BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
Penelitian mengenai studi kenyamanan dan pengruh bukaan terhadap kenyamanan termal bangunan di Indonesia telah banyak dilakukan sebelumnya, diantaranya yaitu: Desyana dan Hidayat (2014); Amin, dkk (2004); Hidayatullah dan Hidayat (2015); Puspitorini, dkk (2013); Ayuningtyas dan Karyono (2016); Jayanto dan Karyono (2016); Riyanto dan Karyono (2016).
Pada Jayanto dan Karyono (2016); Hidayatullah dan Hidayat (2015); Riyanto dan Karyono (2016); mengaitkan penelitiannya pada pengaruh bukaan terhadap kenyamanan termal di daerah tropis lembab. Akan tetapi berbeda pada bangunan yang di teliti. Hasil yang didapat dari penelitian Hidayatullah dan Hidayat (2015); dengan studi kasus pada bangunan SMPN 206 Jakarta Barat jalan meruya selatan yang terdiri dari 4 lantai. Metode yang digunakan untuk menentukan kenyamanan termal adalah standar baku kenyamanan termal pada ASHRAE 55-2005 DAN ISO 7730 yaitu index termal PMV dan PPD. Hasil kuesioner menunjukan bahwa sensasi termal semua responden diseluruh ruangan pengamatan adalah netral. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara pada tanggal 6-8 november 2014 kepada sejumlah siswa dibeberapa ruangan, sebagian besar siswa pada umumnya menyatakan bahwa ruang belajar mereka kurang nyaman jika ditinjau dari segi kenyamanan termal. Hal ini mengakibatkan berkurangnya konsentrasi pada saat belajar, karena siswa sering merasa kepanasan seiring meningkatnya temperature ruangan pada saat proses belajar mengajar.
Sedangkan Hasil yang didapat dari penelitian Jayanto dan Karyono (2016); Riyanto dan Karyono (2016); yaitu sama-sama mencari hasil dari persepsi pengguna, suhu nyaman dan rentang suhu, dan hasil dari pengaruh bukaan terhadap kenyamanan termal hanya saja berbeda objek lokasi. Jayanto dan Karyono (2016) melakukan penelitian nya di puskesmas kebon jeruk. Dari keseluruhan hasil persepsi tidak ada responden yang menyatakan “dingin sekali” dan “panas sekali”. Secara rata-rata responden merasakan “nyaman” (56,36%). Bukaan memberikan peningkatan kenyamanan dari segi termal dari pada tidak adanya bukaan sama sekali. Sama seperti Jayanto dan Karyono (2016); Riyanto dan Karyono (2016); melakukan penelitiannya di stasiun palmerah dengan hasil persepsi pengguna dapat dibuktikan bahwa sebagian besar pengunjung merasakan “Hangat” berada di area peron stasiun dan bukaan pada peron Stasiun Palmerah sangat tidak berpengaruh terhadap suhu (33ºC). Walaupun tidak terlalu berpengaruh terhadap suhu tinggi, bukaan sangat berpengaruh penting
dalam bangunan, karena dapat memberikan pengaruh lebih nyaman pada saat suhu terendah (27,2ºC), daripada tidak adanya bukaan sama sekali.
Pada penelitian Desyana dan Hidayat (2014); membahas mengenai studi kenyamanan termal untuk mendukung kondisi termal pada bangunan dan sensasi termal yang dirasakan penggunanya. Penelitian tersebut mengambil studi kasus pada masjid jami al-mubarok yang berlokasi di kabupaten tangerang. Hasil data yang diperoleh berdasarkan pengukuran langsung dan kuesioner pada responden dinyatakan selama pengukuran 2 hari. Hasil yang didapatkan selama 2 hari berada pada posisi netral, dengan suhu pengukuran estimator rata-rata suhu udara 28,3oC, dengan kelembaban udara mencapai
78% dan kecepatan angina 0,2 m/s, PMV 1,30 +1 (Hangat) dan PPD 40,11%.
Puspitorini, dkk (2013); Amin, dkk (2004); Ayuningtyas dan Karyono (2016); mengaitkan penelitiannya pada pengaruh bukaan pada bangunan masjid yang beradaptasi dengan iklim di daerah tropis lembab. Hasil yang didapat dari penelitian Puspitorini, dkk (2013); adalah pada Masjid Al Irsyad Kotabaru Parahyangan, Jawa Barat sangat besar pengaruhnya terhadap kondisi kenyamanan termal yang dirasakan oleh para penggunanya. Hal ini terlihat dari perbedaan kondisi yang dirasakan pada tiap titik penelitian. Pada titik-titik tertentu, diperoleh hasil yang dianggap tidak nyaman dikarenakan besarnya pergerakan udara di area tersebut. Akan tetapi secara keseluruhan, kondisi kenyamanan pada lingkungan masjid tersebut masih berada di rentang nyaman. Dengan kata lain, bangunan masjid tersebut masih memenuhi syarat kenyamanan termal di dalam suatu bangunan. Dengan desain kolam setengah lingkaran yang berada di area mihrab masjid juga berpengaruh terhadap nilai kelembaban yang terdapat di sekitar area tersebut. Dimana kelembaban relatif tersebut memiliki nilai flukstuasi yang tinggi, yang sangat dipengaruhi oleh temperature udara.
Sedangkan hasil penelitian Amin, dkk (2004); Pengaruh dari bukaan berupa pintu yang mengakibatkan turunnya tingkat kenyamanan pada daerah yang berhdapan dengan bukaan. Dari hasil penelitian tersebut dikatakan orang-orang di daerah tropis lembab lebih dapat menerima keadaan yang lebih panas dikarenaakan telah beradaptasi dengan keadaan iklim lingkungannya.
Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah, dalam perencanaan dan perancangan sebuah bangunan hendaknya diperhatikan bukaan dinding yang menghadap arah datangnya pergerakan angin/udara yang paling banyak. Hasil penelitian Ayuningtyas dan Karyono (2016) membandingkan skala ASHRAE dan skala Bedford dinyatakan nyaman. Walaupun bukaan tidak terlalu berpengaruh terhadap suhu tertinggi, bukaan sangat berpengaruh penting dalam bangunan. Hal tersebut dikarena dapat memberikan pengaruh lebih nyaman pada saat suhu terendah, daripada tidak adanya bukaan sama sekali.
