• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN PANJANG AKSIAL PADA ANAK DENGAN MIOPIA RINGAN DAN SEDANG DI PMN RS MATA CICENDO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAMBARAN PANJANG AKSIAL PADA ANAK DENGAN MIOPIA RINGAN DAN SEDANG DI PMN RS MATA CICENDO"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1

Abstract

Introduction: Uncorrected refractive error is a major visual impairment problem in children worldwide. It can lead to educational problem, reduced employment opportunities, lowering productivity and quality of life. Myopia is most common refractive error in school age children. Axial length is one of measurable factor in determining ocular development.

Purpose: To describe axial length in children with mild and moderate myopia in Cicendo National Eye Hospital.

Methods: This study reviewed medical records of children with mild and moderate myopia in Cicendo National Eye Hospital retrospectively from November 2020 to February 2021. Sex, age, refractive status, and axial length data were obtained and analysed statistically. Refractive status was defined as myopia and emmetropia. Axial length was defined as short, normal, and long.

Result: In this study, 40 patients with 80 eyes were included. Many patients were female (67,5%). The mean age were 13.5 ± 2.49 years, with mean spherical equivalent in mild myopia were -2.36 ± 1.21 D and in moderate myopia were -3.87 ± 1.01 D. The mean axial length in mild myopia were 23.92 ± 0.72 mm and in moderate myopia were 25.08 ± 0.81 mm. Mild myopia with normal axial length (53,26%) were commonly found in this study. Most of patient with myopia had mild degree (60,87%).

Conclusion: Normal axial length was commonly found in children with mild and moderate myopia.

Keyword: axial length, children, myopia, spherical equivalent

PENDAHULUAN

Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi merupakan penyebab utama dalam gangguan penglihatan menurut WHO. Prevalensi miopia secara global diproyeksikan mencapai angka 5 milyar jiwa pada tahun 2050. Terdapat tren peningkatan miopia di usia sekolah berdasarkan WHO, terutama di Asia Tenggara. Gangguan refraksi dapat menyebabkan gangguan dalam pendidikan dan kesempatan bekerja, penurunan produktivitas, dan gangguan dalam kualitas hidup.1-3

Berbagai studi menunjukkan kelainan refraksi cukup banyak ditemukan pada anak di Asia Tenggara. Studi oleh Hashemi dkk tahun 2017 menunjukkan terdapat peningkatan

prevalensi miopia dalam 3 dekade terakhir, dengan tren yang tidak signifikan pada astigmatisme dan hipermetropia. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan peningkatan tersebut di antaranya perubahan gaya hidup, bekerja dekat, penggunaan komputer dan sistemnya, dan juga penurunan aktivitas outdoor. Studi di Bandung oleh Halim dkk menunjukkan kelainan refraksi yang tidak dikoreksi cukup tinggi ditemukan pada anak usia sekolah sebanyak 12,1%. Studi lain di Jogjakarta oleh Mahayana dkk. menunjukkan prevalensi kelainan refraksi yang tidak terkoreksi di usia sekolah pada wilayah urban dan suburban sebanyak 10,1% dan 12,3%.3– 5

(2)

Kelainan refraksi dapat terjadi ketika terdapat kelainan bentuk dari bola mata menyebabkan titik fokus tidak jatuh tepat pada retina. Variabel okular yang dapat diukur yaitu panjang aksial dengan menggunakan A-scan

ultrasound atau modalitas pengukuran

secara non-kontak, namun hal ini tidak rutin dilakukan dalam mendiagnosa kelainan refraksi. Penggunaan

autorefractometer dapat dilakukan

pada anak usia minimal 2 tahun dan kooperatif. Studi oleh Tideman dkk. menilai panjang aksial dengan risiko miopia di populasi anak Eropa. Studi lain di populasi anak usia sekolah di Tiongkok oleh Li dkk. membandingkan panjang aksial dengan sferikal ekuivalen dalam penilaian miopia. Penelitian lain oleh Jyoti dkk. pada populasi dewasa menunjukkan kelainan refraksi memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan panjang aksial.6–10 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran panjang aksial pada anak dengan miopia ringan dan sedang di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo pada bulan November 2020 hingga Februari 2021. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif secara potong lintang dengan mengambil data sekunder dari rekam medik pasien anak dengan miopia unit Pediatrik Oftalmologi di Pusat Mata Nasional (PMN) Rumah Sakit Mata Cicendo periode November 2020 hingga Februari 2021. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan miopia derajat ringan dan sedang dengan rentang usia 6-18 tahun,

sedangkan kriteria eksklusinya yaitu pasien dengan kelainan struktural mata, pasien dengan ambliopia, dan pasien yang tidak kooperatif.

