• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSPEK BUDIDAYA KEDELAI PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DAN SAWAH IRIGASI SEDERHANA UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI KEDELAI DI SUMATERA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROSPEK BUDIDAYA KEDELAI PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DAN SAWAH IRIGASI SEDERHANA UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI KEDELAI DI SUMATERA BARAT"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PROSPEK BUDIDAYA KEDELAI PADA LAHAN SAWAH TADAH

HUJAN DAN SAWAH IRIGASI SEDERHANA UNTUK

PENINGKATAN PRODUKSI KEDELAI DI SUMATERA BARAT

Prospects of Soybean Cultivation on the Rainfed Rice Field and

Simple Irrigation Rice Field to Increase Soybean Production in

West Sumatra

Winardi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat Jalan Raya Padang-Solok KM 40; Kotak Pos 34 Padang 25001

E-mail: winardikhatib@yahoo.co.id

ABSTRACT

Development of soybean farming in the various agro-ecosystems in Indonesia face many obstacles, such as lack of fertile land and competition with other commodities. This review suggests the prospect of rainfed and simple irrigation rice field for increase soybean production in West Sumatra. From 247,482 ha of the total rice field in West Sumatra, rainfed covers 49,208 ha (19.88%) and simple irrigated (including village/non governmental irrigation) 92,752 ha (37.48%). Distribution of the two types of land in a row in some districts that had become the center of soybean production in West Sumatra are as follows: Pasaman (2,262 ha and 9,312 ha), West Pasaman (4,770 ha and 5,632 ha), Sijunjung (5,827 ha and 5,194 ha), Dharmasraya (1,788 ha and 904 ha), and Pesisir Selatan (7,720 ha and 9,548 ha). Studies in various places shows that rainfed and simple irrigated rice field suitable for improvement of soybean cultivation, namely in the cropping pattern Rice-soybean or Soybean-rice. The advantages of Rice-soybean cultivation in rainfed or simple irrigated rice field can increase the Planting Index (PI), breaking the cycle of pests and diseases, and improve farming efficiency. The studies in West Sumatera showed that soybean productivity both at research and farmer assistance program on the rainfed or simple irrigation rice field ranged from 2.0 to 3,0 t/ha. New high yielding varieties of soybeans available today consists of several options suitable for paddy fields, namely soybean early to moderate duration (75-95 days). Of 18 soybean varieties suitable for paddy field, including 10 varieties of large seed size (13.5 to 18.5 g/100 seeds) and favored by artisan of tofu or tempe. The factors mentioned above has a chance to return the interest of farmers to cultivate soybeans and increased yield in West Sumatra.

Keywords : soybean cultivation, rainfed rice fields, simple irrigation rice fields, West Sumatra.

ABSTRAK

Pengembangan usahatani kedelai pada berbagai agro-ekosistem menghadapi berbagai hambatan di Indonesia, seperti lahan yang kurang subur dan persaingan dengan komoditas lain. Review ini mengemukakan prospek sawah tadah hujan dan sawah irigasi sederhana untuk peningkatan produksi kedelai di Sumatera Barat. Dari 247.482 ha total luas sawah di Sumatera Barat, sawah tadah hujan mencakup 49.208 ha (19,88 %) dan

(2)

sawah irigasi sederhana (termasuk irigasi desa/non PU) 92.752 ha (37,48 %). Sebaran kedua jenis lahan tersebut secara berturut-turut di beberapa kabupaten yang pernah menjadi sentra produksi kedelai di Sumatera Barat adalah sebagai berikut: Pasaman (2.262 ha dan 9.312 ha), Pasaman Barat (4.770 ha dan 5.632 ha), Sijunjung (5.827 ha dan 5.194 ha), Dharmasraya (1.788 ha dan 904 ha), dan Pesisir Selatan (7.720 ha dan 9.548 ha). Studi di berbagai tempat menunjukan bahwa sawah tadah hujan dan sawah irigasi sederhana sesuai untuk pengembangan budidaya kedelai, yaitu dalam pola tanam Padi-kedelai atau Kedelai-padi. Keuntungan budidaya Padi-kedelai pada sawah tadah hujan atau sawah irigasi sederhana, yaitu dapat meningkatkan Indeks Pertanaman (IP), memutus siklus hama penyakit, dan meningkatkan efisiensi usahatani. Penelitian-penelitian di Sumtera Barat menunjukan bahwa produktivitas kedelai baik ditingkat penelitian maupun program pendampingan petani pada lahan sawah tadah hujan atau sawah irigasi sederhana berkisar dari 2,0 hingga 3,0 t/ha. Varietas unggul baru (VUB) kedelai yang tersedia dewasa ini terdiri atas beberapa pilihan yang sesuai untuk lahan sawah, yaitu kedelai berumur genjah sampai sedang (75-95 hari). Dari 18 varietas kedelai yang sesuai untuk lahan sawah, 10 varietas diantaranya berukuran biji besar (13,5-18,5 g/100 biji) dan disukai oleh pengrajin tahu dan tempe. Faktor-faktor tersebut di atas berpeluang untuk mengembalikan minat petani untuk membudidayakan kedelai serta peningkatan hasil di Sumatera Barat.

