• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. IDENTIFIKASI, TINJAUAN TEORITIS DAN ANALISIS DATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. IDENTIFIKASI, TINJAUAN TEORITIS DAN ANALISIS DATA"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Identifikasi Data

2.1.1. Data Karya

Karya yang dihasilkan adalah karya puisi visual, yang merupakan penggabungan antara puisi sebagai verbal dan visual. Berikut adalah rinciannya: Jenis Karya : Puisi Visual

Obyek/dasar pembuatan : puisi karya Saut Situmorang

Tema : ‘Emotion

Media utama : poster

Jumlah karya : 13 buah

Ukuran : 84 x 55 cm dan 115 x 40 cm

Teknik : cetak offset

Media pendukung : katalog, poster promo, kaos, pin dan postcard.

Tempat Pemasangan : de Boliva Kitchen & Lounge Jl. Raya Gubeng 66, Surabaya. Jl. HR Muhamad 360, Surabaya. 2.1.2. Data Penyair Saut Situmorang

2.1.2.1. Biodata Saut Situmorang

Saut Situmorang lahir 29 Juni 1966 di kota kecil Tebing Tinggi, Sumatera Utara, tetapi dibesarkan di Medan. Pendidikan terakhir S1 (Sastra Inggris, Film, dan Creative Writing) dan S2 (Sastra Indonesia namun tidak sampai selesai) dilakukannya di Selandia Baru, di mana dia pernah hidup merantau selama 11 tahun. Mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia selama beberapa tahun di almamaternya, Victoria University of Wellington dan University of Auckland di Selandia Baru. Menulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Puisi, cerpen, esei (sastra dan seni rupa), dan terjemahannya sudah dipublikasikan di Indonesia, New Zealand, Australia, dan Itali, antara lain dalam Ginger Stardust,

(2)

Bali The Morning After, empat kumpulan sajak, KULKUL, Antologi Puisi Indonesia 1997, Slonding, Datang dari Masa Depan, Antologi Puisi “Art and Peace”, Graffiti Gratitude, Gelak Esai dan Ombak Sajak, Cyber Graffiti, Graffiti Imaji, Dian Sastro for President!, Malam Bulan, Kitab Suci Digantung di Pinggir Jalan New York, Exploring Vacuum, Sastra Pembebasan, Les Cyberlettres, Maha Duka ACEH, Musik Puisi, Ode Kampung; SPORT 4, HORISON, CAK, Pelangi,

Bali Echo, Coast Lines, ONIOFF, Kitsch, RETORIK, mejabudaya, media kerjabudaya, GONG, dan di koran-koran Medan, Padang, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Jogja, dan Bali. Selain itu juga di internet di mailing-list

seperti apakabar, SiaR, Kabar dari Pijar, bahasa, penyair, bumimanusia,

publikseni dan kunci-l, terutama di website sastra cyber Indonesia

www.cybersastra.net, di mana dia merupakan salah seorang redakturnya.

Pertengahan tahun 2002 ikut dalam CD Antologi Puisi Digital

“CYBERpuitika” yang dikeluarkan oleh Yayasan Multimedia Sastra (YMS) Indonesia. Buku kumpulan puisinya yang sudah diterbitkan: Saut Kecil Bicara Dengan Tuhan (2003) dan Catatan Subversif (2004). Mendapat ‘Poetry Award’ untuk puisi-puisi bahasa Inggrisnya dari Victoria University of Wellington (1992) dan University of Auckland (1997) di Selandia Baru. Sebuah Haiku-nya dalam bahasa Inggris, “such boredom”, pemenang pertama Lomba Haiku ‘International Poetry Competition’ yang diselenggarakan oleh New Zealand Poetry Society di tahun 1992, dikoleksi oleh Museum Haiku di Kyoto, Jepang.

Pada Februari 1994 diundang baca puisi dalam program “New Wellington Poets” oleh New Zealand Poetry Society di Oriental Parade Arts Centre, Wellington, Selandia Baru. Awal tahun 2000 sebuah film dokumentasi (10 menit) tentangnya berjudul SAUT SITUMORANG dibuat oleh Peter Larsen di Auckland, Selandia Baru. Diundang sebagai salah seorang pembicara pada Kongres Cerpen Indonesia Ke-2, Februari 2002 di Bali; diundang baca puisi pada Maret 2003 dalam acara Sorak-sorai Identitas di Studio Budaya & Galeri Langgeng, Magelang, Jawa Tengah; diundang untuk membacakan orasi budayanya bersama Gus Dur di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 29 Juni 2004; diundang baca puisi di kota Hamburg dan Berlin, Jerman, pada Januari 2005. Setelah bosan bekerja 6 hari satu minggu selama hampir dua tahun sebagai editor antara lain di

(3)

majalah budaya berbahasa Inggris BALI ECHO dan majalah surfing 3 bahasa

SURF TIME di pulau Bali, sejak akhir 2001 menetap di kota Jogjakarta sebagai penulis full time.

Pengalamannya sebagai freelance editor di Selandia Baru dan Indonesia telah menghasilkan tiga buku sastra dan dua buku seni rupa: Tongue in Your Ear, vol. IV (kumpulan puisi), Cyber Graffiti (kumpulan esei sastra), tujuh musim setahun (novel), Jalan/Street (performance art Made Wianta) dan Exploring Vacuum (kumpulan esei seni rupa).

2.1.2.2. Analisis Subyektif Tentang Saut Situmorang4

Bila melihat lebih dalam tentang Saut Situmorang, beliau adalah seorang yang berpikiran obyektif, tidak keberatan menerima kritik, tidak keberatan juga untuk disalahkan, tidak keberatan untuk dijelek-jelekkan atau bahkan dianggap remeh oleh orang lain. Tapi beliau memiliki pemikiran sendiri dan pemikirannya itu mendominasi setiap pandangannya terhadap diri sendiri, orang lain, dan semua hal dalam hidup. Beliau seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri, dunia yang penuh kebebasan dan lepas dari segala aturan dunia, satu-satunya aturan yang berlaku baginya adalah aturan yang dibuatnya sendiri. Kebebasan ini pula yang mendasari setiap karyanya. Tidak ada aturan penulisan, tidak ada aturan pemilihan kata, tidak ada aturan apapun dalam penciptaan karyanya. Bisa dilihat dalam penulisan tiap baris dalam beberapa puisinya, tidak rata kanan; tidak rata kiri; tidak pula rata tengah, tapi secara acak. Ada pula puisi yang tidak ada titik sama sekali, jadi setiap kalimat maupun kata bersambung begitu saja, ada yang dibuat tiap baris hanya terdiri dari satu kata, dan sebagainya.

Penulisan seperti ini ada yang beberapa memang memiliki maksud dibaliknya, tapi banyak pula yang dilakukan Saut hanya sebagai ekspresi diri. Puisi-puisi dalam buku pertamanya, kata aku dan kamu selalu menggunakan huruf besar di awal, dan dengan judul buku saut kecil bicara dengan tuhan, tentu orang menafsirkan Ku atau Mu disini adalah Tuhan, tapi ternyata tidak. Saut sendiri mengatakan hal ini sengaja dilakukannya untuk mengecoh pembaca, dan tidak ada maksud lain. Setiap puisi yang diciptakan adalah semua pemikiran, perasaan,

(4)

emosi dan imajinasi dari Saut Situmorang. Beliau sangat mengagungkan perempuan dan juga cinta, karena itu dalam buku pertamanya, kedua tema ini sangat mendominasi.

Saut Situmorang adalah orang yang welcome, ramah terhadap orang lain dan orang yang senang sekali berdiskusi. Pengetahuannya luas begitu pula dengan pengalaman hidupnya, dan beliau tidak pelit untuk membagi ilmu kepada orang lain. Beliau sangat percaya diri dan santai dalam menjalani hidupnya, selain itu juga senang bercanda. Beliau berkarya selama beliau menginginkannya dan selama beliau merasa mampu untuk menciptakan karya yang pantas.

Setiap orang bebas mengapresiasikan puisinya, tidak ada makna yang salah dan benar. Inilah yang dikatakan seorang Saut Situmorang ketika orang lain bertanya tentang maksud puisinya menurut pemikirannya sendiri. Beliau tidak mau mematok satu makna dalam puisinya, karena baginya setiap kata, setiap kalimat dalam suatu puisi itu memiliki makna yang sangat luas. Mungkin benar bila dikatakan ‘Puisi mengajarkan sebanyak mungkin, dengan kata-kata sesedikit mungkin’.

2.1.2.3. Karya Saut Situmorang

Sampai saat ini, Saut Situmorang telah mengeluarkan dua buku kumpulan puisi karyanya. Buku pertama berjudul saut kecil bicara dengan tuhan, dengan total 53 karya puisi. Dengan judul sebagai berikut: tidurlah cicak; surat cinta; mata mawar; gondang gaib memukul mukul di kelima indraKu; sajak collage; persistence of memory; sajak musim salju; do you like basketball, berangere?; disebabkan oleh Rendra 1; disebabkan oleh Rendra 2; disebabkan oleh Rendra 3; caminado por la calle; sajak mabok; insomnia; ibu seorang penyair; hanya airmata dan terik matahari yang mengerti; saut kecil bicara dengan tuhan; totem; sajak pop culture; kinda blue/sembilan gelas bir, kau dan masa lalu; bocah pemancing ikan; marilah kita mabok; definisi cinta, setelah sepatu Bata menginjak bulan; spring sudah tiba; aku telah menjelajahi kemulusan tubuhmu; padaMu jua; kinda blue; sajak cinta untuk semua perempuanku, yang lampau yang kini yang akan datang; arak Bali; sajak hujan; kupu malam dan kau; karena laut, sungai lupa jalan pulang; sadar dari mabok suatu pagi musim hujan;

(5)

sentimentalia sebuah nama; androgyny; aku ingin; kata dalam telinga; buat penyair V; hanya dari jauh aku bisa mengakrabimu; buat susan ploetz; graffiti cemburu; selamat ulang tahun, penyair!; pada upacara menjemput daun beringin; potret pagi; blues untuk katrin; aku pasti akan menghukumMu!; Aku mencintaiMu dengan seluruh jembutKu; kanvas patah; ziarah incest; puisi SMS; exquisite corpse. Dan buku keduanya berjudul catatan subversif yang lebih banyak berbicara tentang politik.

