• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asriana Issa Sofia Haris Herdiansyah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Asriana Issa Sofia Haris Herdiansyah"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

CONTROL TERHADAP INTENSI PERILAKU ANTI-KORUPSI PADA MAHASISWA PESERTA MATAKULIAH ANTI-KORUPSI

UNIVERSITAS PARAMADINA Asriana Issa Sofia

Haris Herdiansyah Abstract

The aim of this research is to know how efective the Anti-corruption course in stimulating intention of anti-corruption behavior of its students, with measure the influence of attitude toward behavior, subjective norm, and perceived behavior control dimensions. The sample of this research conducted to 138 students after they taking the Anti-corruption course on 2008/2009 academic year at Paramadina University. The theory used in this research is theory of planned behavior by Azjein. The result of this research indicates that attitude toward behavior have significant influence on students through their deep understanding about corrupton and its extremely negative impacts. Subjective norm is also have significant influence because the student belief that social norms and law are supprting their anti-corruption attitude. However perceived behavior control have an extremely low influence because the existing external corrupt environment is weakening student self-confidence to practice anti-corruption behavior consistently.

Keyword: Attitude toward behavior, Subjective norm, Perceived behavioral control, Intention, Anti-corruptions behavior, students

Pendahuluan

Secara umum, dalam upaya pemberantasan korupsi pada hakekatnya korupsi terdapat 3 unsur yaitu : pencegahan (anti-korupsi/preventif), penindakan (penanggulangan/kontrakorupsi/represif) dan peran-serta masyarakat (KPK RI) Di Indonesia, gerakan memerangi korupsi (anti-corruption movement) dilakukan oleh berbagai phak. Pemerintah berada didepan melalui pembentukan hukum dan undang-undang anti-korupsi, serta pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) terus lahir membawa idealisme anti-korupsinya dengan berperan sebagai watchdog terhadap setiap langkah penanganan korupsi di Indonesia. Terjadinya upaya perbaikan sistem di sejumlah lembaga pemerintah maupun kantor dan perusahaan swasta mencerminkan menguatnya komitmen anti-korupsi di berbagai lingkungan. Demikian pula lembaga pendidikan (meski belum seluruhnya) sedang terus menggalang pelaksanaan pendidikan anti-korupsi baik secara formal maupun informal.

(2)

2

Anti-korupsi dikonsepkan sebagai kebijakan untuk mencegah dan menghilangkan peluang bagi berkembangnya korupsi – melalui peningkatan kesadaran individu untuk tidak melakukan korupsi. Peluang bagi berkembangnya korupsi dapat dihilangkan dengan melakukan perbaikan sistem (sistem hukum, sistem kelembagaan) dan perbaikan manusianya (moral, kesejahteraan) . Perbaikan sistem akan lebih efektif bila dilandasi oleh perbaikan moral manusianya yang kuat, yang merujuk pada aspek-aspek perbaikan moral (dengan mengoptimalkan peran agama dalam anti-korupsi), pengalihan loyalitas dari keluarga/komunitas kepada bangsa, peningkatan kesadaran hukum, pengentasan kemiskinan, pemilihan pemimpin yang bersih. Caranya adalah dengan sosialisasi dan pendidikan anti-korupsi. (KPK RI)

Upaya preventif melalu pendidikan Anti-korupsi telah menjadi wacana kuat pada lembaga-lembaga pendidikan, dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi di Indonesia. Penanaman nilai-nilai anti-korupsi diwujudkan baik melalui pengajaran formal maupun melalui berbagai aktifitas informal. Pada tingkat pendidikan tinggi, sejumlah kampus telah melakukan langkah anti-korupsi melalui penyisipan materi anti-korupsi sebagai bagian dari pengajaran matakuliah tertentu seperti Etika, Kewarganegaraan, Hukum, Politik, dan sebagainya.

Hingga tahun 2009, satu-satunya universitas di Indonesia yang “berani” menyelenggarakan matakuliah Anti-korupsi sebagai sebuah matakuliah khusus yang diwajibkan bagi seluruh mahasiswanya adalah Universitas Paramadina. Tujuan utama dari penyelenggaraan matakuliah ini adalah menumbuhkan perhatian (concern) dan kesadaran (awareness) mahasiswa terhadap permasalahan korupsi serta menanamkan kepada diri mereka nilai-nilai anti-korupsi sebagai prinsip dalam kehidupan bermasyarakat di masa sekarang maupun mendatang.

