8
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Limbah B3
Penggunaan B3 dalam sektor industri, pertanian,
dan rumah tangga akan menghasilkan limbah B3
yang perlu dikelola lebih lanjut
8. Bahan Berbahaya
dan Beracun (B3)
dan Limbah B3
Bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah bahan yang karena sifat atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia, serta mahluk hidup lainnya. Penggunaan B3 dalam sektor industri, pertanian, dan rumah tangga akan menghasilkan limbah B3 yang perlu dikelola lebih lanjut.
A. BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN 1. Kondisi B3
Penggunaan bahan kimia yang terklorinasi dalam sektor industri dapat menghasilkan produk samping berupa HCB (hexachlorobenzene), dioksin, dan fu-ran yang tergolong dalam persistent organic pollut-ants (POPs) yang sangat berbahaya bagi kesehatan, tetapi penggunaan bahan berbahaya tidak hanya dalam sektor industri saja karena banyak produk yang digunakan dalam rumah tangga mengandung B3.
a. B3 dalam Rumah Tangga
Produk seperti insektisida, pembersih porselen, kaca, lantai, dan anti sumbat adalah beberapa contoh dari produk rumah tangga yang mengandung B3. Pada tahun 2000 insektisida oil spray diproduksi sebanyak 8.628 buah, krim sebanyak 69.375.164 buah, dan lo-tion 56.880 buah. Pada tahun 2001, produksi insektisida rumah tangga adalah 97.404 buah, insektisida padat kering 14.040.229 lusin, insektisida aerosol 83.319 lusin, serta insektisida cair 155.468 liter dan 80.164 lusin (BPS, 20041).
Obat anti nyamuk jenis oles (insect repellent) mengandung DEET (Diethyltoluamide) dengan konsentrasi 12-15 persen. Insektisida padat kering atau obat nyamuk bakar mengandung pralethrin, D-allethrin, atau transfluthrin. Insektisida cair dan aero-sol mengandung salah satu atau kombinasi dari transfluthrin, propoxur, esbiothrin, pralethrin, cyphenothrin, bioalethrin, dichlorvos, allethrin, D-tetrametrin, D-phenothrin, atau imiprothrin. Bahan aktif
yang digunakan dalam insektisida rumah tangga umumnya termasuk dalam golongan organofosfat, karbamat, atau pyrethroid.
Produksi pembersih porselen/kloset pada tahun 2002 adalah 1.137.155 liter dan 2.856 kg (BPS, 2004). Produk ini umumnya mengandung HCl yang bersifat korosif dan berbahaya jika terhirup. Produksi pembersih kaca cair pada tahun 2000 adalah 36.823 liter (BPS, 20041). Pembersih kaca kemungkinan
mengandung amoniak serta isopropanol yang dapat mengiritasi selaput lendir. Pembersih lantai cair yang diproduksi sebanyak 5.287.775 liter, 1.163.561 kg, dan 150.227 lusin selama tahun 2002 (BPS, 2004) dapat mengandung minyak pinus, distilasi petroleum, dan nafta. Minyak pinus (pine oil) dapat mengiritasi mata dan selaput lendir. Distilasi petroleum dapat mengiritasi kulit, mata, dapat menimbulkan pembengkakan paru-paru fatal dan mudah terbakar. Nafta dapat mengiritasi mata dan jika terhirup dapat menyebabkan pingsan (drowsiness), sakit kepala, koma dan henti jantung (Tabel 8.1).
Produk yang mengandung B3 dan sering digunakan dalam rumah tangga lainnya adalah pengharum ruangan, baterai, cat rambut, dan pemutih pakaian. Kecuali insektisida, pembersih saluran (anti sumbat/ drain cleaner), dan pembersih porselen, kebanyakan produsen tidak mencantumkan bahan aktif yang digunakan dalam kemasannya.
b. Pestisida
Untuk penggunaan pertanian/industri, banyaknya pestisida yang diproduksi adalah 3.228.953 kg, insektisida 603.308 liter, fungisida 51.349 liter, dan herbisida 151 ton pada tahun 2002 (BPS, 2004) seperti terlihat pada Tabel 8.1, sedangkan penggunaan pestisida untuk kolam dan tambak pada tahun 2001 dan 2002 ditampilkan pada Tabel 8.2. Pestisida yang digunakan dalam tambak air payau dan tambak udang windu mengandung zat aktif triklorfon, diklorvos (tergolong dalam kelas organofos-fat), fentin asetat (organo-tin), niklosamida (anilin), dan rotenon (biologi) (Deptan, 2004).
Pemakaian pestisida untuk tambak pada tahun 2002 meningkat 4.673,9 persen jika dibandingkan dengan tahun 2001. Peningkatan ini tidak sebanding dengan peningkatan produksi tambak yang hanya sebesar 3,89 persen. Provinsi dengan peningkatan terbesar adalah Jawa Timur (205.578,8 persen) dengan peningkatan produksi tambak sebesar 6,97 persen. Penurunan pemakaian pestisida (-98,62 persen) diikuti dengan penurunan produksi (-44,11 persen) terjadi di Provinsi Bali. Sedangkan di Sulawesi Tenggara pemakaian pestisida (-93,93 persen) meningkatkan produksi sebesar 26,97 persen. Penggunaan pestisida di Sulawesi Tengah meningkat 903,48 persen walaupun produksinya turun 421,36 persen (BPS, 20042).
