• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIARAN PERS ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN (AJI) TENTANG SIARAN TELEVISI DIGITAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SIARAN PERS ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN (AJI) TENTANG SIARAN TELEVISI DIGITAL"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

SIARAN PERS

ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN (AJI) TENTANG SIARAN TELEVISI DIGITAL Latar Belakang

Siaran televisi yang kita saksikan di Indonesia saat ini, secara teknis telekomunikasi, masih menggunakan teknologi analog. Di mana satu kanal frekuensi hanya bisa diisi oleh satu saluran program siaran. Secara sederhana, siaran televisi dengan teknologi analog memang dapat menjangkau lokasi-lokasi yang jauh, meski kualitas penerimaan gambar dan suaranya akan semakin turun. Dalam perkembangannya, dikenal pula teknologi digital. Dengan teknologi digital, hanya ada dua kemungkinan bagi penonton televisi: (1) bila ia menerima sinyal siaran, maka kualitas gambar dan suaranya jauh lebih baik, tapi (2) bila ia tidak menerima sinyal siaran, maka pesawat televisinya sama sekali tidak dapat menerima gambar atau suara apa pun. Berbeda dengan siaran analog yang masih dapat menerima gambar, meski kualitasnya buruk.

Tapi yang lebih penting, di dalam teknologi analog, satu kanal frekuensi hanya bisa diisi satu saluran program siaran. Namun dengan digital, satu kanal frekuensi dapat digunakan oleh 6 hingga 12 saluran program siaran. Sehingga, secara teoritis, setelah pemberlakuan teknologi digital, akan ada sekitar 1.000 kanal siaran televisi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Kondisi ini, di atas kertas, seharusnya memungkinkan semakin beragamnya isi program siaran dan semakin banyaknya pemain dalam industri penyiaran. Tapi yang terjadi, menunjukkan gejala yang bertolak belakang dengan bayangan tersebut.

Pemerintah Indonesia pernah menargetkan pada tahun 2018, seluruh siaran televisi akan bermigrasi dari analog ke digital (analog switch off). Karena itu, sejak 2007, pemerintah dan industri penyiaran (pemain-pemain lama) menyiapkan peta jalan (road map) untuk bermigrasi dari analog ke digital. Lalu dibuatlah Peraturan Menteri (Permen) Kominfo No. 22 tahun 2011 tentang penyelenggaraan siaran TV digital terestrial tak berbayar (free to air). Peraturan Menteri tersebut pada intinya: (1) Membagi industri penyiaran menjadi dua pemain, yakni penyelenggara multipleksing (penyedia infrastruktur siaran digital), dan penyelenggara isi siaran; (2) Membagi wilayah Indonesia dalam zona-zona siaran dan menyerahkan pengisian zona tersebut kepada pihak swasta dengan jaminan pemerintah (penyelenggara multipleksing); dan (3) Semua lembaga penyiaran (swasta) yang selama ini telah memperoleh izin di analog, otomatis mendapat izin siaran digital, meski tak semua lembaga penyiaran (swasta) dapat menjadi penyelenggara multipleksing.

Dengan aturan tersebut, terjadilah apa yang dikhawatirkan oleh sebagian kalangan sebagai “kelanjutan dari oligarki atau oligopoli media di era digital”. Aturan tersebut meninggalkan sejumlah catatan yang patut dikritisi:

(2)

Pertama, penyelenggara multipleksing (penyedia infrastruktur) adalah lembaga penyiaran (swasta) yang selama ini telah mendominasi ranah analog alias pemain-pemain lama dengan skala bisnis swasta nasional. Pemerintah memang mewajib mereka menyediakan infrastruktur kepada lembaga-lembaga penyiaran yang berada di zona kerjanya dengan sistem sewa sesuai tarif yang juga

ditentukan pemerintah.

Kedua, namun penyedia infrastruktur (multipleksing) juga bisa bertindak sebagai pemain (lembaga yang memproduksi siaran), bersama lembaga penyiaran lain yang menyewa infrastuktur mereka.

Ketiga, semua kanal digital yang jumlahnya lebih banyak daripada kanal analog ini, dapat diberikan oleh pemerintah kepada pemodal yang lebih siap atau pemenang tender, tanpa ada klausul tentang proteksi yang proposional untuk lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran lokal, lembaga penyiaran berjaringan, atau lembaga penyiaran komunitas.

Keempat, dengan target switch off 2018, televisi komunitas yang minim modal, dipaksa menjadi digital dan harus menjadi penyewa infstruktur pada penyedia multipleksing (swasta nasional). Namun di saat yang sama, lembaga penyiaran komunitas dibatasi wilayah siar secara geografis. Kondisi ini tentu menyulut ketidakadilan.

Kelima, televisi-televisi dengan modal lokal (dan bukan bagian dari jaringan swasta nasional yang berbendera lokal) pada faktanya tidak mendapat

kesempatan yang sama untuk menjadi penyelenggara multipleksing, sehingga mereka hanya ditempatkan sebagai penyewa yang harus membayar kepada pemain nasional.

