• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGATURAN PERJANJIAN KOMERSIAL MENGENAIASAS FREEDOM OF CONTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGATURAN PERJANJIAN KOMERSIAL MENGENAIASAS FREEDOM OF CONTRACT"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PENGATURAN PERJANJIAN KOMERSIAL...- Alfian 21

PENGATURAN PERJANJIAN KOMERSIAL MENGENAIASAS “FREEDOM OF

CONTRACT”

Muh Alfian, S.H., M.Hum

Dosen Universitas Muhammadiyah Purworejo ABSTRAK

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan suatu perjanjian komersial dengan menggunakan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract).Pasal 1320 ayat 1 menyatakan bahwa sebagian salah satu syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan adanya “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”. Pasal 1338 ayat 1 menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”.Berdasarkan hal tersebut, dapatlah dikatakan bahwa berlakunya asas konsensualisme di dalam hukum perjanjian, dimana memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa “sepakat” dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah, sehingga dapat dibatalkan. Kebebasan berkontrak memang perlu pembatasan, dikarenakan faktanya kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian komersial sering kali tidak seimbang, sehingga dimungkinkan pihak yang mempunyai kedudukan atau posisi tawar yang lemah dalam suatu pejanjian akan banyak dirugikan. Pengadilan di dalam memeriksa dan mengadili kasus-kasus yang berhubungan dengan asas kebebasan berkontrak juga diberikan sepenuhnya untuk membatasi asas tersebut, apabila memang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan di dalam masyarakat. Hakim berwenang untuk mamasuki atau meneliti isi suatu kontrak, apabila diperlukan karena isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Hakim juga memiliki kewenangan untuk mencegah terjadinya pelanggaran rasa keadilan. Dalam konteks hukum perjanjian, kewenangan tersebut meliputi kewenangan untuk mengurangi, bahkan meniadakan sama sekali suatu kewajiban kontraktual dari suatu perjanjian yang mengandung ketidakadilan.Menurut naskah pasal tersebut persetujuan pembatalan yang dikarenakan wanprestasi dan kebatalan ini mempunyai daya berlaku surut, yang dalam tatanan kausal (causale stelsel) dianut Hukum Belanda, maka batalnya persetujuan ini mempunyai akibat bahwa alas hak untuk menyerahkan suatu barang hapus, dan dengan demikian pihak yang memperoleh hak tersebut kemudian menjadi tak berwenang memiliki beschikkingsonbevoegd, sehingga penyerahan-penyerahan yang dilakukan setelah itu menjadi tidak sah karenannya.

Kata Kunci: Kebebasan Berkontrak, Sepakat, Seimbang, PENDAHULUAN

Perundang-undangan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian apa saja, asalkan tidak betentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum, sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

(2)

PENGATURAN PERJANJIAN KOMERSIAL...- Alfian 22 Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas sebagai pancaran hak asasinya. Asas ini berhubungan pula dengan isi perjanjian, yaitu untuk menentukan “apa” dan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perkataan “semua” mengandung pengertian bahwa seluruh pejanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak di kenal oleh undang-undang (Badrulzaman, 2001).

Kebebasan berkontrak (Freedom of contract), hingga saat ini tetap menjadi asas yag penting dalam sistem hukum perjanjian, baik dalam civil law system, common law system maupun dalam sistem hukum lainnya. Hal ini dikarenakan, pertama, asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang bersifat universal yang berlaku di semua negara di dunia ini. Kedua, asas kebebasan berkontrak ini mengandung makna sebagai suatu perwujudan dari kehendak bebas para pihak dalam suatu perjanjian, yang berarti juga sebagai pancaran atas pengakuan hak asasi manusia (Rahman, 2003 : 15)

Dalam perkembangannya ternyata asas kebebasan berkontrak dapat mendatangkan suatu ketidakadilan, yang dikarenakan asas ini hanya dapat mencapai tujuannya, yaitu mendatangkan kesejahteraan semaksimal dan seoptimal mungkin, bila para pihak memiliki bargaining power yang seimbang. Jika salah satu pihak berada pada posisi yang lemah, maka pihak yang memiliki bargaining posisition lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak yang lain, demi keuntungan dirinya sendiri. (Sjahdeini, 1993 : 17).

