• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUMPULAN CERITA WAYANG.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KUMPULAN CERITA WAYANG.pdf"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

Kumpulan

Cerita Wayang

(2)

MENGENAL KEMBALI PAGELARAN

WAYANG KULIT PURWA

Bram Palgunadi

11 Desember 2012 pukul 9:44 ·

Pagelaran wayang kulit purwa yang semarak dan sesekali juga mencekam, merupakan salah satu daya tarik. Tetapi pagelaran wayang kulit purwa masa sekarang, banyak yang melenceng jauh dari hakikatnya sebagai pagelaran wayang. Lalu 'digantikan' menjadi pagelaran lainnya, seperti campur-sari, dhang-dhutan, lawak, dan bahkan pagelaran wayangnya sendiri pelan-pelan tapi pasti, lalu berubah mengkerdil menjadi sekedar 'pelengkap penderita'. Pagelaran wayang lalu kehilangan peran dan fungsinya sebagai media untuk merenungkan hikmah kehidupan. Seperti tampak pada gambar di atas, pagelaran wayang kulit purwa berubah menjadi 'pagelaran pesindhen'; dan sederet pesindhen ini lalu dipajang, maaf, seperti layaknya barang dagangan.

Saat pertama kali mendengar kata „wayangan‟ atau „karawitan wayangan‟, kebanyakan orang berpikir, ini merupakan suatu pagelaran yang rumit, sukar, penuh ritual, mistis, dan memerlukan keterampilan dan pengalaman luar biasa untuk bisa memainkannya. Ini merupakan pandangan umum, yang lazim kita temukan pada kebanyakan orang di kalangan masyarakat awam. Benarkah demikian?

Sebagian dari pendapat ini, harus diakui saja, memang benar. Tetapi, ada sejumlah besar hal, yang mungkin saja tidak diketahui khalayak ramai, yang sebenarnya mencerminkan bahwa memainkan wayang kulit, khususnya wayang kulit purwa tidaklah seseram dan sesukar yang dibayangkan orang. Misalnya,

(3)

pengiring pagelaran wayangan, merupakan iringan yang maha sukar, dan karenanya lalu memerlukan keterampilan, kemampuan khusus, pemahaman, dan bahkan pengetahuan khusus; untuk bisa menjalankannya. Pandangan ini, tentu saja berakibat timbulnya pendapat, bahwa pagelaran wayang kulit purwa merupakan pagelaran yang maha sukar, dan karenanya lalu memerlukan „orang-orang pilihan dengan kemampuan dan keahlian khusus‟. Pendapat inilah yang hendak „dibalikkan‟. Karena nyatanya, sebuah pagelaran wayang kulit purwa tidaklah selalu merupakan suatu pagelaran yang maha sukar.

Jadi, pertanyaannya, sebenarnya apa saja yang merupakan „kebutuhan minimal‟ (minimum requirement) untuk bisa melaksanakan suatu pagelaran wayang kulit purwa? Di bawah ini, dijelaskan secara singkat jawabnya. Juga termasuk berbagai renik-renik yang merupakan kekhasan pagelaran wayang kulit purwa.

Gendhing pengiring suatu pagelaran wayang kulit purwa

Pagelaran wayang kulit purwa memerlukan sejumlah rangkaian gendhing sebagai pengiring seluruh pagelaran. Dalam hal ini, kebutuhan minimal jenis gendhing yang harus dikuasai, dan sedapat-dapatnya dihafalkan; adalah: 1) ladrang, 2) ketawang, 3) lancaran, 4) ayak-ayak, 5) srepegan, dan 6) sampak. Meskipun demikian, keenam jenis gendhing ini, bisa diperas menjadi tiga jenis gendhing, yakni 1) ayak-ayak, 2) srepegan, dan 3) sampak. Karena suatu

pagelaran wayang kulit purwa lazimnya dibagi atas tiga babak besar atau tiga pathet; yaitu 1) babak pathet nem, 2) babak pathet sanga, dan 3) babak pathet manyura; maka diperlukan sekurang-kurangnya tiga ayak-ayak, tiga srepegan, dan tiga sampak; masing-masing untuk memenuhi keperluan iringan untuk ketiga babak pagelaran wayang kulit purwa, yaitu pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura. Jadi ringkasnya, diperlukan penguasaan atas 3 × 3 gendhing = 9 gendhing.

Gendhing-gendhing utama yang harus dikuasai untuk bisa melakukan pagelaran wayang kulit purwa, adalah ayak-ayak, srepegan, dan sampak. Menggunakan ketiga jenis gendhing ini, seluruh pagelaran wayang kulit purwa sudah bisa dilaksanakan. Karena, pagelaran wayang kulit purwa terdiri dari tiga babak (pathet), maka jenis gendhing yang harus dikuasai adalah sebagai berikut.

a) Iringan minimum untuk babak pathet nem, adalah: gendhing ayak-ayak nem, srepegan nem, dan sampak nem.

b) Iringan minimum untuk babak pathet sanga, adalah: gendhing ayak-ayak sanga, srepegan sanga, dan sampak sanga.

(4)

c) Iringan minimum untuk babak pathet manyura, adalah: gendhing ayak-ayak manyura, srepegan manyura, dan sampak manyura.

Jadi, kebutuhan minimum (dan bersifat wajib) untuk bisa mengiring suatu pagelaran wayang kulit purwa yang lengkap, sebenarnya hanyalah sembilan gendhing, yakni terdiri atas tiga gendhing yang berbeda untuk tiga pathet yang berbeda. Ya, hanya itu!

Di luar kesembilan gendhing tersebut di atas, karena merupakan pagelaran wayang kulit purwa, maka haruslah dilengkapi dengan permainan Gendhing Talu Wayangan, yang juga dalam kondisi „minimum requirement‟.

Tangga-nada yang digunakan

Secara tradisional, suatu pagelaran wayang kulit purwa diiringi memakai gendhing-gendhing „laras slendro‟ (bertangga-nada slendro). Bahkan, di masa lampau, suatu pagelaran wayang kulit purwa hanya diiringi gendhing-gendhing laras slendro.[1] Karena itulah penyebutan babak (pathet) yang digunakan pada pagelaran wayang kulit purwa, mengacu pada penyebutan babak (pathet) laras slendro; yaitu pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura. Adapun iringan gamelan laras pelog, secara tradisional dulunya dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang kulit madya,[2] wayang gedhog, dan wayang beber. Namun, perubahan jaman rupanya besar pengaruhnya juga. Karenanya, pada jaman sekarang, pagelaran wayang kulit purwa umumnya menggunakan seperangkat gamelan laras slendro dan laras pelog. Meskipun demikian, penggunakan

gendhing laras slendro, tetap sangat dominan dan merupakan mayoritas. Dalam pemahaman ini, pemakaian gendhing laras pelog pada suatu pagelaran wayang kulit purwa, dapatlah dikatakan hanya sebagai sisipan atau pelengkap semata.

Total theater

Pagelaran wayang kulit purwa, merupakan suatu pagelaran „total theater‟, yang amat sangat berbeda dengan pertunjukan barat (Eropa). Pada pagelaran wayang kulit purwa, penonton berada di dua sisi panggung pagelaran, yakni di depan dan belakang; atau berada di depan dan belakang layar wayang. Selain itu, seluruh unsur yang ada di sekeliling dan di sekitar panggung pagelaran,

merupakan bagian dari pagelaran wayang. Karena karakternya yang seperti itu, maka seluruh penonton, pemain, dan bahkan orang-orang yang berada di sekitar tempat pagelaran (misalnya orang-orang yang berjualan makanan, minuman, mainan anak-anak, cindera-mata, atau lainnya), termasuk seluruh

(5)

Karena hal ini pula, maka penerapan „duduk lesehan‟ menggunakan tikar (bukan kursi), merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi, guna membangun suasana total theater dan juga suasana tradisional. Suasana total theater ini akan semakin nyata, jika pagelaran dilakukan di tempat terbuka yang dilengkapi „tarub‟ atau di pendhapa. Pagelaran yang bersifat „total theater‟, menghasilkan suasana tidak formal, semarak, menyenangkan, penuh

kebersamaan, bebas, dan santai (relax); dengan berbagai aktifitas lainnya berlangsung bersama-sama pagelaran wayang. Termasuk kegiatan makan, minum, berbincang, dan bahkan tidur.

Karakter garap gendhing dan karawitan wayangan pada pagelaran wayang kulit purwa

Garap gendhing pada suatu pagelaran wayang kulit purwa, dapat dikatakan amat sangat berbeda, jika dibandingkan dengan garap gendhing yang dilakukan untuk pagelaran karawitan biasa atau iringan tari (beksan). Penjelasan selanjutnya, menjelaskan tentang hal ini.

Diawali dengan permainan gendhing Talu wayangan

Hanya pada pagelaran wayang dimainkan rangkaian Gendhing Talu Wayangan. Ini juga merupakan salah satu kekhasan pagelaran wayang kulit purwa.

Gendhing Talu Wayangan, dimainkan sesaat sebelum pagelaran wayang dimulai. Gendhing Talu Wayangan, merupakan „ringkasan‟ dari seluruh perjalanan hidup manusia sejak ia belum ada dan masih dalam bentuk mimpi indah orang tuanya, sampai ia lahir, menjadi remaja, menjadi dewasa, dan akhirnya kembali tiada, saat ia menghadap Sang Penguasa Jagat Raya. Sepersekian juta dari ringkasan cerita perjalanan hidup manusia itulah, yang nantinya akan dipagelarkan selama semalam suntuk.

Menerapkan permainan ‘kosek wayangan’

Salah satu karakter khas garap karawitan yang hanya ada di karawitan

wayangan, adalah penerapan garap „kosek wayangan‟, yang diperankan oleh ricikan kendhang. Kekhasan garap kosek wayangan, terletak pada pengaturan kecepatan irama/laya yang relatif lebih cepat daripada laya tamban, tetapi berada di bawah laya sesegan. Dalam beberapa hal, laya ini sering disalah-artikan dan di sebut sebagai irama/laya tanggung. Sebenarnya, laya/irama kosek wayangan bukanlah laya/irama tanggung. Karena sebutan „kosek wayangan‟ tidak hanya berkait erat dengan kecepatan permainan (irama/laya), melainkan dengan pola permainan kendhang yang sangat khas, juga digunakannya „kecer wayang‟ dan eksploitasi suara „keplok‟ para pradangga. Pengaturan laya/irama

(6)

permainan gendhing wayang, menerapkan „irama kosek‟ yang sangat khas wayangan.

