR. Rata-rata ELR di tropsfer adalah 6.5˚C/1000m. Nilai ini berada diantara DALR dan rata-rata SALR, dengan demikian kondisi atmosfer di troposfer cenderung dalam kondisi ketidakstabilan (Ahrens 2002).

Penyebab ketidakstabilan adalah suhu udara lebih dingin dibandingkan dengan suhu permukaan. Penyebab suhu udara menjadi dingin adalah:

1. Angin yang membawa udara dingin (adveksi dingin)

2. Perawanan yang mengemisikan radiasi infra merah ke atmosfer.

Penyebab suhu permukaan menjadi lebih hangat adalah:

1. Pemanasan matahari pada siang hari 2. Aliran udara hangat yang dibawa oleh

angin

3. Pergerakan udara yang melalui permukaan yang hangat

Jika gaya apung memindahkan parsel udara ke bagian yang lebih atas dari titik mula-mula, maka udara diantara ketinggian titik mula-mula dengan ketinggian parsel saat berpindah menjadi tidak stabil. Karena ketidakstabilan ini persel udara akan terus bergerak ke atas menghasilkan srkulasi konvektif bahkan awan konvektif.

Untuk menentukan daerah tidak stabil menggunakan perpindahan parsel udara secara stabilitas statis non-lokal. Parsel udara yang

memiliki suhu potensial relatif maksimum berdasarkan konsep akan naik secara adiabatik. Begitu pula sebaliknya, parsel udara yang memiliki suhu potensial yang relatif minimum akan turun secara adiabatik pula hingga menyentuh sounding atau permukaan tanah. Daerah tempat pergerakan persel tersebut disebut sebagai daerah statically unstable. Suhu potensial relatif maksimum adalah suhu parsel udara yang lebih hangat dari suhu lingkungan, sedangkan suhu potensial relatif minimum adalah suhu parsel udara yang lebih rendah dari suhu lingkungan (Stull 2000).

(a)

(b)

Gambar 12 Kondisi atmosfer unstable pada parsel udara kering (a); Kondisi atmosfer

unstable pada parsel udara jenuh (b)

(modifikasi dari: Ahrens 2002)

b) Neutral

Bagian dari sounding dimana ELR sama dengan Adiabatic Lapse Rate (ALR), tetapi kondisinya berbeda dengan nonlocally unstable, kondisi seperti ini disebut statically neutral. Parsel udara yang bergerak dalam lingkungan ini tidak akan merasakan gaya apung.

(5)

∆𝑇 ∆𝑍≈ − г𝑑 г𝑠 atau ∆𝜃 ∆𝑍≈ 0 г𝑑− г𝑠 (Stull 2000). c) Stable

Kondisi stable adalah suatu kondisi dimana ELR selalu lebih kecil dari SALR. Pada kondisi stabil, ELR 4˚C/1000 m sehingga nilai ELR selalu lebih kecil dari SALR dan DALR pada semua level. Pada kondisi stable, atmosfer menahan gerakan vertikal parsel udara menyebabkan parsel udara cenderung bergerak secara horizontal. Pada kondisi ini akan terbentuk awan secara horizontal seperti awan cirrostratus, altostratus, nimbostratus, atau stratus.

Kondisi stable terjadi ketika laju suhu lingkungan sangat kecil dan ketika perbedaan suhu udara dan suhu udara permukaan relatif kecil. Kondisi stabil juga terjadi apabila suhu permukaan lebih dingin dibandingkan dengan suhu udara di atasnya. Suhu lingkungan dapat menjadi dingin disebabkan oleh beberapa faktor:

1. Pendinginan permukaan pada malam hari 2. Aliran udara permukaan dingin yang

dibawa oleh angin (cold advection) 3. Pergerakan udara yang melalui permukaan

yang dingin

Bagian dari sounding dimana penurunan suhu terhadap ketinggian lebih kecil dari adiabatik, dan kondisinya berbeda dengan nonlocally unstable, kondisi ini disebut statically stable. Parsel udara yang bergerak di daerah ini akan mengalami gaya apung yang berlawanan arah dengan perpindahannya.

∆𝑇 ∆𝑍> − г𝑑 г𝑠 atau ∆𝜃 ∆𝑍> 0 г𝑑− г𝑠

Dalam kondisi tidak jenuh parsel udara akan statically stable jika suhu potensial bertambah terhadap ketinggian (Stull 2000).

(a)

(b)

Gambar 13 Kondisi atmosfer stable pada parsel udara kering (a); kondisi stable pada parsel udara jenuh (b). (modifikasi dari: Ahrens, 2002)

Stabilitas statis non-lokal

Stabilitas statis non-lokal merupakan pembaharuan dari stabilitas statis lokal. Karena stabilitas statis lokal dianggap sudah tidak relevan dalam menggambarkan stabilitas atmosfer. Pada stabilitas statis lokal stabilitas atmosfer digambarkan menggunakan parameter stabilitas statis (s) yang dirumuskan:

𝑠 = 𝑔/𝑇𝑣 𝜕𝜃𝑣/𝜕𝑧

Tetapi parameter ini kurang relevan untuk menggambarkan seluruh kondisi stabilitas atmosfer di dalam ABL karena pada Surface Layer (SL) kondisi atmosfer superadiabatik menyebabkan parsel udara mengalami perpindahan yang signifikan sebelum parsel udara mencapai ML. Oleh sebab itu stabilitas statis lokal diubah menjadi stabilitas statis non-lokal yang menggunakan parameter suhu potensial virtual (θv).

Dalam menentukan stabiltas atmosfer untuk tiap-tiap lapisan, parsel udara akan bergerak naik atau turun dari semua titik asal yang memungkinkan untuk mulai. Dalam praktek, perhatikan titik maksimum atau titik minimum suhu potensial virtual parsel udara. Parsel udara bergerak naik atau turun tergantung pada gaya apung parsel bukan pada Lapse Rate lokal. Gaya apung parsel udara hangat untuk naik dan gaya apung parsel udara dingin untuk turun. Dengan demikian stabilitas statis non-lokal dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu unstable, stable, neutral, dan unknown (Arya 2001).

