• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Subdural Hematoma

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Subdural Hematoma"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I Pendahuluan

Hematom subdural (SDH) adalah kumpulan darah di antara lapisan duramater dan arakhnoid. Perdarahan dalam ruang subdural sering disebabkan karena adanya disrupsi dari ‘bridging veins’ yang disertai memar otak dan biasa berlokasi di regio temporal.

Hematom subdural tidak hanya terjadi pada pasien dengan cedera kepala berat, tetapi juga pada pasien dengan cedera kepala ringan, terutama mereka yang berusia lanjut atau yang mengonsumsi obat antikoagulan. Hematom subdural bisa terjadi secara spontan atau disebabkan oleh prosedur suatu tindakan. Tingkat mortalitas dan morbiditas bisa tinggi, bahkan dengan perawatan terbaik.

Hematom subdural biasanya diklasifikasikan berdasarkan ukuran, lokasi dan lama terjadinya (akut, subakut, atau kronis). Gambaran hematom pada studi neuroimaging dapat membantu menentukan kapan hematom terjadi. Kondisi neurologis dan medis pasien juga menjadi faktor yang menentukan pengobatan dan prognosisnya.

Hematom subdural akut adalah jenis yang paling umum dari hematom intrakranial traumatik, terjadi pada 24 % dari pasien dengan kesadaran menurun. Trauma yang signifikan bukanlah satu-satunya penyebab hematom subdural. Hematom subdural kronis dapat terjadi pada orang tua setelah trauma kepala yang tampaknya tidak penting. Seringkali, kejadian sebelumnya tidak pernah disadari. Sebagian kecil hematom subdural kronis berasal dari fase akut yang telah ‘jatuh tempo’ karena kurangnya perawatan.

Hematom subdural pada pasien yang lebih tua dapat menimbulkan kesulitan dalam menegakkan diagnostik dan terapeutik. Hematom subdural kronis, biasanya terjadi pada orang tua dengan insiden paling tinggi pada dekade keenam dan ketujuh dari kehidupan.

Insiden hematom subdural kronis adalah sekitar 1 dari 100.000 penduduk per tahun, kejadian meningkat pada usia 70-79 kelompok. Secara signifikan, hematom subdural merupakan penyebab demensia reversibel.

Faktor predisposisi lainnya termasuk antikoagulan, alkoholisme, epilepsi, perdarahan diatesis, tekanan intrakranial rendah sekunder akibat dehidrasi atau setelah pengambilan cairan serebrospinal, dan karena disfungsi trombosit. Sebanyak 24% pasien dengan hematom subdural kronik diketahui mengonsumsi warfarin atau obat antiplatelet, 5% -10% memiliki riwayat alkoholisme dan epilepsi.(7,12)

(2)

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1 Anatomi Selubung Otak

Otak dan medulla spinalis diselubungi oleh tiga lapisan (meninges) yang berasal dari mesodermal; duramater yang kuat terletak paling luar, diikuti oleh arakhnoid dan terakhir piamater. Piamater terletak tepat pada permukaan otak dan medulla spinalis. Di antara duramater dan arakhnoid terdapat ruang subdural; antara arakhnoid dan piamater terdapat ruang subarachnoid.(8)

Gambar 1 Central Nervous System

Dikutip dari “Anatomy & Phisiology made Incridibly Visual” a. Duramater

Duramater terdiri dari dua lapisan jaringan penyambung fibrosa yang kuat yaitu membran eksternal dan internal. Lapisan luar duramater kranialis adalah periosteum di dalam tengkorak. Lapisan dalam adalah lapisan meningeal yang sesungguhnya; membentuk batas terluar ruang subdural yang sangat sempit. Kedua lapisan dura terpisah satu sama lain di sinus dura. Arteri-arteri dura relatif berkaliber besar karena pembuluh darah tersebut juga menyuplai tulang tengkorak. Pembuluh darah

