• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA TNI YANG MELANGGAR SYARIAT ISLAM DI ACEH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA TNI YANG MELANGGAR SYARIAT ISLAM DI ACEH"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

10 - Volume 2, No. 2, November 2013

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA

TNI YANG MELANGGAR SYARIAT ISLAM DI ACEH

Jummaidi Saputra1, M. Saleh Sjafei2, M Gaussyah2 1)

Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 2) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Abstract: The implementation of Sharia Law in Aceh applies Islamic personality principl, Based on the rule,

every Moslem in Aceh violating the law must obey Qanun of Sharia Law. However, practically, there are soldiers violating the law is not tried by the law as the violator only responsible for the crime processed by the Indonesian Criminal Code. The responsibility of Islamic criminal law committed by the soldiers through the Indonesian criminal code has resulted in injustice dan arbitrary in enforcing law. This research aims to know the criminal responsibility of the soldiers violating Islamic criminal law and the obstacles facors in the implementation of the Islamic law for the soldiers violating the law. Legal empirical method is applied in this research. The approach is by applying juridicxal empirical approach by getting data from primary data through interview. The data gathered then anlysed qualitatively. The research shows that firstly, the criminal responsibility of Indonesian soldiers violating criminal Islamic law in Aceh is a criminal responsibility applying generally that only the Indonesian Criminal Code. Thus, the soldiers violate Criminal Islamic Law in Aceh is not whipped. Secondly, the obctacle faced in implementing the law for the soldiers violating Islamic criminal law that is the regulation factors and law apparatus factor. The statutory factor is hirarchiely based on the statute according to the Act Number 12, 2011 regading the Enactment of Law hence the Act Number 31, 1997 regarding Martial Court is superior than Qanun ruling Islamic Criminal law therefore Qanun can be iqnored from the act that is superior than it. The law enforcer factor mentioned above is not brave to enforce the law in enforcing Islamic criminal law for the soldiers violating Islamic cruiminal law and there are obstcales in caught process and execution process of whipping. It is recommended that the Local Government should shortly revise or complete the Act Number 11, 2006 regarding Aceh Governance especially regarding the violation of Islamic criminal law committed by the Indonesian soldiers in Aceh. In terms of keeping the implementation of Islamic law there should be a law to provide the authority for the military investigator, military executor, and military judge to implement sharia law for the Indonesian soldiers violating the law.

Keywords: Criminal Responsibility, Violating Islamic Law

Abstrak: Syariat Islam di Aceh menganut asas personalitas keislaman, berdasarkan ketentuan tersebut maka

semua orang yang beragama Islam berada di Aceh yang melanggar harus tunduk pada Qanun Syariat Islam. Akan tetapi, dalam praktiknya anggota TNI yang melanggar Syariat Islam tidak tunduk kepada Qanun Syariat Islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap anggota TNI yang melanggar Syariat Islam di Aceh dan faktor penghambat penerapan Qanun jinayah bagi anggota TNI yang melanggar syariat Islam di Aceh. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum empiris, dan pendekatan penelitian yuridis empiris, dengan sumber data dari data primer. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu tekhnik analisiskualitatif. Hasil penelitian menjelaskan bahwa, pertanggungjawaban pidana anggota TNI yang melanggar Syariat Islam di Aceh berupa pertanggungjawaban pidana yang berlaku secara umum yaitu KUHP. Faktor penghambat penerapan Qanun jinayah bagi anggota TNI melanggar syariat Islam di Aceh yaitu faktor Peraturan Perundang-Undangan dan faktor aparat penegak hukum. Disarankan kepada Pemerintah daerah harus segera merevisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, tentang pelanggaran Syariat Islam yang dilakukan anggota TNI di Aceh. Agar terjaganya pelaksanaan Syariat Islam, harus ada suatu aturan hukum untuk memberi kewenangan kepada penyidik militer, oditur militer dan Pengadilan Militer untuk menerapkan Syariat Islam bagi anggota TNI yang melanggar.