Secara ringkas, irama kosek adalah suatu garap gendhing yang menerapkan kecepatan (laya/irama) tertentu sedemikian rupa, sehingga selama

permainannya, gendhing dapat dilengkapi permainan irama „keplok‟ (tepukan tangan) atau „kecer‟. Laya/irama kosek, merupakan suatu laya/irama yang berada di antara irama/laya seseg dan tamban (lambat). Indikasi bahwa irama kosek sudah tepat penerapannya, adalah saat dilengkapi „keplok‟ atau bunyi „kecer‟, pradangga-nya merasa nyaman dan enak terdengar di telinga.

Kecepatan laya/irama kosek wayangan, kira-kira setara dengan irama/laya ciblon, dengan dominasi suara permainan kendhang yang sangat khas.

Memakai ‘kecer wayang’ dan ‘keplok’ sepanjang malam

„Kecer wayang‟ merupakan salah satu ricikan gamelan yang umumnya hanya digunakan pada pagelaran wayangan, dan berperan sebagai kelengkapan permainan yang menerapkan laya/irama kosek wayangan. Kecer wayang seringkali juga dilengkapi dengan „keplok‟. Dalam sejumlah kasus, „keplok‟ sering menggantikan peran kecer wayang. Misalnya, jika ricikan kecer wayang tidak tersedia pada gamelan yang digunakan sebagai pengiring pagelaran

wayang. Penggunaan kecer wayang dan/atau keplok, lazimnya dimainkan para pradangga hampir di seluruh waktu pagelaran yang menerapkan pola permainan „kosek wayangan‟ dan „ciblon‟; kecuali pada laya/irama tamban, saat sirep, janturan, sampak; dan pada garap yang berhubungan dengan „tlutur‟ serta ketawang.

Rangkaian gendhing yang berubah-ubah secara dinamis

Tidak seperti pada pagelaran karawitan biasa, yang lazimnya menerapkan rangkaian gendhing yang teratur dan menerapkan irama/laya yang umumnya tamban. Rangkaian gendhing yang dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang kulit purwa lazimnya menyesuaikan diri dengan keperluan pagelaran. Termasuk dimungkinkan mengganti, menghentikan, atau memindahkan gendhing ke gendhing lainnya secara tiba-tiba. Dalam sejumlah hal, perpindahan atau pergantian gendhing bahkan dimungkinkan dan boleh dilakukan, meskipun gendhing yang sedang dimainkan belum selesai (belum mencapai akhir permainan atau belum sampai pada gong).

Keprak dan gedhog dhalang sebagai pemberi aba-aba utama

Pada pagelaran karawitan, hampir seluruh aba-aba diberikan oleh ricikan kendhang. Sebaliknya, pada pagelaran wayang kulit purwa, „gedhog‟ dan

(7)

„keprak‟ memegang peran yang amat sangat dominan, utamanya dalam hal sebagai pemberi aba-aba dan perintah tertentu. Sejumlah tanda atau aba-aba yang diberikan menggunakan gedhog atau keprak, lazimnya merupakan bagian awal dari tanda atau aba-aba yang diberikan oleh kendhang. Dalam pengertian ini, hampir semua tanda atau aba-aba yang diberikan oleh kendhang, bisa dilakukan dan digantikan perannya oleh gedhog dan keprak; termasuk

pengaturan irama/laya, pengaturan kecepatan permainan, tanda berhenti, tanda perpindahan, tanda mulai memainkan, tanda menghentikan permainan, tanda mengubah pola permainan karawitan menjadi irama rangkep atau sebaliknya, tanda pembicaraan/dialog selesai, tanda sirepan selesai, tanda meminta sesegan, tanda selesai janturan, tanda penghentian dalam pola sesegan atau gropak, tanda mengubah pola permainan menjadi kebar atau kiprah, dan sebagainya.

Tanda atau aba yang merupakan penggalan atau potongan tanda atau aba-aba yang diberikan kendhang, lazimnya merupakan bagian depan tanda atau aba-aba kendhang. Dalam sejumlah kasus, tanda atau aba-aba berupa suara gendhog dan/atau keprak, bisa juga dilengkapi dengan suara/vokal dhalang, yang lazimnya dalam bentuk „kombangan‟.

Sesegan dan sirepan

Hanya di pagelaran wayang ada penerapan pola sesegan dan sirepan pada garap karawitannya. Sesegan, lazimnya digunakan sebagai pertanda sudah selesainya penataan wayang di layar (geber), dan akan segera dilanjutkan dengan

„janturan‟, yang lazimnya merupakan narasi dhalang yang menceritakan sesuatu suasana, kondisi, atau cerita. Janturan dilaksanakan setelah silakukan sirepan.

Suwuk sesegan atau suwuk gropak

Adalah pola penghentian permainan gendhing yang dilakukan dalam kecepatan tinggi, menerapkan tabuh sora (gamelan dibunyikan atau ditabuh sangat keras), serta penghentian yang dilakukan secara mendadak (tiba-tiba). Pola ini,

biasanya hanya dikenal di permainan karawitan wayangan.

Garap kebar dan kiprah dengan surak dan senggakan

Garap karawitan wayangan yang menerapkan garap kebar atau kiprah, biasanya dilengkapi dengan surak dan senggakan yang riuh; bahkan bisa saja penuh dengan teriakan. Hal ini, hanya ada di karawitan wayangan.

(8)

Garap kebar dan kiprah dalam laya/irama seseg

Garap karawitan wayangan saat kebar atau kiprah, biasanya jauh lebih cepat laya/iramanya, jika dibandingkan dengan pada pagelaran karawitan biasa atau jika dibandingkan dengan pada pagelaran tari (beksan).

Sirepan yang sangat tamban

Pada saat sirepan, hanya ricikan gender barung, rebab, gender panembung (slenthem), kendhang, kethuk, kenong, kempul, dan gong; yang dimainkan dalam irama/laya yang sangat lambat. Ricikan/instrumen lainnya tidak dibunyikan. Seluruh ricikan yang tetap dibunyikan ini, biasanya dimainkan dalam pola irama/laya yang relatif sangat tamban (sangat lambat). Sirepan lazimnya diterapkan saat dhalang sedang melakukan „janturan‟.

Semua pendukung pagelaran menghadap layar wayang

Pada pelaksanaan pagelaran wayang kulit purwa tradisional, seluruh pradangga, pesindhen, wiraswara, dan dhalang; duduk menghadap layar wayang (geber). Pertimbangan utamanya adalah, bahwa ini merupakan pagelaran wayang kulit purwa, dan sama sekali bukan pagelaran sindhen, wiraswara, pradangga, atau lainnya.

Dhalang adalah tokoh sentral dalam pagelaran wayang kulit purwa

Tokoh sentral dan utama dalam suatu pagelaran wayang kulit purwa, adalah dhalang. Karenanya, seharusnya tidak boleh dan tidak selayaknya ada orang lain yang dalam pagelaran wayang kulit purwa bertindak menggantikan peran dan fungsi dhalang, meskipun hanya sejenak atau hanya sebentar; termasuk

pagelaran campur-sari, dhagelan, lawak, dhang-dhutan, penyanyi, atau lainnya. Jika dhalang sampai bersedia digantikan perannya sebagai tokoh sentral,

meskipun hanya sebentar atau beberapa saat, maka hal ini sama saja dengan merendahkan martabat, kehormatan, dan profesinya.

Mengeksploitasi suasana dan emosi

Pada pagelaran wayang kulit purwa, suasana memegang peran yang sangat penting. Karenanya, mengeksploitasi suasana (oleh dhalang) menjadi salah satu faktor yang memegang peran sangat penting, termasuk „mempermainkan emosi‟ penonton.

(9)

Pagelaran delapan jam

Pagelaran wayang kulit purwa, jika dilaksanakan secara lengkap dan tradisional, akan memakan waktu semalam suntuk (atau sehari suntuk), selama kurang-lebih delapan jam. Yaitu, dari sejak sekitar jam sembilan malam (atau jam sembilan pagi), sampai sekitar jam empat subuh hari berikutnya (atau jam empat sore). Namun, harap diketahui, bahwa lama seluruh pagelarannya sebenarnya bisa lebih dari delapan jam, jika dilaksanakan secara lengkap. Jika pagelaran wayang kulit purwa dilakukan pada malam hari, pagelaran bisa diawali dan dilengkapi dengan permainan „gendhing sore‟ atau „gendhing pahargyan tamu‟, lalu dilanjutkan dengan pagelaran „karawitan wayangan‟, dan pagelaran Gendhing Talu Wayangan.

Pembagian waktu berdasar pathet

Waktu pagelaran wayang kulit purwa, dibagi menjadi tiga babak utama, yaitu: a) Pathet Nem

b) Pathet Sanga c) Pathet manyura

Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa pembagian waktu pada pagelaran wayang kulit purwa yang dilaksanakan semalam suntuk, adalah a) waktu awal (awal malam hari), b) waktu sekitar tengah malam, dan c) waktu menjelang pagi hari. Pembagian waktu ini, berlaku tidak saja untuk pagelarannya, tetapi juga berlaku untuk pemilihan gendhing yang dipergunakan selama pagelaran. Meskipun demikian, jika dimainkan secara lengkap, maka urutan pathet pada suatu pagelaran wayang kulit purwa adalah sebagai berikut.

a) Pathet Nem b) Pathet Lindur c) Pathet Sanga d) Pathet Nyamat e) Pathet Manyura

Sebagai catatan, pada pagelaran wayang kulit purwa, Pathet Lindur dan Pathet Nyamat tidak selalu digunakan.

Mengintegrasikan berbagai hal

Pagelaran wayang kulit purwa, pada dasarnya mengintegrasikan banyak hal, antara lain bahasa, sastra, komunikasi, musik iringan (karawitan wayangan),

(10)

cerita, narasi, skenario, suasana psikologis, termasuk emosi penonton,

keterampilan, kemampuan olah vokal, dialog, tembang (nyanyian), syair, serta sudah barang tentu juga tari dan gerak wayang (sabetan).

Menyenangkan, semarak, dan mencekam

Pagelaran wayang, merupakan suatu pagelaran yang menyenangkan banyak pihak, tidak hanya penontonnya, tetapi juga para pendukung pagelaran dan semua orang yang berada di sekitarnya. Ini merupakan salah satu dampak dari pendekatan „total theater‟ pada pagelaran wayang kulit purwa. Meskipun demikian, suatu pagelaran wayang kulit purwa juga bisa merupakan suatu pagelaran yang „mencekam‟ dan mempengaruhi emosi penontonnya. Misalnya, jika cerita dan drama yang ditampilkan sedemikian memikat penontonnya.

Media untuk merenungkan makna kehidupan

Pagelaran wayang kulit purwa, dapat berfungsi sebagai media refleksi kehidupan nyata manusia. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa seseorang yang pernah sekali saja menikmati pagelaran wayang kulit purwa, jika ia mengerti dan memahami isi cerita dan suasananya, maka ia akan cenderung „kecanduan‟ dan merindukan untuk kembali menonton pagelaran wayang.