(3)

tersebar di seluruh konveksitas tengkorak. Arteri ini adalah cabang dari arteri maksilaris yang berasal dari arteri karotis eksterna. Arteri meningea anterior relatif kecil dan memvaskularisasi bagian tengah duramater frontalis dan bagian anterior falks serebri. Arteri meningea posterior memasuki rongga tengkorak melalui foramen jugulare untuk memvaskularisasi duramater di fossa kranii posterior.(8)

b. Arakhnoid

Arakhnoid otak dan medulla spinalis merupakan membaran avaskular yang tipis dan rapuh yang berhubungan erat dengan permukaan dalam duramater. Ruang antara duramater dan arakhnoid disebut ruang subdural, sedangkan ruang antara ruang arakhnoid dan piamater disebut ruang sub arakhnoid dimana di dalamnya terdapat cairan serebrospinal.(8)

Gambar 2 Meninges

Dikutip dari “Reinhard Rokhamm Color Atlas of Neurology” c. Piamater

Piamater terdiri dari lapisan tipis sel-sel mesodermal yang menyerupai endothelium. Tidak seperti arakhnoid, struktur ini tidak hanya meliputi seluruh permukaan eksternal otak dan medulla spinalis yang terlihat tetapi juga permukaan yang tidak terlihat di sulkus dalam. Pembuluh darah yang memasuki atau meninggalkan otak dan medulla spinalis melalui ruang subrakhnoid dikelilingi oleh selubung seperti terowongan piamater, ruang di antara pembuluh darah dan piamater di sekitarnya disebut ruang Vischow-Robin.(8)

(4)

2.2 Definisi

Hematom subdural adalah hematom yang terbentuk karena adanya perdarahan yang terkumpul di antara duramater dan arakhnoid (ruang subdural). Hal ini bisa terjadi oleh karena trauma termasuk aselerasi atau deselerasi yang menyebabkan robeknya jembatan vena dari otak ke sinus dural. Apabila volume hematom meningkat, tekanan intrakranial juga akan meningkat dan menyebabkan herniasi.(1,10)

Kejadian hematom subdural bisa dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, tergantung pada ukuran hematom dan kelainan lain yang terkait dengan kerusakan otak. Semakin cepat kejadian ini dirawat dan diatasi, semakin tinggi harapan pasien pulih.

Gambar 3 Hematom subdural

Dikutip dari “Robbins & Cotran Pathologic Basis of Disease 8th

Hematom subdural dibagi atas tiga klasifikasi: hematom subdural akut, hematom subdural subakut dan hematom subdural kronik.(1)

(5)

Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik penting dan serius dalam 24- 48 jam setelah cedera. Seringkali berkaitan dengan trauma otak berat, hematom ini juga mempunyai mortalitas yang tinggi.

b) Subdural subakut ( 2-14 hari)

Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik yang bermakna dalam waktu lebih 48 jam tetapi kurang dari dua minggu setelah cedera. Seperti hematom subdural akut, hematom ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.

c) Subdural kronik ( > 14 hari)

Timbulnnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama(2,4)

2.3 Epidemiologi

Hematom subdural bisa terjadi pada 1/3 dari kejadian cedera kepala berat. Peningkatan usia bisa menyebabkan peningkatan faktor resiko untuk terjadinya hematom subdural. Kejadian ini dilaporkan sebanyak 7.35 kasus per 100.000 bagi populasi golongan yang berusia 70- 79 tahun. Penelitian yang dijalankan di UK melaporkan sebanyak 12,5 kasus per 100.000 untuk setahun bagi populasi anak- anak yang berusia 0-2 tahun dan sebanyak 0-24 kasus per 100.000 untuk anak- anak yang berusia 0- 1 tahun. Hasil penelitian ini juga menunjukkan kasus yang disebabkan oleh non- accidental injury sebanyak 57%.(6)

Penyebab lain hematom subdural yaitu:

 Komplikasi perinatal

 Meningitis

 Idiopatik

Hipotensi intrakranial spontan juga turut dilaporkan sebagai penyebab kasus hematom subdural tetapi kejadiannya jarang. Hematom subdural kronik bisa terjadi pada golongan usia lanjut akibat trauma atau penggunaan antikoagulan.