Fenomena adanya ketidakseimbangan dalam berkontrak sebagaimana tersebut di atas dapat dicermati dari beberapa model kontrak, terutama kontrak-kontrak yang berhubungan dengan konsumen dalam bentuk standar/baku yang didalamnya memuat klausul-klausul yang isinya (cenderung) berat sebelah atau tidak seimbang. Dalam praktek pemberian kredit di lingkungan perbankan, misal terdapat klausul yang mewajibkan nasabah untuk tunduk terhadap segala petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah ada maupun yang akan diatur kemudian, atau klausul yang membebaskan bank dari segala kerugian nasabah sebagai akibat dari segala tindakan bank. Dalam kontrak sewa beli, misalnya terdapat klausul yang berisi kewajiban pembayaran seluruhnya dan seketika apabila pembeli sewa menunggak pembayaran dua kali berturut-turut. Sementara dalam kontrak jual beli, misalnya terdapat klausul bahwa barang yang sudah dibeli dengan pembayaran secara tunai (lunas) tidak dapat dikembalikan (Hernoko, 2008: 3, Hatta, 2000).

(3)

PENGATURAN PERJANJIAN KOMERSIAL...- Alfian 23 Problematika di atas merupakan tantangan bagi para praktisi hukum untuk memberikan jalan keluar yang tebaik, demi terwujudnya kontrak yang saling menguntungkan bagi para pihak ( win win solution contract), di satu sisi bisa memberikan kepastian hukum dan sementara di sisi yang lainnya mampu memberikan rasa keadilan. Meskipun disadari bahwa untuk memadukan kepastian hukum dan keadilan, merupakan perbuatan yang tidak mudah, namun melalui instrument kontrak yang mampu mengakomodir perbedaan kepentingan secara proporsional, maka dilema pertentangan “semu” antara kepastian hukum dan keadilan tersebut dapat dieliminir. Bahkan akan menjadi suatu keniscayaan terwujudnya suatu kontrak yang saling menguntungkan bagi para pihak (Hernoko, 2008 : 6).

Dari diskripsi tersebut di atas, terdapat suatu permasalahan untuk selanjutnya dilakukan pembahasan, yaitu bagaimanakah pengaturan suatu perjanjian komersial tersebut dengan menggunakan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)?

PEMBAHASAN 1. Asas kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum, namun asas ini mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual yang dilakukan oleh para pihak. Asas ini pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasai oleh semangat liberalisme yang lebih mengedepankan dan mengagungkan kebebasan individu. Perkembangan ini seiring dengan penyusunan BW di Negeri Belanda, dan semangat liberalisme yang dipengaruhi semboyan Revolusi Perancis yaitu “liberte, egalite et fraternite (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan)”. Menurut paham individualisme bahwa setiap orang bebas untuk melakukan apa yang dikehendaki, sementara itu di dalam hukum perjanjian falsafah ini di wujudkan dalam asas kebebasan berkontrak (Hernoko, 2008 ; 94).

Menurut Treitel, asas kebebasan berkontrak dalam sistem hukum Inggris digunakan untuk menunjuk kepada dua asas umum (general principle). Pertama, mengemukakan bahwa hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak. Asas ini tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian oleh para pihak. Ruang

(4)

PENGATURAN PERJANJIAN KOMERSIAL...- Alfian 24 lingkupnya meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian sendiri sebagaimana sesuai dengan yang mereka inginkan. Kedua, mengemukakan bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat di paksa untuk memasuki suatu perjanjian. Kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan dengan siapa pihak itu ingin atau tidak ingin membuat perjanjian (Suryono, 2010, 350).

Sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh dalam satu sistem, maka asas kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari substansi Pasal 1338 ayat 1 BW harus juga dikaitkan dengan kerangka pemahaman pasal-pasal ketentuan-ketentuan yang lain, sebagai berikut (Suryono, 2009 : 351-353):

a. Pasal 1320 ayat 1 jo pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.

Pasal 1320 ayat 1 menyatakan bahwa sebagian salah satu syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan adanya “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”. Pasal 1338 ayat 1 menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”.

Berdasarkan dua pasal dalam KUH perdata tersebut, dapatlah dikatakan bahwa berlakunya asas konsensualisme di dalam hukum perjanjian, dimana memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa “sepakat” dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah, sehingga dapat dibatalkan. Sepakat yang diberikan dengan paksa disebut Contradictio Interminis, adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat.

Adanya konsensus dari para pihak, maka menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana undang-undang (pacta sunt servanda). Asas pacta sunt servanda menjadi suatu kekuatan mengikatnya suatu perjanjian.

Cara menyimpulkan asas kebebasan berkontrak adalah dengan menekankan pada perkataan “semua” yang ada di muka perkataan “perjanjian”sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata. Dikatakan bahwa di dalam Pasal 1338 ayat 1 tersebut, seolah-olah yang membuat pernyataan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian dan mengikat sebagaimana mengikatnya undang-undang bagi yang membuatnya. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketentuan umum dan kesusilaan” (Subekti, 1984 : 5).

(5)

PENGATURAN PERJANJIAN KOMERSIAL...- Alfian 25 Pasal 1320 ayat 4 KUH Perdata menyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian apabila dilakukan atas “suatu sebab yang halal”. Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan asas kesusilaan, asas kepatutan dan atau ketertiban umum”. Dapat disimpulkan bahwa asalkan bukan karena sebab (causa) yang halal (dilarang) oleh undang-undang, maka setiap orang bebas untuk memperjanjikannya.

c. Pasal 1329 jo Pasal 1330 dan 1331 KUH Perdata

Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan : “setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika ia ditentukan tidak cakap oleh undang-undang”.

Pasal 1330 KUH Perdata menyatakan bahwa “tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian” adalah :

i. Orang-orang yang belum dewasa;

ii. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; iii. Wanita yang sudah bersuami.

Pasal 1331 KUH Perdata menyatakan bahwa “orang-orang yang di dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap, boleh menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang telah mereka perbuat dalam hal-hal dimana kekuasaan itu tidak dikecualikan dalam undang-undang”.

Dapat disimpulkan bahwa KUH Perdata tidak melarang bagi seseorang untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendaki. Undang-undang hanya menentukan bahwa orang-orang tertentu tidak cakap untuk membuat perjanjian. Setiap orang bebas untuk memilih pihakmana dengan siapa membuat perjanjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap untuk membuat perjanjian. Bahkan, apabila seseorang membuat perjanjian dengan lainnya yang menurut undang-undang tidak cakap membuat perjanjian, maka perjanjian tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap.

d. Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata yang menetapkan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

Iktikad baik ini diartikan dalam kaitannya dengan apa yang menjadi hak dan kewajiban pihak-pihak yang bersangkutan, dinamakan iktikad baik objektif. Suatu perbuatan “in concreto” dilakukan dengan iktikad baik pada hakekatnya tergantung pada

(6)

kaidah-PENGATURAN PERJANJIAN KOMERSIAL...- Alfian 26 kaidah yang berlaku dalam semua situasi dan kondisi konkret tertentu, dengan menentukan nilai-nilai kepatutan yang tumbuh dan berkembang didalam masyarakat. e. Pasal 1339 KUH Perdata, menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan,

kebiasaan dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud bukanlah kebiasaan setempat, akan tetapi ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu selalu diperhatian. f. Ketentuan Buku III KUH Perdata

