• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYUSUNAN DESAIN PEMBELAJARAN BERMUATAN KARAKTER PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH DASAR INKLUSI DENGAN ABK TUNARUNGU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYUSUNAN DESAIN PEMBELAJARAN BERMUATAN KARAKTER PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH DASAR INKLUSI DENGAN ABK TUNARUNGU"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PENYUSUNAN DESAIN PEMBELAJARAN BERMUATAN

KARAKTER PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN

AGAMA ISLAM DI SEKOLAH DASAR INKLUSI DENGAN

ABK TUNARUNGU

NASKAH PUBLIKASI Oleh: RIZKI PRIMANDA F 100 060 214 G 000 060 214

FAKULTAS PSIKOLOGI - FAKULTAS AGAMA ISLAM

JURUSAN PSIKOLOGI DAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

(2)

2013 PENYUSUNAN DESAIN PEMBELAJARAN

BERMUATAN KARAKTER PADA MATA PELAJARAN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH DASAR

INKLUSI DENGAN ABK TUNARUNGU

Yang diajukan oleh: Rizki Primanda F 100060214/G 000060214

Telah disetujui untuk dipertahankan di depan Dewan Penguji

Telah disetujui oleh: Pembimbing Utama:

Dra. Wiwien Dinar Pratisti, M.Si. Tanggal 11 Nopember 2013

Pembimbing Pendamping:

(3)

PENYUSUNAN DESAIN PEMBELAJARAN BERMUATAN

KARAKTER PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN

AGAMA ISLAM DI SEKOLAH DASAR INKLUSI DENGAN

ABK TUNARUNGU

Yang diajukan Oleh:

Rizki Primanda F 100060214/G 000060214

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal

19 Desember 2013

dan dinyatakan telah memenuhi syarat. Penguji Utama

Dra. Wiwien Dinar Pratisti, M.Si. __________________ Penguji Pendamping I

Dra. Mahasri Shobahiya, M.Ag. __________________ Pembimbing Pendamping II

Dra. Partini, M.Si. __________________

Pembimbing Pendamping III

Drs. Arif Wibowo, M.Ag __________________

Surakarta, 2014

Universitas Muhammadiyah Surakarta Dekan

Fakultas Psikologi Fakultas Agama Islam

(4)

ABSTRAKSI

PENYUSUNAN DESAIN PEMBELAJARAN BERMUATAN KARAKTER PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI

SEKOLAH DASAR INKLUSI DENGAN ABK TUNARUNGU

Dekadensi moral yang sedang dialami bangsa Indonesia membuat pendidikan karakter menjadi perlu untuk dilaksanakan. Salah satu usaha pengembangan pendidikan karakter adalah dengan memasukkan muatan pendidikan karakter pada pendidikan formal (sekolah). Proses awal pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam pembelajaran adalah melalui desain pembelajaran. Pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), pendidikan karakter harus menjadi fokus utama. Guru dituntut untuk bisa menyusun desain pembelajaran yang bermuatan karakter. Tantangan lain bagi guru saat ini yaitu munculnya sekolah inklusi sebagai dampak kurangnya tempat pendidikan formal bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Hal ini menyebabkan desain pembelajaran bermuatan karakter yang disusun oleh guru harus turut disesuaikan dengan keberadaan ABK. ABK tunarungu menjadi perhatian khusus dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan karena pendengaran merupakan alat manusia yang paling awal dalam proses belajar. Tujuan penilitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses penyusunan desain pembelajaran mata pelajaran PAI sebagai dasar pembentukan karakter di kelas inklusi Sekolah Dasar yang memiliki peserta ABK tunarungu.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan alat pengumpul data berupa wawancara dan dokumentasi. Subjek penelitian dipilih dengan metode purposive sampling dengan deskripsi: Guru sekolah dasar pada mata pelajaran PAI atau Guru Pendamping Khusus (GPK) di Surakarta yang mengajar di kelas inklusi dengan peserta ABK tunarungu. Analisis data yang digunakan adalah analisis diskriptif yaitu berupa paparan, uraian dan gambaran.