Berdasarkan hasil pembahasan diatas terhadap problem statement dan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa suhu ataupun kenyamanan termal pada sebuah ruangan maupun bangunan sangat penting untuk mendukung kinerja penggunanya. Ada beberapa variable yang mempengaruhi kenyamanan termal pada suatu ruagan maupun bangunan yaitu, suhu udara, radiasi, kelembaban, dan kecepatan angin. Dari hasil pembahasan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti bukaan pada dinding bangunan yang akan dibuat dalam judul “Pengaruh Bukaan Pada Dinding Terhadap Kenyamanan Termal Pengguna Di Masjid Istiqlal Jakarta” meneruskan apa yang telah dibuat sebelumnya oleh Ayuningtyas dan Karyono (2016); Puspitorini, dkk (2013); dan Amin, dkk (2004); yang membedakannya adalah wilayah dan lokasi masjid tersebut berada di pusat perkotaan.
2.2. Kenyamanan Termal
Definisi kenyaman termal menurut beberapa pendapat, yang dikutip pada buku “Teori dan Acuan Kenyamanan Termis dalam Arsitektur” adalah:
1. Dalam kaitannya dengan bangunan, kenyamanan di definisikan sebagai suatu kondisi tertentu yang dapat memberikan sensasi yang menyenangkan (atau tidak menyulitkan) bagi pengguna bangunan tersebut. (Karyono, 1989)
2. Manusia dinyatakan nyaman secara termis ketika ia tidak dapat menyatakan apakah ia hendak melakuka perubahan suhu udara yang lebih panas atau lebih dingin dalam ruangan tersebut. (Mclntyre, 1980)
3. Hoppe (1988); mengemukakan bahwa suhu manusia naik ketika suhu ruang dinaikkan sekitar 21ºC. Kenaikan lebih lanjut pada suhu ruang tidak menyebabkan suhu kulit naik, namun menyebabkan kulit berkeringat. Pada suhu ruang sekitar 20ºC suhu nyaman untuk kulit tercapai. Selain suhu udara, suhu radiasi matahari dari sekeliling permukaan (plafon, dinding, pintu, jendela dan lantai) juga ikut mempengaruhi kenyamanan ruang. Sementara itu, pengaruh kelembaban udara pada kenyamanan ruang tidak sebesar pengaruh suhu udara. 4. Suatu “daerah nyaman” sebagai suatu kondisi dimana manusia berhasil meminimalkan
pengeluaran energi dari dalam tubuhnya dalam rangka menyesuaikan (mengadaptasi) terhadap lingkungan termisnya. (Olglay,1963)
5. ASHARAE (1992); mendefinisikan kenyamanan termis sebagai perasaan dalam pikiran manusia yang mengekspresikan kepuasan terhadap lingkungan termisnya. Berdasarkan standar ini juga, disyaratkan bahwa suatu kondisi dinyatakan nyaman apabila tidak kurang dari 90% responden yang diukur menyatakan nyaman secara termis.
Dari kelima definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kenyamanan termal adalah suatu perasaan atau pikiran nyaman manusia dalam mengekspresikan kepuasan terhadap lingkungan di sekitarnya. Dimana kenyamanan termal tersebut dapat tercipta dari kondisi iklim disekitar. Suatu kenyamanan termal dapat di ukur berdasarkan 90% responden menyatakan nyaman secara termal. Selain pengaruh dari iklim, sifat fisik yang dapat menyesuaikan untuk menjadi ‘suhu’ juga dapat mempengaruhi kenyamanan termal.
Berikut standar zona kenyamanan termal di Indonesia adalah sebagai berikut (Kurniasih, 2009, h.33) : a. Sejuk Nyaman : 22,5 – 22,8°C
b. Nyaman Optimal : 22 - 26°C c. Nyaman Hangat : 26 – 27,1°C
d. Panas : > 27,1°C
2.2.1. Faktor yang mempengaruhi kenyamanan termal
Menurut teori kenyamanan termis yang dikutip pada buku “Teori dan Acuan Kenyamanan Termis dalam Arsitektur”, dinyatakan bahwa kondisi kenyamanan termis ditentukan oleh faktor ikilm dan faktor individu atau faktor personal. Faktor iklim yang mempengaruhi terdiri dari: suhu udara, suhu radiasi rata-rata, kelembapan udara, serta kecepatan angin. Sementara faktor inidividu yang turut menentukan keadaan sushu nyaman adalah laju metabolisme atau jenis aktifitas serta jenis pakaian yang dikenakan. Sementara menurut Adanya pengaruh dari bukaan dinding berupa pintu yang mengakibatkan turunnya tingkat kenyamanan pada daerah yang berhadapan dengan bukaan, ini ditandai dengan nilai PMV yang terendah berada pada daerah yang berhadapan dengan bukaan. Dan juga daerah yang berada padaa titik silang dari ventilasi silang.
Iklim
Dalam kamus Oxford iklim didefinisikan sebagai kawasan dengan kondisi tertentu yang meliputi temperatur, kelembaban, angin, cahaya, dan sebagainya. Secara etimologi iklim berasal dari bahasa Latin clima yaitu daerah atau lereng dari Bumi; bahasa Yunani klima daerah, zona. Menurut kamus Merriam-Webster climate berarti kondisi atau keadaan cuaca rata-rata pada suatu tempat-biasanya dalam periode tahunan – yang meliputi temperatur, kecepatan angin, dan curah hujan. Dalam KBBI arti kata iklim adalah keadaan hawa (suhu, kelembaban, awan, hujan, dan sinar matahari) pada suatu daerah dalam jangka waktu yang agak lama.
Temperatur Udara
Hoppe (1988); melakukan pengukuran terhadap suhu kulit dari sempel laki-laki berusia 35 tahun yang dalam posisi duduk dan melakukan kerja ringan, mengenakan pakaian lengkap (jas, baju, dan jaket). Memperlihatkan bahwa suhu kulit manusia (yang dijadikan sempel percobaan) naik ketika suhu ruang (dimana manusia ini berada dinaikkan hingga sekitar 21oC. Kenaikan lebih lanjut pada suhu ruang tidak menyebabkan suhu kulit naik
namun menyebabkan kulit berkeringat. Pada suhu ruang sekitar 20oC suhu nyaman pada kulit
tercapai.
