• Tidak ada hasil yang ditemukan

FITOREMEDIASI LOGAM BERAT KADMIUM (Cd) MENGGUNAKAN KOMBINASI ECENG GONDOK (Eichornia crassipes) DAN KAYU APU (Pistia stratiotes) DENGAN ALIRAN BATCH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FITOREMEDIASI LOGAM BERAT KADMIUM (Cd) MENGGUNAKAN KOMBINASI ECENG GONDOK (Eichornia crassipes) DAN KAYU APU (Pistia stratiotes) DENGAN ALIRAN BATCH"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ECENG GONDOK (Eichornia crassipes) DAN KAYU APU (Pistia stratiotes) DENGAN ALIRAN BATCH

Ahmad Zubair1, Ardi Arsyad1 , Rosmiati2

ABSTRAK. Studi tentang fitoremediasi logam berat kadmium (Cd) menggunakan kombinasi eceng gondok (Eichnornia crassipes) dan kayu apu (Pistia stratiotes) dengan aliran batch telah dilakukan untuk menganalisis besarnya penurunan konsentrasi Cd dalam air limbah setelah proses fitoremediasi dan untuk menganalisis pengaruh konsentrasi awal dan waktu tinggal terhadap penyerapan logam berat Cd. Penelitian ini terdiri dari 3 variabel, yaitu : kombinasi tanaman, konsentrasi logam, serta waktu tinggal. Variasi kombinasi yang digunakan yaitu perlakuan KT1 (perbandingan Eichornia crassipes dan Pistia stratiotes 75 : 25), perlakuan KT2 (perbandingan Eichornia crassipes dan Pistia stratiotes 50 : 50) dan perlakuan KT3 (perbandingan Eichornia crassipes dan Pistia stratiotes 25 : 75). Penelitian dilakukan selama 9 hari (setelah sebelumnya dilakukan aklimatisasi selama 7 hari) dengan rentang pengambilan sampel setiap 3 hari sekali, yang kemudian dianalisis menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA). Air limbah yang digunakan merupakan air limbah artifisial mengandung logam berat kadmium (Cd) dengan konsentrasi awal sebesar 5 ppm dan 10 ppm. Setelah perlakuan fitoremediasi, konsentrasi Cd pada air limbah mengalami penurunan secara signifikan, kecuali pada kontrol. Penurunan konsentrasi tertinggi terdapat pada perlakuan KT1 (75 % EG : 25 % KA) yaitu pada waktu tinggal 9 hari

menurun hingga 0,111 ppm (97,76 %) dari konsentrasi awal 5 ppm dan 1,091 ppm (89,04 %) untuk konsentrasi awal 10 ppm. Besarnya konsentrasi awal yang terdapat pada air limbah berpengaruh terhadap tingkat penyerapan kadar Cd dan kondisi fisik tanaman, hal ini terkait dengan kemampuan tanaman dalam menyerap logam berat dan memanfaatkannya untuk pertumbuhan. Persentase penyerapan Cd pada air limbah yang semakin meningkat seiiring bertambahnya waktu tinggal dikarenakan tanaman masih mampu menyerap kadar logam Cd hingga hari ke-9 karena belum melewati titik jenuh.

Kata kunci : Fitoremediasi, Cd, Kombinasi, Eceng gondok (Eichornia crassipes), Kayu apu (Pistia stratiotes).

ABSTRACT. Study about phytoremediation heavy metal cadmium (Cd) by using combination Eichornia crassipes and Pistia stratiotes with batch flow that have done to get analysis concentration Cd decrease left in wastewater after phytoremediation process and to get analysis the influence of the first concentration and the residence time for absorption heavy metal Cd. The research consisted of the three variables : plant combination, metal concentration, and recidence time. The various of combination used the treatment of KT1 (the comparison Eichornia crassipes and Pistia stratiotes 75 : 25), the the treatment of KT2 (the comparison Eichornia crassipes and Pistia stratiotes 50 : 50), and the treatment of KT3 (the comparison Eichornia crassipes and Pistia stratiotes 25 : 75). The research was done for nine days (before was done aklimitisation for 7 days) with the length sample each 3 times once and the next analyse by using Atomic Absorbtion Spectrofotometer (AAS). The wastewater that used artificial wastewater contained cadmium metal (Cd) with the first concentration 5 ppm and 10 ppm. After treatment phytoremediation, the concentration Cd in wastewater get decrease significantly expect control variabel. The decrease high concentration in treatment KT1 (75 % EG : 25 % KA) in length 9 days to decrease until 0,111 ppm (97,76 %) from the first concentration 5 ppm and 1,091 ppm (89,04) for the first concentration 10 ppm. The high of the first concentration contained wastewater influence level absorption Cd and the condition of plant. It correlated with the potential of plant to absorp metal and to get its growth. The percentage of absorption Cd in metal the more progress while adding residence time. It caused to adsorp Cd till 9 days because it hasn’t passed saturation point

.

Keywords: Phytoremediation, Cd, Combination, Eichornia crassipes, Pistia stratiotes.

1Dosen, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Makassar 90245, INDONESIA

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pencemaran logam berat sangat berbahaya bagi lingkungan, limbah logam berat dapat masuk ke dalam perairan, mengendap di dasar perairan dan terakumulasi dalam jaringan tubuh organisme akuatik. Selain itu, polutan yang dibuang ke perairan dapat terserap oleh tanah yang akan menyebabkan pencemaran pada air tanah.

Salah satu logam berat yang menjadi penyebab terjadinya pencemaran pada beberapa kasus adalah kadmium (Cd). Logam kadmium merupakan salah satu jenis logam berat yang banyak digunakan dalam berbagai kegiatan industri kimia diIndonesia, seperti : industri pelapisan logam, industri baterai nikel-kadmium, industri cat, industri PVC atau plastik dan industri lainnya. Kadmium dimanfaatkan dalam berbagai bidang industri kimia tersebut karena sifat kadmium yang lunak dan tahan korosi (Darmono, 2001). Kadmium (Cd) merupakan salah satu jenis logam berat yang berbahaya karena elemen ini beresiko tinggi terhadap pembuluh darah, kadmium berpengaruh terhadap manusia dalam jangka waktu panjang dan dapat terakumulasi pada tubuh khususnya hati dan ginjal (Palar, 2004).

Untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan diperlukan tindakan pengolahan limbah sebelum dibuang ke lingkungan serta upaya pemulihan terhadap badan air yang tercemar oleh logam berat kadmium agar tidak berdampak buruk bagi lingkungan. Salah satu metode pengolahan yang dapat digunakan adalah teknologi fitoremediasi yaitu dengan memanfaatkan tumbuhan yang dapat menurunkan dan menghilangkan bahan-bahan berbahaya baik organik maupun anorganik dari lingkungan.

Dalam penelitian ini tanaman yang akan digunakan adalah eceng gondok (Eichornia crassipes) dan kayu apu (Pistia stratiotes). Pemilihan jenis tanaman ini

didasari oleh penelitian Suryati T dan Budhi (2003) bahwa dari tiga jenis tanaman air yang digunakan kemampuan untuk menurunkan konsentrasi Cd dari air yang paling efektif adalah eceng gondok dan kayu apu. Selain itu eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan kayu apu (Pistia stratiotes) memiliki kelebihan yaitu : sifat pertumbuhan yang mudah dan relatif cepat, mudah ditemukan di perairan tawar, dan memiliki kemampuan untuk menyerap unsur-unsur organik yang ada di perairan sebagai nutrisi untuk hidupnya.

Penelitian tentang penggunaan tanaman eceng gondok (Eichornia crassipes) dan kayu apu (Pistia stratiotes) dalam fitoremediasi sudah pernah dilakukan seperti penelitian yang dilakukan Suryati T dan Budhi (2003) bahwa pada konsentrasi awal 0,2 ppm, tanaman eceng gondok mampu menurunkan konsentrasi Cd hingga 73,52 % pada hari ke-3 dan 100 % pada hari ke-6 sedangkan tanaman kayu apu mampu menurunkan konsentrasi Cd hingga 86,6 % pada hari 3 dan 97,79 % pada hari ke-8. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Ulfin (2001) diperoleh hasil bahwa penyerapan optimum untuk menurunkan kadar logam Cd terjadi pada waktu tinggal 6 hari.

Dengan melihat hal tersebut, maka

peneliti bermaksud untuk

mengkombinasikan dua jenis tanaman yaitu eceng gondok (Eichornia crassipes) dan kayu apu (Pistia stratiotes) pada konsentrasi yang lebih tinggi yaitu 5 ppm dan 10 ppm dengan waktu tinggal selama 9 hari. Diharapkan dengan adanya keberadaan eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan kayu apu (Pistia stratiotes) yang ditanam dalam tempat yang sama maka penyerapan logam Cd yang ada dalam air limbah akan bertambah.

Penelitian ini dilakukan dengan perlakuan sistem aliran batch atau fitoremediasi statis yaitu air yang difitoremediasi dalam keadaan diam dan tidak mengalir. Hal ini didasarkan karena sistem ini biasa dilakukan jika aliran

(3)

sedikit dan kualitas buangan cukup tinggi (Siregar, 2005). Selain itu sistem aliran

batch dinilai lebih mudah

pengoperasiannya dalam penelitian ini. Berdasarkan hal tersebut di atas maka penelitian tentang “ Fitoremediasi Logam Berat Kadmium (Cd) Menggunkan Kombinasi Eceng Gondok (Eichornia crassipes) dan Kayu Apu (Pistia stratiotes) dengan Aliran Batch” perlu dilakukan.

Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Berapa besar penurunan konsentrasi Cd setelah proses fitoremediasi menggunakan kombinasi eceng gondok (Eichornia crassipes) dan kayu apu (Pistia stratiotes) dengan sistem aliran batch ?

2. Bagaimana pengaruh konsentrasi awal dan waktu tinggal terhadap penyerapan logam berat kadmium (Cd) melalui proses fitoremediasi dengan aliran batch menggunakan kombinasi eceng gondok (Eichornia crassipes) dan kayu apu (Pistia stratiotes)?

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2014 di Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Selatan, Jl. Dr. Ratulangi Kabupaten Maros.

Rancangan Penelitian

Penelitian yang dilakukan dalam skala laboratorium dengan metode penelitian eksperimental, yaitu mengadakan percobaan untuk melihat pengaruh variabel yang diteliti. Adapun variabel penelitian adalah sebagai berikut :

1. Kombinasi Tanaman (KT) :

a) Kontrol (KT0), perlakuan tanpa

tanaman

b) Kombinasi 75 : 25 (KT1), dengan

perbandingan penggunaan eceng

gondok (Eichornia crassipes) sebanyak 75 % dan kayu apu (Pistia stratiotes) sebanyak 25 %

c) Kombinasi 50:50 (KT2), dengan

perbandingan eceng gondok (Eichornia crassipes) sebanyak 50 % dan sebanyak kayu apu (Pistia stratiotes) 50 %

d) Kombinasi 25 : 75 (KT3), dengan

perbandingan eceng gondok (Eichornia crassipes) sebanyak 25 % dan kayu apu (Pistia stratiotes) sebanyak 75 % 2. Konsentrasi Logam Cd (KL) a) KL1 = 5 ppm b) KL2 = 10 ppm 3. Waktu Tinggal (T) a) T1 = 0 hari b) T2 = 3 hari c) T3 = 6 hari d) T4 = 9 hari Tahapan Penelitian

1. Persiapan alat dan bahan

Alat yang digunakan yaitu : Reaktor penelitian (bak plastik berukuran diameter 46 cm dan tinggi 30 cm dengan kapasitas volume 40 liter), SSA (Spektrofotometer Serapan Atom) ,timbangan analitik, erlenmeyer dan pipet ukur untuk keperluan pengambilan sampel.

Adapun bahan-bahan yang digunakan yaitu : eceng gondok (Eichornia crassipes) dan kayu apu (Pistia stratiotes) sebagai tanaman uji, larutan Cd murni dan air bersih (air tanah).

2. Aklimatisasi tanaman

Sampel tanaman eceng gondok (Eichornia crassipes) dan kayu apu (Pistia stratiotes) diaklimatisasi agar tanaman dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Aklimatisasi dilakukan selama 7 hari dengan air bersih pada bak berdiameter 46 cm. Aklimatisasi selama 7 hari mengacu pada penelitian Suryati T. dan Budhi (2003).

3. Pemilihan sampel tanaman

Setelah aklimatisasi selama 7 hari selanjutnya dilakukan pemilihan sampel

(4)

tanaman kayu apu dan eceng gondok untuk digunakan sebagai fitoremediator.

