PENYUSUNAN DESAIN PEMBELAJARAN BERMUATAN
KARAKTER PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM DI SEKOLAH DASAR INKLUSI DENGAN
ABK TUNARUNGU
NASKAH PUBLIKASI Oleh: RIZKI PRIMANDA F 100 060 214 G 000 060 214FAKULTAS PSIKOLOGI - FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN PSIKOLOGI DAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2013 PENYUSUNAN DESAIN PEMBELAJARAN
BERMUATAN KARAKTER PADA MATA PELAJARAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH DASAR
INKLUSI DENGAN ABK TUNARUNGU
Yang diajukan oleh: Rizki Primanda F 100060214/G 000060214
Telah disetujui untuk dipertahankan di depan Dewan Penguji
Telah disetujui oleh: Pembimbing Utama:
Dra. Wiwien Dinar Pratisti, M.Si. Tanggal 11 Nopember 2013
Pembimbing Pendamping:
PENYUSUNAN DESAIN PEMBELAJARAN BERMUATAN
KARAKTER PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM DI SEKOLAH DASAR INKLUSI DENGAN
ABK TUNARUNGU
Yang diajukan Oleh:Rizki Primanda F 100060214/G 000060214
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal
19 Desember 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat. Penguji Utama
Dra. Wiwien Dinar Pratisti, M.Si. __________________ Penguji Pendamping I
Dra. Mahasri Shobahiya, M.Ag. __________________ Pembimbing Pendamping II
Dra. Partini, M.Si. __________________
Pembimbing Pendamping III
Drs. Arif Wibowo, M.Ag __________________
Surakarta, 2014
Universitas Muhammadiyah Surakarta Dekan
Fakultas Psikologi Fakultas Agama Islam
ABSTRAKSI
PENYUSUNAN DESAIN PEMBELAJARAN BERMUATAN KARAKTER PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI
SEKOLAH DASAR INKLUSI DENGAN ABK TUNARUNGU
Dekadensi moral yang sedang dialami bangsa Indonesia membuat pendidikan karakter menjadi perlu untuk dilaksanakan. Salah satu usaha pengembangan pendidikan karakter adalah dengan memasukkan muatan pendidikan karakter pada pendidikan formal (sekolah). Proses awal pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam pembelajaran adalah melalui desain pembelajaran. Pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), pendidikan karakter harus menjadi fokus utama. Guru dituntut untuk bisa menyusun desain pembelajaran yang bermuatan karakter. Tantangan lain bagi guru saat ini yaitu munculnya sekolah inklusi sebagai dampak kurangnya tempat pendidikan formal bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Hal ini menyebabkan desain pembelajaran bermuatan karakter yang disusun oleh guru harus turut disesuaikan dengan keberadaan ABK. ABK tunarungu menjadi perhatian khusus dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan karena pendengaran merupakan alat manusia yang paling awal dalam proses belajar. Tujuan penilitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses penyusunan desain pembelajaran mata pelajaran PAI sebagai dasar pembentukan karakter di kelas inklusi Sekolah Dasar yang memiliki peserta ABK tunarungu.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan alat pengumpul data berupa wawancara dan dokumentasi. Subjek penelitian dipilih dengan metode purposive sampling dengan deskripsi: Guru sekolah dasar pada mata pelajaran PAI atau Guru Pendamping Khusus (GPK) di Surakarta yang mengajar di kelas inklusi dengan peserta ABK tunarungu. Analisis data yang digunakan adalah analisis diskriptif yaitu berupa paparan, uraian dan gambaran.
Berdasarkan analisis data, dapat disimpulkan bahwa proses penyusunan desain pembelajaran mata pelajaran PAI sebagai dasar pembentukan karakter di kelas inklusi Sekolah Dasar yang memiliki peserta ABK tunarungu melalui
tahapan: pertama, mengetahui kondisi siswa terutama kemampuan
komunikasinya; kedua, menetapkan tujuan pembelajaran dengan kandungan
karakter dan dapat dicapai seluruh siswa; ketiga, menyusun materi pembelajaran yang dapat mengakomodasi seluruh siswa serta memahami kandungan pendidikan karakter yang terkandung dalam materi; keempat,memilih metode yang tepat bagi semua siswa, materi dan dapat menanamkan karakter tertentu; kelima, membuat evaluasi belajar yang dapat dikerjakan baik oleh siswa non ABK maupun siswa ABK tunarungu dan mampu melihat moral action pada siswa.
