• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA. Gaya Bangunan Gereja Katedral Jakarta. Makalah Non-Seminar. Siti Huwaida

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA. Gaya Bangunan Gereja Katedral Jakarta. Makalah Non-Seminar. Siti Huwaida"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

Gaya Bangunan Gereja Katedral Jakarta

Makalah Non-Seminar

Siti Huwaida

1106063521

Pembimbing

Dr. Jugairie Soegiarto M.Hum

195407291983032001

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Program Studi Belanda

Depok

2016

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

Gaya Bangunan Gereja Katedral Jakarta

Siti Huwaida

Program Studi Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

1106063521 aidak.hanif.ah@gmail.com

Abstrak

Jurnal ini berbicara mengenai perubahan penampakkan pada bangunan Gereja Katedral Jakarta. Gereja Katedral Jakarta adalah sebuah bangunan yang memiliki nilai sejarah yang tinggi. Pembangunan Gereja yang memiliki sejarah panjang ini, dikerjakan sejak masa pendudukan Belanda. Bangunan ini adalah bangunan yang menjadi saksi sejarah perkembangan agama Katolik di Indonesia, sehingga banyak faktor yang mempengaruhi pembangunannya. Renovasi dan pemugaran dilakukan beberapa kali semenjak gedung ini berdiri. Hal ini mengakibatkan gaya bangunan pada Gereja Katedral Jakarta sudah bukan seperti gaya bangunan sebagaimana yang dirancang saat pertama kali direncanakan. Selain menyertakan latar belakang sejarah tulisan ini juga menyertakan paparan dari Helen Jessup perihal Belanda yang pada masa koloninya memperkuat posisinya dan menegaskan daerah jajahannya dengan membangun gedung-gedung yang mewah.

Kata kunci: Batavia, Gaya Bangunan, Jakarta, Tata Kota.

Building Style of Gereja Katedral Jakarta

Abstract

The content of this journal is about the outlook of Gereja Katedrakl Jakarta. Gereja Katedral Jakarta is one of many building in Indonesia which has historica value. The construction also has a long story, worked beginat the Dutch colonial period. This building is the witness of history of development of the Catholic in Indonesia, so that many factors make effects to the building construction. Renovation and restoration carried out a few times since this building stands. That makes this building has different style as the first time this building planned. This journal also contains historical background and the exposure from Helen Jessup that during the Dutch colony, they strengthens and show up the position of colonies by build the luxury building.

(7)

Seni adalah salah satu hasil karya cipta manusia yang kemudian menjadi bukti perkembangan manusia pada masa itu. Salah satunya adalah gedung-gedung dengan gaya bangunan tersendiri yang merepresentasikan banyak hal, seperti perkembangan teknologi, penemuan material untuk bahan bangunan itu sendiri, perkembangan agama yang terciri dari ornamen atau simbol yang menghiasi bangunan itu sendiri.

Kota Jakarta, Ibukota Republik Indonesia, telah sejak lama menjadi pusat pemerintahan yang menjadikan Jakarta sebagai kota yang berkembang dengan pesat. Gedung-gedung tinggi dengan berbagai fungsi dibangun menjulang ke langit dan dirancang dan didesain dengan berbagai gaya dan memiliki nilai seni yang tinggi. Hal ini juga terjadi sejak jaman kolonial Belanda. Bangunan-bangunan mewah sudah berdiri di Batavia pada saat itu. Gedung-gedung dibangun dengan menerapkan seni bangunan yang sedang populer di Eropa untuk berbagai kebutuhan, baik hanya untuk tempat tinggal para pejabat, hotel untuk para ‘kompeni’ menginap atau untuk kepentingan pemerintahan. Beberapa jalanan di Batavia terlihat sangat indah dengan dibangunnya istana dan rumah para pejabat Batavia yang juga tak kalah megah. Seorang Perancis mengatakan bahwa ‘Jalan ini termasuk jalan yang paling bagus yang dapat disaksikan; semua jalan yang menuju Molenvliet itu dihiasi istana-istana indah, kediaman-kediaman anggota-anggota Dewan India, pegawai-pegawai utama dari Compagnie dan pedagang-pedagang yang paling kaya’ (R. Kurris, 2001). Molevliet adalah salah satu daerah di Batavia yang kini menjadi jalan Gajah Mada/Hayam Wuruk yang menunjukkan bahwa sejak dulu bangunan-bangunan megah telah dibangun di kota Jakarta.

