• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH VARIASI KONSENTRASI ASAM ASETAT TERHADAP KUANTITAS GELATIN DARI KULIT IKAN SEPAT RAWA (Trichogaster trichopterus) KERING DAN KARAKTERISASINYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH VARIASI KONSENTRASI ASAM ASETAT TERHADAP KUANTITAS GELATIN DARI KULIT IKAN SEPAT RAWA (Trichogaster trichopterus) KERING DAN KARAKTERISASINYA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH VARIASI KONSENTRASI ASAM ASETAT TERHADAP

KUANTITAS GELATIN DARI KULIT IKAN SEPAT RAWA

(Trichogaster trichopterus) KERING DAN KARAKTERISASINYA

Revi Yenti, Dedi Nofiandi, Rimzatul Fithriyah Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Yayasan Perintis Padang

Email : reviyenti@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh variasi konsentrasi asam asetat terhadap kuantitas gelatin yang dihasilkan dari kulit ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus) kering dan karakteristiknya. Adapun karakterisasi yang dilakukan adalah organoleptis, kekerasan gel, viskositas, pH, kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Data dianalisa menggunakan ANOVA satu arah dan dilanjutkan dengan Uji Lanjut Berjarak Duncan menggunakan software statistic SPSS 17.0. Konsentrasi asam asetat yang digunakan yaitu 1% v/v, 2% v/v, 6% v/v dan 10% v/v. Hasil penelitian menunjukan variasi konsentrasi asam asetat yang digunakan berpengaruh terhadap kuantitas gelatin yang dihasilkan. Konsentrasi asam asetat 6% v/v merupakan konsentrasi optimal pada penelitian ini dimana pada konsentrasi ini dihasilkan gelatin dengan nilai rendemen tertinggi yaitu 5,8279%.

Kata kunci : Trichogaster trichopterus, Gelatin, ikan sepat rawa.

ABSTRACT

This research was done to investigate the influence of concentration variations of acetic acid solution to the yield of gelatin produced from dry skins of sepat rawa fish (Trichogaster trichopterus) and their characteristics. Characterization done in this research include: organoleptis, strength, viscosity, acid degree (pH), level of water, ashes concentration, protein concentration and fat content of the gelatin. Data obtained was analyzed by using one way Duncan test using software statistic SPSS completed rose 17.0. Acetic acid concentrations used in this research were 1% v/v, 2% v/v, 6% v/v and 10% v/v. Acetic acid 6% v/v was the optimum concentration which yielded by gelatin in highest amount (5.8279%).

Keywords : Trichogaster trichopterus, Gelatin, sepat rawa fish

PENDAHULUAN

Gelatin adalah suatu polipeptida larut berasal dari kolagen yang merupakan konstituen utama dari kulit, tulang dan jaringan ikat binatang. Gelatin diperoleh melalui hidrolisis parsial dari kolagen ketika kolagen diperlakukan dengan asam atau basa dan diikuti dengan panas. Struktur fibrosa kolagen dipecah irreversible menghasilkan gelatin (Zhou dan Regenstein, 2004).

Di Indonesia gelatin masih merupakan barang import, terutama dari Eropa, Amerika, dan China. Gelatin telah marak digunakan dalam industri makanan berfungsi sebagai penstabil, pengental (tickenner), pengemulsi (emulsifier), pembentuk jelly, pengikat air, dan pembungkus makanan (edible coating). Di bidang industri farmasi gelatin digunakan

sebagai bahan pembuat kapsul, disamping itu juga digunakan untuk bahan kosmetik, dan film (Damanik, 2005).

Salah satu bahan yang berpotensi digunakan untuk pembuatan gelatin adalah kulit ikan yang berasal dari ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus) yang telah dikeringkan. Ikan sepat merupakan ikan asin yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat setelah ikan teri, tongkol dan peda. Volume dan nilai produksi ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus) di perairan Sumatera Barat pada tahun 2008 mencapai 72 ton (WPI, 2010). Masyarakat pada umumnya mengolah ikan sepat dengan cara membuang kulit nya, sehingga kulit ikan akan menjadi limbah.