(2)

11 - Volume 2, No. 2, November 2013

PENDAHULUAN

Kekhususan dan keistimewaan dalam otonomi daerah seluas-luasnya di Aceh diperkuat setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-Undang ini mempertegas penerapan Syariat Islam di Aceh, dapat dilihat dalam Pasal 126 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yaitu : “(1). Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan Syariat Islam. (2) Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan Syariat Islam”.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa landasan hukum penerapan Syariat Islam di Aceh sangat kuat, sehingga Aceh dapat menjalankan Syariat Islam secara kaffah. Seperti yang diungkapkan Pagar dalam makalahnya: “Penekanan utama pemberlakuan Syari`at Islam di NAD adalah dengan memperhatikan asas personalitas keislaman. Pemaknaan memberlakukan asas personalitas keislaman di sini adalah, Syari`at Islam itu hanya diberlakukan bagi masyarakat dengan memperhatikan Agama pelaku tindak pidana itu sendiri harus benar-benar beragama Islam, lebih konkrit untuk hal ini bisa dilihat dari Kartu Tanda Penduduk (KTP), pengamalannya, dan pengakuannya”.

Penjelasan di atas, pemberlakuan Syariat Islam tidak membeda-bedakan diterapkannya Syariat Islam tidak terlepas bagi anggota TNI beragama Islam yang melanggar Syariat Islam di Aceh. UUPA memang tidak secara tegas atau

ekplisit mengatur hukum mana yang diterapkan terhadap anggota TNI beragama Islam yang melanggar Syariat Islam di Aceh.

Pengaturan terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana di Aceh terdapat dalam Pasal 203 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menyebutkan: “tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit Tentara Nasional Indonesia diadili sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Undang-undang merupakan salah satu jenis dari peraturan perundang-undangan. Sehingga frasa peraturan perundang-undangan dalam Pasal 203 ayat (1) UUPA tidak jelas undang-undang apa yang dapat diterapkan terhadap anggota TNI beragama Islam yang melakukan tindak pidana di Aceh, apakah diterapkan KUHP atau Qanun.

Hasil penelitian awal yang dilakukan di Pengadilan Militer I-01 Banda Aceh:

1. Pada tahun 2010, Yang dikatagorikan ke dalam Qanun Khalwat sebanyak 5 orang 2. Pada tahun 2011yang dikatagorikan ke

dalam Qanun Khalwat sebanyak 7 orang dan yang dikatagorikan ke dalam Qanun Maisir sebanyak 1 orang

3. Pada tahun 2012 yang dikatagorikan ke dalam Qanun Khalwat sebanyak 10 orang dan yang dikatagorikan ke dalam Qanun

Maisir sebayak 1 orang

Berdasarkan penjelasan di atas keseluruhan pelaku pelanggar Syariat Islam dari kalangan TNI tersebut di pidana dengan KUHP. Beranjak dari beberapa gambaran di atas dapat

(3)

Volume 2, No. 2, November 2013 - 12 dikatakan ada permasalahan dalam penerapan

Syariat Islam di Aceh.

KAJIAN KEPUSTAKAAN

Teori Pemidanaan

Tujuan pemidanaan semula hanyalah dimaksudkan untuk sekedar menjatuhkan pidana terhadap pelanggar hukum. Dalam perkembangannya, pemidanaan selalu terkait dengan tujuan yang ingin dicapai dengan pemidanaan tersebut. Sebagaimana halnya dengan aliran-aliran dalam hukum pidana, pemikiran-pemikiran tentang tujuan pemidanaan berkembang dari waktu ke waktu (Agustinus Purnomo Hadi, 1999:35).

Secara umum tujuan pemidanaan dapat dilihat dari teori-teori pemidanaan yang digolongkan secara tradisional menjadi 2 (dua), yaitu teori absolut atau teori pembalasan dan teori relatif atau teori tujuan. Namun, dengan perkembangannya kedua teori hukum tersebut kemudian lahir teori gabungan atau intergrative yang menggabungkan keduanya (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005:10).

