• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstruksi Tindak Pidana Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia * Agung Yudhawiranata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Konstruksi Tindak Pidana Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia * Agung Yudhawiranata"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Konstruksi Tindak Pidana

Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia* Agung Yudhawiranata

Pendahuluan

Bagian ini akan menjelaskan tentang konsep pelanggaran berat menurut hukum internasional dan dalam wacana dan instrumen hukum positif di Indonesia, kerancuan yang ada dalam konteks hubungan antar instrumen hukum serta beberapa kekeliruan berkaitan dengan element of crimes dalam konsep pelanggaran berat hak asasi manusia tersebut dan ketidak sesuaiannya dengan apa yang dikenal sebagai standar internasional.

2.1. Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional

Dalam hukum internasional, wacana mengenai pelanggaran berat hak asasi manusia secara umum bisa dikatakan terbagi dalam dua “mazhab”:

a. berkaitan dengan konvensi internasional mengenai hak asasi manusia

Dalam “mazhab” ini, yang dimaksud dengan pelanggaran berat hak asasi manusia biasanya merujuk pada pelanggaran atas non-derogable rights atau pelanggaran atas ius cogens yang dilakukan oleh negara atau aparat negara terhadap warganya.

Yang dimaksud dengan non-derogable rights (hak yang tidak bisa dikurangi atau ditunda pemenuhan dan perlindungannya dalam kondisi apa pun) di sini adalah beberapa hak sipil dan politik yang dijamin dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yaitu hak untuk hidup (pasal 6), hak untuk tidak mendapatkan penyiksaan (pasal 7), hak untuk tidak diperbudak (pasal 8), hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian (pasal 11), hak untuk tidak dihukum atas tindakan yang bukan merupakan tindak pidana pada saat tindakan tersebut dilakukan (pasal 15), hak untuk diakui sebagai pribadi di muka hukum (pasal 16), dan hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama (pasal 18).1

Beberapa konvensi turunan dari UDHR dan Kovenan Hak Sipil dan Politik secara spesifik juga melindungi non-derogable rights, seperti Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT) misalnya yang secara tegas menyatakan status hak untuk tidak mendapatkan siksaan sebagai non-derogable rights seperti tercantum dalam pasal 2 ayat (2): “Tidak ada keadaan pengecualian apapun, apakah keadaan perang atau ancaman perang, ketidakstabilan politik dalam negeri ataupun keadaan darurat, yang dapat digunakan sebagai pembenaran untuk penyiksaan”.

* Draft paper dipersiapkan untuk materi Training Hukum HAM untuk Dosen Pengajar Hukum HAM di Fakultas Hukum Negeri dan Swasta di Indonesia, diselenggarakan oleh PUSHAM UII dan Norwegian Center for Human Rights (NCHR) Di Yogyakarta, 23-27 Januari 2006.

1

Pernyataan tentang hak-hak ini sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun, dan kewajiban negara untuk melindunginya juga tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun terdapat dalam pasal 4 ayat 2 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

(2)

Yang dimaksud dengan ius cogens adalah norma umum dalam hukum internasional yang disepakati, diterima, dan diakui oleh negara-negara dalam masyarakat internasional secara keseluruhan sebagai sebuah norma yang tidak boleh dilanggar dan atau dikurangi dan hanya bisa dirubah jika lebih banyak negara-negara di dunia menyepakati, menerima, dan mengakui sebuah norma lain yang subsekuen dengannya.2

Dalam perkembangan wacana hukum hak asasi manusia internasional berikutnya, pelanggaran terhadap non-derogable rights sebagaimana tercantum dalam ICCPR dan dielaborasi dalam beberapa konvensi hak asasi manusia yang lebih spesifik juga dianggap merupakan pelanggaran terhadap ius cogens, misalnya penyiksaan.3

b. berkaitan dengan konsep kejahatan internasional

Menurut “mazhab” yang ini, pelanggaran berat hak asasi manusia terjadi ketika suatu negara membiarkan terjadinya atau justru melakukan melalui aparat-aparatnya tindak-tindak kejahatan serius (serious crimes) atau kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) yang telah disepakati sebagai tindak kejahatan internasional (international crimes); dan atau negara tersebut gagal atau tidak mau menuntut pertanggungjawaban dari para aparat negara pelaku tindak kejahatan tersebut. Padahal mengadili para pelaku kejahatan internasional merupakan sebuah keharusan mutlak bagi masyarakat dunia (obligatio erga omnes) karena para pelaku tersebut merupakan musuh bersama seluruh umat manusia (hostis humanis generis)

Statuta dan praktek pengadilan Tokyo, Nuremberg, ICTY, ICTR, dan Statuta Roma adalah sumber hukum internasional terpenting yang memberikan sumbangan definitif terhadap apa yang disebut sebagai international crimes saat ini.