(6)

Gambar 14 Karakteristik stabilitas statis nonlokal berdasarkan suhu potensial virtual (sumber: Arya P 2001)

Stabilitas Dinamis

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam penentuan stabilitas atmosfer dengan menggunakan pendekatan stabilitas dinamik tidak hanya memperhatikan faktor gaya apung tetapi shear angin juga memiliki peran penting. Dalam stabilitas aliran angin dapat menjadi turbulen dalam statically stable jika shear angin cukup kuat. Dalam menentukan stabilitas atmosfer dan turbulensi pada stabilitas dinamis digunakan parameter

Richadson number yang tidak berdimensi.

𝑅𝑖 =

𝑔 . ∆𝑇𝑣+Г 𝑑 . ∆𝑍 𝑇𝑣 . ∆𝑈 2+ ∆𝑉 2

atau

𝑅𝑖 =

𝑔 . ∆𝜃𝑣 . ∆𝑍 𝑇𝑣 . ∆𝑈 2+ ∆𝑉 2

atau

𝑅𝑖 =

𝑁𝐵𝑉2 . ∆𝑍 2 ∆𝑈 2+ ∆𝑉 2

Dimana ∆𝑇𝑣 , ∆𝑈, dan ∆𝑉 adalah suhu

virtual dan kecepatan angin yang pada ketinggian ∆𝑍 = 𝑍2− 𝑍1. Lapse rate

adiabatik kering Гd = 9.8 K/km. Suhu udara

dalam Kelvin. Pada udara yang relatif kering Tv ≡ T dan θv ≡ θ.

Dalam pendekatannya, untuk menentukan Dynamic Unstable dan turbulensi digunakan Richardson Number. Suatu kondisi atmosfer dikatan tidak stabil dan turbulen apabila Ri < Ric. Ric adalah Critical Richardson Number

yang bernilai 0.25. Untuk Richardson Number yang bernilai lebih besar dari 0.25 menunjukkan bahwa kondisi atmosfer Statically Stable. Sedangkan kondisi atmosfer yang tidak stabil menghasilkan Richardson Number yang bernilai lebih kecil dari 0.25 bahkan bernilai negatif, yang dinamakan

Dynamical Instability. Udara yang menjadi Dynamical Instability sering disebut sebagai gelombang kevin-helmholtz.

Baik stabilitas dinamis maupun stabilitas statis belum memberikan pengukuran yang tepat tentang eksistensi turbulensi. Dalam stabilitas statis tidak memasukkan pengaruh shear angin dalam menghasilkan turbulensi. Sedangkan dalam stbilitas dinamis tidak memasukkan proses-proses non-lokal yang dapat menghasilkan turbulensi. Sehingga dalam menentukan turbulensi diperlukan kedua pendekatan tersebut (Stull 2000).

4.1.2.2 Profil Vertikal Suhu dan

Kelembaban

Pemanasan permukaan menyebabkan lapisan thermal naik dari permukaan yang menghasilkan turbulensi. Gaya gesek permukaan yang menyebabkan angin dekat permukaan lebih lambat daripada angin pada lapisan yang lebih atas, juga menghasilkan turbulensi. Turbulensi dihasilkan oleh proses percampuran suhu potensial dekat permukaan yang nilainya relatif lebih rendah dengan suhu potensial dari ketinggian tertentu yang nialinya lebih tinggi. Dengan demikian profil suhu potensial dapat digunakan untuk menentukan ketebalan ABL.

Capping Inversion (CI) adalah batas atas ABL yang dicirikan dengan stabilitas statis, yang menekan turbulen di dalamnya. Turbulen dari bawah sulit menembus CI dan tetap berada di dalam ABL. Dengan demikian turbulensi membantu pembentukan CI dan CI memerangkap turbulen di dalam ABL (Wallace dan Hobbs 2006).

Stable Boundary Layer (SBL) atau Nocturnal Boundary Layer (NBL) terbentuk di dekat permukaan pada malam hari, proses pembentukannya dengan cara merespon pendinginginan dari permukaan. Di bagian atas, CI yang terbentuk pada siang hari masih tetap ada. SBL dekat permukaan menghasilkan turbulensi yang lemah. Diantara dua SBL terdapat Residual Layer (RL) dengan turbulensi sama dengan nol, merupakan residual panas, kelembaban, dan polutan, dan tempat terjadinya Mixed Layer (ML) pada siang hari (Wallace dan Hobbs 2006).

Gambar 15 juga menunjukkan profil kelembaban spesifik, μ. Evaporasi dari permukaan pada siang hari menambah kelembaban pada ABL. Kelembaban spesifik menurun terhadap ketinggian di dalam SL, kemudian ketika kelembaban masuk ke dalam lapisan ML menyebabakan lapisan ML lebih lembab dan pada lapisan yang lebih atas yaitu

(7)

FA kelembaban menurun drastis melalui CI (Wallace dan Hobbs 2006).

Gambar 15 Sketsa profil vertikal suhu (T), suhu potensial (θ), kelembaban spesifik (μ), dan kecepatan angin (V) pada siang hari dan malam hari. FA=Free

Atmosfer, EZ=Entrainment Zone, ML=Mixed Layer, SL=Surface Layer, CI=Capping Inversion, RL=Residual Layer, SBL=Stable Boundary Layer, zi= ketinggian capping inversion,

Vg=angin geostrofik (modifikasi dari: Wallace dan Hobbs 2006)

Pada malam hari, udara lembab sebagian besar berada di tengah dan di bagian atas ABL. Pendinginan permukaan dapat menyebabkan pembentukan embun dan forst yang mengurangi kelembaban di lapisan bawah ABL. Pada kondisi lain, ketika tidak terjadi embun dan forst, kelembaban relatif homogen pada bagian tengah dan bawah ABL (Wallace dan Hobbs 2006).

Profil vertikal suhu dan kelembaban udara di lautan secara diurnal memiliki variasi yang kecil (perubahannya sedikit), ini disebabkan suhu permukaan laut yang sedikit sekali berubah. Perbedaan suhu permukaan laut pada siang hari dan malam hari kurang dari 0.5˚C. (Arya 1988).

4.1.2.3 Profil Verikal Kecepatan Angin

Besar dan arah angin dekat permukaan serta variasinya terhadap ketinggian di ABL memiliki karakter yang unik yaitu turbulensi

yang tidak terdapat pada lapisan-lapisan atmosfer lainnya (Arya 2001).