Intensi Perilaku

Pada dasarnya setiap perilaku seseorang dilakukan secara sadar, yang berasal dari potensi perilaku (perilaku yang belum terwujud secara nyata), atau diistilahkan dengan intensi (Wade dan Tavris, 2007). Potensi perilaku tersebut adalah sikap, yang terdiri dari tiga faktor yaitu kognisi, afeksi dan psikomotor, dimana ketiganya bersinergi membentuk suatu perilaku tertentu (Azwar, 2006). Sebagai potensi perilaku yang belum terwujud, maka intensi dapat digunakan sebagai prediktor yang dapat memberikan gambaran kemungkinan munculnya perilaku tertentu, atau memberikan gambaran seberapa kuat keinginan individu untuk menampilkan dan seberapa banyak usaha yang direncanakan atau dilakukan individu untuk mewujudkan suatu perilaku tertentu (Azjen, 1988). Faktor penentu dari perilaku yang dimunculkan (overt behavior) dari individu adalah seberapa besar intensi individu untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tersebut (Fishbein dan Ajzen, 1975).

(3)

3 Berdasarkan teori tersebut dapat dinyatakan bahwa dengan mengetahui intensi perilaku anti-korupsi pada diri individu, maka dapat diprediksi munculnya perilaku anti-korupsi yang ditentukan oleh seberapa besar intensi individu tersebut untuk memunculkan perilaku anti-korupsi. Theory of Planned Behavior

Azjen (2006) merumuskan Theory of Planned Behavior yang mengemukakan tiga faktor utama (determinan) dari intensi yang mempengaruhi munculnya suatu perilaku. Tiga faktor tersebut adalah : 1. Attitude toward behavior (ATB)

ATB merupakan unsur kepribadian individu berupa penilaian individu bahwa perilaku yang akan dilakukannya tersebut bernilai positif atau negatif (Azjen, 1988). ATB umumnya dilatar belakangi oleh adanya suatu keyakinan terhadap tingkah laku tersebut dan evaluasi terhadap hasil yang muncul dari perilaku yang disebut dengan behavioral beliefs. Evaluasi positif ataupun negatif terhadap suatu perilaku tertentu tercermin dalam kata-kata seperti : benar-salah, setuju-tidak setuju, baik-buruk, dan lain sebagainya. (Ajzein, 1988).

Contoh, jika seorang individu yakin bahwa perilaku antikorupsi akan memberikan dampak positif bagi dirinya maupun bagi lingkungan, maka sikap individu tersebut akan positif terhadap perilaku antikorupsi, dan akan mengakibatkan meningkatnya intensi untuk berperilaku anti-korupsi. Demikian pula sebaliknya, jika individu yakin perilaku antikorupsi akan memberikan dampak negatif, maka sikapnya akan negatif terhadap perilaku antikorupsi, dan akan mengakibatkan rendahnya intensi perilaku anti-korupsinya.

2. Subjective norm (SN)

SN merupakan persepsi individu terhadap tekanan sosial yang mendorong atau menghambatnya untuk melakukan suatu perilaku tertentu. SN lebih menitik beratkan kepada kontrol dan tekanan sosial diluar diri individu yang menyebabkan seseorang melakukan suatu perilaku atau justru mencegahnya melakukan sesuatu (Azjen, 1988). SN tercipta karena adanya suatu keyakinan individu terhadap norma-norma yang berlaku, khususnya nilai-nilai sosial yang bersifat normative dan dipercaya oleh indivitu tersebut (normative beliefs).

Contoh, jika seseorang meyakini bahwa perilaku antikorupsi merupakan perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat (misalnya agama), dan disetujui oleh orang-orang yang penting / berpengaruh terhadapnya setuju dengan perilaku antikorupsi tersebut maka perilaku antikorupsi akan cenderung dilakukannya.

(4)

4

3. Perceived behavior control (PBC)

PBC merupakan keyakinan individu terkait dengan kesanggupan atau kemampuan dan ketidakmampuan seorang individu untuk memunculkan perilaku tertentu. Semakin besar keyakinan individu untuk melakukan suatu perilaku, dan didukung dengan adanya kesempatan, maka kecenderungan perilaku tersebut dimunculkan akan semakin besar (Azjen, 1988).

Francis, Eccles dan Johnston (dalam Putri, 2008) menyatakan bahwa PBC dipengaruhi oleh control beliefs dan influence to behavior. Control beliefs adalah keyakinan dalam diri individu apakah perilaku tersebut mudah untuk dilakukan atau sulit untuk dilakukan. Influence to behavior adalah sesuatu yang mempengaruhi individu apakah perilaku tersebut dapat dilakukan atau tidak.