Statuta Pengadilan Nuremberg dan Tokyo tahun 1945 lah yang pertama kali menguraikan kejahatan-kejahatan yang hingga saat ini dianggap sebagai tindak kejahatan internasional, yaitu kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).4 Selain itu, dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo inilah pertama kali dikenal konsep individual criminal responsibility.

Berawal dari preseden yang disumbangkan oleh kedua pengadilan internasional itulah, pada tanggal 21 November 1947, pasca perang dunia kedua, PBB membentuk Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) melalui Resolusi Majelis Umum PBB no.174(II). Komisi ini bertugas untuk menyusun sebuah standar hukum internasional yang menjadi pegangan setiap negara anggota PBB. Pada sessi pertemuan yang ke 48, yang berlangsung bulan Mei sampai Juli 1996, Komisi Hukum Internasional ini berhasil menyepakati untuk mengadopsi serangkaian norma-norma atau prinsip-prinsip hukum internasional yang terangkum dalam 20 pasal “Draft Code of Crimes Against Peace and Security of Mankind”.5 Dalam draft kodifikasi tersebut dinyatakan bahwa yang termasuk

2

Untuk lebih jelasnya, lihat Vienna Convention on the Law and Treaties, 1958, pasal 53. 3

Untuk uraian kronologis bagaimana anti-penyiksaan menjadi ius cogens, lihat bab 2 dari Ign Haryanto dkk, Penyiksaan dan Mereka yang Selamat (LSPP, 2002)

4

Harris, D.J., Cases and Materials on International Law, Street and Maxwell, London, 1973, Appendix I hal 541.

5

(3)

di dalam tindak “kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia” adalah kejahatan agresi (pasal 16) –yang memberikan dasar bagi penjabaran lebih lanjut definisi command responsibility6, kejahatan genosida (pasal 17), kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 18), kejahatan terhadap PBB dan personel-personelnya (pasal 19), serta kejahatan perang (pasal 20).

Pengadilan internasional berikutnya yang memberikan sumbangan sangat penting dalam proses pendefinisian tindak pidana yang termasuk “kejahatan internasional” adalah Pengadilan Pidana Internasional untuk Negara Bekas Yugoslavia (ICTY). Statuta ICTY memberikan sumbangan besar terhadap pengembangan konsep individual criminal responsibility dan command responsibility, dimana mereka yang dianggap bertanggung jawab pidana secara individu tidak hanya orang yang melakukan tapi juga yang memerintahkan melakukan tindak kejahatan7 ICTY pula yang memperkenalkan praktek penerapan command responsibility dalam pengadilan pidana.

Pengadilan internasional lainnya, yaitu Pengadilan Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda, ICTR) yang dibentuk melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB no. S/RES/955 tahun 1994, dalam statutanya8 menyatakan bahwa lingkup kewenangan pengadilan tersebut adalah mengadili mereka yang bertanggung tindak kejahatan internasional yang masuk dalam yurisdiksi ICTR ini adalah: genosida (pasal 2); kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 3)9; dan pelanggaran pasal 3 seluruh Konvensi-konvensi Geneva 1949 beserta Protokol tambahan II tahun 1977 (pasal 4). Berikutnya pada tahun 1994, Draft Statute for an International Criminal Court,10 yang menjadi cikal bakal Statuta Roma, yang juga merupakan hasil kerja International Law Commission, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak kejahatan internasional dan akan berada dalam yurisdiksi pengadilan pidana internasional adalah kejahatan Genosida, Kejahatan agresi, pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku saat pertikaian bersenjata, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan yang dilakukan berkaitan dengan perjanjian11 yang merupakan tindak kejahatan yang sangat serius yang bersifat internasional.

6

dalam Draft Code ini, mereka yang bertanggung jawab untuk kejahatan agresi tidak harus kepala negara atau aparatnya, melainkan siapa saja yang menjadi pemimpin (leader) atau penyelenggara (organizer), yang secara aktif berperan dalam, atau memerintahkan perencanaan, persiapan, inisiasi, atau memicu terjadinya sebuah agresi oleh sebuah negara.