Kata kunci : budidaya kedelai, sawah tadah hujan, sawah irigasi sederhana, Sumatera Barat

PENDAHULUAN

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, maka permintaan akan komoditas kedelai terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam beberapa tahun terakhir produksi kedelai berkisar 800.000 ribu ton per tahun, sementara kebutuhan telah mencapai 2,5 juta ton. Dengan demikian kekurangan kebutuhan kedelai tergantung kepada kedelai impor. Menurut Atman (2006) proyeksi permintaan kedelai tahun 2018 sebesar 6,11 juta ton, sedangkan produksi kedelai tertinggi yang pernah dicapai tahun 1992 hanya 1,87 juta ton. Karenanya tanpa upaya dan kebijakan khusus, hingga tahun 2018 kebutuhan kedelai nasional tetap akan bergantung pada impor.

Produktivitas kedelai ditingkat petani relatif rendah yaitu sekitar 1,3 t/ha. Peningkatan produksi kedelai bisa ditempuh dengan berbagai cara, yaitu melalui inovasi teknologi, peningkatan areal tanam dan pembukaan lahan baru. Penerapan inovasi teknologi antara lain melalui perakitan varietas kedelai yang sesuai dengan berbagai agro-ekosistem. Selain sawah irigasi, kedelai bisa dikembangkan pada berbagai lahan sub optimal seperti lahan kering masam, rawa pasang surut atau rawa lebak. Namun pengembangan kedelai pada lahan sub optimal relatif sulit akibat tanahnya relatif tidak subur dan tingginya pertumbuhan gulma serta serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) (Arsyad et al., 2000).

Penanaman kedelai di lahan sawah sesudah panen padi sangat besar artinya dalam meningkatkan efisiensi pemanfaatan sawah tadah hujan atau yang beririgasi sederhana sehingga dapat meningkatkan Indeks Pertanaman (IP). Di

(3)

Sumatera Barat luas lahan tersebut mencapai 141.960 ha, yang terdiri dari sawah tadah hujan 49.208 ha, sawah beririgasi sederhana 92.752 ha. Areal pertanaman kedelai di Sumatera Barat pada masa lalu umumnya berasal dari lahan sawah. Sentra produksi kedelai di Sumatera Barat yang utama mencakup Kabupaten Pasaman, Sijunjung, dan Pesisir selatan (Atman, 2006).

Hasil penelitian di Sumatera Barat menunjukkan bahwa usahatani kedelai pada lahan sawah mempunyai prospek yang baik karena selain kedelai berumur pendek (2,5-3 bulan) juga produksinya lebih tinggi dibanding lahan kering, yaitu 2,5-3,0 t/ha. Keuntungan lain yang didapat adalah putusnya siklus hidup hama dan penyakit padi serta dapat melaksanakan usaha optimalisasi pola tanam di lahan sawah (Atman, 2006).

Makalah ini merupakan hasil review yang mencoba menganalisis prospek budidaya kedelai pada lahan sawah tadah hujan dan sawah irigasi sederhana untuk peningkatan produksi kedelai di Sumatera Barat. Topik-topik yang dikemukakan dalam makalah ini adalah sebagai berikut: a). Potensi sawah tadah hujan dan irigasi sederhana di Sumatera Barat; b). Budidaya kedelai pada sawah tadah hujan dan irigasi sederhana; dan c). Inovasi teknologi kedelai pada lahan sawah tadah hujan dan irigasi sederhana.

POTENSI SAWAH TADAH HUJAN DAN IRIGASI SEDERHANA DI SUMATERA BARAT

Sawah tadah hujan adalah sawah yang sumber airnya tergantung atau berasal dari curah hujan tanpa adanya bangunan-bangunan irigasi permanen. Sawah ini biasanya terletak pada posisi yang lebih tinggi dari sawah irigasi atau sawah lainnya sehingga tidak memungkinkan terjangkau oleh pengairan. Waktu tanam padi sangat tergantung pada datangnya curah hujan. Sedangkan sawah irigasi sederhana adalah sawah yang sumber airnya dari tempat lain (umumnya berupa mata air) dan salurannya dibuat secara sederhana oleh masyarakat/petani setempat, tanpa bangunan-bangunan yang permanen (Ritung et al., 2013).

Menurut Atman (2006), sebagian besar lahan sawah tadah hujan di Sumatera Barat biasanya dibiarkan bera setelah panen padi untuk waktu cukup lama (1-3 bulan). Pemanfaatan lahan ini untuk budidaya kedelai dengan pola Kedelai-padi dapat meningkatkan Indeks Pertanaman yaitu dari 150 persen menjadi 200-250 persen per tahun.

Selanjutnya Syufri (2012) menyatakan bahwa lahan sawah tadah hujan di Sumatera Barat mempunyai IP 100 persen dengan pengertian ditanami satu kali dalam setahun pada musim hujan. Di musim kemarau lahan ini belum dimanfaatkan secara optimal dan sebagian diberakan sampai pada musim tanam berikutnya. Dari hasil penelitian terlihat sebagian lahan sawah tadah hujan ini mempunyai peluang yang besar untuk perluasan areal tanam kedelai. Produktivitas kedelai yang ditanam sesudah padi umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas kedelai pada lahan kering.

(4)

Berdasarkan data BPS Sumatera Barat (2010) luas sawah di Sumatera Barat secara keseluruhan 247.482 ha yang terdiri atas berbagai kondisi pengairan, seperti irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana/desa, sawah tadah hujan, dan sawah bentuk lainnya. Dari luasan di atas maka luas sawah tadah hujan dan sawah irigasi sederhana masing-masing 49.208 ha (19,88%) dan 92.752 ha (37,48%). Sebaran kedua jenis sawah secara berturut-turut di beberapa kabupaten yang pernah menjadi sentra produksi kedelai di Sumatera Barat adalah sebagai berikut: Pasaman (2.262 dan 9.312 ha), Sijunjung (5.827 dan 5.194 ha), dan Pesisir Selatan (7.720 dan 9.548 ha). Sebaran luas sawah lebih lengkap di Sumatera Barat untuk selanjutnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Ada sembilan kabupaten di Sumatera Barat yang memiliki sawah tadah hujan dan sawah beririgasi sederhana cukup luas. Di Kabupaten Sijunjung pada Tahun 2009 luas sawah tadah hujan 5.864 ha, sawah lahan irigasi sederhana mencakup irigasi desa 5.194 ha. Penyebaran sawah tersebut terutama di Kecamatan Tanjung Gadang, Sijunjung, Lubuk Tarab, IV Nagari, Kupitan, Koto VII dan Sumpur Kudus (BPS Sijunjung, 2009). Sedangkan di Kabupaten Padang Pariaman sebaran kedua jenis sawah tersebut pada Tahun 2010 masing-masing 4.671 ha dan 9.230 ha (Lampiran 1). Kedua jenis sawah di Kabupaten Padang Pariaman bisa dijumpai di setiap kecamatan (BPS Padang Pariman, 2010).

Sebaran sawah tadah hujan tahun 2010 di Kabupaten Pasaman 2.262 ha dan sawah irigasi sederhana/irigasi desa 9.312 ha (BPS Pasaman, 2010). Di Kabupaten Pasaman Barat sebaran kedua jenis sawah masing-masing 4.770 ha dan 5.632 ha. Di Kabupaten yang disebut belakanagan sawah menyebar di Kecamatan Sungai Beremas, Ranah Batahan, Koto Balingka, Lembah Malintang, Gunung Tuleh, Talamau dan Pasaman (BPS Pasaman Barat, 2010). Di Kabupaten Agam sebaran kedua jenis sawah berturut-turut 3.183 ha dan 9,796 ha (BPS Agam, 2010). Sebaran luas kedua jenis sawah di kabupaten lainnya adalah sebagai berikut: Limapuluh Kota 8.112 ha dan 9.545 ha (BPS Limapuluh Kota, 2010); Kabupaten Tanah Datar 5.835 ha dan 13,002 ha (BPS Tanah Datar, 2010); Kabupaten Solok 1.404 ha dan 11.750 ha (BPS Solok, 2010); dan Kabupaten Pesisir Selatan 7.720 ha dan 9.548 ha (BPS Pesisir Selatan, 2010 ).

BUDIDAYA KEDELAI PADA SAWAH TADAH HUJAN DAN IRIGASI SEDERHANA

Sawah tadah hujan dan sawah irigasi sederhana karena keterbatasan persediaan air pada dasarnya memiliki produktivitas dan intensitas pertanaman yang rendah. Musim hujan yang pendek menyebabkan penanaman padi hanya dapat dilakukan satu kali dalam setahun, selanjutnya lahan dibiarkan bera. Peningkatan produktivitas lahan sawah diantaranya dapat dilakukan melalui penerapan teknologi spesifik lokasi berdasarkan potensi sumberdaya domestik dengan memperhatikan aspek lingkungan (Sujutno et al., 2012 ).

Mulyani (2008) menjelaskan bahwa lahan yang sesuai untuk kedelai di Indonesia berupa lahan sawah 4.418.726 hektar. Lahan sawah yang sesuai untuk

(5)

kedelai dengan sebaran yang cukup luas ditemukan di berbagai provinsi, seperti: NAD (141.171 ha), Sumatera Selatan (144.326 ha), Lampung (109.050 ha), Banten (134.558 ha), Jawa Barat (881.510 ha), Jawa Tengah (887.525 ha), Jawa Timur (1.172.223 ha), Nusa Tenggara Barat (208.197 ha) dan Sulawesi selatan (354.421 ha). Sedangkan di Sumatera Barat sendiri lahan yang sesuai untuk kedelai berupa lahan sawah adalah 186.692 ha.

Menurut Ridwan dan Zulrasdi (2010), lahan sawah tadah hujan atau sawah irigasi sederhana merupakan sumber daya yang sangat potensial untuk pengembangan kedelai karena sebagian besar diantaranya belum dimanfaatkan secara optimal. Lahan tersebut biasanya hanya ditanami padi sekali dalam setahun kemudian diberakan sampai datang musim hujan berikutnya. Kondisi seperti ini tentu sangat berpeluang untuk ditanami dengan kedelai.

Pola tanam kedelai pada lahan sawah didasarkan atas tipe lahan, curah hujan atau persediaan air dan musim. Di lahan sawah irigasi kedelai biasanya diusahakan pada MK I, yaitu dalam pola sayuran atau padi-palawija-palawija, sedangkan pada MK II diusahakan dalam pola padi-padi-palawija. Penanaman kedelai di lahan sawah tadah hujan dilakukan pada MH dalam pola palawija-padi dan pada MK I dalam pola padi-palawija (Anonymous. 2013a).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi agar kedelai bisa masuk dalam pola tanam pada lahan sawah, antara lain: umur yang sesuai dengan pola tanam yang berlaku (< 80 hari), potensi produktivitas tinggi (> 2,0 t/ha), dapat meningkatkan pendapatan petani (mampu bersaing dengan tanaman lain). Berbeda dengan sawah irigasi teknis yang mampu mengadopsi pola tanam padi-padi-kedelai atau padi-padi-kedelai-palawija lainnya, pola tanam yang ideal untuk sawah tadah adalah padi-kedelai-bera (Anonymous, 2013b).

Di Sumatera Barat, sesuai dengan kondisi iklim dan pola tanam yang berlaku dewasa ini maka waktu tanam kedelai di lahan sawah adalah bulan Maret-April (MK I) atau Juni-Juli (MK II). Kadang-kadang diikuti pertanaman ketiga apabila memungkinkan yaitu antara bulan Juni-September. Waktu tanam ini dapat juga disesuaikan dengan kondisi iklim setempat. Curah hujan yang cukup selama pertumbuhan dan berkurang saat pembungaan dan menjelang pemasakan biji dapat mendorong peningkatan hasil kedelai (Atman, 2006).

Di Sumatera Barat terjadi fluktuasi luas areal penanaman kedelai berdasarkan periode. Pada Tahun 1980 luas penanaman kedelai di Sumatera Barat adalah 2.380 ha dengan produksi 2.348 ton. Sentra utama kedelai pada masa itu adalah Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Sawahlunto Sijunjung (BPS Sumbar, 1980). Pada Tahun 1991 terjadi peningkatan luas areal penanaman kedelai yang cukup berarti, yaitu 16.233 ha dengan produksi 17.581 ton. Pada tahun yang disebut terakhir, selain Kabupaten Pasaman dan Sawahlunto Sijunjung, Kabupaten Pesisir Selatan juga tercatat sebagai sentra produksi kedelai (BPS Sumbar, 1991).

Sejak Tahun 2005 terjadi penurunan areal penanaman kedelai di Sumatera Barat. Sebagai contoh pada tahun 2009 di Kabupaten Sijunjung hanya ditemukan areal penanaman kedelai 39 ha dengan produktivitas 1,71 t/ha (BPS Sijunjung,

(6)

2009). Sedangkan pada Tahun 2011 luas areal penanaman kedelai di Pasaman Barat hanya 344 ha (BPS Pasaman Barat, 2011). Penurunan areal penanaman kedelai di Sumatera Barat sama halnya dengan daerah lainnya di Indonesi dipicu oleh rendahnya daya saing kedelai dalam negeri terhadap kedelai impor. Produktivitas kedelai di tingkat petani relatif rendah (sekitar 1,3 t/ha). Selain itu kedelai impor memiliki ukuran biji besar yang lebih disenangi oleh pengrajin tahu dan tempe. Semuanya itu menyebabkan minat petani untuk mengusahakan kedelai menjadi menurun (Atman, 2006).

INOVASI TEKNOLOGI KEDELAI PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DAN IRIGASI SEDERHANA

Pada lahan sawah tadah hujan dan sawah irigasi sederhana dengan menerapkan komponen-komponen teknologi utama mampu meningkatkan produktivitas 100-150 persen. Komponen-komponen tersebut adalah penyiapan lahan, penggunaan varietas unggul, pengaturan waktu tanam yang tepat, penggunaan benih bermutu, populasi tanaman optimal, dan pengendalian OPT secara terpadu. Hal ini terbukti melalui pendekatan PTT kedelai selama musim tanam 2005 dan 2006. Melalui standar prosedur baku komponen-komponen teknologi tersebut ternyata mampu mencapai produktivitas tinggi (> 2,0 t/ha) dan secara ekonomis menaikkan pendapatan petani (Anonymous, 2013a).

PTT (Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Pertanian Terpadu) adalah salah satu pendekatan dalam usahatani yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani serta melestarikan lingkungan produksi. Dalam implementasinya, PTT mengintegrasikan komponen teknologi pengelolaan lahan, air, tanaman, dan organisme pengganggu tanaman secara terpadu (Siagian, 2011).

Persiapan lahan sawah sangat menentukan agar kedelai tumbuh dan berproduksi dengan baik. Terlebih dahulu sawah dikeringankan 1-2 minggu sebelum panen padi agar tanah tidak terlalu becek waktu menanam kedelai. Penanaman kedelai segera sesudah panen padi memberi keuntungan karena populasi gulma masih sedikit dan tanah masih gembur. Tunggul jerami dipotong sekitar 20-30 cm dari permukaan tanah yang bertujuan untuk mencegah pertumbuhan tunas baru dan memudahkan penanaman kedelai. Pada lahan sawah diperlukan pembuatan saluran drainase sebelum bertanaman dengan jarak 3-5 m dan kedalaman 20-30 cm. Saluran ini selain mengalirkan air supaya tidak tergenang juga berfungsi untuk pengairan bila tanaman mengalami kekeringan, khususnya bila air irigasi tersedia (Atman, 2006).

Budidaya kedelai pada tanah sawah yang dikenal dengan Tanpa Olah Tanah (TOT) merupakan pengolahan tanah sawah yang sesuai untuk mengatasi terbatasnya tenaga kerja sekaligus menjaga ketersediaan air tanah. Hasil penelitian di Indonesia dan Filipina menunjukkan bahwa hasil kedelai yang ditanam sesudah padi sawah tanpa olah tanah lebih baik dibandingkan dengan yang tanahnya diolah karena pada tanah yang diolah air menguap lebih cepat

(7)

sehingga persediaan air tanah tidak mencukupi untuk pertumbuhan tanaman. Selain itu, pengolahan tanah menyebabkan tertundanya waktu tanam sehingga tanaman akan mengalami kekeringan pada stadia perkembangan dan pengisian biji, khususnya di musim kemarau (Hamzah et al., 1987).

Varietas unggul adaptif untuk lahan sawah dewasa ini ada sekitar 18 varietas. Varietas-varietas tersebut umumnya mempunyai daya hasil tinggi (2,0-2,6 t/ha). Varietas yang sudah dilepas tersebut pada umumnya berumur genjah sampai sedang (75-95 hari). Dari 18 varietas yang telah dilepas tersebut, 10 varietas berukuran biji besar (13,5-18,5 g/100 biji) dan 8 varietas mempunyai ukuran biji sedang (10-11,2 g/100 biji) (Anonymous, 2010). Selanjutnya Atman (2006) menyatakan bahwa di Sumatera Barat pada MK I dianjurkan penggunaan varietas berumur sedang (85-90 hari), seperti: Wilis, Kerinci, Tampomas, Krakatau, dan Jayawijaya. Pada MK II dianjurkan penanaman varietas berumur genjah (70-75 hari), seperti: Lokon, Tidar, Malabar, Lawu, Dieng, Tengger, Petek, dan Lumajang Bewok. Ditambahkan bahwa varietas unggul baru yang dianjurkan pada lahan sawah adalah Kaba, Sinabung, Bromo, Agromulyo, Mahameru, dan Anjasmoro (Mulyani, 2008).

Pengaturan waktu tanaman yang tepat untuk kedelai pada sawah dengan pengairan terbatas dapat menghindari pertanaman kekeringan atau kebanjiran serta gangguan hama dan penyakit. Misalnya, penanaman kedelai segera sesudah panen padi, pada saat mana curah hujan sudah berkurang namun masih cukup untuk pertumbuhan kedelai. Penanaman yang terlambat biasanya mendapat serangan hama yang lebih tinggi (Atman, 2006).

Menurut Syufri (2012), pada lahan sawah sesudah penanaman padi, pengolahan tanah cukup dengan Sistem Tanpa Olah Tanah (TOT). Tujuh hari setelah panen padi, tunggul jerami padi langsung ditebas tepat di atas tanah dan ditugal sedalam 2-3 cm. Jarak tugal 15 cm dalam barisan dan 40 cm antar barisan. Biji kedelai dimasukan 2-3 biji per lubang, lalu lubang ditutup dengan jerami bekas tebasan.

Ridwan dan Zulrasdi (2010) melakukan pengkajian pada musim kering tahun 2008 di beberapa lokasi di Muaro Bodi, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Ternyata kedelai cukup memberikan angin segar dalam pengembangan kedelai dimasa datang. Petani yang melaksanakan PTT kedelai, dengan menggunakan benih bermutu dan pemberantasan hama dan penyakit secara konsep PHT pada lahan sawah tadah hujan memperoleh hasil 2 ton/ha. Sedangkan dengan cara biasa petani hanya mampu memproduksi 1,02 ton/ha.

Ridwan dan Zulrasdi (2010) menambahkan bahwa penanaman kedelai sesudah padi di lahan sawah tadah hujan memiliki beberapa keuntungan seperti; hemat biaya, tenaga dan waktu. Pengolahan tanah biasanya dilakukan dengan sistem TOT (Tanpa Olah Tanah). Apabila lahan sawah tadah hujan diolah sempurna (OTS) justru kurang menguntungkan akibat terjadi penundaan waktu tanam, disamping tanah kehilangan air karena permukaan tanah jadi terbuka. Pertumbuhan gulma pada lahan sawah tidak seberat lahan kering sehingga penyiangan dapat dilakukan sekali saja selama masa pertumbuhan tanaman. Namun yang tak kalah penting, penanaman kedelai pada lahan sawah dapat

(8)

memutus siklus hama penyakit, pemanfaatan sisa pupuk yang masih tertinggal di dalam tanah, serta menjadikan sisa tanaman kedelai sebagai pupuk hijau.

Selanjutnya Ridwan dan Zulrasdi (2010) menyatakan bahwa untuk dapat berproduksi optimal, tanaman kedelai memerlukan tanah dengan tekstur berlempung atau berliat, solum sedang hingga dalam, drainase sedang sampai dengan baik, unsur hara (NPK) serta unsur mikro sedang sampai tinggi, pH tanah 5,6-6,9. Pada dasarnya kedelai menghendaki kondisi tanah yang tidak terlalu basah, tetapi air harus tetap tersedia. Pada tanah sawah tadah hujan atau sawah irigasi sederhana ketersediaan air untuk tanaman kedelai dianggap mencukupi apabila kedelai ditanam pada pertengahan atau akhir musim hujan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Lahan sawah tadah hujan dan sawah irigasi sederhana secara agronomis mempunyai prospek yang baik untuk pengembangan kedelai kedepan di Sumatera Barat. Luas sawah tadah hujan yang berpotensi untuk pengembangan budidaya kedelai di Sumatera Barat adalah 141.960 ha (57,36 % dari total sawah yang ada). Budidaya kedelai pada lahan sawah tadah hujan dan sawah irigasi sederhana memiliki berbagai keuntungan, seperti: meningkatkan Indeks Pertanaman (IP), memutus siklus hama penyakit, meningkatkan efisiensi usahatani (tanpa pengolahan tanah, pemanfaatan sisa pupuk, pertumbuhan gulma relatif tidak berat, dan pemanfaatan sisa kedelai sebagai pupuk hijau).

Berbagai inovasi teknologi telah berkembang yang bisa diterapkan untuk pertanaman kedelai sawah tadah hujan dan sawah irigasi sederhana, antara lain: penyiapan lahan, penggunaan varietas unggul, pengaturan waktu tanam yang tepat, penggunaan benih bermutu, populasi tanaman optimal, dan pengendalian OPT secara terpadu. Sejalan dengan mengatasi masalah teknis disarankan memecahkan masalah sosial ekonomi lainnya termasuk meningkatkan minat petani untuk menggairahkan bertanam kedelai kembali di Sumatera Barat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2013a. Budidaya Kedelai. http://Error! Hyperlink reference not valid. Kedelai.ht (5 Juni 2013).

Anonymous. 2013b. Peluang Peningkatan Produksi Kedelai di Lahan Sawah. http://pangan.litbang.deptan.go.id/publication-iptek/22/217 (5 Juni 2013).

Arsyad, D.M., A. Tanjung dan T. Naim. 2000. Tanggap Genotipe Kedelai terhadap Perbaikan Kondisi Tanah pada Lahan Masam. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian dan Pengkajian Pertanian (Buku I). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Padang, 21-22 Maret 2000. Hal. 190-197.

(9)

Atman. 2006. Budidaya Kedelai di Lahan Sawah Sumatera Barat. Jurnal Ilmiah Tambua. 5 (3):288-296.

BPS Agam. 2010. Kabupaten Agam dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Agam bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Agam.

BPS Limapuluh Kota. 2010. Kabupaten Limapuluh Kota dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Limapuluh Kota Bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota.

BPS Padang Pariaman. 2010. Kabupaten Padang Pariaman dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Padang Pariaman Bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman.

BPS Pasaman. 2010. Kabupaten Pasaman dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pasaman Bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Pasaman.

BPS Pasaman Barat. 2010. Kabupaten Pasaman Barat dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pasaman Barat Bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat.

BPS Pasaman Barat. 2011. Kabupaten Pasaman Barat dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pasaman Barat Bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat.

BPS Pesisir Selatan. 2010. Kabupaten Pesisir Selatan dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pesisir Selatan Bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan.

BPS Provinsi Sumatera Barat. 1980. Provinsi Sumatera Barat dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat Bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.

BPS Provinsi Sumatera Barat. 1991. Provinsi Sumatera Barat dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat Bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.

BPS Provinsi Sumatera Barat. 2010. Provinsi Sumatera Barat dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat Bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.

BPS Sijunjung. 2009. Kabupaten Sijunjung dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sijunjung Bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Sijunjung.

BPS Tanah Datar. 2010. Kabupaten Tanah Datar dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanah Datar Bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar. Hamzah, Z., I. Rusli, Z. Zaini, A. Syarifuddin K. 1987. Budidaya Kedelai tanpa Pengolahan

Tanah Sesudah Padi Sawah. Risalah Temu Alih Teknologi. Balittan, Sukarami. 22-29 hlm.

Mulyani, A. 2008. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 3 (1):3-5

Ridwan dan Zulrasdi. 2010. PTT Kedelai Meningkatkan Pendapatan di Lahan Tadah Hujan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat.

Ritung, S., A. Mulyani, B. Kartiwa, dan H. Suhardjo. 2013. Prospek Lahan Sawah. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.

(10)

Siagian, P. 2011. Budidaya Tanaman Kedelai “Resume Tanaman Kedelai”. Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Jambi.

Sujutno, E., T. Fahmi, K. Subagyono. 2012. Pola Tanam pada Lahan Sawah Tadah Hujan. http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/inovasi-pola-tanam-pada-lahan-sawah-tadah-hujan-Inovasi (5 Juni 2013)

Syufri, A. 2012. Perbaikan Teknologi Budidaya Kedelai Tingkatkan Pendapatan Petani. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat.

(11)

Lampiran 1. Sebaran Luas Total Sawah, Sawah Tadah Hujan dan Sawah Irigasi Sederhana menurut Kabupaten/Kota di Sumatera Barat (ha)

Kabupaten/Kota Jenis Pengairan Total Sawah Sederhana/ Desa Tadah Hujan

1. Kabupaten Kep. Mentawai 2. Kabupaten Pesisir Selatan 3. Kabupaten S o l o k 4. Kabupaten Sijunjung. 5. Kabupaten Tanah Datar 6. Kabupaten Padang Pariaman 7. Kabupaten A g a m

8. Kabupaten Limapuluh Kota 9. Kabupaten Pasaman 10. Kab. Solok Selatan 11. Kab. Dharmasraya 12. Kab. Pasaman Barat 13. Kota Padang

14. Kota S o l o k 15. Kota Sawahlunto 16. Kota Padang Panjang 17. Kota Bukittinggi 18. Kota Payakumbuh 19. Kota Pariaman 315 9.548 11.750 5.194 13.002 9.230 9.796 9.545 9.312 3.611 904 5.632 2.102 393 565 695 154 375 544 1.155 7.720 1.404 5.827 5.835 4.671 3.183 8.112 2.262 223 1.788 4.770 283 286 947 0 55 60 627 15.555 32.759 25.027 12.471 23.173 24.898 28.755 22.200 22.136 8.483 6.999 22.811 6.696 1.254 1.678 695 416 2.950 2.626 Jumlah % 92.752 37,48 49.208 19,88 247.482 100,00

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya pendidikan pancasila saya menyadari bahwa ini sangat penting untuk menunjang kehidupan saya untuk lebih memperhatikan norma-norma yang berlaku pada

Oleh karena itu peneliti terdorong untuk melakukan suatu penelitian dengan judul “Eksperimentasi pengajaran matematika dengan metode demonstrasi pada pokok bahasan kubus dan

Melalui pembelajaran matematika, secara implisit maupun eksplisit, dapat dibelajarkan kepada siswa berbagai karakter positif, seperti kemampuan berpikir kritis,

Dalam penelitian ini dilakukan proses membandingkan Jumlah Perguruan Tinggi provinsi lain terhadap Jumlah Perguruan Tinggi Provinsi Jawa Barat, Hal ini dikarenakan Provinsi Jawa

“ Wahai orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan kepada Ulil Amr (orang yang berkuasa) dari kalangan kamu “. (al-Nisa’ : 59).. Definisi

Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis pada atlet di perguruan pencak silat Kijang Berantai sebagian besar dari mereka mengatakan pada saat mereka melakukan

Pengetahuan yang didapatkan melalui penyuluhan terdiri dari delapan topik, yaitu arti penting posyandu, definisi preeklampsia, komplikasi preeklampsia, upaya pencegahan

#anker Pankreas merupakan tumor ganas yang berasal dari sel$sel yang melapisi #anker Pankreas merupakan tumor ganas yang berasal dari sel$sel yang melapisi