(2)

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, nilai rendeman gelatin yang dihasilkan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya teknik isolasi, konsentrasi pelarut yang digunakan dan lamanya waktu perendaman. Teknik isolasi gelatin meliputi variasi asam dan variasi basa. Proses asam umumnya lebih dipilih untuk bahan baku yang berasal dari ikan, karena rendemen yang dihasilkan lebih besar. Sumbono (2011) telah melakukan penelitian terhadap ikan kakap merah., diperoleh gelatin dengan nilai rendemen terbesar menggunakan perlakuan asam dibandingkan perlakuan basa. Variasi konsentrasi pelarut yang digunakan akan memberikan nilai rendemen gelatin yang berbeda. Fatimah dan Jannah (2008) melakukan penelitian pembuatan gelatin dari tulang ikan bandeng menggunakan pelarut asam sitrat dengan berbagai konsentrasi yaitu 1%, 3%, 5%, 7% dan 9%. Konsentrasi optimum untuk asam sitrat adalah 9%, dimana pada konsentrasi tersebut diperoleh gelatin dengan rendemen paling besar.

Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan pembuatan gelatin dari kulit ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus) kering menggunakan berbagai variasi larutan asam dengan konsentrasi yang sama yaitu asam asetat 2% v/v, asam klorida 2% v/v dan asam fosfat 2% v/v dengan waktu perendaman selama 24 jam. Diperoleh gelatin dengan pelarut asam asetat konsentrasi 2% v/v yang memberikan nilai rendemen terbesar yaitu 3,5099% (Yenti, 2015).

Dari hasil uraian diatas maka peneliti akan melakukan pengolahan kulit ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus) kering menggunakan berbagai konsentrasi larutan asam asetat yaitu 1% v/v, 2% v/v, 6% v/v, dan 10% v/v dengan lama waktu perendaman 24 jam untuk mendapatkan gelatin yang mempunyai nilai rendemen terbesar.

METODE PENELITIAN Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, panci, gelas ukur, labu ukur, beaker glass, waterbath, kompor, saringan, pisau, termometer, pipet volum, kain flanel, corong, kertas pH indikator universal, wadah pyrex, oven, desikator, blender, magnetic stirrer, pH meter, cawan

porselen, erlenmeyer, corong pisah, peralatan mikro Kjeldahl, alat soxhlet, viskometer

brookfield, Texture Analyzer, refrigerator

(kulkas).

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kulit ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus) kering, larutan asam asetat 1% v/v, 2% v/v, 6% v/v, dan 10% v/v, aqua destilata, dan aqua demineralisasi, petroleum eter, katalis selenium, H2SO4 pekat, H3BO3 4% v/v, indikator conway (BCG + metil merah), natrium hidroksida 40% , HCl 0,5N, Na2B4O7 dan gelatin komersial.

PROSEDUR PENELITIAN PEMBUATAN GELATIN

Sampel digunakan dalam penelitian ini adalah kulit ikan sepat rawa (Trichogaster

trichopterus) kering yang dibeli di Pasar Raya

Padang. Kulit ikan sepat rawa (Trichogaster

trichopterus) kering dikupas dan dibersihkan

dari daging dan sisik yang masih menempel. Kulit ditimbang sebanyak 4 kali dengan berat masing-masing ± 100 g dan diberi kode yang berbeda yaitu Kulit I, II, III dan IV. Cuci kulit secara terpisah dengan air mengalir. Kulit kemudian direndam dengan air bersuhu 60°-70° C selama 1-2 menit, lalu ditiriskan dan dipotong kecil-kecil, cuci kembali dengan air mengalir dan ditiriskan. Masing-masing kulit secara terpisah direndam dalam larutan asam asetat dengan konsentrasi yang berbeda yaitu asam asetat 1% (kulit I), asam asetat 2% (kulit II), asam asetat 6% (kulit III) dan asam asetat 10% (kulit IV). Perendaman dilakukan selama 24 jam dengan perbandingan kulit dengan larutan asam asetat adalah 1 : 2. Masing-masing kulit yang telah direndam lalu dicuci dengan air mengalir hingga pH menjadi netral (6-7), lalu dibilas dengan aqua demineralisata. Kulit diekstraksi dalam waterbath pada suhu 80°C selama 5 jam dengan perbandingan kulit dengan air adalah 1 : 2. Larutan gelatin yang diperoleh difiltrasi dengan kain flanel untuk menghilangkan kotoran sehingga diperoleh filtrat I, II, III dan IV. Masukan filtrat dalam loyang, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60°C selama ± 24 jam (sampai diperoleh lembaran gelatin kering). Lembaran gelatin yang diperoleh dipindahkan dalam wadah kemudian dimasukkan dalam desikator

(3)

sampai uap panasnya hilang. Setelah itu ditimbang dan dihaluskan dengan blender, sehingga diperoleh serbuk gelatin kering GI, GII, GIII dan GIV.