Pada pagelaran wayang kulit purwa, apa yang kita lihat di layar wayang,

sebenarnya bukanlah pagelaran yang sesungguhnya. Sebaliknya, pagelaran yang sesungguhnya sebenarnya ada di alam imajinasi kita. Adapun apa yang kita lihat di layar wayang, sebenarnya lebih berperan sebagai pemicu imajinasi kita.

Sedangkan tokoh-tokoh wayang tertentu yang ditampilkan di layar wayang, seringkali oleh penontonnya merefleksikan dan dipersonifikasikan sebagai dirinya. Demikian pula peristiwa yang diceritakan. Karena itu pula, maka hubungan emosional antara tokoh yang ditampilkan dengan kita sebagai penontonnya, bisa menjadi amat sangat erat, dan bahkan bisa membawa kita seakan-akan sebagai tokoh yang sedang ditampilkan itu.

Bisa dimainkan dalam tingkat kerumitan dan kesulitan yang berbeda

Melakukan pagelaran wayang kulit purwa, bisa dilakukan dalam bentuk yang amat sangat sederhana, dan secara bertahap menjadi semakin sukar dan semakin rumit. Semua itu, bisa dilakukan sesuai dengan tingkat pemahaman dan tingkat penguasaannya. Artinya, pada tahap belajar, bisa saja pagelaran wayang

dilaksanakan dalam bentuk yang amat sangat sederhana dan mudah. Hal inilah yang serinkali tidak disadari, baik oleh pelatih maupun oleh siswa.

(11)

Pagelaran wayang kulit purwa, juga bisa dimainkan dalam penggal waktu yang relatif amat sangat pendek. Misalnya, suatu pagelaran wayang kulit purwa bisa dimainkan dalam pola penggal waktu selama satu jam atau bahkan kurang dari satu jam. Hal ini, biasanya diterapkan bagi mereka yang sedang dalam tahap belajar, atau pagelaran wayang kulit purwa yang dilaksanakan dalam rangka peragaan.

Seperti telah disinggung selintas di awal bahasan, suatu pagelaran wayang kulit purwa yang dimainkan secara lengkap sekalipun, sebenarnya bisa dimainkan hanya dengan tiga jenis gendhing; yaitu ayak-ayak, srepegan, dan sampak. Karena itulah, maka belajar melakukan pagelaran wayang kulit purwa dapat dikatakan tidaklah sesukar yang dibayangkan orang.

_____________________________________________

[1] Pagelaran wayang kulit purwa versi Jawa yang boleh dikatakan masih asli, justru dapat dilihat pada pagelaran wayang kulit purwa versi Bali, yang diiringi ricikan gender laras slendro. Sebagai informasi, pagelaran wayang kulit purwa versi Jawa, pada masa lampau berkembang pada masa perkembangan agama Hindhu dan Buddha; sebagai bagian dari pelaksanaan ritual adat dan kepercayaan. Tetapi setelah agama Islam masuk dan berkembang di Pulau Jawa, sebagian penduduk yang beragama Hindu, beserta berbagai bentuk kesenian asli Jawa, termasuk pagelaran wayang kulit purwa, para pegiat dan masyarakat pendukung keseniannya,

„menyelamatkan diri‟ ke arah timur dan menyeberang ke Pulau Bali. Sebagai catatan, bentuk asli wayang kulit Jawa pada masa awal, sama dengan dengan bentuk wayang kulit versi Bali (yang sampai sekarang masih bisa dilihat dan relatif tidak banyak berubah bentuknya).

[2] Pagelaran wayang kulit madya, lazimnya membawakan cerita wayang yang didasarkan atas berbagai cerita yang berkembang seusai Perang Barata-Yudha. Batas awal yang bisa dikatakan sebagai „bagian transisi‟ antara wayang kulit purwa dan wayang kulit madya, adalah pagelaran wayang yang menceritakan episode setelah Pandhawa memenangkan Perang Barata-Yudha. Misalnya, cerita „Parikesit Jumeneng Nata‟. Wayang Madya adalah wayang kulit yang

diciptakan oleh Mangkunegara IV sebagai penyambung cerita Wayang Purwa dengan Wayang Gedog. Cerita Wayang Madya merupakan peralihan cerita Purwa ke cerita Panji. Salah satu cerita Wayang Madya yang terkenal adalah cerita Anglingdarma. Wayang madya tidak sempat berkembang di luar lingkungan Pura Mangkunegaran. Cerita Wayang Madya menceritakan sejak wafatnya Prabu Yudayana sampai Prabu Jaya-Lengkara naik tahta. Cerita Wayang Madya ditulis oleh R. Ngabehi Tandakusuma dengan judul Pakem Ringgit Madya yang terdiri dari lima jilid, dan tiap jilid berisi 20 cerita atau lakon. Wayang madya (Jawa) adalah wayang yang menggunakan unsur „cerita sesudah zaman purwa‟. Cerita itu mengisahkan para raja Jawa yang dianggap keturunan Pandawa. Sementara itu wayang gedog, wayang klitik, dan wayang beber (ketiganya dari Jawa), juga wayang gambuh dan wayang cupak dari Bali, melakonkan cerita panji.

(12)

Pagelaran wayang kulit purwa di masa lampau. Seringkali merupakan bagian dari kehidupan tradisi dan ritual masyarakat.

Lukisan suatu pagelaran wayang kulit purwa di masa lampau. Menyenangkan dan penuh kenangan.

(13)

Suatu pagelaran wayang kulit purwa di pedalaman. Penuh kenangan dan mengingatkan dari mana kita dulu berasal...

Melihat pagelaran wayang kulit purwa, seakan seperti melihat kembali seluruh kehidupan kita....

(14)
(15)

KRONIK DAN INTRIK DI ANTARA BOMA NARA

SURA, GATHUTKACA, DAN KRESNA....

Bram Palgunadi 17 Oktober 2012 pukul 14:29

Radyan Bima-Sena, tak bisa menahan diri, karena merasa puteranya secara sengaja telah dikorbankan...

Perang besar Barata-Yudha sudah mulai menggemakan genderang perangnya di medan laga Tegal Kuru-Setra. Negara-negara sekutu lawan masing-masing sudah mudah mempersiapkan diri dan mengerahkan seluruh kekuatan angkatan bersenjatanya. Bahkan, korban sudah mulai berjatuhan di pihak Kurawa

maupun Pandhawa. Lamat-lamat tembang ada-ada perang Durma terdengar mengalun mengarungi angkasa medan perang, membuat suasana di medan perang Tegal Kuru-Setra semakin mencekam.

Ridhu mangawur-awur wurahan, Tengaraning ajurit,

Gong maguru gangsa, Teteg kadya butula,

Wor panjriting turanggesti, Rekatak ingkang,

Bajra lelayu sebit...

(16)

Di pakuwon markas besar para kerabat Pandhawa, terjadi pertemuan serius yang amat sangat menegangkan. Persoalan serius mencuat, setelah timbul perdebatan sengit dan polemik, siapa yang akan diangkat dan ditetapkan sebagai Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura melawan Angkatan Bersenjata Hastina-Pura. Dari polling di antara para pejabat tinggi Pandhawa, ternyata terjadi perpecahan. Di kalangan kerabat Pandhawa dan sekutunya, ternyata ada dua calon kuat, yaitu Prabu Boma Nara Sura raja Negeri Traju-Trisna dan Prabu Anom Gathutkaca raja muda Negeri Pringgandani. Dua tokoh ini, sama-sama mempunyai pendukung kuat dan kesempatan untuk dipilih sebagai Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura. Celakanya, di masa lampau, kedua tokoh ini juga pernah bersitegang dan mengalami gesekan politik. Pergolakan politik yang akhirnya meluas menjadi 'perang terbatas' di antara keduanya, bahkan juga sempat terjadi, saat pecah peristiwa perebutan wilayah tak bertuan 'Kikis Tunggarana', yang lokasinya terletak tepat di wilayah perbatasan Negeri Traju-Trisna dan Negeri Pringgandani. Latar belakang masa lalu yang

mencekam itu, rupanya sedikit-banyak basih terbawa sampai bertahun-tahun kemudian. Dari catatan dinas intelejen dan para pengamat militer, kedua tokoh itu memang mempunyai reputasi yang sama-sama kelam; tetapi keduanya juga mempunyai reputasi gemilang. Fakta intelejen menyatakan sebagai berikut.

Tentang Prabu Anom Gathutkaca

Prabu Anom Gathutkaca, mempunyai reputasi hitam di masa lalu, karena pernah melakukan pembunuhan terhadap pamannya, yaitu Kala Bendana; hanya karena sang paman melaporkan dan menyatakan secara terus terang tanpa tedeng aling-aling, soal perselingkuhan Radyan Abimanyu dengan Dewi Utari; pada suatu persidangan agung Negeri

Pringgandani. Saat melaporkan, kebetulan ada Dewi Siti Sundari, isteri Radyan Abimanyu, yang sedang 'curhat' kepada Prabu Anom Gathutkaca saudara sepupunya, soal kepergian suaminya yang tak jelas ke mana.

Jadi, Kala Bendana dianggap tidak tahu diri, tidak sopan, dan tidak mengerti tata-krama, karena melaporkan dan menceritakan perselingkuhan Radyan

Abimanyu dengan Dewi Utari, di depan seorang isteri (Dewi Siti Sundari) yang sedang bersedih hati karena suaminya sudah lama tidak pulang ke rumah.

Akibatnya, Dewi Siti Sundari seketika jadi mengetahui, bahwa suaminya, Radyan Abimanyu ternyata telah berselingkuh dengan Dewi Utari. Hal ini, membuat Prabu Anom Gathutkaca sangat marah, karena menurutnya

seharusnya laporan pamannya itu disampaikan kepadanya pada kesempatan lain, yakni pada saat Dewi Siti Sundari sedang tidak ada bersama mereka.

(17)

Namun, pamannya, Kala Bendana, terus saja bercerita soal perselingkuhan Radyan Abimanyu dengan Dewi Utari, tanpa perduli di depannya ada Dewi Siti Sundari, yang begitu mendengar bahwa suaminya ternyata berselingkuh, lalu menangis tersedu-sedu penuh kesedihan.