Sampel tanaman dipilih yang berdaun hijau segar dan memiliki ukuran yang relatif sama untuk setiap jenis tanaman air. Tanaman eceng gondok (Eichornia crassipes) yang digunakan memiliki spesifikasi dengan kriteria :jumlah daun 3-6 helai, daun yang masih segar dan tidak menguning, tinggi tanaman 10-15 cm. Sedangkan tanaman kayu apu (Pistia stratiotes) yang digunakan memiliki spesifikasi : jumlah daun 5-7 helai, daun yang masih segar, tinggi 8-12 cm.

Adapun variasi kombinasi yang digunakan yaitu : untuk perlakuan KT1 (75

: 25) jumlah eceng gondok (Eichornia crassipes) yang digunakan sebanyak 562,5 gram dan kayu apu (Pistia stratiotes) sebanyak 187,5 gram, untuk perlakuan KT2

(50 % : 50 %) digunakan kayu apu (Pistia stratiotes) sebanyak 375 gram dan eceng gondok (Eichornia crassipes) sebanyak 375 gram, sedangkan untuk perlakuan KT3

(25 : 75) jumlah eceng gondok (Eichornia crassipes) yang digunakan sebanyak 187,5 gram sedangkan penggunaan kayu apu (Pistia stratiotes) sebanyak 562,5 gram. Secara keseluruhan jumlah tanaman yang digunakan pada setiap kombinasi tanaman adalah sebanyak 750 gram.

4. Perlakuan Fitoremediasi

Sampel tanaman yang telah dipilih dari ketiga variasi kombinasi tanaman masing-masing dimasukkan ke dalam rekator penelitian berisi air limbah artifisial Cd dengan konsentrasi 5 ppm dan 10 ppm sebanyak 25 liter untuk setiap perlakuan. Fitoremediasi yang dilakukan adalah fitoremediasi dengan aliran batch (fitoremediasi statis) dimana air yang difitoremediasi dalam keadaaan diam dan tidak bergerak.

Proses fitoremediasi dilakukan selama 9 hari. Lama perlakuan fitoremediasi yang akan dilakukan mengacu pada penelitian Ulfin (2001), yang memanfaatkan kayu apu untuk menurunkan kadar logam Cd dan Pb dimana hasil penyerapan optimum terjadi pada waktu detensi 6 hari. Waktu

tinggal yang digunakan dalam penelitian ini diperpanjang hingga 9 hari untuk mengetahui titik jenuh tanaman dalam fitoremediasi atau batas waktu maksimum yang dapat ditolerir oleh tanaman.

Setiap perlakuan ditempatkan di green house, hal ini karena tanaman kayu apu dan eceng gondok merupakan tanaman air yang membutuhkan sinar matahari yang cukup untuk pertumbuhannya. Selain itu perlakuan fitoremediasi juga harus terhindar dari air hujan yang dapat mempengaruhi konsentrasi air limbah akibat proses pengenceran.

5. Pengukuran Cd dalam Air limbah Pengukuran kadar logam berat Cd pada air limbah dilakukan dengan mengambil sampel pada hari 0, 3, 6, dan 9 hari. Pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil 50-100 ml air limbah dari masing-masing perlakuan dengan menggunakan pipet. Selanjutnya, kadar logam berat Cd dari sampel untuk masing-masing perlakuan diukur dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA). Cara uji kadar logam berat kadmium dilakukan berdasarkan SNI 6989.16:2009.

6. Analisa Data

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif . Data hasil pengukuran yang diperoleh dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik menggunakan perangkat lunak (software) EXCEL untuk melihat tingkat efektivitas fitoremediasi menggunakan kombinasi kayu apu (Pistia stratiotes) dan eceng gondok (Eichornia crassipes) dalam penyerapan logam berat kadmium (Cd) dengan aliran batch.

Setelah terbentuk grafik, selanjutnya dibuatkan persamaan regresi yang digunakan untuk menguji apakah hubungan antar variabel y dan x tersebut kuat atau malah tidak ada korelasi, dapat dilakukan dengan perhitungan koefisien regresi atau koefisien korelasi yaitu (R²) yang merupakan perbandingan antara varian y terhadap varian x.

(5)

Bilai nilai R² mendekati angka 1, terdapat hubungan yang sangat kuat antara y dan x. Hubungan kategori sedang bila nilai R² antara 0,4 - 0,6, sedangkan bila regresi R² < 0,4 hubungan antara y dengan x sangat lemah (Purwanto, 2003).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penurunan Konsentrasi Kadmium (Cd) pada Air Limbah Setelah Fitoremediasi

Penurunan konsentrasi kadmium (Cd) pada air limbah untuk masing-masing kombinasi dapat dilihat pada Tabel 1, Gambar 1 dan Gambar 2.

Tabel 1. Penurunan Konsentrasi Kadmium (Cd) pada Air Limbah

Waktu Tinggal (hari) Konsentrasi Awal Cd (ppm) Kombinasi Tanaman (KT) KT0 KT1 KT2 KT3 0 5 4,918 4,959 4,918 4,918 10 9,959 9,959 9,918 9,426 3 5 4,840 0,864 1,038 1,238 10 9,840 4,060 4,140 4,350 6 5 4,918 0,531 0,687 1,181 10 9,198 2,613 2,860 3,477 9 5 4,794 0,111 0,226 0,267 10 9,979 1,091 1,173 1,691

Sumber : Hasil Penelitian

Gambar 1. Hubungan Waktu Tinggal dan Penurunan Konsentrasi Cd pada Konsentrasi Awal 5 ppm

Gambar 2. Hubungan Waktu Tinggal dan Penurunan Konsentrasi Cd pada Konsentrasi Awal 10 ppm

Berdasarkan grafik yang ditunjukkan pada Gambar 1. dan Gambar 2 dapat diketahui bahwa konsentrasi Cd menurun drastis pada hari ke-3 untuk semua kombinasi. Untuk konsentrasi awal 5 ppm pada perlakuan KT1 pada hari ke-3

menurun hingga 0,864 ppm, perlakuan KT2 menurun hingga 1,038 ppm dan

perlakuan KT3 hingga 1,238 ppm. Untuk

konsentrasi awal 10 ppm di hari ke-3 pada perlakuan KT1 menurun hingga 4,060

ppm, perlakuan KT2 sebesar 4,140 ppm

dan perlakuan KT3 sebesar 4,350. Hal ini

dikarenakan kemampuan tanaman pada awal percobaan dalam menyerap logam berat masih sangat tinggi. Penurunan kadar Cd disebabkan karena tanaman mampu menyerap dan mengakumulasi logam berat dalam jaringan akar dan daun. Proses absorpsi Cd pada tanaman dapat dikategorikan sebagai fitoremediasi. Menurut Khiji and Bareen (2008) salah satu proses penting dalam fitoremidiasi adalah rhizofiltrasi. Rhizofiltrasi merupakan pengendapan zat kontaminan seperti logam berat oleh akar dengan bantuan zat pengkhelat. Penyerapan logam berat oleh tanaman dilakukan jika konsentrasi logam dalam media cukup tinggi.