Menurut Juhaya S. Praja ada dua teori dalam pemidanaan dalam Islam, yaitu zawabir dan jawajir. Pada teori zawabir pidana ditujukan untuk pembalasan sedangkan dalam teori zawajir pidana ditujukan untuk tujuan pencegahan (umum dan khusus). kedua teori ini dapat disetarakan dengan retributif dan

utilitariyan (Muhammad Din, 2009:82).

Berdasarkan hukum pidana Islam maksud dari pemidanaan adalah untuk memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan

menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah, karena Islam itu sebagai rahmatan lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia. Hukuman ditetapkan demikian untuk memperbaiki individu menjaga masyarakat dan tertib sosial.

Asas Personalitas Keislaman

Asas personalitas keislaman merupakan suatu asas dimana seseorang yang dapat tunduk dan menundukkan diri pada kekuasaan Peradilan Agama yang mengaku dirinya pemeluk agama Islam (Yahya Harahap, 1993:37). Jika dikaitkan dengan azas personalitas keislaman yang ada dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh maka berlakunya Mahkamah Syar’iyah di Aceh hanya untuk orang yang beragama Islam di Aceh.

Berdasarkan Penjelasan di atas maka Mahkamah Syar’iyah di Aceh mempunyai kewenangan dalam mengadili perkara pidana atau Jinayah sehingga apa bila orang yang beragama Islam yang berada di Aceh melakukan pelanggara Syariat Islam di Aceh akan diadili di Makamah Syariah.

Asas Teritorial

Titik berat dari asas teritorial adalah pada tempat atau teritorial terjadinya tindak pidana. Asas teritorial ini selain di samping memperhatikan objek pelaku tindak pidana itu di satu sisi juga diperhatikan tempat di mana tindak pidana itu dilakukan, maka penentuan daerah Aceh sebagai teritori yang dipedomani

(4)

13 - Volume 2, No. 2, November 2013 untuk dapat dinyatakan berlakunya Qanun merupakan kemutlakan. Artinya, hanya tindak pidana yang dilakukan di Aceh sajalah yang menjadi perbincangan Qanun-Qanun itu, asalkan tempatnya di Aceh meskipun orangnya bukan masyarakat Aceh tidak menjadi persoalan lagi, yang penting mereka sedang berada di Aceh. Dengan mencermati hal ini terlihat bahwa asas territorial ini diberlakukan di Aceh.

Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis Asas lex specialis derogat legi generalis adalah undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum. Menurut Subekti, asas lex specialis

derogat legi generalis yakni undang-undang

yang khusus menyampingkan yang umum. Berlandaskan asas lex specialis derogat legi

generalis penerapan Syariat Islam merupakan

lahir dari sebuah aturan khusus yang hanya diberlakukan bagi Provinsi Aceh, sehingga dapat menyampingkan Undang-Undang yang berlaku umum seperti KUHP. Penerapan Syariat Islam berlandaskan undang-undang seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. dalam pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dalam hal pidana atau

jinayah terdapat aturan pelaksana yang tertuang

dalam Qanun.

Menurut Pagar, Qanun (Perda) yang digali dan lahir dari masyarakat Aceh sebagai peraturan lokal yang bersifat khusus untuk masyarakat Aceh yang dipahami sebagian besar memiliki perbedaan dengan ketentuan yang

berlaku secara umum di Nusantara mendapat tempat istimewa untuk diberlakukan bagi umat Islam di Aceh. Untuk persoalan masyarakat Aceh yang telah diatur oleh Qanun maka Qanunlah yang akan diberlakukan. Hal ini sejalan dengan Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 18 Tahun 2001 tersebut, dalam salah satu alineanya dinyatakan; “Qanun Propinsi NAD adalah Peraturan Daerah Propinsi NAD yang dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogaat

lex generalis, dan Mahkamah Agung

berwenang melakukan uji materil terhadap Qanun”. Dengan penjelasan ini maka dipahami bahwa Qanun sebagai suatu tatanan Peraturan Daerah akan dapat mengenyampingkan KUHP yang bersifat umum.