Gambar 16 Evolusi profil angin di dalam ABL

selama cuaca cerah di dartan

(sumber: Stull 2000)

Di daratan selama cuaca cerah angin mengalami siklus diurnal seperti pada gambar 16. Beberapa jam ssetelah matahari terbit (pukul 09.00 WS) dimana ketebalan ABL masih dangkal (300 m) kecepatan angin relatif homogen terhadap ketinggian dan mendekati nol di dekat permukaan. Pada siang hari, saat ABL lebih tebal, kecepatan angin tetap moderate dekat permukaan dan terus meningkat lebih cepat dengan bertambahnya ketinggian. Setelah matahari terbenam, intensitas turbulensi biasanya berkurang, dan gaya gesek permukaan menghasilkan angin di lapisan bawah. Bagaimanapun, tanpa turbulensi, udara di tengah ABL tidak akan merasakan gaya gesek permukaan dan tidak akan mengalami percepatan. Pada pukul 03.00 WS kecepatan angin di beberapa ratus meter di atas permukaan mendekati kecepatan angin geostrofik, walapun kecepatan angin di permukaan relatif kecil (Stull 2000).

4.1.3 Atmospheric Boundary Layer (ABL) di Wilayah Lautan

Penutupan awan pada ABL di atas lautan berbeda dengan di daratan, hal ini di sebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

 Kelembaban relatif udara permukaan yang cenderung lebih tinggi (> 75%).

 Karena RH udara yang lebih tinggi pembentukan awan lebih intensif.

 Dengan penutupan awan yang tersebar luas, transfer radiatif memerankan peran yang lebih penting dan lebih kompleks dalam keseimbangan panas di dalam ABL.

(8)

 Di beberapa daerah, drizzle memiliki peran yang penting dalam keseimbangan panas dan air di ABL.

 Siklus diurnal tidak terlalu penting, dan siklus tersebut di atur oleh faktor fisik yang berbeda .

(Wallace dan Hobbs 2006).

Di daerah daratan tropis yang merupakan dasar inversi angin pasat (~1.500 m) memiliki vertikal transfer yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah Midlatitudes termasuk konveksi awan cumulus. Ketika awan terbentuk, Subcloud Layer berperan sebagai CI dan dasar dari Subcloud Layer dimana θv mulai meningkat terhadap ketinggian adalah nilai dasar awan, yang menjadi batas atas ABL dan digunakan untuk menentukan ketinggian proses-proses konveksi dibawahnya (LeMone 1978 dalam Kaimal dan Finnigan 1994). Sedangkan untuk wilayah lautan di daerah tropis, gradien suhu cenderung mendekati nilai adiabatik, dan konveksi dibangkitkan oleh panas laten dari fluks kelembaban di permukaan. Namun demikian, CBL di lautan mrnunjukkan kesamaan dengan CBL di daratan pada daerah tropis (LeMone 1978 dalam Kaimal dan Finnigan 1994).

4.2 Profil Vertikal Diurnal Variabel-Variabel ABL di Tiga Wilayah Kajian pada Tanggal 02 Februari 2010

4.2.1 Bogor

Bogor terletak di antara 106°43’ BT -106°51’ BT dan 6°30’ LS - 6°41’ LS serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 m, maksimal 350 m, dan pada stasiun pengamatan di Kota Bogor ketinggiannya terletak pada 248 m dpl. Dalam menetukan karakter ABL digunakan profil vertikal variabel-variabel ABL yaitu suhu potensial virtual (θv), kecepatan angin (M), kecepatan angin meridional (U), kecepatan angin zonal (V), suhu virtual (Tv), mixing ratio (r), dan parameter stabilitas statis lokal (s) yang digunakan sebagai pembanding parameter stabilitas statis non-lokal (θ).

Profil vertikal variabel-variabel ABL digunakan untuk menganalisa karakter ABL. Ketebalan merupakan salah satu dari karakter ABL, dalam menentukan ketebalan ABL, profil vertikal variabel yang digunakan adalah suhu potensial virtual dan Mixing Ratio. Karakter suhu potensial virtual di Wilayah Bogor pada siang hari lebih homogen pada lapisan ML dan titik CI lebih tinggi

dibandingkan dengan malam hari, pagi hari, atau sore hari. Pola tersebut mengindikasikan bahwa ketebalan ABL paling besar terjadi pada siang hari dan akan menyusut pada waktu peralihan yaitu pagi dan sore hari dan ketebalan ABL paling kecil terjadi pada malam hari. Siang hari suhu udara dekat permukaan mencapai suhu maksimumnya sehingga gaya apung yang terjadi pada siang hari maksimum (konveksi maksimum), selain karena gaya apung faktor lain yang dapat mempengaruhi kehomogenan suhu potensial virtual adalah angin yang membawa udara lebih dingin. Ketika aliran angin yang membawa udara dingin melalui daratan yang lebih panas, menyebabkan terjadinya kondisi unstable, kondisi unstable ini menyebabkan parsel udara terekspansi secara adiabatik sehingga suhu potensial virtual senantiasa konstan hingga titik jenuhnya. Semakin tinggi suhu permukaan semakin kuat gaya apung yang menyebabkan semakin tebal ABL. Hal ini mendukung pernyataan Garrat (1992) tentang ketebalan ABL pada siang hari di musim panas yang mencapai 5.000 m di daerah lintang menengah.

Variabel Mixing Ratio yang merupakan ratio antara massa udara lembab terhadap massa udara kering menunjukkan kandungan uap air dalam parsel-parsel udara yang menyebabkan variabel ini hanya dapat bergerak hingga titik jenuhnya (lapisan Capping Inversion) (Wallace dan Hobbs 2006). Berdasarkan profil vertikal Mixing Ratio, kelembaban siang hari akan maksimum pada permukaan dan terus menurun pada lapisan SL, ketika memasuki lapisan ML, Mixing Ratio menjadi homogen karena pengaruh turbulensi, dan ketika mencapai CI, Mixing Ratio akan turun secara tajam mendekati nol hingga memasuki lapisan FA. Dan pada malam hari profil Mixing Ratio pada lapisan SL lebih rendah dibandingkan dengan lapisan di atasnya, tetapi terus meningkat pada lapisan ML tengah dan atas hingga mencapai CI, karena pada malam hari tidak terjadi evaporasi dan transpirasi sehingga tidak terjadi penambahan uap air. Massa uap air yang lebih ringan dibandingkan dengan massa udara kering sehingga massa udara yang mengandung uap air akan berada pada lapisan ML atas dan tengah.