Keenam, semua aturan dalam Permen Kominfo 22/2011 tersebut, tidak memiliki dasar yuridis dalam Undang Undang Penyiaran 32/2002 yang belum

memberikan dasar norma bagi diselenggarakannya siaran digital. Sehingga, belum lagi amanat UU Penyiaran yang memandatkan keberagaman isi siaran dan menghindari adanya pemusatan kepemilikan di ranah analog dijalankan,

pemerintah hendak mengulang masalah yang sama di ranah digital.

Karena itu, pada tahun 2013, Mahkamah Agung telah membatalkan Permen Kominfo 22/2011 karena tidak memiliki landasan yuridis atau sandaran Undang Undang. MA juga membatalkan klausul switch off tahun 2018, dan menganggap pembagian pemain menjadi penyelenggara multipleksing dan lembaga

penyiaran tidak memiliki dasar hukum.

Namun, putusan tersebut dijawab Kementrian Kominfo dengan menerbitkan beleid baru: Permen Kominfo 32/2013 yang secara substansi masih sama, dan hanya menghilangkan istilah-istilah teknis yang tidak terdapat dalam UU Penyiaran. Kemenkominfo juga menganggap putusan MA tidak berlaku surut, sehingga hasil-hasil tender di lima zona yang telah dikuasai swasta nasional, tetap diakui dan dilanjutkan.

(3)

Pandangan non-retroaktif atau tidak berlaku surut ini menuai kecaman, karena bagaimana mungkin sebuah beleid yang dinilai tidak memiliki landasan yuridis yang cukup dan telah dibatalkan, justru diteruskan implementasinya di

lapangan.

Di sisi lain, revisi UU Penyiaran yang mestinya bisa menjadi payung hukum yang mengatur tata cara migrasi siaran analog ke digital, belum tuntas, dan salah satu faktornya karena pemerintah tidak menyambut inisiatif DPR yang telah

menyusun Rancangan UU Penyiaran yang lebih tegas dan lebih demokratis dalam menjamin keberagaman isi siaran dan keberagaman kepemilikan lembaga siaran.

Diskusi Terfokus

Dengan latar belakang tersebut, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebagai wadah bagi para pekerja media, menggelar diskusi terbatas pada hari Rabu. 26 Februari 2014 di Jakarta untuk membedah persoalan ini.

Dalam forum tersebut, AJI mengundang berbagai pemangku kepentingan dalam dunia penyiaran seperti pemerintah, DPR, organisasi profesi, asosiasi pengusaha televisi, Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, dan para akademisi serta lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam isu-isu penyiaran dan informasi.

Yang hadir dalam diskusi tersebut antara lain, Staf Ahli Kemenkominfo (Henri Subiakto), Komisi 1 DPR (Mahfudz Sidik), anggota KPI (Aziman Subagio), anggota Dewan Pers (Imam Wahyudi), pengamat dan akademisi (Paulus

Wirutomo dan Amir Effendi Siregar), hingga wakil dari Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia/ATVJI (Santoso).

Secara substansi, forum diskusi terbatas ini merangkum kembali diskursus dan polemik yang selama ini telah muncul di permukaan, seperti:

1. Pemerintah tetap dalam posisinya bahwa migrasi analog ke digital harus dilaksanakan, untuk mengantisipasi perkembangan teknologi dan untuk memaksimalkan penggunaan frekuensi untuk berbagai keperluan industri telekomunikasi. Dalam pelaksanaan tersebut, pemerintah tidak dapat menunggu proses politik di DPR, dalam hal ini amandemen UU Penyiaran, yang belum jelas kapan akan menghasilkan produk legislasi baru, mengingat, DPR periode 2009-2014 akan habis masa tugasnya, dan DPR periode mendatang belum tentu memasukkan isu penyiaran (digital) menjadi program legislasi nasional.

2. Pemerintah tetap menganggap, Permen 32/2013 yang baru, tidak bertentangan dengan putusan MA, dan semua tender yang telah

dijalankan dan dimenangi oleh industri-industri penyiaran nasional, tetap sah dan berlaku karena putusan tersebut tidak bersifat retroaktif.

(4)

3. Wakil DPR beranggapan, pemerintah mengambil risiko besar

menerapkan sebuah sistem penyiaran baru yang hanya bersandarkan pada aturan menteri yang dengan mudah dapat diganti bila pemerintahan berganti. Karena itu, DPR menegaskan bahwa tata kelola siaran digital (seperti halnya analog), harus diatur dalam Undang Undang sebagai bagian dari public policy mengingat frekuensi adalah sumber daya alam yang terbatas, dan menurut amanat konstitusi, harus dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

4. KPI menganggap pemerintah berjalan sendiri dalam mengatur tata kelola siaran digital, dan tidak melibatkan lembaganya, meski aturan

perundangan mensyaratkan hal tersebut.