Rendemen (AOAC, 1995)

Rendemen diperoleh dari perbandingan berat kering gelatin yang dihasilkan dengan berat kulit ikan kering yang diekstrak.

Analisis Karakteristik Gelatin

a. Pemeriksaan organoleptis

Pemeriksaan organoleptis meliputi pengamatan bentuk, warna, bau dan rasa dari gelatin yang dihasilkan.

b. Kekuatan Gel (British Standard 757, 1975)

Gelatin dengan konsentrasi 6,67% (b/b) dilarutkan dalam aquadest. Larutan diaduk menggunakan magnetic stirrer sampai homogen, dipanaskan suhu 60°C selama 15 menit. Tuang larutan dalam beaker glass 100 ml, tutup dan diamkan selama 2 menit. Inkubasikan pada suhu 10°C selama 17 ± 2 jam. Selanjutnya diukur menggunakan alat digital force

gauge.

c. Viskositas (British Standard 757, 1975) Gelatin dengan konsentrasi 6,67% (b/b) dilarutkan dalam aquadest, kemudian diukur viskositasnya menggunakan alat viskometer stormer pada suhu 60°C. Nilai viskositas dinyatakan dalam satuan centipoise (cP).

d. Derajat Keasaman (pH) (British Standard 757, 1975)

Gelatin dengan konsentrasi 6,67% (b/b) dilarutkan dalam aquadest. Larutan sampel dipanaskan pada suhu 70°C dan dihomogenkan dengan magnetic stirrer, kemudian diukur derajat keasamannya pada suhu kamar dengan pH meter. e. Kadar Air (AOAC, 1995)

Cawan porselen dikeringkan pada suhu 105°C selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 2 gram. Cawan yang telah berisi sampel dimasukkan dalam oven bersuhu 105°C selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30

menit dan ditimbang. Ulangi sampai beratnya konstan.

f. Kadar Abu (AOAC, 1995)

Lebih kurang 2 g sampel yang telah digerus ditimbang seksama. Sampel yang telah diuapkan airnya dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 600°C. Sebelumnya berat cawan kering dan berat sampel telah diketahui. Proses pengabuan dilakukan sampai semua bahan berubah warna menjadi abu-abu, kemudian ditimbang. g. Kadar Protein (BSN, 2006)

Timbang seksama 1 gram sampel dan masukkan ke dalam labu Kjeldahl. Tambahkan katalis (1 gram selenium) dan 15 ml H2SO4 pekat (95-97%) secara perlahan-lahan dan diamkan selama 2 jam dalam ruang asam. Destruksi pada suhu 410°C selama ± 2 jam atau sampai larutan jernih. Diamkan hingga mencapai suhu kamar dan tambahkan 50 ml aquadest. Siapkan erlenmeyer berisi 25 ml larutan H3BO3 4% yang mengandung indikator conway sebagai penampung destilat. Pasang labu yang berisi hasil destruksi pada rangkaian alat destilasi uap. Tambahkan 50 ml larutan natrium hidroksida-thiosulfat. Lakukan destilasi dan tampung dalam erlenmeyer yang telah disiapkan tadi hingga volume mencapai minimal 75 ml. Titrasi hasil destilat dengan HCl 0,5N yang sudah dibakukan sampai warna berubah dari hijau menjadi pink muda.

h. Kadar Lemak (Apriyantono dkk, 1989) Sebanyak 2 gram sampel dibungkus dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam labu soxhlet (labu sebelumnya dikeringkan dalam oven, dimasukkan ke dalam desikator lalu ditimbang). Dimasukkan pelarut petroleum eter kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Evaporasi campuran lemak dan pelarut sampai kering. Lalu labu tersebut dipanaskan dalam oven dengan suhu 105°C untuk menguapkan pelarut yang masih tersisa. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Keterangan :

A = berat labu kosong B = berat sampel

(4)

