• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Anestesi Airway Management

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Anestesi Airway Management"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBIMBING

Dr. ACHMAD ASSEGAF, Sp.An

Dr. UNDANG KOMARUDIN, Sp.An

Dr. PUTU YUNITA PALUPI, Sp.An

DISUSUN OLEH:

EMELDA 110.2001.086

SITI SULAIMAH 110.2001.258

UPIK PEBRIYANI 110.2001.281

WILDA 110.2001.288

SMF ANESTESI

RSUD Dr.Hi.ABDOUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

MEI 2007

(2)

PENDAHULUAN

Bila terjadi henti nafas primer, jantung dapat terus memompa darah selama beberapa

menit dan sisa O

2

yang ada dalam paru dan darah akan terus beredar ke otak dan

organ vital lain. Penanganan dini pada korban dengan henti napas atau sumbatan jalan

napas dapat mencegah henti jantung. Bila terjadi henti jantung primer, O

2

tidak

beredar dan O

2

yang tersisa dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik. Henti

jantung dapat disertai oleh fenomena listri berikut: fibrilasi ventrikuler takikardi

ventrikular, asistole ventrikular atau disosiasi elektromekanis.

Penilaian terhadap bantuan hidup dasar sangat penting. Tindakan resusitasi

(yaitu posisi, pembukaanjalan napas, napas buatan dan kompresi dada luar) dilakukan

kalau memang betul dibutuhkan. Ini ditentukan penilaian yang tepat. Setiap langkah

ABC, resusitasi jantung paru dimulai dengan: penentuan tidak ada respon, tidak ada

napas, dan tidak ada nadi.

Pada korban yang tiba-tiba kolaps, kesadarannya harus segera dihentikan

dengan tindakan ”goncangan dan teriak” yang terdiri dari: menggoncangkan korban

dngan lembut dan memanggil dengan keras-keras. Bila tidak dijumpai tanggapan,

hendaknya korban diletakkan dala posisi terlentang dan ABC bantuan hidup dasar

hendaknya dilakukan.

(3)

ANATOMI

Pengetahuan tentang anatomi hipofaring penting untuk manajemen airway.

Batas hipofaring disebelah superior adalah tepi atas epiglottis, batas anterior ialah

laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra cervical. Bila

hipofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung

atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama

yang tampak dibawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah

cekuangan yang dibentuk oleh ligamentum glossoepiglotika medial dan ligamnetum

glossoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil”, sebab pada

beberapa orang kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.

Dibawah valekula terdapat epiglottis yang berfungsi untuk melindungi glottis

ketika menelan minuman atau bolus makanan.

Berikut gambaran anatominya

(4)

Daerah yang sering mengalami sumbatan jalan napas adalah hipofaring, terjadi

pada pasien koma ketika otot lidah dan leher yang lemas tidak dapat mengangkat

dasar lidah dari dinding belakang faring. Ini terjadi jika kepala pada posisi fleksi atau

posisi tengah. Oleh karena itu ekstensi kepala merupakan langkah pertama yang

terpenting dalam resusitasi, karena gerakan ini akan meregangkan struktur leher

anterior sehingga dasar lidah akan terangkat dari dinding belakang faring.

Kadang-kadang sebagai tambahan diperlukan pendorongan mandibula kedepan untuk

meregangkan leher anterior, lebih-lebih jika sumbatan hidung memerlukan

pembukaan mulut. Hal ini akan mengurangi regangan struktur leher tadi. Kombinasi

ekstensi kepala, pendorongan mandibula kedepan dan pembukaan mulut merupakan

”gerak jalan napas tripel”. Pada kira-kira 1/3 pasien yang tidak sadar rongga hidung

tersumbat selama ekspirasi karena palatum molle bertindak sebagai katup. Selain itu

rongga hidung dapat tersumbat oleh kongesti, darah atau lendir Jika dagu terjatuh,

maka usaha inspirasi dapat ”menghisap” dasar lidah ke posisi yang menyumbat jalan

napas. Sumbatan jalan napas oleh dasar lidah bergantung kepada posisi kepala dan

mandibula serta dapat saja terjadi lateral, terlentang atau telungkup. Walaupun

gravitasi dapat menolong drainase benda asing cair, gravitasi ini tidak akan

meringankan sumbatan jaringan lunak hipofaring, sehingga gerak mengangkat dasar

lidah seperti diterangkan diatas tetap diperlukan.

(5)

Penyebab lain sumbatan jalan napas adalah benda asing, seperti muntahan atau

daah dijalan napas atas yang tidak dapat ditelan atau dibatukkan keluar oleh pasien

yang tidak sadar. Laringospame biasanya disebabkan oleh rangsangan jalan nafas atas

pada pasien stupor atau koma dangkal. Sumbatan jalan nafas bawah dapat disebabkan

oleh bronkospasme, sekresi bronkus, sembeb mukosa, inhalasi isi lambung atau benda

asing.

Sumbatan jalan nafas dapat total atau partial.

Tanda-tanda obstruksi partial:

1. Stridor (nafasnya berbunyi), terdengar seperti ngorok, bunyi kumur-kumur

atau melengking.

2. Retraksi otot dada kedalam didaerah supraclavicular, suprasternal, sela iga dan

epigastrium selama inspirasi

3. Nafas paradoksal (pada waktu inspirasi dinding dada menjadi cekung/datar

bukannya mengembang/ membesar).

4. Balon cadangan pada mesin anestesi kembang kempisnya melemah.

5. Nafas makin berat dan sulit (kerja otot-otot nafas meningkat).

6. Sianosis, merupakan tanda hipoksemia akibat obstruksi jalan nafas yang lebih

berat.

Tanda-tanda obstruksi total:

Serupa dengan obstruksi partial, akan tetapi gejalanya lebih hebat dan stridor justru

menghilang

1. Retarksi lebih jelas

2. gerak paradoksal lebih jelas

3. Kerja otot nafas tambahan meningkat dan makin jelas.

4. Balon cadangan tidak kembang kempis lagi.

5. Sianosis lebih cepat timbul.

Sumbatan total tidak berbunyi dan menyebabkan asfiksia (hipoksemia

ditambah hiperkarbia), henti nafas dan henti jantung (jika tidak dikoreksi) dalam

waktu 5 – 10 menit. Sumbatan partial berisik dan harus pula dikoreksi segera, karena

dapat menyebabkan kerusakan otak hipoksik, sembab otak atau paru dan penyulit

lain serta dapat menyebabkan kepayahan, henti nafasdan henti jantung sekunder.

(6)

Letakkan pasien pada posisi terlentang pada alas keras ubin atau selipkan

papan kalau pasien diatas kasur. Jika tonus otot menghilang, lidah akan menyumbat

faring dan epiglotis akan menyumbat laring. Lidah dan epiglotis penyebab utama

tersumbatnya jalan nafas pada pasien tidak sadar. Untuk menghindari hal ini

dilakukan beberapa tindakan, yaitu:

1. Perasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift manuever)

Perasat ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan penolong

mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain mendorong

dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap keatas dan

epiglotis terbuka, sniffing position, posisi hitup.

2. Perasat dorong rahang bawah (jaw thrust manuever)

Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangakat didorong kedepan

pada sendinya tanpa menggerakkan kepala leher. Karena lidah melekat pada

rahang bawah, maka lidah ikut tertarik dan jalan nafas terbuka.

