BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecemasan 1. Pengertian
Kecemasan adalah keadaan dimana seseorang mengalami perasaan gelisah atau cemas dan aktivitas sistem saraf otonom dalam berespon terhadap ancaman yang tidak jelas dan tidak spesifik (Carpenito, 1999; Kaplan & Sadock, 1999). Menurut Nettina (2001), kecemasan adalah perasaan kekhawatiran subyektif dan ketegangan yang dimanifestasikan untuk tingkah laku psikologis dan berbagai pola perilaku.
2. Hubungan Dismenorhea dengan Kecemasan
Perubahan fisik pada masa remaja dapat mempengaruhi keadaan psikologi remaja (Mighwar, 2006). Salah satu peristiwa yang dapat berpengaruh terhadap keadaan psikologis pada remaja putri adalah pada saat menstruasi (Siswadi, 2006). Bagi sebagian besar remaja putri, menstruasi akan menjadi masalah yang serius bila diserta dengan dismenorhea (Hurlock, 2005). Dampak dari dismenorhea tersebut dapat menimbulkan reaksi sosial yang kurang baik yang dapat menyebabkan kecemasan, dan sebaliknya, secara psikologis, kecemasan juga dapat menunjang terjadinya dismenorhea (Smeltzer, 2001).
Pada gadis remaja yang secara emosional tidak stabil, apalagi jika mereka tidak mendapat penerangan yang baik tentang dismenorhea, maka
mudah timbul dismenorhea (Wiknjosastro, 2002). Para remaja putri akan cemas apabila dismenorhea yang terjadi selama menstruasi merupakan indikasi ketidaknormalan (Hurlock, 2005).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Marry tahun 2007 di SMK PPNI Semarang, terdapat 38,8% siswi yang mengalami kecemasan pada saat dismenorhea. Selain itu, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Gunawan pada tahun 2002 pada siswi SMP di Jakarta menunjukkan 76,6% siswi yang mengalami kecemasan pada saat dismenorhea.
3. Penyebab Kecemasan Pada Remaja
Menurut Mighwar (2006), secara psikologis, kecemasan tersebut merupakan pengembangan-pengembangan negatif berbagai masalah sebelumnya yang semakin menguat yang diakibatkan oleh tiga hal, yaitu : a. Kurangnya pengetahuan sehingga kurang mampu menyesuaikan diri
dengan pertumbuhan dan perkembangannya serta tidak mampu menerima apa yang dialaminya.
b. Kurangnya dukungan dari orangtua, teman sebaya atau lingkungan masyarakat sekitar.
c. Tidak mampu menyesuaikan diri dengan berbagai tekanan yang ada. 4. Faktor yang Mempengaruhi Respon Kecemasan
Menurut Stuart dan Sundeen (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah :
a. Usia
Usia mempengaruhi psikologi seseorang, semakin tinggi usia semakin baik tingkat kematangan emosi seseorang serta kemampuan dalam menghadapi berbagai persoalan (Stuart & Sundeen, 2000).
b. Status kesehatan jiwa dan fisik
Kelelahan fisik dan penyakit dapat menurunkan mekanisme pertahanan alami seseorang (Stuart & Sundeen, 2000).
c. Nilai-nilai budaya dan spiritual
Budaya dan spiritual mempengaruhi cara pemikiran seseorang. Religiusitas yang tinggi menjadikan seseorang berpandangan positif atas masalah yang dihadapi (Stuart & Sundeen, 2000).
d. Pendidikan
Tingkat pendidikan rendah pada seseorang akan menyebabkan orang tersebut mudah mengalami kecemasan, semakin tingkat pendidikannya tinggi akan berpengaruh terhadap kemampuan berfikir (Stuart & Sundeen, 2000).
e. Respon koping
Mekanisme koping digunakan seseorang saat mengalami kecemasan. Ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara konstruktif sebagai penyebab tersedianya perilaku patologis (Stuart & Sundeen, 2000). f. Dukungan sosial
Dukungan sosial dan lingkungan sebagai sumber koping, dimana kehadiran orang lain dapat membantu seseorang mengurangi
kecemasan dan lingkungan mempengaruhi area berfikir seseorang (Stuart & Sundeen, 2000).
g. Tahap perkembangan
Pada tingkat perkembangan tertentu terdapat jumlah dan intensitas stresor yang berbeda sehingga resiko terjadinya stres pada tiap perkembangan berbeda. Pada tingkat perkembangan individu membentuk kemampuan adaptasi yang semakin baik terhadap stresor (Stuart & Sundeen, 2000).
h. Pengalaman masa lalu
Pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menghadapi stresor yang sama (Stuart & Sundeen, 2000). i. Pengetahuan
Ketidaktahuan dapat menyebabkan kecemasan dan pengetahuan dapat digunakan untuk mengatasi masalah (Stuart & Sundeen, 2000).