Berdasarkan analisis data, dapat disimpulkan bahwa proses penyusunan desain pembelajaran mata pelajaran PAI sebagai dasar pembentukan karakter di kelas inklusi Sekolah Dasar yang memiliki peserta ABK tunarungu melalui

tahapan: pertama, mengetahui kondisi siswa terutama kemampuan

komunikasinya; kedua, menetapkan tujuan pembelajaran dengan kandungan

karakter dan dapat dicapai seluruh siswa; ketiga, menyusun materi pembelajaran yang dapat mengakomodasi seluruh siswa serta memahami kandungan pendidikan karakter yang terkandung dalam materi; keempat,memilih metode yang tepat bagi semua siswa, materi dan dapat menanamkan karakter tertentu; kelima, membuat evaluasi belajar yang dapat dikerjakan baik oleh siswa non ABK maupun siswa ABK tunarungu dan mampu melihat moral action pada siswa.

Kata kunci: desain pembelajaran, Pendidikan Agama Islam, pendidikan karakter, anak berkebutuhan khusus, pendidikan inklusi

(5)

1 PENDAHULUAN

Degradasi moral yang sedang dialami bangsa Indonesia membuat pendidikan karakter menjadi semakin perlu untuk dilaksanakan. Berbagai persoalan yang muncul di masyarakat

seperti korupsi, tawuran pelajar,

kerusuhan suporter sepak bola,

bullying, konsumsi minuman keras dan

narkoba, rendahnya disiplin berlalu

lintas, rendahnya budaya antre,

membuang sampah sembarangan,

kecurangan saat Ujian Nasional, geng motor dan lain-lain; telah menjadi

gambaran kondisi masyarakat di

Indonesia saat ini. Pendidikan karakter diperlukan untuk mengatasi degradasi moral yang saat ini sedang terjadi.

Kepedulian masyarakat

mengenai pendidikan karakter juga

menjadi kepedulian pemerintah.

Berbagai upaya pengembangan

pendidikan karakter telah dilakukan di

berbagai lembaga pemerintah,

terutama di Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas, 2010 (b)). Salah satu usaha tersebut adalah dengan

memasukkan muatan pendidikan

karakter pada pendidikan formal. Muatan pendidikan karakter

dimasukkan dalam setiap mata

pelajaran di sekolah sebagai dampak pengiring dari masing-masing mata pelajaran. Khusus mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, pendidikan karakter harus menjadi fokus utama. Dalam Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, pendidikan karakter menjadi dampak pengiring sekaligus dampak pembelajaran (Samani, 2010).

Penuangan pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran tidak dengan menambahkan materi pembelajaran,

namun dengan mengintegrasikan unsur pendidikan karakter ke dalam proses pembelajaran. Untuk mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam proses pembelajaran, diperlukan perhatian khusus dalam penyusunan desain pembelajaran (Williams, 2010). Guru dituntut untuk bisa menyusun desain

pembelajaran yang bermuatan

karakter.

Tantangan lain bagi guru saat ini yaitu munculnya sekolah inklusi sebagi dampak kurangnya tempat

pendidikan formal bagi Anak

Berkebutuhan Khusus (ABK). Hal ini

menyebabkan desain pembelajaran

bermuatan karakter yang disusun oleh guru harus turut disesuaikan dengan keberadaan ABK. ABK tunarungu

menjadi perhatian khusus dalam

penelitian ini. Hal ini disebabkan karena pendengaran merupakan alat manusia yang paling awal dalam proses belajar.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang mengungkap proses penyusunan desain pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai dasar pembentukan karakter di kelas inklusi Sekolah Dasar yang memiliki peserta ABK tunarungu. Maka dari itu peneliti mengambil judul

penelitian “Penyusunan Desain

Pembelajaran Bermuatan Karakter

Pada Mata Pelajaran Pendidikan

Agama Islam Di Sekolah Dasar Inklusi Dengan Abk Tunarungu”

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses penyusunan desain pembelajaran mata pelajaran

(6)

2 karakter di kelas inklusi Sekolah Dasar yang memiliki peserta ABK tunarungu.

Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis

a. Memberikan evaluasi sederhana kepada guru Pendidikan Agama Islam di sekolah inklusi terkait

penyusunan desain

pembelajaran bermuatan

karakter.

b. Memberikan gambaran kepada

para calon guru Pendidikan Agama Islam terkait penyusunan desain pembelajaran di kelas inklusi.

c. Memberikan sebagian kecil

gambaran pendidikan inklusi kepada pemerintah, sehingga

pemerintah bisa mengambil

tindakan-tindakan tertentu,

khususnya terkait desain

pembelajaran, untuk

meningkatkan kualitas

pendidikan inklusi yang telah ada.

d. Memberikan referensi kepada

peneliti lain yang melakukan penelitian serupa.

2. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan Pendidikan Agama Islam, khususnya pada penyusunan desain pembelajaran pada kelas inklusi.

LANDASAN TEORI A. Desain Pembelajaran

1. Pengertian

Seels & Richey (Handayani &

Kusumawati, 2009) menyatakan

bahwa desain pembelajaran adalah suatu prosedur yang terdiri dari langkah, di mana langkah-langkah tersebut di dalamnya terdiri

dari analisis, merancang,

mengembangkan, menerapkan dan

menilai hasil belajar. Sedangkan

menurut Saiful Sagala (Supriatna & Mulyadi, 2009), desain pembelajaran

adalah pengembangan pengajaran

secara sistematik yang digunakan secara khusus teori-teori pembelajaran untuk menjamin kualitas pembelajaran. Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan desain pembelajaran adalah praktek penyusunan rancangan dan pengembangan pembelajaran yang sistematis berdasarkan teori-teori atau penelitian-penelitian yang ada untuk mencapai pembelajaran yang efektif dan efisien sesuai dengan yang diinginkan.

2. Komponen

Morisson dkk. (Handayani & Kusumawati, 2009) mengemukakan bahwa komponen desain pembelajaran diwakili oleh pertanyaan-pertanyaan berikut:

a. Untuk siapa program ini

dibuat?

b. Apa yang anda inginkan

peserta didik pelajari?

c. Isi pembelajaran seperti apa

yang paling baik untuk

dipelajari?

d. Bagaimana cara anda

mengukur hasil pembelajaran yang telah dicapai?

Sedangkan Supriyatna &

Mulyadi (2009) menjabarkan

komponen-komponen pembelajaran

(7)

3 a. Peserta didik b. Tujuan c. Analisis pembelajaran d. Strategi pembelajaran e. Bahan ajar f. Penilaian belajar

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa

komponen-komponen desain pembelajaran

meliputi hal-hal sebagai berikut : a. Kondisi dan latar belakang

peserta didik

b. Tujuan pembelajaran

c. Materi pembelajaran

d. Metode atau strategi

pembelajaran

e. Evaluasi pembelajaran

3. Model

Dalam desain pembelajaran

dikenal beberapa model yang

dikemukakan para ahli, di antaranya:

a. ADDIE (Analysis, Design,

Develop, Implement &

Evaluate (Shibley, 2011))

b. ASSURE (analyze learners,

states objectives, select

methods, media, and

material, utilize media and

materials, require learner

participation, evaluate and

revise (Supriatna dan

Mulyadi, 2009))

c. Hannafin & Peck (analisis kebutuhan, fase desain dan

fase pengembangan dan

implementasi (Supriatna dan Mulyadi, 2009))

B. Pendidikan Agama Islam

Abd. Gafar (2003) memberikan pengertian pendidikan agama Islam sebagai “bidang studi yang berisi tentang ajaran agama Islam, yang pada

umumnya telah tersusun secara

sistematis dalam ilmu-ilmu keislaman, yang harus dikuasai oleh pembelajar pada tingkat atau level tertentu.”

Sementara itu Muhaimin (2005)

menyatakan pendidikan Islam

merupakan sistem pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan niat untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam kegiatan pendidikannya.

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah

kegiatan-kegiatan atau usaha-usaha yang

dilakukan secara sadar oleh pendidik untuk menanamkan ajaran agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah kepada peserta didik.

C. Pendidikan Karakter 1. Pengertian

Samani (2011) memaknai

karakter sebagai “nilai dasar yang

membangun pribadi seseorang,

terbentuk baik karena pengaruh

hereditas maupun pengaruh

lingkungan, yang membedakannya

dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari.”

Sedangkan Hidayatullah (2010)

mendefenisikan karakter sebagai

“kualitas mental atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak serta yang membedakan individu dengan individu lainnya.”

Dengan demikian pendidikan karakter dapat, disimpulkan sebagai

(8)

4 kegiatan-kegiatan atau usaha-usaha yang dilakukan secara sadar oleh pendidik untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada peserta didik sehingga nilai-nilai itu nantinya tergambar dalam sikap, perilaku, motivasi dan keterampilan peserta didik.