(9)

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Gambar 17 Profil vertikal diurnal parameter-parameter ABL Wilayah Bogor. Suhu potensial virtual (a); mixing ratio (b); suhu virtual (c); kecepatan angin rata-rata (d); kecepatan angin meridional (e); kecepatan angin zonal (f).

Berdasarkan profil vertikal variabel suhu potensial virtual dan Mixing Ratio di Daerah Bogor, ketebalan ABL di Daerah Bogor rata-rata pada malam hari 165 m, nilai ini lebih besar pada siang hari yang mencapai lebih dari 1450 m. Jika dibandingkan dengan ketebalan ABL di daratan pedalaman pada lintang menengah yang berkisar antara 1100-1200 m (Wallace dan Hobbs 2006), ketebalan ABL di Daerah Bogor lebih besar, ini

disebabkan letak topografis dan lama penyinaran matahari.

Profil vertikal kecepatan angin terdiri dari kecepatan angin rata-rata, kecepatan angin zonal, dan kecepatan angin meridional. Untuk Wilayah Bogor, secara vertikal arah angin menyebar secara merata sepanjang hari, tidak ada arah angin dominan, namun pola kecepatan angin naik secara tajam (logaritmik) pada lapisan SL dan turun mendekati kecepatan angin geostrofik seiring dengan meningkatnya profil angin terhadap

298 300 302 304 306 308 310 312 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200

suhu potensial virtual (K)

k e ti n g g ia n ( m ) pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00 290 292 294 296 298 300 302 304 306 308 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200 suhu virtual (K) k e ti n g g ia n ( m ) pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00 -8 -6 -4 -2 0 2 4 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200

kecepatan angin zonal (m /s)

k e ti n g g ia n ( m ) pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00 0.01 0.011 0.012 0.013 0.014 0.015 0.016 0.017 0.018 0.019 0.02 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200 m ixing ratio k e ti n g g ia n ( m ) pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00 0 1 2 3 4 5 6 7 8 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200 kecepatan angin (m /s) k e ti n g g ia n ( m ) pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200

kecepatan angin m eridional (m /s)

k e ti n g g ia n ( m ) pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00

(10)

ketinggian, hingga mencapai CI. Kecepatan angin di Wilayah Bogor pada malam hari lebih besar dibandingkan pada siang hari, hal ini karena ada pengaruh turbulensi yang kuat pada siang hari, sedangkan pada malam hari pengaruh turbulensi akan menghilang, sehingga aliran angin cenderung laminar dengan kecepatan angin yang relatif lebih kuat dibandingkan siang hari.

Variabel Richardson Number (Ri) yang merupakan rasio antara faktor konveksi (Bouyance Force) dan faktor shear angin menjadi parameter penentu terjadinya turbulensi. Jika ABL dalam kondisi unstable dan Ri < 0, turbulensi sangat kuat. Untuk kondisi stable dan nilai Ri > 0, turbulensi akan menghilang. Berdasarkan penelitian untuk nilai Ri kurang dari 0.25 (faktor shear angin melebihi faktor konveksi) turbulensi cukup intensif di dalam stable layer (Holton 2004).

4.2.2 Karawang

Karawang terletak di bagian Utara Provinsi Jawa Barat dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Secara geografis Kabupaten Karawang terletak antara 107º02`– 107º40` BT dan 5º56’–6º34` LS dengan luas wilayah 1.737,30 km2. Daerah Karawang sebagian besar merupakan daerah dataran rendah, dan hanya sebagian kecil dataran tinggi yang terletak di bagian selatan. Pada stasiun pengamatan di Kabupaten Karawang ketinggiannya adalah 53 m dpl. Daerah Karawang berbatasan langsung dengan laut (daerah pantai). Pada dasarnya Daerah Karawang adalah daratan, tetapi mendapat pengaruh angin dan konduksi panas dari lautan.

Daerah Karawang adalah daerah dataran rendah yang berbatasan lansung dengan lautan (pantai). Berdasarkan profil vertikal variabel suhu potensial virtual dan mixing ratio di Daerah Karawang, di dapatkan ketebalan ABL di Daerah Karwang rata-rata pada siang hari 1150 m dan pada malam hari 246 m. Garrat (1992) menjelaskan bahwa daerah pantai memilki ketebalan ABL yang lebih kecil dibandingkan dengan ketebalan daratan pada umumnya, kondisi ini disebabkan oleh perbedaan suhu udara dan suhu permukaan daratan dan lautan. perbedaan suhu udara dan suhu permukaan pada daerah ini tergantung pada arah angin bertiup. Perbedaannya besar bila angin bertiup dari arah daratan dan sebaliknya.

Untuk profil vertikal variabel kecepatan angin karakternya sama dengan Daerah Bogor, yaitu memilki kecepatan tinggi dan alirannya relatif laminar pada malam hari dan pada siang hari terjadi turbulensi dengan kecepatan angin relatif kecil dibandingkan malam hari. Walaupun memiliki karakter yang sama dengan daratan, kekuatan kecepatan angin di Daerah Karawang lebih besar dibandingkan dengan Daerah Bogor. Secara diurnal kecepatan angin di Daerah Karawang lebih kuat pada siang hari di bandingkan pada malam hari, ini menunjukkan pengaruh angin laut lebih kuat dibandingkan pengaruh angin darat.

(a) (b) 298 300 302 304 306 308 310 312 0 500 1000 1500 2000 2500

suhu potensial virtual (K)

k e ti n g g ia n ( m ) pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00 0.01 0.012 0.014 0.016 0.018 0.02 0.022 0 500 1000 1500 2000 2500 m ixiing ratio k e ti n g g ia n ( m ) pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00

(11)

(c) (d)

(e) (f)

Gambar 18 Profil vertikal diurnal parameter-parameter ABL Wilayah Karawang. Suhu potensial virtual (a); mixing ratio (b); suhu virtual (c); kecepatan angin rata-rata (d); kecepatan angin meridional (e); kecepatan angin zonal (f).