Salah satu contoh puisi karya Saut Situmorang, yang diambil dari buku pertamanya berjudul saut kecil bicara dengan tuhan, adalah sebagai berikut:

Persistence of Memory

satu tangan raksasa tiba tiba tumbuh panjang panjang

memanjang dari jam yang tergantung di dinding tangan raksasa itu terus memanjang menjulur membentuk

mulut ular bertelinga srigala yang terbang ke arahku menelan semua kenang kenangan

yang telah begitu lama mempersatukan hidup kita jam di dinding yang terus menerus berdetik perlahan lahan

mengeluarkan darah lalu kedua tangan jam itu saling memuntir tangan pasangannya

terus memuntirnya hingga darah makin banyak berdarah

lalu kepala ular bertelinga srigala tadi meledak lalu suara detik detik jam tadi sirna

lalu kedua tangan jam yang saling memuntir tadi putus putus dan lenyap lalu darah yang terus berdarah tadi menguap

lalu jam dinding itu sendiri berkerut jadi ulat

memakani dinding jadi kepompong jatuh ke tanah

jadi mesin tik yang terbang ke bintang bintang jadi mata yang menangisi kepergianMU...

2.1.3. Data Perusahaan 2.1.3.1. Sejarah Perusahaan

Pada awal tahun 1990, de Boliva Ice Cream dikenal dengan nama Cinxana, sebuah produksi rumahan yang mengkhususkan pada es krim yang penyebarannya hanya sebatas teman dan keluarga. Dari situ, mulai berkembang dari mulut ke mulut.

(6)

Pada tahun 2000, seorang pengusaha muda mulai mengganti nama dengan de Boliva Ice Cream. Dari awalnya, es krim ini telah diproduksi dengan menggunakan bahan-bahan pilihan sehingga mendukung kesuksesan produk ini. Awalnya de Boliva menyediakan es krim dengan rasa standard seperti vanilla,

mocha, chocolate, dan strawberry, lalu dengan pengalaman yang cukup dalam

mix and match, beberapa menu spesial dari de Boliva ini merupakan campuran es krim dengan beberapa minuman beralkohol seperti Kahlua, Baileys, Margarita, Tequila, dan lain sebagainya.

Outlet pertama de Boliva dibangun pada Desember 2001, bertempat di Jl. HR Mohammad 360 dan kemudian pada Mei 2003, dibangun sebuah outlet baru yang lebih luas di Jl. Raya Gubeng 66. Pada awalnya de Boliva Ice Cream khusus memproduksi dan menjual es krim rendah kolestrol, namun sejak tahun 2002 nama de Boliva Ice Cream berganti menjadi de Boliva Kitchen & Lounge, dengan menambahkan menu makanannya dan tidak sekedar makanan kecil saja. Hanya saja dalam outlet-outlet de Boliva sendiri title ice cream tidak dihilangkan, karena es krim tetap menjadi menu utama yang dijual.

2.1.3.2. Pengelola Perusahaan

Perusahaan ini merupakan perusahaan keluarga yang dikelola oleh dua orang kakak beradik, yaitu Andre Soenjoto dan Stephen Soenjoto. Keduanya merupakan pemilik sekaligus manajer yang mengawasi dan memonitor pelayanan yang dilakukan untuk pelanggan, serta mengatur dan membuat strategi baru. Manajer ini membawahi supervisor yang bertanggung jawab terhadap kegiatan operasional setiap hari, dan supervisor tersebut juga membawahi beberapa bagian. 2.1.3.3. Filosofi Perusahaan5

Sejak awal berdiri, de Boliva memiliki slogan “Great Taste With Low Fat” yang mana pada waktu itu, memang belum ada es krim rendah kolestrol lain yang beredar di publik. Menghidangkan menu yang enak, berkualitas dan juga sehat itulah yang menjadi pegangan utama dalam mempromosikan produk de Boliva.

(7)

2.1.3.4. Potensi de Boliva Kitchen & Lounge6

Semua orang menyukai hidangan penutup, dan tidak ada hidangan penutup yang sepopuler es krim. Terutama di jaman sekarang ini, orang selalu mencari hidangan yang enak tetapi juga sehat. Dulu banyak orang yang mempersepsikan es krim sebagai hidangan yang membuat gendut karena bahan utamanya susu dan gula tentunya. Dengan dasar inilah terciptalah ide untuk menciptakan es krim yang rendah kolestrol sehingga aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat dengan segala usia. Hal ini merupakan potensi yang pertama dari de Boliva.

Outlet es krim dengan nuansa café belum banyak ditemukan di Surabaya, hal tersebut memberikan peluang besar kepada de Boliva untuk menjadi outlet es krim dengan konsep café pertama di Surabaya. Memberikan hidangan yang berkualitas dan suasana nyaman. Perpaduan warna dalam interior yang memberi kenyamanan di mata konsumen, musik yang penuh kenikmatan yang memuaskan telinga konsumen, dan keramahan dari setiap anggota staf. Hal-hal inilah yang membangun suasana nyaman yang tercermin di outlet-outlet de Boliva. Faktor ‘menjual‘ kenyamanan ini juga merupakan salah satu potensi de Boliva untuk dikenal dan digemari masyarakat.

Saat ini de Boliva telah menambah daftar menu makanannya dan bukan sekedar makanan kecil tapi juga makanan utama. Dengan semakin luasnya produk yang dijual, tentunya konsumen memiliki lebih banyak pilihan.

2.1.3.5. Posisi Perusahaan

De Boliva telah banyak dikenal masyrarakat di Surabaya sebagai tempat untuk bersantai dan menikmati hidangan penutup dan hidangan lain yang terjamin kualitas dan kandungan gizinya. Hidangan sehat yang disajikan de Boliva menjadikannya sebagai salah satu pilihan untuk melewatkan waktu luang untuk bersantai.

2.1.3.6. Lokasi Perusahaan

Outlet pertama de Boliva dibangun pada Desember 2001, bertempat di Jl. HR Muhamad 360 Surabaya.

(8)

Gambar 2.1. de Boliva Kitchen & Lounge Jl. HR Muhamad7

Dan kemudian pada Mei 2003, dibangun outlet kedua yang lebih luas di Jl. Raya Gubeng 66 Surabaya.

Gambar 2.2. de Boliva Kitchen & Lounge Jl. Raya Gubeng

2.2. Tinjauan Teoritis

2.2.1. Teori Sastra Indonesia 2.2.1.1. Definisi Sastra

Menurut Ensiklopedia Indonesia, kata su memiliki arti lebih, indah. Sedangkan sastra berarti tulisan, bahasa. Jadi kesusastraan bisa dikatakan merupakan segala gubahan bahasa yang indah.

Beberapa ciri yang selalu muncul dalam pengertian-pengertian sastra adalah sebagai berikut:8

• Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi. Seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Sastra merupakan suatu luapan emosi yang spontan. Unsur kreativitas dan spontanitas menjadi unsur penting dalam pedoman sastra.

7

Foto ini diambil sebelum de Boliva di Jl. HR. Muhamad direnovasi, saat ini masih dalam tahap renovasi.

(9)

• Sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada sesuatu yang lain. Sastra tidak bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam karyanya sendiri.

• Karya sastra yang otonom itu bercirikan suatu koherensi. Pengertian koherensi itu pertama-tama dapat ditafsirkan sebagai suatu keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi. Setiap isi berkaitan dengan suatu atau ungkapan tertentu. Dalam pandangan ini puisi dan bentuk-bentuk sastra lainnya ‘menggambarkan’ isi, bahasanya bersifat plastis. Tokoh Romantik berkebangsaan Inggris, Coleridge, melihat koherensi itu sebagai suatu kaitan organik. Seperti bentuk dan isi yang saling berkaitan, demikian juga bagian dan keseluruhan kait-mengait secara erat sehingga saling menerangkan.

• Sastra menghidangkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan. Pertentangan-pertentangan tersebut aneka rupa bentuknya, ada pertentangan antara yang disadari dan yang tidak disadari, antara pria dan wanita, antara roh dan benda, dan seterusnya.

• Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Oleh puisi dan bentuk-bentuk sastra lainnya ditimbulkan aneka macam asosiasi dan konotasi. Dalam sebuah teks sastra kita menjumpai sederetan arti yang dalam bahasa sehari-hari tak dapat diungkapkan. Pandangan itu sesuai dengan ucapan Roland Barthes, yang menafsirkan sebuah teks sastra tidak boleh menunjukkan satu arti saja, melainkan membeberkan aneka kemungkinan.

2.2.1.2. Sejarah Sastra Indonesia

Bahasa Indonesia tumbuh dari bahasa Melayu sejalan dengan perkembangan rasa kebangsaan atau nasionalisme Indonesia, karena itu bahasa Indonesia baru lahir pada awal abad ke-20. Dalam Sumpah Pemuda 1928 bahasa Indonesia diakui sebagai bahasa persatuan. Dan setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, bahasa Indonesia diresmikan sebagai bahasa resmi.

Nasionalisme sesungguhnya adalah suatu paham kebangsaan yang berasal dari kebudayaan Eropa modern. Lahirnya bahasa Indonesia dan sastra Indonesia adalah hasil pertemuan bahasa dan sastra Melayu dengan paham-paham yang

(10)

berasal dari kebudayaan Eropa modern itu. Paham-paham dan bentuk-bentuk sastra Eropa seperti soneta, roman, esai, kritik dan cerita pendek kemudian banyak diikuti dan menemui perkembangan yang subur. Berikut ini adalah pembabakan waktu sejarah sastra Indonesia:9

I. Masa Kelahiran atau Masa Penjadian (tahun 1900-1945) yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa periode, yaitu:

1. Periode awal hingga 1933 2. Periode 1933-1942 3. Periode 1942-1945

II. Masa Perkembangan (tahun 1945 hingga sekarang) yang dapat pula dibagi menjadi beberapa periode sebagai berikut:

1. Periode 1945-1953 2. Periode 1953-1961

3. Periode 1961 sampai sekarang

• Periode 1900-1933

Pada tahun 1843 pemerintah jajahan Belanda mendapat kekuasaan dari Raja untuk mempergunakan uang setiap tahunnya untuk keperluan sekolah-sekolah. Sekolah itu didirikan untuk anak orang-orang bumiputra, terutama para priyayi yang akan dijadikan pegawai setempat. Dengan didirikannya sekolah-sekolah itu meningkatlah pendidikan dan timbulah kegemaran akan membaca, dan melalui bacaan-bacaan dalam bahasa Belanda, bangsa Indonesia mulai mengerti akan kedudukan dirinya sebagai bangsa yang dijajah.