Konsep Equality before The Law

Albert Van Dicey adalah salah seorang pemikir Inggris termasyur, mengemukakan tiga unsur utama Pemerintah yang kekuasaannya di bawah hukum (the rule of law) yaitu : pertama

Supremecy of Law, kedua Equality Before the Law, ketiga Contitution Based on Individual Rights.

Rumusan A.V Dicey tersebut, jelas mengisyaratkan pengakuan adanya kedaulatan hukum atau supremesi dari hukum untuk mencegah adanya kekuasaan-kekuasaan yang bersifat pribadi, baik berasal dari satu orang atau segolongan manusia. Dengan demikian, maka tujuan dari rule of law pada hakekatnya ialah melindungi individu terhadap

(5)

Volume 2, No. 2, November 2013 - 14 Pemerintahan yang sewenang-wenang dan

memungkinkan kepadanya untuk menikmati hak-hak sipil dan politiknya sebagai manusia (Nukthoh Arfawie, 2005:18).

Indonesia Merupakan Negara Hukum itu jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia 1945. Sebagai Negara hukum, untuk menjalankan suatu Negara dan perlindungan hak asasi harus berdasarkan hukum (Teguh Prasetyo, 2010:1).

METODE PENELITIAN

Berdasarkan Permasalahan yang diteliti maka penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris atau yuridis sosiologis.

Sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian ini digolongkan menjadi dua, pertama data primer yaitu penelitian lapangan dan data sekunder yaitu penelitian kepustakaan.

Data primer diperoleh secara langsung dari sumbernya dalam hal ini diperoleh melalui wawancara. Data sekunder yaitu data yang mendukung atau menunjang kelengkapan data primer, dengan mempelajari data yang merupakan bahan pustaka, peraturan, ketentuan hukum. Selanjutnya, penulisan tesis ini menggunakan tekhnik analisis kualitatif.

HASIL PEMBAHASAN

Pertanggungjawaban Pidana Anggota TNI Yang Melanggar Syariat Islam di Aceh

Pasal 126 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yaitu: “Setiap pemeluk agama Islam di

Aceh wajib menaati dan mengamalkan Syariat Islam”. Berdasarkan penjelasan Pasal tersebut di Aceh setiap orang yang beragama Islam wajib menaati Syariat Islam di Aceh. Dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh juga menjelaskan bahwa Mahkamah Syar’iyah di Aceh juga dapat mengadili perkara jinayah. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana bagi masyarakat yang melakukan tindak pidana yang dikatagorikan pelanggaran Syariat Islam pada Qanun.

Berdasarkan hasil penelitian di Pengadilan Militer I-0I Banda Aceh bahwa anggota TNI yang melakukan Tindak Pidana yang dikatagorikan pelanggaran Syariat Islam dihukum dengan aturan dalam KUHP.

Secara umum anggota TNI yang melakukan tindak pidana di adili dengan Peradilan Militer, sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Ketentuan di atas menentukan bahwa prajurit TNI yang melakukan tindak pidana menjadi kewenangan Pengadilan militer. Baik melakukan tindak pidana umum maupun tindak pidana militer. Berbeda dengan di Aceh yang telah mempunyai memilki Mahkamah Syar’iyah yang berwenang memeriksa dan mengadili setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh.

Penjelasan Umum Undang-Undang Pemerintahan Aceh dengan tegas menjelaskan bahwa Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh menganut asas personalitas keislaman dan asas

(6)

15 - Volume 2, No. 2, November 2013 teritorial. Dengan dianutnya asas personalitas keislaman dan teritorial dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh dengan sendirinya maka semua orang yang beragama Islam dan berada di Aceh maka tunduk pada Syariat Islam yang diatur dalam Qanun. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dengan sendirinya anggota TNI yang beragama Islam yang bertugas di Aceh tunduk kepada Qanun.