Gambar 1.1 Sumber:

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/2b/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_De_Molenvliet_te_Bata via._TMnr_60005162.jpg

(8)

Gaya Bangunan

Jejak-jejak gaya bangunan Eropa dan keindahannya meninggalkan bekas di Jakarta dan masih dapat dilihat bahkan sampai sekarang. Bangunan-bangunan tersebut masih berdiri kokoh setelah ratusan tahun walaupun telah beberapa kali mengalami pemugaran.

Gambar 1.2

Salah satu gedung peninggalan masa kolonial Belanda yang masih bertahan sampai dengan saat ini. Sumber:

http://jakarta.panduanwisata.id/jakarta-pusat/perjalanan-gedung-kesenian-jakarta-dari-pondok-bambu-hingga-gedung-mewah/

Gereja ini terletak di Jalan Katedral, Jakarta Pusat. Rumah ibadah ini berdekatan dengan Masjid Istiqlal dan Gereja Immanuel yang sering kali dilambangkan sebagai toleransi dan kerukunan umat beragama di Indonesia. Bangunan ini tidak seperti penampakkan gedung-gedung yang ada di sekitarnya. Gereja Katedral Jakarta memiliki gaya bangunan yang mencirikan bangunan dengan gaya Eropa.

Selain bentuk bangunannya yang terkesan mewah, Gereja Katedral Jakarta juga memiliki sejarah yang cukup panjang, mengingat betapa sulitnya agama Katolik dapat masuk ke Nusantara di zaman koloni Belanda. Hal ini dikarenakan Belanda adalah negara yang menganut agama Protestan dan kerajaan Belanda tunduk terhadap Gereja Protestan, yang mengakibatkan sulitnya menyebarkan agama lain di Nusantara pada saat itu. Terlebih lagi agama Katolik adalah agama kekaisaran Roma sehingga ditakutkan menimbulkan ancaman bagi Negara Belanda.

(9)

Maka jadilah Katedral Jakarta sebagai salah satu saksi perjalanan berkembangnya agama Katolik di Indonesia, khusunya kota Jakarta.

Masuknya Agama Katolik di Indonesia

Agama Katolik sebenanrya telah hadir jauh sebelum kedatangan Belanda ke Indonesia. Agama ini dibawa oleh pedagang-pedagang dari Potrugis. Namun sejak hadirnya Verenigde

Oostindische Compagnie (V.O.C) di Nusantara, agama Katolik dilarang penyebarannya. Umat

Katolik juga hampir tidak ada yang mendapatkan jabatan yang tinggi di pemerintahan, dan bahkan gereja-gereja Katolik dilarang melakukan kegiatan ibadah. Hampir seluruh gereja di Nusantara ditutup, kecuali gereja di daerah bagian Nusa Tenggara Timur seperti Flores yang tidak terjangkau oleh V.O.C, yang masih bertahan. (R. Kurris, 2001)

Agama Katolik diijinkan lagi ada di Nusantara akibat gejolak politik di Belanda yang disebabkan oleh adanya Revolusi Perancis. Diawali di Belanda saat mulai dibebaskannya kembali orang-orang Katolik di Belanda untuk beribadah, pengembalian gereja-gereja kuno milik umat Katolik, dan pemberian hak-hak kewarganegaraan yang sama seperti umat Protestan. Maka pada tanggal 8 Mei 1807 pimpinan Gereja Katolik di Roma dengan persetujuan Raja Louis Napoleon, dapat mendirikan Prefektur Apostolik untuk Hindia Belanda dan sebagai Prefek Apostolik pertama diangkat Pastor Nelissen (R. Kurris, 2001).