Contoh. Seorang individu sebelum memunculkan perilaku antikorupsi, ia akan berpikir apakah perilaku antikorupsi tersebut mudah atau sulit, dapat atau tidak, untuk dilakukan. Jika mudah dan dapat dilakukan, maka dia akan sangat mungkin melakukannya. Sebaliknya jika perilaku tersebut sulit dilakukan atau tidak dapat dilakukan maka kecenderungan untuk dimunculkan sangat rendah.

Perceived behavior control merupakan acuan kesulitan dan kemudahan untuk memunculkan suatu perilaku. Hal ini berkaitan dengan tersedianya sumber dan kesempatan untuk mewujudkan perilaku tersebut. Individu yang memiliki kesempatan yang lebih besar atau kemudahan untuk memunculkan perilaku anti-korupsi maka hal tersebut akan meningkatkan intensi untuk melakukan perilaku anti-korupsi.

Secara lebih rinci, dinamika tiga determinan intensi yang menjurus pada munculnya intensi yang terangkum dalam Theory of Planned Behavior dapat dicermati dalam gambar dibawah ini

(5)

5 Dinamika yang terjadi adalah kepercayaan perilaku (behavioral beliefs) akan menghasilkan sikap menyukai dan tidak menyukai perilaku tersebut (attitude toward behavior), kepercayaan normatif (normative beliefs) akan menghasilkan persepsi terhadap dukungan sosial atau norma subjektifnya (subjective norm), sedangkan kepercayaan kontrol (control beliefs) akan meningkatkan persepsi terhadap kontrol perilaku yang dirasakannya (perceived behavior control). Kombinasi dari ketiga hal tersebut akan membawa kepada intensi berperilaku, yang hasil akhirnya dapat memunculkan perilaku konkrit (Azjein, 2006)

Menurut Kernsmith (2005), Theory of Planned Behavior efektif untuk memprediksi intesi perilaku dalam berbagai situasi khususnya perilaku yang terkait dengan hal-hal yang bersinggungan dengan norma dan nilai baik positif ataupun negatif atau menjurus kepada kekerasan dan kejahatan seperti perilaku pelecehan seksual, penggunaan obat-obatan, kekerasan dalam hubungan, ataupun perilaku korupsi karena korupsi dipandang sebagai kejahatan tingkat tinggi (extraordinary crime).

Prinsip utama dari teori ini adalah semakin disukai sikap dan perilaku tersebut dan diperkuat dengan norma subjektif yang mendukung, serta kontrol yang semakin besar, maka intensi munculnya perilaku akan semakin kuat. Demikian pula sebaliknya, semakin tidak disukai, sikap dan perilaku tersebut bertentangan dengan norma subjektif, serta kontrol yang rendah, maka intensi munculnya perilaku akan semakin rendah.

Dinamika yang terjadi antara ketiga komponen diatas (attitude toward behavior, subjective norm, perceived behavior control), didukung oleh faktor lain seperti pendidikan anti-korupsi, dimungkinkan dapat memberikan kontribusi yang dapat mempengaruhi mahasiswa untuk memunculkan intensi perilaku anti-korupsi.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui tingkat pengaruh ketiga faktor attitude toward behavior, subjective norm, dan perceived behavior control terhadap perilaku anti-korupsi pada mahasiswa peserta matakuliah anti-anti-korupsi Universitas Paramadina.

Hasil penelitian ini menjadi ukuran tingkat keberhasilan matakuliah Anti-korupsi dalam mencapai sasaran yang sudah ditetapkan.Selanjutnya dapat digunakan sebagai baseline dalam menyempurnakan silabus dan kerangka ajar matakuliah Anti-korupsi, serta menstimulasi para dosen untuk meningkatkan perannya dalam menanamkan pengaruh positif bagi intensi perilaku anti-korupsi mahasiswa. Lebih jauh hasil penelitian ini bisa menjadi perhatian bagi penyelenggara matakuliah di Indonesia dan bahkan mungkin, didunia. Faktor-faktor yang mempengaruhi intensi perilaku anti korupsi

Berdasarkan Theory of Planned Behavior , terdapat tiga komponen yang diasumsikan mempengaruhi intensi perilaku anti korupsi yaitu;

(6)

6

1. Sikap terhadap korupsi dan anti-korupsi (ATB)

2. Norma subjektif terhadap korupsi dan anti-korupsi (SN) 3. Kontrol perilaku anti-korupsi (PBC)

Sikap merupakan kepercayaan individu mengenai konsekuensi positif atau negatif dari perilaku anti-korupsi. Norma subjektif merupakan faktor eksternal, yaitu norma sosial dan harapan masyarakat terhadap perilaku anti-korupsi, yang akan menjadi pertimbangan dan memotiiivasi individu untuk berperilaku anti-korupsi. Kontrol perilaku mencakup dua hal : (a) seberapa besar kontrol individu terhadap perilaku anti-korupsinya, dan (b) seberapa besar keyakinan individu untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku anti-korupsi, menimbang dukungan dari faktor-faktor tersebut (Francis, et al (2004). Maka salah satu ciri individu yang berintensi melakukan perilaku anti-korupsi adalah tingginya kontrol terhadap perilaku anti-korupsi serta kepercayaan yang besar untuk melakukan perilaku anti-korupsi.