Pasal 203 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, menyebutkan; “Tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI di Aceh diadili sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Berdasarkan penjelasan Pasal 203 ayat (1) UUPA tersebut bahwa anggota TNI yang bertugas di Aceh yang melakukan tindak pidana termasuk tindak pidana yang tergolong pelanggaran Syariat Islam maka diadili sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional. Maka menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Uraian tersebut menggambarkan bahwa anggota TNI yang melakukan tindak pidana di Aceh tidak dapat dihukum dengan Qanun Syariat Islam. Dengan tidak bisa diterapkannya Qanun Syariat Islam tersebut terhadap anggota TNI tersebut maka hal tersebut dapat merusak rasa keadilan dalam masyarakat dan akan merusak penerapan Syariat Islam di Aceh dengan tebang pilih dalam menerapkan Syariat Islam.

Demi rasa keadilan dalam Al Yasa’ Abu

Bakar memandang bahwa hukuman cambuk layak direkomendasikan masuk dalam RUUP, Paling tidak sebagai hukuman alternatif disamakan dengan penjara atau denda. Pandangan ini didasari bahwa hukuman cambuk dianggap relatif sesuai dengan budaya dan rasa keadilan masyarakat, dalam arti lebih menjerakan dan lebih menakutkan.

Menyikapi permasalahan tersebut maka dilakukan hal-hal yang dapat memberikan rasa keadilan di dalam masyarakat. Maka dalam beberapa perkara perjudian (maisir) dan asusila (khalwat) yang dilakukan oleh anggota TNI beragama Islam yang bertugas di Aceh, yang sebenarnya merupakan pelanggaran terhadap Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir, dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang

Khalwat, dalam pelaksanaanya telah terjalin

kerjasama dan saling pengertian yang baik antara penegak hukum Syariah dan penegak hukum militer.

Berbeda dalam hal hukum adat, anggota TNI yang melakukan tindak pidana atau pelanggaran dapat tunduk pada hukum adat. Anggota TNI yang melakukan perbuatan seperti perjudian dan khalwat dapat dikenakan hukum adat. Jadi selain dikenakan perundangan-undangan anggota TNI yang melakukan hal tersebut dapat dikenakan hukum adat yang berlaku di daerah tersebut. Karena pada praktiknya hal tersebut sering anggota TNI yang tertangkap oleh warga dan diselesaikan melalui hukum adat tersebut barulah di serahkan kepada aparat yang berwenang. Padahal, hukum yang berlaku di Aceh adalah

(7)

Volume 2, No. 2, November 2013 - 16 hukum adat yang di adopsi dari hukum Islam

yang sejak lama telah dilaksanakan sejak zaman kerajaan di Aceh.

Berdasarkan Undang-Undang Peradilan Militer maka Peradilan Militer lah yang mempunyai kewenangan absolut mengadili anggota TNI yang melakukan kejahatan dengan diterapkannya KUHPM bila melakukan tindak pidana militer dan KUHP bila melakukan tindak pidana umum (termasuk pelanggaran Syariat Islam). Seharusnya Pengadilan Militer dapat menerapkan Qanun Syariat Islam dalam mengadili dan memutus perkara anggota TNI yang melanggar Syariat Islam di Aceh menggantikan KUHP. Karena Qanun Syariat Islam di Aceh yang di amanatkan dalam UUPA menjadi lex specialis dari KUHP.

Faktor Yang Menjadi Penghambat Penerapan Qanun Jinayah Bagi Anggota TNI Yang Melanggar Syariat Islam di Aceh

Terdapat beberapa hal yang menjadi faktor penghambat penerapan Qanun jinayah bagi anggota TNI yang melanggar Syariat Islam di Aceh.