Kata kunci: desain pembelajaran, Pendidikan Agama Islam, pendidikan karakter, anak berkebutuhan khusus, pendidikan inklusi
1 PENDAHULUAN
Degradasi moral yang sedang dialami bangsa Indonesia membuat pendidikan karakter menjadi semakin perlu untuk dilaksanakan. Berbagai persoalan yang muncul di masyarakat
seperti korupsi, tawuran pelajar,
kerusuhan suporter sepak bola,
bullying, konsumsi minuman keras dan
narkoba, rendahnya disiplin berlalu
lintas, rendahnya budaya antre,
membuang sampah sembarangan,
kecurangan saat Ujian Nasional, geng motor dan lain-lain; telah menjadi
gambaran kondisi masyarakat di
Indonesia saat ini. Pendidikan karakter diperlukan untuk mengatasi degradasi moral yang saat ini sedang terjadi.
Kepedulian masyarakat
mengenai pendidikan karakter juga
menjadi kepedulian pemerintah.
Berbagai upaya pengembangan
pendidikan karakter telah dilakukan di
berbagai lembaga pemerintah,
terutama di Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas, 2010 (b)). Salah satu usaha tersebut adalah dengan
memasukkan muatan pendidikan
karakter pada pendidikan formal. Muatan pendidikan karakter
dimasukkan dalam setiap mata
pelajaran di sekolah sebagai dampak pengiring dari masing-masing mata pelajaran. Khusus mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, pendidikan karakter harus menjadi fokus utama. Dalam Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, pendidikan karakter menjadi dampak pengiring sekaligus dampak pembelajaran (Samani, 2010).
Penuangan pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran tidak dengan menambahkan materi pembelajaran,
namun dengan mengintegrasikan unsur pendidikan karakter ke dalam proses pembelajaran. Untuk mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam proses pembelajaran, diperlukan perhatian khusus dalam penyusunan desain pembelajaran (Williams, 2010). Guru dituntut untuk bisa menyusun desain
pembelajaran yang bermuatan
karakter.
Tantangan lain bagi guru saat ini yaitu munculnya sekolah inklusi sebagi dampak kurangnya tempat
pendidikan formal bagi Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK). Hal ini
menyebabkan desain pembelajaran
bermuatan karakter yang disusun oleh guru harus turut disesuaikan dengan keberadaan ABK. ABK tunarungu
menjadi perhatian khusus dalam
penelitian ini. Hal ini disebabkan karena pendengaran merupakan alat manusia yang paling awal dalam proses belajar.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang mengungkap proses penyusunan desain pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai dasar pembentukan karakter di kelas inklusi Sekolah Dasar yang memiliki peserta ABK tunarungu. Maka dari itu peneliti mengambil judul
penelitian “Penyusunan Desain
Pembelajaran Bermuatan Karakter
Pada Mata Pelajaran Pendidikan
Agama Islam Di Sekolah Dasar Inklusi Dengan Abk Tunarungu”
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses penyusunan desain pembelajaran mata pelajaran
2 karakter di kelas inklusi Sekolah Dasar yang memiliki peserta ABK tunarungu.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis
a. Memberikan evaluasi sederhana kepada guru Pendidikan Agama Islam di sekolah inklusi terkait
penyusunan desain
pembelajaran bermuatan
karakter.
b. Memberikan gambaran kepada
para calon guru Pendidikan Agama Islam terkait penyusunan desain pembelajaran di kelas inklusi.
c. Memberikan sebagian kecil
gambaran pendidikan inklusi kepada pemerintah, sehingga
pemerintah bisa mengambil
tindakan-tindakan tertentu,
khususnya terkait desain
pembelajaran, untuk
meningkatkan kualitas
pendidikan inklusi yang telah ada.
d. Memberikan referensi kepada
peneliti lain yang melakukan penelitian serupa.
2. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan Pendidikan Agama Islam, khususnya pada penyusunan desain pembelajaran pada kelas inklusi.
LANDASAN TEORI A. Desain Pembelajaran
1. Pengertian
Seels & Richey (Handayani &
Kusumawati, 2009) menyatakan
bahwa desain pembelajaran adalah suatu prosedur yang terdiri dari langkah, di mana langkah-langkah tersebut di dalamnya terdiri
dari analisis, merancang,
mengembangkan, menerapkan dan
menilai hasil belajar. Sedangkan
menurut Saiful Sagala (Supriatna & Mulyadi, 2009), desain pembelajaran
adalah pengembangan pengajaran
secara sistematik yang digunakan secara khusus teori-teori pembelajaran untuk menjamin kualitas pembelajaran. Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan desain pembelajaran adalah praktek penyusunan rancangan dan pengembangan pembelajaran yang sistematis berdasarkan teori-teori atau penelitian-penelitian yang ada untuk mencapai pembelajaran yang efektif dan efisien sesuai dengan yang diinginkan.
2. Komponen
Morisson dkk. (Handayani & Kusumawati, 2009) mengemukakan bahwa komponen desain pembelajaran diwakili oleh pertanyaan-pertanyaan berikut:
a. Untuk siapa program ini
dibuat?
b. Apa yang anda inginkan
peserta didik pelajari?
c. Isi pembelajaran seperti apa
yang paling baik untuk
dipelajari?
d. Bagaimana cara anda
mengukur hasil pembelajaran yang telah dicapai?
Sedangkan Supriyatna &
Mulyadi (2009) menjabarkan
komponen-komponen pembelajaran
3 a. Peserta didik b. Tujuan c. Analisis pembelajaran d. Strategi pembelajaran e. Bahan ajar f. Penilaian belajar
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
komponen-komponen desain pembelajaran
meliputi hal-hal sebagai berikut : a. Kondisi dan latar belakang
peserta didik
b. Tujuan pembelajaran
c. Materi pembelajaran
d. Metode atau strategi
pembelajaran
e. Evaluasi pembelajaran
3. Model
Dalam desain pembelajaran
dikenal beberapa model yang
dikemukakan para ahli, di antaranya:
a. ADDIE (Analysis, Design,
Develop, Implement &
Evaluate (Shibley, 2011))
b. ASSURE (analyze learners,
states objectives, select
methods, media, and
material, utilize media and
materials, require learner
participation, evaluate and
revise (Supriatna dan
Mulyadi, 2009))
c. Hannafin & Peck (analisis kebutuhan, fase desain dan
fase pengembangan dan
implementasi (Supriatna dan Mulyadi, 2009))
B. Pendidikan Agama Islam
Abd. Gafar (2003) memberikan pengertian pendidikan agama Islam sebagai “bidang studi yang berisi tentang ajaran agama Islam, yang pada
umumnya telah tersusun secara
sistematis dalam ilmu-ilmu keislaman, yang harus dikuasai oleh pembelajar pada tingkat atau level tertentu.”
Sementara itu Muhaimin (2005)
menyatakan pendidikan Islam
merupakan sistem pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan niat untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam kegiatan pendidikannya.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah
kegiatan-kegiatan atau usaha-usaha yang
dilakukan secara sadar oleh pendidik untuk menanamkan ajaran agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah kepada peserta didik.
C. Pendidikan Karakter 1. Pengertian
Samani (2011) memaknai
karakter sebagai “nilai dasar yang
membangun pribadi seseorang,
terbentuk baik karena pengaruh
hereditas maupun pengaruh
lingkungan, yang membedakannya
dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari.”