Francis, et al (2004) menambahkan bahwa kontrol perilaku yang dirasakan seseorang ditentukan oleh kekuatan faktor eksternal (situasional) serta faktor internal untuk menghambat atau mendorong terwujudnya perilaku tersebut. Faktor eksternal yang kuat dapat mendorong atau menurunkan terwujudnya perilaku. Faktor eksternal berupa dukungan dari lingkungan dalam melakukan perilaku anti-korupsi, adanya kesamaan sudut pandang mengenai korupsi dan anti-korupsi serta adanya hukum yang tegas dapat mendorong terwujudnya perilaku anti-korupsi dengan lebih mudah. Faktor internal berupa motivasi yang kuat untuk melakukan perilaku anti-korupsi dapat menjadi faktor penguat munculnya perilaku anti-korupsi.

Dalam penelitian ini, hasil pengukuran pengaruh ketiga komponen dari Theory of Planned Behavior tersebut dipercayai akan mempengaruhi perilaku anti-korupsi pada mahasiswa peserta matakuliah Anti-korupsi. Untuk selanjutnya maka akan dapat diprediksi kecenderungan perilaku yang akan dimunculkan. Dan jika perilaku konkrit anti-korupsi dapat dimunculkan secara konstan dan konsisten, maka dapat mengendap kepada pembentukan moral anti-korupsi pada mahasiswa.

Responden penelitian

Responden penelitian adalah mahasiswa peserta matakuliah Anti-korupsi Universitas Paramadina berjumlah 138 orang. Teknik sampling yang dipakai adalah purposive sampling, karena pemilihan responden penelitian didasarkan atas kriteria tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan kriteria yang memenuhi tujuan-tujuan yang telah ditetapkan (Azwar 2005), yaitu mahasiswa semua program studi yang mengambil matakuliah Anti-korupsi pada Semester Pendek TA 2008/2009. Penelitian dilakukan pada bulan April 2010, satu tahun setelah mahasiswa menyelesaikan seluruh materi perkuliahan, karena memang yang ingin diukur adalah kedalaman hasil dari matakuliah dalam rentang waktu

(7)

7 cukup lama setelah diberikan.. Instrumen pengumpulan data adalah kuesioner terbuka terdiri dari 30 item yang diadopsi dari yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan acuan metodologi penyusunan kuesioner teori Planned Behavior yang dikemukakan oleh Ajzein (2006). Responden diminta untuk menilai suatu konsep atau pernyataan dalam suatu skala bipolar atau skala yang berlawanan seperti baik-buruk, mudah-sukar, setuju-tidak setuju dan lain sebagainya dengan rentang nilai 1 – 7.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasil analisis regresi membuktikan bahwa dari tiga dimensi Theory of Planned Behavior, dimensi Attitude toward behavior (ATB) dan Subjective norm (SN) terbukti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap intensi perilaku anti korupsi. Namun demikian yang menarik adalah bahwa dimensi ketiga yaitu Perceived behavioral control (PBC) ternyata hanya berpengaruh sangat rendah terhadap intensi perilaku anti-korupsi.

Walaupun hanya dimensi ATB dan SN yang terbukti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap intensi perilaku anti korupsi, tetapi hal tersebut tetap sejalan dengan konsep Theory of Planned Behavior karena perilaku anti-korupsi tetap dapat diprediksi kemunculannya, karena tingginya besaran kontribusi efektif dari kedua dimensi tersebut yaitu attitude toward behavior sebesar 40.2% dan subjective norm sebesar 52.1%.