Selanjutnya, kadar logam berat Cd pada air limbah semakin menurun sampai pada hari ke-9. Hal ini menunjukkan tanaman masih mampu menyerap kadar logam Cd pada air limbah karena belum

0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 0 3 6 9 ko ns e nt rasi C d (ppm )

waktu tinggal (hari)

KT1 (75 % EG : 25 % KA) KT2 (50 % EG : 50 % KA) KT3 (25 % EG : 75 % KA) 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 0 3 6 9 kon se nt ra si C d (p pm )

waktu tinggal (hari)

KT1 (75 % EG : 25 % KA) KT2 (50 % EG : 50 % KA) KT3 (25 % EG : 75 % KA)

(6)

melewati titik jenuh. Titik jenuh adalah batas waktu maksimum yang dapat ditolerir tanaman dalam menyerap kontaminan. Setelah melewati titik jenuh, kemampuan tanaman dalam menyerap logam berat menurun bahkan konsentrasi logam berat dalam air limbah dapat meningkat karena tanaman dapat melepaskan kembali logam yang telah diserap. Kejenuhan tersebut diduga karena tanaman telah menyerap sebagian besar logam yang berada dalam air limbah dimana semakin banyak logam yang terserap maka semakin banyak logam yang terakumulasi dalam jaringan tanaman dan menyebabkan kejenuhan sehingga penyerapan akan terhambat.

Kemampuan menyerap tanaman yang masih berlangsung hingga pada hari ke-9 menunjukkan bahwa pengaruh efek kombinasi telah mampu meningkatkan penyerapan Cd pada air limbah dibandingkan dengan hanya menggunakan tanaman kayu apu saja, karena menurut penelitian Ulfin (2001) yang memanfaatkan kayu apu untuk menurunkan kadar Cd penyerapan optimum terjadi pada konsentrasi 10 ppm dengan waktu tinggal 6 hari. Sementara dalam penelitian ini diperoleh bahwa semua perlakuan dengan konsentrasi awal 10 ppm terbukti mampu menyerap logam Cd pada air limbah hingga waktu tinggal 9 hari. Selain itu, kondisi tanaman kayu apu (Pistia stratiotes) pada hari ke-9 sebagian masih terlihat segar walaupun terdapat beberapa yang telah mengalami gejala toksisitas. Hal ini menunjukkan bahwa hingga pada hari ke-9 tanaman kayu apu (Pistia stratiotes) masih memungkinkan untuk menyerap kadar logam Cd pada air limbah.

Perlakuan fitoremediasi yang hanya menggunakan tanaman eceng gondok (Eichornia crassipes) pada penelitian yang dilakukan oleh Suryati T dan Budhi (2003) terbukti mampu menyerap konsentrasi Cd pada air limbah sebesar 100 % dari konsentrasi awal yang hanya 0,2 ppm dalam waktu 6 hari. Sementara itu, pada

penelitian ini, perlakuan dengan adanya kombinasi eceng gondok dan kayu apu (perlakuan KT1) mampu menyerap Cd

hingga 89,3 % dari konsentrasi awal 5 ppm dan untuk konsentrasi awal 10 ppm mampu menurunkan hingga 73,70 % dengan waktu tinggal 6 hari. Hal ini membuktikan bahwa, pada waktu tinggal yang sama efek kombinasi dengan konsentrasi awal yang lebih tinggi dapat menyerap Cd dengan persentasi penyerapan berbeda jauh bila dibandingkan dengan penggunaan eceng gondok sebanyak 100 % yang konsentrasi awalnya sangat kecil (50 x lipat) dari penggunaan kombinasi.

Dari semua perlakuan, tingkat penurunan konsentrasi terbesar terjadi pada perlakuan KT1 untuk semua variasi

konsentrasi dengan penurunan hingga sebesar 0,111 ppm dari konsentasi awal 5 ppm sedangkan untuk konsentrasi awal 10 ppm konsentrasi Cd dalam air limbah menurun hingga 1,091 ppm. Tingkat penurunan konsentrasi Cd yang signifikan pada perlakuan KT1 dikarenakan pada

perlakuan tersebut persentase penggunaan eceng gondok (Eichornia crassipes) lebih banyak yaitu sebanyak 75 % dibandingkan kayu apu (Pistia stratiotes) yaitu sebanyak 25 %. Penurunan terbesar kedua terjadi pada perlakuan KT2 dengan penggunaan

eceng gondok (Eichornia crassipes) sebanyak 50 % dan kayu apu (Pistia statiotes) sebanyak 50 %. Perlakuan KT3

dengan penggunaan 25 % eceng gondok (Eichornia crassipes) dan sebanyak 75 % kayu apu (Pistia statiotes) merupakan kombinasi dengan tingkat penurunan terkecil.

Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa dari semua perlakuan, kombinasi tanaman dengan penggunaan eceng gondok (Eichornia crassipes) yang lebih banyak merupakan kombinasi terbaik dengan tingkat penyerapan yang tinggi, yang berarti bahwa kemampuan menyerap kontaminan oleh eceng gondok (Eichornia crassipes) lebih tinggi dibandingkan dengan kayu apu (Pistia stratiotes). Hal ini

(7)

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryati T dan Budhi (2003) bahwa dari tiga jenis tanaman air yang digunakan untuk fitoremediasi logam berat kadmium (Cd) yang paling efektif berturut-turut : eceng gondok, kayu apu dan kayambang. Hasil yang sama juga didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Puspita, dkk (2011) yang menggunakan tanaman air sebagai agen fitoremediator logam berat Cr pada air limbah batik, dan hasil yang didapatkan bahwa diantara 3 tumbuhan air yang dicobakan, Eichornia crassipes merupakan tumbuhan yang paling mampu menurunkan kadar Cr air limbah batik diikuti Pistia stratiotes dan Hydrilla verticillata.

