• Tidak ada hasil yang ditemukan

Askep Erupsi Obat Alergik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Askep Erupsi Obat Alergik"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 3

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 3

AsKep pada pasien dengan Erupsi Obat Alergik

AsKep pada pasien dengan Erupsi Obat Alergik

Disususn oleh :

Disususn oleh :

1.

1. Aferi

Aferi Adi

Adi S

S

(1611010)

(1611010)

2.

2. Agus

Agus Saparudin

Saparudin

(1611011)

(1611011)

3.

3. Ajeng

Ajeng Alfi

Alfi S

S

(1611012)

(1611012)

4.

4. Desi

Desi Setya

Setya N

N

(1611014)

(1611014)

5.

5. Eka

Eka Yulis

Yulis S

S

(1611015)

(1611015)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

PATRIA HUSADA BLITAR

PATRIA HUSADA BLITAR

TAHUN AKADEMIK 2017/2018

TAHUN AKADEMIK 2017/2018

(2)

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha

Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah

melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat

menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan

dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk

itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah

 berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada

kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena

itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca

agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga

makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Blitar, 21 April 2018

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 

... i

DAFTAR ISI

 ... ii

BAB I

... 1

1.1

LATAR BELAKANG

... 1

1.2

RUMUSAN MASALAH

 ... 1

1.3

TUJUAN

... 1

BAB II

 ... 3

2.1

Definisi

 ... 3

2.2

Etiologi

 ... 3

2.3

Patogenesis

 ... 4

2.4

Manifestasi klinis

... 4

2.5

Pemeriksaan Penunjang

... 6

2.6

Penatalaksanaan

... 8

2.7

Prognosis

 ... 9

BAB III

... 11

3.1

Pengkajian

 ... 11

3.2

Diagnosa

... 11

3.3

Intervensi

... 1 1

BAB IV

... 12

4.1

Pengkajian

 ... 12

4.2

Analisis Data

 ... 13

4.3

Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

 ... 13

BAB V

... 14

5.1

Kesimpulan

... 14

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG

Obat adalah bahan kimia yang digunakan untuk pemeriksaan, pencegahan

dan pengobatan suatu penyakit atau gejala. Selain manfaatnya obat dapat

menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan yang disebut reaksi simpang

obat. Reaksi simpang obat dapat mengenai banyak organ antara lain paru,

ginjal, hati, dan sumsum tulang tetapi reaksi kulit merupakan manifestasi

yang tersering.

Reaksi tersebut dapat berupa reaksi yang dapat diduga (predictable) dan

yang tidak dapat diduga (unpredictable). Reaksi simpang obat yang dapat

diduga (predictable) terjadi pada semua individu, biasanya berhubungan

dengan dosis dan merupakan farmakologi obat yang telah diketahui. Reaksi

ini meliputi 80% dari seluruh efek simpang obat termasuk diantaranya efek

samping dan overdoses (kelebihan dosis). Rekasi simpang yang tidak dapat

diduga (unpredictable) hanya terjadi pada orang yang rentan, tidak

tergantung pada dosis dan tidak berhubungan dengan efek farmakologis

obat, termasuk diantaranya reaksi alergi obat. Reaksi alergi obat pada kulit

disebut erupsi alergi obat.

1.2

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana konsep dasar penyakit erupsi obat alergik ?

2. Bagaimana konsep askep pada pasien yang menderita erupsi obat

alergik ?

3. Bagaimana aplikasi kasus semu pada pasien erupsi obat alergik ?

1.3

TUJUAN

1. Mengetahui konsep dasar penyakit erupsi obat alergik.

(5)
(6)

2

BAB II

Konsep Dasar Penyakit

2.1

Definisi

Erupsi obat alergik atau

allergic drug eruption  ialah reaksi alergik pada

kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat

yang biasanya sistemik.

Erupsi obat alergik (EOA) merupakan reaksi hipersensitivitas yang

ditandai oleh satu atau lebih makula yang berbatas jelas, berbentuk bulat

atau oval dengan ukuran lesi bervariasi dari beberapa milimeter sampai

 beberapa

sentimeter.

Gambaran

yang

khas

dari

EOA

adalah

kecenderungannya untuk berulang di tempat lesi yang sama bila terpapar

kembali dengan obat yang sama.