Beberapa orang berbakat yang menyadari hal ini lalu mulai menulis rupa-rupa karangan, baik berbentuk uraian maupun berbentuk cerita, yang sifatnya memberi penerangan kepada rakyat. Suratkabar tersebut tidak hanya di Melayu atau Jakarta saja, melainkan tersebar di berbagai kota lain. Tetapi sepanjang yang sudah diketahui, baru sesudah tahun 1900 ada suratkabar yang memuat karangan yang bersifat sastra atau yang dapat digolongkan kepada karya sastra. Pada awal abad ke-20 misalnya di Bandung ada suratkabar Medan Prijaji yang memuat cerita bersambung berbentuk roman. Seperti sebuah roman yang berjudul Hikajat

(11)

Siti Mariah yang ditulis oleh H. Moekti. Pada masa awal ini, banyak karangan yang memiliki sifat dan isi yang menghasut rakyat untuk berontak, maka karya-karya itu secara populer disebut ‘bacaan liar’.

Sementara itu kaum terpelajar Indonesia yang sudah mendapat pendidikan barat, karena menguasai bahasa Belanda dapat pula membaca buku-buku buahtangan para pengarang Belanda yang membela hak kemerdekaan bangsa pribumi. Maka pada tahun 1908 didirikanlah Komisi Bacaan Rakyat yang pada tahun 1917 berubah menjadi kantor Bacaan Rakyat atau yang lebih dikenal sebagai Balai Pustaka.

Pekerjaan komisi ini mula-mula memeriksa dan mencetak segala naskah-naskah cerita rakyat terutama yang ditulis dalam bahasa daerah. Tetapi kemudian juga mencetak buku terjemahan dari cerita yang mengisahkan kepahlawanan orang Belanda dan cerita-cerita klasik Eropa. Sejak itu banyak roman yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, dan lahirnya pengarang-pengarang berbakat seperti Muhammad Yamin, Rustam Effendi, dan Sanusi Pane.

• Periode 1933-1942

Pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Alisjahbana berhasil mendirikan majalah Poedjangga Baroe (1933-1942 dan 1949-1953). Pada mulanya keterangan resmi tentang majalah itu berbunyi “Majalah kesusastraan dan bahasa serta kebudayaan umum”, tetapi sejak tahun 1935 berubah menjadi “Pembawa semangat baru dalam kesusastraan, seni, kebudayaan dan soal masyarakat umum” dan sejak 1956 bunyinya berubah pula menjadi “Pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”.

Segera majalah Poedjangga Baroe menjadi tempat berkumpul kaum budayawan, seniman dan cendekiawan Indonesia pada masa itu. Berturut-turut dalam lingkungan majalah itu kita saksikan munculnya nama-nama Armijn pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Mr. Sumanang, Mr. Amir Sjarifuddin, Moh. Sjah, Ng. Purbatjaraka, W.J.S. Purwadaminta, H.B. Jassin dan lainnya sebagai anggota redaksi.

(12)

Kelahiran majalah Poedjangga Baroe yang banyak melontarkan gagasan-gagasan baru dalam bidang kebudayaan itu bukan tidak menimbulkan reaksi. Keberaniannya menandaskan bahwa bahasa Indonesia, bukanlah bahasa Melayu, menimbulkan berbagai reaksi. S. Takdir dalam salah satu esainya dalam tahun pertama (1933) menulis antara lain “Bahasa Indonesia ialah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh perlahan-lahan dikalangan penduduk Asia Selatan dan yang setelah bangkitnya pergerakan kebangunan rakyat Indonesia pada permulaan abad 20 dengan insaf diangkat dan dijunjung sebagai bahasa persatuan”.10 Sikap ini menimbulkan reaksi dari para tokoh bahasa yang kuat berpegang kepada kemurnian bahasa Melayu Tinggi seperti H. Agus Salim, Sutan Muhammad Zain, dan S.M. Latif. Maka terjadilah polemik tentang bahasa yang tidak hanya dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe saja, melainkan juga dalam suratkabar dan majalah yang terbit pada masa itu.

Di periode ini, juga mulai lahir para pengarang wanita, seperti Selasih atau Seleguri yang keduanya merupakan nama samaran dari Sariamin, yang menulis roman dan sajak-sajak. Pengarang wanita lainnya adalah Hamidah yang merupakan nama samaran Fatimah H. Delais, Adlin Affandi dan Sa’adah Alim yang masing-masing menulis sandiwara, Maria Amin yang menulis sajak-sajak dalam majalah Poedjangga Baroe.

Di tahun 20an sudah mulai dimuat cerita-cerita pendek yang sifatnya hiburan. Pada tahun 1936 atas usaha Balai Pustaka, cerita-cerita lucu yang ditulis oleh M. Kasim dibukukan dengan judul Teman Duduk. Sedangkan kesedihan sebagai motif penulisan cerpen menjadi bahan yang produktif bagi Hadji Abdul Malik Karim ‘Amrulah yang lebih terkenal sebagai Hamka. Sedangkan yang cerpennya lebih berhasil ditinjau dari segi sastra adalah Armijn Pane. Dari cerpen-cerpennya itu nampak usaha Armijn untuk membuat lukisan dari kenyataan hidup sehari-hari pada jamannya.

Dalam bidang penulisan drama, drama pertama dalam bahasa Indonesia ialah yang ditulis oleh Roestam Effendi berjudul Bebasari (1924). Beberapa penulis drama lain yang eksis menulis lebih dari satu judul antara lain: Muhammad Yamin, Sanusi Pane, dan Armijn Panelah.

(13)

• Periode 1942-1945

Periode ini bisa dikatakan sebagai jaman penjajahan Jepang. Oleh Jepang, bahasa Belanda dilarang dan bahasa Indonesia dijadikan satu-satunya bahasa yang harus dipergunakan di seluruh kepulauan dan dalam seluruh bidang kehidupan. Tentu saja maksudnya kemudian akan mengganti dengan bahasa Jepang, tapi karena waktu mereka di Indonesia hanya tiga setengah tahun, maka sebelum diganti dengan bahasa Jepang, Jepang sudah kalah dan bahasa Indonesia sudah tetap dan kuat kedudukannya.

Situasi perang dan penderitaan lahir batin dijajah Jepang telah mematangkan jiwa bangsa kita, juga pada masa inilah kita menyaksikan bahasa Indonesia mengalami pematangan, lewat semakin matangnya nama Chairil Anwar dalam dunia sastra, yaitu seperti terlihat dalam sajak-sajak Chairil Anwar dan prosa Idrus. Bahasa Indonesia bukan lagi hanya sekedar alat untuk bercerita atau menyampaikan berita tetapi telah menjadi alat pengucapan sastra yang dewasa. Chairil Anwar dengan usaha-usahanya tak jemu-jemu mengadakan percobaan dengan kata-kata. Usahanya itu telah menyebabkan dimulainya suatu tradisi puisi Indonesia yang mempunyai kemungkinan hampir tak terbatas. Bahasa sajak Chairil Anwar bukan lagi bahasa buku yang terpisah dari kehidupan, tetapi bahasa sehari-hari yang menulang-sumsum, membersit spontan.11

kata dipilihnya dengan cermat dan teliti sampai pada intinya. Kata-kata pada sajak Chairil dicoba supaya tidak hanya memberikan gambaran atau tanggapan tentang hidup, tetapi dapat menjelmakan hidup itu sendiri.

Kehidupan yang kacau dalam bidang ekonomi juga mengajar para pengarang Indonesia supaya belajar hemat dengan kata-kata. Setiap kata, setiap kalimat, setiap alinea ditimbang dengan matang, baru disodorkan kepada pembaca. Juga segala perbandingan yang penuh dengan retorika yang menjadi ciri dan kegemaran para pengarang Poedjangga Baroe, telah ditinggalkan. Seperti dalam prosa karangan Idrus, cara penulisan yang serba sederhana. Bidang perhatian dalam memilih materi untuk menulis sastra menjadi lebih sederhana, yang menjadi perhatian para pengarang bukanlah lagi masalah yang pelik ataupun

(14)

kehidupan yang rumit-rumit, melainkan kenyataan sehari-hari yang nampak didepan mereka.

• Periode 1945-1953

Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia memberikan sesuatu yang baru. Sajak-sajaknya tidak seperti sajak-sajak Amir Hamzah yang betapapun masih mengingatkan kita pada sastra Melayu, meskipun sajak-sajak Amir memang indah dan bernilai tinggi. Bahasa yang digunakannnya adalah bahasa Indonesia yang hidup, yang berjiwa. Bukan lagi bahasa buku, melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra. Karena itulah ada orang yang berpendapat bahwa baru dengan sajak-sajak Chairil Anwarlah sebenarnya sastra Indonesia lahir, sedangkan karya-karya Amir Hamzah, Sanusi Pane, Takdir Alisjahbana dan lainnya dianggap sebagai hasil sastra Melayu saja.

Segera Chairil Anwar mendapat pengikut, penafsir, pembela dan penyokong. Dalam bidang penulisan puisi muncul para penyair, seperti Asrul Sani, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, P. Sengodjo, Dodong Djiwapradja, S. Rukiah, Walujati, Harjadi S. Hartowardoyo, Muhammad Ali, dan lain-lain.

Dengan munculnya kenyataan itu, banyak orang yang berpendapat bahwa suatu angkatan kesusastraan baru telah lahir. Pada mulanya angkatan ini disebut dengan berbagai nama, ada yang menyebutnya Angkatan Sesudah Perang, ada yang menamakannya Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Kemerdekaan, dan lain-lain. Baru pada tahun 1948, Rosihan Anwar menyebut angkatan ini dengan nama Angkatan 45. Nama ini segera menjadi populer dan dipergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi.