1 Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2003, BPS, 2004
Sumber: Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2003, BPS, 2004
Pupuk fosfat alam
Pupuk fosfat alam
Pupuk dolomit
Zeolit
Pupuk guano
Pupuk ikan mentah
Pupuk alam/nonsintetis
lainnya
Amonium sulfat (ZA)
Urea
Double superphosphate
(DSP)
Fused magnesium
phos-phate (FMP)
Pupuk buatan tunggal
lainnya Pupuk buatan
tunggal lainnya Pupuk
buatan majemuk nitrogen
kalium lainnya
Pupuk buatan majemuk
fosfat kalium
Pupuk buatan majemuk
fosfat kalium lainnya
Pupuk buatan majemuk
(NPK)
Pupuk buatan NPK lainnya
Pupuk campuran
Pupuk pelengkap cair (PPC)
Insektisida untuk pertanian/
industri
Insektisida senyawa lainnya
Insektisida senyawa lainnya
Fungisida untuk pertanian/
industri
Fungisida senyawa lainnya
Fungisida senyawa lainnya
Herbisida untuk pertanian/
industri
Rodentisida senyawa
lainnya Insektisida padat
kering (mosquito coil)
Insektisida aerosol
Insektisida cairan (liquid)
Insektisida cairan (liquid)
Insektisida padat basa (mat)
Insektisida dalam bentuk
lainnya
Preparat pembasmi hama
rumah tangga
Preparat pembasmi hama
rumah tangga
Uraian
Satuan
Jumlah
ton 39.202 zak 352.141 ton 2.760.709 ton 22.482 ton 8 liter 13.250 ton 687 ton 318.128 ton 11.958.753 ton 406 kg 134.241 liter 14.976.164 ton 2.294 ton 6.646 ton 40.021 ton 9.740 ton 61.352 ton 355.092 ton 464.304 liter 3.083.545 liter 603.308 ton 48 liter 499.642 liter 51.349 kg 938.226 liter 835.201 ton 151 ton 16 lusin 14.040.229 lusin 83.319 liter 155.468 lusin 80.164 lusin 53.880 lusin 246.582 kg 7.731 buah 92.796.546
Uraian
Satuan
Jumlah
Pestisida lainnya
Pestisida lainnya untuk pertanian Pestisida lainnya untuk rumah tangga/kantor
Pestisida lainnya untuk rumah tangga/kantor
Pestisida lainnya Sabun rumah tangga Sabun rumah tangga Sabun cuci padat Sabun cuci padat Sabun cuci padat Sabun cuci padat Sabun cuci cair Sabun cuci cair
Sabun rumah tangga lainnya Sabun keras dalam bentuk batangan atau tablet Sabun keras dalam bentuk batangan atau tablet
Deterjen bubuk untuk keperluan rumah tangga
Deterjen krim untuk keperluan rumah tangga
Deterjen cair untuk keperluan rumah tangga
Deterjen lainnya Deterjen lainnya Bahan pembersih
Bahan pembersih lantai cair Bahan pembersih lantai cair Bahan pembersih lantai cair Bahan pembersih lantai lainnya Bahan pembersih perselin/kloset cair
Bahan pembersih perselin/kloset cair
Bahan pembersih kaca lainnya Bahan pembersih mebel cair Bahan pembersih mebel cair Bahan pembersih lainnya Bahan pembersih lainnya Sabun mandi padat Sabun mandi padat Sabun mandi padat Sabun mandi padat Sabun mandi cair Sabun mandi cair Sabun mandi antiseptik Sabun mandi antiseptik
liter 1.175.302 kg 3.228.953 ton 2.560 liter 1.425.196 kg 6.439.225 buah 5.599.959 kg 1.531.467 batang 2.210.573 buah 1.653.853 kg 108.794.946 lusin 5.335 buah 673.636 kg 15.436.106 kg 482.944 buah 257.576 kg 957 ton 222.667 ton 206.944 ton 21.877 ton 37.779 lusin 305.833 lusin 605.101 liter 5.287.775 kg 1.163.561 lusin 150.277 ton 14.000 liter 1.137.155 kg 2.856 lusin 204.717 galon 23.941 lusin 103.130 kg 324.072 buah 14.306 batang 2.301.915 buah 12.374.430 ton 87.501 lusin 99.200 ton 10.136 buah 90.219.354 kg 288.668 lusin 22.799
Tabel 8.1
Penggunaan pestisida untuk kolam pada tahun 2002 mengalami peningkatan sebesar 1.920,82 persen jika dibandingkan tahun 2001 dengan peningkatan produksi hanya sebesar 14,29 persen. Provinsi dengan peningkatan pemakaian pestisida terbesar adalah Sumatra Utara (28.684,55 persen) dengan peningkatan produksi sebesar 24,55 persen. Peningkatan pemakaian terjadi di NAD (73,33 persen) dengan hasil produksi meningkat 142,67 persen, sedangkan di NTT pemakaian berkurang 30 persen walaupun produksi meningkat 3,88 persen (BPS, 20043).
c. POPs (Persistent Organic Pollutants)
Bahan kimia yang digolongkan sebagai POPs adalah bahan yang mempunyai sifat racun, tahan terhadap perubahan, bioakumulasi, dan dapat berpindah melalui udara, air, dan spesies yang berada jauh dari sumbernya sehingga terakumulasi dalam lingkungan. Bahan kimia yang tergolong dalam POPs meliputi sembilan jenis pestisida organoklor, PCB, dan dua
jenis bahan kimia yang terbentuk secara tidak sengaja, yaitu dioksin dan furan.
DDT adalah pestisida organoklor yang tergolong ke dalam POPs yang digunakan untuk mengendalikan penyakit malaria semenjak tahun 1952. DDT tidak digunakan lagi sejak tahun 1984 dan pada tahun 1993 Departemen Pertanian melarang peredarannya. Studi residu organoklor pada manusia dilaksanakan oleh KLH bekerja sama dengan UNIDO pada tahun 2003 di lokasi dekat bekas pabrik DDT dengan mengambil sampel ASI dari 12 orang ibu yang sedang menyusui, yang lahir dan tinggal di dekat bekas pabrik DDT yang telah tutup pada tahun 1993. Penelitian ini tidak menemukan residu organoklor dalam ASI. Walaupun demikian, penelitian lain menyebutkan residu DDT dalam ASI di daerah per-kotaan di Indonesia adalah 0,11 mg/kg lemak ASI dan di daerah pedesaan sebesar 0,07 mg/kg lemak ASI, sementara konsentrasi DDE di daerah perkotaan 0,05 mg/kg lemak ASI dan 0,76 mg/kg lemak ASI di daerah pedesaan (Burke dkk, 20024).