4.2.3 Pulau Pramuka

Pulau Pramuka merupakan salah satu dari gugusan Kepulauan Seribu yang terletak di Bagian Timur, yang dikelilingi oleh Laut Jawa. Secara geografis Pulau Pramuka terletak antara 5°44’-5°45’ LS dan 106°36’– 106°37’ BT serta memiliki luas 30,08 ha dengan ketinggian 1 m dpl. Berdasarkan letak geografisnya tersebut, dapat diasumsikan bahwa karakter ABL di Pulau Pramuka dapat menginterpretasikan karakter ABL untuk wilayah lautan karena kondisi atmosfer Pulau Pramuka mendapat pengaruh yang sangat besar dari lautan. Profil vertikal suhu potensial virtual di Pulau Pramuka pada siang hari mirip dengan profil vertikal suhu potensial di Daerah Bogor dan Karawang pada siang hari. Dari hasil penggambaran profil vertikal suhu potensial di Pulau Pramuka pada siang hari terlihat adanya ML atau stabilitas atmosfer yang merepresentasikan kondisi unstable, tetapi ketebalannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan ketebalan ABL di Daerah Bogor dan Karawang. Ketebalan ABL di Pulau Pramuka ini rata-rata siang hari 433 m dan pada malam hari 40 m. Berdasarkan penelitian JASIN oleh

Businger dan Charnock tahun 1983 di Laut Atlantik Timur Laut batas lapisan stratocumulus yang digunakan sebagai parameter ketebalan ABL adalah 500 m

(Garrat 1992). Dengan demikian variabel

ABL di Pulau Pramuka dapat mewakili karakter ABL untuk wilayah lautan. Wallace dan Hobbs (2006) menyatakan bahwa karakter ABL di lautan pada siang hari sama dengan karakter ABL pada malam hari di daratan, tetapi ada suatu kondisi khusus dimana karakter di lautan pada siang hari sama dengan daratan pada siang hari. Kondisi tersebut terjadi Bulan Januari dimana pada bulan-bulan tersebut terjadi arus panas di lautan (Kurosio dan Gulf-Stream ) yang meng-ekspansi hingga perairan Indonesia yang menyebabkan perairan di Indonesia lebih hangat, di tambah dengan terjadinya angin pasat yang menuju ekuator dan barat yang membawa udara dingin sehingga menyebabkan perpindahan transport panas antara permukaan laut dan udara yang mengakibatkan kondisi atmosfer menjadi unstable walaupun lemah, sehingga pada kondisi-kondisi seperti ini karakter ABL di lautan sedikit berubah, mengikuti karakter

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 500 1000 1500 2000 2500 kecepatan angin (m /s) k e ti n g g ia n ( m ) pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00 290 292 294 296 298 300 302 304 306 308 310 0 500 1000 1500 2000 2500 suhu virtual (K) k e ti n g g ia n ( m ) pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00 -4 -2 0 2 4 6 8 10 0 500 1000 1500 2000 2500 kecepatan angin (m /s) k e ti n g g ia n ( m ) pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00 -4 -2 0 2 4 6 8 10 0 500 1000 1500 2000 2500 kecepatan angin (m /s) k e ti n g g ia n ( m ) pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00

(12)

ABL di daratan tetapi dengan kondisi yang lebih lemah. Di lautan turbulensi terjadi pada siang hari seperti di daratan, tetapi faktor yang membangkitkan turbulensi di wilayah lautan adalah pemanasan dari bawah awan (konveksi) dan pendinginan dari puncak awan yang bergerak ke bawah (emisi gelombang panjang pada puncak awan), namun kekuatan turbulensi di lautan lebih lemah dibandingkan dengan daratan.

Profil vertikal variabel Mixing Ratio juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi ketebalan ABL, kondisi Mixing Ratio di Pulau Pramuka berbeda dengan daerah Bogor dan Karawang. Kelembabannya sangat tinggi di dekat permukaan, menyebabkan ketinggian CI lebih rendah dibandingkan dengn Daerah Bogor dan Karawang. Kondisi ini sangat memungkinkan terbentuknya awan yang intensif di Pulau Pramuka. Wallace dan Hobbs (2006) menyatakan bahwa kelembaban di lautan sangat tinggi bahkan lebih dari 75%, kondisi ini menyebabkan pembentukan awan diatas lautan lebih intensif dibandingkan dengan di daratan. Karena kelembaban yang tinggi menyebabkan sebagian besar wilayah lautan di naungi oleh awan terutama awan stratus dan awan stratocumulus. Seperti

halnya suhu potensial virtual, ketebalan mixing ratio di Pulau Pramuka lebih kecil dibandingkan dengan daerah Bogor dan Karawang.

Variabel lainnya yang juga mempengaruhi karakter ABL di Pulau Pramuka adalah kecepatan angin. Kecepatan angin di Pulau Pramuka lebih besar dibandingkan dengan Daerah Bogor dan Karawang, karena di Pulau Pramuka penghalang aliran angin lebih sedikit (gaya gesek permukaan lebih kecil) menyebabkan alirannya relatif lebih laminar. Kecepatan angin yang cukup tinggi secara horizontal dan aliran yang relatif laminar dapat membantu distribusi panas pada permukaan lautan. Profil vertikal kecepatan angin di Pulau Pramuka mengalami kenaikan yang tajam pada daerah SL kemudian turun mendekati kecepatan angin geostrofik pada daerah CI. Secara umum semua karakter variabel-variabel ABL di Pulau Pramuka tidak berubah terlalu besar secara diurnal, gaya apung yang lemah menyebabkan ketebalan ABL di Pulau Pramuka lebih kecil dibandingkan Daerah Bogor dan Karawang dan sedikitnya penghalang dalam aliran angin menyebabkan kecepatan angin relatif lebih kuat di Pulau Pramuka.