• Periode 1953-1961

Setelah Chairil Anwar meninggal dunia, lingkungan kebudayaan seniman seakan-akan kehilangan vitalitas. Pada tahun 1953, di Amsterdam diselenggarakan sebuah simposion tentang kesusastraan Indonesia, yang berbicara dalam simposion itu antara lain, Asrul Sani, S. Takdir Alisjahbana, Dr. Wertheim dan lain-lain. Di sinilah untuk pertama kali dibicarakan tentang kemacetan dan

(15)

krisis sastra Indonesia sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia, tetapi persoalan tentang krisis, baru menjadi bahan pembicaraan yang ramai ketika terbit majalah Konfrontasi pada pertengahan tahun 1954. Dalam nomer pertama majalah itu dimuat sebuah esai Sudjatmoko berjudul ‘Mengapa Konfrontasi?’. Dalam karangan itu secara tandas dikatakan oleh penulisnya bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis.

Dalam esainya itu Sudjatmoko melihat adanya krisis sastra sebagai akibat dari krisis kepemimpinan politik. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sastra indonesia sedang mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang berlingkar sekitar psikologisme perseorangan semata-mata, dan roman besar tidak ditulis sama sekali. Penulis cerpen yang cukup berperan pada periode ini adalah A.A. Navis dan Trisnojuwono. Sedangkan para penyairnya, antara lain: Toto Sudarto Bachtiar dan W.S. Rendra. Di dunia penulisan drama ada Nasjah Djamin dan H.M. Jusa Biran. Selain itu juga lahir seorang pengarang wanita yaitu Nh. Dini.

• Periode 1961-sekarang

Pada masa ini, jumlah pengarang muda yang menulis esai lumayan banyak, beberapa orang pengarang baru adalah Goenawan Mohamad, Arief Budiman yang pada masa itu masih bernama Soe Hok Djin, D.A. Peransi dan lain-lain. Di samping esai, penulisan kritik sastra juga menjadi ramai, seperti Boen S. Oemarjati, M.S. Hutagulung, Virga Belan, dan Salim Said.

Di tengah-tengah sajak-sajak, cerpen-cerpen, esai-esai yang menyajikan kemenangan perjuangan yang ditulis, timbullah perlawanan para pengarang yang ingin membela martabat manusia, yang ingin membela kemerdekaan manusia yang diinjak-injak oleh tirani mental dan fisik. Sajak-sajak, cerpen-cerpen, terutama esai-esai yang ditulis pada masa itu banyak yang merupakan protes sosial dan protes terhadap penginjakkan martabat manusia. Puncak daripada sastra perlawanan ini adalah sajak-sajak Taufiq Ismail, Mansur Samin, Slamet Kirnanto, Bur Rasuanto yang ditulis di tengah-tengah demonstrasi mahasiswa dan pelajar pada awal tahun 1966, dan sejak itu angkatan ini menamakan dirinya Angkatan 66.

(16)

Tugas Angkatan 66 ini ialah untuk membela Pancasila dan menjaga jangan sampai timbul lagi tirani, demi untuk mengisi revolusi guna mencapai sosialisme Indonesia. Revolusi bukanlah sesuatu yang berdiri di luar diri, tapi terutama adalah proses pekaryaan, proses penciptaan, dan proses pengalaman.12

Jelas bahwa sajak-sajak perlawanan itu merupakan suatu klimaks dari suatu periode. Para pengarang dan penyair Indonesia tidak hanya memperhatikan kehidupan sastra saja, tetapi juga kehidupan bangsa dan martabat kemanusiaan umumnya.

Selanjutnya tema-tema, amanat, dalam karya sastra dan visi kepengarangan banyak mengalami perkembangan, namun perkembangan sastra Indonesia tidak hanya terbatas pada itu saja tetapi juga terlihat pengaruhnya terhadap struktur karya sastra tersebut. Terhadap setting, plot, penokohan, maupun gaya bahasa di dalam roman, novel, dan cerpen, dan terhadap unsur musikalitas ataupun gaya bahasa di dalam puisi-puisi.

2.2.1.3. Jenis-jenis Karya Sastra

• Roman dan Novel

Merupakan karya sastra yang paling banyak ditulis. Tokoh-tokohnya antara lain: N.St. Iskandar, M. Dimyati, Hamka, A.Pt. Madjoindo, S. Hardjosoemarto, Taufiq Ismail, Achdiat Kartamihardja, Aoh Kartahadimadja, Rosidi, Rusli, I Gusti Nyoman Pandji Tisna, dan para pengarang wanita seperti Hamidah, Selasih, Saadah Alim, Rukiah, Nh. Dini, Titie Said, dan lain-lain.

• Kumpulan Cerita Pendek

Tokoh-tokohnya antara lain: Motinggo Boesje dan Salsiah Tjahjaningsih.

• Kumpulan Sajak

Menduduki tempat ke-3 ialah kumpulan sajak. Tokoh-tokohnya antara lain: Chairil Anwar, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Takdir Alisjahbana, Asrul Sani, Rivai Apin, W.S. Rendra, Toto Sudarto Bachtiar, M. Akbar Djuhana, P. Sengodjo, Dodong Djiwapradja, S. Rukiah, Walujati, Harjadi S. Hartowardoyo, Muhammad Ali, Hamidah, Taufiq Ismail, Mansur Samin, Slamet Kirnanto, Bur Rasuanto dan lain-lain.

(17)

• Drama

Tokoh-tokohnya antara lain: Mohammad Yamin, Sanusi Pane, Armijn Pane, Saadah Alim, dan Mh. Rustandi.

• Biografi

Biografi masih sedikit sekali ditulis orang, baik itu berupa otobiografi ataupun biografi orang lain.

• Kisah Perjalanan

Jenis kisah perjalanan yang juga adalah semacam otobiografi, rupanya belum begitu populer, atau lebih tepat, minat pembaca cukup besar, tapi pengarang-pengarang Indonesia tidak cukup kuat keuangannya untuk melakukan perjalanan ke mana-mana. Tokoh-tokohnya antara lain ialah: Adinegoro, Rosihan Anwar, Hamka, Mochtar Lubis, A. Bastari Asnin dan Djamil Suherman.

• Studi Sastra, Kritik dan Esei

Karya sastra yang mencolok kemajuannya ialah pembahasan kesusastraan, berupa kritik dan esei, serta pembicaraan teori. Dua tokoh yang terkenal yaitu H.B. Jassin dan Sitor Situmorang.

2.2.2. Teori Puisi 2.2.2.1. Definisi Puisi

Menurut Ensiklopedia Indonesia, kata puisi berasal dari bahasa Yunani

poiesis yang berarti penciptaan. Tetapi arti yang semula ini lama kelamaan semakin dipersempit ruang lingkupnya menjadi hasil seni sastra, yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dan terkadang dengan kata-kata kiasan.13

Sedangkan menurut beberapa tokoh adalah sebagai berikut: 14

• Vencil C. Coulter: “Dalam bahasa Inggris padanan kata puisi ini adalah poetry

yang erat berhubungan dengan kata poet dan poem. Kata poet berasal dari kata Yunani yang berarti membuat/mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri kata poet

berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang

13

(18)

berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan seorang filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi”.

• Ralph Waldo Emerson: “Puisi merupakan upaya abadi untuk mengekspresikan jiwa sesuatu, untuk menggerakkan tubuh yang kasar dan mencari kehidupan dan alasan yang menyebabkannya ada. Karena bukannya irama melainkan argumen yang membuat iramalah (yaitu ide atau gagasan) yang menjelmakan suatu puisi. Sang penyair mempunyai suatu pikiran baru, dia mempunyai keseluruhan pengalaman baru untuk disingkapkan, dia ingin mengutarakan kepada kita betapa caranya pengalaman itu bersatu dengan dia dan semua orang akan mempunyai perbendaharaan yang lebih kaya dengan pengalaman tersebut”.

• Edgar Allan Poe: “Puisi kata sebagai kreasi keindahan yang berirama. Ukuran satu-satunya untuk itu ialah rasa. Dengan intelek ataupun dengan kesadaran, puisi itu hanyalah memiliki hubungan-hubungan sekunder saja. Kalau tidak bersifat isidental, maka puisi itu tidak mempunyai hubungan apapun baik dengan kewajiban maupun dengan kebenaran”.

• Isaac Newton: “Puisi adalah nada yang penuh keaslian dan keselarasan”.

• Samuel Johnson: “Puisi adalah peluapan spontan dari perasaan-perasaan yang penuh daya, dia bercikal-bakal dari emosi yang berpadu kembali dalam kedamaian”.

• Percy Byssche Shelley: “Puisi adalah rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling menyenangkan dari pikiran-pikiran yang paling baik dan paling menyenangkan”.

• Emily Dickinson: “Bila aku membaca sebuah buku dan dia dapat membuat tubuhku begitu sejuk sehingga tiada api yang dapat memanaskan aku, maka aku tahu itu adalah puisi. Kalau aku secara fisik merasa seolah-olah ubun-ubunku berdenyut-denyut, maka aku tahu bahwa itu adalah puisi. Hanya dengan cara inilah aku mengenal puisi.

• Watts Dunton: “Puisi adalah ekspresi yang konkrit dan bersifat artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama”.

• Lescelles Abercrombie: “Puisi adalah ekspresi dari pengalaman yang bersifat imajinatif yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang

(19)

bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa, yang memanfaatkan setiap rencana dengan matang dan tepat guna”.

2.2.2.2. Sejarah Perkembangan Puisi Indonesia

Puisi Indonesia dibagi dua yaitu puisi lama dan puisi baru, atau lebih tepatnya disebut puisi tradisional dan puisi modern. Puisi tradisional adalah puisi yang tidak mendapat pengaruh kesusastraan Barat. Contohnya adalah pantun, syair dan gurindam. Puisi tradisional tidak lagi mendapat tempat sekarang sebagai bentuk kesusastraan yang benar-benar. Pemakaian pantun sekarang ini tidak lagi dianggap sebagai sebuah bentuk sastra, dan mungkin berupa sastra rakyat begitu saja. Perubahan dari puisi tradisional ke puisi modern dimulai di Indonesia pada tahun-tahun dua puluhan.