2. Tujuan

Kesuma dkk. (2011)

mengungkapkan terdapat tiga tujuan pendidikan karakter yang dilakukan di sekolah:

a. Menguatkan dan

mengembangkan nilai-nilai

kehidupan yang dianggap

penting dan perlu sehingga menjadi

kepribadian/kepemilikan

peserta didik yang khas

sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan.

b. Mengoreksi perilaku peserta

didik yang tidak bersesuaian

dengan nilai-nilai yang

dikembangkan oleh sekolah.

c. Membangun koneksi yang

harmoni dengan keluarga dan

masyarakat dalam

memerankan tanggungjawab

pendidikan karakter secara bersama.

Sedangkan pemerintah

menetapkan tujuan pendidikan karakter sebagai berikut:

a. Mengembangkan potensi

peserta didik agar menjadi manusia yang baik, berpikiran baik dan berperilaku baik;

b. Membangun bangsa yang

berkarakter Pancasila;

c. Mengembangkan potensi

warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga

pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari

pendidikan karakter adalah

penanaman nilai-nilai tertentu yang dikehendaki sehingga peserta didik berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang telah ditanamkan tersebut.

3. Nilai-nilai pembentuk karakter Pemerintah telah mengeluarkan

18 nilai karakter yang dapat

ditanamkan kepada siswa antara lain: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab.

Dalam agama Islam, akhlak atau karakter berinduk dari perilaku Nabi Muhammad saw sehari-hari, sebagai teladan utama umat Islam. Secara garis besar perilaku tersebut adalah sebagai berikut (Samani, 2011):

a. Shidiq

b. Amanah

c. Fathanah

d. Tabligh

Akhlak Nabi saw yang ini adalah berupa garis besar dan masih ada banyak lagi karakter-karakter mulia yang diajarkan Nabi saw dalam agama Islam seperti: sabar, bekerja

keras, dermawan, kasih sayang,

pemaaf, bersyukur, tidak sombong, istiqomah dan lain-lain.

4. Proses pendidikan karakter

Pemerintah menejelaskan

bahwa pendidikan karakter harus meliputi: olah hati, olah pikir, olah raga serta olah rasa dan karsa

(9)

5

Lickona (2001) menyatakan

pendidikan karakter mencakup

komponen moral knowing

(pengetahuan tentang moral/nilai),

moral feeling (perasaan moral) dan

moral action (tindakan moral).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pendidikan karakter dilakukan dengan melakukan pengembangan terhadap pengetahuan tentang moral yang merupakan olah pikir, mengembangkan perasaan moral yang merupakan olah hati dan olah rasa, serta dengan mengembangkan tindakan moral yang merupakan olah perilaku.

5. Pendidikan karakter dan

perencanaan pembelajaran Silabus, RPP dan bahan ajar

dirancang agar muatan maupun

kegiatan pembelajarannya

memfasilitasi/berwawasan pendidikan karakter. Cara yang mudah untuk membuat silabus, RPP dan bahan ajar yang berwawasan pendidikan karakter adalah dengan mengadaptasi silabus, RPP dan bahan ajar yang telah

dibuat/ada dengan

menambahkan/mengadaptasi kegiatan

pembelajaran yang bersifat

memfasilitasi dikenalnya nilai-nilai, disadarinya pentingnya nilai-nilai dan

diinternalisasikannya nilai-nilai

(Kemdiknas, 2010 a).

D. Sekolah Inklusi

1. Anak berkebutuhan khusus

Anak berkebutuhan khusus

(ABK) merupakan anak-anak yang memiliki karakteristik khusus yang memerlukan perlakuan khusus dalam

pembelajaran. ABK memerlukan

perlakuan yang berbeda dengan anak

pada umumnya dalam proses belajar mengajar (Santoso, 2010).

2. Pendidikan inklusi

Pendidikan inklusi adalah

pendidikan yang mengikutsertakan

anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk belajar bersama-sama dengan anak sebaya di sekolah umum. Konsep

inklusi berdasarkan atas gagasan

bahwa sekolah regular harus

menyediakan lingkungan belajar bagi seluruh peserta didik sesuai dengan

kebutuhannya, apapun tingkat

kemampuan atau kelainannya (Delphi, 2009). Sedangkan sekolah inklusi

merupakan sekolah yang

menyelenggarakan pendidikan inklusi.