Pada awalnya penyebaran agama Katolik ini tidak berjalan dengan mudah. Berbagai masalah dialami oleh Pastor Nelissen, seperti masih banyaknya anak yang belum dibaptis atau bahkan banyaknya umat Katolik yang belum pernah menjalankan ibadah secara Katolik. Ibadah pada awalnya dilakukan di tempat yang sederhana, seperti menumpang di rumah salah satu umat, yang kemudian berpindah ke bangunan bambu sebagai sumbangan dari pemerintah dan kemudian menjadi gereja darurat untuk agama Katolik pertama di Jakarta.

Penyebaran agama ini terus mengalami berbagai masalah hingga akhirnya seorang umat Katolik menjadi pejabat di Batavia, Komjend Du Bus de Gisignies. Selama masa jabatnya, Gereja Katolik mendapatkan berbagai kemudahan untuk menjalankan ibadah. Pada masa jabatnya pula, Gereja Katedral Jakarta mendapatkan tempat yang cukup luas untuk menampung umat yang cukup banyak.

(10)

Gereja Katedral Jakarta dirancang dengan campuran gaya Barok-Gotik-Klasisisme, dengan jendela yang menggunakan gaya Neogotik, bagian depan yang dibalut dengan gaya Barok-Pilaster, dan gaya klasistis untuk dua menara di bagian kanan dan kiri. Menara Katedral dirancang agak rendah dengan kubah kecil di atasnya, gaya eklektisistis (Sejarah Katedral). Pembangunan ini kemudian berubah karena faktor keuangan yang tidak mencukupi. Bukan hanya itu, Gereja Katedral Jakarta juga mengalami kejadian-kejadian yang membuat dilakukannya renovasi baik sekadar tambal pada bagian dinding atau renovasi besar yang dilakukan karena beberapa kejadian yang menimpa Katedral

Menurut Helen Jessup dalam Sumaryo (1993), pada tahun 1800-an sampai 1902 tepatnya setelah kepergian Inggris dari Nusantara, Belanda memperkuat posisinya dan menegaskan daerah jajahannya dengan membangun gedung-gedung dengan desain yang grandeur (mewah). Gaya bangunan yang digunakan pada tahun 1800-1900-an ini adalah gaya arsitektur neoklasik yang sebenarnya berlainan dengan gaya arsitektur nasional Belanda pada saat itu.

Pembangunan berbagai gedung dengan tampilan yang mewah ini difungsikan bukan hanya untuk memperindah bangunan terkait, tetapi juga sebagi simbol kemakmuran yang dapat digunakan sebagai propaganda. Sehingga bangunan-bangunan ini dibangun dengan bagian depan yang bagus dan mewah.

Keadaan Hindia-Belanda pada masa jabatan Du Bus de Gisignies (1825-1830) yang berlangsung selama kurang lebih lima tahun, memberikan banyak kebaikkan untuk umat agama Katolik. Pada masanya, umat Katolik mendapatkan tanah yang cukup luas untuk membangun gereja. Lahan ini berada di sisi utara Waterlooplein atau yang sekarang kita kenal dengan nama lapangan Banteng. Maka, di bawah pengawasan langsung Du Bus de Gisignies, Insinyur Tromp ditugaskan untuk merombak sebuah rumah, yang tadinya digunakan oleh panglima angkatan bersenjata, Jendral de Kock, dan mengubahnya menjadi bentuk bangunan yang menyerupai gereja.

De Kerk van Onze Lieve Vrowe ten Hemelopneming, ‘Gereja Santa Maria Naik ke

Surga’, menjadi nama yang dipilih ketika bangunan berbentuk salib dengan panjang 35 meter dan lebar 17 meter ini selesai dibangun.