Gambar 1. Persen rendemen gelatin

Tabel I. Rekapitulasi hasil rendemen dan analisis karakteristik gelatin

No Pengualngan Jenis gelatin

GI GII GIII GIV GV

1. Rendemen (%) 3,1119 3,2852 5,8279 4,0718 - 2. Organoleptis - Bentuk - Warna - Bau - Rasa Serbuk Kuning kecoklatan Khas Tidak berasa Serbuk Kuning kecoklatan Khas Tidak berasa Serbuk Kuning kecoklatan Khas Tidak berasa Serbuk Kuning kecoklatan Khas Tidak berasa Serbuk Kuning kecoklatan Khas Tidak berasa 3. Kekuatan gel (gram

bloom) 22,50 30,00 31,50 32,33 69,33 4. Viskositas (cP) 6,67 6,00 7,00 5,33 6,33 5. pH 6,65 6,07 5,88 4,69 5,78 6. Kadar air (%) 4,777 7,767 11,833 10,400 9,598 7. Kadar abu (%) 0,935 0,505 1,776 1,246 0,261 8. Kadar protein (%) 86,668 86,634 90,386 90,404 72,054 9. Kadar lemak (%) 5,503 5,682 6,948 3,999 3,886

Rendemen rataan gelatin yang diperoleh yaitu gelatin dari hasil perendaman dengan larutan asam asetat 1% v/v (GI) sebesar 3,1119%, gelatin dari hasil perendaman dengan larutan asam asetat 2% v/v (GII) sebesar 3,2852 %, gelatin dari hasil perendaman dengan larutan asam asetat 6% v/v (GIII) sebesar 5,8279 %, dan gelatin dari hasil perendaman dengan larutan asam asetat 10% v/v (GIV) sebesar 4,0718 %. Untuk gelatin pembanding digunakan gelatin komersial (GV).

Nilai rendemen dapat menjadi indikator untuk mengetahui efektif tidaknya metode yang diterapkan pada suatu penelitian, khususnya tentang optimalitasnya dalam

menghasilkan suatu produk. Semakin tinggi nilai rendemen berarti perlakuan yang diterapkan pada penelitian tersebut semakin efektif.

Analisa statistik menunjukkan bahwa rendemen GI tidak berbeda nyata dengan GII dan GIV, tapi berbeda nyata dengan GIII. Nilai rendemen tertinggi dihasilkan oleh GIII yaitu sebesar 5.8279 %, sedangkan GI, GII dan GIV mempunyai nilai rendemen lebih rendah. Hal ini menunjukan bahwa konsentrasi larutan asam yang digunakan pada GIII merupakan konsentrasi optimum untuk pengolahan gelatin kulit ikan sepat rawa kering. Rendahnya rendemen gelatin GI dan GII disebabkan karena kurangnya jumlah H+ yang diperlukan

(5)

untuk memutus ikatan hydrogen dan ikatan silang pada struktur tropokolagen sehingga tidak semua kolagen yang terekstraksi menjadi gelatin. Sedangkan pada GIV rendahnya rendemen gelatin yang dihasilkan kemungkinan akibat konsentrasi asam yang tinggi menyebabkan terjadinya hidrolisis lanjutan sehingga sebagian gelatin turut terdegradasi. Konversi kolagen menjadi gelatin dipengaruhi oleh suhu, waktu pemanasan dan pH (Courts, 1977).

Pada pemeriksaan organoleptis gelatin GI, GII, GIII, GIV dan GV mempunyai bentuk serbuk dan tidak berasa. Dari segi warna GI, GII, GIII dan GIV berwarna kuning kecoklatan, sedangkan GV berwarna kuning coklat lemah. Dari segi bau GI, GII, GIII dan GIV mempunyai bau khas, sedangkan GV tidak berbau. Adanya perbedaan warna dan bau dari GI, GII, GIII, GIV dengan GV, hal ini mungkin saja disebabkan bahan baku yang digunakan untuk pembuatan gelatin berbeda, dimana GV umumnya dibuat dari kulit dan tulang sapi.