Ketentuan ini kebanyakan bersifat sebagai hukum pelengkap (Anvullend recht, optional) artinya para pihak dapat secara bebas membuat syarat-syarat atau aturan tersendiri dalam suatu perjanjian yang menyimpang dari ketentuan undang-undang, namun jika para pihak tidak mengatur dalam perjanjian, maka ketentuan Buku III KUH Perdata akan melengkapinya untuk mencegah adanya kekosongan hukum sesuai dengan isi materi perjanjian yang dikehendaki oleh para pihak.

g. Buku III KUH Perdata, tidak melarang kepada seseorang untuk membuat perjanjian itu dalam bentuk tertentu sehingga para pihak dapat secara bebas untuk membuat perjanjian secara lesan ataupun tertulis, terkecuali untuk perjanjian tertentu harus dalam bentuk akta autentik.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi :

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;

c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya;

d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;

e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (Sjahbeni, 1993 : 47)

Dalam hal pembuatan kontrak, maka para pihak perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Memenuhi syarat-syarat sahnya kontrak;

b. Untuk mencapai tujuan para pihak, kontrak harus mempunyai causa; c. Tidak mengandung causa palsu (dilarang UU);

(7)

PENGATURAN PERJANJIAN KOMERSIAL...- Alfian 27 d. Tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan dan ketertiban umum; e. Harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Hernoko, 2008, hlm. 103)

2. Pembatasan Asas kebebasan Berkontrak

Paradigma kebebasan berkontrak pada akhirnya begeser kearah paradigma kepatutan. Meskipun kebebasan berkontrak masih menjadi asas yang penting dalam hukum perjanjian, baik dalam civil law maupun common law, tetapi ia tidak lagi muncul seperti kebebasan berkontrak yang berkembang pada abad kesembilan belas. Saat ini kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas, dimana negara telah melakukan sejumlah pembatasan kebebasan berkontrak melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, serta dalam praktek-praktek kegiatan ekonomi dalam masyarakat (Khairandy, 2003 : 2).

Kebebasan berkontrak memang perlu pembatasan, dikarenakan faktanya kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian komersial sering kali tidak seimbang, sehingga dimungkinkan pihak yang mempunyai kedudukan atau posisi tawar yang lemah dalam suatu pejanjian akan banyak dirugikan. Akibatnya, kontrak tersebut menjadi tidak masuk akal, tidak manusiawi dan bertentangan dengan peraturan hukum yang adil.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tejadinya pembatasan kebebasan berkontrak, di antaranya:

1) Semakin berpengaruhnya ajaran iktikad baik di mana iktikad baik tidak hanya ada pada pelaksanaan perjanjian, tetapi juga harus ada pada saat dibuatnya perjanjian;

2) Semakin berkembangnya ajaran penyalahgunaaan keadaan;

3) Berkembangnya lapangan di bidang ekonomi yang membentuk persekutuan-persekutuan dagang, badan-badan hukum, perseroan-perseroan dan golongan-golongan masyarakat lainnya, seperti buruh dan tani;

4) Semakin berkembangnya aliran dalam masyarakat yang menginginkan kesejahteraan sosial;

5) Adanya keinginan dari pemerintah untuk melindungi kepentingan umum atau pihak yang lemah (Sofwan;Khairandy, 2003 : 3).

(8)

PENGATURAN PERJANJIAN KOMERSIAL...- Alfian 28 Pembatasan kebebasan berkontrak dari negara, misalnya, di dalam peraturan perundang-undangan untuk menentukan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tentang polis asuransi, upah minimum,Memorandum of Understanding (MoU) antara pengusaha dengan pekerja tentang kondisi kerja dan syarat-syarat kerja, dan lain sebagainya. Di Negara kita, pembatasan asas ini tampak dalam ketentuan-ketentuan di KUH Perdata, yaitu pasal 1320, 1330, 1332, 1335, 1337, 1338 dan pasal 1339.