Kelembapan Udara
Secara umum, pengaruh kelembaban terhadap iklim ruang (dalam bangunan) tidaklah sebesar pengaruh suhu udara, atau suhu radiasi rata-rata. Kenaikan RH dari 30% hingga sekitar 75% hanya akan meningkatkan suhu rata-rata kulit. Meskipun demikian masih belum diketahui apakah kenaikkan RH diats 75% tidak akan memberikan pengaruh yang besar terhadap kenyamanan termal. Pada kondisi nyata, manusia dari daerah beriklim kering kemungkinan besar akan menderita apabila berkunjung ke daerah beriklim lembab.
Temperatur Radiasi
Suhu radiasi rata-rata adalah ukuran untuk aliran panas radiasi dari sekeliling permukaan seperti halnya langit-langit, dinding, pintu, jendela dan lantai. Kenyamanan termal pada kecepatan angin yang rendah tidak jauh berbeda dengan efek yang diberikan suhu udara terhadap kenyaman termal. Fenomena ini akan muncul karena adanya peningkatan koefisien perambatan panas secara konveksi.
Kecepatan Angin
Mangunwijaya (2000); dan Krisek (1978); menjelaskan bahwa kecepatan angin ataupun kecepatan udara termasuk faktor yang mempengaruhi kenyamanan termal seseorang. Kecepatan angin untuk kenyamanan dalam ruangan terdapat pada batas-batas kecepatan antara 0,1 m/detik sampai dengan 0,5 m/detik, apabila melebihi batas tersebut sudah dirasakan tidak enak terutama bagi orang yang sudah lanjut usia menurut Mangunwijaya (2000). Sedangkan Krisek (1978); Kecepatan udara yang optimum bagi pertumbuhan tanaman di bawah kondisi terkendali adalah 0,5 m/s.
Pengaruh kecepatan angin pada kenyamanan termal berbeda jika kita bandingkan dengan fakto-faktor iklim lain. Semakin besar nilai kecepatan angin (udara) akan berpengaruh
terhadap semakin rendahnya suhu kulit rata-rata. Ketika kecepatan udara meningkat, dari 0.00 m/s menjadi 0.002 m/s, nilai T akan turun sekitar 2oC. Meskipun demikian, hal ini hanya
berlaku pada lingkungan dimana suhu udara berada dibawah suhu kulit. Jika suhu udara lebih tinggi dibanding suhu kulit, efek dari aliran udara akan sama dengan faktor-faktor iklim yang lain, dimana peningkatan kecepatan angin akan menaikkan suhu kulit. Berdasarkan ASHRAE (1992); merumuskan angin maksimum untuk kecepatan udara pada ruang kantor yang sebesar 0.25 m/s untuk kondisi musim panas. Angka diperkirakan dapat digunakan bagi kondisi iklim tropis basah seperti halnya Indonesia.
Orientasi Bangunan
Pada iklim tropis, fasad bangunan yang berorientasi Timur-Barat merupakan bagian yang paling banyak terkena radiasi matahari (Mangunwijaya, 1980). Oleh karena itu, bangunan dengan orientasi ini cenderung lebih panas dibandingkan dengan orientasi lainnya. Selain orientasi terhadap matahari, orientasi terhadap arah angin juga dapat mempengaruhi kenyamanan termal, karena orientasi tersebut dapat mempengaruhi laju angin ke dalam ruangan (Boutet, 1987). (Gambar 2.1). Dimensi dan bentuk dari suatu bangunan juga dapat mempengaruhi lebar bayangan angin (Boutet, 1987) (Gambar 2.2).
Gambar 2. 1 Orientasi bangunan persegi terhadap arah angin (Boutet, 1987 dalam Latifah, dkk 2013)
Radiasi panas matahari masuk melalui proses konduksi pada material bangunan (Latifah, dkk 2013). Panas tersebut dapat masuk ke dalam ruangan melalui dinding, atap, ataupun kaca jendela (Tabel 2.1). Perletakan massa bangunan yang berpola seperti papan catur akan membuat aliran udara lebih merata. Perletakan massa bangunan yang berpola sejajar akan menciptakan pola lompatan aliran udara yang tidak biasa dengan kantung turbulensinya(Boutet, 1987 dalam Latifah, dkk 2013) (Gambar 2.2).
Gambar 2. 2 Pengaruh dimensi dan bentuk dari bangunan terhadap ukuran bayangan angin (Boutet, 1987 dalam Latifah, dkk 2013)
Tabel 2. 1. Transmitan konstruksi pada dinding bangunan
NO Tipe Konstruksi Transmitan, U (W/m2DegoC)
1 Batu bata diplester kedua sisi, tebal 144 mm 3,24
2 Batu bata tidak diplester, tebal 228 mm 2,67
3 Batu bata diplester kedua sisi, tebal 228 mm 2,44
4 Beton padat biasa, tebal 152 mm 3,58
(Latifah, N.L., Harry Perdana, Agung Prasetya, dan Oswald P.M. Siahaan, 2013)
2.2.2. Faktor Individu Yang Mepengaruhi
Penjabaran faktor-faktor individu yang berpengaruh terhadap kenyamanan termal ini, di kutip bedasarkan buku “Teori dan Acuan Kenyamanan Termis dalam Arsitektur” Karyono, (2001). Berikut penjabarannya:
Jenis Aktivitas
Jenis aktifitas berpengaruh pada laju metabolisme tubuh manusia. Laju metabolisme pada tubuh manusia bervariasi tergantung dari jenis aktifitas yang dilakukannya. Laju metabolisme dinyatakan dalam satuan “met‟ (metabolic rate atau laju metabolisme), yang didefinisikan sebagai laju metabolisme tubuh persatuan luas tubuh manusia dalam keadaan istirahat (duduk/diam). Penelitian Boothby yang dikutip Mclntyre (1980); memperlihatkan
bahwa basal metabolisme manusia menurun seiring dengan bertambahnya usia, dan laju metabolisme pria lebih tinggi dibanding wanita pada usia sama.