Penyair yang mula-mula menggunakan puisi baru adalah orang-orang yang melihat kesusastraan sebagai lambang kebebasan dari masa lampau dan masa yang ada ketika itu. Mereka adalah orang-orang yang terdidik dengan pendidikan barat dan merasa berbeda dari kebanyakan orang lain yang tidak mendapat hal yang sama. Untuk menyatakan kebebasan dan kelainan mereka, mereka merasa perlu untuk menciptakan sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda dari yang ada sebelumnya. Dan sesuai dengan perkenalan mereka yang dekat dengan kesusastraan barat, mereka mencoba menimba sesuatunya dari perbendaharaan kesusastraan barat. Orang-orang itu antara lain adalah Muhamad Yamin, Rustam Effendi, dan Sanusi Pane. Bagi mereka, terikat dengan yang lama berarti tidak ada kebebasan.

Tetapi disamping itu, ada hal lain yang lebih utama, yaitu perbedaan hakikat antara puisi tradisional dan puisi modern yang berasal dari barat.

Puisi tradisional Melayu yang dikenal mereka dan boleh dianggap sebagai bagian dari tradisi mereka adalah puisi yang tertutup. Yang dimaksud dengan puisi tertutup adalah puisi yang penggunaannya terbatas kepada hal-hal tertentu dan bentuk yang ada telah terikat kepada ikatan tertentu. Untuk menjelaskan hal ini perhatikan pantun dan syair sebagai dua bentuk puisi tradisional yang paling umum dikenal dan digunakan.

(20)

Pantun adalah sebuah bentuk puisi yang terutama digunakan sebagai alat dalam bertanya jawab antara dua orang, misalnya antara seorang teruna dan seorang dara, atau bagian dari ratapan yang dinyanyikan seperti pada nyanyian-nyanyian. Karena sifatnya itu maka puisi ini tak mungkin digunakan untuk kepentingan yang lain dari itu. Puisi itu tak mungkin digunakan sebagai pernyataan perasaan dan pikiran, padahal pernyataan perasaan dan pikiran ini dianggap sebagai unsur utama dari perkembangan puisi baru pada tahun 20an di Indonesia. Mereka waktu itu mencoba menyatakan pandangan mereka tentang keadaan yang mereka lihat, menyatakan ketidaksenangan mereka terhadap apa yang ada. Hal ini sejalan kiranya dengan pernyataan mereka terhadap kebebasan mereka dari keadaan yang ada dan kelainan mereka dari apa yang ada.

Di samping itu, pantun juga terikat kepada aturan persajakan yang tertentu dan yang tak dapat dirombak begitu saja. Sebait pantun, diambil dalam arti yang agak luas, harus terdiri dari jumlah baris yang genap, dua, empat, enam, atau delapan. Pantun tidak mungkin terdiri dari jumlah baris yang ganjil, karena akan ada satu baris yang tidak punya hubungan dengan baris lainnya. Dalam hal ini hendaklah diingat bahwa sebait pantun mempunyai dua bagian utama, yaitu bagian isi (maksud) dan unsur pelompatan peristiwa dengan sampiran yang merupakan lukisan alam dan isi yang berhubungan dengan manusia (bukan alam). Jumlah baris sampiran harus sama dengan jumlah baris isi. Tanpa sampiran, maka serangkum puisi tak mungkin dikatakan sebagai pantun. Dan kedua hal yang terpisah ini dihubungkan melalui persamaan bunyi.

Disamping itu, ada pembatasan lain dalam hubungan panjang pendek sebuah baris dalam pantun. Baris dalam sebuah pantun biasanya mempunyai kira-kira 4 hingga 6 kata, tergantung kepada panjang pendeknya sebuah kata. Atau dengan kata lain sebuah baris pantun mempunyai jumlah suku kata sebanyak 8 sampai 12. Dan satu hal yang penting juga bagi sebuah bait pantun ialah adanya rima pada akhir setiap baris yang berupa abab, yaitu baris pertama bersajak dengan baris ketiga, dan baris kedua dengan baris keempat.

Syair juga mempunyai pembatasan yang tak kurang dari sebuah pantun. Syair dalam tradisi kesusastraan biasanya digunakan untuk kepentingan menceritakan sesuatu, sesuatu cara untuk berkisah. Karena itu, tidak biasa ada

(21)

syair yang terdiri atas kumpulan beberapa bait syair saja. Kedua keadaan ini berbeda dengan gejala perkembangan puisi modern. Puisi itu biasanya mereka gunakan untuk menyatakan perasaan tentang sesuatu, dan bukan untuk men-ceritakan tentang sesuatu. Di samping itu mereka tidak berusaha untuk mengatakan hal itu dalam jumlah rangkap atau bait yang banyak sekali. Jumlah bait dalam satu puisi mereka biasanya terbatas kepada beberapa bait saja, biasanya tidak melebihi dari 10. Bahkan dalam puisi yang lebih kemudian banyak pula puisi yang hanya punya satu bait saja.

Bait sebuah syair selalu terdiri dari empat baris. Jumlah perkataan atau suku kata dalam sebuah baris juga terbatas sebagai yang ada dalam sebuah bait pantun, yaitu antara 4 hingga 6 kata atau antara 8 hingga 12 suku kata. Beda yang pertama kali dapat dilihat antara sebait pantun dengan sebait syair, yaitu tidak adanya pembagian sampiran dan isi pada sebuah bait syair, dan rima bait syair ialah aaaa bukan abab. Semua baris dalam sebait syair akan berakhir dengan bunyi yang sama.

Begitulah, puisi tradisional yang dikenal ketika itu terlampau mengungkung kebebasan mereka, malah penggunaan yang dianggap umum dari puisi tradisional itu, tidak sesuai dengan apa yang ingin dinyatakan oleh penyair-penyair baru itu. Gurindam yang dalam beberapa hal kelihatan lebih bebas dari pantun dan syair, juga mempunyai pembatasan yang kadangkala tak dapat dihilangkan. Meskipun jumlah baris dan pola persajakan gurindam tertentu, yaitu dua baris dalam satu rangkap atau bait dan bersajak aa, namun jumlah kata perbaris boleh bebas. Yang harus dijaga adanya keseimbangan jumlah kata antara satu baris dengan baris lainnya. Di sinilah kebebasan yang ada dalam gurindam. Dalam bagian lain ia lebih terasa dekat dengan syair. Sesuai dengan itu ia lebih kelihatan sebagai puisi untuk berkisah daripada puisi untuk menyatakan perasaan.

Akibat dari keadaan yang ada pada sifat hakiki puisi tradisional dan ditambah dengan keinginan mereka untuk melepaskan diri dari kebiasaan lama yang biasanya begitu saja dianggap tidak baik, mereka mencoba mencari bentuk-bentuk puisi baru yang mungkin mereka dapat dari perkembangan puisi Barat.

Ada dua hal utama yang dapat dilihat penyair-penyair yang memulai pembaruan puisi Indonesia pada puisi Eropa ialah kebebasan yang lebih banyak

(22)

dan kemungkinan puisi itu digunakan bagi keperluan pernyataan pandangan dan perasaan mereka. Puisi Eropa sebagaimana yang mereka lihat tidak begitu terikat kepada jumlah baris dalam satu bait. Jumlah barisnya boleh berapa saja. Mereka tidak begitu terikat dengan akhir dari kata yang terakhir dalam satu.baris. Mereka. boleh memberikan pola persajakan tersendiri untuk puisi yang ingin mereka ciptakan itu. Yang diperlukan hanya pada satu bait itu terjadi pola persajakan tertentu. Selain itu ada keuntungan lain dengan pemakaian bentuk puisi barat yaitu dapat digunakan untuk menyatakan pikiran dan perasaan, bukan untuk bercerita dan bertanya jawab seperti yang ada pada puisi tradisional.

Perubahan yang wajar tak mungkin berlaku dalam sekejap mata, melainkan akan melalui suatu proses. Perubahan pertama biasanya meliputi satu aspek saja, dan ada aspek-aspek yang tak terkena oleh perubahan. Contohnya dapat kita lihat dari sajak Abdullah, yang telah mengadakan perubahan, tapi perubahan yang dilakukannya adalah perubahan isi. Abdullah telah mengubah dari isi yang berpusat di dalam kehidupan istana kepada kehidupan sehari-hari yang dilihatnya sendiri. Tapi tidak ada perubahan bentuk sastra yang utama. Begitu juga halnya dengan perubahan yang dilakukan Yamin terhadap puisi Melayu. Puisinya tidak lagi berupa pantun, syair dan gurindam, namun begitu ia masih belum dapat melepaskan diri dari unsur-unsur tradisional, terutama pantun dan syair. Puisinya masih mengandung unsur pantun dan syair.

Sebelumnya perlu diketahui unsur utama puisi tradisional. Puisi tradisional adalah puisi lisan, dan dengan demikian, bunyi memegang peranan penting. Sesuai dengan ini, keadaan dalam pemakaian lisan puisi itu akan berpengaruh. Baris-barisnya tak mungkin akan panjang sekali dan juga tidak pendek sekali. Dalam pembacaan ada cara tertentu. Karena itu, dalam puisi lisan ada suatu kesatuan pembacaan. Akibatnya, panjang baris akan menjadi terbatas dan baris-baris itu diucapkan menurut kesatuan-kesatuan pembacaan yang lebih keci1. Biasanya, sebuah baris terdiri dari dua kesatuan pembacaan, biasa dikatakan caessura. Di samping. itu, permainan bunyi juga memegang peranan penting, seperti rima pantun dan syair. Sesuai dengan ini, kalau puisi itu dituliskan, maka itu adalah ‘pencatatan apa yang diucapkan’ dan bukan

(23)

‘pencatatan apa yang dipikirkan’. Pendeknya, puisi itu adalah untuk dibacakan, yang berbeda dengan puisi modern.

Meskipun begitu, Yamin juga telah melakukan beberapa perubahan, dapat dilihat dalam salah satu puisinya, terjadi puisi dengan 7 baris dalam satu bait dengan pola persajakan aaabccc. Dengan masuknya puisi dengan jumlah baris per bait yang berbeda-beda ini, ada sistem baru dalam perpuisian Melayu, yang tidak didasarkan kepada pantun, syair dan gurindam. Masing-masing bait mendapat nama sesuai dengan jumlah baris yang dipunyainya. Namun begitu yang paling sedikit adalah dua baris. Jumlah baris paling tinggi kira-kira sepuluh, meskipun ada yang lebih, biasanya bergerak antara dua dan sembilan.