2.2

Etiologi

Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu,

tempat dan jenis penelitian yang dilaporkan. Tingginya angka kejadian

alergi obat tampak berhubungan erat dengan kekerapan pemakaian obat

tersebut. Diduga risiko terjadinya reaksi alergi sekitar 1

 – 

  3% terhadap

sebagian besar jenis obat. Pada umumnya laporan tentang obat tersering

 penyebab alergi adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat dan pirazolon.

Obat lain yang sering pula dilaporkan adalah analgetik lain (asam

mefenamat), antikonvulsan (dilantin, mesantoin, tridion), sedatif (terutama

luminal) dan trankuilizer (fenotiazin, fenergan, klorpromazin, meprobamat).

Tetapi, alergi obat dengan gejala klinis berat paling sering dihubungkan

dengan penisilin dan sulfa.

(7)

2.3

Patogenesis

2.4

Manifestasi klinis

Manifestasi alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena

atau

menurut

mekanisme

kerusakan

jaringan

akibat

reaksi

imunologis

Gell 

 dan

Coombs

(tipe I sampai dengan IV).

1.

Tipe I (Hipersensivitas Tipe Cepat)

Manifestasi yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat

reaksi antigen dengan IgE yang telah terbentuk menyebabkan

kontraksi otot polos. Meningkatnya permeabilitas kapiler serta

hipersekresi kelenjar mukus. a) Kejang bronkus gejalanya berupa

sesak, kadang

 – 

  kadang kejang bronkus disertai kejang laring. Bila

disertai edema laring keadaan karena pasien tidak dapat atau sangat

sulit bernapas. b) Urtikaria, c) Angiodema, d) Pingsan dan hipotensi.

Renjatan anafilatik dapat terjadi beberapa menit setelah suntikan

seperti penisilin.

Manifestasi klinis renjatan anafilatik dapat terjadi dalam waktu 30

menit setelah pemberian obat, karena hal tersebut mengenai beberapa

organ dan secara potensial membahayakan. Reaksi ini sering disebut

sebgai anafilaksis. Penyebab yang tersering adalah penisilin .

Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu :

a. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan

IgE;

 b. Fase aktivasi yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen

spesifik. Akibat aktivasi ini sel mast basofil mengeluarkan

kandungan yang berbentuk granual yang dapat menimbulkan

reaksi;

c. Fase efektor yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks

akibat pelepasan mediator.

(8)

Reaksi hipersensivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi karena

terbentuknya IgM atau IgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut

dapat mengaktifkan sel – 

 sel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan

antibodi antigen juga dapat mengaktifkan komplemen melalui reseptor

komplemen.

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan

darah seperti anemia hemolitik, trombositopena, eosinofilia dan

granulasitopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi

alergi tipe ini.

3.

Tipe III

Reaksi ini disebut reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila

kompleks ini mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan di sini

ialah IgM dan IgG. Kompleks ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh

yaitu dengan penglepasan komplemen.

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa :

a. Demam;

 b. Limfadenopati;

c. Kelainan sendia, artralgia dan efusi sendi;

d. Urtikaria, angiodema, eritema, makulopapula, eritema multiforme.

Gejala tersebut sering disertai pruritis;

e. Lainnnya

seperti

kejang

perut,

mual,

neuritis

optik,

glomerulonefritis, sindrom lupus eritematosus sistemk serta

vaskulitis.

Gejala tadi timbul 5

 – 

  20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila

sebelumnya pernah mendapat obat tersebut gejalanya dalam waktu 1

 – 

5 hari.

4.

Tipe IV

Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity

(DTH) juga

dikenal sebagai

Cell Mediated Imunity

(reaksi imun seluler). Pada

reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi karena respon sel

T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.

(9)

Berbagai jenis Delayed Type Hypersensitivity

(DTH) antara lain :

a. Cutaneous Basophil  Hypersensitivity;

b.

Hipersensivitas kontak (kontak dermatits);

c.

Reaksi tuberkulin;

d.

Reaksi granuloma.

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru

akut seperti demam, sesak, batuk, infiltrat paru dan efusi pleura. Obat

yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantion, nefritis

intersyisial, ensefalomielitis dan hepatitis. Namun, dermatitis

merupakan manifestasi yang paling sering. Kadang

 – 

  kadang gejala

 baru timbul bertahun – 

 tahun setelah sensitasi. Contohnya, pemakaian

obat tropikal (sulfa, penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah

sensitif, gejala dapat muncul 18 – 

 24 jam setelah obat dioleskan.