Jika henti jantung terjadi diluar rumah sakit, letakkan pasien dalam posisi

terlentang, lakukan ”manuever triple airway” (kepala tengadah, rahang didorong

kedepan, mulut dibuka) dan kalau rongga mulut ada cairan, lendir atau benda asing

lainnya, bersihkan dahulu sebelum memberikan nafas buatan.

Pasien tidak sadar hendaknya diletakan horisontal, tetapi kalau diperlukan

pembersihan jalan nafas maka pasien dapat diletakkan dengan posisi kepala dibawah

(head down tilt) untuk mengeluarkan benda asing cair oleh gravitasi. Jangan

meletakkan pasien pada posisi telungkup karena muka sukar dicapai, menyebabkan

sumbatan mekanis dan mengurang kekembungan dada.

Posisi lurus terlentang ditopang dianjurkan utnuk pasien koma diawasi yang

memerlukan resusitasi. Peninggian bahu dengan meletakkan bantal atau handuk yang

dilipat dibawahnya mempermudah ekstensi kepala. Akan tetapi jangan sekali-kali

meletakkan bantal dibawah kepala pasienyang tidak sadar (dapat menyebabkan leher

fleksi sehingga menyebabkan sumbatan hipofaring) kecuali pada intubasi trakea.

Pada kasus trauma pertahankanlah kepala-leher-dada pada satu garis lurus.

Ekstenskan kepala sedang, jangan maksimum. Jangan memutar kepala korban

kesamping, jangan memfleksikan kepalanya. Jika korban harus dimiringkan untuk

membersihkan jalan nafasnya, pertahankanlah kepala-leher-dada tetap dalam satu

garis lurus, sementara penolong lain memiringkan korban

(7)

Posisi mantap dianjurkan utnuk pasien koma bernafas spontan

Laterally, the aryepiglottic folds attach the epiglottis to the cuneiform

tubercles. Medial to these structures are the corniculate tubercles that are

connected by the interarytendoid notch. The cricoid cartilage located beneath

the true vocal cords completely encircles the trachea. The external application

of pressure to the cricoid cartilage (Sellick's maneuver) is a technique used to

make aspiration less likely by compression of the esophagus.3

Knowledge of the innervation of the larynx, particularly the left recurrent

laryngeal nerve (RLN) and the superior laryngeal nerve (SLN), is important

with regards to airway management. The left RLN courses around the arch of

the aorta at the ligamentum arteriosum making it prone to surgical injury.

Unilateral injury to the RLN results in adduction of the ipsilateral vocal cord

and a hoarse voice. Bilateral injury to the RLN can cause adduction of both

the vocal cords leading to complete airway obstruction.3,4 The external

branch of the superior laryngeal nerve supplies the cricothyroid muscle after

transversing the thyrohyoid membrane. Injury to the SLN will not result in

airway obstruction, but may lead to hoarse vocalization by tensing the vocal

cords.4 In an awake patient, bilateral SLN blocks along with topicalization of

the airway may be used, allowing the patient to better tolerate manipulation of

the oropharynx and intubation. To perform this block, locate the greater cornu

of the hyoid bone and inject 3ml of lidocaine approximately 1cm caudal to this

point.5 Caution should be taken when using this type of block because cough

reflexes may be depressed leading to an increase risk of aspiration.5

Assessing the Airway

With an understanding of airway anatomy, a thorough patient evaluation is

essential in airway management. Evaluation involves obtaining a history and

performing a physical exam.

History and Physical Exam

Taking an adequate history is necessary to anticipate possible complications.

With regards to airway management, the history should focus on prior

intubations, anesthetic history, drug allergies, and confounding illnesses that

may hinder airway access. A history of difficult intubation has the highest

positive and negative predictive value in predicting a difficult intubation.6 The

examination of the airway involves inspection of the state of dentition;

especially loose teeth, upper incisors as well as protuberant incisors.

Visualization of the oropharynx is classified most commonly by the Modified

Mallampati classification system. This system is based on the visualization of

the oropharynx (Figure 3) when a seated patient opens his or her mouth and

protrudes the tongue.7,8

(8)

In this classification system, Class I and II airways are generally predicted

easy to intubate, while Class III and IV are sometimes difficult (Table1).8

Though this system lacks specificity,8 it does allow for preparation of possible

complications and improves communication between medical personnel with

regards to a patient's airway.

In addition to the Mallampati classification system, other physical findings

have been shown to be good predictors of a difficult airway. Wilson et al.

using linear discriminant analysis incorporated five variables: body weight,

head and neck movement, jaw movement, receding mandible, and buckteeth

into a scoring system that predicted 75% of difficult intubations at a risk

criterion =2 (Table 2).9 Other factors used to predict a difficult intubation

include:

Large tongue

Less than 6 cm distance from mandible to thyroid notch

Inability to place patient in “sniff” position

Short neck4,10,11,12,13

Indications for Intubation

Establishing indication for intubation is a primary step in airway management.

In general, indications for intubation include:

1.

Protection of the airway from obstruction or aspiration

2.

Facilitation of positive pressure ventilation

(9)

3.

Airway control for diagnostic and therapeutic measures14

Multiple situations lead to one of these three indications. For example,

unconscious patients with poor ventilatory drive, patients with suspected

epiglottitis, patients with severe laryngeal angioedema, and patients with

possible foreign body obstruction require intubation for airway management.

After patient evaluation and if intubation is indicated, an airway management

technique is selected.

(10)

A. “Airway” ( Jalan Nafas ).

B. “Breathing” ( Pernafasan ).

C. “Circulation” ( Sirkulasi darah ), dan

D. “Disability” ( Sistem Syaraf Pusat ).

Tanda-tanda berikut ini adalah cardiac arrest :

1.

Nadi tak teraba : Cek denyut nadi pada nadi yang besar, umpamanya nadi carotis

atau femoralis, atau jika abdomen terbuka, cek denyut aorta.

2.

Detak jantung tak terdengar : Auskultasi pada precordium untuk mendengar detak

jantung. Cara yang paling cepat ialah menempelkan telinga pada dada. Segera

lakukan ECG, Alat pengukur tekanan darah.

Prinsip Tindakan.

BERTINDAK SEGERA. Denyut nadi tak teraba dan tak terdengar detak jantung

adalah cardiac arrest !!.

Aliran darah keotak harus dimulai kembali dalam waktu 4 menit, jika tidak maka akan

terjadi kerusakan otak yang permanen atau meninggal.

Lakukanlah segera dua prosedur berikut ini secara simultan :

A.

Ventilasi mouth to mouth sampai terpasangnya alat ventilasi “bag &

mask” dengan aliran oxygen bertekanan, lebih baik lagi dilakukan intubasi

endotracheal. Panggil bala bantuan.

B.

Pijatan jantung :

1..Pijatan jantung tertutup.

2. Pijatan jantung terbuka, terutama jika hal ini terjadi dikamar bedah atau ruang

emergency dimana tersedia alat-alat dan team yang lengkap. Demikian juga bila

kondisi thorax dalam keadaan terbuka ( thoracotomy ), pada kasus pneumothorax,

perdarahan dalam thorax, atau kondisi lain dimana pijatan jantung tertutup itu

kurang memuaskan.