Jenis Pakaian
Jenis pakaian yang dikenakan oleh seseorang akan berpengaruh pada pertukaran panas antara tubuh dengan lingkungan di sekitarnya, sehingga akan menentukan tingkat kenyamanan dari orang yang bersangkutan. Karena panas yang ditimbulkan tubuh harus dibuang ke lingkungan di sekitarnya dalam rangka mempertahankan suhu tubuh agar tetap konstan pada sekitar 37°C, pakaian yang dikenakan oleh seseorang akan menghambat pelepasan panas dari tubuh ke lingkungan di sekitarnya.
Pada suhu udara yang rendah (dingin), pakaian tebal diperlukan untuk menahan pelepasan panas dari tubuh ke udara sekitarnya. Sebaliknya pada suhu udara tinggi (dimana suhu udara mendekati atau melebihi suhu kulit, pakian tipis dan longgar akan diperlukan untuk mempermudah pelepasan panas tubuh ke udara di sekitarnya.
Dalam banyak hal, pakaian dapat mencerminkan keadaan iklim setempat. Di daerah yang beriklim panas orang cenderung berpakaian tipis, sebaliknya di Negara yang beriklim dingin orang cenderung berpakaian tebal.
2.2.3. Faktor Ketidaknyamanan Setempat
Fanger (1970); menyatakan bahwa kondisi termal (suhu) yang netral belum merupakan jaminan tercapainya udara ruang yang nyaman (atau netral), jika satu atau beberapa bagian tubuhnya menerima efek panas yang sangat berbeda antar satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat terjadi misalnya jika salah satu bagian tubuhnya menerima efek pemanasan sementara bagian yang lain menerima pendinginan. Keadaan seperti ini biasanya disebut dengan istilah “ketidaknyamanan setempat (local discomfort). Ketidaknyamanan setempat (lokal) dapat disebabkan oleh hembusan udara dingin atau panas yang mengenai sebagian tubuh manusia, atau oleh radiasi yang tidak merata pada tubuh yang disebabkan oleh benda panas contohnya, pancaran sinar matahari yang langsung mengenai bagian tubuh, atau dapat juga terjadi ketidaknyamanan setempat disebabkan oleh perbedaan suhu yang besar pada arah vertikal, misalnya suhu udara disekitar kepala normal (nayaman) namun suhu lantai dimana kaki berpijak sangat rendah (dingin). Hal tersebut dapat mengakibatkan ketidaknyamanan setempat. ASHRAE (1989).
Hembusan Udara Kencang
Hembusan udara yang mengenai hanya sebagian dari tubuh serta memiliki kecepatan diatas ambang tertentu dapat mengakibatkan efek ketidaknyamanan setempat. Di daerah dengan iklim seperti indonesia, pada umumnya aliran udara sangat diharapkan untuk memeberikan kenyamanan. Meskipun demikian, jika aliaran atau hembusan udara ini terjadi secara lokal dan cukup kencang yang mengenai hanya sebagian tubuh tertentu, misalnya bagian kepala, atau bagian kaki saja, dimana bagian tubuh yang lain tidak terkena, hal ini akan mengakibatkan ketidaknyamanan setempat. Ayuningtyas dan Karyono (2016).
Radiasi Tidak Merata
Radiasi yang tidak merata yang mengenai tubuh manusia akan mengekibatkan ketidaknyaman. Radiasi matahari yang menembus dinding kaca mungkin akan jatuh mengenai sebagian dari tubuh manusia yang kebetulan duduk atau berada didekat dinding kaca tersebut. Penelitaian Fanger (1980) memperlihatkan bahwa ternyata manusia lebih sensitif terhadap radiasi yang tidak merata yang disebabkan oleh radiasi panas yang terpancar dari atas kepala dibanding dengan radiasitidak merata yang disebabkan oleh elemen vertikal seperti hal nya dinding yang dingin atau bersuhu rendah. Fanger (1980) dalam Ayuningtyas dan Karyono (2016).
Perbedaan Suhu Udara Secara Vertikal
Secara umum dapat dikatakan bahwa suhu udara pada setiap titik dalam ruang akan meningkat sesuai dengan ketinggian titik tersebut terhadap lantai. Ketidaknyamanan termal dapat terjadi apabila suhu udara di sekitar kepala seseorang (dalam posisi duduk atau berdiri) berbeda cukup besar dibanding suhu udara disekitar kaki. Bagian kepala orag tersebut akan merasakan panas-tidak nyaman, sedangkan bagian kaki akan merasakan dingin tidak nyaman. Meskipun secara keseluruhan tubuh dalam keadaan nyaman. ASHRAE (1989).
2.2.4. Pengukuran Tingkat Kenyamanan Termal
kutipan buku “Teori dan Acuan Kenyamanan Termis dalam Arsitektur”, salah satu persoalan yang perlu dipechkan dalam ilmu kenyamanan termal adalah bagaimanan “kenyamanan dapat diukur secara kuantitatif. Bagaimana menyatakan kaitan antara sensasi termal manusia terhadap stimuli termal dari lingkungan sekitarnya. Bagaimana memperlhatkan atau membedakan bahwa ruang A lebih nyaman secara termal dibanding ruang B misalnya. Ada dua persoalan penting yang perlu digaris bawahi: pertama, bagaimana “menyatakan‟ sensasi yang dirasakan oleh manusia terhadap lingkungan
termalnya melalui ukuran atau satuan yang dapat dinyatakan secara kuantitatif. Kedua, bagaimana mengukur variabel-variabel yang dapat mewakili sensasi termal untuk kemudian dapat digabungkan menjadi satu nilai yang dapat mewakili secara menyeluruh kondisi lingkungan (atau ruang) tertentu.
Sensasi Termal (Suhu)
Perilaku sensasi termal tidaklah sederhana. Sensasi yang dirasakan seseorang tidak dapat dirasakan seseorang tidak dapat diperkirakan atau diprediksi secara sederhana akibat stimuli dari suhu udara atau faktor iklim yang lain seperti halnya kelembapan dan kecepatan angin. Mclntyre menyatakan bahwa hampir tidak mungkin untuk mempediksi sensasi termal secara akurat meskipun kita mengandaikan bahwa seluruh informasi atau variabel yang berpengaruh terhadap sensasi yang tersedia.