(11)

Gambar 1.3

Sumber: https://3dwarehouse.sketchup.com/ Bentuk dasar Gereja Katedral

Gereja pertama ini akhirnya dapat menampung banyak orang, walaupun pada kenyataannya gereja ini tidak terlalu bagus. Hasil akhir dari pembangunan tersebut berbeda dengan yang telah Ir. Tromp rancang. Pada awalnya, bangunan gereja secara menyeluruh akan bergaya Barok-Gotik-Klasisisme. Ruang altar dibuat setengah lingkaran dan dalam ruang utama yang panjang dan di pasang enam tiang.

Gaya Bangunan Katedral

Gaya bangunan itu sendiri dimulai pada masa klasik kuno yang dimulai dengan pada sekitar 600 tahun sebelum Masehi yang kemudian terus berkembang hingga sekarang ini. Gedung-gedung yang kita lihat sekarang ini adalah gedung yang dirancang dengan berbagai gaya. Seperti Gereja Katedral Jakarta yang pembangunan gedungnya telah menggunakan berbagai gaya dari berbagai masa hingga akhirnya masih berdiri tegak sampai sekarang. Gaya bangunan yang digunakan selama gereja ini berdiri seperiti Barok, Gotik, Klasisisme, Neogotik, dan Ekletisitis.

Barok adalah gaya yang berkembang di Roma pada tahun 1600 (Architecture of the western world, 1980). Gaya bangunan barok dianggap sebagai gaya bangunan yang merepresentasikan Gouden Eeuw atau abad keemasan yang sesungguhnya karena jika dilihat dari bentuk bangunannya, gaya ini membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk membangunnya, karena pada masa kemunculan aliran ini, gaya bangunan dinilai sebagai sebuah alat propaganda

(12)

untuk menunjukkan sebuah kemakmuran. Maka dari itu, bangunan-bangunan didesain sebagus dan semewah mungkin. Salah satu bangunan di Belanda yanng menggunakan gaya Barok adalah istana yang berada di Amsterdam yang bagian depannya memiliki ukiran-ukiran pahatan di bagian atasnya. Di atas bangunan, ada sebuah menara dengan bentuk kubah yang juga terdapat patung dan jam serta ukiran yang sangat sesuai dengan ornamen Barok.

Gambar 1.4

Paleis op de Dam

(Sumber: www.onlinegalerij.nl)

Barok sendiri berasal dari kata Barocco yang berarti mutiara alam dengan warna yang luar biasa dan dengan bentuk yang fantastis. Bentuk bangunan dengan gaya Barok ini bangunannya biasanya memiliki ornamen yang cukup ramai. Gaya Barok terutama pada bangunan Katolik Roma merepresentasikan kebahagian dengan gaya baru lewat lukisan dan pahatan. Gaya ini sendiri sebenarnya di Belanda tidak terlalu dibicarakan, berbeda dengan di selatan Italia, tempat asal gaya ini muncul.

Seperti yang dapat dilihat pada gambar 1.4 terlihat bahwa ciri yang paling menonjol dari gaya Barok adalah penggunaaan banyak ornamen yang dikombinasikan dari ornamen lukis dan pahatan. Setiap sisi bangunan dibuat penuh dengan ornamen, bagian langit-langit berbentuk melengkung seperti setengah lingkaran. Jelas gaya ini sangat mencirikan bangunan Eropa dengan seni tinggi, yang diimplementasikan lewat lukisan dan pahatan pada setiap sisinya. Pahatan dan

(13)

lukisan ini biasanya bergambar malaikat atau langit yang merepresentasikan gambaran kesurgaan.