(a) (b)

(c) (d)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 19 Profil vertikal diurnal parameter-parameter ABL Wilayah Pulau Pramuka. Suhu potensial virtual (a); mixing ratio (b); suhu virtual (c); kecepatan angin rata-rata (d)

302 303 304 305 306 307 308 0 200 400 600 800 1000 1200

suhu potensial virtual (K)

k e tin g g ia n ( m ) data1 data2 data3 data4 data5 data6 data7 data8 0.0120 0.013 0.014 0.015 0.016 0.017 0.018 0.019 0.02 0.021 0.022 200 400 600 800 1000 1200 m ixing ratio k e ti n g g ia n ( m ) pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00 294 296 298 300 302 304 306 308 0 200 400 600 800 1000 1200 suhu virtual (K) k e ti n g g ia n ( m ) pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 200 400 600 800 1000 1200 k e ce patan angin (m /s ) ke ti n g g ia n ( m ) pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00

(13)

Walaupun karakter ABL di Pulau Pramuka dapat menggambarkan karakter ABL untuk wilayah lautan, tetapi dalam pengambilan data yang dilakukan di Pulau Pramuka tetap di daratan, sehingga karakter permukaan profil ABL untuk wilayah ini menunjukkan karakter daratan dengan kekuatan yang lebih lemah.

Secara umum karakter ABL untuk lautan secara diurnal tidak jauh berbeda. Hal ini disebabkan oleh sifat air yang memiliki kapasitas panas yang besar mampu menyimpan panas dalam jangka waktu yang lebih lama. Pada siang hari suhu permukaan lautan relatif lebih dingin dibandingkan dengan suhu udara dekat permukaan lautan, tetapi perbedaan suhu permukaan lautan dengan suhu udara dekat permukaan laut tidak terlalu besar hanya berkisar 1-2 ˚C, yang menyebabkan dinamika atmosfer diatas permukaan laut tidak terlalu didominasi oleh Radiation Budget tetapi dinamika atmosfer di atas permukaan laut lebih didominasi oleh shear angin. Transport fluks panas dan fluks panas terasa yang lemah menyebabkan ketebalan ABL di wilayah lautan lebih kecil dibandingkan dengan wilayah daratan (Garrat 1992).

4.3 Perbandingan karakter ABL di Tiga Wilayah Kajian

Profil vertikal variabel-variabel ABL di Daerah Bogor, Karawang, dan Pulau Pramuka digunakan untuk menganalisa perbedaan karakter ABL untuk wilayah daratan pedalaman, pantai, dan lautan. Untuk lebih mudah memahami karakter-karakter ABL secara spasial, dapat dilihat dalam Tabel 1 yang menunjukkan perbedaan-perbedaan karakter ABL secara spasial dan temporal yang sangat kontras. Dalam tabel tersebut disebutkan beberapa parameter yang dapat menggambarkan karakter ABL di tiga wilayah kajian.

Variabel utama yang menjadi karakter ABL adalah ketebalan ABL. Pada siang hari lapisan ABL lebih tebal dibandingkan pada malam hari, hal ini karena pada siang hari penyinaran radiasi matahari yang intensif menyebabkan pemanasan yang maksimum terjadi di daratan dan di lautan, namun sifat daratan yang cepat menerima panas membuat daratan lebih cepat panas daripada lautan. Kondisi ini menyebabkan ketebalan ABL di daratan pada siang hari di daratan lebih besar daripada lautan. Penyebab besar kecilnya ketebalan ABL adalah gaya apung (faktor konveksi). Besarnya gaya apung yang terjadi pada lapisan ABL bukan terletak pada

besarnya energi yang terkandung dalam parsel udara atau permukaan tetapi pada delta/selisih energi antara permukaan dan udara di atasnya. Semakin besar selisihnya (suhu permukaan semakin tinggi) maka semakin besar gradiennya, mengakibatkan besarnya gaya apung yang terbentuk, dan berakibat pada semakin tebalnya ABL yang menyelimuti suatu permukaan. Karena pada siang hari suhu permukaan daratan lebih panas dari suhu udara di atasnya menyebabkan terjadinya gaya apung yang besar (kondisi unstable kuat), sedangkan pada lautan yang perbedaan suhu udaranya relatif kecil bahkan hampir sama dengan suhu permukaan laut menyebabkan gaya apung yang terbentuk di lautan lemah. Pada malam hari di daratan dimana tidak ada pemanasan dan suhu permukaan bumi relatif dingin dibandingkan dengan suhu udara di atasnya menyebabkan terjadinya inversi pada lapisan SL dan kondisi atmosfer menjadi stable, begitu pula pada daerah pantai dan lautan. Namun kondisi stable di lautan juga relatif lemah dibandingkan dengan daratan. Pada kondisi ABL yang stable gaya apung tidak terjadi, sehingga ketebalan ABL menurun tajam.

Variabel lain yang penting dalam penentuan karakter ABL adalah kecepatan angin dan kelembaban udara. Pada wilayah daratan di siang hari untuk wilayah Indonesia kelembabannya cukup tinggi karena pengaruh evapotranspirasi yang tinggi, tetapi evaporasi yang terjadi di lautan jauh lebih tinggi dan lebih intensif dibandingkan daratan menyebabkan kelembaban di atas permukaan laut pada siang hari mencapai lebih dari 75% dan sebagian besar laut ditutupi oleh awan. Tetapi pada malam hari dimana tidak terjadi evaporasi ataupun evapotranspirasi udara lembab sebagian besar berada pada lapisan ABL tengah dan atas menyebabkan lapisan ABL bawah dan SL menjadi lebih kering. Karena kondisi ini titik dasar awan dan daerah Entrainment Zone lebih mudah diidentifikasi pada siang hari. Titik dasar awan yang paling mudah diamati adalah di wilayah lautan pada siang hari, karena letak titik dasar awan ini relatif rendah dan daerah Entrainment Zone yang terbentuk di lautan lebih tebal. Sedangkan untuk wilayah daratan dengan kelembaban yang relatif rendah dibandingkan dengan lautan titik dasar awannya lebih tinggi yang disebabkan ekspansi oleh gaya apung yang besar dan daerah Entrainment Zone pada daerah daratan relatif lebih kecil dibandingkan dengan lautan ataupun daerah pantai.