Di samping masuknya puisi dengan jumlah baris yang bermacam-macam tadi, masuk pula soneta yang pertama kali berkembang pada zaman Renaissance di Itali. Soneta masuk ke Indonesia melalui kesusastraan Belanda.

Soneta mungkin terdiri dari beberapa bait dan jumlah baris semuanya 14. Sebuah soneta dianggap mempunyai dua bagian, bagian pertama dan kedua. Bagian pertama dikatakan terdiri dari 8 baris, sedangkan bagian kedua 6 baris. Biasanya 8 baris pertama ada dalam dua bait yang masing-masing terdiri dari 4 baris, sedangkan bagian kedua ada dalam dua bait pula yang masing-masing terdiri dari 3 baris. Dan berdasarkan jumlah baris ini, masing-masing dinamakan sebagai octave dan sextet. Rima soneta tak begitu tetap, tapi dalam sebuah

kuatrain (rangkap empat) ada dua-dua baris yang sama rima akhirnya sehingga rima akhirnya kira-kira sebagai: aabb, abab, aaaa, dan abba.Kemungkinan yang sama terjadi pula dengan sebuah terzina (rangkap tiga) dengan kemungkinan rima sebagai cde, cdd, cdc, ccd.

Sebuah soneta mempunyai dua bagian, yaitu bagian yang terdiri dari 8 baris pertama, dan bagian 6 baris kedua. Bagian pertama lebih banyak merupakan sampiran alam sebuah bait pantun, karena sifatnya yang berupa lukisan keadaan alam. Pada baris kedua baru biasanya dinyatakan pokok pikiran sebenarnya yang ingin dinyatakan. Dengan demikian, bagian kedua ini adalah isi dari sebuah soneta.

(24)

Sebegitu jauh perkembangan puisi yang ada dapat dikatakan meliputi hal-hal sebagai berikut:15

• Perubahan bentuk dari bait yang ada. Kalau pada mulanya hanya dikenali pantun dan syair dengan hukum-hukumnya sendiri, maka sekarang telah ada bentuk puisi yang lain yang memiliki ciri seperti berikut:

(i) Bait yang jumlahnya boleh berapa saja.

(ii) Bait yang tidak terikat dengan pola persajakan tertentu. Ia tidak perlu bersajak aaaa sebagai sebuah bait syair, atau abab sebagai bait pantun.

(iii) Bait yang tidak memakai sampiran.

(iv) Puisi yang boleh digunakan untuk menyatakan perasaan dan pikiran, dan tidak terbatas kepada berkisah seperti pada syair, atau berjawab-jawaban seperti pada pantun.

• Perubahan itu tidak bersifat radikal, hingga masih dapat dirasakan adanya unsur pantun dan syair. Dalam puisi itu masih terasa unsur berkisah seperti dapat terlihat dengan jelas pada puisi Sawah dari A. Hasjmi, yang diturunkan di sini (diambil dua bait saja).

Sawah tersusun di lereng gunung, Berpagar dengan Bukit Barisan, Sayup-sayup ujung ke ujung, Padi mudanya hijau berdandan. Di danau perawan duduk menyulam, Matanya memandang padi huma, Sekali-kali ia bernalam,

Dipetik dari hati mudanya.

• Perubahan yang agak lain ialah masuknya soneta, yang seperti dikatakan tadi mempunyai unsur pantun. Tapi bagaimanapun juga, puisi tadi telah menunjukkan kebebasan, yang memang tidak dipunyai oleh puisi tradisional. Bahkan soneta juga mempunyai sebuah kebebasan, walaupun ia sebenarnya merupakan puisi tertutup. Sebuah soneta dapat berubah menjadi sebuah puisi terbuka dalam pengertian yang terbatas dengan adanya kemungkinan penambahan yang dikatakan sebagai koda (cauda). Koda ialah bagian yang ditambahkan kepada

15

(25)

sebuah soneta kalau seandainya isi yang dikehendaki belum lagi dapat dinyatakan dalam baris-baris yang ada.

Percobaan yang lebih berani dilakukan oleh beberapa penyair di waktu sesudahnya, berikut akan dijelaskan secara singkat penyair dan perubahan yang dilakukan dalam pembentukan dan perkembangan puisi modern.

• Rustam Effendi

Pertama kali memperkenalkan bait-bait dengan baris-baris yang kelihatan tidak sama karena keteraturannya harus dilihat dalam perulangan bait yang tidak sama itu dalam sebuah sajak. Bait-bait dalam sebuah sajak itu akan mempunyai pola yang sama meskipun kelihatan tidak beraturan. Rustam juga mengenalkan teknik baru dalam puisi Melayu, yaitu teknik enjambement, digunakan untuk mengejar jumlah pada meter yang diperlukan sehingga dalam puisi setiap baris bersambung begitu saja dari baris sebelumnya.

• Amir Hamzah

(i) Penghilangan konsep pola sajak, hingga sajak-sajaknya terasa sebagai sebuah sajak bebas dalam arti yang agak terbatas.

(ii) Keadaan yang ada pada (i) berhubungan dengan pentingnya pernyataan pikiran pada Amir dibandingkan dengan pentingnya pola sebagai yang ada pada penyair-penyair yang terdahulu.

(iii) Namun begitu, Amir tidak melupakan keindahan sajak dalam segi unsur bunyi. Dan ini dicarinya dengan jalan permainan unsur bunyi yang terasa tidak dipaksa-paksakan. Amir mencari kesamaan bunyi dalam baris daripada antar baris. Ada pun permainan bunyi yang dilakukan Amir itu berupa aliterasi, asonansi, dan perulangan kata-kata dengan pola-pola yang sama.

• Charil Anwar

(i) Perubahan dari puisi kata ke puisi kalimat.

(ii) Kesadaran tentang tugas baris dan bait dalam sebuah sajak. Baris dan bait menurut Chairil adalah suatu kesatuan yang fungsional, bukan untuk keperluan adanya sajak saja. Dimana makna yang terkandung dalam setiap baris ataupun bait tidak terbatas pada satu makna saja.

(26)

(iii) Kesadaran yang lebih mendalam tentang penggunaan bahasa dalam sebuah sajak, sehingga pemakaian bahasa itu betul-betul diperhitungkan, dan kalau perlu dipermainkan demikian rupa hingga dapat mewujudkan suatu isi yang padat. (iv) Penggunaan kata-kata lebih diutamakan kepada kemungkinan arti yang dipunyainya daripada kemungkinan bunyi yang dikandungnya.

(v) Sesuai dengan (iv), perulangan untuk keperluan bunyi boleh dikatakan tak ada pada sajak-sajak Chairil. Kalau ada perulangan, maka itu akan menambah kedalaman arti yang ada.

(vi) Puisi menjadi puisi tulisan.

• W.S. Rendra

(i) Perkembangan suatu peristiwa yang berupa garis lurus tapi perkembangan ini seakan-akan terputus-putus karena urutan itu diselingingi oleh peristiwa lain atau oleh bait-bait yang merupakan ulangan belaka. Ini menyebabkan dalam sajak-sajak Rendra seakan-akan adanya dua lukisan yang bertentangan, movement dan

static. Pada urutan peristiwa kita lihat adanya gerak tapi dengan adanya ulangan, gerak itu seakan-akan dihentikan, menjadi statik. Ini pula yang memberikan keindahan khusus pada sajak-sajak Rendra, meskipun keindahan pada beberapa sajaknya tidak selalu terjadi karena adanya ulangan.

(ii) Jika tidak ada keadaan (i), sajak-sajak Rendra adalah suatu kumpulan pernyataan yang seakan-akan terpisah-pisah tapi kemudian menjadi satu kesimpulan. Sifat baris dan bait sajak-sajak Rendra disesuaikan dengan cara ia menceritakan sesuatunya. Ketika ia menggunakan suatu urutan peristiwa, maka baris-baris/bait-bait akan berhubungan secara langsung. Tapi ketika ia mengemukakan suatu kumpulan pernyataan, baris-baris/bait-bait seakan-akan terputus.

(iii) Bahasa dalam sajak-sajak Rendra digunakan dengan efektif sekali. Perulangan yang kelihatan sebagai pemborosan, digunakan dengan efektif pula untuk membentuk keindahan.

(iv) Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata biasa. Ia sama sekali tidak memaksa menggunakan unsur kata-kata indah, tapi juga tidak menghindarinya.

(27)

• Sutardji Calzoum Bachri

Puisi Sutardji tidak lagi merupakan alat untuk menyampaikan pikiran/amanat, sehingga puisi harus tunduk pada pikiran itu. Puisinya memang mengandung pikiran, tapi pikiran ini tidak dibiarkannya untuk mempengaruhi kesanggupannya berpuisi. Puisi baginya adalah puisi, dan ia tunduk kepada hukum-hukumnya sendiri.

Puisi bagi Sutardji adalah permainan bunyi dengan pengertian yang berbeda dari yang pernah ada sebelumnya. Dulu permainan bunyi adalah sambilan, yang penting adalah kata-kata yang mengandung arti tertentu dengan bunyi tertentu. Namun dalam sajak Sutardji, yang penting adalah bunyi-bunyi itu sendiri dengan asosiasi-asosiasi yang dimilikinya.

Unsur utama pada sajak-sajak Sutardji adalah permainan, permainan yang didasarkan kepada asosiasi, dengan asosiasi bunyi yang utama. Tapi sebuah sajaknya selalu ditutup dengan sebuah kesimpulan yang berupa satu perintah atau suatu keadaan tertentu. Struktur permainan + kesimpulan merupakan sifat mantra, yang dikatakan sendiri oleh Sutardji sebagai sifat sajaknya. Mantra memiliki tiga sifat:

(i) Mantra bukanlah sesuatu yang untuk dipahami. Bagi manusia mantra hanyalah permainan bunyi dan bahasa belaka. sehingga ia mesti dilihat dari sudut mantra itu sendiri, dari sudut dunianya sendiri. Dan karena soal pemahaman tidak penting, maka yang penting dari suatu mantra adalah akibatnya.