(11)

“Tehnik dari Pijatan Jantung Tertutup”.

Lingkaran hitam pada dada menunjukkan tempat elektroda untuk

pemberian defibrilasi.

-o0o-

“TEHNIK RESUSITASI JANTUNG – PARU”

Fase I : Pertolongan Pertama ( Oxygenasi Darurat Untuk Otak ).

Hal ini harus dilakukan dalam waktu 2 – 4 menit untuk mendapatkan hasil yang

optimal guna meminimalkan kemungkinan terjadinya kerusakan otak yang permanen.

Tahap 1 :

Letakkan pasen dalam posisi terlentang pada suatu permukaan yang keras dan rata.

Tahap 2 :

Buat posisi kepala hiperextensi, tarik mandibula kedepan dan tekan kuat pada sudut

rahang bawah.

Jika pasen tak bernafas :

Langkah A : Airway Control.

Tahap 3 :

(12)

benda asing lainnya.

Tahap 4 :

Buka mulut untuk memasang “oral airway”

Langkah B : Breathing Support.

Tahap 5 :

Jika tahap 2 – 4 gagal untuk membuka jalan nafas, tiupkan udara keras-keras dengan

mulut ke mulut sambil menutup hidung pasen atau dari mulut ke hidung sambil

menutup mulut pasen rapat-rapat dan kembangkan paru-paru 3 – 5 kali.

Perhatikan gerakan rongga dada. Jika hal ini juga gagal untuk membuka jalan nafas

dan tersedia tube endotrachea, segera lakukan intubasi endotrachea, mungkin perlu

tracheostomy.

Tahap 6 :

Raba arteri carotis untuk mengetahui adanya denyut nadi.

Jika denyut nadi carotis tak teraba :

Langkah C : Circulation Support.

Lakukan kompresi jantung dan ventilasi paru-paru seperti diatas.

Letakkan satu telapak tangan pada sternum, pada sebelah atas dari procesus

Xyphoidus, dan tangan lain diatas yang pertama ( lihat gambar ) Lakukan tekanan

vertical yang cukup untuk menggerakkan sternum sampai 3 inci kearah bawah ( pada

anak-anak kurang dari 3 inci ) dengan frekuensi satu kali / detik. Setelah 15 kali

kompresi sternum, diganti dengan 3 – 5 kali inflasi yang kuat kedalam paru-paru.

Ulangi dan teruskan prosedur ini sampai mendapatkan tambahan bantuan dan

perawatan yang lebih difinitif. Resusitasi terus dilakukan sepanjang transportasi

menuju rumah sakit. Jika mungkin, dapatkan alat monitor ECG tapi jangan

menghentikan tindakan resusitasi. Minta tolong orang yang membantu untuk meraba

nadi carotis atau femoralis, yang harus teraba setiap kompresi sternum dilakukan, hal

ini menunjukkan bahwa kompresi sternum cukup efektif untuk memijat jantung.

Fase II : Pemulihan Sirkulasi Spontan.

Sebelum terjadi respirasi dan sirkulasi spontan, resusitasi tidak boleh dihentikan

walaupun sebentar, dan tindakan selanjutnya harus dilakukan. Ada tiga pertanyaan

dasar yang harus dipertimbangkan :

1.

Apakah faktor penyebab yang ada dan dapatkah itu dikoreksi?

2.

Apakah bentuk dari cardiac arrest-nya ?

(13)

3.

Langkah pertolongan apa yang berikutnya diperlukan ?

Para pembantu segera diminta untuk memasang ECG, menyiapkan defibrillator, dan

obat-obat emergency.

Langkah D : Drugs Support.

Tahap 7 :

Jika setelah 1 – 2 menit dilakukan kompresi jantung belum terjadi denyut jantung

spontan yang efektif, minta pembantu untuk memberikan Adrenaline 1 mg yang

dilarutkan dalam 10 ml aqua secara intravena, atau larutan yang sama sebanyak 5 ml

diberikan secara intracardial. Resusitasi diteruskan 5 : 1 atau 4 : 1.

Langkah E : ECG Monitoring.

Tahap 8 :

Sambil memasang monitor ECG, juga dilakukan pemasangan infus dan diberikan

cairan elektrolit.

Bagian tungkai ditinggikan atau dipasang torniqet. Ini untuk melawan shock.

Pemberian adrenaline dapat diulangi setelah 5 – 10 menit.

Tahap 9 :

Jika denyut nadi belum pulih setelah resusitasi berlangsung lebih dari 5 menit, berikan

sodium bicarbonas 3 – 5 Gm/ 50 ml ( pada anak-anak 1,5 – 2 Gm/50 ml ) secara i.v.

untuk mengatasi metabolic acidosis. Dapat diulangi setelah 5 – 10 menit jika

diperlukan.

Tahap 10 :

Jika denyut nadi belum pulih, pikirkan fibrilasi ventrikel.

Rekam ECG.

Langkah F : Fibrillation Treatment.

Tahap 11 :

Jika ECG menunjukkan suatu fibrilasi ventrikel, resusitasi tetap diteruskan sampai

diberikannya shock defibrillator dengan 400 – 1000 volts A.C. selama 0,25 detik,

dengan penempatan satu elektroda pada kulit diatas apex cordis dan yang satu lagi

pada puncak sternum. Rekam ECG. ( Jika terdapat D.C. defibrillator lebih baik

digunakan alat ini ketimbang A.C. defibrillator, berikan 50 – 400 watt-detik

D.C.shock ). Jika fungsi jantung tidak pulih, kembali diteruskan resusitasi dan

diulangi D.C. shock 3 kali berurut - turut dengan interval 1 – 3 menit. Jika fungsi

jantung pulih tetapi masih lemah, berikan calcium chloride / gluconas 5 – 10 ml ( 0,5

(14)

– 1 Gm ) dari larutan 10 % secara i.v. Hal ini jangan diberikan pada pasen yang telah

mendapat digitalis.

Tahap 12 :

Jika kejadian itu dalam rumah sakit, pertimbangkan tindakan thoracotomy untuk

pijatan jantung terbuka, bila semua hal yang telah dilakukan itu gagal.

Tahap 13 :

Jika fungsi jantung, paru-paru, dan otak itu pulih, pasen harus diobservasi secara

cermat terhadap shock dan komplikasi yang mungkin terjadi,

Fase III : Tindakan Lebih Lanjut.

Langkah G : Gouging.

Jika fungsi jantung dan paru-paru telah pulih dan terpelihara dengan baik kemudian

fungsi syaraf pusat harus dinilai secara seksama. Keputusan untuk menentukan bentuk

dan lamanya pertolongan lebih lanjut diambil secara individual. Dokter harus bisa

menentukan apakah pasen itu sedang dalam proses akan hidup ( prolonging life ) atau

hanya memperlambat kematian ( prolonging dying ). Pernah dilaporkan pasen itu

pulih fungsi syaraf pusatnya setelah mengalami coma selama 1 minggu dengan

pengobatan yang tepat

Langkah H : Human Mentation.

Tahap 14 :

Jika sirkulasi dan respirasi telah pulih tetapi tidak ada tanda tanda pulihnya fungsi

otak dalam waktu 30 menit, dapat diberikan hypothermia dengan suhu 30º C selama 2

– 3 hari untuk mengurangi tingkat kerusakan otak.