Gotik sendiri adalah gaya yang muncul setelah kejatuhan kekaisaran Romawi. Gaya ini sendiri masuk ke Belanda dari Perancis pada abad ke-12. Kebangkitan gaya Gotik ini ada pada abad 18-19 yang terinspirasi dari desain-desain klasik. Gotik adalah gaya yang umumnya digunakan pada bangunan-bangunan seperti Katedral. Bentuk penampakkan bangunan ini dibuat menjulang dan sangat tinggi dengan bentuk atap yang meruncing. Bangunan yang semakin tinggi dianggap semakin dekat dengan langit yang berarti semakin dekat dengan surga. Selain itu juga bangunan gotik biasanya dibangun dengan bukaan yang lebar, yang dimaksudkan agar banyak cahaya yang masuk dari luar ke dalam bangunan. Ini semua adalah implementasi dari ‘Drang

naar verticaliteit en naar licht’.

Dan Klasikisme adalah aliran yang muncul pada sekitar abad ke-17 yang berciri

somberheid atau kesuraman. Jendela yang dirancang oleh Ir. Tromp saat itu seharusnya bergaya

Neogotik. Sesuai dengan gayanya, jendela seharusnya akan terlihat begitu besar dengan menggunakan banyak kaca patri yang indah. Sedangkan bagian depan sendiri adalah percampuran dari gaya Barok dan Pilaster. Gaya barok yang menggunakan banyak ornamen dan berbentuk setengah lingkaran di bagian atasnya ini akan digabungkan dengan banyaknya pilar-pilar di bagian depannya. Bangunan ini juga memiliki dua bangunan pendamping di sebelah kanan dan kirinya yang dirancang dengan gaya klasisistis.

Sedangkan sentuhan gaya eklektisistis (gaya campuran) yang muncul pada abad ke-19. Aliran berasal dari kata Ekklesia yang memiliki konsep pemujaan dengan Tuhan, sehingga penerapannya pada gereja diletakkan pada bagian menara yang paling tinggi di gereja, walaupun kemudian menara gereja ini dirancang tidak terlalu tinggi. Neogotik sendiri adalah gaya bangunan adalah gaya bangunan yang berpatokan pada gaya Gotik yang kemudian berkembang dan ditambahkan sentuhan garis lengkung pada gaya bangunannya.

Gereja Setelah Mengalami Renovasi

Setelah bangunan ini akhirnya berdiri pada tanggal 6 November 1829, bentuknya tidak sesuai dengan rancangan awal Ir. Tromp. Hal ini disebabkan oleh kurangnya dana yang dimiliki gereja saat itu. Pembangunan gereja Katolik memang tidak semudah membangun gereja untuk

(14)

umat Protestan. Hal ini karena umat Katolik tidak medapatkan pasokan dana dari pemerintah, seperti agama Protestan yang adalah agama negara. Pembangunan gereja ini sebenarnya tidak begitu mengecewakan jika dibandingkan dengan gereja sebelumnya, perombakkan gedung ini tidak terlalu buruk. Dan semenjak gedung gereja yang baru dibangun, warga yang berdatangan untuk beribadah semakin ramai dan bertambah setiap minggunya.

Perubahan rencana ini disebabkan oleh banyak faktor. Melihat gaya bangunan yang dipilih, seperti Barok yang penuh ornamen dan kemewahan yang harus dipahat dan dilukis, serta kaca-kaca patri yang harus digunakan untuk menunjang gaya neo-gotik pada jendela, jelas salah satu alasan terjadinya perubahan rancangan penampakkan gedung adalah masalah pembiayaan atau kurangnya dana untuk membangun gereja. Mengingat penyebaran agama Katolik sebenarnya tidak begitu didukung oleh pemerintah Belanda pada masa itu. Bukan hanya masalah dana, arsitektur klasik sebenarnya memang sulit diterapkan di Hindia-Belanda. Arsitektur klasik ini berkembang di Eropa dengan iklim dan penampakkan geografisnya yang jauh berbeda dengan iklim dan penampakkan geografis di Hindia-Belanda.