(14)

Tabel 1 Perbandingan karakter ABL secara spasial dan temporal

Waktu Variabel Karakter

Bogor (daratan) Karawang (pantai) Pulau Pramuka (lautan)

Siang

ketebalan ABL ± 1500 m ± 1200 m ± 450 m

stabilitas statis non-lokal unstable kuat unstable sedang unstable lemah

kecepatan angin (m/s) 0-4 0-4 0-7

kelembaban udara (%) 60-80 60-80 >75

Turbulensi Intensif Intensif Kurang intensif

Profil suhu udara SL lapse rate lapse rate Inversi

ML lapse rate lapse rate Lapserate

titik dasar awan Tinggi Tinggi Rendah

entrainment zone ±330 m ±370 m ±440 m

waktu transisi

Malam

ketebalan ABL ± 1450 m ± 1300 m ± 650 m

stabilitas statis non-lokal Stable Stable stable lemah

kecepatan angin (m/s) 0-4 0-8 0-4

kelembaban udara 80-90 70-90 >75

Turbulensi lemah/hilang lemah/hilang lemah/hilang

Profil suhu udara SL Inversi Inversi Lapserate

SBL lapse rate lapse rate Lapserate

titik dasar awan tidak ada tidak ada Rendah

entrainment zone - - ±175 m

Untuk variabel kecepatan angin secara vertikal antara daratan, pantai, dan wilayah lautan tidak terlalu berbeda jauh. Namun yang membedakan karakter angin antara daratan dan lautan adalah turbulensi. Di wilayah daratan, terutama siang hari, turbulensi sangat intensif shingga profil angin secara vertikal menjadi Chaotic, hal ini di sebabkan oleh kekasapan permukaan daratan, sehingga gaya gesek udara di lapisan udara besar menyebabkan aliran angin menjadi Chaotic. Sedangkan pada wilayah lautan profil vertikal kecepatan angin relatif lebih stabil (bersifat laminar), karena pada lautan kekasapan permukaannya relatif kecil.

Dari karakter-karakr variabel ABL di atas dapat disimpulkan bahwa ABL bervariasi secara temporal (diurnal) dan spasial. Dalam jangka waktu yang panjang karakter-karakter ABL ini dapat membentuk suatu pola tertentu. Sehingga dengan memahami salah satu atau beberapa karakter ABL tersebut dalam jangka waktu yang panjang, Analisis tentang ABL ini dapat digunakan sebagai acuan dalam pemodelan atau dapat digunakan untuk memprediksi fenomena cuaca tertentu.

4.4 Ketebalan ABL Sebagai Fungsi Spasial dan Temporal

Karakter ABL yang paling penting untuk diamati adalah ketebalan ABL itu sendiri. Berdasarkan profil vertikal suhu potensial virtual di tiga wilayah kajian secara diurnal didapatkan ketebalan ABL. Ketebalan tersebut diperoleh dengan menggunakan prinsip keridakstabilan statis non-lokal. Nilai yang

diperoleh berdasarkan analisa tersebut dicantumkan dalam Tabel 2.

Kajian mengenai karakter ABL di Wilayah Bogor, Karawang, dan Pulau Pramuka, parameter utama dalam penentuan karakter ABL adalah ketebalan ABL. Untuk Daerah Bogor ketebalannya rata-rata 1450 m pada siang hari dengan ketebalan stable boundary layer (SBL) pada malam hari rata-rata 165 m. Kondisi ini terjadi karena Wilayah Indonesia yang merupakan daerah tropis dengan penyinaran matahari maksimum menyebabkan pemanasan yang terjadi di Daerah Bogor juga maksimum terutama pada siang hari. Karakter daratan yang mudah menyerap panas dan mudah melepaskannya menyebabkan permukaan Wilayah Bogor pada siang hari lebih panas dibandingkan udara di atasnya, sehingga kondisi stabilitas atmosfer di Wilayah Bogor pada siang hari cenderung unstable dan mudah mengembang sehingga ketebalan ABL pada siang hari di Daerah Bogor lebih besar dibandingkan dengan lautan ataupun daerah pantai.

Wilayah Pulau Pramuka ketebalan ABL cenderung lebih kecil, rata-rata pada siang hari hanya sekitar 433 m, begitu pula ketebalan SBL pada ABL di lautan ketebalnnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan di daratan, yaitu hanya sekitar 40 m. Kondisi ini disebabkan karena perbedaan antara suhu udara diatas laut dan permukaan laut relatif kecil sehingga gaya apung di atas permukaan relatif lemah. Tetapi kandungan uap air di atas permukaan laut sangat tinggi terutama untuk daerah tropis dengan intensitas

(15)

Tabel 2 Rata-Rata Nilai Ketebalan ABL di Tiga Wilayah Kajian. Pukul Stasiun Pengamatan Ketebalan ABL (m) Ketebalan Jenis Wilayah ML (m) SBL (m) RL (m) 1:00 Pulau Pramuka 46.6 46.6 610.5 Lautan 4:00 46.6 46.6 698.2 7:00 42.5 42.5 610.1 10:00 435.3 435.3 13:00 449.6 449.6 16:00 414.7 414.7 19:00 33.6 33.6 390.6 22:00 33.4 33.4 601.6

rata-rata ketebalan ABL (m) siang 433.2 malam 40.54 1:00 Karawang 240.1 240.1 1013

Daerah pantai (daratan yang berbatasan langsung dengan

laut) 4:00 187.3 187.3 1293.4 7:00 245.2 245.2 1104.9 10:00 1407 493.9 330.9 582.3 13:00 916.2 916.2 16:00 986 986 19:00 1325.2 598 270.3 456.8 22:00 311.25 311.25 906

rata-rata ketebalan ABL (m) siang 1158.6 malam 246.0 1:00 Bogor 138.4 138.4 1302.1 Daratan pedalaman 4:00 27.9 27.9 1459.6 7:00 95.4 95.4 1197.4 10:00 1490.8 756.2 286.2 448.5 13:00 1538.6 1538.6 16:00 1322 1322 19:00 234.5 234.5 1302.5 22:00 329.7 392.7 1137

rata-rata ketebalan ABL (m)

siang 1450.5

malam 165.18

radiasi matahari yang tinggi menyebabkan intensif-nya pembentukan awan di atas permukaan laut. Lemahnya gaya apung dan tingginya kelembaban menyebabkan rendahnya titik dasar awan di wilayah lautan. Titik dasar awan yang merupakan daerah batas ABL di lautan relatif rendah dan intensifitas pembentukan awan yang tinggi, menyebabkan wilayah lautan sebagian besar tertutupi oleh awan, terutama awan stratus dan stratocumulus.