Prabu Anom Gathutkaca tidak bisa lagi menahan amarahnya, melihat pamannya terus bercerita soal perselingkuhan itu, lalu menampar mulut Kala Bendana. Maksudnya, supaya pamannya itu diam dulu dan tidak melanjutkan ceritanya. Kala Bendana menyatakan, bahwa dia pergi mencari Radyan Abimanyu atas perintah keponakannya, Prabu Anom Gathutkaca, untuk menyelidiki dan mencari ke mana perginya Radyan Abimanyu. Perintah ini, diberikan kepada Kala Bendana oleh Prabu Anom Gathutkaca, guna memenuhi permintaan Dewi Siti Sundari, yang meminta tolong Prabu Anom Gathutkaca, dan sedang

mengalami kebingungan, karena suaminya sudah lama tidak pulang ke rumah. Kala Bendana merasa sangat terhina dan tidak habis mengerti, mengapa saat dia melaporkan hasil penyelidikannya tanpa sedikit pun dikurangi atau ditambah, dia kok malah dimarahi keponakannya. Karena itu, Kala Banda lalu menyatakan protes keras atas perlakuan Prabu Anom Gathutkaca kepada dirinya. Hasilnya? Prabu Anom Gathutkaca malah semakin marah, karena beranggapan Kala Bendana semakin tidak tahu adat. Menurut versi Gathutkaca, pamannya, Kala Bendana sudah diberi 'kode' supaya diam dulu, dengan cara ditampar mulutnya, tapi malah melakukan protes keras dan bercerita keras-keras soal

perselingkuhan Radyan Abimanyu, sambil terus nerocos, berkeluh-kesah soal perlakuan keponakannya yang keterlaluan terhadap dirinya yang jauh lebih tua umurnya. Akibatnya, Dewi Siti Sundari tak bisa lagi menahan beban kesedihan hatinya, lalu jatuh pingsan! Dan, terjadilah kegemparan!

Dan, karena Kala Bendana tidak diam juga, maka dengan amarah yang sangat memuncak, untuk kedua kalinya Prabu Anom Gathutkaca lalu memukul Kala Bendana! Kali ini, pukulan Prabu Anom Gathutkaca benar-benar luar biasa keras, sehingga membuat tubuh Kala Bendana terpental dan rubuh seketika. Pukulan Prabu Anom Gathutkaca ternyata telah meremukkan wajah Kala Bendana. Sebelum menemui ajalnya, Kala Bendana meneriakkan kutukannya, yang menyatakan bahwa Gathutkaca akan mati dengan cara yang tak lazim, untuk itu Kala Bendana akan 'mrayang' dan selalu menunggu tibanya saat kematian Gathutkaca, dan saat kematian Gathutkaca itu tiba, Kala Bendana akan menjemput sukmanya, untuk pergi dari alam janaloka bersama dirinya. Sesaat setelah meneriakkan kutukannya, Kala Bendana akhirnya

menghembuskan nafas...

(18)

Tentang Prabu Boma Nara Sura

Prabu Boma Nara Sura, mempunyai reputasi hitam di masa lalu, karena telah membunuh dan memutilasi permaisurinya, Dewi Hagnyanawati serta adik kandungnya, Radyan Samba (seorang ksatria dari Parang-Garuda); karena keduanya tertangkap basah saat melakukan perselingkuhan. Perselingkuhan permaisuri Prabu Boma Nara Sura, sebenarnya di masa lalu dilatar-belakangi oleh kutukan kutukan Sang Hyang Endra, saat memergoki putra-putri kesayangannya, yaitu Bathara Darma (Bathara Ulam Derma)[1] dan Bathari Dermi (Bathari Ulam

Dermi)[2] yang ternyata melakukan hubungan inses (hubungan sex antar saudara kandung). Dengan penuh kemarahan, kedua putra-putrinya itu lalu dikutuk oleh Sang Hyang Endra; dan di akhir kutukannya dinyatakan bahwa keduanya nanti akan 'nitis' kepada dua orang manusia di alam janaloka. Bathara Ulam Derma akan me-nitis kepada Radyan Samba, adik kandung Prabu Boma Nara Sura. Sedangkan Bathari Ulam Dermi akan me-nitis kepada Dewi

Hagnyanawati, permaisuri Prabu Boma Nara Sura.

Pada saat pelaksanaan perayaan pernikahan agung Dewi Hagnyanawati dengan Prabu Boma Nara Sura, untuk pertama kalinya bertemulah Dewi Hagnyanawati dengan Radyan Samba. Saat itu, keduanya seakan seperti tersengat sejuta

halilintar, dan tiba-tiba saja tumbuh perasaan cinta di antara keduanya. Sejak saat itu pula malam pengantin dan malam-malam seterusnya, tak pernah terjadi apapun di dalam kehidupan Prabu Boma Nara Sura dan Dewi Hagnyanawati. Pengantin baru itu, tak memperoleh kebahagiaan yang diidamkan. Malam-malam selanjutnya menjadi Malam-malam-Malam-malam neraka jahanam. Dewi

Hagnyanawati hilang keinginnan hatinya melayani hasrat hati dan cinta sang Prabu Boma Nara Sura. Ia bahkan membuat syarat yang maha berat dan diperkirakan tak akan dapat dipenuhi oleh Prabu Boma Nara Sura, yaitu

meminta jalan tol yang lurus, yang menghubungkan Negeri Traju-Trisna dengan negeri asal sang dewi. Padahal, jika jalan tol itu dibuat, maka akan menerjang 'wilayah tanah keramat' tempat para tetua dikebumikan, yaitu wilayah Astana Gada-Madana.

Saat jalan tol ini sedang dalam proses pelaksanaan pembuatannya, Radyan Samba yang sedang galau hatinya (sejak bertemu dengan Dewi Hagnyanawati, isteri kakak kandungnya), pergi menemui saudara tuanya, yaitu Sang Guna-Dewa. Kepada saudara tuanya yang seorang pertapa, Radyan Samba curhat dan meminta nasehat. Radyan Samba juga menanyakan, mengapa tiba-tiba dia jatuh hati kepada Dewi Hagnyanawati, sedangkan wanita itu kakak iparnya. Sang Guna-Dewa yang halus perasaannya dan 'weruh sak durunge winarah', segera bisa meraba apa yang sebenarnya sedang terjadi. Secara tak sengaja, Sang

(19)

Guna-Dewa kelepasan pembicaraan dan menceritakan bahwa Radyan Samba dan Dewi Hagnyanawati adalah titisan Bathara Ulam Derma dan Bathari Ulam Dermi, yang di masa lampau karena perbuatan dan dosa yang dilakukannya, lalu dikutuk oleh ayahandanya Sang Hyang Endra.

Mendengar penjelasan Sang Guna-Dewa, Radyan Samba seperti memperoleh kekuatan dan pembenaran atas perasaan cintanya kepada kakak iparnya, Dewi Hagnyanawati. Dan atas dasar hal itu pula, Radyan Samba lalu berusaha menemui Dewi Hagnyanawati, yang ternyata juga mengalami perasaan yang sama. Pertemuan gelap kedua insan itu, seperti mempertemukan kembali Bathara Ulam Derma dan Bathara Ulam Dermi dalam wujud yang lain.

Keduanya, kembali mereguk asmara seperti saat mereka berdua masih berwujud dewata, tanpa memperdulikan hubungan kekerabatan, persaudaraan, dan

statusnya sekarang. Hubungan gelap keduanya, kemudian kepergok para punggawa Negeri Traju-Trisna dan keduanya akhirnya ditangkap oleh pihak sekurit Negeri Traju-Trisna. Ringkas cerita, Prabu Boma Nara Sura yang menghadapi masalah serius itu, semula marah besar dan merasa amat sangat terhina. Tetapi, setelah melihat yang melakukan selingkuh ternyata adik kandungnya sendiri, akhirnya luluhlah hatinya, dan memaafkan tindakan adik kandungnya itu. Menurut versi Prabu Boma Nara Sura, ia selama ini toh 'belum pernah meniduri' Dewi Hagnyanawati, meskipun mereka sudah agak lama menikah. Jadi boleh dikatakan Dewi Hagnyanawati sebenarnya masih 'perawan' dan masih suci. Penyebabnya? Dewi Hagnyanawati baru bersedia 'ditiduri' dan melayani hasrat cinta Prabu Boma Nara Sura, jika persyaratan dan

permintaannya untuk membuat jalan tol antara Negeri Traju-Trisna dan negeri asal sang dewi selesai dibuat dan sudah diresmikan pemakaiannya. Atas dasar hal itulah, maka bahkan Prabu Boma Nara Sura akhirnya memutuskan untuk menikahkan saja kedua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu, dari pada terus berselingkuh dan menjalin hubungan gelap yang memalukan.

Niat itu, akhirnya juga disampaikan ke ayahandanya Prabu Kresna, dan usul itu disetujui. Dalam perjalanan pulang dari Negeri Dwara-Wati ke Negeri Traju-Trisna, Prabu Boma Nara Sura bersama kedua sejoli itu (Radyan Samba dan Dewi Hagnyanawati) menaiki kendaraan terbang ruang angkasa yang disebut 'Wilmana' atau 'Wimana' (dalam mitologi India disebut 'vimana')[3] yang berteknologi tinggi dan merupakan kendaraan yang dapat berpikir seperti manusia, karena mengunakan teknologi 'artifisial intellegen' (AI). Saat dalam perjalanan, kendaraan terbang yang canggih inilah yang berulang-ulang

memprovokasi Prabu Boma Nara Sura. Akibat ulah dan provokasi kendaraan canggih yang bisa berpikir inilah, Prabu Boma Nara Sura tidak lagi bisa mengendalikan dirinya dan akhirnya dengan penuh kemarahan membunuh kedua sejoli ini dengan cara mencabik-cabik dan memutilasi tubuh keduanya.

(20)

Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura

Kembali pada persoalan pencalonan Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura, perdebatan menjadi semakin sengit di antara para pejabat tinggi Negeri Amarta-Pura. Latar belakang kedua calon Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura itu menjadi perdebatan yang kelihatannya tak

terkendali dan tak berkesudahan. Padahal, waktu sudah semakin mendesak, dan keputusan harus segera dibuat. Secara politis dan sikap personal, kedua

calon Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura sebenarnya sudah saling berdamai dan saling menghormati, meskipun di masa lalu keduanya pernah saling bermusuhan. Di lain pihak, keduanya juga sudah saling

mengetahui keunggulan dan kelemahan masing-masing. Pada peristiwa 'Rebut Kikis Tunggarana', perang terbatas itu berakhir dengan tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Karena kedua pihak akhirnya ditengahi dan

didamaikan oleh Radyan Bima-Sena (ayahanda Prabu Anom Gathutkaca) dan Prabu Kresna (ayahanda Prabu Boma Nara Sura). Sejak dicapainya gencatan senjata dan perdamaian di antara Negeri Traju-Trisna dan Negeri Pringgandani, hubungan kedua tokoh itu sebenarnya sudah membaik dan saling menghormati. Dalam ketegangan proses pemilihan Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura (Amarta-Pura), Prabu Boma Nara Sura menyatakan, bahwa jika para kerabat Pandhawa memilih Prabu Gathutkaca sebagai Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura, maka pilihan itu sama saja dengan

menyuruh Prabu Anom Gathutkaca bunuh diri. Itu pendapat Prabu Boma Nara Sura. Argumentasinya? Menurut Prabu Boma Nara Sura, yang pertama, pada saat terjadi perang terbatas dalam peristiwa 'Rebut Kikis Tunggarana', Prabu Anom Gathutkaca ternyata tidak bisa mengalahkan dan tidak bisa membunuh dirinya. Karena Prabu Boma Nara Sura mempunyai aji 'Panca-Sona' atau aji-aji 'Rawa-Rontek', yang membuat dirinya tidak bisa mati setiap kali tubuhnya jatuh dan bersentuhan dengan permukaan bumi.