2.4 Etiologi

(6)

 Trauma kepala akibat jatuh, kecelakaan lalu lintas, atau penyerangan. Trauma yang terjadi bisa menyebabkan robeknya pembuluh darah vena ‘bridging veins’ yang berjalan di sepanjang permukaan otak.(11)

 Gangguan perdarahan (faktor koagulan) atau orang-orang yang mengonsumsi obat anti-koagulan (contoh: warfarin, heparin, hemofilia, gangguan hepar, trombositopenia)

 Perdarahan intrakranial non-traumatik seperti aneurisma serebri, arteri-vena malformasi, atau tumor

 Post-operasi (craniotomy, CSF shunting)

 Shaken baby syndrome (pada pasien pediatri)

 Spontan atau tidak diketahui (jarang) (7)

Penyebab dari hematom subdural kronik termasuk di bawah ini:

 Trauma kepala

 Hematom subdural akut dengan atau tanpa intervensi operasi

 Spontan atau idiopatik(7)

Faktor risiko kronik hematom subdural:

 Alkoholisme kronik

 Koagulopati

 Terapi Antikoagulan (termasuk aspirin)

 Penyakit Kardiovascular (contoh, hipertensi, arteriosklerosis)

 Trombositopenia

(7)

Pada pasien muda, alkoholisme, trombositopenia, gangguan perdarahan, dan terapi antikoagulan oral telah banyak ditemukan. Kista arakhnoid sering dikaitkan dengan hematom subdural kronik pada pasien usia di bawah 40 tahun.

Pada pasien lebih tua, penyakit jantung dan hipertensi lebih banyak ditemukan. Dalam suatu penelitian, 16% pasien dengan hematom subdural kronik tengah mendapatkan terapi aspirin. Gejala dehidrasi berat hanya ditemukan pada 2% pasien dengan kondisi hematom subdural kronik7. Selain itu, pada pasien lebih tua (>60 tahun)

didapatkan atrofi serebri yang menyebabkan ketegangan pada “bridging veins” yang memungkinkan terjadinya cedera.(7,18)

2.5 Patofisiologi

Subdural hematom dapat disebabkan oleh suatu mekanisme cedera akselerasi-deselarasi (akselerasi kepala pada bidang sagittal dari posterior ke anterior dan akselerasi-deselarasi kepala dari anterior ke posterior) akibat dari perbedaan arah gerakan antara otak terhadap fenomena yang didasari oleh keadaan otak dapat bergerak bebas dalam batas-batas tertentu dalam rongga tengkorak dan pada saat mulai gerakan (sesaat mulai akselarasi) otak tertinggal di belakang tengkorak untuk beberapa waktu yang singkat. Akibatnya otak akan relatif bergeser terhadap tulang tengkorak dan duramater, kemudian terjadi cerdera pada permukaan terutama pada vena-vena penggantung (bridging veins).(1,19,20)

(8)

Tabel 1 Tipe Trauma Kepala

Dikutip dari “Reinhard Rokhamm Color Atlas of Neurology”

Mekanisme ini juga sering dihubungkan dengan kontusio, edema otak, dan Diffuse

Axonal Injury. Pembuluh darah yang sering ruptur adalah vena-vena penghubung antara

permukaan korteks sampai sinus duramater. Secara alternatif suatu pembuluh darah kortikal dapat terganggu akibat akselerasi langsung. Pada hematom subdural akut, ruptur arteri kortikal mungkin berhubungan dengan cedera ringan dan tak ada kontusio.