(ii) Mantra adalah penghubung manusia dengan dunia misteri dan memang kedua dunia itu memang ada pada sajak-sajak Sutardji. Dunia manusia jelas ada di dalamnya, dan dunia misteri terlihat melalui pengucapan yang tak dapat dipahami. (iii) Pentingnya suatu efek atau akibat atau kemanjuran pada mantra. Pada sajak Sutardji, kemanjuran ini terletak pada adanya rayuan dan perintah. Rayuan terletak pada permainan bunyi, sedangkan perintah pada penutupnya.

Dengan memberi sifat mantra pada sajaknya, sutardji berhasil menciptakan dunianya sendiri. Suatu sajak harus dinilai dari dunianya sendiri, tidak didasarkan kepada pemahaman kita terhadapnya. Yang penting bukan lagi soal pemahaman sajak melainkan akibatnya.

(28)

2.2.2.3. Ragam Puisi16

Puisi tebagi menjadi dua, yaitu yang disebut sebagai puisi tradisional dan yang kedua adalah puisi modern. Puisi tradisional terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

• Pantun

(i) Digunakan untuk keperluan bertanya jawab antara 2 orang. (ii) Terdiri dari jumlah baris genap, dua, empat, enam, delapan. (iii) Berima abab.

(iv) Terdiri dari dua bagian, yaitu sampiran dan isi.

(v) Dalam satu baris, terdiri dari 4 sampai 6 kata atau 8 sampai 12 suku kata.

• Karmina

Pantun yang terdiri dari dua baris. Baris pertama merupakan sampiran dan kedua adalah isi.

• Talibun

Pantun yang terdiri dari enam baris atau lebih (selalu genap).

• Syair

(i) Digunakan untuk berkisah/menceritakan sesuatu. (ii) Setiap rangkap bait syair terdiri dari empat baris. (iii) Berima aaaa.

(iv) Semua baris dalam syair merupakan isi atau maksud yang ingin disampaikan, tidak ada pembagian sampiran dan isi.

(v) Dalam satu baris, terdiri dari 4 sampai 6 kata atau 8 sampai 12 suku kata.

• Gurindam

(i) Temanya mengemukakan nasihat, pandangan, atau gambaran sesuatu keadaan.

(ii) Setiap bait terdiri dari dua baris. (iii) Berima aa.

(iv) Jumlah kata dalam tiap baris bebas.

• Seloka

(i) Menyerupai gurindam dari segi tema.

(ii) Lazimnya mengandung sindiran atau kiasan yang tajam.

(29)

(iii) Bentuknya tidak terikat pada peraturan tertentu, namun ada juga seloka yang dibuat berbentuk seperti syair.

• Jampi mantera

(i) Merupakan puisi tradisional yang mempunyai kegunaan khusus dalam masyarakat Melayu tradisional.

(ii) Kata-kata penawar atau kata-kata pemujaan yang digunakan oleh pawang dan dukun.

(iii) Berbentuk bebas.

(iv) Dikaitkan dengan unsur doa keagamaan.

(v) Ada cara tertentu untuk menyampaikannya secara lisan.

Sedangkan yang disebut sebagai puisi modern memiliki 2 ciri umum yaitu bentuknya yang bebas dan suasana modern yang dibayangkan melalui kata-kata yang digunakan. Beberapa yang termasuk ke dalam golongan puisi baru adalah:

• Distikhon

Bentuk puisi baru dalam sastra Indonesia yang tiap baitnya terdiri atas dua baris.

• Terzina

Bentuk puisi baru dalam sastra Indonesia yang tiap baitnya terdiri atas tiga baris. Dengan kemungkinan rima sebagai: cde, cdd, cdc, ccd.

• Kuatrain

Bentuk puisi baru dalam sastra Indonesia yang tiap baitnya terdiri atas empat baris. Ada dua-dua baris yang sama rima akhirnya, sehingga rima akhir kira-kira sebagai: aabb, abab, aaaa, abba.

• Kuin

Bentuk puisi baru dalam sastra Indonesia yang tiap baitnya terdiri atas lima baris.

• Sekstet

Bentuk puisi baru dalam sastra Indonesia yang tiap baitnya terdiri atas enam baris.

• Septima

Bentuk puisi baru dalam sastra Indonesia yang tiap baitnya terdiri atas tujuh baris.

• Stanza

Bentuk puisi baru dalam sastra Indonesia yang tiap baitnya terdiri atas delapan baris.

(30)

• Soneta

(i) Total jumlah baris adalah 14.

(ii) Bagian pertama terdiri dari 8 baris, yang terbagi dalam 2 bait, masing-masing 4 baris. Bagian ini bernama octave.

(iii) Bagian kedua terdiri dari 6 baris, yang terbagi dalam 2 bait, masing-masing 3 baris. Bagian ini bernama sextet.

(iv) Rima soneta tidak tetap.

(v) Memungkinan penambahan yang dikatakan sebagai koda (cauda).Koda ialah bagian yang ditambahkan kepada sebuah soneta kalau seandainya isi yang dikehendaki belum lagi dapat dinyatakan dalam baris-baris yang ada.

• Sajak bebas

Sajak bebas adalah bentuk puisi baru dalam sastra Indonesia yang sama sekali tidak terikat oleh ketentuan banyak baris, kata, sukukata, demikian pula oleh rima. Bentuknya tidak tentu tergantung pada kehendak penggubahnya. Sebagai contoh adalah sajak bebas karangan Chairil Anwar dari buku Kerikil Tajam:

Aku Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang ’kan merayu Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulan yang terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari

Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak peduli Aku mau hidup seribu tahun lagi

(31)

2.2.3. Teori Puisi Visual

2.2.3.1. Definisi dan Sejarah Puisi Visual

Pemakaian gambar dan tulisan sekaligus dalam sebuah tanda (sign) sebagai alat komunikasi antar manusia merupakan sebuah kenyataan sejarah yang berumur panjang dan universal. Historisitasnya yang panjang bisa dilihat pada produk-produk budaya yang dihasilkan oleh peradaban yang telah mengenal baik gambar maupun tulisan, terutama yang terakhir ini, sebagai pencapaian intelektual menakjubkan dari evolusi sejarah manusia. Kaligrafi, atau seni menulis indah, merupakan produk budaya yang bisa dikategorikan sebagai pencapaian awal manusia dalam usahanya untuk menggabungkan gambar dan tulisan sebagai tanda dalam berkomunikasi antar manusia. Seni menulis indah ini sendiri sudah dikenal oleh peradaban manusia ribuan tahun lamanya, yakni bisa ditelusuri sejarahnya mulai dari lukisan-lukisan gua, seperti yang terdapat di Lascaux, Perancis (35.000-20.000 Sebelum Masehi), sampai ke bentuk-bentuk abstraksi yang kemudian menjadi huruf-huruf alfabet yang kita kenal sekarang. Secara populer, seni kaligrafi dari Timur memang yang lebih dikenal sekarang ini, yaitu kaligrafi dari Arab, Cina dan Jepang, walaupun seni menulis indah kaligrafi terdapat di mana-mana, universal, baik di budaya Barat maupun Timur.

Penggabungan antara teks dan visual secara sengaja diciptakan, lebih lanjut terlihat pada sebuah genre puisi yang disebut sebagai Concrete Poetry atau Puisi Konkrit.17

Secara umum definisi puisi konkrit adalah sebagai eksperimen tekstual dengan bentuk visual dalam menghadirkan sebuah teks puisi di atas kertas. Para penyair Yunani kuno di awal abad ke-3 Sebelum Masehi merupakan “Penyair Konkrit” pertama dalam sejarah. Mereka menuliskan karya mereka dalam bentuk visual dari objek yang jadi isi puisi mereka. Di Eropa eksperimen mereka ini kemudian diikuti secara luas di jaman Renaissance dan di abad ke-17 dimana puisi dalam bentuk berpola tertentu ini ditulis dengan baris-baris kalimat yang beragam panjangnya hingga membentuk pola dasar dari subjek puisi masing-masing. Jenis puisi ini dikenal dengan nama Puisi Emblem (Emblem Poems).

17

(32)

Seorang penyair Inggris yang terkenal dengan puisi emblemnya adalah George Herbert dengan karya-karya seperti Easter Wings dan The Altar.

Gambar 2.3. Easter Wings karya George Herbert

Dekat dengan jaman Posmodern saat ini, para penyair Modernis yang sangat terkenal dengan puisi-puisi konkrit mereka adalah penyair Simbolis Stéphane Mallarmé dan penyair Guillaume Apollinaire dari Prancis, serta Ezra Pound dan E.E. Cummings dari Amerika Serikat.

Sebuah hal yang membuat Mallarmé jadi penting dalam dunia puisi konkrit adalah eksperimen radikal yang dilakukannya dengan ruang pada bidang kertas untuk menguatkan arti puisi yang ditulisnya. Puisinya yang diberi judul

Lempar Dadu/Tidak Lepas dari Keberuntungan, atau Un Coup de Dés/jamais n’abolira le Hasard, misalnya, memakai begitu banyak halaman yang nyaris kosong dari kata-kata hingga menimbulkan kesulitan besar pada pencetaknya waktu itu. Pertama kali terbit ternyata layoutnya salah dan terdapat salah cetak yang parah dimana-mana.

Gambar 2.4. Un Coup de Dés/jamais n’abolira le Hasard

(33)

Sebuah puisi konkrit yang sangat terkenal dari penyair Apollinaire adalah yang berasal dari kumpulan puisinya Calligrammes berjudul Turun Hujan (Il pleut), dimana huruf-huruf dari puisi tersebut seolah-olah jatuh menetes dari bagian atas halaman kertas menirukan rintik-rintik air hujan.