5. Tingkat Kecemasan
Tingkat kecemasan menurut Stuart dan Sundeen (2000), dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu :
a. Cemas ringan (mild anxiety)
Cemas ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kemampuan melihat dan mendengar menjadi meningkat. Cemas ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan kreativitas (Stuart & Sundeen, 2000).
b. Cemas sedang (moderate anxiety)
Cemas sedang memungkinkan seseorang berfokus pada masalah yang sedang dihadapi dan mengesampingkan yang lain sehingga menyebabkan lapang persepsi menyempit dan kemampuan melihat dan mendengarnya menurun. Beberapa kemampuan menjadi tertutup tetapi masih bisa dilakukan dengan petunjuk (Stuart & Sundeen, 2000). c. Cemas berat
Cemas berat sangat mempengaruhi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung berfokus pada hal-hal yang kecil dan tidak dapat berfikir tentang hal lain. Semua perilaku yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi rasa cemas dan perlu arahan untuk befokus pada area lain (Stuart & Sundeen, 2000).
d. Panik
Pada tingkat ini lahan persepsi sudah tetrtutup dan orang bersangkutan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun sudah diberi pengarahan. Terjadi peningkatan aktivitas motorik, penurunan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, gangguan persepsi, kehilangan kemampuan berfikir secara rasional. Panik merupakan pengalaman yang menakutkan dan bisa melumpuhkan seseorang (Stuart & Sundeen, 2000).
6. Gejala klinis kecemasan
Gejala klinis kecemasan baik yang bersifat akut maupun kronik (menahun) merupakan komponen utama bagi hampir semua gangguan kejiwaan atau psychiatric disorder. Orang dengan tipe kepribadian pencemas tak selamanya mengeluh hal-hal yang sifatnya psikis tapi sering juga disertai dengan keluhan-keluhan fisik (somatik) dan juga tumpang tindih dengan ciri-ciri kepribadian depresif, dengan kata lain batasnya sering kali tidak jelas (Hawari, 2001).
Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami gangguan kecemasan antara lain : cemas, khawatir, firasat buruk, takut, banyak pikiran, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut, takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang, gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan, gangguan konsentrasi dan daya ingat, keluhan-keluhan somatik, miaslnya rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging (tinitus), jantung berdebar-debar, sesak napas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, dan sakit kepala (Hawari, 2001).
7. Alat Ukur Kecemasan
Menurut Nursalam (2003) Alat ukur yang dipakai untuk mengetahui tingkat kecemasan adalah menggunakan Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) yang sudah dikembangkan oleh kelompok psikiatri Biologi Jakarta (KPBJ) dalam bentuk Anxiety Analog Scale (AAS).
Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing dirinci lebih spesifik. Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka (skor). Skor dari ke 14 kelompok gejala tersebut, kemudian dijumlahkan, kemudian skor diinterpretasikan sesuai derajat kecemasan (Nursalam, 2003).
B. Pengetahuan 1. Pengertian
Menurut Notoatmojo (2003) pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmojo, 2003).
2. Pengetahuan Remaja Tentang Dismenorhea
Menurut Rumini (2004), sejak anak memasuki masa remaja, cara berfikirnya disebut berfikir operasional formal. Dalam kenyataannya tidak semua remaja dapat berfikir formal dengan segera dan secara sempurna. Meskipun remaja tersebut normal, tetapi jika tidak pernah berada di lingkungan yang merangsang cara-cara berfikir, maka tidak akan belajar berbagai pengetahuan (Rumini, 2004). Pendidikan kesehatan reproduksi adalah sesuatu yang penting bagi remaja. Namun dalan penyampaiannya harus mendapat perhatian yang serius. Jika tidak, maka hal itu akan berubah menjadi sekedar permainan saja (soetjiningsih, 2004). Kedua
orangtua harus selalu mempelajari perilaku remaja pada fase ini dengan memperhatikan bahwa setiap usia membutuhkan penjelasan yang sesuai dengan usianya (Ridha, 2006).