Gambar 1.5

Bentuk pertama Gereja Katedral Jakarta Sumber: Sejarah Seputar Katedral Jakarta

Gambar 1.5 adalah eksterior gereja hasil dari pembangunan pertama gereja untuk umat Katolik yang sebelumnya adalah rumah dari Jenderal de Kock yang disesuaikan dengan kebutuhan beribadah. Pada foto tersebut tidak dapat dilihat terlalu jelas hasil jadi dari

(15)

pembangunan yang tidak sesuai dengan rancangan awal. Hanya terlihat bahwa gedung gereja dibangun memanjang dengan sebuat menara di atas di pertengahan bangunan. Bagian atas di bangun melengkung seperti kubah dan jendela dibangun dengan gaya Neogotik, terlihat dari penggunaan garis-garis lurus namun bagian atasnya sedikit melengkung. Banyaknya jendela di sepanjang sisi gereja membuat banyaknya cahaya bisa masuk ke dalam gereja.

Sangat disayangkan, tidak lama setelah pembangunan, banyak bagian gereja yang mengalami kerusakan. Kerusakan-kerusakan ini seperti kebocoran yang terjadi di mana-mana dan berkali-kali dalam interval waktu yang cukup sering, yang sebenarnya tidak diperbaiki secara menyeluruh. Perbaikan kecil hanya dilakukan pada bagian-bagian yang terlihat rusak tanpa mencari penyebab kerusakan tersebut, sehingga selalu saja kerusakan baru yang terjadi setelah dilakukan perbaikan pada bagian-bagian yang rusak.

Gambar 1.6 (Sumber: www.google.com) Gereja Katedral Jakarta tahun 1880-1890

Pemugaran yang terjadi pada setiap terjadinya kerusakan yang ada pada bangunan gereja sepertinya memberikan perubahan yang cukup signifikan terhadap bangunan gereja. Gambar 1.5 dan 1.6 yang memperlihat dua bangunan gereja. Menara yang pada gambar 1.5 memperlihatkan menara gereja berada di tengah atas gedung, di gambar 1.6 menara gereja berada di bagian depan dengan dua menara kecil di sebelah kanan dan kirinya. Bentuk dari menara juga berubah dari yang sebelumnya berbentuk kubah, setengah lingkaran seperti gaya Barok, pada gambar 1.6 menara berbentuk Gotik yang lurus menjulang ke atas dan berujung meruncing. Tapi detil dari

(16)

menara tersebut terlihat memiliki detil dengan sentuhan Barok yang identik dengan ukiran yang tidak sederhana.

Pemugaran

Pada tahun 1890, gereja mengalami kerusakan yang cukup parah. Bagian atap dari bangunan gereja rusak total dan bangku-bangku yang digunakan untuk beribadah hampir seluruhnya rusak dan tidak dapat dipakai. Maka setelah kerusakan itu direncanakan pembangunan kembali gereja.

Pembangunan kembali gereja ini dimulai pada pertengahan tahun 1891. Pada tahun tersebut gedung-gedung dibangun dengan ciri-ciri arsitektur kolonial yaitu bangunan yang berkesan mewah (grandeur). Perencanaan dan arsitektur dari pembangunan ini dipercayakan kepada seorang Pastor Antonius Dijkmans, SJ yang juga adalah seorang ahli bangunan yang pernah mengikuti kursus arsitektur gerejani di Violet-le-Duc di Paris, Perancis. Seluruh kendali dipegang langsung oleh Dijkmans, kecuali bagian keuangan. Sehinggga pembangunan gereja ini sempat terhenti karena kehabisan dana. Seperti yang sempat disebutkan di paragraf-paragraf sebelumnya, agama Katolik mengusahakan dananya sendiri yang dikumpulkan dari umat-umat Katolik tanpa mendapatkan bantuan dana dari Belanda. Perencanaan pembangunan yang tadinya direncanakan selesai dalam waktu tiga tahun menjadi jauh dari perencanaan karena masalah tersebut. Selain itu pembangunan ini juga tidak diselesaikan hanya oleh satu orang arsitek. Antonius Dijkmans, SJ harus kembali ke Belanda setelah pembangunan fondasi selesai, dikarenakan masalah kesehatan hingga harus digantikan oleh arsitek lain sebelum beliau sempat menyelesaikan bangunan ini. Rancangan Dijkmans dilanjutkan oleh arsitektur Belanda bernama Marius J. Hulswit (Kusno, 2012). Keduanya adalah arsitek yang dipengaruhi oleh arsitek Cuypers, yaitu seorang tokoh Neogotik yang tersohor di Belanda. Selain itu diketahui juga bahwa pengerjaan konstruksi besi menara yang berada di depan Gereja digambar dan dikerjakan oleh Ir. Van Es.