Pemaknaan terhadap penemuan adanya dinamika kedua dimensi ATB dan SN tersebut adalah sebagai berikut :

a. Individu percaya bahwa perilaku anti-korupsi memiliki konsekuensi positif sehingga memunculkan perasaan positif (behavioral beliefs), dan kemudian memunculkan sikap yang positif terhadap perilaku anti-korupsi (attitude toward behavior). Kernsmith (2005) menyatakan bahwa sikap yang positif terhadap suatu perilaku tertentu, akan memunculkan keputusan berperilaku yang sesuai dengan sikapnya tersebut. Dengan adanya sikap positif dari individu terhadap perilaku anti-korupsi, maka kecenderungannya untuk melakukan perilaku anti-korupsi akan semakin tinggi. Daftar pustaka behavioral beliefs berupa perasaan attitude toward behavior berupa sikap positif Kecenderungan tinggi berperilaku anti-korupsi

Gambar 2 Pengaruh ATB terhadap intensi perilaku anti-korupsi

b. Individu meyakini bahwa perilaku anti-korupsi merupakan perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai dan norma lingkungan (normative beliefs), dan juga meyakini bahwa setiap orang setuju dengan perilaku

(8)

anti-8

korupsi tersebut sehingga memunculkan persepsi dan motivasi eksternal untuk melakukan perilaku tersebut (subjective norm). Subjective norm (SN) lebih menitikberatkan pada kontrol dan tekanan sosial, dengan kata lain faktor eksternal dan lingkungan luar diri individu mampu menyebabkan seseorang melakukan sesuatu (Ajzein 1988). Semakin suatu perilaku tersebut sejalan dengan norma sosial dan semakin banyak orang setuju dengan perilaku tersebut, maka tekanan sosial untuk memunculkan perilaku tersebut akan semakin besar. Dengan adanya persepsi dan motivasi individu bahwa sikapnya didukung oleh lingkungan dan norma sosial, maka kecenderungan untuk memunculkan perilaku anti-korupsi akan semakin tinggi.

Gambar 3. Pengaruh SN terhadap intensi perilaku anti-korupsi

Dinamika attitude toward behavior dan subjective norm sebagaimana dijelaskan diatas secara bersamaan mempengaruhi intensi perilaku anti-korupsi. Sikap positif terhadap perilaku anti-korupsi (attitude toward behavior) yang muncul pada individu/responden dipengaruhi oleh normative beliefs berupa proses pembelajaran matakuliah anti-korupsi. Karena pada hakekatnya, matakuliah tersebut disusun bukan hanya menyasar pada ranah kognitif semata yaitu pemahaman teoritis mengenai korupsi, tetapi juga mengarah pada pembentukan sikap positif mahasiswa/peserta didik terhadap perilaku anti-korupsi (attitude toward behavior). Hal ini diperkuat dengan metode belajar yang bervariasi yaitu pembelajaran di dalam kelas, studium generale, investigative report, dan Visiting Study ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) yang tujuannya adalah menanamkan sikap positif terhadap perilaku anti-korupsi.

Subjective norm terbentuk karena adanya pengaruh dari proses pembelajaran yang mendorong mahasiswa untuk berpartisipasi aktif dalam perilaku anti-korupsi. Proses pembelajaran melalui metode pembelajaran yang bervariasi tersebut ditujukan untuk mencetak pribadi yang anti-korupsi, dimana hal tersebut dapat diasumsikan sebagai norma yang harus dipatuhi dan dilakukan oleh peserta didik (normative beliefs). Dengan demikian, persepsi maupun perilaku yang mencerminkan anti-korupsi, dianggap sejalan dengan norma tersebut yang dapat mendorong munculnya persepsi dan motivasi eksternal (subjective norm) untuk memunculkan

Normative beliefs berupa persepsi bahwa perilaku antikorupsi sejalan dengan norma masyarakat Subjective norm berupa persepsi dan motivasi eksternaluntuk melakukan perilaku antikorupsi Intensi perilaku anti-korupsi

(9)

9 kecenderungan perilaku anti-korupsi pada responden penelitian sebagai peserta didik matakuliah Anti-korupsi.

Dimensi PBC menunjuk pada keyakinan individu terkait dengan kesanggupan atau kemampuan dan ketidakmampuan seorang individu untuk memunculkan perilaku tertentu. Semakin besar keyakinan individu untuk mampu melakukan suatu perilaku, dan didukung dengan adanya kesempatan, maka kecenderungan perilaku tersebut dimunculkan akan semakin besar (Ajzein, 1988). Menurut Francis, Eccles dan Johnston (dalam Putri, 2008) PBC dipengaruhi oleh control beliefs dan influence to behavior. Control beliefs adalah keyakinan dalam diri individu apakah perilaku tersebut mudah untuk dilakukan atau sulit untuk dilakukan. Sedangkan influence to behavior adalah sesuatu yang mempengaruhi individu apakah perilaku tersebut dapat dilakukan atau tidak.