Selama awal periode menstruasi, para remaja sering mengalami dismenorhea, tetapi jarang ada anak yang mengerti tentang dasar perubahan yang terjadi pada dirinya tersebut (Hurlock, 2005). Pengetahuan remaja tentang dismenorhea sangat mempengaruhi sikap dan perilaku dalam menghadapi dismenorhea (Mighwar, 2006). Apabila remaja tidak diberitahu atau secara psikologis tidak dipersiapkan pengetahuan tentang dismenorhea, maka proses perubahan tersebut dapat menjadi pengalaman yang traumatis (Hurlock, 2005).
Menurut Hurlock (2005), pengetahuan yang kurang baik terhadap menstruasi yang selalu kuat pada remaja putri akan terus berlangsung sepanjang hidup, akibatnya, sikap demikian menyebabkan remaja semakin sedih pada saat periode menstruasi yang didasarkan pada ketidaknyamanan yang menyertai menstruasi. Bila orangtua atau guru kurang memberikan pengertian dan simpati pada remaja tersebut, maka akibat psikologis yang ditimbulkan oleh dismenorhea tersebut semakin besar (Mighwar, 2006). Pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan tentang dismenorhea (Ridha, 2006).
Hasil-hasil penelitian mengenai pengetahuan remaja tentang dismenorhea di Indonesia masih sangat terbatas. Namun beberapa
penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan remaja tentang dismenorhea masih rendah. Marry (2007) mendapatkan bahwa pada remaja putri di SMK PPNI Semarang terdapat 52,3% remaja yang masih memiliki tingkat pengetahuan yang kurang sampai sedang tentang dismenorhea.
3. Hal yang Harus Diperhatikan Dalam Memberikan Pendidikan Kepada Remaja
Menurut Mighwar (2006), dalam perkembangan tingkat pengetahuan remaja terdapat tiga hal penting yang perlu diperhatikan oleh pendidik, yaitu :
a. Masa remaja merupakan masa yang kritis bagi pembentukan kepribadiannya, sehingga perlu diberikan pengetahuan yang luas. b. Penerimaan dan penghargaan yang baik dari orang-orang di sekitar
remaja sangat mempengaruhi kesehatan pribadi, citra diri positif dan rasa percaya diri yang kemudian menimbulkan persepsi positif.
c. Timbulnya tingkat pengetahuan remaja dapat diperoleh dari kemampuan mengenal diri sendiri dan usaha memperoleh citra diri yang stabil.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Sukmadinata (2003), pengetahuan yang dimiliki seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi pengetahuan meliputi faktor jasmani dan rohani. Remaja yang mempunyai tubuh yang sehat, maka akan mempunyai
semangat untuk belajar, sehingga akan aktif untuk mencari informasi untuk menambah pengetahuan. Selain itu faktor rohani meliputi kesehatan psikis, intelektual dan psikososial. Keadaan psikis remaja yang stabil dan kepribadian yang kuat akan mudah melakukan penyesuaian ketika mendapatkan bimbingan dan pelatihan yang cenderung ke arah positif (Rumini, 2004). Bagi remaja yang mengalami perkembangan yang positif dapat dengan mudah memahami dan menerima perubahan. Pandangan yang positif tersebut akan menunjang kesehatan mental para remaja (Rumini, 2004).
Faktor eksternal yang mempengaruhi tingkat pengetahuan adalah pendidikan, paparan media massa, ekonomi, hubungan sosial, pengalaman (Sukmadinata, 2003). Faktor yang pertama adalah tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan berpengaruh dalam memberi respon yang datang dari luar (Sukmadinata, 2003). Supaya tingkat pengetahuan remaja tentang dismenorhea cukup, maka perlu adanya pelajaran tentang kesehatan reproduksi yang membahas tentang menstruasi dan gangguannya di sekolah (Mighwar, 2006).
Faktor yang kedua adalah paparan media massa. Para remaja putri dapat memperoleh berbagai informasi mengenai dismenorhea melalui berbagai media, baik media cetak maupun elektronik, seperti majalah, koran, televisi, radio atau pamflet. Sehingga mereka yang lebih sering terpapar media massa akan memperoleh informasi yang lebih banyak
dibandingkan dengan yang tidak pernah terpapar informasi dari berbagai media (Sukmadinata, 2003).