Langkah I : Intensive Care.

Tahap 15 :

Bantuan ventilasi dan sirkulasi. Mengobati komplikasi yang mungkin terjadi Jangan

mengabaikan kemungkinan adanya komplikasi akibat kompresi jantung tertutup,

umpamanya : patah tulang iga, robeknya organ dalam.

Tahap 16 :

Diperlukan perawatan pasca resusitsai yang sangat cermat, terutama dalam 48 jam

pertama setelah pemulihan. Amati secara seksama kemungkinan terjadinya

arrhythmia jantung yang beraneka ragam, terutama berulangnya fibrilasi atau cardiac

standstill.

(15)

Pertimbangkan penggunaan bantuan sirkulasi pada kasus kasus tertentu. Beberapa

pasen yang tidak dapat diselamatkan dengan resusitasi jantung-paru-paru

konvensional, dapat diselamatkan dengan tambahan tindakan bypass patial cardio

pulmoner.

-o0o-MANAJEMEN DISTRES RESPIRASI.

A.

Jika Terjadi Akibat Sumbatan Jalan Nafas :

1.

Keluarkan lendir dan benda asing dari rongga mulut dan tenggorokan. Gunakan

suction bila ada.

2.

Pegang dan tarik keatas dagu pasen, tarik keluar lidahnya, atau dorong kedepan

mandibulanya dengan menekan bagian belakang sudut mandibula apabila sumbatan

akibat lidah yang jatuh kebelakang dalam hypopharynx, seperti pada pasen yang

coma. Gunakan oropharyngeal airway jika ada.

3.

Intubasi endotrachea dengan tube orotrachea atau nasotrachea.

4.

Tracheostomy jika ada benda asing atau sumbatan larynx oleh oedema.

B.

Jika Terjadi Akibat Penyebab Lainnya :

1.

Pelihara kelancaran jalan nafas.

2.

Mengatasi penyebab yang ada.

3.

Berikan oxygen, bila ada.

C.

Pada Henti Nafas :

1.

Bersihkan jalan nafas.

2.

Lakukan nafas buatan mouth to mouth.

-o0o-

OXYGEN THERAPY .

Oxygen tharpy yang modern telah dimulai pada tahun 1917 oleh J. S. Haldane ( 1860 – 1936 ). Pengukuran kadar oxtgen dalam darah telah dilakukan secara memuaskan pada tahun 1924.

Tujuan utama dari oxygen therapy adalah untuk memulihkan tekanan oxygen didalam jaringan agar kembali normal. Tekanan partiel yang paling sedikitnya 1,3 kPa itu dibutuhkan dalam sel mitochondria.

(16)

Suatu peningkatan persentase oxygen dalam udara yang dihirup akan meningkatkan

konsentrasi oxygen dalam alveoli dan meningkatkan tekanan oxygen dalam darah yang telah melewati paru-paru.

Oxygen therapy itu sangat bermanfaat pada saat tekanan oxygen dalam darah itu rendah / menurun ( hypoxic hypoxia ). Pada anaemic hypoxia dan stagnant hypoxia oxygen therapy tidak begitu banyak meningkatkan kadar oxygen yang dibawa oleh haemoglobine, namun peningkatan oxygen yang larut dalam plasma sangat jelas. Pada histotoxic hypoxia masih disangsikan apakah oxygen therapy itu ada manfaatnya.

Beberapa Data Fisiologis yang Relevan.

Udara bebas itu mengandung oxygen sebanyak 20,93 %. Udara expirasi mengandung oxygen sebanyak 16,3 %. Udara yang ada dalam alveoli mengandung oxygen 14,2 %.

Tekanan partiel dari oxygen dalam udara bebas 21 kPa ( 160 mmHg ). Tekanan partiel dari oxygen dalam udara alveoli 13,3 kPa.( 104 mmHg ).

Tekanan partiel oxygen dalam darah vena 5,3 kPa ( 40 mmHg ). Daya larut oxygen dalam plasma 0,3 ml / 100 ml.

Kapasitas oxygen dalam haemoglobine 1,34 ml / g Hb. Kapasitas oxygen dalam darah arteri 19,8 vol %. Saturasi oxygen dalam darah arteri 97 %.

Tekanan oxygen dalam darah arteri 13 kPa ( 100 mmHg ).

Penggunaan Oxygen oleh tubuh. ( Oxygen Flux ).

Jumlah oxygen yang ada dalam tubuh dapat dihitung dengan cara sebagai berikut : 100 ml darah itu mengandung oxygen 19,8 ml jika darah itu teroxygenisasi secara penuh. Jika cardiac output itu 5 l / menit, maka oxygen yang tersedia ( oxygen flux ) untuk tubuh itu 19,8 X 50 = 990 ml / menit. Konsumsi oxygen yang normal adalah 250 ml / menit. Maka disini masih banyak persediaan. Pada kegiatan olah raga yang berat, cardiac output meningkat menjadi 20 l / menit dan melipat-gandakan 4 kali lipat oxygen flux. Kebutuhan oxygen yang sedemikian bayak itu menimbulkan kekurangan oxygen secara sementara, dengan terjadinya metabolisme anaerob. Oxygen flux untuk tiap-tiap organ tubuh juga perlu dipertimbangkan, terutama otak.

Jenis-Jenis Kekurangan Oxygen ( Hypoxia ).

Kekurangan oxygen tidak hanya menghentikan mesin, tetapi juga merusak mesin respirasi. Cyanosis mungkin dapat terdeteksi oleh orang yang telah terlatih meskipun haemoglobine itu turun sampai pada 1,5 g / dl, namun untuk kebanyakan orang, deteksi pada cyanosis hanya mungkin bisa ditemukan

(17)

Jaringan tubuh akan mengalami kekurangan penggunaan oxygen dalam bentuk seperti

berikut, dimana yang 3 jenis yang pertama itu ditemukan oleh Joseph Barcroft ( 1872 – 1947 ) pada th 1920, dan yang ke empat ditemukan oleh Peters dan van Slyke ( 1883 – 1971 ) pada th 1931.

1. Hypoxic hypoxia : PaO2 arteri rendah. Hal ini terjadi bilamana oxygen terhalang

untuk mencapai kapiler dalam paru-paru. Pada waktu seseorang telah menjalani anestesi dengan nitrous oxide dapat terjadi Diffusion hypoxia. Udara yang banyak mengandung nitrogen masuk kedalam olveoli. Ini mengakibatkan menurunnya konsentrasi oxygen, karena disini juga konsentrasi nitrous oxide sangat tinggi. Untuk mengatasi hal ini harus diberikan oxygen konsentrasi tinggi pada akhir anestesi sampai beberapa menit sesudahnya. Tekanan oxygen dalam alveoli juga menurun bilamana tekanan CO2 dalam udara alveoli meningkat. Tekanan oxygen dalam arteri dan tekanan CO2 dalam arteri itu erat hubungannya dengan keseimbangan udara alveoli. PAO2 = PIO2 – PACO2/R.

R adalah rasio pertukaran respirasi ( biasanya 0,8 ). Perimbangan itu dapat dituliskan sebagai berikut : PAO2 = PIO2 – 1,25 X PACO2.