Gambar 2.5. IL PLEUT karya Guillaume Apollinaire

Penyair Amerika Ezra Pound melakukan eksperimen dengan menulis puisinya dalam campur sari bahasa, terutama Inggris dan kaligrafi Cina. Walaupun pengetahuan bahasa Cina Pound tidak baik, tapi eksperimen dan teori menulis puisi berdasarkan estetika kaligrafi Cina (ditulisnya bersama ahli sastra klasik Cina Ernest Fenollosa) tokoh utama aliran puisi imagis ini sangat berpengaruh atas para penyair bahasa Inggris baik di Inggris, dimana dia cukup lama bermukim, maupun di Amerika Serikat sendiri di tahun 1950an. Bersama pelukis Inggris Wyndham Lewis, Pound juga memulai gerakan seni Vorticisme, yang merupakan semacam sintesis gaya dari Cubisme dan Futurisme Itali, di tahun 1914 dan sekaligus menerbitkan jurnal gerakan mereka yang diberi nama

BLAST. Dalam jurnal inilah karya-karya grafis Lewis serta puisi-puisi eksperimen dan teori-teori seni Pound diumumkan secara luas dan pengaruhnya masih terus kuat sampai lewat Perang Dunia II.

(34)

Gambar 2.6. The Book of Poetry karya Ezra Pound

Penyair Amerika lain yang juga penting dalam silsilah sejarah puisi konkrit dunia adalah E.E. Cummings. Hampir semua puisi Cummings ditulis dengan tidak melupakan penampakan visual subjek puisinya di atas halaman kertas. Contoh yang terkenal adalah puisi berjudul aneh r-p-o-p-h-e-s-s-a-g-r, dimana secara tekstual mula-mula huruf-huruf bertaburan di ruang kertas lalu perlahan-lahan mulai membentuk sebuah kata yang pada akhirnya kita kenali sebagai kata “grasshopper” atau “belalang”, seolah-olah merupakan representasi dari bagaimana pembaca secara samar-samar menyadari kehadiran dan kemudian mengenali sebuah sosok serangga melompat yang ternyata adalah seekor belalang atau “grasshopper”.

Gambar 2.7. r-p-o-p-h-e-s-s-a-g-r karya E.E. Cummings

Sementara itu di negeri Belanda seorang arsitek bernama Theo van Doesburg memulai gerakan seni Dada Belanda dengan menerbitkan manifesto-manifesto sastra dan puisi-puisi yang sangat berpengaruh. Dengan memakai nama

(35)

seniman Futuris Itali F.T. Marinetti dan pelukis Ekspresionis Jerman asal Rusia Vassily Kandinsky (juga dikenal sebagai pelukis pertama yang mengembangkan gaya lukis Abstrak), dan akrab dengan para seniman Dada Berlin khususnya Kurt Schwitters, menerbitkan dua majalah Dada Belanda yaitu Mecano dan Art Concret yang berisi puisi-puisi rupanya. Puisi-puisi tersebut berisi simbol-simbol matematik, angka-angka dan juga fonem-fonem dan huruf-huruf yang dicetak dengan tipografi yang unik. Puisi-puisinya itu merupakan sebuah pengaruh penting bagi para penyair visual di tahun 1950an. Bersama pelukis Piet Mondrian, van Doesburg juga menerbitkan majalah De Stijl di tahun 1917 yang tidak hanya berisi karya para seniman avantgarde Belanda tapi juga tulisan-tulisan dan puisi-puisi para seniman Dada Eropa lainnya seperti Schwitters, Hugo Ball, Tristan Tzara dan Hans Arp, serta seniman Futuris Itali Fino Severini dan komposer Amerika George Antheil.

Istilah “Puisi Konkrit” sendiri pertama kali dipakai secara bersamaan di awal tahun 1950an oleh penyair Eugen Gomringer di Swiss dan penyair Yvind Fahlstr M di Swedia. Gomringer dekat dengan para pelukis konkrit di tahun 1940an, terutama Max Bill yang kemudian mempekerjakannya sebagai sekretarisnya. Di tahun 1953 Gomringer menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi yang puisi-puisinya hanya berisi satu kata sementara makna masing-masing puisi sangat tergantung pada letak kata di ruang halaman. Puisi-puisinya ini dia namakan konstelasi (constellations) dan dengan penerbitannya itu maka dimulailah apa yang kemudian dikenal sebagai gerakan puisi konkrit di seluruh dunia.

(36)

Puisi konkrit ditulis secara luas di seluruh dunia dan ciri umumnya adalah bahasa yang sudah sangat direduksi sedemikian rupa dan dicetak dalam tipografi yang memaksakan teks puisi masuk ke dalam perhatian pembaca sebagai sebuah objek yang sekaligus tak bisa dipisahkan dari keseluruhan persepsi visualnya di ruang halaman. Dan banyak memang puisi ini tidak bisa dibaca dengan cara biasanya kita membaca puisi karena hanya berisi satu kata atau frase yang sudah diubah secara sistematis susunan dan posisi huruf-hurufnya, atau terdiri dari fragmen kata, ataupun silabel-silabel nonsens, bahkan huruf-huruf tunggal, angka-angka dan tanda baca. Para penyair puisi konkrit juga sering memakai bermacam jenis, ukuran dan warna font atau huruf, dengan kadang-kadang ditambahi dengan

drawing atau foto. Beberapa bentuk dari puisi konkrit disebut “kinetik” karena bentuk-bentuk visual puisi tercipta kalau kita membalik-balik halaman per halaman.

Namun ciri umum puisi konkrit di atas, terutama hal penulisan teks puisi dalam bentuk visual dari objek yang dibicarakan puisinya, bagi beberapa pihak dianggap mengekang kebebasan dalam mengekspresikan perkawinan antara teks dan visual itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan lahirnya apa yang disebut sebagai Puisi Rupa.18

Istilah “Puisi Rupa” berkonotasi terdapatnya kesetaraan nilai antara teks puisi dan gambar visual pada medium dimana puisi tersebut dibaca atau dilihat. Pada puisi konkrit umumnya teks puisi menempati posisi yang tidak setara dengan unsur visual keseluruhan karya karena teks puisi memang dengan sengaja dituliskan dalam bentuk objek yang sedang dibicarakannya. Representasi teks puisi seperti ini telah memaksakan penampilan visual teks hanya dalam satu bentuk saja, yaitu bentuk objek puisi tersebut. Dengan lebih mengutamakan faktor representasi bentuk visual dari objek puisi, puisi konkrit telah mengorbankan kebebasan teks puisi. Teks puisi telah kehilangan kebebasannya untuk menjadi liar, untuk memilih bentuk representasi visual bagaimana yang diinginkan.

Berbeda dengan jenis puisi yang disebut sebagai puisi rupa. Dalam puisi rupa terdapat kebebasan lebih dalam berekspresi, karena suatu teks puisi tidak

(37)

harus membentuk pola visual dari objek yang dibicarakan puisinya. Dua nama yang menekuni bidang ini adalah mendiang Gendut Riyanto dan Made Wianta.

Dalam puisi rupa Gendut Riyanto, terjadi penabrakan teks dan gambar dengan cara menyatukannya ke dalam dunia perlambangan. Ia tidak hanya menggubah teks melalui susunan huruf tetapi menggunakan teks itu sebagai media untuk penyampaian maksud. Ia membuat deskripsi dan juga puisi dengan teks yang ‘digambarnya’. Gendut menangkap secara instingtif berbagai perlambangan yang beredar disekitarnya, lalu merekamnya, menafsirkannya dan kemudian ‘memuntahkannya’ secara tercampur ke dalam sebuah ungkapan melalui teks dan gambar.19

Gambar 2.9. Puisi rupa karya Gendut Riyanto20

Karya-karya puisi rupa Gendut Riyanto merupakan catatan perjalanan dari bidang yang akrab dengannya, antara lain: skema gambar, perincian sudut dan bidang kertas, sejumlah grafik hasil riset, kode, lambang dan setumpuk desain.

Beda Gendut Riyanto, berbeda pula dengan puisi rupa Made Wianta. Teks puisi dan ilustrasi yang memang sudah terdapat pada medium tempat teks puisi dituliskan, bisa sobekan halaman majalah, kartu pos, tiket, atau uang kertas,

19

(38)

dikawinkan dalam pesta kolase yang tidak mengutamakan peranan teks puisi atau ilustrasi tapi keduanya sekaligus. Teks puisi tidak menerangkan ilustrasi dan sebaliknya ilustrasi juga tidak menjelaskan teks puisi. Keduanya hadir berdiri sendiri tapi sekaligus tidak bisa dipisahkan. Keduanya menjadi satu tanda (sign) yang utuh. Wianta menuliskan puisi-puisinya pada objek-objek yang kebetulan berada di atau dalam jangkauan tangannya (found objects/ready-mades), seperti berbagai macam jenis kertas, bisa tissue, bungkus rokok, karton obat nyamuk, tiket atau bahkan wajah manusia. Dia tidak dengan sengaja memilih medium tempat dia akan menuliskan puisinya, dan puisi yang akan dituliskannya itu pun tidak dituliskan dengan tujuan untuk merespon objek yang ditemukannya itu atau ilustrasi visual yang kebetulan ada di objek tersebut. Masing-masing baris sintaksis dari sebuah teks puisinya juga merupakan kolase dari bermacam ide spontan yang otonom berdiri sendiri, tanpa ada relasi arti semantis yang saling memperkuat/memperjelas makna tematis keseluruhan teks puisi.

Jadi sejarah bertemunya teks puisi dan ilustrasi visual pada puisi rupa Wianta adalah sejarah yang yatim piatu, sejarah tanpa sejarah, sejarah ahistoris. Seperti apa yang ditulis penyair Amerika Latin Lautréamont, nama samaran dari Isidore Ducasse, dalam kumpulan puisinya berjudul Nyanyian Maldoror (Les Chants de Maldoror) yaitu: “keindahan adalah ibarat pertemuan tak disengaja antara sebuah payung dan sebuah mesin jahit di atas sebuah meja setrika”.

Bagi Wianta, benda-benda yang dijadikannya medium pada dasarnya sudah artistik, mengandung keindahan. Dengan menggoreskan kata-katanya ia tidak hanya ingin menambah keindahannya, tapi lebih-lebih mentransformasikan benda-benda itu menjadi keindahan yang baru.

Gambar 2.10. Grafiti di atas Kardus-kardus Bekas21

Gambar

Gambar 2.4. Un Coup de Dés/jamais n’abolira le Hasard  karya Stéphane Mallarmé
Gambar 2.5. IL PLEUT karya Guillaume Apollinaire
Gambar 2.7. r-p-o-p-h-e-s-s-a-g-r karya E.E. Cummings
Gambar 2.9. Puisi rupa karya Gendut Riyanto 20
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait