• Tidak ada hasil yang ditemukan

Community Development dan Pengembangan Masyarakat Desa yang Partisipatif 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Community Development dan Pengembangan Masyarakat Desa yang Partisipatif 1"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Community Development dan Pengembangan

Masyarakat Desa yang Partisipatif

1

DR. Gumilar R. Sumantri

Dosen Jurusan Sosiologi Peneliti Laboratorium Sosiologi

Pembangunan secara sederhana dapat dilihat sebagi usaha terencana untuk meningkatkan taraf hidup (produktifitas ekonomi dan kemakmuran) penduduk di suatu masyarakat (lihat Jary and Jary 1991: 180). Dalam kaitan ini, hingga akhir tahun 1970-an teradpat suatu pandangan umum yang telah melekat bahwa hanya terdapat dua aktor dalam proses pembangunan masyarakat: pemerintahan (state) dan swasta (private sector). Pandangan ini khas diilhami oleh ide tentang negara kesejahteraan (welfare-state). Negara dipandang sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kemakmuran masyarakat. Sementara swasta merupakan rekan pemerintah dalam merentas jallan ke arah kemakmuran nasional tersebut. Tampaknya pandangan seperti ini, pada tahun 1980-an di negara-negara maju mulai kur1980-ang mendapat tempat. Hal ini dipicu oleh keterbatasan yang semakin dari pihak pemerintah untuk memayungi kemakmuran bangsa. Gejala ini dikenal sebagai krisis negara kesejahteraan (lihat Rubin dan Rubin 1992; Kramer and Sprecht 1983).

Krisis di atas menyadarkan orang untuk berfikir kembali tentang aktor pembangunan masyarakat. Kini mereka memasukkan masyarakat sebagai aktor ketiga yang menentukan di samping pemerintah dan swasta. Masyarakat yang pada masa sebelumnya dipandang sebagai obyek dari pembangunan, kini dapat ditempatkan pada posisi subyek. Ide dasar yang melandasi fikiran ini adalah bertumpu pada upaya masyarakat setempat untuk memberdayakan diri mereka sendiri hingga dapat melakukan tawar-menawar sosio-ekonomis baik dengan pemerintah maupun dengan swasta. Langkah yang ditempuh adalah menggalang kekuatan bersama melalui keterlibatan mereka dalam suatu organisasi lokal. Di negara-negara maju, kondisi ini terbukti efektif untuk mengangkat kepentingan masyarakat dalam kehidupan sosial ekonomi. Sementara itu, kemajuan ekonomi dapat ditandai oleh adanya kendali pada tingkat komunitas lokal.

(2)

Kondisi inilah yang biasanya dicakup oleh konsep pembangunan berbasis komunitas (community-based development).

Partisipasi masyarakat secara harfiah biasanya merujuk pada keterlibatan seseorang maupun sekelompok orang pada suatu kegiatan tertentu. Keterlibatan ini baik bersifat voluntir maupun impresif. Kegiatan yang diikuti masyarakat di atas dapat berupa upaya penyelesaian masalah bersama di komunitas, mengikuti program yang dicanangkan pemerintah, dsb. Singkat kata, pengertian harfiah partisipasi masyarakat sangat luas dan dapat diinterpretasikan secara bebas. Secara operasional, ide partisipasi masyarakat yang kental dipengaruhi pengertian seperti ini, seringkali terjerumus pada bentuk distortif yaitu mobilisasi. Mobilisasi di sini diartikan sebagai proses pengerahan sekelompok masyarakat dalam suatu program kegiatan tertentu terlepas dari pertimbangan apakah mereka setuju atau tidak, mempunyai minat atau tidak, berguna bagi mereka atau tidak. Jadi mobilisasi lebih bersifat involuntir-imperatif.

Berbeda dengan pengertian harfiah, pengertian sosiologis dari partisipasi masyarakat mengacu pada konsep citizen participation. Dalam perbincangan teoritik, konsep ini merupakan saudara kembar dari otonomi daerah (local autonomy) (lihat Rüland 1992). Ia diartikan sebagai upaya sukarela dari sekelompok orang yang mengorganisasikan diri mereka sendiri untuk mengatasi masalah bersama. Beberapa kata kunci di atas menunjukan suatu struktur logika yang kontras dengan pengertian partisipasi masyarakat ahrfiah. Kata “sukarela” di atas biasanya bertalian dengan kesadaran sosial (social conciousness) mereka untuk bergerak mengatasi masalah tertentu. Sedangkan frasa “sekelompok orang” tidak lain merujuk pada bentuk gerakan yang sifatnya kolektif. Selanjutnya frasa “mengorganisasikan diri” mengandung makna munculnya kesadaran unutk menggalang melalui kerjasama sistematis (dikenal dengan istilah sense of organizing). Frasa “masalah bersama” juga penting untuk diperhatikan di sini. Ia mengandung pengertian bahwa masalah yang dihadapi oleh seseorang dapat berarti berakar secara sosial. Jadi masalah tersebut harus diatasi secara (bersama-sama) pula.

Pengertian sosiologis mengenai partisipasi masyarakat ini lahir dan berkembang di masyarakat maju yang mempunyai tatanan kemasyarakatan mapan (well-established

(3)

semuanya cocok dengan situasi di Indonesia. Dalam hubungan ini kita dituntut untuk memodifikasi ide tentang partisipasi masyarakat agar tidak bersifat kontekstual dan realistis (lihat Rukmana 1995, Wirutomo 2995). Partisipasi masyarakat, dengan demikian dipahami sebagi keterlibatan komuniti lokal secara mental, emosional, dan sosio-material dalam suatu kondisi tertentu untuk mencapai suatu tujuan yang sudah disepakati bersama.

Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa partisipasi masyarakat merupakan suatu strategi untuk mensukseskan pembangunan nasional. Hal ini sejalan dengan makna dan hakekat pembangunan nasional dalam Ketetapan MPR 1993 tentang Pembangunan Lima Tahun (Pelita) VI, Bab II, butir 5. Menurut ketetapan tersebut, pembangunan nasional dilaksanakan bersama oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang, saling mengisi dan saling melengkapi dalam satu kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan nasional.

Apabila kita menengok ke belakang, ke pelita V, kita akan menemukan penegasan pngertian umum partisipasi masyarakat yang relatif konsisten dengan ketetapan MPR terbaru di atas. Penting kita perhatikan di sini, tersirat dalam ketetapan MPR 1993 tentang pelita VI maupun butir-butir klarifikasi pada Pelita V di atas, bahwa masyarakat diartikan pada dua unsur yaitu warga setempat (local resident) dan swasta (private

sector). Kami lebih cenderung memberi penekanan arti masyarakat pada unsur pertama di

atas (warga setempat).

Partisipasi masyarakat dalam pengertian sosiologis yang sifatnya modifikatif, yaitu telah disesuaikan dengan konteks Indonesia, acapkali dalam perwujudannya tipis bedanya dengan mobilisasi (pengerahan masyarakat). Mengapa partisipasi masyarakat yang seyogyanya lebih banyak memuat esensi aspirasi dan inisiatif dari “bawah” dapat berubah menjadi mobilisasi? Berikut ini akan dikemukakan beberapa faktor analitik yang dianggap sebagai akar penyebab penyimpangan partisipasi masyarakat menjadi mobilisasi.

(4)

masyarakat.

Adalah fakta jika dikatakan bahwa para aparat pemrintah, tokoh penggerak masyarakat, dll. dewasa ini belum mempunyai pemahaman seragam mengenai partisipasi masyarakat. Banyak diantara mereka mengartikan partisipasi masyarakat secara harfiah. Sehingga ketika mereka dihadapkan dengan suatu kegiatan yang perlu melinatkan partisipasi masyarakat, digunakan wewenang untuk mengumpulkan dan melibatkan orang. Dalam fikiran mereka yang utama adalah masyarakat turut memberikan andil meskipun inisiatif datang dari aparat pemerintah. Sehingga yang terjadi di lapangan sebenarnya bukan partisipasi masyarakat, melainkan mobilisasi. Salah satu upaya kongkrit untuk memperbaiki keadaan di atas adalah pelatihan wawasan bagi para aparat pemerintah, penggerak masyarakat, dsb. agar mereka mempunyai keseragaman persepsi mengenai partisipasi masyarakat yang sebenarnya.

2) Ketidaksiapan sosio-kultural masyarakat setempat.

Masyarakat setempat boleh jadi masih asing dengan partisipasi masyarakat yang sebenarnya (bersumber dari arti sosiologis). Hal ini berkaitan dengan kondisi sosio-ekonomis dan kultural yang belum mendukung untuk berkembangnya partisipasi masyarakat. Bagaimana mereka mau berinisiatif, berorganisasi, memecahkan masalah, mengajukan aspirasi, dsb. jika mereka tidak mempunyai wawasan, keterampilan sosial serta tatanan nilai normatif yang tidak memadai. Langkah kongkrit untuk memacu partisipasi masyarakat proporsional adalah pelatihan di bidang wawasan, keterampilan sosial (mereka dibekali teknik berorganisasi, menyusun usulan kegiatan, dsb.), serta institusional sistem nilai. Tindakan partisipatif yang dapat langgeng kelangsungannya adalah ia yang didukung oleh tatanan nilai tertentu.

3) Pilihan antara strategi (strategy) dan taktik (tactics).

Partisipasi masyarakat merupakan strategi pembangunan nasional. Kata strategi mengandung arti langkah-langkah sistimis yang diarahkan untuk memetik keuntungan baik pada jangka panjang maupun jangka pendek. Jadi untuk

(5)

membina partisipasi masyarakat memerlukan waktu, kesabaran dan energi yang luar biasa besarnya. Pertama-tama masyarakat harus diberi wawasan dan pengetahuan, kemudian setelah mereka tahu dan sadar, bekal ketrampilan sosial perlu diberikan. Setelah mereka sadar, tahu, bertindak dalam konteks kegiatan tertentu, proses perilaku positif tersebut harus dikondisikan agar menjadi kebiasaan yang pada akhirnya mengendap menjadi nilai yang dianut. Sayangnya, serinngkali aparat pemerintah kurang sabar dan didesak keterbatasan waktu dan dukungan finansial, mereka menerjemahkan partisipasi masyarakat pada taktik, bukan strategi semacam di atas. Taktik merupakan langkah sistematis untuk mencapai sesuatu dengan orientasi keuntungan jangka pendek. Di sinilah partisipasi masyarakat dapat terjerumus pada mobilisasi.

Dinamika pembangunan masyarakat di Indonesia ditandai oleh adanya kenyataan kesenjangan regional (Somantri 1995). Jakarta sebagai ibukota negara berperan sebagai pusat (locus) dari modernisasi. Kota ini berkembang pesat. Sementara itu kota-kota besar lainnya, meskipun tidak sepesat Jakarta, mereka berkembang dengan dinamika relatif tinggi. Akan tetapi kota-kota kecil dan kawasan penyangga berkembang relatif lambat. Hal ini mengarahkan kita pada upaya untuk mengembangkan daerah dengan titik sasaran kawasan pedesaan. Pembangunan desa digalakkan diharapkan mampu mengarahkan dinamikanya pembangunan ke arah pemerataan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini tampaknya sejalan dengan ketetapan MPR RI 1993 tentang Pelita VI, butir 10, yang menegaskan :

Pembangunan daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa serta peran aktif masyarakat, serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu dalam mengisi otonomi daerah yang nyata, dinamis serasi dan bertanggung jawab serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

Kondisi dari kebanyakan masyarakat di pedasaan In donesia pada umumnya masih relatif kurang mendukung untuk berlangsung partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Pangkal masalah dari keadaan ini dapat dilihat dalam dua aspek : makro dan mikro. Aspek makro bertalian dengan kondisi struktural di tingkat nasional, propinsi,

(6)

maupun unit yang lebih kecil. Kondisi mikro bertalian dengan kondisi kongkrit masyarakat desa. Misalnya tingkat pengetahuan dan ruang lingkup wawasan mereka relatif masih belum memadai untuk berkembangnya partisipasi masyarakat. Seringkali mereka mempunyai aspirasi mengenai partisipasi masyarakat dalam konteks pemahaman mereka, akan tetapi wadah untuk penyaluran aspirasi tersebut belum terbentuk. Dalam situasi wadah telah terbentuk, acap kali mereka tidak mengetahuinya.

Kondisi dan masalah di atas menghadapkan kita pada pertanyaan langkah apa yang dapat ditempuh dalam rangka pengembangan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di pedesaan? Tentu saja menunggu imbas dari perubahan sosio-ekonomis makro belaka merupakan sikap yang kurang tepat. Perubahan tingkat pendidikan, kesadaran, dsb. secara nasional yang dianggap positif bagi pengembangan partisipasi masyarakat berlangsung dalam jangka lama. Pendidikan dan latihan masyarakat merupakan salah satu upaya lain yang memberikan angin harapan. Pihak instansi terkait seperti PMD dan pemda dapat melatih warga desa mengenai pengetahuan dan kecakapan yang diperlukan dalam rangka menumbuhkan partisipasi. Warga masyarakat yang pernah dilatih dapat di lingkungan komunitas mereka, menebar ide-ide progresif sehingga warga lain bergabung dan tergerak untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan tertentu.

Langkah berikutnya adalah pencarian model partisipasi masyarakat dalam pembangunan masyarakat desa. Model ini dirumuskan dari pengetahuan dasar mengenai aspirasi masyarakat dan pola-pola partisipasi masyarakat yang ada (the existing patterns

of citizen participation). Model ini dengan demikian bersifat kontekstual dan konseptual

sehingga ia mudah diterapkan dalam tingkat generalisasi tertentu. Singkat kata, upaya pengembangan partisipasi masyarakat seyogyanya integratif. Cara ini mengandung arti bahwa upaya pengembangan partisipasi masyarakat bertumpu pada sinergi beberapa langkah makro dan mikro.

Pembahasan di atas menuntun kita salah satu contoh prosesual partisipasi masyarakatsetempat dalam suatu proyek pembangunan irigasi. Biasanya partisipasi masyarakat (warga) setempat diartikan pada proses keterlibatan mereka dalam proses pembangunan semata. Paling jauh, partisipasi menjangkau pada sistem pemeliharaan prasarana tersebut. Menurut banyak pengalaman operasional, tampaknya model partisipasi seperti ini tidak bersifat menyeluruh, mengakar dan berkelanjutan

(7)

(sustainable). Para ahli melihat bahwa partisipasi sebaiknya menjangkau pula tahap penting pra pembangunan. Misalnya masyarakat setempat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan (decision making). Pada tahap ini masyarakat dapat bersuara, apakah program yang direncanakan bermanfaat, apakah ia sesuai kebutuhan dan harapan mereka, dan sebaliknya (vis-a-vis). Selanjutnya mereka dapat turut serta menentukan apakah program pembangunan yang dimaksud akan dilaksanakan atau tidak (Rubin dan Rubin 1992).

Tahap penting lainnya dari suatu proyek pembangunan yang perlu dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi masyarakat setempat adalah controlling. Pada proses ini masyarakat dapat melakukan evaluasi (evaluation) terhadap program yang tengah dilakukan. Mereka dapat mengajukan suatu tuntutan baru seperti penambahan dana, pembangunan, dll. apabila program yang sedang berjalan dirasakan kurang memadai dari segi kuantitas. Bahkan mereka dapat bersuara dan mengajukan keberatan pada pihak pelaksana pembangunan, apabila proyek yang sedang dilaksanakan terasa memberatkan mereka dan sedikit memberikan sumbangsih pada peningkatan taraf kesejahteraan mereka. Kami memahami konsep partisipasi pada tiga dimensi si atas (pengambilan keputusan, pengendalian dan pelaksanaan program pembangunan).

Pada titik ini kita dihadapkan pada desakan untuk menajamkan fokus perhatian (notion) lebih lanjut. Masyarakat setempat dapat dipandang sebagai suatu sistem sosial lokal (local social system). Pandangan ini dicakup oleh konsep sosiologis mengenai lokal (locale) yang dikemukakan oleh Giddens (lihat Dickens 1992; Giddens 1991). Artinya, suatu masyarakat setempat selain menempati ruang (space) juga mempunyai sistem nilai, jaringan sosial serta dinamika aktifitas sesehari (everyday life). Masyarakat setempat inilah yang menjadi basis penempaan sosialisasi individu sebagai anggota komunitas, ajang pembentukan ciri keluarga, dan terbentuknya rasa kebersamaan di antara para anggotanya. Sebagai suatu entitas sosial yang solid, warga komunitas mempunyai harapan, pandangan serta pengertian yang relatif sama tentang suatu hal. Demikian halnya mengenai partisipasi masyarakat. Masyarakat setempat mempunyai pengertian, pandangan dan aspirasi-aspirasi mengenai partisipasi mereka dalam proyek pembangunan.

(8)

pola-pola baku dalam aktifitas sehari-hari para anggotanya. Pola-pola baku ini biasanya sangat kental diwarnai oleh struktur sosio-kultural mereka. Partisipasi mereka dalam suatu program pembangunan, dilandasi oleh keberadaan struktur ini dan bersinggungan dengan struktur sosio-politis masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Acapkali, partisipasi mereka tidak didasarkan pada struktur lembaga yang terencana dan menjamin dihasilkannya buah partisipasi yang efektif dan efisien. Pola-pola dasar ini seringkali masih harus dikembangkan pelembagaannya sehingga mencapai bentuk yang lebih berdaya-guna namun tetap bersifat membumi dan bertumpu pada sosio-kultural yang kukuh.

Agenda Saran :

1. Perlu dibuat Penelitian dasar tentang pola partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan;

2. Berdasarkan pola di atas, dirumuskan model partisipasi masyarakat dalam pembangunan pedesaan di Indonesia;

3. Model diujicobakan dalam suatu pilot project, yang tujuan finalnya adalah dihasilkan model yang mempunyai tingkat keberlakuan dan guna yang tinggi bagi pengembangan masyarakat pedesaan yang sejahtera;

4. Model menjadi salah satu acuan kebijakan dari PMD dalam pengembangan masyarakat desa yang rukun, perduli, mandiri dan sejahtera.

Referensi

Dokumen terkait

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Hidayah, dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir dengan judul

Sistem ini dilengkapi berbagai komponen dan memiliki fungsi yang berbeda-beda, LCD untuk menampilkan program yang sedang berlangsung hingga menampilkan hasil keluaran

Sesuai ketentuan tersebut menunjukkan bahwa struktur kelembagaan kita sebagai mana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, menempatkan Majelis Permusyawaratan

Dengan dasar tersebut dan mempertimbangkan potensinya yang cukup tinggi, maka penulis tertarik untuk melakukan uji toksisitas akut dan subakut ekstrak Umbi bawang

Maksud : Rencana Mutu Unit ini merupakan uraian rencana kegiatan berikut pencapaian sasaran dalam kurun waktu satu tahun anggaran yang berdasarkan program pembangunan jangka

Demikian proposal rencana kegiatan ENGINE TUNE UP  ENGINE TUNE UP  ini dibuat dengan ini dibuat dengan sebenar-benarnya untuk kegiatan sebagaimana mestinya dengan harapan

Pada grafik perbandingan antara penggunaan ketiga distributor udara dalam pengujian menunjukkan bahwa temperatur rata-rata yang dihasilkan dari proses gasifikasi

Memiliki persediaan dengan memiliki berbagai macam barang, ukuran, jenis, merk, dan kualitas yang berbeda sehingga membutuhkan sarana teknologi informasi agar dapat