Hubungan antara PAO2 dan PACO2 itu linier, dan lini itu akan bergeser jika PIO2 berubah.

2. Anaemic hypoxia : Kapasitas daya angkut oxygen dari darah itu menurun secara

proporsional dengan tingkatan anemia walaupun tekanan oxygen itu normal.

3. Stagnant hypoxia : Disini ada dua jenis, yaitu : (a) Cardiac output rendah; (b) Lokal,

akibat hambatan vaskuler partiel atau komplit.

4. Histotoxic atau Cytotoxic hypoxia : Hal ini terjadi bilamana jaringan tubuh tidak

dapat menggunakan oxygen yang masuk kedalam jaringan; ini terjadi pada keracunan cyanida dan over dosis dari narkotik atau zat anestesi akibat pengaruh dari system dyhidrogenase.

Efek dari Kekurangan Oxygen.

1. Sistem Respirasi : Terjadi hyperpnoea akibat reflkeks rangsangan pada pusat

resprasi oleh chemoreceptor pada carotid bodi dan aortic bodi yang bereaksi terhadap tekanan oxygen yang menurun. Secara normal sel glomus itu mengambil oxygen yang cukup tinggi, dan ketika tekanan oxygen itu turun, metabolisme anaerob akan menimbulkan pelepasan zat yang merangsang ujung syaraf “pericellular

chemosensory”. Pusat respirasi menjadi kurang sensitip terhadap CO2 dengan makin meningkatnya hypoxia. Dyspnoea dan hyperpnoea tidak selalu indikasi untuk

pemberian oxygen therapy, karena keduanya dapat terjadi tanpa disertai hypoxia, dan hypoxia itu dapat terjadi tanpa disertai gejala-gejala ini.

2. Sistem Cardiovaskuler : Terjadi vasodilatasi systemic coronaria dan cerebral,

dengan peningkatan cardiac output, stroke volume, tachycardia dan penurunan afterload. Pada hypoxia ringan tekanan arteri akan menurun, tetapi jika hal ini disertai hypercapnia maka tekanan arteri akan naik. Efek ini sama pada pasen yang mendapat anestesi maupun tidak. Pada hypoxia yang berat, terjadi kolaps cardiovaskuler. Pada

(18)

EKG : gelombang T menjadi negatip atau lebih rendah dan ada kelambatan konduksi dan pemanjangan interval P-R. Kapiler akan kehilangan tonus dan dinding kapiler mengalami kebocoran cairan dan sel kedalam jaringan tubuh. Terjadi vasokonstriksi pada paru-paru.

3. Sistem Syaraf Pusat : Pada pasen dewasa muda yang sehat, penggunaan oxygen

dalam otak itu 3,3 ml / 100 g otak / menit atau sekitar 1/5 dari kebutuhan total oxygen dari tubuh. Jaringan syaraf itu lebih mudah terpengaruh oleh kekurangan oxygen dari jaringan lainnya dalam tubuh. Disini akan terjadi peningkatan aliran darah ke otak, sama efeknya seperti kalau terjadi kenaikan tekanan CO2 yang seringkali meyertai hypoxia. Pada tahap lebih lanjut akan berakibat terjadinya oedema otak akibat kerusakan kapiler. Tekanan cairan cerebrospinalis meningkat. Terjadinya penurunan tekanan darah akan menambah efek kerusakan sel otak akibat dari hypoxia ini.

Efek dari Inhalasi Oxygen 100 %. Nitrogen :

Jika oxygen murni diberikan dengan cara menggunakan system Magill yaitu menggunakan face mask yang rapat, maka 96 % nitrogen akan terusir dari paru-paru. Nitrogen akan terbuang dalam waktu dua menit dari paru-paru, dan dalam waktu 5 menit dari dalam darah, dan dalam waktu 20 menit dari dalam otak, dan 2 jam dari dalam tubuh.

Carbon dioksida :

Haemoglobine yang rendah akan membantu transportasi CO2, dengan memberikan oxygen 100 % akan mengurangi kemampuan haemoglobine dalam mengikat CO2, terutama jika oxygen diberikan dengan tekanan yang lebih tinggi.

Respirasi :

Ini seringkali awalnya mengalami sedikit depresi, karena hilangnya efek rangsangan melalui chemoreceptor.

Sirkulasi :

Terjadi penurunan denyut nadi, suatu efek chemoreceptor.

Sedikit kenaikan tekanan darah diastolic. Pembuluh darah langsung menyempit secara refleks, tapi efek chemoreceptor membuat vasodilatasi. Pembuluh darah otak dan coronaria menyempit, tetapi arteri pulmonalis melebar ( pada hypoxia, menyempit ). Pemberian oxygen murni yang sangat lama akan mempengaruhi pembetukan sel eritrosit.

Hasil Inhalasi Oxygen Murni.

Menghirup Udara

Oxygen 21 kPa,

159 mmHg.

Menghirup O2

100%

Oxygen 104 kPa,

760 mmHg.

Udara Alveoli :

(19)

Tekanan Oxygen

13,3 kPa/104 mmHg

90 kPa/675 mmHg

Darah Arteri :

Tekanan Oxygen

Saturasi Oxygen

Kombinasi O2+Hb

O2 dalam plasma

Total isi Oxygen

13 kPa/100 mm Hg

97%

19,5 ml%

0,3 ml%

19,8 ml%

85 kPa/637 mmHg

100%

20,1 ml%

1,9 ml%

22,0 ml%

Darah vena

campuran:

Tekanan Oxygen

Saturasi Oxygen

Kombinasi O2+Hb

O2 dalam plasma

Total isi Oxygen

5,3 kPa/40mm Hg

75%

15,07 ml%

0,12 ml%

15,19 ml%

7 kPa/52 mm Hg

85%

17,19 ml%

0,16 ml%

17,35 ml%

Keterangan Tabel :

Darah arteri mengandung tambahan 2,2 vol %, suatu kenaikan lebih dari 10 %, setelah inhalasi oxygen murni. Hal ini menggambarkan kurang lebih 50 ml oxygen ditransport kedalam jaringan setiap menit atau 1/5 dari jumlah kebutuhan.

Fluorocarbon ( Fluorosol DA 20% ) itu membawa 7,5 ml / 100 ml pada FIo2 100%.

Efek yang Merugikan dari Konsentrasi Oxygen Tinggi. Bronchitis Chronish dan Emphysema :

Pada pasen yang mengalami kegagalan respirasi, oxygen dibutuhkan untuk mengoreksi hypoxia, tetapi itu harus dilakukan dengan cara yang terkendali karena jika tidak, dapat terjadi kenaikan PCO2 dalam arteri yang berbahaya, setelah pusat respirasi menjadi tidak sensitip ( tidak terangsang ). Bahayanya adalah terjadinya narcose CO2 dan pasen menjadi tidak sadar dan akhirnya meninggal dunia.

Resiko dari mata rantai kejadian ini menjadi lebih besar bila PCO2 arteri telah berada diatas 10 kPa.

(20)

Diperlukan kendali dalam pemberian Oxygen therapy. Tujuannya adalah memberikan oxygen secukupnya untuk mengoreksi hypoxia, tetapi tidak sampai menghilangkan rangsangan pusat respirasi untuk bernafas.