Pengaruh Konsentrasi Awal dan Waktu Tinggal Terhadap Penyerapan Logam Berat Kadmium (Cd) pada Air Limbah

Konsentrasi awal logam digunakan untuk melihat batas paparan logam sehingga tanaman mampu menyerap secara maksimal. Pada penelitian ini digunakan konsentrasi awal logam Cd sebesar 5 dan 10 ppm dengan waktu tinggal selama 3, 6 dan 9 hari. Pengaruh waktu tinggal dan konsentrasi awal terhadap penurunan logam Cd dalam air limbah pada masing-masing konsentrasi dapat dilihat dari besarnya persentase penyerapan dari setiap perlakuan yang dapat dilihat pada Tabel 2. berikut.

Tabel 2. Persentase Penyerapan Fitoremediasi Waktu Tinggal (hari) Konsentrasi Logam Cd (ppm) Kombinasi Tanaman (KT) KT1 KT2 KT3 3 5 82,5 78,89 74,82 10 59,23 58,25 53,85 6 5 89,3 86,03 75,98 10 73,76 71,16 63,11 9 5 97,76 95,40 94,57 10 89,04 88,17 82,06

Sumber : Hasil Perhitungan

Dari Tabel 2. dapat diketahui tingkat persentase penyerapan fitoremediasi untuk semua perlakuan dan dibuatkan grafik seperti gambar di bawah ini.

Gambar 3. Persentase Penyerapan Kadmium pada Perlakuan KT1

Gambar 4. Persentase Penyerapan Kadmium pada Perlakuan KT2

Gambar 5. Persentase Penyerapan Kadmium pada Perlakuan KT3

Dari hasil analisa regresi dapat diketahui bahwa hubungan antara persentase penyerapan kadmium pada air limbah dengan waktu tinggal menunjukkan

y = 0.0922x2+ 1.4367x + 77.36 R² = 1 y = 0.0456x2+ 4.41x + 45.66 R² = 1 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 3 6 9 12 pe rse nt ase pe ny e ra pa n (% )

waktu tinggal (hari)

perlakuan KT1 5 ppm y = 0.1239x2+ 1.265x + 73.98 R² = 1 y = 0.2278x2+ 2.2533x + 49.44 R² = 1 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 3 6 9 12 pe rse nt ase pe ny e ra pa n (% )

waktu tinggal (hari)

perlakuan KT2 5 ppm perlakuan KT2 10 ppm y = 0.9683x2- 8.3283x + 91.09 R² = 1 y = 0.5383x2- 1.7583x + 54.28 R² = 1 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 3 6 9 12 pe rse nt ase pe ny e ra pa n (% )

waktu tinggal (hari)

perlakuan KT3 5 ppm perlakuan KT3 10 ppm

(8)

hubungan yang sangat kuat, di mana nilai koefisien korelasi yang diperoleh adalah R² = 1. Menurut Purwanto (2003) bilai nilai R² mendekati angka 1, terdapat hubungan yang sangat kuat antara y dan x. Hubungan kategori sedang bila nilai R² antara 0,4 - 0,6, sedangkan bila regresi R² < 0,4 hubungan antara y dengan x sangat lemah.

Grafik diatas memperlihatkan bahwa pada waktu tinggal 3 hari telah terjadi penyerapan logam Cd, akan tetapi penyerapan optimum terjadi pada waktu tinggal 9 hari untuk semua kombinasi, dimana semakin lama tanaman ditanam, semakin besar logam yang terserap oleh tanaman. Semakin lama waktu tinggal dalam fitoremediasi semakin tinggi pula tingkat penyerapan kadar logam Cd dalam air limbah. Hal ini terlihat pada semua perlakuan kombinasi, namun hal berbeda terlihat pada kontrol dimana tingkat penurunan konsentrasi tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada perlakuan kontrol tidak terdapat tanaman yang mampu menyerap kadar logam berat Cd pada air limbah.

Persentase penyerapan Cd pada air limbah yang semakin meningkat seiiring bertambahnya waktu tinggal dikarenakan tanaman masih mampu menyerap kadar logam Cd pada air limbah hingga hari ke-9 karena belum melewati titik jenuh. Titik jenuh adalah batas maksimum yang dapat ditolerir tanaman dalam menyerap kontaminan. Setelah melewati titik jenuh, kemampuan tanaman dalam menyerap logam berat menurun bahkan konsentrasi logam berat dalam air limbah dapat meningkat karena tanaman dapat melepaskan kembali logam yang telah diserap.

Dari hasil yang didapatkan (Tabel 2.) dapat diketahui bahwa perlakuan KT1 (75

% eceng gondok : 25 % kayu apu) merupakan kombinasi paling efektif dalam menurunkan konsentrasi logam berat Cd pada air limbah dengan tingkat penyerapan sampai 97,76 % di hari ke-9 dari konsentrasi awal 5 ppm. Sedangkan pada

perlakuan KT1 (75 % eceng gondok : 25 %

kayu apu) dengan konsentrasi awal 10 ppm mampu menurunkan konsentrasi Cd hingga 89,04 % pada hari ke-9. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa semakin rendah konsentrasi awal air limbah tingkat efektifitas semakin meningkat. Hal ini terkait dengan kemampuan tanaman dalam menyerap logam berat dan dapat memanfaatkannya untuk pertumbuhan. Logam berat yang diberikan pada tanaman dalam jumlah tertentu dapat membantu mempercepat pertumbuhan tanaman sebagai suatu respon positif, namun pada tingkatan tertentu justru dapat menghambat pertumbuhan tanaman bahkan kematian tumbuhan sebagai bentuk respon negatif tumbuhan (Mangkoedihardjo dan Samudro, 2010).

Persentase penyerapan konsentrasi logam Cd yang semakin tinggi menyebabkan toksisitas pada tanaman semakin meningkat. Adanya perbedaan konsentrasi juga memberikan pengaruh terhadap perubahan kondisi fisik tanaman. Hal ini dapat dilihat pada kondisi fisik tanaman pada hari ke-9 yang semakin layu bahkan menunjukkan gejala kematian seperti pada gambar berikut.