Sumber: Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2003, BPS, 2004
Tabel 8.2
Banyaknya Pestisida yang Digunakan di Kolam dan Tambak Menurut Provinsi
Tahun 2001-2002
Kolam
Tambak
Tahun 2001
Tahun 2002
Tahun 2001
Tahun 2003
(kg)
(kg)
(kg)
(kg)
Provinsi
NAD
Sumatra Utara
Sumatra Barat
Riau
Jambi
Sumatra Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Maluku Utara
Jumlah
15
246
167
-20
-73
240
63.701
-5.299
2
50
126
-391
10
70.340
26
70.810
972
43.820
30
-207
6
-5.220
1.281.918
144
35
-139
18.120
-1.421.447
2.415
113
-63
930
39.512
-14.335
18.465
125
-1.755
532.990
29.087
639.790
3.284
-68.590
29.981
97.500
-4.217
36
4.677
41.618
29.484.056
255
85
-235
17.611
787.428
1.765
1.600
30.542.938
3 Diolah dari tabel Banyaknya Rumah Tangga dan Produksi Budidaya Kolam Menurut Provinsi, Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2003, BPS, 2004
4 Dikutip dari Additional Preliminary Inventory on PCB, PCDDs/Fs, HCB dan Monitoring on POPs in Indonesia, The Second Interim Report, KLH-UNIDO,
Pada tahun 2004 KLH dan United Nation University (UNU) melakukan pemantauan POPs dalam tanah di sekitar lokasi sungai, dalam air dan sedimen sungai, serta dalam air laut dengan lokasi sebagai berikut: • Jawa Timur: – Kali Surabaya; – S. Rungkut; – Tanjung Perak. • Jawa Tengah:
– S. Banjir Kanal Barat; – S. Banjir Kanal Timur; – Tanjung Mas;
– Pantai Marina. • Bogor dan DKI Jakarta:
– S. Ciliwung; – Pantai Marina; – Pelabuhan Tj. Priok.
Pemantauan juga dilakukan di daerah Lampung, Medan, Kerawang, Brebes, Cianjur, Malang, Padang, Bali, dan Makassar. Senyawa yang dipantau meliputi pp-DDT dan turunannya (op-DDT, pp-DDD, pp-DDE), mirex, aldrin, dieldrin, HCB, heptaklor, klordan, dan endrin.
Berdasarkan pemantauan, umumnya hanya pp-DDT dan turunannya yang masih terdeteksi dalam air sungai yang dipantau, walaupun heptaklor masih terdeteksi pada dua titik sampling di S. Ciliwung dan dieldrin terdeteksi pada satu titik di sungai di Semarang, empat titik di S. Ciliwung, dan satu titik di air laut Tanjung Priok, Jakarta.
Konsentrasi DDT dan turunannya yang melebihi kriteria mutu air kelas I dan II PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air hanya terdapat di satu titik di Kali Surabaya sebesar 3,24 ppb dan satu titik di sungai di Lampung sebesar 3,91 ppb seperti terlihat pada Gambar 8.1.
Pemantauan POPs pada sedimen sungai yang berada di daerah pertanian umumnya hanya mendeteksi DDT dan turunannya, kecuali mirex yang terdeteksi di satu titik sampling di Krawang dengan konsentrasi 15,65 ppb. Untuk sungai yang melewati kota besar seperti Kali Surabaya, Semarang, dan S. Ciliwung, jenis POPs yang terdeteksi lebih beragam karena selain DDT dan turunannya, terdeteksi juga heptaklor, aldrin, t-klordan, dieldrin, endrin, dan HCB seperti terlihat pada Gambar 8.2. Konsentrasi tertinggi POPs dalam sedimen yang terdeteksi untuk senyawa pp-DDT adalah 713,4 ppb.
Hasil pemantauan di tanah menunjukkan hanya pp-DDT dan turunannya yang terdeteksi di daerah pertanian, sedangkan aldrin dan endrin terdeteksi di dalam tanah bantaran sungai yang melewati kota seperti Kali Surabaya dan S. Ciliwung. Konsentrasi tertinggi POPs dalam tanah yang terdeteksi untuk senyawa pp-DDT adalah 1.282 ppb, seperti terlihat pada Gambar 8.3.
Secara keseluruhan terlihat bahwa POPs masih terdeteksi di lingkungan dengan kisaran konsentrasi dalam air sungai sebesar 0,002-3,910 ppb, sedimen sungai sebesar 0,240-713,4 ppb, dan tanah sebesar 0,340-1.282 ppb.
Sumber: The UNU Project on Environmental Monitoring and Governance POPs Pollution in the East Asian Coastal Hydrosphere; Monitoring of POPs in the Coastal Hydrosphere of Indonesia, KLH dan UNU, 2004
Gambar 8.1
Konsentrasi Tertinggi POPs yang Terdeteksi dalam Air Tahun 2004
Konsentrasi (ppb)
Gambar 8.2
Konsentrasi Tertinggi POPs yang Terdeteksi dalam Sedimen Tahun 2004
Sumber: The UNU Project on Environmental Monitoring and Governance POPs Pollution in the East Asian Coastal Hydrosphere; Monitoring of POPs in the Coastal Hydrosphere of Indonesia, KLH dan UNU, 2004
1) Polychlorinated biphenyl (PCB)
PCB adalah golongan bahan kimia organik sintetik yang juga dikenal sebagai hidrokarbon berklorin. PCB bersifat tahan-urai atau tidak dapat dimetabolisme oleh mikroorganisme menjadi senyawa yang lebih sederhana jika lepas ke lingkungan. Sifatnya yang tidak larut air menyebabkan PCB terakumulasi dalam jaringan lemak hewan atau manusia yang terpapar. PCB telah terbukti menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan, yaitu menyebabkan kanker pada hewan dan penyakit nonkanker yang berat seperti gangguan sistem kekebalan dan sistem endokrin.
Survei yang dilakukan oleh KLH dengan UNIDO tahun 2003 di tujuh bengkel transformator dan kapasitor besar milik PT PLN di lima kota menunjukkan bahwa PCB tidak ditemukan di tanah dan air sekitar lokasi karena PT PLN sudah tidak menggunakan oli yang mengandung PCB sejak tahun 1980-an. Survei kedua yang dilakukan pada 24 Februari-1 Maret 2004 meliputi jenis industri yang lebih luas serta menggunakan metodologi yang berbeda dengan survei pertama. Diperkirakan masih terdapat 23.107.791 kg oli yang mengandung PCB harus dimusnahkan, tidak termasuk PCB yang ada dalam kapasitor. Dari jumlah tersebut, sekitar 6 persen oli yang digunakan industri tekstil, bandara, tambang, kimia, dan keramik diduga telah terkontaminasi dan 17 persen oli yang berasal dari sektor otomotif, pengerjaan logam, dan pembangkit tenaga diduga telah terkontaminasi dengan kadar tinggi.
2) Dioksin dan Furan
Sumber yang berpotensi tinggi untuk membentuk dioksin dan furan berasal dari proses termal yang melibatkan bahan organik dan klorin sebagai akibat pembakaran atau reaksi kimia yang tidak sempurna. Pembakaran sampah domestik dapat menghasilkan dioksin 0,1 ng/m3 bahkan 10-20 kali lebih besar, yang
berasal dari pestisida yang terkandung dalam kayu, kertas, PVC, karet, plastik, dan semua bahan yang mengandung klor (Widyamoko, 20005). Perhitungan
perkiraan jumlah emisi dioksin dan furan dengan Standardized Dioxin Toolkit telah dilakukan oleh KLH bekerja sama dengan UNIDO pada tahun 2003 yang didasarkan perhitungan data kuantitatif industri dari Statistik Industri Besar dan Menengah Tahun 2000 (BPS, 2000) memberikan hasil sebagai berikut: • Emisi tahunan dioksin dan furan tahun 2000
diperkirakan sebesar 20.977 g TEQ dengan nilai tertinggi hingga yang terendah berdasarkan kategori adalah:
– pembangkit tenaga = 13.939 g TEQ (66,5 persen)
– pulp and paper = 4.287 g TEQ
(20,4 persen)
– pembakaran tak terkendali = 1.632 g TEQ (7,8 persen) – industri besi dan nonbesi = 948 g TEQ
(4,5 persen) – insinerasi, industri mineral, transportasi lainnya,
dan pembuangan sampah kurang dari 1 persen.
• Emisi dioksin dan furan paling banyak dilepaskan ke udara dan sisanya ke dalam produk dan dalam residu dengan rincian sebagai berikut:
– udara = 13.895 g TEQ (71,8 persen) – produk = 3.464 g TEQ(17,9 persen) – dalam residu = 1.986 g TEQ (10,3 persen) – ke dalam air dan tanah kurang dari 0,5 persen.
Terlepas dari keterbatasan dalam penggunaan
Stan-dardized Dioxin Toolkit untuk memperkirakan emisi
dioksin di Indonesia, angka yang diperoleh dari hasil kalkulasi perlu mendapatkan perhatian serius. Sebagai perbandingan, emisi dioksin dan furan dari 17 negara di Eropa diperkirakan sebesar 20.047 g TEQ6.
Gambar 8.3
Konsentrasi Tertinggi POPs yang Terdeteksi dalam Tanah Tahun 2004
5 Studi Penyusunan Baku Mutu Dioksin - Furan, KLH, 2005
6 Setting Priorities for Reduction and Elimination of Persistent Organic Pollutants in Indonesia, Technical Report No. 3, Kerjasama KLH dengan UNIDO, 16 Maret 2005
Sumber: The UNU Project on Environmental Monitoring and Governance POPs Pollution in the East Asian Coastal Hydrosphere: Monitoring of POPs in the Coastal Hydrosphere of Indonesia, KLH dan UNU, 2004
3) Hexachlorobenzene (HCB)
HCB digunakan sebagai pestisida (sampai tahun 1965) dan bahan baku industri. Menurut International Agency for Research on Cancer, HCB kemungkinan bersifat karsinogen bagi manusia. HCB juga menyebabkan keracunan syaraf akut dengan gejala seperti gemetar, lumpuh, tidak bisa berkoordinasi, lemah, dan kejang. HCB adalah senyawa persistent yang memiliki kelarutan dalam air rendah, sehingga pergerakan dalam ekosistem tanah berjalan lambat. Walaupun mobilitasnya rendah, zat ini berpotensi mengontaminasi air tanah karena berdaya urai rendah.
Produksi HCB murni sudah berkurang tetapi produksi bahan kimia yang digunakan sebagai pelarut, senyawa terklorinasi lainnya, dan pestisida dapat menghasilkan produk samping berupa HCB. HCB juga dihasilkan dalam jumlah kecil dalam proses pembakaran seperti pembakaran sampah kota. Impor HCB murni bersama dengan DDT (1,1,1-trichloro-2,2-bis ethane) dari tahun 1994-2002 adalah 92.569 kg (BPS, 2002) seperti terlihat pada Gambar 8.4. Jumlah terbesar diimpor pada tahun 1998, 1999, dan 2000. Sebagian besar HCB diimpor dari Taiwan.
Jumlah impor dan ekspor pelarut dan bahan kimia terklorinasi pada tahun 1999, 2000, dan 2002 ditampilkan pada Tabel 8.3. Komoditas dalam kategori ini adalah klorin, vinil klorida, dan 1,2-dikloroetana.