Jadi, meskipun Prabu Boma Nara Sura dibunuh seribu kali sehari, ia akan tetap hidup kembali, setiap kali tubuhnya bersentuhan dengan permukaan bumi. Kedua, semua kerabat Pandhawa tahu, bahwa jika nanti Prabu Anom

Gathutkaca ternyata harus berhadapan dengan Adipati Karna, dipastikan Prabu Anom Gathutkaca akan terbunuh. Karena senjata peluru kendali canggih milik Adipati Karna yang disebut senjata 'Konta', akan mengejar dan 'homing' pada diri Prabu Anom Gatht-Kaca. Sedangkan menurut laporan dinas intelejen Amarta-Pura, para kerabat Kurawa sekarang ini sedang mempertimbangkan pengangkatan Adipati Karna sebagai Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Kurawa (Hastina-Pura). Jadi, menurut Prabu Boma Nara Sura, sebaiknya jangan mengangkat Prabu Anom Gathutkaca sebagai Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura. Sebaliknya, lebih tepat dan lebih baik mengangkat dirinya (Prabu Boma Nara Sura) sebagai Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura. Dengan demikian, kematian Prabu Anom Gathutkaca yang

(21)

dipandang sebagai sia-sia oleh Prabu Boma Nara Sura, bisa dihindarkan. Selain itu, dengan kemampuan dan kesaktiannya, Prabu Boma Nara Sura memberikan jaminan bahwa kemenangan besar akan jatuh di pihak Pandhawa, karena ia tidak akan bisa dibunuh oleh orang-orang Kurawa yang manapun.

Pernyataan politik dan sikap Prabu Boma Nara Sura itu, didengar oleh seluruh kerabat Pandhawa dan para pejabat tinggi negara dan para pejabat tinggi militer, yang saat itu sedang mempertimbangkan siapa yang akan diangkat sebagai Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura. Tetapi, diam-diam ada seorang pejabat tinggi penasehat Negeri Amarta-Pura, yang tidak setuju! Dia, adalah Prabu Kresna, ayahanda Prabu Boma Nara Sura! Hal ini mengejutkan semua peserta sidang penting itu. Argumentasi Prabu Kresna adalah sebagai berikut.

Kedua tokoh calon Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura itu, keduanya mempunyai masa lalu yang kelam. Keduanya, harus menebus

kesalahan dan dosa-dosanya. Demikian pendapat Prabu Kresna. Selain itu, jika Prabu Boma Nara Sura dijadikan Panglima Operasi Angkatan Bersenjata

Amarta-Pura, maka tidak akan ada lawan yang sepadan dengan dirinya. Di luar persoalan itu, Prabu Kresna juga sudah mengetahui, bahwa di dalam diri Prabu Boma Nara Sura, ikut bersemayam sukma Prabu Bomantara, yang selalu

membayangi kehidupan Radyan Suteja (nama Prabu Boma Nara Sura, saat masih muda, sebelum berhasil mengalahkan Prabu Bomantara).[4] Sukma kedua yang merasukinya inilah, yang seringkali mempengaruhi sikap dan peri-laku Prabu Boma Nara Sura, sehingga Prabu Boma Nara Sura seringkali berubah menjadi bersikap dan berwatak jahat, saat ia sedang marah.

Meskipun Prabu Boma Nara Sura merupakan putera Prabu Kresna dari Sang Hyang Bathari Pertiwi, dari Kahyangan Sapta Pratala, namun sejak ia kerasukan sukma Prabu Bomantara dan sejak ia melakukan pembunuhan sadis terhadap permaisuri (Dewi Hagnyanawati) dan adik kandungnya (Radyan Samba); Prabu Kresna merasa bahwa Prabu Boma Nara Sura telah berubah watak dan tidak lagi seperti puteranya saat masih muda. Karena itu, Prabu Kresna diam-diam juga menginginkan kematian puteranya (Prabu Boma Nara Sura).

Pemilihan Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura, telah membuka jalan bagi Prabu Kresna untuk 'melenyapkan' puteranya, yang di matanya sudah bukan merupakan puteranya lagi. Karena itu pula Prabu Kresna bersikeras untuk mencalonkan Prabu Anom Gathutkaca sebagai Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura, meskipun semua orang tahu, hal itu sama saja dengan mengorbankan Prabu Anom Gathutkaca. Tetapi, Prabu Kresna sebagai

penasehat tertinggi Negeri Amarta-Pura, dengan segala kekuasaan dan

kecanggihan strateginya, secara diam-diam menyampaikan kepada para tetua dan penguasa Negeri Amarta-Pura, bahwa keputusan mengangkat Prabu Anom Gathutkaca sebagai Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura

(22)

merupakan sebuah keputusan yang paling tepat, dipandang dari segala sudut dan strategi.

Saat mendengar paparan argumentasi Prabu Kresna, seluruh kerabat Pandhawa terdiam. Pernyataan bahwa di dalam tubuh Prabu Boma Nara Sura bersemayam sukma lain, yaitu sukma Prabu Boma Naraka-Sura; yang bersifat sangat agresif, intimidatif, jahat, dan buruk; membuat semua kerabat Pandhawa memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi, jika Prabu Boma Nara Sura diangkat menjadi Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura. Apalagi, jika kemudian ternyata berhasil memenangkan seluruh pertempuran Barata-Yudha dan memusnahkan seluruh kerabat Kurawa. Apa yang akan terjadi? Saat kemenangan telah dicapai, dan kerabat Kurawa telah punah, tidak tertutup kemungkinan sukma kedua dalam diri Prabu Boma Nara Sura akan

memprovokasi Prabu Boma Nara Sura. Jika hal ini terjadi, maka situasi pasca Perang Barata-Yudha bisa berbalik!

Sukma kedua dalam diri Prabu Boma Nara Sura bisa saja memprovokasi dan mempengaruhi sikap dan membuat Prabu Boma Nara Sura berbalik memusuhi kerabat Pandhawa, dengan tujuan supaya seluruh kerabat Pandhawa lenyap dari muka bumi. Jika hal ini terjadi, maka Prabu Boma Nara Sura akan menjadi penguasa tunggal jagat raya tanpa tandingan. Menurut Prabu Kresna,

kemenangan para Pandhawa atas para kerabat Kurawa, tidak boleh menjadi senjata makan tuan, yang bisa berakhir dengan punahnya seluruh kerabat Padhawa. Atas dasar ini, Prabu Kresna meminta Radyan Bima-Sena untuk merelakan dan mengiklaskan, jika memang Prabu Anom Gathutkaca harus gugur di medan perang Barata-Yudha. Pengorbanan ini, menurut Prabu Kresna merupakan konsekuensi logis dari sebuah keputusan, tindakan politik, dan perjuangan menegakkan kebenaran; yang sedang diperjuangkan oleh seluruh kerabat Pandhawa dan sekutunya. Secara jelas dan gamblang, Prabu Kresna menjelaskan kepada seluruh kerabat Pandhawa, bahwa pada hari-hari

berikutnya, akan gugur dua putera Pandhawa dan sekutunya, yaitu Prabu Anom Gathutkaca dan Prabu Boma Nara Sura.

Saat mendengar penjelasan Prabu Kresna, seluruh tetua dan kerabat Pandhawa diam terpaku. Radyan Bima-Sena yang merasa bahwa puteranya secara sengaja hendak dikorbankan oleh Prabu Kresna, merasa bahwa keputusan itu sangat tidak adil bagi dirinya. Karenanya, Radyan Bima-Sena dengan perasaan marah mempertanyakan, bagaimana bisa seorang penasehat tertinggi negeri Amarta-Pura seperti Prabu Kresna, sampai tega mengorbankan Prabu Anom Gathutkaca yang notabene adalah keponakannya sendiri, sementara anaknya sendiri, Prabu Boma Nara Sura diam-diam diselamatkan dan sama sekali tidak dikorbankan. Mendengar pertanyaan Radyan Bima-Sena yang disampaikan dengan penuh kemarahan, Prabu Kresna terdiam sesaat. Suasana menjadi tegang.

(23)

Dalam ketegangan yang semakin memuncak itu, Prabu Kresna berkata,

lengkingan kata-katanya menggaung di dalam ruang pakuwon: "Bima, saya juga akan berkorban. Sama dengan pengorbananmu. Bahkan mungkin engkau tidak terbayangkan apa yang akan terjadi, dan dosa apa yang akan ditimpakan kepada diriku. Dengarkan penyataanku ini. Jika nanti saatnya tiba, saya sendiri yang akan membunuh anak kesayanganku Boma Nara Sura. Engkau pasti tidak akan bisa merasakan bagaimana perasaan hatiku saat harus membunuh anak

kesayanganku. Meskipun sekarang ia sudah berubah, karena kerasukan sukma Prabu Boma Naraka-Sura, tetapi bagaimanapun juga ia tetap anak

kesayanganku. Karena peri-laku dia yang kerasukan sukma Prabu Boma Naraka-Sura, saya juga sudah kehilangan anak, yaitu Radyan Samba, dan juga kehilangan menantuku Dewi Hagnyanawati, yang sudah dibunuh oleh Boma Nara Sura." Semua hadirin yang mendengar kata-kata Prabu Kresna, terdiam seribu bahasa...

Maka hari itu pula, suatu keputusan yang maha sukar itu sudah dibuat. Para kerabat Pandhawa akhirnya memutuskan, Prabu Anom Gathutkaca diangkat menjadi Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura! Berita segera tersebar luas! Bahkan, dalam waktu yang sangat singkat, berita itu juga telah sampai ke telinga pada kerabat Kurawa, yang dengan segera lalu memutuskan untuk mengangkat Adipati Karna sebagai Panglima Operasi Angkatan

Bersenjata Hastina-Pura. Kegemparan segera merebak di

seluruh pakuwon Pandhawa dan Kurawa. Semua orang memperbincangkan pengangkatan kedua panglima perang masing-masing. Berita televisi dan radio penuh dengan breaking news dan ulasan para pengamat militer tentang

pengangkatan kedua tokoh penting itu.