Faktor yang ketiga adalah ekonomi. Dalam memenuhi kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder, para remaja yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi baik, akan lebih mudah tercukupi dibandingkan yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah. Hal ini akan mempengaruhi kebutuhan akan informasi yang termasuk kebutuhan sekunder (Sukmadinata, 2003).
Faktor yang keempat adalah hubungan sosial (Sukmadinata, 2003). Pengetahuan yang telah dimiliki oleh para remaja akan dimantapkan menjadi dasar memandang diri dan lingkungannya (Rumini, 2004). Untuk pemantapan itu sedikit banyak dipengaruhi keadaan lingkungan maupun pandangannya terhadap dismenorhea dipengaruhi oleh kuat atau lemahnya pribadi, citra diri dan rasa percaya diri (Rumini, 2004).
Faktor kelima adalah pengalaman (Sukmadinata, 2003). Pengetahuan remaja putri tentang dismenorhea juga bisa diperoleh dari lingkungan sekitar, misalnya sering mengikuti kegiatan-kegiatan yang mendidik seperti seminar (Sukmadinata, 2003). Selain dari kegiatan-kegiatan yang mendidik, pengetahuan tentang dismenorhea juga dapat diperoleh berdasarkan pengalaman khusus dari orang-orang tertentu, seperti ibu, kakak, teman atau guru, sehingga akan banyak informasi yang diperoleh untuk meningkatkan pengetahuan (Markam, 2005).
C. Dismenorhea 1. Pengertian
Dismenorhea adalah nyeri pada saat menstruasi, terutama terjadi pada perut bagian bawah dan punggung serta biasanya terasa seperti kram (Varney, 2006). Menurut Mansjoer (2001), dismenorhea adalah nyeri haid menjelang atau selama haid, sampai membuat wanita tersebut tidak dapat bekerja dan harus tidur. Dismenorhea adalah nyeri yang timbul tidak lama sebelum atau bersamaan dengan mulainya haid dan berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari, sifatnya berupa mules, ngilu atau rasa ditusuk-tusuk (Sjamsuhidajat, 2004).
2. Jenis-Jenis Dismenorhea
Menurut Manuaba (2001), dismenorhea dibagi menjadi primer dan sekunder.
a. Dismenorhea Primer
Dismenorhea primer adalah nyeri haid yang dijumpai tanpa kelainan pada alat-alat genital yang nyata (Bobak, 2004). Dismenorhea primer terjadi beberapa waktu setelah menarche atau segera setelahnya (Varney, 2006). Menurut Wiknjosastro (2007), rasa nyeri timbul tidak lama sebelumnya atau bersama-sama dengan permulaan haid dan berlangsung untuk beberapa jam, walaupun pada beberapa kasus dapat berlangsung beberapa hari, sifat nyeri adalah kejang berjangkit-jangkit, biasanya terbatas pada perut bawah, tetapi dapat menyebar ke daerah pinggang dan paha.
b. Dismenorhea sekunder
Pada dismenorhea sekunder, terdapat patologis pelvis, seperti endometriosis, tumor atau penyakit inflamatori pelvik (Wiknjosastro, 2007). Pasien dismenorhea sekunder sering mengalami nyeri yang terjadi beberapa hari sebelum haid, disertai ovulasi dan kadangkala pada saat melakukan hubungan seksual (Smeltzer, 2002).
3. Etiologi
Menurut Smeltzer (2002), dismenorhea primer diduga sebagai akibat dari pembentukan prostaglandin yang berlebihan, yang menyebabkan uterus untuk berkontraksi secara berlebihan dan juga mengakibatkan vasospasme anteriolar, faktor-faktor psikologis seperti ansietas dan ketegangan juga dapat menunjang dismenorhea.
Dismenorhea sekunder terjadi dikarenakan adanya masalah fisik yang mendasari, seperti penyakit inflamatori pelvik, adenomyosis, fibroid, stenosis atau striktur serviks, adanya AKDR, tumor ovarium, polip endometrium (Anurogo, 2008).
4. Manifestasi Klinis
Gejala utama dismenorhea primer adalah nyeri, dimulai pada saat awitan menstruasi (Bobak, 2004). Nyeri dapat tajam, tumpul, siklik atau menetap, dapat berlangsung dalam beberapa jam sampai satu hari, gejala-gejala sistemik yang menyertainya berupa mual, muntah, diare, sakit kepala dan perubahan emosional (Varney, 2006).