Subyek yang terhimpun sebanyak 40 pasien dengan jumlah mata sebanyak 80 mata. Data yang dikumpulkan di antaranya usia, jenis kelamin, panjang aksial, dan sferikal ekuivalen (SE). Kelainan refraksi miopia didefinisikan sebagai nilai koreksi sferis kurang dari atau sama dengan −0.50 Dioptri D, dan emetropia adalah nilai koreksi sferis −0.50 D hingga +0.50 D. Derajat miopia didefinisikan sebagai ringan dengan rentang ≤-0.50 D hingga -3.00 D, dan sedang dengan rentang <-3.00 D hingga -6.00 D. Panjang aksial didefinisikan sebagai normal dengan rentang nilai 22-25 mm, pendek dengan nilai kurang dari 22 mm, dan panjang dengan nilai lebih dari 25 mm. Panjang aksial diukur menggunakan alat Zeiss IOLMaster 700. Kelainan refraksi diukur setelah penggunaan sikloplegik menggunakan Topcon KR-8800 Auto

kerato-refractometer.

Data diolah menggunakan software Microsoft Excel 2019 dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.

HASIL

Jumlah pasien dalam penelitian ini yaitu 40 pasien dengan total 80 mata. Jenis kelamin pasien sebanyak 13 orang (32,5%) adalah laki-laki dan 27 orang (67,5%) adalah perempuan. Rerata usia pasien adalah 13.5 ± 2.49 tahun. Rerata panjang aksial pasien miopia ringan adalah 23.92 ± 0.72 mm, sedangkan pada pasien miopia sedang sebanyak 25.08 ± 0.81 mm. Rerata sferikal ekuivalen pada pasien miopia ringan

(3)

adalah -2.36 ± 1.21 D, sedangkan pada pasien miopia sedang -3.87 ± 1.01 D. Data dapat dilihat pada tabel 1. Gambar 1 menunjukkan grafik distribusi miopia sesuai jenis kelamin, dimana jenis kelamin perempuan memiliki kelainan miopia tertinggi (78,26%).

Tabel 1 Data Karakteristik Pasien

*SE : Sferikal ekuivalen, D : Dioptri

Gambar 1 Distribusi miopia berdasarkan jenis kelamin

Sebanyak 69 mata memiliki kondisi miopia. Berdasarkan data dari gambar 2, derajat miopia ringan lebih banyak

ditemukan (60,87%) dibandingkan dengan derajat sedang (39,13%). Gambar 3 menunjukkan grafik distribusi panjang aksial pada miopia. Panjang aksial normal lebih banyak ditemukan pada miopia ringan (53,26%). Sebanyak 5 mata (7,25%) pada miopia ringan memiliki aksial yang panjang. Aksial yang panjang ditemukan hampir sama dengan aksial normal pada miopia sedang (14 mata dan 13 mata).

Gambar 2 Derajat miopia

Gambar 3 Distribusi panjang aksial pada miopia

15; 21,73%

54; 78,26%

Distribusi Miopia Berdasarkan Jenis Kelamin Lakilaki Perempuan 42; 60,87% 27; 39,13% Derajat Miopia Mild Moderate 0 5 10 15 20 25 30 35 40 Ringan Sedang N Derajat miopia Panjang Aksial Berdasarkan

Derajat Miopia Panjang Normal Variabel N Usia (tahun) 13.5 ± 2.49 Jenis kelamin (%) Laki-laki 13 (32,5) Perempuan 27 (67,5) Kelainan refraksi (%) Emetropia 11 (13,75) Miopia Ringan 42 (52,5) Sedang 27 (33,75) Panjang aksial (mm) Miopia ringan 23.92 ± 0.72 Miopia sedang 25.08 ± 0.81

Kekuatan refraksi (SE, D)*

Miopia ringan -2.36 ± 1.21 Miopia sedang -3.87 ± 1.01

(4)

DISKUSI

Kelainan refraksi adalah suatu kondisi dimana mata mengalami kegagalan untuk memfokuskan cahaya agar jatuh tepat di retina. Panjang aksial, kurvatura kornea, serta keadaan lensa kristalina adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status refraksi. Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi pada anak dapat menjadi masalah dalam pencapaian belajar, kualitas hidup sehari-hari, dan fungsi visual. Miopia timbul akibat panjang aksial bola mata seseorang lebih panjang atau kekuatan dioptri dari komponen refraktif bola mata lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang normal. Pada kondisi miopia cahaya difokuskan pada satu titik di depan retina.4–6

Pada penelitian ini didapatkan 27 orang (67,5%) adalah perempuan. Dalam berbagai penelitian disebutkan bahwa perempuan memiliki risiko lebih tinggi mengalami kelainan refraksi yang tidak terkoreksi. Secara global prevalensi kelainan refraksi lebih banyak ditemukan pada perempuan. Tidak ditemukan korelasi signifikan antara jenis kelamin dengan kelainan refraksi dalam studi oleh Halim dkk dan Mahayana dkk, diduga faktor preferensi personal dan sosial budaya dapat menjadi faktor penyebab dalam mendapatkan pelayanan mata yang terjangkau.3-5,11,12