Menurut Mclntyre (1980), sensasi termal yang dirasakan oleh seseorang dipengaruhi oleh: o Sensivitas sensor termal manusia yang terletak dibawah kulit dimana stimuli termal
mengenai bagian tersebut
o Daerah yang mengalami stimuli: semakin besar daerah tersebut semakin banyak sensor yang menerima stimuli, secara langsung akan memperkuat sensasi yang dialami.
o Kemampuan adaptasi dari tiap individu yang berbeda terhadap stimuli termis.
Untuk dapat memahami secara kuantitatif, secara termal manusia terhadap stimuli yang diterimanya seperti halnya terhadap faktor iklim (suhu udara, kelembaban, dsb.), sensasi tersebut harus dapat diekspresikan atau dinyatakan dalam angka atau skala. Penggunaan skala dalam menyatakan sensasi termal telah dirintis sejak (Yaglou 1927) dan (Bedford 1936) dalam Ayuningtyas dan Karyono (2016).
Skala yang paling banyak digunakan pada saat ini adalah skala yang berdasarkan pada tujuh angka. Humphreys dan Nicol (1994), juga melakukan modifikasi terhadap skala yang digunakan Bedford. Beberapa skala yang bervariasi hingga menggunakan 25 angka telah digunakan oleh beberapa peneliti. Meskipun demikian, hasil terakhir dari penelitian psikologi memperlihatkan bahwa skala dengan tujuh bilangan merupakan skala yang terbaik untuk digunakan dalam pengukuran sensasi termal menurut Mclntre (1980).
Tabel 2. 2. Skala Pengukuran Sensasi Termal
(Sumber: Mclntre (1980) dalam Buku Teori danAcuan Kenyamanan Termis dalam Arsitektur)
Ukuran (Index) Kenyamanan Termal
Dalam kenyataan sangatlah tidak mungkin untuk menyatakan respon manusia terhadap lingkungan termal sebagai fungsi salah satu faktor iklim saja, misalnya suhu udara atau kelambaban atau yang lainnya. Respon manusia terhadap lingkungan termal merupakan akumulasi efek dari beberapa faktor yang berpengaruh secara simultan, yakni suhu udara, sahu radiasi, kelembaban udara, kecepatan angin, laju metabolisme (jenis aktifitas) dan jenis pakaian yang dikenakan oleh seseorang.
Suatu angka yang dianggap dapat mewakili ukuran rasa (sensasi) panas disebut dengan index termal, didefinisikan sebagai satuan (unit) nilai kuantitatif (dalam bentuk angka) yang dapat digunakan untuk menyatakan rasa panas yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang dalam ruang atau lingkungan termal tertentu. Dengan kata lain index termal adalah angka yang dapat digunakan untuk memperkirakan (memprediksi) tingkat (derajat) panasnya suatu keadaan yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang. Berbagai macam index telah diformulasikan oleh para peneliti yang berbeda melalui pendekatan yang berbeda dan kadangkala untuk tujuan yang berbeda pula. Beberapa index termal yang sering digunakan oleh peneliti kenyamanan termal diuraikan pada berikut ini.
Suhu Udara
Salah satu faktor dominan yang mempengaruhi tingkat kenyamanan manusia adalah suhu udara. Meskipun suhu udara tidak dikategorikan sebagai index termal, namun dalam kebutuhan praktis sehari-hari suhu udara sering sekali dikaitkan atau digunakan memperkirakan tingkat kenyamanan. Suhu udara rendah diperkirakan akan memberikan sensasi termal dingin sementara suhu udara tinggi diperkirakan akan memberikan efek panas pada tubuh manusia. Bagi kebutuhan praktis, dimana hanya tersedia alat termometer, maka pengukuran sensasi termal dapat langsung dikaitkan dengan bacaan suhu udara pada termometer.
PMV dan PPD dari Fanger
Berbagai index lain telah dikembangkan di berbagai tempat di dunia seperti: Prediksi Laju Pengeluaran Keringat Empat Jam (Predicted Four Hours Sweat Rate, P4SR), diperkenalkan McArdle dan kawan pada Pusat Penelitian Angkatan Laut Inggris (Royal Naval Research Establishment), Index Tekanan Panas (Heat Stress Index, HSI) dikembangkan Belding dan Hatch di Universitas Pittburgh, AS, serta Index Tekanan Termis (Index of Thermal Stress) dikembangkan Givoni tahun 1969 .
Meskipun demikian, Standar Internasional untuk Kenyamanan Termal (ISO 7730-1994) merekomendasikan penggunaan index yang dicetuskan oleh professor Fanger, yakni Prediksi Sensasi TermalRata-Rata (Predicted Mean Vote, PMV) dan Prediksi Prosentase Ketidaknyamanan (Predicted Precentage Dissatisfied, PPD) sebagai index atau parameter untuk indikasi sejauh mana suatu kumpulan manusia merasa nyaman atau tidak nyaman secara termal (suhu). PMV akan memberikan prediksi terhadap sensasi termal rata-rata dari sekelompok manusia yang menggunakan pakaian sejenis, aktifitas serupa dan berada pada suatu ruang tertantu. Sedangkan PPD akan memberikan prediksi terhadap prosentase ketidaknyamanan sekelompok manusia yang berada pada ruang tertentu (menggunakan pakaian dan melakukan aktifitas sejenis).
2.2.5. Elemen yang Mempengaruhi Parameter Iklim Faktor Eksternal
Vegetasimenurunkan suhu udara di sekitarnya, karena radiasi matahari akan diserap oleh daun untuk proses fotosintesa dan penguapan. Efek bayangan oleh vegetasi akan menghalangi pemanasan permukaan bangunan dan tanah di bawahnya. Daerah dengan iklim yang relatif hangat atau panas menyebabkan desain lebih ditujukan untuki pendinginan atau menyejukkan. Bagaimana cara mendinginkan atau menyejukkan bangunan tergantung dari potensi iklim. Pada daerah beriklim tropis hangat lembab tentunya berbeda dengan iklim panas kering. Indonesia adalah daerah yang beriklim hangat lembab dengan potensi angin berlimpah dan altitude yang relatif tinggi. Matahari dengan kualitas ultra violet datang dari arah terbit hingga 45°. Sedangkan kualitas radiasi matahari infra merah menjadi dominan memberikan efek panas mulai sudut 45° hingga 15° sebelum tenggelam. Oleh karena itu bila kita ingin menghalangi sinar matahari dengan kualitas radiasi panas maka pada sisi terbit ditanam tanaman dengan tipe kanopi. Sedangkan sebaliknya disisi matahari tenggelam ditanam penghalang radiasi matahari dengan tipe dahan rendah.