7

Lihat pasal 2, 3, 4, dan 5 dari Satuta ICTY 8

lihat bagian Preambule Statuta ICTR 9

pasal 3 Statuta ICTR, di bawah judul “kejahatan terhadap kemanusiaan” menyatakan kewenangan ICTR untuk mengadili mereka yang melakukan pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, penahanan, penyiksaan, perkosaan, persekusi dengan alasan politik, rasial dan keagamaan, serta tindakan tidak manusiawi lainnya, apabila dilakukan sebagai bagian dari sebuah serangan yang meluas atau sistematis. 10

International Law Commission, Draft Statute for an International Criminal Court, UN doc A/49/10 (1994), vol II, bagian kedua, pasal 20.

11

Lihat ibid, pada bagian lampiran. Yang dimaksud dengan “kejahatan yang dilakukan berkaitan dengan perjanjian” di sini adalah pelanggaran serius terhadap keempat Konvensi Geneva 1949, Protokol tambahan Konvensi Geneva 12 Agustus 1949, dan Protokol I Konvensi Geneva tertanggal 8 Juni 1977; pembajakan pesawat sesuai dengan definisi dalam pasal 1 Convention for the Supression of Unlawful Seizure of Aircraft 16 Desember 1970; kejahatan yang didefinisikan dalam pasal 1 Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation 23 September 1971; kejahatan apartheid dan kejahatan terkait lainnya sebagaimana didefinisikan pada pasal 2 International Convention on the Suppression and

(4)

Ketika Statute for an International Criminal Court (Statuta Mahkamah Pidana Internasional) akhirnya disepakati dalam International Diplomatic Conference di Roma pada tanggal 17 Juli 1998 disebutkan tindak-tindak kejahatan internasional adalah “kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan”12 yaitu: genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

Sumbangan penting lain dari Statuta Roma ini adalah pencantuman secara eksplisit bahwa kejahatan yang berupa serangan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Beberapa tindakan yang dapat dimasukkan dalam dua kategori ini adalah: perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi yang dipaksakan, kehamilan yang dipaksakan, sterilisasi yang dipaksakan, atau bentuk lain dari kekerasan seksual yang memiliki bobot yang setara (equal gravity) (pasal 7 ayat 1.b)(pasal 8 ayat 2.b.xxii)(pasal 8 ayat 2.e.vi). Statuta tidak berbeda substansi dengan yang terkandung dalam hukum internasional yang ada dalam hal ini. Pencantuman secara detail dan eksplisit tindakan kejahatan seksual ini dalam yurisdiksi Mahkamah, merupakan sebuah penguatan yang kritis bahwa perkosaan dan bentuk serangan seksual lainnya dalam situasi tertentu merupakan tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional.13

2.2. konsep Pelanggaran berat HAM dalam instrumen hukum Indonesia

Dalam UU no.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM, dalam penjelasan pasal 4 disebutkan bahwa hak untuk tidak dihukum berdasarkan hukum yang berlaku surut dapat ditiadakan “…dalam hal pelanggaran berat hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.” Dari kutipan ini bisa ditafsirkan: dengan kata lain, sebuah pelanggaran HAM bisa dianggap pelanggaran berat jika digolongkan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Istilah “pelanggaran berat HAM” menjadi sub-ordinat dari kejahatan terhadap kemanusiaan (kejahatan terhadap

Punishment of the Crime of Apartheid 30 November 1973; kejahatan sebagaimana didefinisikan dalam pasal 2 Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons 14 Desember 1973; penyanderaan atau tindak kejahatan terkait lainnya sesuai dengan definisi dalam pasal 1 International Convention against the Taking of Hostages 17 Desember 1979; penyiksaan sebagaimana didefinisikan dalam pasal 4 Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT); kejahatan sebagaimana didefinisikan dalam pasal 3 Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation dan pasal 2 Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf, keduanya tertanggal 10 Maret 1988; serta kejahatan yang melibatkan perdagangan gelap narkotika dan psikotropika sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3 paragraf 1 the UN Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 20 Desember 1988.

12

Dalam Statuta Roma, baik di bagian Mukadimah maupun di bagian pasal-pasalnya tidak ada penjelasan eksplisit tentang istilah pelanggaran berat HAM, yang ada adalah tentang tindak-tindak kejahatan paling serius. Dalam bagian Mukadimah ada dinyatakan sebagai berikut: “Menyadari bahwa dalam abad ini berjuta-juta anak, orang perempuan dan laki-laki telah menjadi korban dari kekejaman tak terbayangkan yang sangat mengguncang nurani kemanusiaan; Mengakui bahwa kejahatan yang sangat keji tersebut mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia; Menegaskan bahwa kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan tidak boleh dibiarkan tak dihukum dan bahwa penuntutan mereka secara efektif harus dijamin dengan mengambil tindakan di tingkat nasional dan dengan memajukan kerjasama internasional.”