Kekuatan gel gelatin didefinisikan sebagai besarnya kekuatan yang diperlukan oleh probe untuk menekan gel sedalam empat mm sampai gel pecah. Satuan untuk menunjukkan kekuatan suatu gel yang dihasilkan dari suatu konsentrasi tertentu disebut bloom (Lachman, 1994). Pada penelitian ini alat yang digunakan untuk pemeriksaan kekuatan gel adalah Texture

Analyzer CT3 dengan menggunakan probe

standar no 3F. Hasil uji kekuatan gel gelatin memperlihatkan kekuatan gel rataan gelatin yaitu GI= 22,50 gram bloom; GII= 30,00 gram bloom; GIII= 31,50 gram bloom; GIV= 32,33 gram bloom dan GV=69,33 gram bloom. Dari keempat jenis gelatin yang dihasilkan kekuatan gel tertinggi diperoleh dari rataan nilai GIV yaitu 32,33 gram bloom, tapi lebih rendah dari kekuatan gel GV yaitu 69,33 gram bloom. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh bahan baku yang berbeda dimana GV berasal dari gelatin sapi. Gelatin yang berasal dari mamalia memiliki kekuatan gel yang lebih tinggi dibandingkan bahan baku yang berasal dari ikan. Menurut Chamidah dan Elita (2002), bahwa kekuatan gel yang dihasilkan dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan, jenis perlakuan awal (perendaman) dan kondisi ekstraksi. Ditambahkan oleh Astawan dan Aviana (2002), kekuatan gel berkaitan dengan panjang rantai asam amino dimana rantai asam

amino yang panjang akan menghasilkan kekuatan gel yang besar pula. Pada kondisi pH yang sesuai akan terjadi hidrolisa yang optimal dari kolagen menjadi gelatin. Semakin banyak kolagen yang terhidrolisa, maka susunan asam amino menjadi semakin rapat dan semakin panjang, sehingga daya serap air menjadi semakin kuat dan kekuatan gel yang dihasilkan juga lebih tinggi.

Viskositas merupakan salah satu sifat fisik gelatin yang cukup penting. Viskositas adalah daya aliran molekul dalam suatu larutan. Pengujian viskositas dilakukan untuk mengetahui tingkat kekentalan gelatin sebagai larutan pada konsentrasi dan suhu tertentu. Viskositas gelatin biasanya diukur pada suhu 60oC dengan konsentrasi 6,67% (b/b) (Leiner, 2006).

Dari hasil penelitian diperoleh nilai rataan viskositas larutan gelatin berkisar antara 5,33 cP s/d 7,00 cP, dimana viskositas tertinggi dihasilkan oleh GIII sedangkan viskositas terendah dihasilkan oleh GIV. Viskositas GIII hampir mendekati viskositas GV yaitu 7,33 cP, tapi viskositas masingmasing konsentrasi masih memenuhi standar yaitu 1,5-7 cP. Viskositas terutama tergantung pada tingkat hidrodinamik antara molekul-molekul gelatin itu sendiri. Disamping itu juga, viskositas tergantung pada temperatur (di atas 40°C viskositas menurun secara eksponensial dengan naiknya suhu), pH (viskositas terendah pada titik isoelektrik) dan konsentrasi dari larutan gelatin (Ward dan Courts, 1977).

Menurut Glicksman (1969), residu mineral yang tertinggal dalam gelatin dapat mempengaruhi karakteristik gelatin tersebut.

Aldehyde yang mempertahankan ikatan silang

(cross-link) dalam molekul gelatin akan membentuk polyaldehyde dengan residu mineral tersebut, sehingga menurunkan kelarutan dalam air dan meningkatkan viskositasnya. Disamping residu mineral, pH juga mempengaruhi viskositas gelatin yang dihasilkan. Peningkatan nilai pH gelatin berhubungan dengan meningkatnya residu mineral gelatin, khususnya residu mineral kalsium. Nilai pH yang meningkat tersebut menyebabkan konsentrasi larutan gelatin meningkat, sehingga viskositas yang dihasilkan semakin besar.

Parameter lain yang ditetapkan dalam penentuan standar mutu gelatin adalah pH atau derajat keasamannya. Pengukuran nilai pH larutan gelatin penting dilakukan, karena pH

(6)

larutan gelatin mempengaruhi sifat-sifat gelatin lainnya seperti viskositas, kekuatan gel, dan berpengaruh juga terhadap aplikasi gelatin dalam produk. Gelatin dengan pH netral sangat baik untuk produk daging, farmasi, kromatografi, cat dan sebagainya. Sedangkan gelatin dengan pH rendah sangat baik untuk digunakan dalam produk juice, jelly, sirup dan sebagainya. Nilai pH gelatin ini sangat dipengaruhi oleh jenis larutan perendam yang digunakan untuk mengekstrak gelatin tersebut (Astawan dan Aviana, 2002).