Sumber:BPS, 2002, dikutip dari 2nd Phase Inventory, Additional Preliminary Inventory on PCB, PCDDs/Fs, HCB &
Monitoring on POPs in Indonesia, KLH dan UNIDO, 2004
Gambar 8.4
Impor HCB Tahun 1994-2002
Tabel 8.3
Impor dan Ekspor Bahan Kimia Terklorinasi
Impor - Ekspor (kg)
1999 2000 2002
No. Bahan Kimia
1 1,1,1-Trikloroetana (metil kloroform) 2 1,2-Dikloropropana dan Diklorobutana 3 Karbon tetraklorida
4 Klorin
5 Klorobenzena, o- dan p-Diklorobenzena 6 Kloroform (Triklorometana)
7 Klorometana dan Kloroetana 8 Diklorometana (Metilen klorida)
9 Other saturated chlorinated
10 Vinil klorida (Kloroetilena) 11 Trikloroetilena
12 Tetrakloroetilena (Perkloroetilena) 13 1,2- Dikloroetana
14 Heksakloroheksana 15 HCB dan DDT
16 Other halogenated derivatives of aromatic
- 11.633 1.576 30.933 - 519.668 1.694.822 4.083 537.676 4.090.132 - 562.739 - 23.590.387 1.591.361 920.853 8.757.275 0 40.286 0 2.024 27.056 23.940 - 257.642 1.652.015 28.102 1.111.365 5.754.559 404.407 18.133.138 2.023.362 1.216.091 - 182.357.020 0 0 2.024 45.651 977.737 0 - 1.455.365 1.650.892 4.636 192.285 0 777.905 - 1.170.747 2.087.981 1.588.762 - 164.397.563 400 16.000 0
Sumber:BPS, 2002, dikutip dari 2nd Phase Inventory, Additional Preliminary Inventory on PCB, PCDDs/Fs, HCB & Monitoring on POPs in
Indonesia, KLH dan UNIDO, 2004.
Tabel 8.4 menampilkan komoditas impor pelarut terklorinasi dari pada tahun 2002 dan 2003.
2. Permasalahan B3 a. B3 dalam Rumah Tangga
Limbah dari produk rumah tangga yang mengandung B3 belum dikelola secara khusus, padahal limbah tersebut tidak boleh dibuang sembarangan karena berpotensi membahayakan manusia dan mencemari lingkungan.
b. POPs
Permasalahan umum tentang senyawa POPs yang teridentifikasi antara lain adalah:
(1). Pada umumnya masyarakat belum mengetahui resiko penggunaan senyawa POPs karena efeknya tidak langsung terlihat.
(2). Baku mutu senyawa POPs dalam air, tanah/sedi-men, udara, serta bahan makanan/pakan berlemak sebagai dasar tindakan pengelolaan senyawa POPs belum ada.
(3). Tingkat pendidikan dan sosial ekonomi masyarakat yang masih rendah mendorong petani menggunakan pestisida POPs secara informal.
(4). Laboratorium penguji dan SDM yang mampu menguji berbagai senyawa POPs masih langka. (5). Tingginya biaya untuk pemantauan residu POPs
membuat pemantauan jarang dilakukan.
(6). Penelitian tentang teknik dan bahan alternatif jarang dilakukan, kecuali untuk teknik pengendalian hama terpadu (PHT).
3. Pengelolaan B3 a. Pestisida
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pestisida adalah:
• UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi-daya Tanaman.
• PP Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida.
• PP Nomor 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman.
• PP Nomor 49 Tahun 2002 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Pertanian.
• Kepmentan Nomor 434.1/Kpts/TP.270/7/2001 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida. Kepmentan ini juga mengatur 37 pestisida yang mengandung bahan aktif yang telah dilarang.
• Kepmentan Nomor 571/Kpts/TP.270/9/2002 tentang Pengawasan Pestisida.
• Kepmenkes Nomor 1350/Menkes/SK/XII/2001 tentang Pengelolaan Pestisida.
• Permennaker Nomor 03/Men/1986 tentang Syarat Keselamatan dan Kesehatan di Tempat Kerja yang mengelola Pestisida.
Sumber: Dirjen Bea Cukai, 2002 dan 2003, dikutip dari 2nd Phase Inventory, Additional Premiminary Inventory on PCB, PCDDs/Fs,
HCB, and Monitoring on POPs in Indonesia, KLH dan UNIDO, 2004
Tabel 8.4
Impor Pelarut Terklorinasi Tahun 2002 dan 2003
2002
(kg)
2003
(kg)
Jenis Bahan Kimia
Klorin
Klorobenzena
Kloroform
Trikloroetana
Klorometana
Dikloroetana
Diklorometana
Dichloropropene
Other halogenated aromatics
Tetraklorometana
Other saturated chlorinated hydrocarbon
271.116,80
1.700.873,20
1.736.113,48
81.095,24
533.370,50
147.233,36
5.088.164,43
54.160,00
655.562,00
217.119,56
45.856,00
42.852,15
416.396,50
327.305,76
1.000,00
322.402,80
30.275,60
2.043.367,94
34.421,00
564.088,50
1.199,00
324.782,22
Depkes bersama dengan Deptan juga menerbitkan SKB Menkes dan Mentan Nomor 88/Menkes/SKB/VIII/ 1996 dan 711/Kpts/TP.270/8/96 tentang Batas Maksi-mal Residu Pestisida pada Produksi Pertanian yang meliputi 218 jenis pestisida. Pengawasan pestisida dilakukan oleh Direktorat Pupuk dan Pestisida, Deptan, yang mempunyai tugas untuk melaksanakan perumusan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis, serta evaluasi di bidang pupuk dan pestisida. Jenis izin pestisida terdiri atas izin percobaan, izin sementara, dan izin tetap. Perizinan yang diterbitkan antara lain:
• Daftar Izin Bahan Teknis Pestisida (Tabel 8.5), • Daftar Izin Pestisida Ekspor,
• Daftar Izin Sementara Pestisida (ulang), • Daftar Izin Tetap Pestisida, Izin Perluasan
Pestisida,
• Daftar Izin Sementara Pestisida,
• Daftar Perubahan Nama Pemegang Pendaftaran Pestisida,
• Daftar Perubahan Nama Pestisida, dan • Daftar Pestisida yang Dicabut Izinnya.