2.5

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan

 penyebab erupsi obat alergi adalah :

a.

Pemeriksaan in vivo

Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat

imunogenik yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya.

Bahan uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindari positif

 palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas karena baru sedikit sekali

determinan antigen obat yang sudah diketahui dan tersedia untuk uji

kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro

molekul seperti insulin, antisera, ekstrak organ, sedangkan untuk

mikromolekul sejauh ini hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap

 penisilin saja. Uji ini antara lain :

1) Uji Tempel

(patch test)

Uji tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis kontak.

Suatu seri sediaan uji tempel yang mengandung berbagai obat

ditempelkan pada kulit (biasanya daerah punggung) untuk dinilai

48

 – 

  72 jam kemudian. Uji tempel dikatakan positif bila terjadi

(10)

Klinis alergi sebelumnya, tetapi dengan intensitas dan skala lebih

ringan.

2) Uji Tusuk

(prick/scratch test)

Uji tusuk dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya reaksi

tipe I, dengan adanya deteksi kompleks antigen IgE spesifik. Uji

kulit dapat dilakukan dengan memakai bahan yang bersifat

imunogenik yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya.

Bahan untuk uji kulit harus bersifat non iritatif untuk

menghindarkan positif palsu. Uji kulit sebetulnya merupakan cara

yang efektif untuk diagnosis penyakit atopik, tetapi manfaatnya

terbatas untuk alergi obat karena pada saat ini baru sedikit sekali

determinan antigen obat yang sudah diketahui. Dengan uji kulit

hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makromolekul (insulin,

antisera, ekstrak organ), sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini

hanya dapat mengidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Hasil

negatif hanya berarti pada uji kulit penisilin.

3) Uji Provokasi

(exposure test)

Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi

merupakan prosedur diagnostik terbatas karena mengandung resiko

yang berbahaya yaitu terjadinya anafilaksis sehingga hanya

dianjurkan dilakukan ditempat yang memiliki fasilitas dan tenaga

yang memadai. Karena itu maka uji provokasi merupakan kontra

indikasi untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis,

sindroma Steven Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan

hematologi, eritema vesiko bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah

eliminasi yang lamanya tergantung dari masa paruh setiap obat.

 b.

Pemeriksaan in vitro

Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian.

Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji

aglutinasi dan lisis sel darah merah, RAST, uji pelepasan histamin, uji

sensitisasi jaringan (basofil atau lerkosit serta esai sitokin dan reseptor

sel), sedangkan pemeriksaan rutin seperti IgE total dan spesifik, uji

(11)

Coomb’s, uji komplemen dan lain – 

  lain bukanlah untuk konfirmasi

alergi obat. Tujuan dari uji ini untuk membantu membedakan apakah

reaksi kulit yang terjadi pada individu tersebut disebabkan karena obat

atau bukan.

2.6

Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Umum

a. Melindungi kulit, pemberian obat yang diduga menjadi penyebab

erupsi kulit harus dihentikan segera;

 b. Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk

mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau

relaps setelah berada pada fase pemulihan;

c. Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2

 – 

3

hari, khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada

kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C

500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik;

d. Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan

tubuhnya. Berikan cairan via infus bila perlu. Pengaturan

keseimbangan cairan elektrolit dan nutrisi penting karena pasien

sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok

serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus,

misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.

2. Penatalaksanaan Khusus

a. Sistemik 

1)

Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat

sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah

 prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis

medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum

dan PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang

dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari.

Pengobatan

eryhema multiforme major,

SSJ dan NET pertama

(12)

 pemberian terapi yang bersifat suportif seperti perawatan luka

dan NET perawatan gizi penderita. Penggunaan glukortikoid

untuk pengobatan SSJ dan masih kontroversial. Pertama kali

dilakukan

pemberianintravenous

immunoglobulin

(IVIG)

terbukti dapat menurunkan progresifitas penyakit ini dalam

 jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG diberikan

sebanyak 0.2 – 

 0.75 g/kg selama 4 hari pertama.

2)

Antihistamin

Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika

terdapat rasa gatal, kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika

dibandingkan dengan kortikosteroid.

b. Topikal

Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah

kering atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak

salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol ½

-1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu

digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%.

Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan

 pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan

membasah

dapat

diberikan

krim

kortikosteroid,

misalnya

hidrokortison 1%

 – 

 2 ½%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa

eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan

salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian

 – 

  sebagian. Terapi

topikal untuk lesi di mulut dapat berupa

kenalog in orabase.

Untuk

lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle

atau krim

sulfadiazin perak.

2.7

Prognosis

Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat

 penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada

 beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell

dan sindrom Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit

(13)

yang terkena. Prognosis buruk bila kelainan meliputi 50-70% permukaan

kulit.

(14)

BAB III

KONSEP ASKEP

3.1 Pengkajian

3.2 Diagnosa

3.3 Intervensi

(15)

BAB IV

APLIKASI KASUS SEMU

4.1 Pengkajian

a. Anamnesa

 Nama Pasien

: Tn. S

Umur

: 23 Tahun

Alamat

: Wates

Pekerjaan

: Salesman

Keluhan Utama

: Badan panas, lemas, nyeri setelah minum

obat (paramex). Juga terdapat bercak-bercak di seluruh tubuh.

Riwayat Penyakit Sekarang : ± 1 hari yang lalu px merasa masuk

angin lalu px minum obat paramex dan minum antangin. Beberapa

 jam kemudian badan terasa lebih panas, lemas dan nyeri lalu muncul

 bercak-bercak di seluruh tubuh. px mengaku baru sekali ini minum

obat paramex, namun sudah berkali-kali minum antangin.

Riwayat penyakit dahulu : (-)

Riwayat penyakit keluarga : (-)

 b. Pemeriksaan Fisik :

Inspeksi

: pada seluruh tubuh terdapat lesi berbentuk macula

eritematosa dan hiperpigmentasi di tepi-tepinya.

Berkonfluensi, berbatas tegas, disertai papul-papul.

c. TTV :

TD

: 120/90 mmHg

RR

: 20 x/mnt

 N

: 68 x/mnt

T

: 38,7°C

d. Pemeriksaan penunjang

Pmx Darah -> eosinofilia

e. Diagnosa

: Drug Eruption

(16)

4.2 Analisis Data

 No. Data

Etiologi

Masalah Keperawatan

1.

4.3 Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

 No. Masalah

Keperawatan

 NOC

NIC

(17)

BAB V

5.1 Kesimpulan

1. Erupsi obat alergi atau

allergic drug eruption

ialah reaksi alergi

 pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat

 pemberian obat dengan cara sistemik.

2. Belum didapatkan angka kejadian yang tepat dari erupsi alergi

obat.

3. Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat

adalah jenis kelamin, orang dengan sistem imunitas, usia, dosis

obat, infeksi dan keganasan.

4. Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah

mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non

imunologis.

5. Mekanisme imunologis sesuai dengan konsep imunologis yang

dikemukakan oleh Commbs dan Gell yaitu; Tipe I (Reaksi

anafilaksis), Tipe II (Reaksi Autotoksis), Tipe III (Reaksi

Kompleks Imun), Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat).

6. Mekanisme Non Imunologis dapat disebabkan pelepasan mediator

sel mast secara langsung, aktivasi langsung dari sistem

komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim

asam arachidonat sel. Penggunaan obat-obatan tertentu yang

secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu

yang lama akan mengakibatkan hiperpigmentasi generalisata

diffuse.

7. Morfologi erupsi obat mempunyai kemiripan dengan gangguan

kulit lain pada umumnya, gangguan itu diantaranya; urtikaria,

eritema,

dermatitis

medikamentosa,

purpura,

erupsi

eksantematosa, eritroderma, erupsi pustuler, dan erupsi bulosa.

8. Pemeriksaan penunjang erupsi obat ini dapat dilakukan dengan

(18)

maupun teknik

in-vitro

yang cukup reliabel untuk digunakan

secara rutin.

9. Penatalaksanaan penyakit ini terdiri dari penatalaksanaan umum

dan penatalaksanaan khusus. Penatalaksanaan umum dilakukan

 pemberian

terapi

yang

bersifat

suportif

sedangkan

 penatalaksanaan khusus diberikan terapi sesuai gejala yang timbul

terutama

pemberian

obat

golongan

kortikosteroid

dan

antihistamin.

10. Prognosis erupsi alergi obat sangat tergantung pada luas kulit yang

terkena.

(19)

Referensi

Dokumen terkait