Nilai pH rata-rata terendah terdapat pada sampel GIV yakni sebesar 4,69 sedangkan nilai pH tertinggi terdapat pada sampel GI yaitu sebesar 6,65. Rendahnya nilai pH GIV dalam penelitian ini disebabkan karena konsentrasi larutan yang digunakan saat perendaman merupakan konsentrasi terbesar dari variasi konsentrasi larutan asam yang digunakan (asam asetat 10% v/v), dari masing-masing konsentrasi hanya GI yang tidak memenuhi standar pH yaitu 4,5-6,5. Pada saat terjadi pengembangan kolagen waktu perendaman, banyak sisa asam yang tidak bereaksi terserap dalam kolagen yang mengembang dan terperangkap dalam jaringan fibril kolagen sehingga akhirnya ikut terhidrolisis pada proses ekstraksi dan mempengaruhi tingkat keasaman gelatin yang dihasilkan (Yustika, 2000).

Proses pencucian setelah perendaman (penetralan pH) yang kurang sempurna juga berpengaruh terhadap pH produk. Hal ini didukung oleh Peranginangin et al. (2005), yang menyatakan bahwa pH larutan perendam berpengaruh sangat nyata terhadap pH gelatin yang dihasilkan, dimana nilai pH gelatin semakin naik dengan naiknya pH larutan perendam. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi pH larutan perendaman, maka konsentrasi larutan asam yang diserap oleh kulit selama perendaman semakin rendah, begitupun sebaliknya.

Kadar air merupakan salah satu parameter penting pada produk pangan, karena kadar air dalam makanan ikut menentukan

acceptability, kesegaran dan mutu bahan

pangan serta daya tahan bahan (Winarno, 2002). Adanya air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas metabolism seperti aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan aktivitas kimiawi, yaitu terjadinya ketengikan dan reaksi-reaksi nonenzimatis, sehingga

menimbulkan perubahan sifat-sifat organoleptik dan nilai gizi (De Man, 1997). Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh nilai rataan kadar air berkisar antara 4,777 % s/d 11,833 % dimana GIII mempunyai kadar air tertinggi. Dibandingkan dengan GV yang hanya 9,598 %, kadar air GIII lebih tinggi, tetapi masih memenuhi standar SNI (1995) yaitu maksimal 16 %.

Nilai kadar abu suatu bahan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan tersebut (Apriyantono, 1989). Abu adalah zat anorganik yang tidak ikut terbakar dalam proses pembakaran zat organik. Zat tersebut adalah kalsium, kalium, natrium, besi, magnesium dan mangan (Desrosier, 1988). Nilai rataan kadar abu gelatin yang diperoleh berkisar antara 0,505% s/d 1,246% dimana kadar abu terendah terdapat pada GII. Nilai ini lebih tinggi dari GIII yang hanya 0,261%, tetapi masih memenuhi standar yaitu maksimal 3,25%. Kadar abu yang cukup tinggi dapat disebabkan oleh masih adanya komponen mineral yang terikat pada kolagen, yang belum terlepas saat proses pencucian sehingga ikut terekstraksi dan terbawa saat proses pengabuan (Astawan dan Aviana, 2002). Kadar abu gelatin dipengaruhi oleh kandungan bahan baku, metode penyaringan, dan ekstraksi yang dilakukan. Penghilangan mineral dalam proses ekstraksi gelatin terjadi pada saat demineralisasi. Kadar abu gelatin sangat ditentukan pada saat demineralisasi. Demineralisasi yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan dengan perendaman dalam larutan asam selama 24 jam.

Gelatin merupakan salah satu jenis protein konversi yang dihasilkan melalui proses hidrolisis kolagen, pada dasarnya memiliki kadar protein yang tinggi. Gelatin merupakan suatu bahan tambahan makanan, berupa protein murni, yang diperoleh dari penguraian kolagen dengan menggunakan panas. Pada penelitian ini kadar protein ditentukan menggunakan metoda makro

Kjeldahl dengan menentukan jumlah Nitrogen

total yang terkandung dalam suatu bahan. Kadar rataan protein yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 86,634% s/d 90,404% dimana kadar protein tertinggi dimiliki oleh GIV dan terendah oleh GII. Nilai ini jauh lebih tinggi dari GV yang hanya 72,054%. Tingginya kadar protein yang dihasilkan di duga akibat bahan baku yang

(7)

digunakan berasal dari kulit ikan yang diketahui memiliki kandungan protein yang sangat tinggi.