Sumber : Dokumentasi Pribadi Sumber : Dokumentasi Pribadi Gambar 6. Perlakuan KT1 Gambar 7. Perlakuan KT1

5 ppm hari ke-9 10 ppm hari ke-9

Sumber : Dokumentasi Pribadi Sumber : Dokumentasi Pribadi Gambar 8. Perlakuan KT2 Gambar 9. Perlakuan KT2

(9)

Sumber : Dokumentasi Pribadi Sumber : Dokumentasi Pribadi Gambar 10. Perlakuan KT2 Gambar 11. Perlakuan KT2

5 ppm hari ke-9 10 ppm hari ke-9

Secara umum, kondisi tanaman untuk tiap perlakuan dengan konsentrasi awal yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda jauh. Namun, berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa konsentrasi awal telah memberikan pengaruh terhadap kondisi fisik tanaman setelah melalui proses fitoremediasi. Pada perlakuan dengan konsentrasi awal 5 ppm, tanaman terlihat masih segar hingga hari ke-9 bila dibandingkan dengan kondisi tanaman pada perlakuan dengan konsentrasi awal 10 ppm yang telah banyak mengalami gejala toksisitas. Perlakuan KT1 dengan konsentrasi awal 10

ppm (Gambar 7.) merupakan kombinasi tanaman yang paling banyak mengalami perubahan fisik, yaitu timbulnya bercak dan warna kekuningan pada bagian daun hingga daun tanaman eceng gondok yang tampak mengering (berwarna coklat), sedangkan kayu apu pada perlakuan ini tampak berkurang jumlahnya karena toksisitas logam berat menyebabkan terjadinya kematian lebih awal pada tanaman ini.

Hasil Pengamatan Morfologi Tanaman Eceng Gondok (Eichornia crassipes) dan Kayu Apu ( Pistia stratiotes) Setelah Fitoremediasi

Perubahan kondisi fisik (morfologi) tanaman selama fitoremediasi dapat dilihat pada Tabel 3. dan Tabel 4. berikut ini.

Tabel 3. Perubahan Morfologi Tanaman Selama Fitoremediasi Cd 5 ppm Waktu tinggal (hari) Konsentrasi Cd 5 ppm Perlakuan KT1 Perlakuan KT2 Perlakuan KT3 0 3 6 9

Tabel 4. Perubahan Morfologi Tanaman Selama Fitoremediasi Cd 10 ppm Waktu tinggal (hari) Konsentrasi Cd 10 ppm Perlakuan KT1 Perlakuan KT2 Perlakuan KT3 0 3 6 9

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kondisi fisik tanaman (Tabel 4.8. dan Tabel 4.9.) dapat dilihat adanya

(10)

perubahan morfologi tanaman dari awal penelitian sampai pada hari ke-9, baik pada eceng gondok (Eichornia crassipes) maupun kayu apu ( Pistia stratiotes).

Pada hari ke-0, tanaman eceng gondok (Eichornia crassipes) dan kayu apu (Pistia stratiotes) pada ketiga kombinasi terlihat berwarna hijau dan masih segar. Hal ini berlaku untuk semua variasi konsentrasi. Seiring bertambahnya waktu, dimana konsentrasi Cd pada air limbah semakin menurun (Tabel 4.1), warna tanaman pun berubah terutama pada konsentrasi 10 ppm.

Pada hari ke-3, tanaman kayu apu (Pistia stratiotes) pada masing-masing kombinasi banyak yang menguning dan layu sedangkan pada tanaman eceng gondok (Eichornia crassipes) terlihat lebih segar bila dibandingkan dengan kayu apu (Pistia stratiotes), walaupun ada beberapa perubahan warna daun menjadi kuning.

Pencemaran logam berat pada tanaman menunjukkan gejala seperti klorosis, nekrosis pada ujung dan sisi daun serta busuk daun yang lebih awal. Sedangkan, gejala toksisitas pada kedua tanaman diduga akibat tanaman mengalami kekurangan nutrisi. Perubahan warna daun pada tanaman menunjukkan gejala klorosis yang diduga tanaman mengalami toksisitas logam Cd dari air limbah. Hal ini sesuai dengan pendapat Maier et al.,( 2003) dan Smeets et al., (2005) bahwa fitotoksisitas Cd dapat menyebabkan klorosis, nekrosis, layu serta gangguan fotosintesis dan transpirasi sehingga menghambat pertumbuhan.

Menurut Darmono (1995) klorosis adalah degenerasi klorofil (tidak terbentuk/ kurang berkembangnya klorofil) sehingga daun menjadi kuning atau terjadi mozaik dengan warna campuran hijau, kuning dan hitam. Selain klorosis, gejala lain yang terjadi pada tanaman yaitu nekrosis. Nekrosis adalah kematian sel atau jaringan pada organ hidup sehingga timbul bercak dan warna kecoklatan pada tepi dan ujung daun (Darmono, 1995).

Pada hari ke-6, jumlah tanaman yang menguning dan layu semakin bertambah. Hal ini diakibatkan karena tumbuhan terpapar logam Cd dalam waktu yang semakin lama sehingga penghambatan sintetis klorofil juga semakin tinggi. Pada semua kombinasi tanaman kayu apu (Pistia stratiotes) lebih banyak yang mengalami gejala toksisitas dibandingkan tanaman eceng gondok (Eichornia crassipes). Berdasarkan pengamatan terhadap kondisi fisik tanaman, Pistia stratiotes lebih cepat menunjukkan gejala toksisitas yang ditandai dengan daun tanaman yang tampak menguning dan akhirnya lepas dari batang. Kondisi tersebut menunjukkan tanaman eceng gondok (Eichornia crassipes) lebih efektif dalam fitoremediasi air limbah mengandung logam berat Cd dibandingkan tanaman kayu apu (Pistia stratiotes). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Suryati T dan Budhi (2003) bahwa kemampuan untuk menurunkan logam Cd dari air yang paling efektif adalah eceng gondok dibandingkan dengan kayu apu dan kayambang.

Pada hari ke- 9, tanaman eceng gondok (Eichornia crassipes) dan kayu apu (Pistia stratiotes) pada semua kombinasi semakin layu. Perubahan kondisi fisik tanaman pada konsentrasi 10 ppm lebih besar daripada konsentrasi 5 ppm. Perubahan tersebut erat kaitannya dengan kemampuan tanaman dalam beradaptasi pada kondisi tertentu. Pada konsentrasi 5 ppm, tanaman masih lebih bisa beradaptasi dengan kadar logam berat Cd pada air limbah dibandingkan dengan konsentrasi 10 ppm, walaupun keduanya menimbulkan gejala toksisitas pada tanaman.