Di luar segala hiruk-pikuk itu, diam-diam Radyan Bima-Sena merasakan kesedihan hati yang luar biasa. Perasaan bahwa putera kesayangannya telah dikorbankan dengan sengaja oleh Prabu Kresna, tetap tak bisa dilenyapkan dari hati sanubarinya. Hatinya tetap tidak bisa menerima. Sementara semua saudara-saudaranya hanya melihat dirinya tanpa komentar apapun. Semuanya seakan mendiamkan dirinya. Radyan Bima-Sena merasa, seakan-akan ikut

mengorbankan puteranya, hanya untuk melestarikan kekuasaan dirinya sebagai kerabat Pandhawa. Ada perasaan malu, sendu, dan sedih tak bisa dikatakan; saat memikirkan dan membayangkan bagaimana seorang ksatria ternama seperti dirinya, bisa bertahan di pusat kekuasaan Negeri Amarta, dengan mengorbankan putera kesayangannya.

Radyan Bima-Sena merasakan dunia begitu hampa. Ia merasa kesepian di antara keramaian di sekitarnya. Beban emosi dan perasaan yang sedemikian berat, tak tertanggungkan oleh seorang Bima-Sena, sehingga akhirnya tubuhnya limbung. Dunianya semakin lama semakin gelap. Penglihatannya semakin lama semakin kabur. Ia tak ingat apa-apa lagi. Tubuhnya yang tinggi besar, akhirnya rubuh.

(24)

Radyan Bima Sena pingsan! Kegemparan pun terjadi. Oleh sejumlah kerabat, tubuhnya diangkat dan dipindahkan ke ruang tidur dalam pakuwon...

Berita tentang pengangkatan Prabu Anom Gathutkaca sebagai Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura dalam sidang tertutup para kerabat

Pandhawa, akhirnya terdengar pula oleh Prabu Boma Nara Sura. Entah apa yang terjadi, ia tidak bisa merasakan. Tiba-tiba saja timbul rasa marah yang luar biasa. Seakan dendam kesumatnya kepada Prabu Anom Gathutkaca tiba-tiba muncul kembali ke atas permukaan. Prabu Boma Nara Sura bergegas

menghadap para kerabat Pandhawa. Tanpa menunggu dan tanpa basa-basi, ia bertanya mengapa usulannya untuk mengangkat dirinya sebagai Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura ditolak. Semua kerabat Pandhawa yang mendengar pertanyaan tajam itu, terdiam dan semua mata mengarah kepada Prabu Kresna.

Suasana mendadak berubah menjadi tegang. Karena semua orang melihat

kepada dirinya, maka perlahan-lahan Prabu Kresna maju ke depan dan berusaha menjelaskan dengan kalimat yang terasa sangat ditata, dan dinyatakan secara perlahan-lahan. Tetapi, yang keluar dari mulut Prabu Kresna hanyalah kalimat pendek: "Boma anakku, ketahuilah, semua manusia harus mempertanggung-jawabkan peri-laku dan dosa-dosanya."

Mendengar kalimat ayahandanya Prabu Kresna itu, entah apa yang terjadi, Prabu Boma Nara Sura tiba-tiba berteriak memaki: "Bangsat! Jadi, inilah yang terjadi. Persekongkolan untuk dengan sengaja membunuh adikku si Gathutkaca! Saya kan sudah bilang, begitu berita pengangkatan Gathutkaca sebagai

Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura tersebar dan sampai ke telinga para bedebah Kurawa itu, pasti Adipati Karna yang akan diangkat sebagai Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Kurawa untuk menandingi adikku si Gathutkaca! Apa semua tetua dan para gegeduk penguasa Pandhawa sudah sedemikian bodohnya, sampai tega mengorbankan adikku si Gathutkaca hah....? Apa apa sih dengan kalian semua....?" Dan, masih banyak lagi kalimat umpatan dan caci-maki yang disampaikan dengan berteriak oleh Prabu Boma Nara Sura, tanpa memperdulikan lagi tata-krama. Seluruh yang hadir di dalam ruang pakuwon itu terperangah. Seakan, mereka berhadapan dengan seorang yang sangat asing. Seorang yang berkata dengan kalimat tajam di hadapan mereka itu, seakan seperti bukan Prabu Boma Nara Sura yang selama ini mereka kenal.

Kalimat-kalimat yang diucapkan Prabu Boma Nara Sura itu, membuat telinga para tetua Pandhawa menjadi merah. Beberapa di antara mereka itu, berbisik-bisik antar sesamanya. Prabu Kresna berusaha menenangkan para hadirin dan para tetua kerabat Pandhawa. Tiba-tiba terdengar teriakan Prabu Boma Nara Sura: "Begini sajalah...., saya menantang kalian semuanya, termasuk adikku Gathutkaca, untuk membuktikan di hadapan kalian semua, bahwa saya Boma

(25)

Nara Sura, jauh lebih pantas menjadi Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura dibanding kalian semua!"

Mendengar kalimat tantangan itu, Prabu Kresna tiba-tiba timbul amarahnya. Ia maju, berdiri tegak, tepat di hadapan Prabu Boma Nara Sura, sambil berkata tak kalah keras: "Boma...., jangan banyak bicara! Coba kamu kalahkan si

Gathutkaca! Jika dia bisa kau kalahkan, maka jabatan Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura akan diserahkan kepadamu!" Mendengar kata-kata ayahandanya, tanpa menunggu lagi Prabu Boma Nara Sura bergegas ke luar, menuju lapangan luas di depan pakuwon Pandhawa. Prabu Boma Nara Sura segera menaiki kendaraan ruang angkasanya, Garuda Wilwana. Beberapa saat kemudian Prabu Anom Gathutkaca pun ke luar menemuinya. Tiba-tiba saja sudah terjadi pertempuran di antara keduanya.

Tanpa ada yang mengetahui, ternyata berita pertempuran keduanya, sampai juga ke pihak Kurawa. Mereka juga segera melakukan analisis secara cermat.

Laporan intelejen yang menyatakan bahwa Prabu Boma Nara Sura tidak akan bisa mati, meskipun terbunuh seribu kali sehari, selama tubuhnya tersentuh permukaan bumi, membuat para kerabat Kurawa was-was. Mereka juga sampai pada kesimpulan, jika Prabu Boma Nara Sura sampai bisa memenangkan

pertempuran melawan Prabu Anom Gathutkaca, maka seluruh kerabat Kurawa bisa dilibas habis, karena ia dipastikan tidak akan ada yang bisa

mengalahkannya.

Dan, akhirnya para kerabat Kurawa itu sampai pula pada pemikiran untuk menghentikan sementara Perang Barata-Yudha! Ya, harus dilakukan 'gencatan senjata' sementara! Prabu Suyudana yang kebingungan saat mendengar laporan dinas intelejen Hastina-Pura yang datang terus-menerus dan bertubi-tubi, tiba-tiba membuat keputusan yang sangat penting. Ia memutuskan untuk mengirim sejumlah besar pasukan Hastina-Pura dan sekutunya ke Amarta-Pura, dengan tujuan 'membantu' pihak Pandhawa untuk melenyapkan Prabu Boma Nara Sura dan kekuatan militernya. Keputusan penting lainnya yang dibuat adalah, Adipati Karna tidak diperbolehkan ikut serta, supaya kehadiran tentara Kurawa tidak dicurigai sebagai upaya menepuk di air keruh. Semua kerabat Kurawa sepakat, yang harus dilenyapkan dari muka bumi lebih dahulu adalah Prabu Boma Nara Sura. Jika hal ini bisa direalisasi, maka persoalan Gathutkaca merupakan hal sepele, yang nantinya pasti bisa diselesaikan oleh Adipati Karna. Para kerabat Kurawa itu tersenyum lebar, dan semuanya memuji keputusan Prabu Suyudana yang dipandang sangat strategis, jenius, dan brilian.

Bala tentara Hastina-Pura beserta sekutunya itu, disepakati dipimpin oleh Maha Patih Sangkuni, yang terkenal pandai berdiplomasi, licin bagaikan belut, dan pandai memutar-balikkan fakta. Keputusan soal siapa yang menjadi pemimpin tertinggi pasukan Hastina-Pura ini pun disambut dengan gembira. Sekali lagi, para kerabat Kurawa memberikan tepuk tangan gegap gempita ‘mbata

(26)

rubuh’ serta pujian setinggi langit kepada Prabu Suyudana, yang secara

gemilang dan sangat cerdik telah membuat keputusan yang tepat dan sangat strategis. Dan, pada akhir rapat sidang kenegaraan Hastina-Pura itu, juga diputuskan untuk membekali Maha Patih Sangkuni dengan „surat penyataan gencatan senjata‟ dan surat „pernyataan kesediaan‟ pihak Hastina-Pura untuk membantu pihak Amarta-Pura dalam upaya memerangi dan melenyapkan Prabu Boma Nara Sura dari muka bumi.

Empat keputusan maha penting dan sangat strategis, telah dibuat oleh Prabu Suyudana hanya dalam beberapa menit! Wooooow…. Hal ini belum pernah terjadi dalam sejarah panjang Negeri Hastina-Pura! Teriakan “Hidup Prabu Suyudana” dan teriakan “Hidup Negeri Hastina-Pura” berulang-ulang bergema gegap-gempita di dalam ruang pakuwon Hastina-Pura yang mewah dan sangat besar itu. Senyum lebar penuh kebanggaan, tersungging di wajah sang Prabu Suyudana. Seakan-akan kemenangan Perang Barata-Yudha sudah

diraih. Minuman dan makanan lezat segera disuguhkan kepada seluruh hadirin, untuk merayakan dibuatnya keputusan penting hari itu. Bunyi denting gelas minuman beradu dengan gelas minuman di tangan para hadirin, seakan memberikan pertanda bahwa mereka semua sedang merayakan sebuah kemenangan besar……

Sesuai dengan strategi dan kebijakan yang telah dinyatakan sang Prabu

Suyudana, segera setelah selesai dengan sidang kenegaraan yang amat sangat penting itu, segera diadakan „konferensi pers‟. Para wartawan dalam negeri dan luar negeri dari berbagai kantor berita, stasiun televisi, dan stasiun radio;

berdesak-desak di depan ruang pakuwon Hastina-Pura, menginginkan berita paling mutakhir, yang dipastikan akan membuat pemirsa dan mendengar di seluruh jagat terpana! Dalam hitungan detik, berita tentang apa yang terjadi di Negeri Hastina-Pura itu segera menyebar ke seantero jagat.