Pengadilan di dalam memeriksa dan mengadili kasus-kasus yang berhubungan dengan asas kebebasan berkontrak juga diberikan sepenuhnya untuk membatasi asas tersebut, apabila memang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan di dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan fungsi dan kewenangan hakim itu sendiri yang mempunyai otonomi kebebasan yang meliputi :

1) Menafsirkan suatu peraturan perundang-undangan;

2) Mencari dan menemukan asas-asas dan dasar-dasar hukum baru;

3) Menciptakan hukum baru apabila menghadapi kekosongan peraturan perundang-undangan;

4) Dibenarkan juga melakukan contra legem, apabila ketentuan peraturan perundang-undangan bertentangan dengan kepentingan umum, dan;

5) Memiliki otonomi yang bebas untuk mengikuti yurisprudensi (Sutantio, 1990 : 144)

Hakim berwenang untuk mamasuki atau meneliti isi suatu kontrak, apabila diperlukan karena isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Asas kebebasan berkontrak tidak lagi bersifat absolut, karena dalam keadaaan tertentu hakim berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang tidak seimbang, sehingga terjadi suatu penyalahgunaan kesempatan atau keadaan (misbruik van omstandigheden)(Atmadja, 1987 : 45).

Hakim memiliki kewenangan untuk mencegah terjadinya pelanggaran rasa keadilan. Dalam konteks hukum perjanjian, kewenangan tersebut meliputi kewenangan untuk mengurangi, bahkan meniadakan sama sekali suatu kewajiban kontraktual dari suatu perjanjian yang mengandung ketidakadilan. Hal tersebut sejalan dengan tujuan hukum sendiri, yaitu merealisasikan keadilan. Isi hukum, termasuk isi perjanjian harus

(9)

PENGATURAN PERJANJIAN KOMERSIAL...- Alfian 29 memuat nilai-nilai keadilan, yaitu suatu kepatutan yang berkembang dalam masyarakat (Khairandy, 2003 : 35, Mertokusumo, 1993 : 71).

Melalui interprestasi yang baik, hukum akan hidup dari masa ke masa dan mampu memberikan rasa keadilan bagi mereka yang mendambakannya. Ketika menghadapi kasus apapun sengketa yang mengandung keadaan tertentu atau yang belum diatur dalam peraturan undangan, ataupun yang telah di atur dalam perundang-undangan, namun substansinya terlalu umum, abstrak, dan bertentangan dengan kepentingan umum atau tidak sesuai dengan kepatutan, maka dalam keadaan seperti itu, maka hakim harus memfungsikan dirinya sebagai “judges as laws maker”. (Mertokusumo, 1993: 3).

3. Wanprestasi

Pembentuk undang-undang telah memberikan kepada pengaturan wanprestasi dalam bentuk syarat batal secara diam-diam (stilzwijgende ontbindende voorwaarde), yang hampir seluruhnya bertumpu pada suatu fiksi bahwa kebanyakan calon pihak-pihak yang akan mengadakan perjanjian sama sekali tidak mengetahui adanya peluang mengandalkan syarat-syarat batal tersebut.

Mengingat akibat-akibat yang dikaitkan Pasal 1302 BW pada wanprestasi dan yang daya kerjanya mempunyai jangkauan yang luas daripada yang berlaku antara para pihak saja, maka konstruksi undang-undang tersebut tidak dikehendaki.

Menurut naskah pasal tersebut persetujuan pembatalan yang dikarenakan wanprestasi dan kebatalan ini mempunyai daya berlaku surut, yang dalam tatanan kausal (causale stelsel) dianut Hukum Belanda, maka batalnya persetujuan ini mempunyai akibat bahwa alas hak untuk menyerahkan suatu barang hapus, dan dengan demikian pihak yag memperoleh hak tersebut kemudian menjadi tak berwenang memiliki beschikkingsonbevoegd, sehingga penyerahan-penyerahan yang dilakukan setelah itu menjadi tidak sah karenannya. Hal demikian pada hakekatnya menyebabkan salah satu pihak dapat menuntut kembali barangnya dari pihak lainnya yang secara berturut-turut menguasai barang tersebut.