Sedangkan Hidayatullah (2010)
mendefenisikan karakter sebagai
“kualitas mental atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak serta yang membedakan individu dengan individu lainnya.”
Dengan demikian pendidikan karakter dapat, disimpulkan sebagai
4 kegiatan-kegiatan atau usaha-usaha yang dilakukan secara sadar oleh pendidik untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada peserta didik sehingga nilai-nilai itu nantinya tergambar dalam sikap, perilaku, motivasi dan keterampilan peserta didik.
2. Tujuan
Kesuma dkk. (2011)
mengungkapkan terdapat tiga tujuan pendidikan karakter yang dilakukan di sekolah:
a. Menguatkan dan
mengembangkan nilai-nilai
kehidupan yang dianggap
penting dan perlu sehingga menjadi
kepribadian/kepemilikan
peserta didik yang khas
sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan.
b. Mengoreksi perilaku peserta
didik yang tidak bersesuaian
dengan nilai-nilai yang
dikembangkan oleh sekolah.
c. Membangun koneksi yang
harmoni dengan keluarga dan
masyarakat dalam
memerankan tanggungjawab
pendidikan karakter secara bersama.
Sedangkan pemerintah
menetapkan tujuan pendidikan karakter sebagai berikut:
a. Mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang baik, berpikiran baik dan berperilaku baik;
b. Membangun bangsa yang
berkarakter Pancasila;
c. Mengembangkan potensi
warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga
pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari
pendidikan karakter adalah
penanaman nilai-nilai tertentu yang dikehendaki sehingga peserta didik berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang telah ditanamkan tersebut.
3. Nilai-nilai pembentuk karakter Pemerintah telah mengeluarkan
18 nilai karakter yang dapat
ditanamkan kepada siswa antara lain: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab.
Dalam agama Islam, akhlak atau karakter berinduk dari perilaku Nabi Muhammad saw sehari-hari, sebagai teladan utama umat Islam. Secara garis besar perilaku tersebut adalah sebagai berikut (Samani, 2011):
a. Shidiq
b. Amanah
c. Fathanah
d. Tabligh
Akhlak Nabi saw yang ini adalah berupa garis besar dan masih ada banyak lagi karakter-karakter mulia yang diajarkan Nabi saw dalam agama Islam seperti: sabar, bekerja
keras, dermawan, kasih sayang,
pemaaf, bersyukur, tidak sombong, istiqomah dan lain-lain.
4. Proses pendidikan karakter
Pemerintah menejelaskan
bahwa pendidikan karakter harus meliputi: olah hati, olah pikir, olah raga serta olah rasa dan karsa
5
Lickona (2001) menyatakan
pendidikan karakter mencakup
komponen moral knowing
(pengetahuan tentang moral/nilai),
moral feeling (perasaan moral) dan
moral action (tindakan moral).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pendidikan karakter dilakukan dengan melakukan pengembangan terhadap pengetahuan tentang moral yang merupakan olah pikir, mengembangkan perasaan moral yang merupakan olah hati dan olah rasa, serta dengan mengembangkan tindakan moral yang merupakan olah perilaku.
5. Pendidikan karakter dan
perencanaan pembelajaran Silabus, RPP dan bahan ajar
dirancang agar muatan maupun
kegiatan pembelajarannya
memfasilitasi/berwawasan pendidikan karakter. Cara yang mudah untuk membuat silabus, RPP dan bahan ajar yang berwawasan pendidikan karakter adalah dengan mengadaptasi silabus, RPP dan bahan ajar yang telah
dibuat/ada dengan
menambahkan/mengadaptasi kegiatan
pembelajaran yang bersifat
memfasilitasi dikenalnya nilai-nilai, disadarinya pentingnya nilai-nilai dan
diinternalisasikannya nilai-nilai
(Kemdiknas, 2010 a).
D. Sekolah Inklusi
1. Anak berkebutuhan khusus
Anak berkebutuhan khusus
(ABK) merupakan anak-anak yang memiliki karakteristik khusus yang memerlukan perlakuan khusus dalam
pembelajaran. ABK memerlukan
perlakuan yang berbeda dengan anak
pada umumnya dalam proses belajar mengajar (Santoso, 2010).