Kegemparanpun tiba-tiba terjadi di Negeri Traju-Trisna. Panglima Tentara Nasional Traju-Trisna, Maha Patih Pancat-Nyana, tiba-tiba menerima laporan dinas intelejen Traju-Trisna yang menyatakan adanya gerakan mencurigakan pasukan Hastina-Pura secara besar-besaran, yang diperkirakan sedang menuju kepakuwon Traju-Trisna dan Pandhawa! Dinas intelejen Amarta-Pura juga melaporkan hal yang sama. Belum lagi kebingungan para kerabat Pandhawa dan Traju-Trisna itu selesai, di pakuwon Pandhawa tiba-tiba datang Maha Patih Sangkuni bersama sejumlah pengawal, sambil mengibarkan bendera putih tanda perdamaian. Kepada para tetua Pandhawa Maha Patih Sangkuni menyampaikan surat resmi dari Prabu Suyudana. Tanpa menunda waktu, sidang darurat segera dilakukan secara tergesa-gesa, guna membahas kedatangan Maha Patih

Sangkuni yang membawa surat permintaan 'gencatan senjata sementara' pihak Kurawa dan sekutunya; juga tentang surat kesediaan pihak Kurawa untuk membantu Pandhawa dalam upaya mengalahkan Prabu Boma Nara Sura dan

(27)

kekuatan militernya. Semua kejadian ini sangat mengejutkan para kerabat Pandhawa dan seluruh sekutunya.

Rapat penting kerabat Pandhawa dan sekutunya masih berlangsung, ketika tiba-tiba datang laporan intelejen yang disampaikan kepada Maha Patih Pancat-Nyana, yang menyatakan bahwa Prabu Boma Nara Sura dan Prabu Anom Gathutkaca tengah terlibat pertempuran sengit. Semua itu serba

membingungkan! Lebih membingungkan lagi, tersebar berita yang belum bisa dipastikan kebenarannya, bahwa saat ini pihak Hastina-Pura sedang melakukan perundingan resmi dengan pihak Amarta-Pura, untuk melenyapkan Prabu Boma Nara Sura! Maha Patih Pancat-Nyana tidak habis mengerti! Bagaimana bisa, Prabu Boma Nara Sura yang jelas-jelas berpihak kepada kerabat Pandhawa, dikabarkan sedang bertempur melawan Prabu Anom Gathutkaca yang juga kerabat Pandhawa. Para analisis dinas intelejen Negeri Traju-Trisna segera melakukan analisis dan mencernati segala laporan dan berita yang semuanya serba membingungkan itu.

Dan, di akhir proses analisis berbagai laporan intelejen itu, para pejabat militer Negeri Traju-Trisna sampai pada kesimpulan, „dipastikan ada provokator di dalam tubuh pihak Negeri Amarta-Pura dan sekutunya, yang telah dengan amat sangat sukses telah berhasil membuat seluruh persekutuan kekuatan militer Pandhawa menjadi pecah berantakan!‟ Ini merupakan kesimpulan paling

penting, yang dibuat oleh Kepala Dinas Rahasia Negeri Traju-Trisna. Dan, yang lebih mengejutkan lagi, tersiar berita-berita dalam laporan intelejen paling

mutakhir, bahwa yang bertindak sebagai provokator adalah Prabu Kresna, pejabat tertinggi dalam Biro Keamanan Nasional (National Security Agency,

NSA) Negeri Amarta-Pura. Berita ini, bagaikan sambaran halilintar di siang

bolong bagi Maha Patih Pancat-Nyana! Sangat aneh dan tidak di akal Maha Patih Pancat-Nyana, bagaimana bisa ayahanda Prabu Boma Nara Sura, justru bertindak sebagai provokator yang bisa saja berakibat jatuh korban di pihaknya sendiri. Bisa saja Prabu Anom Gathutkaca, Prabu Boma Nara Sura, atau

keduanya gugur dalam pertempuran sengit di antara keduanya. Memikirkan hal ini, Maha Patih Pancat-Nyana diam terpaku, termenung, dan tak mengerti; bagaimana semua ini bisa terjadi.

Bagaimanapun juga, Maha Patih Pancat-Nyana harus membuat keputusan, sementara junjungannya, Prabu Boma Nara Sura sedang tidak berada di tempat. Jika nanti ternyata ada kesalahan dalam pembuatan keputusan penting, tentu seluruh kesalahan akan ditumpukan kepadanya. Maha Patih Pancat-Nyana beserta keempat Kepala Staf Angkatan Bersenjata Negeri Traju-Trisna segera melakukan rapat tertutup. Dalam rapat penting itu, akhirnya disepakati bahwa karena Prabu Boma Nara Sura sedang tidak ada di tempat, dan diketahui sedang dalam bahaya; maka demi menjamin keselamatan Prabu Boma Nara Sura dan Negeri Traju-Trisna, segala keputusan dan wewenang harus diambil alih oleh Maha Patih Pancat-Nyana.

(28)

Setelah diam sesaat, Maha Patih Pancat-Nyana tanpa ragu-ragu sedikitpun berkata: “Baiklah…., sesuai dengan wewenang, hak, dan kewajiban yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negeri Traju-Trisna, maka seluruh wewenang Prabu Boma Nara Sura sejak saat ini saya ambil-alih sementara, sampai sang Prabu Boma Nara Sura berada kembali di lingkungan kita dengan selamat. Sekarang, saya perintahkan kepada seluruh jajaran wadya-bala tentara Negeri Traju-Trisna untuk segera bersiaga dan bersikap waspada. Persiapkan seluruh persenjataan. Jika ada gerakan pasukan yang mencurigakan, dari mana pun itu, segera lakukan serangan secara besar-besaran. Jangan perdulikan lagi, apakah serangan itu berasal dari pihak Pandhawa atau dari pihak Kurawa. Sejak saat ini, kita tidak lagi bisa mempercayai pihak mana yang sebenarnya

merupakan sekutu Negeri Traju-Trisna. Sejak saat ini pula, kita tidak bisa lagi berbagi informasi dengan pihak mana pun. Laporan intelejen paling mutakhir, justru menunjukkan, bahwa semua pihak kerabat Kurawa dan sekutunya, yang semula menjadi musuh para kerabat Pandhawa; ternyata telah bergabung bersama-sama. Saya belum bisa menetapkan secara pasti, apakah hal ini

merupakan pertanda bahwa mereka semua telah berbalik dan akan memerangi Negeri Traju-Trisna. Tetapi, jika melihat gelagat dengan telah terjadinya pertempuran antara sinuwun Prabu Boma Nara Sura dengan Prabu Anom Gathutkaca; saya sementara ini dapat menyimpulkan dan memastikan, bahwa rupanya telah terjadi upaya untuk melenyapkan eksistensisinuwun Prabu Boma Nara Sura, dan juga seluruh kekuatan Negeri Traju-Trisna. Karenanya, sejak saat ini saya memutuskan dan memerintahkan, supaya seluruh jajaran kekuatan militer Negeri Traju-Trisna ditarik dari persekutuan dengan Negeri Amarta-Pura.” Semua pejabat tinggi Negeri Traju-Trisna yang terlibat dalam rapat terbatas itu menganggukkan kepalanya tanda setuju.

Dalam waktu yang amat singkat, seluruh kekuatan militer Negeri Traju-Trisna yang terkenal sangat kompak, loyal, dan disiplin itu; sudah ditarik mundur menjauhi wilayah sekitar Palagan Kuru-Setra. Dalam waktu yang amat singkat pula, segera terlihat adanya dua pihak kekuatan militer yang saling berhadapan dalam jarak yang cukup jauh. Di salah satu sisi, terlihat jajaran bala tentara Negeri Traju-Trisna, sedangkan di sisi lainnya terlihat gabungan bala tentara yang berasal dari enam negara, termasuk Negeri Amarta-Pura dan Hastina-Pura. Dari sikap yang ditunjukkan, terlihat bahwa kedua jajaran bala tentara itu, siap siaga untuk bertempur. Tinggal menunggu komando serangan saja. Di medan tempur semuanya berlangsung secara senyap. Semua gerakan, dilakukan secara diam-diam. Meskipun demikian, masing-masing pihak sebenarnya bisa saling mengamati apa yang sedang terjadi di seberang tempat kedudukan masing-masing.

Maha Patih Pancat-Nyana bersama keempat Kepala Staf Tentara Nasional Traju-Trisna, dengan teropong jarak jauhnya, mengamati kedudukan jajaran bala tentara yang berada jauh di seberang tempat pertahanan pasukannya. Di

(29)

kejauhan, bergerak-gerak seperti gelombang bayangan hitam, terlihat gabungan tentara enam negara membayang di batas cakrawala. Di antara kedua jajaran pasukan besar itu, terbentang medan Palagan Kuru-Setra yang terlihat diam menunggu datangnya kematian dan tumpahan darah. Suasananya semakin lama menjadi semakin mencekam. Debumangampak-ampak tertiup samirana di Palagan Kuru-Setra, membuat pandangan menjadi kabur. Awan debu yang tertiup angin itu, beberapa saat lamat-lamat seperti menampakkan wujud Bathara Yama-Dipati, sang pencabut nyawa. Sesekali, juga menampakkan bayangan seperti Bathara Kala, sang pemakan nasib manusia di alam janaloka. Bayangan debu yang mangampak-ampak tertiup angin itu, semakin membuat medan Palagan Kuru-Setra tampak seperti neraka yang menggelegak di alamjanaloka. Namun, di seluruh sisi Palagan Kuru-Setra semuanya diam membisu, meskipun memendam ketegangan luar biasa……

Jauh di ruang angkasa, pertempuran antara Prabu Boma Nara Sura dan Prabu Anom Gathutkaca masih berlangsung sengit. Setiap kali Prabu Anom

Gathutkaca berhasil membunuh Prabu Boma Nara Sura, setiap kali pula ia hidup kembali. Aji-aji Panca-Sona atau aji-aji Rawa Rontek bekerja baik sekali hari ini, sehingga membuat Prabu Anom Gathutkaca habis akal. Pendar-pendar pertempuran, dari kejauhan terlihat membiaskan warna api yang menyemburat, ditimpa suara ledakan-ledakan dahsyat berulang kali. Seperti kata para tetua Pandhawa yang setiap kali memberi petuah kepada Prabu Anom Gathutkaca, “Seribu kali engkau berhasil membunuh Boma Nara Sura, seribu kali pula ia akan hidup kembali.” Kalimat nasehat para tetua itu, selalu mengiang-ngiang di telinga Prabu Anom Gathutkaca, seakan memberi tahu dirinya, bahwa ia tak akan bisa memenangkan pertempuran itu.