PERTANYAAN PENELITIAN Dalam penelitian ini pertanyaan yang diajaukan oleh peneliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses penyusunan

desain pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan muatan pendidikan karakter di Sekolah

Dasar inklusi dengan ABK

tunarungu?

2. Apa saja upaya-upaya yang

dilakukan guru PAI di sekolah inklusi dalam menyusun desain pembelajarannya?

3. Bagaimana guru PAI memasukkan

komponen pendidikan karakter

dalam desain pembelajarannya?

METODE PENELITIAN A. Deskripsi Fenomena

Fenomena yang diteliti dalam penelitian ini adalah penyusunan

desain pembelajaran bermuatan

(10)

6 Pendidikan Agama Islam di Sekolah

Dasar inklusi dengan ABK

tunarungu. Sebelum melakukan

penelitian, peneliti perlu memberikan batasan pada fenomena ini.

Penyusunan desain

pembelajaran PAI adalah suatu proses penyusunan rancangan dan pengembangan pembelajaran pada mata pelajaran PAI secara sistematis yang meliputi identifikasi peserta

didik, penetapan tujuan

pembelajaran, penyusunan materi

pembelajaran, pemilihan metode

penyampaian, serta pembuatan alat evaluasi. Secara khusus penyusunan desain pembelajaran PAI ini harus

memuat kandungan pendidikan

karakter.

Fenomena yang akan diteliti

dikhususkan pada satu tempat

tertentu, yaitu sekolah dasar di Surakarta yang menyelenggarakan pendidikan inklusi dengan peserta siswa ABK tunarungu. Sekolah inklusi merupakan sekolah yang menyelenggarakan pendidikan yang menggabungkan anak berkebutuhan

khusus bersama anak tidak

berkebutuhan khusus dalam satu

setting pendidikan yang sama untuk

memperoleh pendidikan secara

bersama-sama.

B. Informan Penelitian

Subjek penelitian dipilih

dengan metode purposive sampling

dengan deskripsi: Guru sekolah dasar pada mata pelajaran PAI atau Guru

Pendamping Khusus (GPK) di

Surakarta yang mengajar di kelas

inklusi dengan peserta ABK

tunarungu. Analisis data yang

digunakan adalah analisis diskriptif yaitu berupa paparan, uraian dan gambaran.

C. Metode dan Alat Pengumpul Data

Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif. Alat

pengumpul data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah

wawancara dan dokumentasi. D. Analisis

Analisis data yang digunakan peneliti adalah analisis deskriptif, yaitu berupa paparan, uraian, dan gambaran dari data yang diperoleh.

Adapun langkah-langkah dalam

melakukan analisis data meliputi penyusunan verbatim; memberikan analisis dan kategorisasi; pemberian kode; pembahasan data dikaitkan dengan teori dari para ahli yang ada.

PEMBAHASAN

Kondisi peserta didik menjadi hal pertama yang perlu diperhatikan

dalam penyususnan desain

pembelajaran. Hal ini sesuai dengan beberapa model desain pembelajaran yang diungkapkan beberapa ahli,

seperti model ADDIE, model

ASSURE maupun model Hannafin

& Peck (Supriatna dan

Mulyadi,2009). Hal paling utama terkait kondisi ABK tunarungu

adalah kemampuan komunikasi

sebagaimana diungkapkan Smith

(2006).

Tujuan pembelajaran dalam kelas inklusi ABK tunarungu perlu disesuaikan dengan kondisi siswa. Hal ini menunjukkan fleksibilitas

kurikulum sebagaimana yang

diungkapkan Peters (2007), bahwa kelas inklusi memerlukan adanya

(11)

7 kurikulum yang fleksibel. Hal serupa juga diungkapkan oleh Delphi (2009) yang menyatakan bahwa sekolah

harus menyediakan lingkungan

belajar bagi siswa, apapun tingkat kemampuannya.

Nilai-nilai karakter yang

ingin ditanamkan pada siswa dapat

dimasukkan dalam tujuan

pembelajaran di dalam desain

pembelajaran. Hal ini serupa dengan pendapat Williams (2010) yang

menyatakan bahwa pendidikan

karakter dapat dimasukkan

berdampingan dengan kurikulum

yang sudah ada. Guru cukup

memodifikasi tujuan pembelajaran agar memiliki kandungan karakter.