Gambar 2. 3. Peneduhan Dengan Vegetasi Yang Tepat Pada Posisi yang Tepat (Sumber: Sugini, 2014 dalam Riyanto dan Karyono 2016)
Pohon dan tanaman dapat dimanfaatkan untuk mengatur aliran udara ke dalam bangunan. Penempatan pohon dan tanaman yang kurang tepat menghilangkan udara sejuk yang diinginkan terutama pada periode puncak panas. Menurut White R.F (dalam Concept in Thermal Comfort, Egan, 1975) kedekatan pohon terhadap bangunan mempengaruhi ventilasi alami dalam bangunan.
Gambar 2. 4. Jarak Pohon Terhadap Bangunan dan Pengaruhnya Terhadap Ventilasi Alami (Sumber: Basaria, 2005 dalam Riyanto dan Karyono, 2016)
Unsur Air
Untuk memodifikasi udara luar yang terlalu panas masuk ke dalam bangunan dapat dilakukan dengan membuat air mancur di dalam bangunan. Keberadaan air akan menurunkan suhu udara di sekitarnya karena terjadi penyerapan panas pada proses penguapan air. Selain menurunkan suhu udara, proses penguapan akan menaikkan kelembaban. Untuk daerah iklim tropis basah seperti di Indonesia yang memiliki kelembaban yang tinggi maka peningkatan kelembaban harus dihindarkan. Oleh sebab itu penggunaan unsur air harus mempertimbangkan adanya gerakan udara (angin) sehingga tidak terjadi peningkatan kelembapan.
Faktor Internal
Orientasi Bangunan
Orientasi adalah hadapan fasade bangunan atau arah tegak lurus dari sumbu bangunan. B. Givon (1998) mengatakan bahwa orientasi bangunan mempengaruhi kondisi dalam ruang pada dua hal yang berhubungan dengan faktor iklim yaitu:
1. Radiasi matahahari dengan efek pemanasannya terhadap dinding dan ruang.
2. Masalah-masalah yang berhubungan dengan ventilasi seperti arah yang berlaku pada bangunan.
Orientasi bangunan yang didasarkan pada radiasi matahari kadang jauh berbeda dengan yang didasarkan pada arah angin. Maka untuk menentukan orientasi yang akan
dipilih harus didasarkan dari evaluasi keuntungan dari setiap faktor, yang juga ditentukan oleh faktor temperatur dan kelembapan udara setempat.
Pengudaraan Dalam Bangunan
Berdasarkan Modul fisika bangunan, Hidayat (2012); pengudaraan perlu diadakan didalam bangunan secara alami atau mekanikal. Peruntukan bukaan minimum untuk tujuan pencahayaan dan pengudaraan secara alami pun telah tersedia sebagaimana yang terkandung di dalam Undang-undang Kecil Bangunan Seragam (UBBL) 1984. Pemahaman terhadap peranan bukaan (jendela, pintu dan bukaan-bukaan kekal lain) pada bangunan khususnya dalam menyediakan alir-udara secara alami yang berkaitan dengan kesehatan dan kenyamanan penghuni serta penyejukan ruang dalamam sesebuah bangunan akan dapat menginsafkan kita agar sentiasa mematuhi kehendak (UBBL) dan kehendak-kehendak penguasa setempat.
Sebenarnya peruntukan penyediaan bukaan minimum sebagaimana yang tertera di dalam undang-undang kecil bangunan ini masih lagi tidak mencukupi sekiranya tahap kenyamanan sebenar ingin dicapai, khususnya didalam iklim panas lembap tropika seperti negara kita. Garispanduan perancangan berteraskan iklim menghendaki luas bukaan pada bangunan di sekitar 40% hingga 80% dari luas dinding. Undang-undang kecil bangunan seragam pula hanya menghendaki bukaan seluas 10% hingga 20% dari keluasan lantai. Nyatalah bahawa bukaan yang lebih besar diperlukan untuk pengudaraan alami yang lebih berkesan, bukan sebaliknya yaitu mengecilkan bukaan hingga ketahap kritikal dan memudaratkan.
Peranan Pengudaraan Dan Aliran Udara
Kita perlu memahami peranan atau fungsi pengudaraan dan alir udara terlebih dahulu sebelum kita dapat menghargai betapa pentingnya peruntukan bukaan kepada bangunan yang sewajarnya dipatuhi. Kegagalan kita untuk menilai perkara ini akan menyebabkan kita mengambil ringan kehendak-kehendak asas perancangan bangunan yang sensitif kepada iklim dan dapat memberi kenyamanan kepada penghuninya. Berikut ialah peranan-peranan yang asas pengudaraan dan alir udara didalam bangunan:
1. Untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dengan mengganti kualitas udara di dalam bangunan di atas satu paras minimum, yaitu menukarkan udara terpakai dengan udara bersih. Keadaan ini mesti dipatuhi dalam sebarang situasi dan perancangan.
2. Untuk menghasilkan kenyamanan termal yaitu untuk menambahkan kehilangan kalor badan dan mengurangi ketidakselasaan oleh kulit yang lembab dan lengket.
3. Untuk menyejukkan struktur bangunan apabila berlaku keadaan suhu didalam ruang bangunan meningkat lebih tinggi dari suhu di luar bangunan.
Mekanisme Pengudaraan Dan Alir Udara
Udara akan mengalir atau bergerak melalui sebuah bangunan hanya sekiranya terdapat perbezaan tekanan. Terdapat dua bentuk tekanan yang akan menyebabkan aliran ini berlaku yaitu:
1) Tekanan Termal
Apabila purata suhu udara di luar dan di dalam bangunan adalah berbeda, maka perbezaan ketumpatan juga berlaku dan menyebabkan cerunan tekanan udara secara menegak terbentuk. Sekiranya suhu didalam lebih tinggi dan dua bukaan disediakan, satu pada bahagian atas dan satu lagi pada bahagian bawah dinding, udara akan mengalir keluar pada bahagian atas bukaan yang disebabkan oleh tekanan yang lebih tinggi terbentuk pada bahagian atas ruang bangunan. Sementara itu tekanan rendah terbentuk pada bahagian bawah yang menyebabkan udara dingin mengalir masuk kedalam bangunan.