Di antara kesibukannya melawan serangan Prabu Boma Nara Sura, tiba-tiba saja Prabu Anom Gathutkaca seperti mendengar ada sesuatu bisikan di telinganya. Ia seperti mengenali suara yang membisikkan itu. Bisikan itu seperti bercerita tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Seakan mengingatkan

kembali pada perang terbatas dalam peristiwa Rebut Kikis Tunggarana. Bisikan itu semakin jelas: “Gathutkaca…., di masa perang terbatas dalam peristiwa Rebut Kikis Tunggarana, engkau hampir saja bisa dikalahkan oleh Boma Nara Sura, saat topeng baja pelindung wajahmu berhasil dihancurkan oleh Boma Nara Sura. Tetapi ada peristiwa yang sangat menguntungkan dirimu saat itu, dan persitiwa itulah yang membuat dirimu selamat dan sampai sekarang

membuat dirimu masih bisa hidup, yaitu senjata yang dipakai Boma Nara Sura untuk menghancurkan topeng baja pelindung wajahmu itu, ternyata ikut hancur. Leburnya senjata milik Boma Nara Sura dan topeng baja pelindung wajahmu itu, yang terbukti telah menyelamatkan jiwamu itu, ternyata engkau lupakan, hanya karena engkau dan Boma Nara Sura setelah peristiwa Rebut Kikis Tunggarana itu, berhasil mencapai perdamaian. Engkau bahkan sama sekali tidak tahu, apa yang kemudian terjadi dengan senjata milik Boma Nara Sura dan

(30)

topeng baja pelindung wajahmu itu.” Mendengar bisikan itu, Prabu Anom Gathutkaca mulai memikirkan. Suara bisikan siapakah itu? Dan, mengapa bisikan itu menceritakan kembali peristiwa yang sudah hampir dilupakannya? Tetapi, kesibukan melawan serangan Prabu Boma Nara Sura, telah membuat Prabu Anom Gathutkaca tidak bisa memikirkan lebih lanjut.

Beberapa saat kemudian, Prabu Anom Gathutkaca mendengar kembali bisikan itu. “Topeng baja pelindung wajahmu dan senjata milik Boma Nara Sura itu, sebenarnya merupakan dua teknologi yang amat sangat mutakhir. Engkau dan Boma Nara Sura bahkan sama sekali tak akan bisa membayangkan apa yang sudah terjadi dengan kedua benda itu. Engkau sama sekali tak menyadarinya. Begitu juga Boma Nara Sura. Penyebabnya? Engkau dan Boma Nara Sura terlanjur terbuai oleh perdamaian yang amat sangat menyenangkan dan

membahagiakan. Karena perdamaian itu telah menyelamatkan dirimu dan Boma Nara Sura. Bahkan engkau dan Boma Nara Sura sesaat setelah berdamai, saling berpelukan dan saling memaafkan. Dan, sejak saat itu, engkau dan Boma Nara Sura bahkan kembali dengan bergandeng tangan layaknya saudara kandung yang sudah lama terpisah dan tak bertemu. Tetapi, jika saja salah satu di antara engkau berdua sadar akan hal itu, maka pertempuran hari ini tak akan ada dan tak akan pernah terjadi. Karena dipastikan salah satu darimu, entah Boma Nara Sura atau dirimu pasti sudah lama lenyap dari muka bumi.”

Mendengar bisikan itu, Prabu Anom Gathutkaca mencoba memikirkan kembali seluruh peristiwa yang sudah lama terjadi dan hampir saja membuat dirinya terbunuh. Tetapi, ingatannya hanya sebatas sampai kepada peristiwa

perdamaian yang membahagiakan dirinya. Selanjutnya, tak ada lagi yang bisa diingatnya lagi. Atau, lebih tepat jika dikatakan bahwa ia memang tak pernah berusaha memikirkannya lagi.

Bisikan itu mengiang lagi: “Topeng baja pelindung wajahmu dan senjata milik Boma Nara Sura itu, sebenarnya sama sekali tidak hancur, tetapi tanpa kau ketahui ternyata telah menyatukan diri, dan mengubah fungsinya menjadi

sebuah senjata baru yang sangat mutakhir, berupa jala raksasa yang tak nampak oleh penglihatan manusia. Selama ini, jala raksasa yang tak nampak itu,

mengambang di atas permukaan bumi. Benda itu, dulu terlempar dan jatuh mengambang di atas suatu lapang rumput luas padhang pangonan di wilayah hutan Kikis Tunggarana. Tentu saja tidak ada yang berhasil menemukannya, karena benda itu memang tidak tampak di mata manusia maupun binatang. Sejauh ini, hanya mata para dewa yang bisa melihat keberadaannya.” Prabu Anom Gathutkaca terperangah oleh informasi baru itu, tetapi ia memang sama sekali tak pernah menyangka bahwa topeng baja pelindung wajahnya dan senjata milik Boma Nara Sura bisa bersatu dan malah berhasil mengubah diri menjadi suatu senjata baru yang tak terbayangkan kemampuannya.

(31)

Telinga Prabu Anom Gathutkaca masih terdengar mengiang-ngiang bisikan: “Engkau pasti masih ingat „kata sandi‟ yang kau pakai untuk memakai dan membuka topeng baja pelindung wajahmu. Jika engkau bisa mengingat kembali apa kata sandi yang harus kau ucapkan untuk „memanggil‟ topeng baja

pelindung wajahmu itu, maka engkau akan bisa „memanggil dan menempatkan‟ senjata baru itu supaya benda itu pergi ke tempatmu sekarang. Satu-satunya kesulitan yang terjadi, adalah engkau tetap tidak akan bisa melihat keberadaan benda itu, karena sifatnya yang tak nampak oleh mata manusia. Tetapi,

keberadaan benda itu tetap bisa kau amati dari tersangkutnya burung yang sedang terbang dan kemudian tersangkut karena menabrak jaring raksasa yang tak nampak itu.” Begitu mendengar bisikan yang terakhir itu, seperti tersengat aliran listrik bertegangan jutaan volt, Prabu Anom Gathutkaca segera tersadar! Jadi…., ia harus bisa membunuh Prabu Boma Nara Sura dan segera

menjatuhkan tubuh lawannya itu tepat di atas jaring raksasa yang tak nampak di mata manusia. Ini merupakan pekerjaan yang tak terlampau sukar bagi Prabu Anom Gathutkaca, andai saja ia masih segar. Tetapi karena pertempuran yang sudah berlangsung sedemikian lamanya, ternyata telah menguras habis hampir seluruh tenaga dan pikiran Prabu Anom Gathutkaca.

Prabu Anom Gathutkaca berusaha memikirkan dan mengingat kembali, apa „kata sandi‟ yang dipakai untuk memanggil „benda yang terlupakan itu‟. Prabu Anom Gathutkaca hanya ingat bahwa kata sandi itu berupa

tembang mantra sulukan dhalang yang amat panjang. Lama ia tak dapat mengingat bait-bait syairnya, meskipun ia sudah berusaha mengingatnya. Tetapi, perlahan-lahan ia seperti bisa melihat ada bayangan tulisan kuno yang berisi kata sandi itu di pelupuk matanya. Tulisan berisi syairmantra tembang kuno, yang dulu biasa ditembangkannya jika ia ingin melindungi dirinya. Seperti terbangun dari mimpi, Prabu Anom Gathutkaca memejamkan mata, berusaha memperjelas penglihatan batinnya. Lalu, di dalam bayangan matanya, tiba-tiba seperti terpapar lembar-lembar ‘ron tal’ yang berisi bait-bait syair tembang mantra sulukan dhalang. Deretan huruf kuno yang semula terlihat membayang kabur, bergerak-gerak seperti mengambang di atas ombak samodra. Lalu, perlahan-lahan semakin lama semakin tenang dan semakin jelas. Dan, akhirnya Prabu Anom Gathutkaca seperti bisa melihat jelas, apa yang terbayang di pelupuk matanya…..

O,

Kamahatmyan setyaning tanaya, Mangaji mangastuti laku utami, Myang ingajara ilmu kang winadi, O,

Kayogyan ika huriping driya, Lir pawarahing dewa,

(32)

Kang winarah ing jaman parwa, Sangsaya isti istyakara kang utama, O,

Pindha manikam cahyanya, O,

O……[5]

Prabu Anom Gathutkaca segera mencoba membaca bayangan kata-kata bait tembang mantra sulukan dhalang itu. Semula tidak lancar. Lalu, perlahan-lahan seluruh ingatannya kembali ke masa lampau. Dan, dengan suaranya merdu tetapi sedikit parau, Prabu Anom Gathutkaca mulai menembangkanmantra

sulukan dhalang dalam nada Slendro gaya Pesisir yang terasa sendu……

Ruang angkasa terasa sepi seketika. Seakan tak ada makhluk hidup di sana. Di kejauhan, awan-awan bergerak-gerak, seakan ada tangan raksasa yang

menguakkannya. Di batas angan cakrawala, tiba-tiba memendar cahaya cemerlang. Semburat berkas-berkas putih cahayanya, seperti menandakan

bahwa ada sesuatu yang sedang melayang menghampiri. Pendar-pendar cahaya itu, seperti melingkup sesuatu yang amat sangat besar. Hanya kedip-kedip cahaya cemerlang yang tampak di ruang angkasa. Prabu Anom Gathutkaca terpesona melihat pemandangan yang menakjubkan itu. Sesaat it lupa bahwa di kejauhan ada Prabu Boma Nara Sura yang juga memperhatikan terjadinya fenomena ajaib itu. Mereka sama-sama terpesona. Tak nampak apa-apa, kecuali pendar-pendar cahaya yang menyilaukan. Pendar-pendar cahaya itu, seakan bergerak-gerak, bergelombang seperti mengambang di atas air samodra yang tak tampak.

Di kejauhan, entah dari mana, tiba-tiba tampak sekumpulan

burung Branjangan yang terbang cepat beriringan. Terbang berkelok-kelok tak teratur. Lalu, burung-burung itu seperti tersihir, sayapnya tetap mengepak tetapi berhenti terbang. Suara cicit burung-burung Branjangan itu seakan

menampakkan kepanikan, saat sayap yang mengepak tak menghasilkan gerak kemana-mana. Prabu Anom Gathutkaca seperti dibangunkan dari mimpi saat melihat sekumpulan burung mengepakkan sayapnya, tetapi berhenti terbang. Ia seperti diingatkan kembali, bahwa jala raksasa yang terbentang luas itu hanya bisa diamati keberadaannya saat ada sekumpulan burung yang terperangkap di jaring raksasa yang tak nampak oleh penglihatan makhluk hidup.

Tersadar dari pemandangan yang menakjubkan, Prabu Anom Gathutkaca segera sadar bahwa sekaranglah saatnya bertindak. Dengan sisa-sisa tenaga yang masih dimilikinya, Prabu Anom Gathutkaca berusaha menyerang Prabu Boma Nara Sura. Upaya ini dilakukannya berkali-kali, tetapi rupanya antara niat dan usaha, sudah mulai tak sejalan. Niat yang sangat kuat, sudah tidak didukung lagi oleh tenaga yang cukup. Dalam beberapa kali upaya menyerang, bahkan Prabu Boma

Referensi

Dokumen terkait