2. Pendidikan inklusi
Pendidikan inklusi adalah
pendidikan yang mengikutsertakan
anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk belajar bersama-sama dengan anak sebaya di sekolah umum. Konsep
inklusi berdasarkan atas gagasan
bahwa sekolah regular harus
menyediakan lingkungan belajar bagi seluruh peserta didik sesuai dengan
kebutuhannya, apapun tingkat
kemampuan atau kelainannya (Delphi, 2009). Sedangkan sekolah inklusi
merupakan sekolah yang
menyelenggarakan pendidikan inklusi.
PERTANYAAN PENELITIAN Dalam penelitian ini pertanyaan yang diajaukan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses penyusunan
desain pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan muatan pendidikan karakter di Sekolah
Dasar inklusi dengan ABK
tunarungu?
2. Apa saja upaya-upaya yang
dilakukan guru PAI di sekolah inklusi dalam menyusun desain pembelajarannya?
3. Bagaimana guru PAI memasukkan
komponen pendidikan karakter
dalam desain pembelajarannya?
METODE PENELITIAN A. Deskripsi Fenomena
Fenomena yang diteliti dalam penelitian ini adalah penyusunan
desain pembelajaran bermuatan
6 Pendidikan Agama Islam di Sekolah
Dasar inklusi dengan ABK
tunarungu. Sebelum melakukan
penelitian, peneliti perlu memberikan batasan pada fenomena ini.
Penyusunan desain
pembelajaran PAI adalah suatu proses penyusunan rancangan dan pengembangan pembelajaran pada mata pelajaran PAI secara sistematis yang meliputi identifikasi peserta
didik, penetapan tujuan
pembelajaran, penyusunan materi
pembelajaran, pemilihan metode
penyampaian, serta pembuatan alat evaluasi. Secara khusus penyusunan desain pembelajaran PAI ini harus
memuat kandungan pendidikan
karakter.
Fenomena yang akan diteliti
dikhususkan pada satu tempat
tertentu, yaitu sekolah dasar di Surakarta yang menyelenggarakan pendidikan inklusi dengan peserta siswa ABK tunarungu. Sekolah inklusi merupakan sekolah yang menyelenggarakan pendidikan yang menggabungkan anak berkebutuhan
khusus bersama anak tidak
berkebutuhan khusus dalam satu
setting pendidikan yang sama untuk
memperoleh pendidikan secara
bersama-sama.
B. Informan Penelitian
Subjek penelitian dipilih
dengan metode purposive sampling
dengan deskripsi: Guru sekolah dasar pada mata pelajaran PAI atau Guru
Pendamping Khusus (GPK) di
Surakarta yang mengajar di kelas
inklusi dengan peserta ABK
tunarungu. Analisis data yang
digunakan adalah analisis diskriptif yaitu berupa paparan, uraian dan gambaran.
C. Metode dan Alat Pengumpul Data
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Alat
pengumpul data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah
wawancara dan dokumentasi. D. Analisis
Analisis data yang digunakan peneliti adalah analisis deskriptif, yaitu berupa paparan, uraian, dan gambaran dari data yang diperoleh.
Adapun langkah-langkah dalam
melakukan analisis data meliputi penyusunan verbatim; memberikan analisis dan kategorisasi; pemberian kode; pembahasan data dikaitkan dengan teori dari para ahli yang ada.
PEMBAHASAN
Kondisi peserta didik menjadi hal pertama yang perlu diperhatikan
dalam penyususnan desain
pembelajaran. Hal ini sesuai dengan beberapa model desain pembelajaran yang diungkapkan beberapa ahli,
seperti model ADDIE, model
ASSURE maupun model Hannafin
& Peck (Supriatna dan
Mulyadi,2009). Hal paling utama terkait kondisi ABK tunarungu
adalah kemampuan komunikasi
sebagaimana diungkapkan Smith
(2006).