Berdasarkan penelitian meta-analisis oleh Hashemi dkk, prevalensi miopia pada dewasa diketahui lebih tinggi di Asia Tenggara dibandingkan dengan wilayah lain di dunia, pada anak berkisar pada angka 4,9% di Asia Tenggara hingga 18,2% di wilayah

Pasifik Barat. Pada penelitian ini sejumlah 69 mata (86,25%) adalah miopia dan didominasi oleh perempuan (78,26%). Hal ini bersesuaian dengan perjalanan penyakit miopia dan usia muda yang memiliki aktivitas jarak dekat tinggi dengan risiko miopia lebih besar dibanding usia tua. Rerata usia pada penelitian ini adalah 13.5 ± 2.49 tahun, sesuai dalam rentang prevalensi miopia pada berbagai penelitian. Prevalensi miopia paling banyak ditemukan pada usia sekolah terutama di wilayah Asia Timur, Singapura, China, Taiwan, dan Korea Selatan.2,4,5,7

Panjang aksial menjadi salah satu faktor penentu kelainan refraksi. Pengukuran pada penelitian ini menggunakan alat yang bersifat nonkontak, sehingga mudah diaplikasikan pada anak, sejalan dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa biometri optikal dapat direproduksi dan ditoleransi pada populasi anak tanpa anastesi dan rasa tidak nyaman. Panjang aksial pasien miopia pada penelitian ini (72,46%) lebih banyak ditemukan pada rentang normal. Hal ini bersesuaian dengan data normatif yang diteliti oleh Tideman dkk. dan McCullough dkk. pada populasi anak Eropa serta penelitian lain di populasi Asia. Penilaian panjang aksial bermakna secara biologis namun kelainan refraksi lebih memiliki fungsi klinis, di mana koreksi optikal tidak merubah panjang aksial namun memperbaiki titik fokus cahaya tepat ke retina.4,8,10–15

Faktor lingkungan dapat mempengaruhi proses pemanjangan dari aksial dan insidensi miopia. Penelitian yang dilakukan di Belanda

(5)

oleh Tideman dkk. menunjukkan prediktor seperti waktu outdoor,

aktivitas dekat seperti belajar dan membaca, serta penggunaan komputer berasosiasi dengan pemanjangan aksial. Pada penelitian yang dilakukan di Tiongkok oleh Wang dkk. menunjukkan terdapat faktor pubertas diduga dapat meregulasi peran antara waktu outdoor dengan perkembangan refraksi pada anak dan remaja. Hipotesis yang diajukan yaitu peningkatan intensitas paparan cahaya, paparan sinar ultraviolet dan penurunan akomodasi dapat mempengaruhi perkembangan refraksi. Faktor lain yang dapat mempengaruhi perkembangan miopia adalah riwayat orangtua dengan miopia. Diduga terdapat faktor genetik yang berperan, namun hal ini masih menjadi perdebatan. Dalam studi oleh Morgan dan Rose, disebutkan bahwa faktor genetik dan lingkungan bervariasi pada etnis dan populasi yang berbeda, sehingga dari penelitian ditemukan faktor lingkungan berperan besar terutama pada populasi anak Asia yang memiliki tekanan pendidikan lebih tinggi dibanding populasi Amerika dan Eropa, hal ini dapat disebut juga dengan

school myopia. Intervensi pada onset

usia muda diharapkan dapat menekan laju progresivitas miopia.16–18

Keterbatasan penelitian ini yaitu ukuran sampel yang terbatas, variasi derajat kelainan refraksi dan usia tidak merata. Penelitian selanjutnya disarankan untuk menganalisis secara prospektif dengan jumlah data yang lebih besar, dan memasukkan parameter biometri seperti keratometri,

dan status antropometri seperti berat badan dan tinggi badan.

SIMPULAN

Anak dengan miopia ringan dan sedang memiliki panjang aksial bola mata yang normal.

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. World report on vision. World Heal Organ. 2019;214(14):1– 160.

2. Mahayana IT, Indrawati SG, Pawiroranu S. The prevalence of uncorrected refractive error in urban, suburban, exurban and rural primary school children in Indonesian population. Int J Ophthalmol. 2017;10(11):1771– 6.

3. Hashemi H, Fotouhi A, Yekta A, Pakzad R, Ostadimoghaddam H, Khabazkhoob M. Global and regional estimates of prevalence of refractive errors: Systematic review and meta-analysis. J Curr Ophthalmol. 2018;30(1):3–22. 4. Halim A, Suganda R, Sirait SN,

Memed FK, Syumarti, Rini M, et al. Prevalence and associated factors of uncorrected refractive errors among school children in suburban areas in Bandung, Indonesia. Cogent Med. 2020;7(1).