Seorang mahasiswa matakuliah Anti-korupsi sebelum memunculkan perilaku antikorupsi, ia akan berpikir apakah perilaku antikorupsi tersebut mudah atau sulit untuk dilakukan. Selain itu, ia juga berpikir apakah perilaku antikorupsi tersebut dapat dilakukan atau tidak. Jika perilaku antikorupsi tersebut mudah dan dapat dilakukan, maka kemungkinan dimunculkan perilaku tersebut sangatlah tinggi. Sebaliknya jika perilaku tersebut sulit atau tidak dapat dilakukan maka kecenderungan untuk dimunculkan sangat rendah.

Hasil penelitian yang menemukan bahwa PBC berpengaruh sangat rendah terhadap intensi perilaku anti-korupsi, menunjukkan bahwa perilaku antikorupsi sulit untuk dilakukan dalam kehidupan nyata walaupun secara kognitif mereka sadar bahwa perilaku antikorupsi bernilai positif dan diharapkan secara norma sosial. Kecenderungan memunculkan perilaku antikorupsi -walaupun sudah memiliki pemahaman yang benar tentang matakuliah antikorupsi- ternyatarendah.

Wade dan Tavris (2008) mengemukakan bahwa control beliefs dan influence to behavior berada pada ranah kognitif dan afektif dalam domain sikap yang hanya berfungsi sebagai prediktor dalam memunculkan perilaku tertentu. Karena masih berada pada domain sikap, maka kemunculannya dalam bentuk perilaku tidak dapat diprediksi seratus persen, karena masih ada kemungkinan untuk tidak terwujud dalam bentuk perilaku, atau justru berkebalikan dengan perilaku yang dimunculkan. Berdasarkan pernyataan tersebut, walaupun responden penelitian (mahasiswa peserta matakuliah Anti-korupsi) sudah memiliki pemahaman kognitif yang baik tentang perilaku antikorupsi, dan memiliki sikap positif terhadap perilaku antikorupsi, tetapi ternyata hal tersebut belum tentu menghasilkan perilaku antikorupsi. Mengapa ? Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh demikian parahnya realitas yang mereka saksikan saat ini dimana tindak korupsi, baik grand corruption maupun petty corruption sangat intens terjadi dan menyebar di hampir seluruh sektor. Kondisi ini memunculkan keraguan pada diri mereka, apakah saat benar-benar berada didalam

(10)

10

kehidupan sosial nyata sekarang ataupun kelak, mereka bisa menghindari atau bertahan untuk tidak ikut melakukan tindak korupsi walau sekecil apapun.

Persoalannya bukan pada keengganan untuk bertindak anti-korupsi ataupun toleransi yang tinggi terhadap korupsi, namun lebih kepada kekhawatiran akan kerasnya pertempuran dengan relitas korupsi di luar.

Apalagi kalau tindak korupsi yang ada di semua lini kehidupan itu sampai dianggap lazim dan melahirkan toleransi yang tinggi terhadap perilaku korupsi sehingga walaupun secara kognitif mahasiswa tersebut paham tentang korupsi dan secara afektif membenci koruptor, tetapi hal-hal yang disebutkan tadi berimplikasi pada keengganan mereka untuk melakukan perilaku antikorupsi.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dari ketiga dimensi Theory of Planned Behavior, dimensi Attitude toward behavior (ATB) dan Subjective norm (SN) terbukti memiliki pengaruh yang signifikan, sedangkan dimensi Perceived behavioral control (PBC) hanya memiliki pengaruh rendah justru tidak memiliki pengaruh terhadap intensi perilaku anti-korupsi dari responden.

Dinamika dari dimensi ATB dan SN terhadap intensi perilaku anti-korupsi adalah keyakinan responden bahwa perilaku anti-anti-korupsi memiliki konsekuensi positif telah memunculkan perasaan positif (behavioral beliefs), yang pada gilirannya kemudian memunculkan sikap yang positif terhadap perilaku anti-korupsi (Attitude toward Behavior). Disisi lain, dukungan lingkungan sosial terhadap perilaku anti-korupsi berhasil memunculkan persepsi dan motivasi positif (subjective norms), yang pada gilirannya juga memunculkan sikap yang positif terhadap perilaku anti-korupsi. Masing-masing faktor tersebut sama-sama melahirkan intensi positif yang tinggi pada diri responden, dan ini dapat memprediksi kecenderungan mereka untuk melakukan perilaku anti-korupsi semakin tinggi.