Pasal 1302 BW termasuk dalam hukum pelengkap (aanvullend recht), dimana para pihak dapat mengecualikan daya kerja kebendaan (zakelijke werking) dan daya berlaku surut kebatalan tersebut dikarenakan kebatalan itu sendiri. Mengenai keberatan

(10)

PENGATURAN PERJANJIAN KOMERSIAL...- Alfian 30 terhadap daya kerja kebendaan akan menimpa pihak yang memperoleh barang secara tata urut ketiga (derde verkrijger), kecuali jika yang bersangkutan beriktikad baik dan dalam hal-hal yang menyangkut suatu persetujuan atas dasar alas hak dengan beban (onder bezwarende title) memperoleh perlindungan pasal 1198 ayat (5) BW.

Antara syarat batal, yang oleh Pembentuk Undang-undang dalam Title Kelima ingin memberikan pengaturan hukum dan syarat yang pengaturannya dijumpai dalam Pasal 1302 BW terdapat perbendaan yang mencolok. Batalnya persetujuan atas dasar Pasal 1302 BW tidak secara otomatis berlangsung dengan terpenuhinya syarat tersebut. Pihak yang tertimpa wanprestasi harus menggugat pembatalan di pengadilan, sedangkan pengandalan terhadap pemenuhan syarat batal (ontbindende voorwaarde) pada galibnya (normaliter) terbuka bagi kedua belah pihak.

KESIMPULAN

Dari apa yang dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada kebebasan berkontrak (freedom of contract) yag bersifat mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat dari tindakan kesewenang-wenangan dari suatu pihak atas pihak yang lainnya. Kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas, sementara negara telah melakukan sejumlah pembatasan kebebasan berkontrak melalui peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (In kracht).

DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Darus, dkk., 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.

Harahap, M. Yahya, 1977, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, Buku Kesatu, Bandung, PT. citra Aditya Bakti.

Hernoko, Agus Yudha, 2008, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Perjanjian, Yogyakarta, Laksbang Mediatama.

Khairandi, Ridwan, 2003, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Universitas Indonesia, Pasca Sarjana.

(11)

PENGATURAN PERJANJIAN KOMERSIAL...- Alfian 31 Mertokusumo, Sudikno, 1993, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Bandung, PT Citra

Aditya Abadi.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitan ini citra merek terbukti b memiliki pengaruh terhadap keputusan pembelians ecara signifikan, besarnya pengaruh citra merek dalm keputusan pembelian

Nurrizka Ardiyansyah, skripsi mahasiswi UIN Raden Intan Lampung, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Prodi Bimbingan Konseling yang berjudul “Peran Komunikasi Orangtua

lain, pendidikan orangtua minimal SMA, mereka bertempat tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan pengukuran awal menunjukkan nilai psychological well-being sedang.Jumlah

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merancang sebuah sistem pendukung keputusan yang akan membantu dokter dalam mendiagnosa penyakit kanker serviks yang dialami pasien

Hal tersebut memberi gambaran, bahwa semakin banyak faktor-faktor pendukung dalam meningkatkan minat baca, maka kemampuan membaca pemahaman akan meningkat, sebaliknya semakin

Penyebabnya adalah kelemahan sistem antara lain LDR yang peka terhadap perubahan cahaya (perubahan sedikit cahaya sekitar akan mempengaruhi resistansi LDR), ADC

Keanekaragaman musuh alami predator di kategorikan sedang, hal ini diduga karena kurangnya mangsa dipertanaman jagung Bima 20-URI, Sedangkan keanekaragaman parasitoid

Bersama dengan berdirinya Paroki Kristus Raja Tugumulyo pada tahun 1994, Paguyuban Para Ibu se-Paroki pun terbentuk. Kelompok Kategorial ini didirikan sebagai