Penyebab tersering yang dijumpai sehari-hari adalah trauma otak. Pada kasus-kasus cedera kepala berat, 44% mempunyai takanan intrakranial >20mmHg dan 82% mempunyai tekanan >10mmHg. Tingginya tekanan intrakranial mempunya korelasi dengan prognosis penderita yang buruk (normal tekanan intrakranial 10-15mmHg). Peningkatan tekanan intrakranial yang lebih dari 10mmHg dikategorikan sebagai keadaan yang patologis (hipertensi intrakranial), yang berpontensi merusak otak serta berakibat fatal. Secara garis besar kerusakan otak akibat tekanan intrakranial yang tinggi yang terjadi melalui dua mekanisme: yang pertama adalah sebagai akibat gangguan aliran darah serebral dan yang kedua adalah sebagai akibat dari proses mekanis pergeseraan otak yang kemudian menimbulkan distorsi dan herniasi otak. Penyebab umum tingginya tekanan intrakranial antara lain: massa lesi (hematom, neoplasma, abses edema fokal), sumbatan aliran likuor, obstruksi sinus vena yang besar, edema otak difus dan ada pula yang idiopatik seperti pada pseudo tumor serebri.(20)

(9)

Gambar 4 Patofisiologi Hematom subdural

Dikutip dari “Essential of Rubin’s Pathology 6th Edition”

2.6 Manifestasi Klinik

Gejala dari hematom subdural sangat bergantung pada derajat perdarahannya:

 Pada cedera kepala yang tiba-tiba, perdarahan hebat akan menyebabkan hematom subdural, seseorang bisa mengalami penurunan kesadaran hingga masuk dalam fase koma.

 Seseorang yang menunjukkan keadaan normal setelah mengalami cedera kepala, perlahan-lahan akan mengalami kebingungan kemudian penurunan kesadaran selama beberapa hari. Hasil ini didapatkan dari perdarahan yang lambat.

 Pada hematom subdural yang sangat lambat, biasanya tidak ditemukan gejala signifikan dalam 2 minggu setelah trauma terjadi.(12)

Gejala global yang dapat muncul pada pasien dengan hematom subdural adalah penurunan kesadaran, nyeri kepala, mual, muntah, kebingungan gangguan kognitif, perubahan perilaku, dan kadang disertai kejang. Sedangkan gejala fokal yang ditemukan

(10)

adalah hemiparese kontralateral dengan lesi, gangguan keseimbangan atau berjalan, parese N.III & VI ipsilateral dengan lesi, serta kesulitan dalam berbicara.(7)

Hematom subdural Akut Hematom subdural Kronik

Gejala muncul sesaat setelah cedera kepala (ringan sampai berat)

Gejala muncul 2-3 minggu setelah trauma Penurunan kesadaran dapat terjadi tetapi tidak

selalu

Cedera awal mungkin dianggap tidak berarti, terutama pada pasien tua dengan terapi antikoagulan atau alkoholisme

Kemungkinan ditemukan keadaan “lucid

interval” beberapa jam setelah trauma.

Gejala cenderung bertahap-progresif

Biasanya ditemukan defisit neurologis yang berkembang seperti kelemahan pada kedua tungkai, kesulitan berbicara, kebingungan, atau perubahan perilaku

Tabel 2 Perbandingan antara SDH Akut dan SDH Kronik

Dikutip dari “patient.co.uk Hematom subdural” Gejala Defisit Neurologi yang dapat ditemukan :

Keluhan pada pasien dapat timbul langsung setelah hematom terjadi atau jauh setelah mengidap trauma kapitis. Masa tanpa keluhan itu dinamakan “latent interval” dan bias berlangsung berminggu-minggu atau bahkan lebih dari dua tahun. Pada fase ini kebanyakan penderita hematom subdural mengeluh tentang sakit kepala atau pening, seperti yang dikeluhkan oleh pasien kontusio serebri pasca trauma kapitis. Apabila di samping itu timbul gejala-gejala yang mencerminkan adanya proses desak ruang intrakranial, pada saat itulah terhitung mulai muncul manifestasi hematom subdural. Gejala-gejala tersebut bisa berupa kesadaran yang makin menurun, hemiparese ringan, hemihipestesia, terkadang ditemukan epilepsi fokal dengan tanda-tanda papil edema.