Saran

Pada dasarnya matakuliah Anti-korupsi telah memfasilitasi keberadaan ketiga dimensi yang mempengaruhi intensi perilaku anti-korupsi, yaitu Attitude toward behavour (ATB), Subjective norms (SN) maupun Perceived behaviour control (PBC). Seluruh aspek matakuliah (materi kuliah) baik pengetahuan kognitif (teori/pengetahuan) maupun aktifitas-aktifitas pembelajarannya (aktifitas-aktifitas penunjangnya pada hakekatnya) bertujuan :

1. Memberikan pemahaman mengenai korupsi dan dampak buruknya – dari hasil penelitian hal ini cukup berhasil dalam membentuk persepsi dan sikap positif mahasiswa terhadap anti-korupsi (tingginya behavioral belief yang menyebabkan tingginya ATB)

(11)

11 2. Memberikan gambaran mengenai norma-norma sosial yang anti

terhadap korupsi – dari hasil penelitian hal ini cukup berhasil dalam mendorong semangat mahasiswa untuk bersikap anti-korupsi (tingginya normative norm yang menyebabkan tingginya SN)

3. Memberikan contoh-contoh kasus korupsi nyata yang sedang ataupun cenderung terjadi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara agar mahasiswa mampu mencermati perilaku korupsi yang merajalela – namun dari hasil penelitian hal ini nampaknya justru berdampak tidak terduga yaitu mengakibatkan kurang percaya diri mahasiswa akan kemampuannya berperilaku anti-korupsi dalam kehidupan nyata diluar ruang kelas (rendahnya belief control yang berpengaruh terhadap rendahnya Perceived behavioral control )

Dengan demikian ditemukan bahwa matakuliah Anti-korupsi ternyata menghasilkan tingkat pengaruh yang berbeda terhadap ketiga dimensi dalam Theory Planned Behaviour yang digunakan untuk mengukur intensi perilaku korupsi dari mahasiswa setelah (satu tahun) mengikuti matakuliah Anti-korupsi. Meskipin tingginya nilai dimensi ATB dan SN saja cukup mampu menghasilkan intensi perilaku anti-korupsi yang positif pada diri mahasiswa, namun idealnya adalah ketiga dimensi mendapatkan nilai sama tinggi, agar intensi perilaku anti-korupsi semakin kuat dan terjamin keberlangsungannya.

Oleh karena itu saran difokuskan kepada penyempurnaan matakuliah Anti-korupsi Universitas Paramadina agar mampu menghasilkan pengaruh yang sama tinggi terhadap ketiga dimensi dalam pembentukan intensi positif perilakuantikorupsi mahasiswa peserta, khususnya dengan meningkatkan pengaruh terhadap dimensi PBC yang masih rendah. Dimensi PBC yang tinggi nantinya bila bersinergi dengan kedua dimensi yang lain (ATB dan SN) akan menghasilkan peningkatan intensi perilaku anti-korupsi yang sangat positif , karena dimensi yang berada didalam diri mahasiswa akan benar-benar diwujudkan dalam perilaku dan komitmen anti-korupsi yang tinggi.

Secara detail saran diatas diuraikan sebagai berikut :

1) Bagi penyempurnaan silabus matakuliah Anti-korupsi : untuk merancang materi dan metode pembelajaran yang mampu meningkatkan motivasi dan juga strategi atau tips yang bisa memberikan kepercayaan diri kepada mahasiswa untuk tetap berperilaku anti-korupsi di dalam lingkungan sosial dmana budaya korupsi masih kental, masih rawannya celah korupsi dalam sistem, inkonsistensi sistem hukum, dan masih keroposnya mental dan perilaku korupsi individu-individu dari strata sosial atas hingga bawah.

2) Bagi pengajar matakuliah Anti-korupsi : untuk lebih mengembangkan metode penyampaian materi dan mendorong soft skill mahasiswa khususnya memotivasi mereka untuk tidak menyerah pada realitas

(12)

12

tingginya tingkat korupsi diluar. Perlu ditekankan bahwa pengajar, selain berperan sebagai fasilitator, juga harus berperan sebagai motivator bagi mahasiswa.

3) Bagi mahasiswa peserta matakuliah Anti-korupsi : untuk lebih meyakini (memahami) bahwa dengan mengikuti matakuliah ini mereka sudah memiliki modal sosial yang besar untuk menjadi agent of change bagi masyarakat, dan itu harus dimulai dari diri mereka sendiri yaitu sikap positif, komitmen yang kuat, dan konsisten dalam mewujudkan perilaku anti-korupsi.

Dengan melaksanakan saran-saran diatas, diharapkan matakuliah Anti-korupsi akan lebih sempurna kontribusinya dalam membentuk pribadi anti-korupsi mahasiswa Universitas Paramadina maupun di universitas-universitas lain di Indonesia.