Faktor Peraturan Perundang-Undangan Secara Peraturan Perundang-undangan yaitu dilihat faktor penghambat penerapan Qanun jinayah bagi anggota TNI yang melanggar Syariat Islam di Aceh dari sisi hukumnya atau perundang-undangan. yang menjadi penghambat anggota TNI yang melanggar Syariat Islam. berbicara masalah Peraturan perundang-undangan maka tidak terlepas dari hirarkhi perundang-undangan.

Pasal 7 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2011 mengatur Teori Aquo pada bagian jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut : Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, merupakan undang-undang yang mengatur tentang kewenangan mengadili anggota TNI yang melakukan tindak pidana termasuk pelanggaran Syariat Islam. Berdasarkan Undang-Undang ini anggota TNI tidak bisa menundukkan diri kepada Qanun Syariat Islam.

Anggota TNI yang melanggar Syariat Islam tidak dapat tunduk kepada Qanun Syariat, karena Qanun merupakan peraturan perundang-undangan setingkat Peraturan Daerah yang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang khususnya Undang-Undang Peradilan Militer. Sehingga atas dasar itulah anggota TNI tidak bisa tunduk secara yuridis.

Bila di amati secara mendalam bahwa penerapan Syariat Islam di Aceh terhadap semua orang yang beragama Islam adalah Undang-Undang Pemerintahan Aceh atau

(8)

17 - Volume 2, No. 2, November 2013 seperti yang telah dijelaskan bahwa Undang-Undang Pemerintahan Aceh menganut asas personalitas keislaman. Jadi penerapan Syariat Islam bukan diamanatkan oleh Qanun tapi Undang-Undang, Qanun Merupakan aturan pelaksana dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah juga ada diatur dalam Undang-Undang tersebut. Maka jika dilihat dari uraian ini menunjukkan tidak ada pertentangan aturan dalam penerapan Syariat Islam. jika ditinjau dari sisi asas lex

specialis derogate legi generalis atau aturan

yang khusus dapat menyampingkan aturan yang bersifat umum, maka Undang-Undang Nomor 11 tentang Pemerintahan Aceh dapat menyampingkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang bersifat umum.

Peluang anggota TNI yang melanggar Syariat Islam di Aceh untuk tunduk pada Qanun Syariat Islam terbuka jika dikaji dari Pasal 3 ayat (4) Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia Dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. menyebutkan:

Bunyi Pasal 3 ayat (4) Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, dimasukkan ke dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentanra Nasional Indonesia, menyebutkan: “(2) Prajurit tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum

dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”.

Penjelasan Ketetapan MPR RI ini merupakan awal reformasi perubahan kekuasaan Peradilan Militer, Ketetapan MPR RI tersebut menyebutkan bahwa TNI yang melakukan suatu tindak pidana umum tunduk kepada kekuasaan Peradilan Umum. Khusus di Aceh kewenangan Peradilan Umum di ambil alih oleh Mahkamah Syar’iyah terhadap beberapa tindak pidana umum yang dikatagorikan pelanggaran Syariat Islam.

Berdasarkan ketetapan MPR tersebut anggota TNI yang melanggar Syariat Islam di Aceh sebenarnya dapat ditundukkan kepada Mahkamah Syar’iyah dengan diterapkan Qanun Syariat Islam. Sehingga ini akan memperkuat pelaksanaan Syariat Islam.

Faktor Aparat Penegak Hukum

Menurut Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006, otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh, termasuk pelaksanaan Syari’at Islam adalah kewenangan Provinsi dan dilaksanakan melalui Qanun Provinsi (Aceh). Tugas dan kewenangan penyidikan atas pelanggaran Qanun Provinsi menurut Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006 dibebankan kepada PPNS Provinsi dan Penyidik Polisi, bukan hanya kepada PPNS. Dengan demikian Polisi WH baru berwenang melakukan penyidikan kalau telah memenuhi syarat dan sudah diangkat sebagai PPNS, sesuai dengan peraturan yang berlaku secara nasional.