Gereja Katedral Jakarta memiliki denah berbentuk salib dengan ukuran panjang 60 meter dan lebar 20 meter. Bagian depan gereja ini memiliki tiga menara yang memiliki nama masing-masing yaitu, Menara Benteng Daud, Menara Gading dan Menara Angelus Dei. Menara yang paling rendah adalah Menara Angelus Dei yang memiliki tinggi sekitar 45 meter, sedangkan

(17)

Menara Benteng Daud dan Menara Gading memiliki tinggi ke langit yang sama yaitu setinggi 60 meter.

Menara yang berada di kanan dan kiri pintu masuk memiliki perbedaan pada adanya jam produksi Van Arcken & Co yang dituliskan dengan jelas pada bagian mesinnya yang tepatnya berada di Menara Gading. Menara ini menjulang ke langit dan memiliki bentuk meruncing. Menara-menara yang dibuat tinggi menjulang ke langit ini semakin dekat dengan langit menggambarkan semakin dekat dengan Tuhan. Bentuk menara yang menjulang sangat tinggi dan berbentuk seperti busur yang meruncing sangat dekat dengan ciri-ciri bangunan yang dibangun pada abad ke-12 yaitu gaya bangunan Gotik yang memiliki ciri-ciri serupa. Fasad depan dari gereja ini juga memiiki banyak jendela yang membiarkan banyak cahaya masuk ke dalam ruangan yang langsung menuju barisan bangku untuk para jemaat juga ciri Gotik yang melakukan permainan cahaya dari eksterior sebagai bentuk unsur spiritual yaitu implementasi dari ‘Drang naar verticaliteit en naar licht.’.

Bagian depan bangunan ini juga memiliki jendela-jendela besar yang berbentuk busur lancip sama seperti bagian pintu masuk dari gereja ini yang bagian depannya berbentuk segitiga dengan lapisan melengkung. Ornamen yang menghiasi dinding-dinding bagian depan bangunan ini sangat sederhana, tidak ada ukiran rumit. Seperti kebanyakkan gereja Katolik, bagian depan dari bangunan ini biasanya menampilkan jendela berbentuk bulat dengan pola mawar (Rose

Window). Bagian depan dari bangunan ini juga dihiasi dengan jendela yang terletak di atas

(18)

Gambar 1.6 Rose Window, Rozeta

(Sumber: Google)

Di atas pintu masuk tepatnya di bagian runcing dari segitiganya terdapat sebuah salib dan pada pintu masuknya juga terdapat patung Maria dan ada tulisan Beatam Me Dicentes

Omnes' yang berarti "Semua keturunan menyebut aku bahagia".

Bagian-bagian dari gereja ini yang memiliki ciri menyerupai bangunan dengan gaya Gotik, tidak serta-merta menjadikan gereja ini dikatakan sebagai bangunan dengan gaya Gotik. Ada hal mendasar yang menjadikan bangunan ini secara keseluruhan dikategorikan sebagai bangunan dengan gaya arsitektur Neo-Gotik. Dari bagian depan dapat dilihat bahwa bangunan ini dibuat dengan kesederhanaan dekorasi bangunan. Bangunan tidak memiliki terlalu banyak ukiran rumit di dinding-dindingnya.