5. Penyelenggara televisi lokal dan jaringan beranggapan, dengan terbitnya beleid baru dari Kemenkominfo, meski aturan sebelumnya dibatalkan MA, pemerintah tetap bias kepentingan dan menguntungkan pemain-pemain lama dalam industri penyiaran.

6. Dengan keputusan MA, seharusnya semua akibat dari terbitnya Permen Kominfo mengenai penyelenggara multipleksing dan lelang-lelang kanal digital yang notabene tetap dikuasai pemain-pemain lama di ranah analog, juga batal secara hukum dan tidak sah.

7. Adapun kalangan akademisi menyebut pemerintah melanjutkan oligopoli dan oligarki industri penyiaran di ranah digital dan semakin menjauhkan dari semangat keberagaman isi dan keragaman kepemilikan.

8. Permen Kominfo yang baru, tidak berubah secara substansi dan dianggap melecehkan keputusan Mahkamah Agung dengan tetap mempertahankan substansi yang tidak memiliki landasan yuridis di UU Penyiaran.

9. Tidak ada urgensi untuk bertindak buru-buru dalam migrasi dari analog ke digital, mengingat Indonesia bukan termasuk zona di dunia yang terikat dengan kesepakatan International Telecomunication Union (ITU). Sehingga, inisiatif pemerintah (Kominfo) yang mengabaikan norma dan landasan yuridis dalam mengatur tata kelola televisi digital, dinilai terkesan “mengejar setoran”.

Setelah mengikuti dan terlibat dalam diskusi dengan mengundang multi-stakeholder tersebut, AJI merumuskan sikap sebagai berikut:

1. Migrasi dari siaran televisi analog ke digital harus dianggap sebagai momentum menata ulang distribusi frekuensi yang sejak kekuasaan otoriter Orde Baru, dibagi-bagi kepada kroni dan lalu diperjualbelikan begitu saja di antara sesama pemodal besar.

2. Migrasi dari siaran analog ke digital harus menjamin peningkatan kualitas isi siaran yang lebih kreatif dan bermanfaat bagi publik dengan

(5)

memberikan jaminan dan proteksi kepada lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran (modal) lokal, dan penyiaran komunitas, serta tidak menyerahkan distribusi kanal kepada mekanisme pasar.

3. Migrasi analog ke digital harus memunculkan pemain-pemain (lokal) baru dan tidak boleh melanjutkan dan melanggengkan oligopoli atau pemusatan kepemilikan di tangan segelintir orang atau kelompok usaha (nasional), hanya semata-mata karena kesiapan modal dan infrastruktur. 4. Distribusi kanal digital harus dilakukan secara bertahap sesuai skala

ekonomi sebuah daerah dan harus dibarengi dengan syarat yang ketat tentang keragaman isi siaran dan konsistensi isi siaran sebagaimana yang diajukan melalui proposal program dari lembaga penyelenggara siaran. 5. Distribusi kanal digital harus mempertimbangkan reputasi para

pemegang izin frekuensi di era analog. Mereka yang terbukti kerap

menyalahgunakan frekuensi publik untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan, tidak patut mendapatkan mandat untuk mengelola domain publik.

6. Pemerintah dan DPR harus segera melakukan revisi UU Penyiaran, karena selain perlu mengatur tentang tata kelola siaran televisi digital, amandemen juga diperlukan untuk mempertegas mandat pentingnya keberagaman isi dan kepemilikan, serta memperkuat lembaga

pengawasan dan perlindungan bagi publik. Jakarta, 26 Februari 2014

Referensi

Dokumen terkait

berpengalaman lebih dari 15 Tahun dalam menyelenggarakan training dan kami selalu menjaga kualitas serta mutu materi dalam setiap training kami yang sesuai dengan kebutuhan

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia serta taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan

Siaran Iklan Niaga adalah siaran iklan komersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau

Penyelenggara siaran berlangganan melalui kabel, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c, harus menyalurkan siaran televisi baik dari Lembaga Penyiaran Pemerintah maupun

Penyelenggara siaran berlangganan melalui kabel, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c, harus menyalurkan siaran televisi, baik dari Lembaga Penyiaran Pemerintah maupun

Penyelenggara siaran berlangganan melalui kabel, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c, harus menyalurkan siaran televisi, baik dari Lembaga Penyiaran

MANAJEMEN PRODUKSI DALAM PROGRAM SIARAN NET YOGYA DI STASIUN TELEVISI NET BIRO YOGYAKARTA DI ERA DIGITAL (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Manajemen Produksi Dalam Program..

Semakin tinggi konsentrasi larutan alkali X% NaOH menyebabkan serat mengalami perubahan pola difraksi yang berarti terjadi perubahan kimia susunan molekul selulosa, konsentrasi