Materi yang diberikan dalam dalam kelas inklusi dengan ABK tunarungu sebaiknya menghindari adanya materi pembelajaran yang

membutuhkan adanya kegiatan

berbicara. Santoso (2010)

menyatakan bahwa hambatan dalam

pendengaran pada individu

tunarungu berakibat terjadinya

hambatan dalam berbicara. Selain itu materi sedapat mungkin disajikan dalam bentuk visual. Smith (2006)

menyebutkan pentingnya

penggunaan metode komunikasi

alternatif dalam pembelajaran di kelas inklusi dengan siswa ABK tunarungu. Penggunaan materi yang ditampilkan secara visual dapat dikatakan sebagai salah satu upaya penggunanaan metode komunikasi alternatif. Dalam menyusun materi

pembelajaran guru mata pelajaran dapat dibantu oleh GPK. Pentingnya GPK dalam kelas inklusi juga diungkapkan oleh Peters (2007). GPK merupakan salah satu unsur yang disebut Peters sebagai sistem instruksi yang harus ada untuk memenuhi kebutuhan ABK dalam pembelajaran inklusi.

Materi PAI sudah mencakup pendidikan karakter. Samani (2010) mengungkapkan bahwa pendidikan agama menjadikan karakter sebagai fokus utama. Hal ini juga didukung

pendapat Lickona (1999) yang

menyatakan bahwa pendidikan

karakter dan pendidikan agama dapat

digabungkan dalam satu

pembelajaran. Materi pembelajaran yang diberikan dalam pembelajaran PAI dapat dikategorikan dalam

komponen moral knowing. Materi

dalam pembelajaran PAI berisi tentang pengetahuan moral. Materi PAI mengandung berbagai informasi tentang moral. Kapan perilaku dinilai baik atau buruk, terpuji atau tercela

dijelaskan dalam materi

pembelajaran PAI. Dari materinya sendiri, PAI sudah mengandung beberapa aspek moral knowing.

Metode komunikasi menjadi perhatian utama dalam memilih strategi atau metode pembelajaran.

Guru sebaiknya memperhatikan

saran-saran yang diberikan oleh Smith (2006) terkait bagaimana berbicara dalam kelas inklusi dengan ABK tunarungu, seperti tempat

(12)

8 duduk, kesempatan yang sama, pengulangan, pembawaan saat bicara ataupun penggunaan metode mentor sebaya. Selama pembelajaran ada kalanya ABK membutuhkan bantuan

GPK. Hal ini menunjukkan

pentingnya kedudukan GPK. Bila ABK mengalami kesulitan, maka GPK akan melakukan intervensi

untuk membantu siswa

bersangkutan. Hal ini kembali

menegaskan pernyataan Peters

(2007) terkait pentingnya guru

khusus bagi ABK dalam

penyelenggaraan pendidikan inklusi.

Metode yang diterapkan

dalam pembelajaran juga

dipengaruhi oleh nilai-nilai karakter yang ingin ditanamkan pada siswa. Guru harus bisa memilih metode yang dapat menyampaikan materi pembelajaran dengan baik sekaligus

menanamkan nilai-nilai karakter

pada anak. Model desain

pembelajaran ASSURE (Supriyatna

dan Mulyadi, 2009) juga

menyebutkan pemilihan metode

harus sesuai dengan pembelajaran terkait. Sementara itu Kemdiknas (2010a) mengeluarkan panduan yang

menyatakan bahwa untuk

mengintegrasikan pendidikan

karakter dalam perencanaan

pembelajaran, guru dapat melakukan penambahan atau modifikasi dalam

indikator pembelajaran, kegiatan

pembelajaran dan evaluasi

pembelajaran. Penambahan aktivitas pembelajaran merupakan salah satu usaha guru dalam mengintegrasikan

pendidikan karakter dalam

pembelajaran di kelas. Guru dapat

menggunakan aktivitas-aktivitas

pembelajaran yang khas yang dapat

menanamkan nilai-nilai karakter.

Metode yang digunakan guru dalam

pembelajaran seharusnya dapat

melakukan proses moral feeling.