13

selengkapnya lihat Jerry Fowler, “Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional: Sebuah Kerangka Kerja Bagi Generasi Mendatang”, pengantar dalam Statuta Roma, ELSAM 2001.

(5)

kemanusiaan menjadi generic). Padahal, dalam pasal 7 UU no.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dinyatakan bahwa “pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi (a) kejahatan genosida; (b) kejahatan terhadap kemanusiaan.” Artinya, kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu bentuk kejahatan yang termasuk pelanggaran berat hak asasi manusia yang diakui di Indonesia.

Lebih lanjut, konteks isi dari pasal 7 UU no.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tersebut di atas, ditambah dengan isi dalam pasal spesifik mengenai apa yang dimaksud dengan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 8 dan 9 UU no.26/2000) juga berbeda dengan konsep sebagaimana tercantum dalam UU no.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM, dimana dalam penjelasan pasal 104 ayat (1) disebutkan bahwa “yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary / extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination).”

Sementara, pada bagian penjelasan umum atas UU no.26 tahun 2000 menyatakan bahwa “pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan extra ordinary crimes dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun immaterial yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia;” Penjelasan ini mempunyai dampak seakan-akan menjelaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak mempunyai delik pidana, karena tidak tercakupnya hal ini dalam KUHP. Meskipun jika ditilik lebih lanjut, delik pidana dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida sebagaimana tercantum dalam pasal 8 dan 9 UU no.26 tahun 2000 sudah ada dalam KUHP meskipun dengan sedikit perbedaan definitif. Misalnya delik pembunuhan, penyiksaan, dll.14

Dari paparan diatas dapat dilihat bahwa dalam dua aturan perundangan yang setingkat dan saling terkait ternyata ada perbedaan konsep tentang “pelanggaran berat hak asasi manusia”. Bukan hanya konsep, tapi juga hubungan antara kejahatan terhadap kemanusiaan dengan pelanggaran berat hak asasi manusia.

2.3. Formulasi Tindak Pidana Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Menurut UU No.26/2000

Pelanggaran HAM Berat dalam UU no.26 tahun 2000 sebagaimana tercantum dalam pasal 7 hanya meliputi dua macam kejahatan yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.15 Implikasinya, Para pelanggar HAM yang bisa diadili menjadi semakin sedikit karena kejahatan yang dapat diadili oleh Pengadilan ini hanya meliputi dua jenis kejahatan itu saja, delik kejahatan Internasional (delicta juris gentium) diluar dua jenis

14

penjelasan lebih lanjut mengenai unsur-unsur delik pidana dalam UU no.26 tahun 2000 akan dibahas di bab lain dari penelitian ini

15

(6)

kejahatan tersebut seperti misalnya kejahatan agresi dan kejahatan perang serta pelanggaran terhadap Konvensi Genewa tidak ter-cover di dalam Undang-Undang ini. Oleh karena itu Pengadilan HAM ini dikhawatirkan oleh banyak pihak tidak akan dapat melaksanakan efective remedy bagi korban pelanggaran HAM. Padahal penjelasan Undang-Undang ini secara eksplisit menyatakan bahwa UU ini mengacu pada Statuta Roma. Jika memang demikian, mengapa tidak juga dimasukkan Kejahatan Perang dan Kejahatan Agresi ke dalam yurisdiksi pengadilan HAM dalam UU no.26/2000? Selain itu, ternyata ada ketidak sesuaian yang sangat signifikan antara bentuk-bentuk pelanggaran berat hak asasi manusia sebagaimana yang dicantumkan dalam UU no.26/2000 dengan definisi tindak kejahatan serupa menurut hukum internasional.

a. Tentang Konsep Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Sementara, dalam bagian mengenai definisi konsep-konsep tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, dan tentang tanggung jawab komando UU No.26/2000 mengadopsi pengertian yang terdapat dalam Statuta Roma. Sayangnya adopsi tersebut dilakukan dengan beberapa distorsi yang pada akhirnya melemahkan konsep kejahatan terhadap kemanusian itu sendiri.16 Pengertian “kejahatan terhadap kemanusiaan” dalam pasal 9 UU no.26/2000 juga sumir karena tidak ada parameter yang tegas untuk mendefinisikan unsur “meluas”, “sistematik” dan “intensi” yang menjadi unsur utama bentuk kejahatan ini. Ketidakjelasan defenisi menyangkut ketiga elemen tersebut mengakibatkan (pembuktian) pemidanaan terhadap kejahatan-kejahatan yang dimaksud akan menjadi sulit.17

Kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang rumusannya terdapat dalam pasal 9 UU No 26 tahun 2000 berbunyi sebagai berikut:

“Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, …”

Rumusan di atas memiliki kelemahan mendasar yaitu: pertama, tidak jelasnya defenisi kejahatan terhadap kemanusiaan dari tiga elemen penting yaitu: elemen meluas (widespread), sistematik dan diketahui (intension). Ketidakjelasan defenisi ketiga elemen itu membuka bermacam interpretasi di pengadilan. (Sebagai perbandingan lihat pengertian dalam Statuta Roma dimana “intension” didefinisikan dengan tegas.18)

16

sebagai gambaran awal ketidaksinkronan UU no.26 tahun 2000 dengan Statuta Roma, lihat Penjelasan Pasal Demi Pasal (bagian II), pasal 7 UU no.26 tahun 2000, dinyatakan “kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai dengan Rome Statute of the International Criminal Court (pasal 6 dan pasal 7)”. Namun dalam penjelasan untuk pasal 9 huruf a dinyatakan “yang dimaksud dengan pembunuhan adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. 17

akan dijelaskan di bagian berikutnya dalam bab ini 18

Lihat Pasal 30 ayat 2 & 3, Statuta Roma, yang mengatur mengenai mental element: “For the purposes of ths article, a person has intent where: (2) (a) In relation to conduct, that person means to engage in the conduct; (b) In relation to a consequence that person means to cause that consequence or is aware that it will occur ordinary course of events. (3) For the purposes of this article,”knowledge” means awareness that a circumstance exists or consequence will occur in thw ondinary course of events. “Know” and “knowingly” shall be construed accordingly.”

(7)

Akibatnya pembuktian dan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam pasal yang sama19 menjadi sulit sehingga dakwaan menjadi sumir.

Dalam praktek hukum yang menangani kejahatan terhadap kemanusiaan seperti misalnya di pengadilan Nuremberg, ICTR, dan ICTY, para hakim melakukan interpretasi terhadap unsur meluas dengan menekankan pada luasan geografis dan massivitas jumlah korban; sementara terhadap unsur sistematik implementasi kebijakan diindikasikan melalui adanya pola yang sama dan berulang-ulang dan metodik.20 Mengingat bahwa tidak ada aturan yang secara eksplisit mengharuskan pengadilan untuk mengadopsi praktek-praktek hukum internasional, maka tidak ada kepastian apakah interpretasi semacam ini juga akan digunakan dalam pengadilan HAM di Indonesia. Kondisi yang sama juga berlaku terhadap elemen “diketahui”.

Kedua, adanya problematika yang timbul dari penerjemahan yang keliru dalam pasal ini oleh undang-undang yaitu kata: directed against any civilian population (bahasa Inggris, pengertian ini berasal Statuta Roma pasal 7) yang seharusnya diartikan: ditujukan kepada populasi sipil, oleh undang-undang ini diartikan: ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kata “langsung” ini bisa berimplikasi bahwa seolah-olah hanya para pelaku langsung di lapangan sajalah yang dapat dikenakan pasal ini sedangkan pelaku diatasnya yang membuat kebijakan tidak akan tercakup oleh pasal ini. Penggunaan kata “penduduk” dan bukannya “populasi” sendiri telah menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasan-batasan wilayah, dan hal ini secara signifikan juga menyempitkan target-target potensial korban kejahatan terhadap kemanusiaan hanya pada warga negara di mana kejahatan tersebut berlangsung.

Majelis hakim pada ICTY dan ICTR mengadopsi pengertian yang luas mengenai “populasi sipil”. Untuk melindungi mereka yang potensial menjadi korban kejahatan terhadap kemanusiaan, pengertian populasi sipil diartikan juga sebagai siapa saja yang dalam batasan waktu tertentu secara aktif terlibat dalam kejadian dimana ia berada dalam posisi mempertahankan diri dalam kondisi tertentu dapat dianggap sebagai korban kejahatan terhadap kemanusiaan. Termasuk didalamnya anggota “gerakan perlawanan” yang telah menyerah dan tidak bersenjata.21 Adopsi definisi yang seperti ini sulit diharapkan terjadi dalam Pengadilan HAM mengingat anggota gerakan perlawanan di Indonesia cenderung dianggap sebagai “pemberontak” dan tidak dianggap sebagai “penduduk sipil”.