Tujuan pembelajaran dalam kelas inklusi ABK tunarungu perlu disesuaikan dengan kondisi siswa. Hal ini menunjukkan fleksibilitas
kurikulum sebagaimana yang
diungkapkan Peters (2007), bahwa kelas inklusi memerlukan adanya
7 kurikulum yang fleksibel. Hal serupa juga diungkapkan oleh Delphi (2009) yang menyatakan bahwa sekolah
harus menyediakan lingkungan
belajar bagi siswa, apapun tingkat kemampuannya.
Nilai-nilai karakter yang
ingin ditanamkan pada siswa dapat
dimasukkan dalam tujuan
pembelajaran di dalam desain
pembelajaran. Hal ini serupa dengan pendapat Williams (2010) yang
menyatakan bahwa pendidikan
karakter dapat dimasukkan
berdampingan dengan kurikulum
yang sudah ada. Guru cukup
memodifikasi tujuan pembelajaran agar memiliki kandungan karakter.
Materi yang diberikan dalam dalam kelas inklusi dengan ABK tunarungu sebaiknya menghindari adanya materi pembelajaran yang
membutuhkan adanya kegiatan
berbicara. Santoso (2010)
menyatakan bahwa hambatan dalam
pendengaran pada individu
tunarungu berakibat terjadinya
hambatan dalam berbicara. Selain itu materi sedapat mungkin disajikan dalam bentuk visual. Smith (2006)
menyebutkan pentingnya
penggunaan metode komunikasi
alternatif dalam pembelajaran di kelas inklusi dengan siswa ABK tunarungu. Penggunaan materi yang ditampilkan secara visual dapat dikatakan sebagai salah satu upaya penggunanaan metode komunikasi alternatif. Dalam menyusun materi
pembelajaran guru mata pelajaran dapat dibantu oleh GPK. Pentingnya GPK dalam kelas inklusi juga diungkapkan oleh Peters (2007). GPK merupakan salah satu unsur yang disebut Peters sebagai sistem instruksi yang harus ada untuk memenuhi kebutuhan ABK dalam pembelajaran inklusi.
Materi PAI sudah mencakup pendidikan karakter. Samani (2010) mengungkapkan bahwa pendidikan agama menjadikan karakter sebagai fokus utama. Hal ini juga didukung
pendapat Lickona (1999) yang
menyatakan bahwa pendidikan
karakter dan pendidikan agama dapat
digabungkan dalam satu
pembelajaran. Materi pembelajaran yang diberikan dalam pembelajaran PAI dapat dikategorikan dalam
komponen moral knowing. Materi
dalam pembelajaran PAI berisi tentang pengetahuan moral. Materi PAI mengandung berbagai informasi tentang moral. Kapan perilaku dinilai baik atau buruk, terpuji atau tercela
dijelaskan dalam materi
pembelajaran PAI. Dari materinya sendiri, PAI sudah mengandung beberapa aspek moral knowing.
Metode komunikasi menjadi perhatian utama dalam memilih strategi atau metode pembelajaran.
Guru sebaiknya memperhatikan
saran-saran yang diberikan oleh Smith (2006) terkait bagaimana berbicara dalam kelas inklusi dengan ABK tunarungu, seperti tempat
8 duduk, kesempatan yang sama, pengulangan, pembawaan saat bicara ataupun penggunaan metode mentor sebaya. Selama pembelajaran ada kalanya ABK membutuhkan bantuan
GPK. Hal ini menunjukkan
pentingnya kedudukan GPK. Bila ABK mengalami kesulitan, maka GPK akan melakukan intervensi
untuk membantu siswa
bersangkutan. Hal ini kembali
menegaskan pernyataan Peters
(2007) terkait pentingnya guru
khusus bagi ABK dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusi.