Dan pada daerah Karawang yang merupakan daerah pantai, ketebalan ABLnya lebih kecil dari Daerah Bogor namun lebih besar dari Pulau Pramuka. Ketebalan ABL untuk daerah ini pada siang hari berkisar sekitar 1150 m, dengan ketebalan SBL yang lebih besar dari Daerah Bogor yaitu sekitar 246 m. Pada dasarnya wilayah ini merupakan daratan namun memiliki pengaruh laut yang kuat, terutama pengaruh angin. Perbedaan gradien yang besar antara daratan dan lautan menyebabkan adanya aliran udara antara daratan dan lautan secara diurnal yang berpengaruh pada karakter ABL di atasnya.

4.5 Variasi Diurnal Suhu Potensial

Virtual, Mixing Ratio, dan Kecepatan Angin pada Lapisan SL, ML, dan FA ( Tanggal 02 Februari 2010)

Variasi diurnal suhu udara tergantung pada vegetasi dan evaporasi. Sedangkan variasi diurnal kelembaban spesifik tergantung pada evaporasi diurnal dan kondensasi, suhu permukaan, kecepatan angin rata-rata, turbulensi, dan ketebalan ABL. Perubahan suhu temperatur yang besar secara diurnal menyebabkan variasi yang besar kelambaban spesifik, yang menunjukkan hubungan antara tekanan uap jenuh dan suhu.

Gambar 20 Variasi diurnal potensial virtual dan mixing ratio Bogor

(16)

Gambar 21 Variasi diurnal kecepatan angin Bogor

Variasi diurnal suhu potensial virtual, mixing ratio, dan kecepatan angin di kota Bogor di amati pada ketinggian 50 m yang mewakili SL, 100 m yang mewakili ML, dan 1800 m yang mewakili FA. Dari ketiga variasi tersebut variasi suhu potensial virtual di daerah SL mengikuti pergerakan sinar matahari, sedangkan pada daerah ML dan FA variasi suhu potensial virtual relatif stabil atau cenderung homogen sepanjang waktu. Sedangkan mixing ratio di Wilayah Bogor memiliki nilai yang besar pada daerah dekat permukaan, dan semakin ke atas nilai mixing ratio semakin berkurang, di daerah SL nilai mixing ratio relatif homogen, namun mengalami sedikit penurunan pada siang hari. Sedangkan pada daerah ML nilai mixing ratio mengikiuti pergerakan sinar matahari, semakin meningkat saat siang hari dan berkurang saat malam hari.

Variasi diurnal kecepatan angin untuk Wilayah bogor pada tiga daerah yang berbeda cenderung memiliki pola dengan kecepatan yang berbeda. Semakin tinggi lapisan kecepatan angin semakin besar. Pada pagi hari kecepatan angin relatif lemah/lambat dan terus meningkat menjelang siang hari hingga mencapai punacaknya sekitar sore hari. Dan mulai turun kembali menjelang malam hari.

Gambar 22 Variasi diurnal potensial virtual dan mixing ratio Karawang

Gambar 23 Variasi diurnal kecepatan angin Karawang

Wilayah Karawang yang merupakan daerah dataran rendah dekat pantai memilki variasi suhu potensial dan mixing ratio yang hampir sama dengan Wilayah Bogor. variasi suhu potensial di lapisan SL bervariasi mengikuti pergerakan sinar matahari, sedangkan pada lapisan ML dan FA relatif homogen sepanjang waktu. Semakin tinggi lapisan, nilai suhu potensial virtual semakin besar, ini menunjukkan pola troposfer yang cenderung inversi. Berbanding terbalik dengan nilai suhu potensial virtual, nilai mixing ratio semakin kecil seiring dengan bertambahnya ketinggian. Nilai mixing ratio pada lapisan SL relatif homogen, sedangkan pada lapisan ML nilainya mengikuti pergerakan sinar matahari, dan pada lapisan FA nilainya juga relatif homogen.

Kecepatan angin pada Wilayah Karawang lebih tinggi dibandingkan dengan Wilayah Bogor. kecepatan angin terbesar terjadi pada malam hari, mengalamai penurunan menjelang pagi dan mencapai nilai minimumnya pada pagi hari, menjelang siang hari kecepatan angin mulai naik lagi hingga sore hari dan kembali turun setelah matahari terbenam. Pada ketiga lapisan pola kecepatan angin hampir sama.

Gambar 24 Variasi diurnal potensial virtual dan mixing ratio Pulau Pramuka

Gambar

Gambar  7  Profil  vertikal  suhu  potensial  virtual  sebagai  parameter stabilitas statis  non-lokal (sumber: Stull, 1999)
Gambar  8  Troposfer  dibagi  menjadi  dua  bagian  yaitu Boundary Layer dan free atmosfer  (modifikasi dari: Stull 1999)
Gambar 10 ABL di bagi menjadi tiga bagian mixed  layer  (ML),  stable  boundary  layer  (SBL),  dan  residual  layer  (RL)  (modifikasi dari: Stull 1999)
Gambar  12  Kondisi  atmosfer  unstable  pada  parsel  udara  kering  (a);  Kondisi  atmosfer  unstable  pada  parsel  udara  jenuh  (b)  (modifikasi dari: Ahrens 2002)  b)  Neutral
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan jarak jauh (PJJ) dalam Undang-undang Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 diatur pada pasal 31 sebagai berikut. 1) Pendidikan jarak jauh

the birth of the Association of Indonesian Syariah Advocate ( Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia , APSI) can be understood within the context of the struggle of

Tujuan utama dari penelitian adalah melakukan kajian evaluasi analisa dimensi saluran primer eksisting Daerah Irigasi Sungai Tanang, Kabupaten Kampar dalam upaya mendukung

Menceritakan sejarah membangun bisnis BOC Indonesia sejak dari tahun 2003 dengan cara kreatif tanpa modal uang?. Memberikan inspirasi dan motivasi bahwa bisnis itu tidak melulu

Jadi dapat dirumuskan bahwa prestasi belajar adalah hasil belajar yang telah dicapai menurut kemampuan yang dimiliki dan ditandai dengan perkembangan serta

Media Big Book selain untuk meningkatkan hasil belajar, juga digunakan sebagai daya tarik agar siswa tertarik dalam belajar Bahasa Arab, sehingga pada saat pembelajaran

Tujuan dari penelitian ini yaitu mengembangkan bahan ajar berupa modul saku FPB dan KPK berbasis probem solving pada pembelajaran matematika kelas IV SD yang valid, praktis,

[r]