19

Pasal 9 UU no.26/2000 20

Lihat antara lain keputusan hakim dalam kasus Akayesu, ICTR (Case no.ICTR-96-4-T), 2 September 1998, paragraf 580; kasus Tihomir Blaskic, ICTY (Case no. IT-95-14-T), 3 Maret 2000, paragraf 203 dan 206. Lihat juga penegasan pengertian serupa dalam Draft Code of Crimes Against the Peace and Security of Mankind, Laporan International Law Commission dalam sidang sessi ke 48, (UN Doc. A/51/10) paragraf 94-95 (Commentary on Article18 part 4): “…committed in a systematic manner meaning pursuant to a preconceived plan or policy. The implementation of this plan or policy could result in the repeated or continuous commission of inhumane acts… committed on a large scale meaning that the acts are directed against a multiplicity of victims.”

21

Lihat “Opinion and Judgment” dalam kasus Tadic (ICTY). Masih dalam ICTY, lihat juga Keputusan Peninjauan Kembali Dakwaan berkaitan dengan aturan nomor 61 dalam Rules of Procedures and Evidence, ICTY Case no. IT-95-13-R61 (Kasus Vukovar), 3 April 1996, Bab I paragraf 29. Secara subsekuen, ICTR dalam kasus Akayesu juga mengadopsi definisi yang secara substansial serupa.

(8)

Selain itu juga distorsi penerjemahan konsep dalam klasifikasi perbuatan di bawah definisi kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan penerjemahan “persecution” menjadi “penganiayaan” dalam UU No 26 tahun 2000 juga merupakan tantangan pembuktian yang tak mudah bagi jaksa. Karena tidak ada penjelasan definitif yang detail, maka acuan definisi dirujuk kepada definisi “penganiayaan” dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP). Padahal, persecution memiliki arti yang lebih luas merujuk pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental maupun fisik ataupun ekonomis. Artinya tidak mensyaratkan perbuatan yang langsung secara ditujukan pada fisik seseorang.22 Dengan digunakannya kata “penganiayaan” maka tindakan teror dan intimidasi yang sifatnya non-fisik atas seseorang atau kelompok sipil tertentu atas dasar kepercayaan politik menjadi tidak termasuk dalam kategori tersebut, dan Jaksa harus membuktikan adanya tindakan fisik yang terjadi dan bukan hanya akibat yang ditimbulkan.

Dalam Statuta roma, unsur meluas atau sistematik juga dapat ditelusuri melalui unsur tindak pidana (element of crime) yang dilakukan pada korban sipil, artinya, meluas dapat tidak hanya mengacu pada massivitas korban atau luasan wilayah kejadian, melainkan juga bisa diacu pada intensivitas bentuk kejahatan yang dilakukan. Prinsip ini terpapar dengan jelas dalam rumusan pasal 7 ayat 2 mengenai penjelasan definitif atas “extermination” (pemusnahan): “… includes the intentional infliction of conditions of life, inter alia the deprivation of access to food and medicine, calculated to bring about the destruction of part of a population.” Dalam rumusan pasal 9 UU no.26/2000 terma “calculated” tidak disertakan. Dengan tidak adanya “pertimbangan” ini maka bisa dibilang secara otomatis membatasi pembuktian unsur meluas semata-mata pada jumlah korban dan luasan geografis.

Analisis pasal 9g: bentuk2 kekerasan seksual lainnya yang setara Æ bisa diinterpretasikan sebagai bentuknya yang setara, padahal di statuta roma yang setara adalah bobot kekerasannya (equal gravity)

Tidak dimasukkannya pasal 7 ayat k dari ICC b. Konsep Tanggung Jawab Komando

Ketentuan pidana dalam UU no.26/2000 juga melingkupi tanggung jawab komando (command responsibility). Namun pasal 42 ayat 1 Undang-Undang ini mempunyai beberapa kelemahan dengan konsekuensi hukum yang besar. Pengertian tanggung jawab komando dalam pasal ini dijabarkan sebagai berikut:

“komando militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komando militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif, …”

22

Bandingkan pengertian “persecution” dalam ICC atau ICTY Statute dengan pengertian “penganiayaan” dalam UU No 26/2000 pasal 9(h). Penganiayaan sebagaimana pengertian dalam KUHP dalam bahasa Inggris setara (bukan sama secara definitif) dengan pengertian “assault” yang menunjuk pada penyerangan secara langsung terhadap fisik seseorang. Lihat juga Bassiouni, Crimes Against Humanity in the International Law, Kluwer Law International , 1999, hal 247.

(9)

Pengertian di atas, yang menggunakan kata “dapat” (could) dan bukannya “akan” (shall) atau “harus” (should), secara implisit menegaskan bahwa tanggung jawab komando dalam kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang diatur melalui UU ini bukanlah sebuah hal yang bersifat otomatis dan wajib. Pasal ini secara tegas menguatkan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pasal 9 yang cenderung ditujukan pada pelaku langsung di lapangan. Dengan demikian Jaksa Penuntut Umum harus dapat menunjukkan dan membuktikan adanya “keperluan” (urgensi) untuk mengadili para penanggung jawab komando, dan bukan hanya pelaku lapangan saja.

Lebih lanjut, pasal 42 ayat 1 (a) mensyaratkan penanggung jawab komando untuk “seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.” Padahal, sumber dari pasal spesifik tersebut, yaitu pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma secara tegas menyatakan bahwa komandan militer seharusnya “mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan…”23

Distorsi ini berarti mengabaikan adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Meskipun dalam pasal 42 ayat 1 (b) pengabaian ini dikoreksi dengan kalimat “komando militer tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut, …” namun tidak ada definisi dan batasan yang tegas tentang apa yang “layak” dan “perlu” dilakukan oleh penanggung jawab komando.24

Selain itu, pasal ini berimplikasi pada pengadilan terpaksa menekankan fokus perhatiannya pada proses, yaitu apakah tindakan yang dilakukan sudah layak atau tidak, apakah perlu atau tidak (obligation of conduct), dan secara otomatis mengabaikan pada kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh penanggung jawab komando berhasil mencegah dan menghentikan kejahatan atau tidak (obligation of result). Padahal, selain harus bertanggung jawab jika menjadi pelaku langsung, penganjur, atau penyerta, seorang atasan seharusnya juga bertanggung jawab secara pidana atas kelalaian melaksanakan tugas (dereliction of duty) dan kealpaan (negligence). Standar hukum kebiasaan internasional untuk “kealpaan” dan “kelalaian” dalam arti yang luas menyatakan bahwa seorang atasan bertanggung jawab secara pidana jika: (1) ia seharusnya mengetahui (should have had knowledge) bahwa pelanggaran hukum telah dan atau sedang terjadi, atau akan terjadi dan dilakukan oleh bawahannya; (2) ia mempunyai kesempatan untuk mengambil tindakan; dan (3) ia gagal mengambil tindakan korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada atau terjadi saat itu.25 Tentang apakah seseorang tersebut “seharusnya mengetahui” harus diuji sesuai

23

Pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma: “That military commander or person either knew or, owing to the circumstances at the time, should have known that the forces were committing or about to commit such crimes;” (garis bawah dari penulis)

24

Batasan definitif tanggung jawab komando yang kabur ini juga diulangi pada pasal 42 ayat 2 yang mengatur tentang tanggung jawab atasan (polisi dan pejabat sipil).

25

Lihat artikel Jordan J. Paust “Superior Orders and Command Responsibility” dalam M Cherif Bassiouni (ed.), International Criminal Law, Volume I, Kluwer International, 1999, hal 236-237; Lihat juga artikel Anthony D’Amato, Superior Orders vs Command Responsibility, American Journal of International Law, edisi 80 (1986), hal. 604, 607-608; Penjelasan yang lebih panjang lebar dapat dilihat pada tulisan William Eckhardt, Command Criminal Responsibility: A Plea for a Workable Standard, Military Law Review, edisi 97 (1982).

(10)

keadaan yang terjadi dan dengan melihat juga orang/pejabat lain yang setara dengan tertuduh.

Pasal 7(3) Statuta ICTY juga secara interpretatif mencerminkan standar kebiasaan internasional tersebut. Pasal tersebut mengakui adanya pertanggungjawaban pidana jika seseorang “mengetahui atau mempunyai alasan untuk tahu” (knew or had reason to know) kelakuan bawahannya. Kalimat ini berkaitan dengan adanya kegagalan untuk mencegah suatu kejahatan atau menghalangi tindakan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh bawahannya atau menghukum mereka yang telah melakukan tindak pidana. Meskipun pasal ini memfokuskan pada keadaan dimana seorang bawahan akan melakukan suatu tindak pidana atau telah melakukannya, tidak ada indikasi bahwa tanggung jawab pidana tersebut akan dihilangkan jika ada tindakan yang telah dilakukan oleh si atasan namun pelanggaran / kejahatan oleh bawahan tetap terjadi.26