Selama tahun 2004 terdapat 351 nama bahan aktif pestisida, 257 perusahaan pemilik formulasi, 192 nama perusahaan pemegang pendaftaran pestisida, 22 jenis pestisida yang terdaftar, serta 1.072 formulasi pestisida yang terdaftar dan diizinkan oleh Departemen Pertanian (Deptan, 2004). Selain Deptan, pengelolaan pestisida di Indonesia juga dilakukan oleh Komisi Pestisida yang
Sumber: Direktorat Pupuk dan Pestisida, Direktorat Jenderal Bina Sarana Pertanian, Deptan, 2005
Tabel 8.5
Daftar Izin Bahan Teknis Pestisida
Nomor Pendaftaran Nama Pemegang Pendaftaran Bentuk Kadar Minimum (%) Nama Nama Bahan Teknis No.
Bahan Teknis Pendaftaran Baru
ETOC 96 TA GLYPHOSATE IPA 62 TA GLYPHOSATE 95 TA GOKILATH - 93 TA GOKILATH 92 TA IRTRIFIVE 98 TA MOSTHRIN F 90 TA NEO PUNAMIN 92 TA NEO PYNAMIN FORTE 92 TA PYNAMIN FORTE 90 TA SUMITHRIN 92 TA Praletin (pralethrin) IPA glifosat( I P A glyphosate) glifosat (glyphosate) Sifenotrin (cyphenothrin) Sifenotrin (cyphenothrin) etil butil asetil amonopropionat (ethyl butyl acetyl) (aminopropionate) d-aletrin (d-allethrin) tetrametrin (tetramethrin) d-tetrametrin (d-tetramethrin) d-aletrin (d-allethrin) d-fenotrin (d-phenothrin) 96 62 95 93 92 98 90 92 92 90 92 larutan larutan tepung tepung tepung larutan larutan kristal larutan larutan larutan PT Sumitomo Indonesia PT Adil Makmur Fajar PT Adil Makmur Fajar PT Sumitomo Indonesia PT Sumitomo Indonesia
PT Merck Tbk.
PT Panca Jaya Pertiwi PT Sumitomo Indonesia PT Sumitomo Indonesia PT Sumitomo Indonesia PT Sumitomo Indonesia RI.BT.10/1-2004/T RI.BT.45/1-2004/T RI.BT.44/1-2004/T RI.BT.94/1-2004/T RI.BT.11/1-2004/T RI.BT.97/1-2004/T RI.BT.18/1-2004/T RI.BT.20/1-2004/T RI.BT.21/1-2004/T RI.BT.25/1-2004/T RI.BT.28/1-2004/T RI.BT.160/1-2004/T PT Johny Jaya Makmur
tepung 97 Deltametrin (deltamethrin) DELTAMETRIN 97 TA 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
merupakan lembaga nonstruktural yang bertugas membantu Mentan dalam menentukan kebijakan pengelolaan pestisida di Indonesia yang dibentuk berdasarkan Kepmentan Nomor 194/Kpts/KP.150/3/ 2002 tentang Komisi Pestisida.
b. POPs
Deptan telah melarang peredaran toksafen pada 1980, dieldrin dan klordan pada tahun 1992, serta DDT pada tahun 1993. Penggunaan sembilan pestisida POPs telah dilarang melalui PP Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun serta baku mutu untuk pestisida POPs dalam air telah diatur dalam PP Nomor 82 Tahun 2001 untuk senyawa aldrin dan dieldrin, klordan, DDT, heptaklor dan hepox, endrin, serta toksafen. Selaku negara yang telah menandatangani Konvensi Stockholm, Indonesia berkewajiban untuk menyusun Rencana Pelaksanaan Nasional (National Imple-mentation Plan) untuk mengurangi dan menghilangkan secara bertahap pelepasan POPs dari produksi, penggunaan secara sengaja dan tidak sengaja, serta dari tempat penyimpanan limbah. In-donesia akan meratifikasi Konvensi Stockholm pada tahun 2005 dan naskah akademiknya telah disiap-kan pada tahun 2004.
Dalam rangka penyusunan Rencana Pelaksanaan Nasional tentang POPs, Pemerintah Indonesia mendapat dana hibah dari Global Environment Facil-ity (GEF) untuk pelaksanaan Proyek Kegiatan Awal Pelaksanaan Konvensi Stockholm tentang Cemaran Organik Persisten di Indonesia (Enabling Activities to Facilitate Early Action on the Implementation of the Stockholm Convention on Persistent Organic Pollut-ants in Indonesia). Proyek ini terdiri dari lima tahapan untuk menyelesaikan berbagai aktivitas yang dijelaskan dalam dokumen proyek, yaitu:
(1). Tahap I (Juli 2002-2 September 2002) menentukan mekanisme koordinasi dan proses pengorganisasian.
(2). Tahap II (Oktober 2002-November 2005) melak-sanakan inventarisasi POPs dan penilaian kapasitas dan infrastruktur nasional, termasuk inventarisasi tambahan tentang PCB.
(3). Tahap III (November 2004-Januari 2005) menetapkan prioritas dan sasaran.
(4). Tahap IV (Januari 2005-Mei 2005) menyusun Rencana Pelaksanaan Nasional dan Rencana Aksi Spesifik tentang POPs.
(5). Tahap V (Mei 2005-Juni 2005) pengesahan Ren-cana Implementasi Nasional oleh stakeholder. Menurut PP Nomor 18 Tahun 1999 jo PP Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, limbah PCB, dioksin, dan furan harus diinsinerasi dengan DRE (destruction and removal efficiency) insinerator
sebesar 99,9999 persen, tetapi saat ini Indonesia belum memiliki baku mutu untuk emisi dioksin dan furan. Untuk itu, KLH melakukan studi tentang penyusunan baku mutu dioksin dan furan pada tahun 2004, namun belum dapat merekomendasikan suatu nilai baku mutu emisi dioksin dan furan di Indonesia karena data tentang sumber emisi dan laju/volume alir gas buang yang diperlukan untuk menentukan nilai baku tersebut sangat sulit diperoleh. Beberapa negara telah menentukan nilai baku antara 0,1-10 ng I-TEQ/m3 berdasarkan sumber emisi spesifik,
terutama dari sistem insinerator limbah 7.
B. LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN 1. Kondisi dan Potensi Limbah B3
Pada tahun 2004 KLH menerima beberapa copy surat persetujuan penanaman modal PMDN dan PMA dari BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) yang berisi 184 rencana investasi industri. Sebanyak 165 industri berkewajiban untuk menyusun UKL-UPL, 16 industri wajib mengajukan izin tetap, dan 3 industri wajib menyusun Amdal sebagai tindak lanjut dari SK Persetujuan Penanaman Modal tersebut. Jumlah industri manufaktur yang berpotensi mencemari lingkungan adalah 105 dan 39,8 persennya terdapat di Provinsi Jawa Barat. Industri-industri yang berpotensi mencemari lingkungan meliputi industri minuman ringan, kosmetik, komponen kendaraan bermotor, komponen elektronik, kertas, plastik, percetakan, dan penyamakan kulit. Data dalam lapor-an ini tidak menggambarklapor-an sektor seperti minyak dan gas bumi, perbankan, asuransi, sewa guna usaha, pertambangan dalam rangka kontrak karya, investasi portofolio, dan investasi rumah tangga.
2. Permasalahan Limbah B3
Sampai dengan tahun 2004 berbagai hal yang menjadi permasalahan pengelolaan limbah B3 adalah sebagai berikut:
• Pengetahuan masyarakat tentang bahaya limbah B3 masih rendah karena dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan tidak terlihat langsung melainkan berjangka panjang.
• Fasilitas pengelolaan terpadu limbah B3 masih terbatas dan terkonsentrasi di Pulau Jawa khususnya Jawa bagian barat. Saat ini Indone-sia baru memiliki dua fasilitas pengelolaan limbah B3 cair dan sebuah fasilitas pengelolaan terpadu limbah B3 dengan landfill kelas I.
• Timbul sumber limbah B3 yang baru. Sebagai contoh adalah limbah B3 yang dihasilkan dari pembakaran batu bara berupa fly ash dan bottom ash. Kenaikan harga BBM menyebabkan pengusaha beralih menggunakan batu bara dan mengakibatkan peningkatan jumlah timbulan fly ash dan bottom ash.
3. Pengelolaan Limbah B3
Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan pengelolaan limbah B3 wajib memiliki izin/ rekomendasi operasi dari kepala instansi yang bertanggung jawab, dalam hal ini Meneg LH. Ketentuan dan tata cara memperoleh izin/rekomen-dasi tersebut harus sesuai dengan Kep-68/Bapedal/ 05/1994. Perizinan pengelolaan limbah B3 dimak-sudkan untuk mengetahui jumlah/timbulan, jenis,
a. Penyimpanan Sementara Limbah B3
Sebelum dikelola lebih lanjut, limbah B3 harus disimpan dalam tempat penyimpanan sementara. Perusahaan yang memiliki tempat penyimpanan sementara wajib mengajukan izin kepada KLH. Pada tahun 2004 jumlah tempat penyimpanan sementara dari sektor MPJ yang sudah mendapat izin dari KLH adalah 70, dari sektor PEM sebanyak 28, dan dari sektor PDK sebanyak 23 (Tabel 8.6).
b. Pengangkutan Limbah B3
Pengangkutan limbah B3 merupakan penghubung antara penghasil menuju pengolahan selanjutnya. Pada 2004 jumlah izin pengangkutan limbah B3 yang diterbitkan KLH untuk sektor MPJ adalah 27 dan untuk PEM sebanyak 2 (Tabel 8.6).
Tabel 8.6
Jumlah Perizinan Limbah B3 Tahun 2004
Jumlah
Pertanian dan
Kehutanan
Pertambangan
dan Energi
Manufaktur,
Prasarana dan
Jasa
Jenis Izin
No.
Sektor
1
Penyimpanan sementara limbah B3
70
28
23
121
2
Penyimpanan dan pengumpulan minyak
14
-
-
14
pelumas bekas
3
Penyimpanan dan pengumpulan
4
-
-
4
limbah B3
4
Tank cleaning limbah B3
5
-
-
5
5
Rekomendasi pengangkutan limbah B3
27
2
-
29
6
Rekomendasi pemanfaatan
11
-
-
11
7
Uji coba pengelolaan limbah B3
-
6
-
6
Jumlah
163
39
23
225
Sumber: KLH, 2004
karakteristik, dan peredaran B3 dan limbah B3 di In-donesia sejak dihasilkan sampai dengan pengolahan akhir.
Jumlah perizinan yang telah diterbitkan KLH pada tahun 2004 untuk sektor MPJ (manufaktur, prasarana dan jasa), PEM (pertambangan, energi dan migas), serta PDK (pertanian dan kehutanan) adalah 225 yang meliputi delapan jenis perizinan, seperti terlihat pada Tabel 8.6. Dari ketiga sektor tersebut, izin terbanyak diterbitkan untuk penyimpanan sementara limbah B3 sebanyak 121.