Moral feeling merupakan tahap

kedua dalam proses pendidikan karakter yang diungkapkan Lickona (2001).

Instrument evaluasi bagi

ABK tunarungu sama dengan siswa non ABK namun memiliki standar penilaian yang berbeda. evaluasi bagi siswa ABK tunarungu menyesuaikan dengan kemampuan siswa tersebut. Meskipun soal yang digunakan sama, namun standar yang dipakai dalam menilai siswa ABK tunarungu tetap dibedakan dari siswa non ABK. Hal

ini sesuai dengan apa yang

diungkapkan oleh Delphi (2009) bahwa sekolah harus menyediakan

lingkungan belajar bagi siswa,

apapun tingkat kemampuannya.

Selain itu Peters (2007) juga

menyatakan bahwa kurikulum yang fleksibel merupakan salah satu hal yang dibutuhkan dalam mengadakan

pendidikan inklusi di sekolah.

Kurikulum yang fleksibel juga

memungkinkan fleksibilitas dalam evaluasi siswa ABK tunarungu.

Evaluasi pendidikan karakter

dapat dilihat melalui observasi

selama pembelajaran dan kegiatan sehari-hari di lingkungan sekolah

(13)

9 serta informasi dari wali kelas. Lickona (2001) menyatakan bahwa

pendidikan karakter meliputi

komponen moral knowing

(pengetahuan tentang moral/nilai),

moral feeling (perasaan moral) dan

moral action (tindakan moral). Hal

ini menunjukkan bahwa pendidikan

karakter harus mencapai tahap

perilaku (moral action). Hal ini juga diperkuat pernyataan dari Kemdiknas (2011) yang menyatakan bahwa pendidikan karakter meliputi olah pikir, olah hati, olah raga dan olah rasa. Oleh karena itu, evaluasi yang tepat adalah evaluasi yang dapat melihat perilaku siswa dan bukan sekedar hasil dari olah pikir atau

moral knowing. Evaluasi dengan

observasi dapat melihat perilaku siswa yang merupakan hasil dari

penanaman nilai-nilai karakter.

Evaluasi lisan dapat digunakan untuk membantu observasi satu per satu pada siswa.

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis data, dapat disimpulkan bahwa proses

penyusunan desain pembelajaran

mata pelajaran PAI sebagai dasar

pembentukan karakter di kelas

inklusi Sekolah Dasar yang memiliki peserta ABK tunarungu meliputi: pertama, mengetahui kondisi siswa

terutama kemampuan

komunikasinya; kedua, menetapkan

tujuan pembelajaran dengan

kandungan karakter dan dapat

dicapai seluruh siswa; ketiga,

menyusun materi pembelajaran yang dapat mengakomodasi seluruh siswa

serta memahami kandungan

pendidikan karakter yang terkandung

dalam materi; keempat, memilih

metode yang tepat bagi semua siswa,

materi dan dapat menanamkan

karakter tertentu; kelima, membuat

evaluasi belajar yang dapat

dikerjakan baik oleh siswa non ABK maupun siswa ABK tunarungu dan mampu melihat moral action pada siswa.

SARAN

Berdasarkan penelitian ini, maka peneliti dapat memberikan saran-saran, antara lain:

1. Bagi pemerintah, diharapkan

hasil penelitian ini mampu

menunjukkan sebagian gambaran terkait pelaksanaan pendidikan inklusi di sekolah sehingga mampu memberikan perbaikan

pada pendidikan inklusi.

Penelitian ini diharapkan juga dapat menunjukkan pentingnya GPK dalam pendidikan inklusi

sehingga pemerintah mampu

menyiapkan GPK yang dapat membantu guru menangani kelas inklusi.

2. Bagi Universitas, diharapkan

hasil penelitian dapat

(14)

10 pengadaan materi pendidikan inklusi dan pendidikan karakter di jurusan Pendidikan Agama Islam dan Fakultas Psikologi 3. Bagi para guru PAI, diharapkan

hasil penelitian ini dapat

dijadikan rujukan utuk membantu menyusun desain pembelajaran yang lebih baik di masa yang akan datang.

4. Bagi para peneliti lain, perlunya diadakan penelitian lain dengan jenis siswa dengan kebutuhan khusus selain tunarungu.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulgafar, I., Jamil, M.. 2003.