2) Tekanan Angin
Salah satu sumber pengudaraan alami ialah tiupan angin yang bertiup dengan kelajuan dan arah yang tertentu. Apabila angin bertiup kearah sebuah bangunan, alirannya yang lurus akan terpecah-pecah dan terlencong keatas dan kesisi bangunan berkenaan. Bahagian bangunan yang menghadap arah angin akan mengalami tekanan dan bahagian yang membelakangi arah angin akan mengalami kesan sedutan.
Material
Panas masuk ke dalam bangunan melalui proses konduksi (lewat dinding, atap, jendela kaca) dan radiasi matahari yang ditransmisikan melalui jendela/kaca. Radiasi matahari memancarkan sinar ultra violet (6%), cahaya tampak (48%) dan sinar infra merah yang memberikan efek panas sangat besar (46%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa radiasi matahari adalah penyumbang jumlah panas terbesar yang masuk ke dalam bangunan. Besar radiasi matahari yang ditransmisikan melalui selubung bangunan dipengaruhi oleh fasade
bangunan yaitu perbandingan luas kaca dan luas dinding bangunan keseluruhan serta jenis dan tebal kaca yang digunakan.
Ventilasi
Kenyamanan termal dalam ruang dapat dikendalikan dengan meningkatkan fungsi dari ventilasi. Agar performa sistem ventilasi alamiah pada bangunan mempunyai kualitas yang baik maka, diperlukan suatu desain lubang ventilasi tertentu. Berikut adalah aspek-aspek penting untuk mendesain lubang ventilasi:
1. Orientasi Lubang Ventilasi
Gambar 2. 5Ventilasi Silang
(Sumber: Dekay,2000 dalam Riyanto dan Karyon 2016)
Lubang ventilasi sebaiknya ditempatkan/diorientasikan untuk menghadap arah dimana arah angin utama menuju bangunan. Perletakan dan orientasi bukaan inlet terletak pada zona bertekanan positif dan bukaan outlet terletak pada zona bertekanan negative dalam rangka untuk mengoptimalkan pergerakan udara dalam sebuah bangunan. Perletakan dan orientasi bukaan inlet tidak hanya mempengaruhi kecepatan udara, tetapi juga pola aliran udara dalam ruangan, sedangkan lokasi outlet hanya memiliki pengaruh kecil dalam kecepatan dan pola aliran udara.
2. Posisi Lubang Ventilasi
Lubang ventilasi yang berfungsi untuk memasukan udara (inlet) seyogyanya ditempatkan dengan ketinggian manusia beraktifitas. Salah satu syarat untuk bukaan yang baik yaitu harus terjadi cross ventilation. Dengan memberikan bukaan pada kedua sisi
Bukaan Tunggal Bukaan Dinding yang sama Bukaan dengan sayap
ruangan maka akan memberi peluang supaya udara dapat mengalir masuk dan keluar. Sementara lubang ventilasi yang berfungsi mengeluarkan udara (outlet) sebaiknya diletakan sedikit lebih tinggi (di atas ketinggian aktivitas manusia) agar udara dikeluarkan dengan mudah tanpa tercampur lagi dengan udara segar yang masuk melalui inlet. Ketinggian aktivitas manusia di dalam ruangan adalah lebih kurang 60-80 cm (aktivitas duduk) dan 100-150 cm (aktivitas berdiri).
Gambar 2. 6. Posisi Inlet dan Outlet Berpengaruh Terhadap Arah Angin Di Dalam Ruangan/ Bangunan (Sumber: Mediastika, 2003 dalam Riyanto dan Karyono 2016)
1. Dimensi Lubang Ventilasi
Semakin besar ukuran lubang ventilasi dan semakin banyak jumlahnya, maka semakin besar tingkat ventilasi yang terjadi dalam ruang atau bangunan tersebut. Rasio dimensi antara inlet dan outlet akan sangat berpengaruh dalam proses ventilasi.
Gambar 2. 7. Perbedaan Dimensi Inlet dan Outlet Mempengaruhi Kecepatan Angin Pada Bangunan (Sumber: Mediastika, 2003 dalam Riyanto dan Karyono 2016
2. Tipe Bukaan
Tipe bukaan yang berbeda akan memberi sudut pengarah yang berbeda dalam menentukan arah gerak udara dalam ruang, serta efektifitas berbeda dalam mengalirkan udara masuk/ keluar ruang.
Gambar 2. 8. Desain Bukaan
(Sumber: Beckett, 1974 dalam Riyanto dan Karyono)
Tipe jendela yang baik adalah yang mampu mengalirkan udara dengan prosentase terbesar yaitu tipe casement side-hug dengan nilai prosentase 90%.
3. Arah Bukaan
Arah bukaan sangatlah berpengaruh terhadap upaya pemanfaatan angin dalam pengkondisian ruangan. Arah pada inlet akan menentukan arah gerak dan pola udara dalam ruang, sehingga perbedaan bentuk pengarah akan memberikan pola aliran udara yang berbeda-beda. Penggunanaan kanopi pada bukaan inlet akan mengarahkan aliran udara ke atas dibandingkan bukaan inlet tanpa kanopi.
Pada kondisi kecepatan angin dan arah angin terbatas, sebuah lubang ventilasi bisa dilengkapi dengan fitur-fitur tambahan untuk mengarahkan dan menambah laju angin sebelum masuk ke dalam lubang ventilasi. Sayap horizontal merupakan fitur pada inlet yang dipasang secara horizontal untuk mengarahkan angi dari luar ke dalam bangunan.
Contoh penggunaan fitur tambahan kanopi dan perbedaan aliran udara antara bukaan yang menggunakan kanopi dan tidak menggunakan kanopi dapat dilihat pada gambar 2.9 dibawah ini.