Hemiparese yang dapat timbul adalah hemiparese kontralateral atau ipsilateral. Hemiparese ipsilateral berkembang sebagai hasil penekanan pedunkulus serebri pada tepi tentorium di sisi kontralateral hematom.

Seseorang bisa saja memiliki gejala yang berbeda dengan yang lain. Selain ukuran hematom subdural, usia seseorang dan kondisi medis lainnya dapat mempengaruhi respon

(11)

2.7 Diagnosis

2.7.1 Anamnesis

1. Riwayat trauma kepala baik dengan jejas atau tidak?

2. Adanya kehilangan kesadaran (pingsan) atau tidak setelah trauma? 3. Adanya keadaan pasien kembali sadar seperti semula (lucid interval)?

4. Apakah ada riwayat amnesia setelah trauma (amnesia retrograde atau amnesia anterograde)?

5. Apakah ada muntah atau kejang setelah terjadinya trauma?

Kepentingan mengetahui adanya muntah dan kejang adalah untuk mencari penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau proses intra kranial yang masih berlanjut.

6. Apakah ada nyeri kepala atau muntah? 7. Apakah ada kelemahan anggota gerak?

8. Ditanyakan pula riwayat penyakit yang pernah diderita, obat-obatan yang pernah dan sedang dikonsumsi, dan konsumsi alkohol(20)

2.7.2 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang mencakup jalan napas (airway), pernafasan (breathing), dan tekanan darah dan nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Secara bersamaan pemantauan terhadap terjadinya syok dan peningkatan tekanan intrakranial juga dilakukan. Jika terjadi hipotensi atau syok harus segera diberikan cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan bradipnea.

Pemeriksaan neurologik meliputi :

1. Penilaian kesadaran pasien menggunakan Skala Koma Glasgow (GCS) meliputi kemampuan pasien membuka mata, respon verbal, dan respon motorik.

2. Penilaian fungsi kortikal luhur pasien apakah ada gangguan atau tidak (contoh: disorientasi)

3. Pemeriksaan rangsang menings (kaku kuduk dan Kernig sign)

4. Pemeriksaan nervus cranialis untuk menilai adanya tanda-tanda defisit neurologis fokal, hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah telah terjadi herniasi di dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal.

5. Pemeriksaan motorik untuk menilai sistem motorik pasien apakah ada parese atau lateralisasi disertai kelumpuhan.

(12)

6. Pemeriksaan sensorik untuk menilai apakah ada hipestesi pada pasien. 7. Penilaian sistem saraf otonom pasien

Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial meliputi lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi dini adanya gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma langsung pada mata bisa membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit.(15,20)

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang a. CT-scan

Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila ada kecurigaan suatu lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat seluruh jaringan otak dan secara akurat membedakan sifat dan keberadaan lesi intra- aksial dan ekstra -aksial.

Hematom subdural akut pada CT-san kepala (non kontras) tampak sebagai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk “cressent sign” sepanjang bagian dalam tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak di daerah parietal. Subdural hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh garis sutura. Jarang sekali subdural hematom berbentuk lensa seperti epidural hematom dan biasanya unilateral.(1,20)

Pendarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window width. Pengeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada pendarahan subdural yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila midline shift hebat harus dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya. Pendarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum relative tidak bergerak sehingga merupakan proteksi terhadap ‘bridging veins’ yang terdapat di sana.