Karakter dari kurva disosiasi pada haemoglobine adalah sedemikian rupa dimana relatif sedikit kenaikan tekanan oxygen akan mengakibatkan kenaikan yang relatif besar dalam saturasi ditebagian tengah dari kurva.

Untuk membantu dalam Oxygen therapy dapat diperiksa PaO2.

Oxygen thrapy yang diberikan secara selang-seling itu sangat berbahaya, karena kenaikan konsentrasi CO2 alveoli yang kemudian dapat terjadi akan mengakibatkan konsentrasi oxygen yang bahkan lebih rendah pada saat pasen itu menghirup udara biasa.

Jika pemberian oxygen therapy yang terkendali itu tidak tidak mampu mengoreksi hypoxia tanpa depresi respirasi, maka berarti diperlukan tindakan IPPV.

Hypoxia Ikutan :

“Oxygen Paradox” pertama kali digambarkan oleh Ruff dan Strughold pada tahun 1939, dan ditinjau ulang oleh Latham.

Hal ini adalah penghentian respirasi sementara akibat pemberian oxygen secara tiba-tiba dengan tekanan konsentrasi yang tinggi. Jika mula-mula oxygen itu diberikan dengan tekanan yang normal, kemudian tekanan dinaikkan secara bertahap, maka efek yang berbahaya itu tidak terjadi.

Retrolenthal Fibroplasia :

Terbentuknya membran fibrovaskuler, dibagian belakang dari lensa mata, dapat terjadi pada bayi premature yang diberikan oxygen therapy dengan konsntrasi tinggi dalam waktu lama. ( Ada penyebab lain dalam hal ini ). PaO2 harus dipertahankan antara 6,5 dan 13 kPa dengan menyesuaikan / merubah-rubah konsentrasi gas yang diberikan. Bahaya akan terjadi jika PaO2 masih tetap tinggi dalam waktu cukup lama dan pemberian oxygen itu tidak boleh melebihi yang normal, sebesar 40 %. Pemberian oxygen yang lebih tinggi dari ini akan menimbulkan resiko toksisitas pada paru-paru walaupun bahkan hanya untuk waktu yang pendek dalam suatu resusitasi yang aktif.

Orang masih menyangsikan hubungan antara terjadinya retrolenthal fibroplasia dengan pemberian oxygen dengan konsentrasi tinggi.

Keracunan Oxygen :

Keracunan oxygen akut ditandai dengan kejang-kejang, yang disebut efek Paul Bert. Kejang-kejang ini menyerupai Kejang-kejang idiopathic epilepsy, dan hal ini hanya terjadi pada pemberian secara hyperbaric ( tekanan lebih dari 3 atmosfir ). Penyebabnya belum jelas diketahui, tetapi kemungkinan ada hubungannya dengan peningkatan PCO2 dalam otak.

Keracunan oxygen khronis dapat terjadi jika konsentrasi oxygen lebih dari 60 % dengan tekanan atmosfir diberikan dalam waktu yang lama.

Mungkin terjadi akibat tidak aktifnya surfactant dan rusaknya epithel paru-paru. Efek yang tak diharapkan termasuk distress pada bagian bawah sternum, penurunan vital capacity, rasa

(21)

kesemutan, sakit sendi, anoreksia, mual, daerah pandangan mata menciut, muntah, bronchitis dan atelektasis, dan perubahan mental.

Merupakan masalah dalam perawatan intensive jika dilakukan IPPV dengan memberikan oxygen konsentrasi tinggi dalam waktu yang lama.

Gambaran X-ray dapat berubah akibat keracunan oxygen. Akan tanpak bentuk ”patchy opacities bilateral” yang menjalar keseluruh daerah paru-paru. Kemudian akan ditemukan perbedaan yang tinggi dari PO2 arteri dan alveoli, meskipun konsentrasi oxygen dalam udara inspirasi itu tinggi. PaO2 mungkin rendah. Mekanisme dari kerusakan paru-paru seperti itu oleh oxygen itu tidak jelas.

Kemungkinan efek yang terjadi adalah :

1. Saluran nafas yang halus itu menutup yang menimbulkan atelektasis karena tidak

adanya nitrogen. 2. Hilangnya surfactant.

3. Perlukaan yang mungkin akibat kondisi sebelumnya, sebelum dilakukan IPPV. Ini

memang suatu langkah yang harus diambil bila pemberian oxygen yang aman secara normal sulit diberikan.

Walaupun pemberian oxygen 100% untuk orang sehat itu berbahaya jika diberikan lebih dari beberapa jam, tetapi pemberian oxygen 40% dapat diberikan secara bebas dalam waktu cukup lama. Yang krusial adalah tekanan oxygen dalam arteri. Pemberian oxygen konsentrasi tinggi yang radikal adalah factor penyebab dari kerusakan alveoli, yaitu menimbulkan tidak aktifnya antiprotease alpha 1-antitrypsin dalam sel-sel alveoli. Leukosit yang aktif kemudian akan membanjiri daerah itu yang memberikan gambaran jenis “leucoaggregates” dan perdarahan intra-alveoli dan eksudasi.

Indikasi Oxygen Therapy.

Untuk mengatasi semua jenis hypoxia kecuali histotoxic hypoxia. Cardiac output adalah penting, demikian pula tekanan oxygen arteri.

1. Cyanosis : yang baru terjadi. Pada penyakit cardio-pulmoner. Hubungan vena-arteri

baik intracardiac atau intrapulmoner, adalah jenis hypoxemia yang tidak bisa ditanggulangi secara sempurna dengan pemberian oxygen 100%.

2. Pasca Bedah Mayor : termasuk luka / trauma torax atau patah tulang iga. Diberkan

dengan menggunakan Ventimask dengan oxygen 35 % atau kateter hidung / kanula. Setelah bedah mayor dengan anestesi umum banyak pasen mengalami episode apnoea secara periodic jika diberikan analgesik dengan morphine. Kondisi ini perlu diatasi dengan pemberian oxygen untuk meningkatkan saturasi oxtgen.

3. Shock, Perdarahan Hebat, Gangguan coroner : Gambaran sentral dari shock

adalah menurunnya cardiac output yang menyebabkan turunnya oxygenasi jaringan. Pada keadaan shock terjadi peningkatan dead space fisiologis dan kompensasi hyperventilasi. Penurunan hyperventilasi oleh sumbatan jalan nafas, trauma thorax, obat-obatan, itu berbahaya. Pemberian oxygen dapat mencegah terjadinya kematian.

(22)

4. Dekompresi usus yang gembung, mengurangi Surgical emphysema,

Pneumothorax dan Emboli udara : Gas yang terperangkap dalam organ-organ ini

70 % adalah nitrogen.

Pemberian oxygen 100 % akan mengurangi tekanan dari nitrogen dalam darah, maka

molekul gas dalam jaringan akan merembes kedalam darah dan dibuang melalui paru-paru.

5. Jika Proses Metabolisme Meningkat : Pada pasca bedah thyrotoxicosis dan

hyperthermia, sebab dalam kondisi ini kebutuhan oxygen itu meningkat.

6. Pada Keracunan Carbon Monoksida.

7. Pada Pengobatan Pneumatosis Coli.

8. Pada Kasus Sakit Kepala yang Hebat akibat Udara yang masuk Intracranial :

Pasca Encephalography. Pada Migraen, untuk menciptakan vasokonstriksi dari pembuluh darah otak.