Metode yang diterapkan
dalam pembelajaran juga
dipengaruhi oleh nilai-nilai karakter yang ingin ditanamkan pada siswa. Guru harus bisa memilih metode yang dapat menyampaikan materi pembelajaran dengan baik sekaligus
menanamkan nilai-nilai karakter
pada anak. Model desain
pembelajaran ASSURE (Supriyatna
dan Mulyadi, 2009) juga
menyebutkan pemilihan metode
harus sesuai dengan pembelajaran terkait. Sementara itu Kemdiknas (2010a) mengeluarkan panduan yang
menyatakan bahwa untuk
mengintegrasikan pendidikan
karakter dalam perencanaan
pembelajaran, guru dapat melakukan penambahan atau modifikasi dalam
indikator pembelajaran, kegiatan
pembelajaran dan evaluasi
pembelajaran. Penambahan aktivitas pembelajaran merupakan salah satu usaha guru dalam mengintegrasikan
pendidikan karakter dalam
pembelajaran di kelas. Guru dapat
menggunakan aktivitas-aktivitas
pembelajaran yang khas yang dapat
menanamkan nilai-nilai karakter.
Metode yang digunakan guru dalam
pembelajaran seharusnya dapat
melakukan proses moral feeling.
Moral feeling merupakan tahap
kedua dalam proses pendidikan karakter yang diungkapkan Lickona (2001).
Instrument evaluasi bagi
ABK tunarungu sama dengan siswa non ABK namun memiliki standar penilaian yang berbeda. evaluasi bagi siswa ABK tunarungu menyesuaikan dengan kemampuan siswa tersebut. Meskipun soal yang digunakan sama, namun standar yang dipakai dalam menilai siswa ABK tunarungu tetap dibedakan dari siswa non ABK. Hal
ini sesuai dengan apa yang
diungkapkan oleh Delphi (2009) bahwa sekolah harus menyediakan
lingkungan belajar bagi siswa,
apapun tingkat kemampuannya.
Selain itu Peters (2007) juga
menyatakan bahwa kurikulum yang fleksibel merupakan salah satu hal yang dibutuhkan dalam mengadakan
pendidikan inklusi di sekolah.
Kurikulum yang fleksibel juga
memungkinkan fleksibilitas dalam evaluasi siswa ABK tunarungu.
Evaluasi pendidikan karakter
dapat dilihat melalui observasi
selama pembelajaran dan kegiatan sehari-hari di lingkungan sekolah
9 serta informasi dari wali kelas. Lickona (2001) menyatakan bahwa
pendidikan karakter meliputi
komponen moral knowing
(pengetahuan tentang moral/nilai),
moral feeling (perasaan moral) dan
moral action (tindakan moral). Hal
ini menunjukkan bahwa pendidikan
karakter harus mencapai tahap
perilaku (moral action). Hal ini juga diperkuat pernyataan dari Kemdiknas (2011) yang menyatakan bahwa pendidikan karakter meliputi olah pikir, olah hati, olah raga dan olah rasa. Oleh karena itu, evaluasi yang tepat adalah evaluasi yang dapat melihat perilaku siswa dan bukan sekedar hasil dari olah pikir atau
moral knowing. Evaluasi dengan
observasi dapat melihat perilaku siswa yang merupakan hasil dari
penanaman nilai-nilai karakter.
Evaluasi lisan dapat digunakan untuk membantu observasi satu per satu pada siswa.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data, dapat disimpulkan bahwa proses
penyusunan desain pembelajaran
mata pelajaran PAI sebagai dasar
pembentukan karakter di kelas
inklusi Sekolah Dasar yang memiliki peserta ABK tunarungu meliputi: pertama, mengetahui kondisi siswa
terutama kemampuan
komunikasinya; kedua, menetapkan
tujuan pembelajaran dengan
kandungan karakter dan dapat
dicapai seluruh siswa; ketiga,
menyusun materi pembelajaran yang dapat mengakomodasi seluruh siswa
serta memahami kandungan
pendidikan karakter yang terkandung
dalam materi; keempat, memilih
metode yang tepat bagi semua siswa,
materi dan dapat menanamkan
karakter tertentu; kelima, membuat
evaluasi belajar yang dapat
dikerjakan baik oleh siswa non ABK maupun siswa ABK tunarungu dan mampu melihat moral action pada siswa.