2.4. Simpulan

Dalam pemahaman umum (common knowledge) hukum kebiasaan internasional, sebuah negara dianggap melakukan pelanggaran berat HAM (gross violation of human rights) jika (1) negara tidak berupaya melindungi atau justru meniadakan hak-hak warganya yang digolongkan sebagai non-derogable rights; atau (2) negara yang bersangkutan membiarkan terjadinya atau justru melakukan melalui aparat-aparatnya tindak-tindak kejahatan internasional (international crimes) atau kejahatan serius (serious crimes) yaitu kejahatan genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang;27 dan atau negara tersebut gagal atau tidak mau menuntut pertanggungjawaban dari para aparat negara pelaku tindak kejahatan tersebut. Artinya, istilah “pelanggaran berat HAM” sendiri berada di tataran yang bisa dibilang “abstrak” atau discourse, sementara peristiwanya tetap merupakan sebuah tindak kejahatan yang harus dituntut pertanggung jawaban pidananya secara individu (individual criminal responsibility) karena para pelaku tindak pidana internasional merupakan “musuh bersama umat manusia” (hostis humanis generis), dimana mengadili mereka merupakan kewajiban umat manusia secara keseluruhan (obligatio erga omnes). Di sinilah terjadi kriminalisasi dari konsep pelanggaran berat HAM tersebut. Dari discourse ke penal code, dari negara ke aparat/individu.28

Dalam sistem hukum Indonesia tidak ada pernyataan hukum yang tegas bahwa apa yang dilakukan oleh para individu dalam kapasitasnya sebagai aparat negara atau dalam konteks kebijakan sebuah negara tersebut adalah sebuah tindak pidana atau “kejahatan”. Dengan kata lain, dalam sitem hukum di Indonesia, kriminalisasi dari pelanggaran negara hilang. Yang dari sudut pandang praktis, hal ini akan menyulitkan proses pertanggung jawaban pidana dari berbagai bentuk pelanggaran berat HAM yang terjadi.

26

Seperti yang ditegaskan kembali dalam Laporan Sekjen PBB tentang Resolusi Konflik Keamanan 808, UN Doc. S/25704 (1993) paragraf 56.

27

Di Afrika Selatan, istilah gross violations of human rights dimasukan dalam tataran konstitusional, untuk “menyetarakan” kejahatan apartheid yang terjadi di Afrika Selatan dengan kejahatan internasional seperti kejahatan genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang.

28

Penjelasan yang lebih ekstensif mengenai konsep tanggung jawab individu ini dipaparkan dalam bab selanjutnya (bab 3).

(11)

Dari paparan di atas, tampak adanya ketidaksinkronan konsep dan posisi atau status dari pelanggaran berat hak asasi manusia dalam sistem hukum pidana Indonesia. Apa yang dianggap dalam hukum internasional sebagai sebuah tindak kejahatan serius (serious crimes) dalam kedua undang-undang tersebut “hanya” dianggap sebagai sebuah pelanggaran berat (gross violation) saja, yang meskipun dikaitkan dalam penjelasan UU no.26 tahun 2000 dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), tetap saja sebuah “pelanggaran” berkonotasi pada sekedar tindakan indisipliner atau administratif, yang dalam wacana hukum internasional lebih populer dengan istilah “misconduct”. Pemilahan dan hubungan yang begitu jelas antara “pelanggaran berat HAM” dengan “kejahatan serius / luar biasa” dalam wacana hukum internasional menjadi sumir dan kabur digambarkan dalam instrumen hukum positif di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu rata-rata kematian larva uji yang berasal dari wilayah buffer Pelabuhan Tanjung Emas menunjukkan angka sebesar 68%. Menurut WHO, angka kematian larva

Anita Hartini Suryaman (2010) peta wisata interaktif adalah peta yang menggambarkan atau menjelaskan lokasi-lokasi tempat tujuan wisata di dalam suatu kota atau

Ini menunjukkan bahwa partai politik belum optimaldalam proses pencatatan sampai dengan pelaporan untuk laporan keuangan, untuk itu penelitian ini bertujuan untuk

Hasil-hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa (1)Penerapan ketentuan pidana materil terhadap kasus tindak pidana pemerkosaan oleh Bapak terhadap Anak Tiri,

Selain itu, putusan hakim yang menjatuhkan putusan bagi terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dan menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika

masyarakat Mandar di Kecamatan Sendana Kabupaten Majene ialah diantaranya: (1) penentuan calon dilihat dari akhlaknya yang baik (agama); (2) penjajakan dengan maksud

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa program literasi merupakan program yang bertujuan untuk mengembangkan kebiasaan membaca

Ranah psikomotor yang dinilai terdiri dari tiga aspek yaitu, aspek menirukan (menyesuaikan hasil LDS dengan media), aspek memanipulasi (membuat jawaban pada LDS dengan tepat dan