(9)

Volume 2, No. 2, November 2013 - 18 Praktiknya Wilayatul Hisbah dan satpol

PP belum berani menindak tegas dan menegakkan Syariat Islam terhadap anggota TNI yang melanggar Syariat Islam, sehingga penegakan Syariat Islam terhambat.

Berdasarkan penjelasan di atas seakan-akan anggota TNI kebal terhadap hukum. Padahal semua orang sama di depan hukum tidak ada perbedaan baik masyarakat biasa, anggota TNI, dan kalangan pejabat semua sama. Jadi siapapun yang melakukan tindak pidana di Aceh maka harus tunduk pada Qanun jinayah. aparat penegak hukum Syariat Islam harus tegas karena tidak ada perbedaan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pertanggungjawaban pidana anggota TNI yang melanggar Syariat Islam di Aceh berupa pertanggungjawaban pidana yang berlaku secara umum, yaitu hanya diterapkan hukum pidana yang terdapat dalam KUHP. jadi anggota TNI yang melanggar Syariat Islam di Aceh tidak dipidana dicambuk.

2. Faktor yang menjadi penghambat penerapan Qanun jinayah bagi anggota TNI Yang

Melanggar Syariat Islam di Aceh yaitu faktor peraturan perundang-undangan dan Faktor aparat penegak hukum.

Saran

1. Pemerintah daerah harus segera merevisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, tentang pelanggaran Syariat Islam yang dilakukan anggota TNI di Aceh.

2. Agar tetap terjaganya pelaksanaan Syariat Islam, harus adanya aturan hukum untuk memberi kewenangan kepada penyidik militer, oditur militer dan Pengadilan Militer untuk menerapkan Syariat Islam bagi anggota TNI yang melanggarnya.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Muhammad, D., 2009. Stimulasi Pembangunan

Hukum Pidana Nasional dari Aceh untuk Indonesia. Bandung: UNPAD PRESS.

Muladi dan Barda N. A., 2005. Teori-Teori dan

Kebijakan Pidana. Bandung: PT. Alumni.

Nukthoh, A., 2005. Telaah Kritis Teori Negara

Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Teguh, P., 2010. Kriminalisasi Dalam Hukum

Pidana. Bandung: Nusamedia

Yahya, H., 1993. Kedudukan Kewenangan don

Acara Peradilan Agama. Jakarta: Pustaka

Referensi

Dokumen terkait

Akhlaq merupakan aspek ajaran Islam yang berhubungan dengan tata perilaku manusia sebagai hamba Allah, anggotamasyarakat, dan bagian dari alam sekitarnya. Kata akhlaq

Dari pengertian teori-teori di atas dapat dikatakan bahwa hasil belajar adalah hasil yag diperoleh oleh seseorang setelah melaksanakan kegiatan belajar mengajar baik

Tugas akhir ini disusun untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Ahli Madya Program Studi Diploma III Perpajakan Fakultas

Dari data dan keterangan diatas, bronchitis acute merupakan masalah dunia serta peran dari fisioterapis sangatlah berdaya dan tepat guna untuk menangani kasus tersebut, maka

Lebih lanjut, Permendagri ini menyatakan bahwa ada mixed- approach sebagai pengejawantahan prinsip-prinsip tersebut, “Orientasi Proses Pendekatan Perencanaan Politik (penjabaran

Obyek wisata Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) dengan fasilitas yang ada memiliki daya tarik utama sebagai tempat konservasi satwa.Dengan daya tarik yang dimiliki

 Manusia memiliki hak untuk memodifikasi lingkungan alam agar sesuai dengan kebutuhan mereka.  Tanaman dan hewan memiliki hak sebanyak manusia untuk eksis.  Manusia

PERANAN ORGANISASI GREENERATION INDONESIA DALAM MENGEMBANGKAN KARAKTER PEDULI LINGKUNGAN SEBAGAI WUJUD PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN: Studi kasus terhadap organisasi