SARAN
Berdasarkan penelitian ini, maka peneliti dapat memberikan saran-saran, antara lain:
1. Bagi pemerintah, diharapkan
hasil penelitian ini mampu
menunjukkan sebagian gambaran terkait pelaksanaan pendidikan inklusi di sekolah sehingga mampu memberikan perbaikan
pada pendidikan inklusi.
Penelitian ini diharapkan juga dapat menunjukkan pentingnya GPK dalam pendidikan inklusi
sehingga pemerintah mampu
menyiapkan GPK yang dapat membantu guru menangani kelas inklusi.
2. Bagi Universitas, diharapkan
hasil penelitian dapat
10 pengadaan materi pendidikan inklusi dan pendidikan karakter di jurusan Pendidikan Agama Islam dan Fakultas Psikologi 3. Bagi para guru PAI, diharapkan
hasil penelitian ini dapat
dijadikan rujukan utuk membantu menyusun desain pembelajaran yang lebih baik di masa yang akan datang.
4. Bagi para peneliti lain, perlunya diadakan penelitian lain dengan jenis siswa dengan kebutuhan khusus selain tunarungu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgafar, I., Jamil, M.. 2003.
Reformulasi Rancangan
Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam. Jakarta : Nur
Insani.
Delphie, B.. 2009. Pembelajaran
Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan
Inklusi. Sleman: KTSP.
Handayani, D., Kusumawati, S.
2009. Perencanaan Desain
Pembelajaran. Jakarta : Pusat
Pengembangan dan
Pemberdayaan Pendidikan
dan Tenaga Kependidikan
Taman Kanak-kanak dan
Pendidikan Luar Biasa. Hidayatullah, M. Furqon. 2010.
Pendidikan Karakter:
Membangun Peradaban
Bangsa. Surakarta: Yuma
Pustaka.
Kementrian Pendidikan Nasional.
2010 (a). Panduan
Pendidikan Karakter di SMP.
Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan
Menengah Direktorat
Pembinaan Sekolah
Menengah Pertama.
Kementrian Pendidikan Nasional.
2010 (b). Pengembangan
Pendidikan Budaya dan
Karakter Bangsa. Jakarta:
Badan Penelitian dan
Pengembangan Pusat
Kurikulum.
Kementrian Pendidikan Nasional.
2011. Panduan Pelaksanaan
Pendidikan Karakter. Jakarta:
Badan Penelitian dan
Pengembangan Pusat
Kurikulum dan Perbukuan. Kesuma, D., Triatna, C., Permana, J..
2011. Pendidikan Karakter
Kajian Teori dan Praktek di
Sekolah. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Muhaimin. 2005. Pengembangan
Kurikulum Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan
Tinggi. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada.
Lickona, T.. 1999. Religion and
Character Education. Phi
Delta Kappan. Vol. 81. No. 1. hal 26.
Samani, M. & Hariyanto. 2011.
Konsep dan Model
Pendidikan Karakter.
Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
11
Santoso, S. B. 2010. Sekolah
Alternatif, Mengapa Tidak.
Yogyakarta: Diva Press. Shibley, Ike. dkk. 2011. Designing a
Blended Course : Using
ADDIE to Guide
Instructional Design.
Pensylvania : Journal of Collage Science Teaching. Smith, J. David. 2006. Inklusi,
Sekolah Ramah untuk Semua. Bandung: Penerbit Nuansa.
Supriatna, Dadang., Mulyadi,
Mochamad. 2009. Konsep
Dasar Desain Pembelajaran. Jakarta: Pusat Pengembangan
dan Pemberdayaan
Pendidikan dan Tenaga
Kependidikan Taman Kanak-kanak dan Pendidikan Luar Biasa.
Williams, H. R. S. 2010, Widening the Lens to Teach Character
Education Alongside
Standards Curriculum, The
Clearing House, vol. 83, no. 4, hal. 117.