Kadar lemak berpengaruh terhadap perubahan mutu produk pangan selama penyimpanan. Kerusakan lemak yang utama diakibatkan oleh proses oksidasi sehingga timbul bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Gelatin yang bermutu tinggi diharapkan memiliki kandungan lemak yang rendah bahkan diharapkan tidak mengandung lemak. Kadar lemak yang tidak melebihi batas 5% merupakan salah satu persyaratan mutu penting gelatin agar serbuk gelatin dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama (De Mann, 1997).

Kadar rataan lemak yang dihasilkan berkisar antara 3,999 % s/d 6,948 %, dimana kadar lemak terendah diperoleh dari GIV dan tertinggi didapatkan dari GIII. Kadar lemak gelatin sangat bergantung pada perlakuan selama proses pembuatan gelatin, baik pada tahap pembersihan kulit maupun proses

degreasing hingga pada tahap penyaringan

filtrat hasil ekstraksi, dimana setiap perlakuan yang baik akan mengurangi kandungan lemak yang ada dalam bahan baku sehingga produk yang dihasilkan memiliki kadar lemak yang rendah.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan disimpulkan bahwa konsentrasi larutan asam yang digunakan berpengaruh terhadap kuantitas gelatin yang dihasilkan. Konsentrasi asam asetat 6% v/v menghasilkan rendemen tertinggi yaitu 5,8279%.

Saran

Diharapkan pada peneliti selanjutnya untuk dapat melakukan variasi terhadap lama perendaman dan lama ekstraksi menggunakan larutan asam asetat 6% v/v dalam pembuatan gelatin dari kulit ikan sepat rawa kering.

DAFTAR PUSTAKA

Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N.L., Yasni, S., Budiyanto, S., 1989, “Analisis Pangan”, IPB Press, Bogor. Association of Official Agricultural Chemist

(AOAC), 1995. “Official Methods of

Analysis of The Association of Official

Analytical Chemist”, Inc,Washington

DC.

Astawan, M., Aviana, T., 2002,” Pengaruh Jenis Larutan Perendam Serta Metode Pengeringan terhadap Sifat Fisik, Kimia dan Fungsional Gelatin dari Kulit Cucut”, Seminar Nasional PATPI, Malang.

Badan Standardisasi Nasional (BSN), 2006, Standar Nasional Indonesia (SNI) 01.2354.4-2006, Cara Uji

Kimia-Bagian 4 : “Penentuan Kadar Protein dengan Metode Total Nitrogen Pada Produk Perikanan”, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. British Standard 757, 1975, “Sampling and

Testing of Gelatin”. Di Dalam Imeson.

1992. Thikcening and Gelling Agents

for Food. Academic Press, New York.

Chamidah, A., Elita, C., 2002, “ Pengaruh Proses Pengolahan Terhadap Kualitas Gelatin kulit Ikan Hiu”, Seminar

Nasional PATPI, Malang.

Damanik, A, 2005, “Gelatin Halal Gelatin Haram”, Jurnal Halal LP POM MUI

No.36 Maret 2001, Jakarta

De Man, J.M., 1997,” Kimia Makanan”, Penerjemah Kosasih Padmawinata, Penerbit ITB, Bandung.

Dewan Standarnisasi Nasional, 1995, Standar Nasional Indonesia (SNI) 01.3735.1995, “Mutu dan Cara Uji

Gelatin”, Dewan Standarnisasi Nasional, Jakarta.

Desrosier, N, W, 1988, “Kimia Makanan”, Penerjemahkan Padmawinata, K, ITB Press, Bandung.

Djabourov, M., Lechaire, J., Gaill, F., 1993, Biorheology.

Fatimah, D, dan Jannah, A., 2008,” Efektifitas Penggunaan Asam Sitrat Dalam Pembuatan Gelatin Tulang Ikan Bandeng (Chanos-Chanos forskal)”,

Jurnal Penelitian, Universitas Islam

Negeri maulana Malik Ibrahim, Malang.

Glicksman, M, 1969, “Gum Technology in

Food Industry”, Academic Press. Nem

York.