Mekanisme Fitoremediasi pada Tanaman Eceng Gondok (Eichornia crassipes) dan Kayu Apu ( Pistia stratiotes)

Terjadinya perubahan fisik pada tanaman disebabkan adanya perpindahan logam dari limbah ke dalam tanaman, yaitu melalui mekanisme penyerapan dalam

(11)

tanaman. Mekanisme fitoremediasi yang mungkin terjadi pada eceng gondok (Eichornia crassipes) dan kayu apu (Pistia stratiotes) adalah fitoekstraksi dan rhizofiltrasi.

Fitoekstraksi adalah proses absorbsi (penyerapan) kontaminan berupa logam berat oleh akar dan diikuti dengan translokasi melalui xylem dan diakumulasi di vakuola sel batang dan daun (Choudary, 1998). Berdasarkan hasil pengamatan pada tanaman terlihat perubahan pada bagian batang dan daun baik pada tanaman eceng gondok (Eichornia crassipes) maupun pada tanaman kayu apu ( Pistia stratiotes), dimana daun yang berwarna kuning dan layu.

Selanjutnya, proses penting dalam fitoremediasi adalah rhizoflitrasi. Rhizofiltrasi adalah pengendapan zat kontaminan seperti logam berat oleh akar dengan bantuan zat pengkhelat (Lestari, 2011).

Menurut Siswoyo (2006), tanaman mempunyai mekanisme tertentu untuk mencegah keracunan logam terhadap sel salah satunya dengan menimbun logam dalam organ tertentu seperti akar. Selanjutnya, Salisbury dan Ross (19950 menyatakan bahwa spesies tanaman yang tumbuh di lingkungan tercemar logam akan mengalami stress metal dengan membentuk zat fitokhelatin khususnya dibagian akar sebagai mekanisme toleransi yang penting. Fitokhelatin merupakan peptide kecil yang kaya asam amino sistein yang mengandung belerang. Atom belerang dalam sistem ini yang akan mengikat logam berat dari media tumbuh. Senyawa fitokhelatin yang terdapat pada akar tanaman berfungsi untuk mengikat unsur logam dan membawanya ke dalam sel melalui proses transport aktif.

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa semakin banyak penggunaan eceng gondok (Eichornia crassipes), maka tingkat efektifitas pengolahan semakin meningkat yang berarti kemampuan menyerap kontaminan pada eceng gondok (Eichornia crassipes) lebih tinggi

dibandingkan dengan kayu apu (Pistia statiotes). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryati T dan Budhi (2003) bahwa dari tiga jenis tanaman air yang digunakan untuk fitoremediasi logam berat kadmium (Cd) yang paling efektif berturut-turut : eceng gondok, kayu apu dan kayambang. Hasil yang sama juga didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Puspita, dkk (2011) yang menggunakan tanaman air sebagai agen fitoremediator logam berat Cr pada air limbah batik, dan hasil yang didapatkan bahwa diantara 3 tumbuhan air yang dicobakan, Eichornia crassipes merupakan tumbuhan yang paling mampu menurunkan kadar Cr air limbah batik diikuti Pistia stratiotes dan Hydrilla verticillata.

Kemampuan menyerap logam yang lebih tinggi pada Eichornia crassipes dimungkinkan karena penyerapan yang terjadi dalam dua cara yaitu secara aktif dan pasif (Puspita.dkk, 2011). Penyerapan secara pasif yaitu dengan bantuan sinar matahari dan secara pasif dengan cara transpirasi. Penyerapan aktif tergantung pada anoin dan kation yang terdapat pada tumbuhan. Proses inilah yang melibatkan zat khelat yang terdapat pada akar sehingga ion logam dapat terserap.

Eichornia crassipes akan

mendepositkan logam berat ke dinding sel dalam vakuola dan berikatan dengan senyawa organik lainnya. Struktur spons yang dimiliki oleh Eichornia crassipes juga mampu menyerap unsur - unsur pencemar dalam air limbah (Puspita.dkk, 2011).

Tingginya akumulasi logam di akar ini disebabkan tumbuhan menyerap unsur hara beserta logam yang ada dari air melalui akar. Akar berfungsi sebagai organ penyerap dan penyalur unsur-unsur hara ke bagian lain. Sehubungan dengan fungsi tersebut maka akar akan banyak menyerap unsur hara sehingga akumulasi logam akan lebih tinggi di akar dibandingkan dengan batang dan daun.

(12)

Menurut Susilaningsih (1992), fungsi akar bagi tumbuhan sebagai alat pertautan tumbuhan dengan substrat dan berfungsi sebagai penyerap unsur – unsur hara serta mengalirkannya ke batang dan daun.

Proses penyerapan logam berat oleh kayu apu (Pistia stratiotes) juga terjadi pada bagian akar dan daun. Selain itu, penyerapan pada kayu apu (Pistia stratiotes) terjadi karena proses difusi yaitu bergeraknya ion logam dari konsentrasi yang lebih tinggi (konsentrasi media) ke konsentrasi rendah yaitu dalam membran sel tanaman (Ulfin dan Widya, 2005).

Kemampuan penyerapan Pistia stratiotes yang lebih rendah bila dibandingkan dengan Eichornia crassipes dimungkingkan karena ukurannya yang lebih kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Lidiawati (2009) bahwa tumbuhan yang berukuran lebih kecil memiliki kemampuan yang kurang baik dalam mengolah kontaminan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa : 1. Penurunan konsentrasi tertinggi

terdapat pada perlakuan KT1 (75 % EG

: 25 % KA) yaitu hingga 0,111 ppm (97,76 %) dari konsentrasi awal 5 ppm dan 1,091 ppm (89,04 %) untuk konsentrasi awal 10 ppm. Kombinasi dengan penggunaan eceng gondok (Eichornia crassipes) lebih banyak merupakan kombinasi paling efektif dalam menurunkan konsentrasi Cd pada air limbah.

2. Besarnya konsentrasi awal yang terdapat pada air limbah berpengaruh terhadap tingkat penyerapan kadar Cd dan kondisi fisik tanaman, hal ini terkait dengan kemampuan tanaman dalam menyerap logam berat dan memanfaatkannya untuk pertumbuhan.. Persentase penyerapan Cd pada air limbah yang semakin meningkat seiiring bertambahnya waktu tinggal dikarenakan tanaman masih mampu menyerap kadar logam Cd pada air

limbah hingga hari ke-9 karena belum melewati titik jenuh.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI 6989.16 : 2009, Cara Uji

Kadmium (Cd) secara

Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)- nyala. Jakarta

Choudary, I. M, 1998. Phenolic and other Constituent of fresh water Fern Salvinia molesta. Phytochemistry, Karachi Pakistan

Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Mahluk Hidup. UI Press, Jakarta. Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan

Pencemarannya. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta Ernawati. 2010. Kerang bulu (Anadara

inflata) Sebagai Bioindikator Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) dan Cadmium (Cd) di Muara Sungai Asahan. Tesis. Program Studi Magister Biologi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara. Fahruddin. 2010. Bioteknologi

Lingkungan. Penerbit Alfabeta, Bandung.