Fixed 0% Casement side-hung 90% Casement top-hung 75% Casement bottom-hung 75% Horizontal pivoted 75% Verticaly pivoted 75%
Gambar 2. 9. Perbedaan Antara Bukaan Udara Menggunakan Kanopi dan Tidak Menggunakan Kanopi (Sumber: Melaragno, Michele, 1982)
2.3. Masjid
Masjid merupakan bangunan ibadah yang dapat kita jumpai hampir pada semua tempat di Indonesia. Bentuk dan ukurannya beragam, mulai dari yang kecil sampai yang paling besar, dari yang sederhana sampai yang mewah, dari yang tradisional sampai yang modern, dari yang kuno sampai yang terbaru. Prasetyo, (2003) dalam Ayuningtyas dan Karyono, (2016).
2.3.1. Definisi Masjid
Definisi Masjid menurut para ahli:
1. masjid adalah “Tempat untuk bersujud”. Namun dalam arti terminologi, masjid diartikan sebagai tempat khusus untuk melakukan aktivitas ibadah dalam arti yang luas (universal). Muhaimin, (2003) dalam Meidiana (2016).
2. Masjid atau mesjid adalah rumah tempat ibadah umat Muslim. Masjid artinya tempat sujud, dan mesjid berukuran kecil juga disebut musholla, langgar atau surau. Ibadah adalah sebuah kata yang diambil dari bahasa Arab, yang artinya perbuatan atau pernyataan bakti terhadap Allah atau Tuhan yang didasari oleh peraturan agama, segala usaha lahir batin yang sesuai perintah agama yang harus dituruti pemeluknya, dan upacara yang berhubungan dengan agama. Rahadian, (2011) dala Meidiana (2016).
Masjid pada umumnya menggunakan ventilasi alami untuk menunjang kenyamanan termal ruang. Untuk aktifitas shalat sehari-hari dengan jumlah jama‟ah yang tidak terlalu banyak, kenyamanan termal dalam ruang masjid umumnya dapat dicapai. Tetapi pada saat pelaksanaan shalat jum‟at dengan kapasitas penuh, ruangan akan menjadi panas dan pengap, karena terjadinya akumulasi panas yang dikeluarkan oleh setiap tubuh. Untuk mengatasi hal ini biasanya digunakan kipas angin listrik agar ruangan tidak terlalu pengap. Namun, upaya ini tidak banyak membantu apabila bangunan memiliki sistem ventilasi yang buruk dan hanya menambah biaya saja. Untuk meningkatkan kenyamanan termal dalam ruang cara yang paling baik adalah dengan memaksimalkan aliran udara, yaitu dengan mengupayakan bukaan pada dinding yang seluas-luasnya, bahkan pada beberapa masjid tidak memiliki dinding. Indaryadi, (2011) dalam Ayuningtyas dan Karyono (2016).
2.3.2. Fungsi Peranan Masjid
Berdasarkan kutipan Desyana (2014), fungsi masjid paling utama adalah sebagai tempat melaksanakan ibadah shalat berjama‟ah. Kalau kita perhatikan, shalat berjama‟ah adalah merupakan salah satu ajaran Islam yang pokok, sunnah Nabi dalam pengertian muhaditsin, bukan fuqaha, yang bermakna perbuatan yang selalu dikerjakan beliau. Ajaran Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam tentang shalat berjama‟ah merupakan perintah yang benar-benar ditekankan kepada kaum muslimin. Sebenarnya, inti dari memakmurkan Masjid adalah menegakkan shalat berjama‟ah, yang merupakan salah satu syi‟ar Islam terbesar. Sementara yang lain adalah pengembangannya. Shalat berjama‟ah merupakan indikator utama keberhasilan kita dalam memakmurkan Masjid. Jadi keberhasilan dan kekurangberhasilan kita dalam memakmurkan masjid dapat diukur dengan seberapa jauh antusias umat dalam menegakkan shalat berjamaah.
Meskipun fungsi utamanya sebagai tempat menegakkan shalat, namun Masjid bukanlah hanya tempat untuk melaksanakan shalat saja. Di masa Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam, selain dipergunakan untuk shalat, berdzikir dan beri'tikaf, Masjid bisa dipergunakan untuk kepentingan sosial. Misalnya, sebagai tempat belajar dan mengajarkan kebajikan (menuntut ilmu), merawat orang sakit, menyelesaikan hukum li'an dan lain sebagainya. Dalam perjalanan sejarahnya, Masjid telah mengalami perkembangan yang pesat, baik dalam bentuk bangunan maupun fungsi dan perannya. Hampir dapat dikatakan, dimana ada komunitas muslim di situ ada Masjid. Memang umat Islam tidak bisa terlepas dari Masjid. Disamping menjadi tempat beribadah, Masjid telah menjadi sarana berkumpul, menuntut ilmu, bertukar pengalaman, pusat da‟wah dan lain sebagainya. Banyak Masjid didirikan umat Islam, baik Masjid umum, Masjid Sekolah, Masjid Kantor, Masjid Kampus maupun yang lainnya.
2.4. Kerangka teoritis
Berdasarkan kajian di atas tentang kenyamanan termal, faktor pengaruh kenyamanan termal, dan penjelasan tentang masjid maka dapat dibuat kerangka teoritis sebagai berikut :
Pengaruh Bukaa Terhadap Kenyamanan Termal Pada Ruang Shalat Masjid Istiqlal
Kenyamanan Termal Masjid
Definisi Masjid Fungsi Dan Peranan Masjid Faktor – Faktor Kenyamanan Termal Pengukuran Tingkat Kenyamanan Termal Elemen Yang Mempengaruhi Parimeter Iklim Faktor – Faktor Kenyamanan Termal: Suhu radiasi rata-rata. Suhu udara. Kelembapan udara. Kecepatan angin Faktor Individu : Jenis Pakaian Jenis Aktivitas Faktor Ketidaknyamanan Setempat Kenyamanan Setempat : Hembusan udara kencang. Radiasi panas tidak merata. Perbedaan suhu udara secara vertical.
Sensasi Termal (Suhu): Skala ASHRAE Skala Bedford Skala Humphreys & Nicole Ukuran (Indeks) Kenyamanan Termal : Suhu Udara PMV dan PPD Faktor Eksternal): Vegetasi Unsur Air Faktor Internal : Orientasi bangunan Material Ventilasi
(sumber : Dokumen pribadi) Gambar 2. 10. Kerangka Teoritis