9. Preoxygenasi sebelum Induksi Anestesi.

Oxygen yang tersedia secara komersial itu murni untuk pemberian inhalasi dan lebih murah dari oxygen medis. Oxygen therapy mewajibkan untuk menghindarkan bahaya kebakaran. Dalam semua kasus, kelancaran jalan nafas harus dipastikan. Konsentrasi oxygen yang dihirup dan PaO2 harus dipertimbangkan secara bersama-sama. Secara teori, ukuran cardiac output akan bermanfaat sehubungan dengan PaO2.

Tehnik Pemberian.

Cara yang mula-mula digunakan untuk memberikan oxygen adalah menggunakan cerobong kaca yang dipegang dan ditempatkan jauh dimuka wajah pasen Orang yang pertama kali menggunakan sejemis masker muka adalah Leonard Hill. Oxygen therapy yang modern itu memerlukan alat yang terpisah untuk konsentrasi tinggi dan rendah.

Alat pemberian oxygen dapat digolongkan pada beberapa golongan :

1.Sistem Fixed Performance : Pasen independen. :

a. Ventimask = Aliran udara tinggi diperkaya dengan oxygen.

b. Aliran rendah = Sirkuit anestesi.

2.Sistem Variable Performance : Pasen dependen.

a. Tanpa rebreathing = Kateter dan kanule.

b. Dengan rebreathing = MC.Polymask.

Pada sistim a) persediaan konsentrasi oxygen ditentukan lebih dahulu terlepas dari parameter respirasi pasen.

Pada sistem b) pemberian bervariasi sesuai dengan frekuensi respirasi pasen dan lamanya expiratory pause.

(23)

Reservoir.

Penggunaan reservoir menghindarkan pemborosan oxygen tetapi dapat menciptakan

rebreathing dengan aliran yang rendah. Sistem T-piece dapat digunakan, tingkat pengenceran oleh udara itu ditentukan dengan besarnya aliran gas, tidal volume, dan besarnya cerobong expirasi. Umumnya face mask komersial itu merupakan modifikasi dari system T-piece, dan dead space dalam face mask itu sama besarnya dengan cerobong expirasi pada system T-piece.

Macam-macam Face Mask.

1. M C ( Mary Catterall ) oronasal mask : Suatu masker cembung dari plastik dengan

bantalan karet busa untuk membuat cocok dan rapat pada wajah. Aliran oxygen 6 L / menit memberikan FIO2 kira-kira 60 %, tetapi disini terdapat dead space yang cukup besar bila aliran gasnya rendah.

2. Harris mask : Terbuat dari plastik semi-translucent dengan dead space yang kecil. FIO2

mencapai 60 % dengan aliran 6 L / menit

3. Ventimask : Oxygen bercampur dengan udara biasa dalam alat Venturi untuk

menciptakan konsentrasi 24, 28, dan 35 %. Aliran oxygen ditulis pada masker. Disini tidak ada dead space pada alat. Model Venturi ini berguna untuk melakukan kontrol pada konsentrasi oxygen, yang mana hal seperti ini diperlukan dalam pengobatan penyakit paru-paru khronis. Telah diketahui bahwa konsentrasi oxygen dalam trachea itu 5 % lebih rendah dari konsentrasi oxygen yang dialirkan melalui Ventimask, kemungkinan karena penambahan uap air, atau jika aliran tertinggi melebihi 32 L / menit.

4. Edinburgh mask : Ini adalah masker agak kaku yang dibuat untuk memberikan oxygen

yang terkendali dengan konsentrasi yang rendah. Dengan aliran 1 L / menit maka FIO2 adalah 25-29%; aliran 2 L / menit : 31-35%; aliran 3 L / menit : 33-39%.

5. Nasal Catheter : Pertama kali digunakan oleh Arbuthnot Lane pada tahun 1907. Ukuran

9 ( Jaques ) itu cocok, dan ujung terminal sepanjang 7 – 10 cm harus diolesi krim analgesik. Ujung distalnya berada dalam nasopharynx. Jika dipasang pharyngeal airway, maka kateter ini dimasukkan dalam airway ini. Dengan alat ini aliran oxygen 3 L / menit akan meningkatkan konsentrasi oxygen dalam udara inspirasi sebesar 30 – 60 %.

Kecelakaan terjadinya lambung yang robek setelah pemberian oxygen therapy dengan nasal catheter telah dilaporkan. Suatu T-piece yang dicelupkan kedalam air sedalam 5 cm yang dihubungkan pada saluran itu merupakan alat pengaman dan digunakan untuk memastikan bahwa kateter tidak masuk oesophagus, dengan test tiupan. Disini harus digunakan alat pelembab udara ( humidifier ).

6. Nasal Canula Plastik.

7. BLB mask ( Boothby, Lovelace, and Bulbulian, 1938 ) : Ini ada yang berbentuk

oronasal dan nasal.

8. Portable Oxygen Apparatus.

9. Ruang Oxygen atau Tenda Oxygen : Alat ini sangat baik untuk bayi dan anak kecil,

dan bila pemberian jangka panjang itu diperlukan. Agar pemberian oxygen cara ini benar-benar bermanfaat, maka aliran oxygen mula-mula 10 L / menit dan kemudian

(24)

rendah dibandingkan dengan masker.Alternatif lain adalah dengan Tenda Kepala

(Vickers). Sistem Venturi itu digunakan untuk memberikan konsentrasi oxygen sampai

34 %.

Alat Croupette Type D adalah sangat berguna untuk pemberian oxygen pada Pediatrik. Alat ini dapat mengalirkan konsentrasi oxygen 27-49 % dengan kecepatan aliran antara 2 – 20 L / menit.

Dengan alat Intensive-care Isolette Incubator dan aliran oxygen antara 1 dan 4,5 L / menit, konsentrasi oxygen pada bibir bayi mungkin antara 58 dan 71 %. Untuk pasen dewasa, suatu tenda volume rendah ( Tenda HiCon ) yang dapat secara cepat meningkatkan konsentrasi oxygen dan tingkat keseimbangan yang tinggi.

10. IPPV : Ini dilakukan bagi pasen sakit berat atau setelah pembedahan mayor.Ini dapat

dipertahankan selama 12 – 24 jam dan diberikan obat analgesik tanpa mengganggu ventilasi. FIO2 dapat dikendalikan dengan mencampurkan udara bebas dengan oxygen, dengan menggunakan flowmeter atau alat blending.

Pemilihan Cara :

1. Jika dibutuhkan FIO2 yang tinggi : MC mask, Sirkuit anestesi.

2. Jika dibutuhkan kontrol FIO2 : Ventimask atau Edinburh mask.

3. Jika dibutuhkan sedikit kenaikkan FIO2 tapi tidak kritis : dapat digunakan berbagai

masker seperti diatas atau nasal catheter.

4. Jika pasen tidak kooperatip : Tenda oxygen, IPPV setelah diberikan obat sedativa

dan intubasi endotrachea.