Kelly. E. B. 1997. Ground Water Polution : Phytoremediation. Downloading available at http:www.cee.vt.edu/p rogram_areas/enviromental/teach/ gwprimer/phyto/hyto/html.

Khiji, S and F.E Bareen. 2008. Rhizofiltration of Heavy Metals from the Tannery Sludge by the

Anchored Hydrophyte,

Hydrocotyle umbellate L.African Journal of Biotechnology 7 (20). Lestari, S., Slamet Santoso dan Sulastri A.

2011. Efektivitas Eceng Gondok (Eichornia crassipes) dalam Penyerapan Kadmium (Cd) pada Leachate TPA Gunung Tugel. Jurnal Molekul Vol.6. No.1.

(13)

Fakultas Biologi Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto. Lidiawati, Tuani. 2009. Penurunan

Konsentrasi Warna Limbah Tekstil dengan Menggunakan Tumbuhan Air. Prosiding Nasional Teknik Kimia Indonesia. Bandung.

Maier, E.A., R.D. Matthews, J.A. McDowell, R.R. Walden, and B.A. Ahner. 2003. Environmental cadmium levels increase phytochelatin and glutathione in lettucengrown in a chelator-buffered nutrient solution. J. Environ. Qual. 32: 1356-1364. Mangkoedihardjo, S. dan Samudro, G.

2010. Fitoteknologi Terapan. Edisi Pertama. Graha Ilmu : Yogyakarta Murdhiani. 2012. Penurunan Logam Berat

Timbal (Pb) Pada Kolam Biofiltrasi Air Irigasi dengan Menggunakan Tanaman Air (Aquatic Plant). Tesis. Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Palar H. 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat . Penerbit PT. Rieneka Cipta. Jakarta.

Purwanto. 2003. Pemodelan Rekayasa Proses dan Lingkungan. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

Puspita, UR., A.S. Siregar dan N.V. Hidayati. 2011. Kemampuan Tumbuhan Air Sebagai Agen Fitoremediator Logam Berat Kromium (Cr) yang Terdapat pada Limbah Cair Industri Batik. Jurnal Penelitian Berkala Perikanan Terubuk, vol. 39 no.1. Himpunan Alumni Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.

Salisbury, FB dan CW. Ross. 1995. Fisiologi Tanaman. Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta. Salundik. 1998. Pengolahan Limbah Cair

Usaha Peternakan Sapi Perah dengan Eceng Gondok. Tesis. Program Pascasarjana Magister Sains. Institut Pertanian Bogor. Siregar, Sakti A. 2005. Instalasi

Pengolahan Air Limbah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Siswoyo, E. 2006. Fitoremediasi Logam Berat Khrom (Cr) Menggunakan Tanaman Kiapu (Pistia stratiotes). Jurnal Teknik Lingkungan Edisi Khusus 1 : 291-300

Suryati, T. dan Budhi Priyanto. 2003. Eliminasi Logam Berat Kadmium dalam Air Limbah Menggunakan Tanaman Air. Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Susilaningsih, D. 1992. Pemanfaatan Tumbuhan Hydrilla verticilatta dan Eichornia crassipes sebagai Salah satu Usaha Pengendalian Pencemaran Logam Kromium (Cr) dari Limbah Pelapisan Logam. Skripsi. Fakultas Biologi. Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto.

Ulfin I dan Widya W. 2005. Studi Penyerapan Kromium dengan Kayu Apu (Pistia stratiotes, L). Akta Kimia Indonesia Vol. 1 No.1. Kimia-FMIPA, ITS, Surabaya. Ulfin, I. 2001. Penurunan Kadar Cd dan

Pb dalam Larutan dengan Kayu Apu : Pengaruh pH dan Jumlah Kayu Apu (Pistia stratiotes, L). Prosiding Senaki III, Kimia-FMIPA, ITS, Surabaya.

Gambar

Tabel 1. Penurunan Konsentrasi Kadmium  (Cd) pada Air Limbah
Tabel 2. Persentase Penyerapan  Fitoremediasi  Waktu  Tinggal  (hari)  Konsentrasi Logam Cd (ppm)  Kombinasi Tanaman (KT) KT1KT2KT 3 3  5  82,5  78,89  74,82  10  59,23  58,25  53,85  6  5  89,3  86,03  75,98  10  73,76  71,16  63,11  9  5  97,76  95,40  9
Tabel 3.  Perubahan  Morfologi  Tanaman      Selama Fitoremediasi Cd 5 ppm  Waktu  tinggal  (hari)  Konsentrasi Cd 5 ppm Perlakuan  KT 1  Perlakuan KT 2 Perlakuan KT3 0  3  6  9

Referensi

Dokumen terkait

“pemerintah kota pekanbaru bisa dikatakan konsisten dalam melaksanakan kebijakan ini apabila sesuai dan tidak bertentangan dengan kebijakan yang ada, selain itu keberadaan

Pembangkitan terrain dilakukan setelah deteksi props selesai dilakukan. Smart Terrain akan membangun ulang, mengenali, dan melacak objek fisik dan permukaannya. Objek akan

Menunjukkan bahwa dimensi empati I (mengukur keramahan dalam berinteraksi dengan mahasiswa) ; empati 2 (memiliki perhatian dalam berinteraksi dengan mahasiswa)

dapat mengungkapkan jawaban dari pemustaka, dan dengan pertimbangan tersebut peneliti akan mengangkat persoalan ini sebagai objek penelitian untuk penyusunan skripsi

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi: analisis PEST, analisis SWOT,

Diketahui bahwa, pengalaman Anggota DPRD Kota Palangka Raya yang belum pernah duduk dalam lembaga legislatif sebelumnya berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas pokok dan

Peningkatan prestasi belajar siswa kelas eksperimen dengan pemberian tugas membuat Peta Konsep disebabkan karena siswa dapat melihat gambaran materi secara ringkas dan

Pada tahap ini peneliti meminta masukan dari para ahli/pakar yaitu ahli materi, ahli media, dan praktisi untuk memberikan masukan terhadap perangkat pembelajaran