Pada dismenorhea sekunder dirasakan pelvis terasa berat (pelvic heaviness), nyeri punggung yang khas, dimana nyeri meningkat secara progresif selama haid, darah haid yang banyak atau perdarahan yang tidak teratur, sensasi nyeri pada saat berhubungan seks, nyeri yang tidak berkurang dengan terapi nonsteroid antiinflamasi drugs (Anurogo, 2008). 5. Patofisiologi
Bila tidak terjadi kehamilan, maka korpus luteum akan mengalami regresi dan hal ini akan mengakibatkan penurunan kadar progesteron, penurunan ini akan mengakibatkan labilisasi membran lisosom, sehingga mudah pecah dan melepaskan enzim fosfolipase A2, fossolipase A2 ini akan menghasilkan prostaglandin, antara lain PGE2 dan PGF2 alfa (Siswadi, 2006). Wanita dengan dismenorhea primer didapatkan adanya peningkatan kadar PGE dan PGF2 alfa di dalam darahnya, yang akan merangsang miometrium dengan akibat terjadinya peningkatan kontraksi dan disritmi uterus, akibatnya akan terjadi penurunan aliran darah ke uterus dan ini akan mengakibatkan iskemia (Sunaryo, 1989, yang dikutip Qittun, 2008). Menurut Bobak (2004), selama fase luteal dan aliran menstruasi berikutnya, prostaglandin F2 alfa (PGF2α) disekresi, pelepasan PGF2 α yang berlebihan meningkatkan amplitudo dan frekuensi kontraksi uterus dan menyebabkan vasospasme arteriol uterus, sehingga mengakibatkan iskemia dan kram abdomen bawah yang bersifat siklik
6. Penatalaksanaan
Dismenorhea primer diatasi dengan inhibitor prostaglandin yang bisa menghalangi sintesis dan metabolisme prostaglandin atau dengan obat anti inflamasi nonsteroid yang efektif untuk menghambat sintesis prostaglandin, contohnya adalah ibuprofen, naproxen dan ketoprofen (Siswadi, 2006). Terapi non farmakologi yang juga dapat digunakan pada dismenorhea primer adalah dengan memberikan penjelasan dan nasehat kepada penderita, seperti makanan yang sehat, istirahat yang cukup dan olahraga (Wiknjosastro, 2007). Sedangkan penatalaksanaan pada dismenorhea sekunder diarahkan pada mendiagnosa dan mengobati penyebab penyakit yang mendasarinya, misalnya endometriosis, kista atau tumor ovarium (Smeltzer, 2002).
Selain penatalaksaaan seacara medis, tindakan keperawatan untuk mengurangi nyeri pada saat dismenborhea adalah dengan cara mengatur posisi tubuh yang nyaman agar tubuh dapat relaksasi, memijat perut bagian bawah, menarik napas dalam dan kompres hangat di perut bagian bawah (Doenges, 1999).
D. Kerangka Teori
Gambar.2.1.
(Kerangka Teori Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang Dismenorhea Terhadap Tingkat Kecemasan, Sturat & Sundeen, 2000; Isacs, 2004; Hurlock, 2005; Mighwar, 2006)
E. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar.2.2. Kerangka konsep Pengetahuan remaja tentang
dismenorhea
Kecemasan pada saat mengalami dismenorhea Tingkat kecemasan pada
saat dismenorhea Cemas ringan Cemas sedang Cemas berat Faktor eksternal : - Usia - Status kesehatan - Budaya - Pendidikan - Spiritual - Mekanisme koping - Dukungan sosial - Lingkungan - Pengalaman - Pengetahuan Faktor internal : - Jasmani - Rohani
F. Variabel Penelitian
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau yang dimilki atau didapat oleh satuan penelitian tentang sesuatu konsep pengertian tertentu (Notoatmojo, 2003).
Dalam penelitian ini, variabelnya adalah : 1. Variabel bebas (independen)
Disebut variabel bebas yaitu variabel yang menjadi sebab timbulnya atau berubahnya variabel dependen (Sugiyono, 2005). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah tingkat pengetahuan remaja tentang dismenorhea.
2. Variabel terikat (dependen)
Merupakan variabel yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2005). Dalam penelitian ini variabel dependen adalah tingkat kecemasan remaja pada saat mengalami dismenorhea.
G. Hipotesa Penelitian
Ada hubungan antara tingkat pengetahuan remaja tentang dismenorhea dengan tingkat kecemasan pada saat mengalami dismenorhea pada siswi di SMA N 2 Bae Kudus.