Ketika melakukan pengerjaan makalah ini, ditemukan sebuah ciri Neo-Gotik bahwa denah bangunannya untuk Katedral tidak berbentuk salib melainkan berbentuk kotak. Tapi pada gambar yang telah ditampilkan sebelumnya, Gereja Katedral Jakarta memiliki denah dengan bentuk salib. Namun, secara keseluruhan bangunan yang tidak dibahas di dalam makalah ini, gedung Gereja Katedral Jakarta memiliki bentuk dan fasad dengan gaya Neo-Gotik.

(19)

De Kerk van Onze Lieve Vrowe ten Hemelopneming – Gereja Santa Maria Naik Ke Surga

Umat Katolik akhirnya dapat berbahagia, tanggal 21 April 1901 akhirnya Gereja Katedral Batavia diresmikan oleh Monseigneur Edmundus Sybradus Luypen, SJ, yaitu Uskup Batavia masa itu. Sejak saat itu Gereja Santa Maria Diangkat Ke Surga dapat disebut sebagai Katedral, karena di dalamnya terdapat sebuah cathedra. Cathedra sendiri memiliki makna tempat duduk atau kursi dalam bahasa Yunani, maka sesuai makna tersebut cathedra dalam gereja merujuk pada tempat duduk untuk Uskup atau juga berarti Tahta Uskup.

Sejak diresmikan, Gereja Katedral Jakarta telah dipugar pertama kali pada tahun 1988. Pemugaran ini berlangsung selama tiga tahun dengan menggunakan uang sumbangan umat Katolik di Indonesia. Pemugaran meliputi pengecatan, pembersihan seluruh gedung, perbaikkan di bagian taman, pergantian pengeras suara dan pemasangan pengeras suara.

Bagian depan dari gedung Gereja Katedral Jakarta sendiri terlihat seperti menggunakan batu-batu alam, padahal sebenarnya batu-batu yang digunakan adalah batu biasa yang dilapisi dengan semen agar terlihat seperti batu alam. Tampilan bangunan yang ingin terlihat seperti menggunakan batu alam sebenarnya tidak terlalu jelas alasannya. Pada buku Sejarah Seputar Katedral Jakarta (R. Kurris, S.J), dikatakan bahwa alasan penggunaan ini karena saat itu di Eropa Barat penggunaan batu alam ini agak umum, atau dikarenakan pemilihan material ini berkaitan dengan asal negara arsiteknya, yaitu Pater Dijkmans, S.J.

Daftar Pustaka

- Antonio Koeswandi. Juan, Ekspresi Gaya Arsitektur Kolonial pada Desain Interior

Gedung Lindeteves Surabaya, Surabaya, Universitas Widya Kartika, 2013.

- Handinoto, Daendles dan Perkembangan Arsitektur di Hindia Belanda Abad 19, Surabaya, Universitas Kristen Petra, 2008.

- R. Kurris, S. Sejarah Seputar Katedral Jakarta, Jakarta, Penerbit Obor, 2001

- Santoni, Transformasi dan Tipologi Indo-Europeeschen Architectuur Stijl Kawasan

Braga Bandung, Bandung, Universitas Katolik Parahyangan, 2014.

- Sulistyowati. Dian, Strategi Edukasi Museum dan Pemasarannya: Studi Kasus

Museum Sejarah Jakarta, Depok, Transkrip Seminar Towards Indonesian

(20)

- Oka A. Yoeti, Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 1997

Pustaka Digital

- Website Resmi Katedral Jakarta (www.katedraljakarta.or.id) Museum Katedral, 16 April 2014 diakses tanggal 6 Desember 2014 Sejarah Katedral Jakarta, 16 April 2014 diakses tanggal 6 Desember 2014

Gambar

Gambar 1.1  Sumber:
Gambar 1.4  Paleis op de Dam  (Sumber: www.onlinegalerij.nl)
Gambar 1.6  (Sumber: www.google.com)  Gereja Katedral Jakarta tahun 1880-1890
Gambar 1.6  Rose Window, Rozeta

Referensi

Dokumen terkait