Suatu studi yang dilakukan dalam hal pemberian oxygen ini menunjukkan bahwa alat nasal catheter itu merupakan alat yang paling disukai oleh pasen dibandingkan dengan masker. Masker seringkali membuat pasen berkeringat dan mengganggu untuk makan dan minum. Oxygen yang diberikan melalui kanule harus diberikan humidifikasi.

Oxygen therapy harus didertai dengan pemeriksaan FIO2 dan PaO2 berulang-ulang bila diberikan lebih dari satu hari, untuk mencegah terjadinya pemberian oxygen konsentrasi tinggi yang tidak diperlukan dan resiko terjadinya kerusakan paru-paru.

Konsentrator Oxygen.

Alat ini memberikan oxygen 94 % dalam udara kamar dengan absorbsi nitrogen dalam atmosfir oleh kristal Zeolite ( aluminosilicate ). Ada dua tangki absorbent atau lebih yang ditempatkan pada tiap mesin, yang satu memproduksi oxygen dan yang lainnya menyerap nitrogen yang disiapkan untuk siklus berikutnya. Mesin yang terkecil dapat memproduksi 3 L / menit dengan harga yang rata-rata 2/3 dari harga oxygen silinder.

Oxygen Hyperbarik.

Menghirup udara biasa, 100 ml plasma akan melarutkan oxygen 0,3 ml. Menghirup oxygen 100%,100 ml plasma melarutkan oxygen 2,1 ml.

(25)

Menghirup oxygen 100% , dengan tekanan 2 atm, 100 ml plasma akan melarutkan oxygen 4,2 ml.

Menghirup oxygen 100%, dengan tekanan 3 atm, 100 ml plasma akan melarutkan oxygen 6,5 ml.

Suatu cara yang efisien dan cepat untuk memulihkan oxygenasi jaringan adalah dengan memberikan oxygen dengan tekanan.

Dengan tekanan 2 atm, walaupun oxygen yang dibawa oleh haemoglo-bine sebagai oxyhaemoglobine itu hanya meningkat 1 vol %, tetapi oxygen yang dibawa larut dalam plasma itu meningkat dari 0,3 menjadi 4,2 vol %. Ketinggian tekanan itu sangat meningkat antara tekanan arteri dan tekanan jaringan yang hypoxic dan hal ini memungkinkan suatu kecepatan peningkatan trasport oxygen dari darah kedalam sel-sel jaringan tubuh. Resistensi vaskuler itu meningkat selama oxygenasi hyperbaric, terutama dalam jaringan otak dan sirkulasi pulmoner.

Oxygen dengan tekanan tinggi dapat diberikan dari bilik bertekanan kedalam tempat pasen berada. Pasen kemudian akan menerima oxygen dari masker biasa dan silinder. Suatu tekanan 2 atm biasanya dikenakan.

Dekompresi akan disertai oleh penurunan suhu yang tajam dengan terbentuknya kabut akibat kondensasi. Hal ini mungkin tidak nyaman untuk pasen dan petugas. Cara lain dapat

digunakan dengan tempat tidur khusus untuk oxygenasi hyperbaric. Ini terdiri dari suatu ruang yang terbuat dari metal dengan suatu lekukan dimana pasen dibaringkan dengan oxygen bertekanan 2,5 atm. Kecepatan kompresi dan dekompresi diatur dari tombol yang berdekatan.

Oxygen Bertekanan Tinggi dalam Kondisi Medis.

1. Untuk pengobatan keracunan carbon monoksida.

2. Untuk pengobatan infeksi oleh organisme anaerob, umpamanya : gas gangrene.

Pertumbuhan dari organisme anaerob dapat dihambat.

3. Pada gangrene yang baru mulai dan frostbite(akibat suhu dingin)

4. Untuk aplikasi topical pada pengobatan decubitus atau ulkus pada kulit.

5. Pada penyakit purpura fulminant.

6. Pada luka bakar.

7. Trauma akut.

8. Pada ischemic vasculitis akut.

9. Sepsis akut dan khronis, resisten pada pengobatan ortodoks.

(26)

Selama oxygenasi hyperbaric, haemoglobine tetap tersaturasi penuh, bahkan yang berada dalam darah vena. Kapasitas buffer dari darah itu tidak meningkat oleh tekanan dari haemoglobine yang tidak tersaturasi.

Oleh karena itu, CO2 yang dibawa dalam darah vena itu kadarnya lebih tinggi. Perbedaan PCO2 dalam arteri dan vena menjadi dua kali lipat.

Kenaikan PCO2 dalam vena dan jaringan juga terjadi dalam pusat respirasi yang akan

meningkatkan ventilasi. Turunnya PCO2 dalam arteri yang mengakibatkan kompensasi dalam hubungan naiknya PCO2 jaringan dan mungkin sebagian berakibat penyempitan pembuluh darah otak yang terjadi pada oxygenasi hyperbaric.

Terjadinya kenaikan PCO2 yang signifikan dalam darah selama latihan dalam bilik

hyperbaric tak bisa dihindarkan. Hal ini akibat dari bertambah padatnya campuran gas yang dihirup, baik pada udara maupun oxygen yang bertekanan. Resistensi terhadap aliran gas sedemikian rupa bahwa disini terjadi peningkatan kerja pernafasan. Tubuh beradaptasi dengan menurunkan ventilasi alveoli dan membiarkan PCO2 yang meningkat.

Oxygen Bertekanan Tinggi Selama Radiotherapy.

Hal ini telah dibuktikan memberikan manfaat selama pengobatan dari tumor di kepala dan leher, cervix dan bronchus.

Bahaya dari Oxygenasi Hyperbaric.

1. Bahaya kebakaran dan peledakan.

2. Tiba-tiba kejang, kecuali nitrogen telah dieliminasi.

3. Keracunan oxygen akut dan kejang-kejang.

4. Avascular necrosis pada tulang.

5. Barotrauma – tidak enak ditelinga.

6. Inflamasi pada paru-paru.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam petualangan kamu dari level ke level kamu dapat mengembangkan skill kamu, setelah level kamu mencapai level 11 kamu bisa melakukan digivolution dan kalau perkembangan level

Kegiatan pertunjukan ini akan sering diadakan untuk mendukung proses pembelajaran musik itu sendiri karena pada dasarnya musik adalah seni pertunjukan dan banyak hal yang tidak

Sibling rivalry merupakan hal yang umum dan rutin terjadi pada anak yang tumbuh dalam keluarga (Molgaard, 1997), namun juga merupakan hal yang menjadi perhatian orang tua

Untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan mahasiswa, dilakukan praktikum di Laboratorium dan Praktek Lapangan yang mencakup: pengenalan peta dan legenda peta tanah

7 Pengaruh inaktivasi in situ dari ameliorasi dan pemupukan pada taraf 0, 50 dan 100% dosis rasional amelioran dan pupuk (DRAP) untuk budidaya tanaman uji tomat pada

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi komposisi tubuh ternak sapi potong lokal di Indonesia yang diberi ransum hijauan tinggi dengan pendekatan pengukuran

Nasabah dengan ini menyetujui bahwa efek dan/atau dana dalam Sub Rekening Efek Nasabah dan/atau Rekening Dana Nasabah maupun efek dan/atau yang akan diterima

Sedangkan Motivasi menurut Schiffman dan Kanuk dalam Serli Wijaya (2005) adalah, “the driving force within individual that impulse to action„„. Definisi tersebut