5. Wilson LB, Melia M, Kraker RT, VanderVeen DK, Hutchinson AK, Pineles SL, et al. Accuracy of Autorefraction in Children: A Report by the American Academy of Ophthalmology.Ophthalmology.

(6)

2020;127(9):1259–67.

6. Hutchinson AK, Russell B. Managing refractive errors in children. Fifth ed. Taylor and Hoyt’s Pediatric Ophthalmology and Strabismus. Elsevier Ltd; 2017. 60-67.e1 p.

7. Tideman JWL, Polling JR, Vingerling JR, Jaddoe VWV, Williams C, Guggenheim JA, et al. Axial length growth and the risk of developing myopia in European children. Acta Ophthalmol. 2018;96(3):301–9. 8. Li T, Jiang B, Zhou X. Axial length elongation in primary school-age children: a 3-year cohort study in Shanghai. BMJ Open. 2019;9(10):1–7.

9. Arora J, Anand BK, Singh MMP, Maheshwari D, Chawla SPS, Kaur S. Comparing Refractive Error with Axial Length in the Subjects Having Refractive Error. Int J Contemp Med Res [IJCMR]. 2019;6(5). 10. Holden BA, Fricke TR, Wilson

DA, Jong M, Naidoo KS, Sankaridurg P, et al. Global Prevalence of Myopia and High Myopia and Temporal Trends from 2000 through 2050. Ophthalmology.2016;123(5):10 36–42.

11. Ang M, Wong TY. Updates on myopia: A clinical perspective. Updates on Myopia: A Clinical Perspective. 2019. 1–305 p. 12. Ding BY, Shih YF, Lin LLK,

Hsiao CK, Wang IJ. Myopia among schoolchildren in East Asia and Singapore. Surv Ophthalmol. 2017;62(5):677– 97. 13. Jong M, Sankaridurg P, Naduvilath TJ, Li W, He M. The relationship between progression in axial length/corneal radius of curvature ratio and spherical equivalent refractive error in Myopia. Optom Vis Sci. 2018;95(10):921–9.

14. Dogan M, Elgin U, Sen E, Tekin K, Yilmazbas P. Comparison of anterior segment parameters and axial lengths of myopic, emmetropic, and hyperopic children. Int Ophthalmol. 2019;39(2):335–40.

15. Morgan IG, Ohno-Matsui K, Saw SM. Myopia. Lancet. 2012;379(9827):1739–48. 16. Tideman JWL, Polling JR,

Jaddoe VWV, Vingerling JR, Klaver CCW. Environmental Risk Factors Can Reduce Axial Length Elongation and Myopia Incidence in 6- to 9-Year-Old Children.Ophthalmology.2019;1 26(1):127–36.

17. Wang J, Cheng T, Zhang B, Xiong S, Zhao H, Li Q, et al. Puberty could regulate the effects of outdoor time on refractive development in Chinese children and adolescents. Br J Ophthalmol. 2021;105(2):191–7.

18. Morgan IG, Rose KA. Myopia: is the nature-nurture debate finally over? Clin Exp Optom. 2019;102(1):3–17.

Gambar

Gambar  3  menunjukkan  grafik  distribusi  panjang  aksial  pada  miopia.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa profitabilitas yang diproksi dengan ROA menunjukkan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR dengan nilai t hitung -0,378 pada

Dengan demikian anggapan bahwa seorang akuntan yang tidak/belum pernah menjadi auditor di KAP adalah seorang pecundang tidak berpengaruh signifikan terhadap

Sedangkan penyelesaian kerugian yang diaki- batka oleh bukan bendahara dilakukan oleh Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota sebagai- mana diatur dalam Peraturan

Laju perkembangan dan pertumbuhan populasi ternak babi dipengaruhi oleh faktor genetik (30%) dan faktor lingkungan (70%). Faktor genetik merupakan.. faktor yang dapat

Hasil penelitian dalam bentuk data merupakan bagian yang disajikan untuk menginformasikan hasil temuan dari penelitian yang telah dilakukan. Ilustrasi hasil

bahwa dalam rangka kelancaran pemberlakuan SNI Mainan secara wajib sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor: 24/M- IND/PER/4/2013 tentang

Patung Dewi Kwam Im juga dinobatkan menjadi patung yang tertinggi di Asia Tenggara oleh MURI (Museum Rekor Indonesia) pada tahun 2008. Hal ini membuat semakin banyak wisatawan

Adapun judul yang diangkat dalam Karya Tugas Akhir ini adalah Stilasi Shio dalam Karya Kriya Logam, dengan harapan semoga tulisan ini dapat dijadikan sebagai