Hinterwaldner, R., 1977, “Technology of

Gelatin Manufacture” di dalam Ward,

A.G., dan Courts, A., (editors.), The

Science and Technology of Gelatin,

(8)

Lachman,L., Lieberman,H.A., Kanig,J.L., 1994, “Teori dan Praktek Farmasi

Industri”, Penerjemah Siti Suyatmi,

Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Leiner, P.B., 2006, “The Physical and

Chemical Properties of Gelatin”.

http://www.pbgelatin.com

Pelu, H., Herawati, S., Chasanah, E., 1998, “Ekstraksi Gelatin dari Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.) melalui Proses Asam”. Jurnal Penelitian Perikanan

Indonesia Vol. IV No.2 Tahun 1998,

BPTP, Jakarta.

Peranginangin, R., Mulyasari, Sari, A., Tazwir, 2005,” Karakterisasi Mutu Gelatin yang Diproduksi dari Tulang Ikan Patin (Pangasius hypoptalamus) Secara Ekstraksi Asam”, Jurnal Penelitian

Perikanan Indonesia Vol. 11 No.4 tahun 2005.

Yenti, R., Dedi, N., Rosmaini, 2015, “Pengaruh Beberapa Jenis Larutan Asam Pada Pembuatan Gelatin dari Kulit Ikan Sepat Rawa (Trichogaster

trichopterus) Kering Sebagai Gelatin

Alternatif”, Jurnal Scientia Vol 5 No.

2, Padang.

Ross-Murphy, S.,B, 1991, “Structure and

Rheology of Gelatine Gels” : Recents Progress.

Sumbono, A., 2011, “Efek Perlakuan Asam dan basa Terhadap Rendemen dan Sifat Fisik Gelatin Ikan kakap Merah (lutjanus campechanus) dari Perairan Laut Papua”, TESIS-SK 2402, Institut Teknologi sepuluh November, Surabaya.

Warta Pasar Ikan (WPI), 2010, “Ikan Sepat,

Ikan Hias Sekaligus Ikan Konsumsi”,

Direktorat Pemasaran Dalam Negeri, Jakarta.

Winarno,F.G, 2002, “Kimia Pangan dan

Gizi”, PT Gramedia Pustaka Umum,

Jakarta.

Ward, A, D, dan A, Courts, 1997, “The Sciense

and Technology of Gelatin”,

Academic Press, New York.

Yustika, R, 2000, “Pembuatan dan Analisis Sifat Kimia Gelatin dari Kulit dan Tulang Ikan Cucut”, Skripsi, IPB, Bogor.

Zhou, P, dan Regenstein, J, M. 2004,

“Optimazation of extraction

Conditions for Pollock Skin Gelatin”,

Journal of Food Science, 69(5).

Zhou, P., Regeinstein, J.M., 2005, “Effects of Alkaline and Acid Pretreatments on Alaska Pollock Skin Gellatin Extraction”, Journal of Food Scienc

Gambar

Gambar 1. Persen rendemen gelatin

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Mengajukan permohonan kepada Bapak untuk dapat diberikan perpanjangan IPHHBK Alam atau IPHHBK Tanaman atau IPHHBK Lindung:.. Di Daerah : Deleng Bencirus

Daftar sementara mahasiswa yang terkena TBU Absensi (Rekapitulasi Sementara TBU Absensi) semester Gasal 2016-2017 dapat dilihat pada lampiran.. Pengumuman ini dikeluarkan agar

Berdasarkan hasil pengujian mekanik (kekuatan tarik, perpanjangan putus, dan modulus elastis) diketahui bahwa dengan penambahan filler kaolin mengakibatkan pertambahan

Kesimpulan Kuesioner Kesimpulan yang dapat diambil dari data kuesioner di atas adalah sudah banyak responden yang mengetahui bahwa di sekeliling mereka terdapat berbagai jenis

PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK USIA SEKOLAH YANG MENGIKUTI PENDIDIKAN HOMESCHOOLING GROUP (Studi Kasus di Homeschooling Group SD Khoiru Ummah

Resistensi reseptor insulin pada jaringan perifer penderita DM tipe 2 didahului oleh keadaan hiperinsulinemia dan gangguan pada reseptor insulin di jaringan

Selain itu pengujian hipotesis bertujuan untuk mengetahui pengaruh variable independen (X) berupa profitabilitas, leverage, dan ukuran perusahaan terhadap variabel