Reformulasi Rancangan

Pembelajaran Pendidikan

Agama Islam. Jakarta : Nur

Insani.

Delphie, B.. 2009. Pembelajaran

Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan

Inklusi. Sleman: KTSP.

Handayani, D., Kusumawati, S.

2009. Perencanaan Desain

Pembelajaran. Jakarta : Pusat

Pengembangan dan

Pemberdayaan Pendidikan

dan Tenaga Kependidikan

Taman Kanak-kanak dan

Pendidikan Luar Biasa. Hidayatullah, M. Furqon. 2010.

Pendidikan Karakter:

Membangun Peradaban

Bangsa. Surakarta: Yuma

Pustaka.

Kementrian Pendidikan Nasional.

2010 (a). Panduan

Pendidikan Karakter di SMP.

Jakarta: Direktorat Jenderal

Pendidikan Dasar dan

Menengah Direktorat

Pembinaan Sekolah

Menengah Pertama.

Kementrian Pendidikan Nasional.

2010 (b). Pengembangan

Pendidikan Budaya dan

Karakter Bangsa. Jakarta:

Badan Penelitian dan

Pengembangan Pusat

Kurikulum.

Kementrian Pendidikan Nasional.

2011. Panduan Pelaksanaan

Pendidikan Karakter. Jakarta:

Badan Penelitian dan

Pengembangan Pusat

Kurikulum dan Perbukuan. Kesuma, D., Triatna, C., Permana, J..

2011. Pendidikan Karakter

Kajian Teori dan Praktek di

Sekolah. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

Muhaimin. 2005. Pengembangan

Kurikulum Pendidikan

Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan

Tinggi. Jakarta: PT

Rajagrafindo Persada.

Lickona, T.. 1999. Religion and

Character Education. Phi

Delta Kappan. Vol. 81. No. 1. hal 26.

Samani, M. & Hariyanto. 2011.

Konsep dan Model

Pendidikan Karakter.

Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

(15)

11

Santoso, S. B. 2010. Sekolah

Alternatif, Mengapa Tidak.

Yogyakarta: Diva Press. Shibley, Ike. dkk. 2011. Designing a

Blended Course : Using

ADDIE to Guide

Instructional Design.

Pensylvania : Journal of Collage Science Teaching. Smith, J. David. 2006. Inklusi,

Sekolah Ramah untuk Semua. Bandung: Penerbit Nuansa.

Supriatna, Dadang., Mulyadi,

Mochamad. 2009. Konsep

Dasar Desain Pembelajaran. Jakarta: Pusat Pengembangan

dan Pemberdayaan

Pendidikan dan Tenaga

Kependidikan Taman Kanak-kanak dan Pendidikan Luar Biasa.

Williams, H. R. S. 2010, Widening the Lens to Teach Character

Education Alongside

Standards Curriculum, The

Clearing House, vol. 83, no. 4, hal. 117.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian dari 88 responden diketahui bahwa sebanyak53,4% responden memiliki pengetahuan yang rendah, 52,3% penggunaan jamban yang kurang baik, 64,8% pendapatan

PENGGUNAAN SOFTWARE MATLAB SIMULINK SEBAGAI MEDIA UNTUK MEMBANTU SISWA SMK-TI GARUDA NUSANTARA CIMAHI.. PADA PEMBELAJARAN DASAR

Penanaman karakter melalui pembelajaran geografi dapat dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran Inkuiri karena model tersebut mengandung langkah-langkah yang

Animasi dalam SWiSH adalah menggerakkan, mengubah posisi suatu objek dari posisi semula kesuatu posisi baru, atau mengubah bentuk, warna dan mendistorsinya menjadi suatu

Hasil penelitian yang dilakukan kepada 26 pasien dengan diagnosa gastritis di IGD RSUD Dr.Soegiri Lamongan menunjukkan bahwa sebagian besar pasien berpola makan buruk

Pendapatan total keluarga petani adalah pendapatan yang diperoleh dari hasil usahatani, hasil usaha penggemukan sapi potong, dan hasil usaha lain dalam satu tahun

pertumbuhan panjang yang terendah terjadi pada substrat keramik dengan rata-rata laju pertumbuhan panjang selama 3 bulan sebesar 0,099 cm/minggu (Gambar 7) dan laju

Oleh karena itu, berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah citra toko berpengaruh signifikan terhadap