Di dalam fase subakut pendarahan subdural menjadi isodens terhadap jaringan otak sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena itu pemeriksaan CT dengan kontras MRI sering dipergunakan pada kasus pendarahan subdural dalam waktu 48-72 jam setelah trauma kapitis. Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan

(13)

Pendarah subdural subakut sering juga berbentuk lensa (bikonveks) sehingga membingungkan dalm membedakannya dengan epidural hematom.(1,15,19)

Normal Hematom subdural Epidural hematom

Gambar 5 Perbandingan gambaran CT scan pada orang normal, SDH, dan EDH

Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat pada gambaran CT tanpa kontras. Seringkali, hematom subdural kronis muncul sebagai lesi heterogen padat yang mengindikasikan terjadinya pendarahan berulang dengan tingkat cairan antara komponen akut (hyperdense) dan kronis (hipodense).(15,19)

b. Laboratorium

Pemeriksaan minimal laboratorium minimal meliputi pemeriksaan darah rutin, elektrolit, dan profil hemostasis/koagulasi.(22)

2.8 Diagnosis Banding

 Epidural Hematom

Hematom subdural Epidural hematom

Terjadi akibat robekan dari “bridging

veins”

Terjadi akibat robekan arteri meningia media

(14)

trauma Nyeri kepala tidak hilang, kadang

menghebat

Dapat didahului “lucid interval” kemudian kesadaran memburuk Edema papil, lateralisasi, jika berat dapat

terjadi penurunan kesadaran

Lateralisasi disertai kelumpuhan atau refleks patologis

Tabel 3 Perbandingan antara SDH dan EDH

 Perdarahan Subarakhnoid

Hematom subdural Perdarahan Subarakhnoid

Terjadi di ruang subdural Terjadi di ruang subarakhnoid

Terjadi akibat robekan dari “bridging veins” Terjadi akibat pecahnya aneurisma pada

Sirkulus Willisi

Nyeri kepala tidak hilang kadang menghebat Nyeri kepala tiba-tiba dan berat

Jika perdarahan berat dapat terjadi penurunan

kesadaran Kesadaran up and down

Pada CT scan ditemukan lesi hiperdens seperti bulan sabit

Pada CT scan ditemukan lesi hiperdens batas sesuai girus

Tabel 4 Perbandingan antara SDH dan PSA

2.9 Penatalaksanaan

Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH tentu kita akan memerhatikan kondisi klinis dan radiologinya. Dalam masa mempersiapkan tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan medikamentosa untuk menurukan tekanan intrakranial seperti pemberian mannitol 0,25gr/kgBB, atau furosemid 10 mg intravena, dihiperventilasikan.(12)

(15)

Pada kasus pendarahan yang kecil (volume < 30 cc) dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini ada kemungkinan terjadi penyerapan darah pada pembuluh darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran. Pemberian diuretik digunakan untuk mengurangi pembengkakan. Pemberian Fenitoin untuk mengurangi risiko kejang yang terjadi akibat serangan pasca trauma, karena penderita mempunyai risiko epilepsi pasca trauma 20% setelah SDH akut. Pemberian transfusi dengan Fresh Frozen Plasma (FFP) dan trombosit, dengan mempertahankan prothrombine time di antara rata-rata normal dan nilai trombosit >100.000. Pemberian kortikosteroid, seperti deksametason dapat digunakan untuk mengurangi inflamasi dan pembengkakan pada otak.(12,15)

2.9.2 Operatif

Evakuasi hematom merupakan pengobatan definitif dan tak boleh terlambat karena menimbulkan resiko berupa iskemia otak dan hiperventilasi. Pembedahan pada SDH akut dengan kraniotomi yang cukup luas untuk mengurangi penekanan pada otak (dekompresi), menghentikan perdarahan aktif subdural dan evakuasi bekuan darah intra parenkimal.(1,20,22)

Indikasi operatif pada kasus Hematom subdural

a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10mm atau pergeseran midline shift >5mm pada CT-scan.

b. Semua pasien SDH dengan GCS<9 harus dilakukan monitoring tekanan intrakranial c. Pasien SDH dengan GCS<9, dengan ketebalan perdarahan <10mm dan pergeseran

struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS >2 poin antara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit.

d. Pasien SDH dengan GCS <9 dan/atau didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixed. e. Pasien SDH dengan GCS <9, dan/atau TIK>20mmHg.(12,20,22)

Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah kraniotomi burr hole, kraniotomi twist drill, atau drainase subdural. Terapi operatif yang paling banyak dilakukan untuk perdarahan subdural kronik adalah kraniotomi burr hole. Karena dengan teknik ini menunjukkan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien

(16)

yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk melakukan operasi ulang kembali.(15,19)

Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara cepat dengan anestesi lokal. Pada saat ini tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena dengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematom yang biasanya solid dan kenyal apabila kalau volume hematom yang cukup besar. Lebih dari seperlima penderita SDH akut mempunya volume hematom lebih dari 200 ml.

Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Luasnya insisi ditentukan oleh luasnya hematom dan lokasi kerusakan parenkim otak. Usaha di atas adalah untuk memperbaiki prognosa akhir SDH, dilakukan kraniotomi dekompresif yang luas dengan maksud untuk mengeluarkan seluruh hematom, merawat perdarahan dan mempersiapkan dekompesi eksternal dari edema serebral pasca operasi. Pemeriksaan paska operasi menunjukkan sisa hematom dan perdarahan ulang sangat minimal dan struktur garis tengah kembali lebih cepat ke posisi semula disbanding dengan penderita yang tidak dioperasi dengan cara ini.(22)

2.10 Prognosis dan Komplikasi

Prognosis bagi kasus hematom subdural akut dan hematom subdural kronik berbeda. Pasien yang mengalami hematom subdural akut angka mortalitasnya lebih tinggi walaupun dioperasi dengan segera. Terkadang dapat disertai cedera lain yang memperburuk prognosis kasus ini. Dalam beberapa kasus ditemukan defisit neurologik menetap dimana pasiennya berhasil dioperasi. Kadar mortalitas akan meningkatn hingga 50% jika ditemukan komplikasi berupa cedera parenkim otak sedangkan pada hematom subdural akut yang tidak berkomplikasi, kadar mortalitasnya 20%.

Komplikasi yang dapat timbul dari hematom subdural adalah kematian akibat herniasi serebri, peningkatan tekanan intracranial, dan edema serebri. Selain itu, dapat terjadi infeksi akibat tindakan operasi yang dilakukan. Hematom yang berulang dapat terjadi selama proses pengobatan.(5,18)

(17)

 Tidak hilang kesadaran

 Defisit neurologik tidak ditemukan atau sedikit

 Usia pasien kurang dari 50 tahun

 Tidak mengkomsumsi alkohol

 Tidak ada cedera lain

Untuk kasus hematom subdural kronik, prognosisnya lebih baik. Kadar mortalitasnya sekitar 20% setelah dioperasi. (6)

(18)

BAB III Penutup

Hematom subdural akut membawa risiko tinggi kematian . Usia merupakan faktor penting yang mempengaruhi prospek seseorang . Misalnya , orang-orang yang :

 berusia di bawah 40 tahun memiliki risiko 20 % kematian

 berusia 40 sampai 80 tahun memiliki risiko 65 % kematian

 berusia 80 tahun atau lebih memiliki risiko 88 % kematian

Orang-orang yang selamat dari hematom subdural akut biasanya membutuhkan waktu lama untuk pulih dari efek hematom . Waktu pemulihan akan tergantung pada tingkat keparahan hematom . Ada juga kadang-kadang bisa cacat fisik dan mental permanen..

Sedikit informasi yang tersedia tentang subakut hematom subdural karena kasus ini jarang ditemukan . Namun, prospek untuk hematom subdural subakut sering lebih baik daripada untuk hematom subdural akut.

Prospek untuk hematom subdural kronis juga jauh lebih baik daripada prospek hematom subdural akut . Namun, kondisi masih membawa resiko cukup tinggi kematian . Memperkirakan 1 dari 20 orang akan mati dalam 30 hari pertama setelah menjalani operasi untuk mengobati hematom subdural kronis.(11)

Gambar

Gambar 1 Central Nervous System
Gambar 2 Meninges
Gambar 3 Hematom subdural
Gambar 4 Patofisiologi Hematom subdural
+4

Referensi

Dokumen terkait