__________ Daftar Pustaka

Ajzein, I., (2006) The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and

Human Decision Process. University of Massachusetts at Amberst

Academic Press Inc

Ajzein, I., (1988) Attitudes, Personality, and Behavior. Chicago: Dorsey Ajzein, I. (2006). Theory of Planned Behavior. California : Allyn and Bacon

Anastasia, A. & Urbina, S., (1997). Psychological Testing. 7th ed. USA:

Hall Inc

Azwar, S., (2000). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Azwar, S. (2005). Validitas dan Reliabilitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Creswell, J. W., (2005). Educational Research, Planning, Conducting, and

Evaluating Qualitative and Quantitative Research. 2nd ed. New Jersey:

Pearson Education Inc.

Field, A., (2005). Discovering Statistic Using SPSS. 2nd ed. London: Sage

Fishbein, M & Ajzein, I., (1975). Belief, Attitude, Intention and Behavior: an

Introduction to Theory and Research. Sydney: Addison-Wesley Publishing

(13)

13 Francis, et. al. (2004). Constructing questionnaires based on the theory of

planned behavior: manual for researchers. United Kingdom

Funk, et. al. (1999). The attitudes Toward violence scale: A measure for adolescents. Journal of interpersonal violence, vol. 14 no. 11

KPK RI, Mengenali dan Memberantas Korupsi, Jakarta, tidak tercantum tahun terbit

Kernsmith, P. (2005). Treating perpetrators of domestic violence: gender differences in the applicability of the theory of planned behavior. Sex roles:

A Journal of Research Vol. VI, no.4.

Putri, N. A., (2008). Pengaruh tiga determinan intensi terhadap intensi untuk melakukan bullying pada siswa SMP ( pendekatan teori Planned Behavior). Skripsi. Universitas Paramadina: Tidak diterbitkan

Soewandar, A. W., (2009). Pengaruh Attitude Toward Behavior, Subjective Norm dan Perceived Behavioral Control Terhadap Intensi Perilaku Homoseksual

Siswa SMA Homogen. Skripsi. Universitas Paramadina: Tidak Diterbitkan Wade, C & Tavris, C., (2008). Psikologi, Edisi kesembilan, Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga

Winarsunu, T., (2007). Statistik: dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan. Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah

Wulandari, I. (2007). Hubungan antara pengetahuan gender dan pengetahuan kekerasan terhadap perempuan dengan intensi kekerasan terhadap perempuan pada remaja laki-laki. Skripsi: Universitas Gadjah Mada (tidak diterbitkan)

Gambar

Gambar 1. Theory of Planned Behavior
Gambar 3. Pengaruh SN terhadap intensi perilaku anti-korupsi  Dinamika  attitude toward behavior dan subjective norm  sebagaimana dijelaskan diatas secara bersamaan mempengaruhi intensi  perilaku anti-korupsi

Referensi

Dokumen terkait

Bentuk lingual latah berupa kata pada perilaku latah koprolalia adalah perilaku latah ini biasanya mengucapkan kata-kata berupa alat kelamin baik laki-laki

Kecamatan Rajapolah telah mengacu kepada kepuasaan pasien hal ini dapat dilihat bahwa Puskesmas Kecamatan Rajapolah cukup memiliki gedung yang luas, ruang tunggu

Menurut suratkabar Kaoem Kita, perpecahan dalam organisasi pergerakan harus dipandang oleh pemimpin- pemimpin politik kaum kita sebagai usaha yang dilakukan oleh

Kim (32) dan Huang (33) mengamati apoptosis pada kanker servik yang diberi perlakuan dengan radioterapi dan memperoleh bahwa indeks apoptosis spontan yang rendah mencerminkan

Menurut Hurlock (2005), pengetahuan yang kurang baik terhadap menstruasi yang selalu kuat pada remaja putri akan terus berlangsung sepanjang hidup, akibatnya,

Guna mengantisipasi kelemahan-kele- mahan penelitian sebelumnya tentang pe- ran hutan dalam mengatur tata air pada DAS, penelitian yang bertujuan mengkaji peranan penutupan

Penerangan Jalan Lingkungan yang selanjutnya disingkat PJL adalah penggunaan tenaga listrik secara khusus dipasang di ruang terbuka atau di luar bangunan guna

Porfirin adalah tetrapirol siklik, yang terdiri dari empat nitrogen yang mengikat cincin pirol yang dihubungkan dengan empat rantai metana (Champbell et al.. Pada beberapa