Dari sektor MPJ, jumlah izin pengelolaan limbah B3 yang terbit adalah 163 dengan jumlah terbanyak untuk industri yang berada di Provinsi Jawa Barat (30,1 persen), seperti terlihat pada Tabel 8.7. Hal ini mungkin disebabkan oleh industri di provinsi tersebut telah taat terhadap peraturan pengelolaan limbah B3.
c. Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah B3
Kegiatan penyimpanan dan pengumpulan limbah B3 merupakan salah satu persyaratan pengelolaan limbah B3 sebelum menuju pengolahan lebih lanjut. Limbah B3 yang dikumpulkan di antaranya adalah fly ash/bottom ash, CuCl2, FeCl2, pelarut bekas, zinc ash, copper slag, timah hitam/aki bekas, timah solder bekas, dan minyak pelumas bekas (MPB). Pada tahun 2004 jumlah izin penyimpanan dan pengumpulan MPB yang diterbitkan untuk sektor MPJ adalah 14 (Tabel 8.6). Perusahaan yang mengolah dan memanfaatkan MPB adalah PT Wiraswasta Gemilang Indonesia yang berlokasi di Cibitung, Jawa Barat, dan PT Agip Lubrindo Sarana yang terletak di Sidoarjo, Jawa Timur. Untuk mendapatkan bahan baku berupa MPB, secara mandiri mereka membentuk pusat-pusat pengumpulan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Gambar 8.5
Pengelolaan Limbah B3 dari Sektor MPJ Tahun 2004
Sumber: KLH, 2004
Tabel 8.7
Perizinan Limbah B3 Berdasarkan Provinsi Tahun 2004
Sektor
Manufaktur, Prasa-
Pertambangan,
Pertanian dan
rana dan Jasa (MPJ) Energi, Migas (PEM) Kehutanan (PDK)
1
DKI Jakarta
35
-
-2
Jawa Barat
49
6
1
3
Banten
11
-
-4
Jawa Tengah
12
-
1
5
Jawa Timur
35
3
2
6
DI Yogyakarta
-
-
1
7
Kalimantan Timur
6
7
-8
Kalimantan Selatan
-
4
-9
NAD
-
1
-10
Sumatra Utara
2
-
4
11
Sumatra Selatan
2
3
-12
Bangka Belitung
-
3
-13
Riau
8
5
7
14
Kepulauan Riau
-
1
-15
Lampung
2
-
6
16
Jambi
-
-
1
17
Sulawesi Utara
-
1
-18
Sulawesi Selatan
1
-
-19
Nusa Tenggara Barat
-
1
-20
Papua
-
4
-Jumlah
163
39
23
. Provinsi
No
d. Pengolahan, Pemanfaatan, dan Penimbunan Limbah B3
Pengelolaan limbah B3 dapat dilakukan dengan pemanfaatan, penimbunan, atau pengolahan. Pada tahun 2004, jumlah limbah dari sektor MPJ yang dimanfaatkan adalah 1.084.805,5 ton, ditimbun 346.207 ton, dan diolah 74.059 ton, seperti terlihat pada Gambar 8.5.
1) Pengolahan Limbah B3 dengan Insinerator Sampai dengan tahun 2004 jumlah perusahaan dari
sektor MPJ yang sudah memiliki izin pengoperasian insinerator adalah 57. Jumlah perusahaan yang melaporkan realisasi pengoperasian insinerator kepada KLH adalah 35 pada tahun 2004, dengan jumlah limbah B3 yang diinsinerasi sebesar 74.058.908,8 kg dan abu yang dihasilkan sebesar 2,65 persen dari jumlah limbah yang diinsinerasi. Sisa hasil pembakaran/abu tersebut ditimbun pada
landfill kelas I. Gambar 8.6 menyajikan jenis industri/ perusahaan MPJ yang melakukan pengolahan limbah B3 dengan insinerator dan melaporkan realisasi pengoperasian insinerator ke KLH. Dari 35 industri MPJ yang melaporkan realisasi peng-operasian insinerator kepada KLH, sebanyak 31 industri melaporkan emisi insineratornya kepada KLH. Gambar 8.7 menunjukkan ketaatan industri-industri tersebut dalam memenuhi baku mutu emisi insinerator pada tahun 2004. Pada triwulan I jumlah perusahaan yang tidak mengukur emisi adalah 13 sementara pada triwulan IV menjadi 5 perusahaan. Jumlah perusahaan yang memenuhi baku mutu emisi insinerator sesuai dengan Baku Mutu Kepdal 03 Tahun 1995 semakin meningkat karena pada triwulan I terdapat 15 perusahaan yang memenuhi baku mutu emisi insinerator dan pada triwulan IV menjadi 23 perusahaan.
Gambar 8.6
Jenis Industri MPJ yang Mengolah Limbah B3 dengan Insinerator Tahun 2004
Sumber: Laporan Realisasi Pengelolaan Limbah B3 Tahun 2004, KLH, 2004
Gambar 8.7
Ketaatan Industri MPJ dalam Memenuhi BME Insinerator Tahun 2004
Sumber: Laporan Realisasi Pengelolaan Limbah B3 Tahun 2004, KLH, 2004
Tekstil 13% Lain-lain 14% Semen 6% Rumah sakit 10% Ban 6% Farmasi 6% Kimia 3% Otomotif 13% Peleburan Logam 3% Pestisida 3% Petrokimia 17%
Pulp & Paper 6%
2) Pemanfaatan Limbah B3
Hingga tahun 2004 jumlah industri MPJ yang telah memiliki izin pemanfaatan limbah B3 adalah 30. Pada tahun 2004 jumlah limbah B3 yang dimanfaatkan oleh industri tersebut adalah 1.084.805,5 ton. Jenis lim-bah yang dimanfaatkan adalah spent catalyst, cop-per slag, fly and bottom ash batubara, aki bekas, CuCl2, tin solder, dan limbah cair industri. Jenis limbah B3 yang paling banyak dimanfaatkan adalah copper slag, seperti terlihat pada Gambar 8.8.
4. Impor dan Ekspor Limbah Industri a. Ekspor Limbah B3
Jenis limbah yang diekspor antara lain adalah sludge limbah B3, spent catalyst, sludge nikel, baterai NiCd, baterai NiMH, elektrode, mesin printer, dan mesin fotokopi bekas yang diimpor oleh Jepang, Thailand, Kanada, Italia, Estonia, Jerman, serta Perancis. Realisasi ekspor limbah B3 yang dilaporkan kepada KLH dapat dilihat pada Tabel 8.9.
Gambar 8.8
Pemanfaatan Limbah B3 dari Sektor MPJ Tahun 2004
Sumber: Laporan Realisasi Pengelolaan Limbah B3 Tahun 2004, KLH, 2004
Tabel 8.8
Realisasi Penimbunan Limbah B3 dari Sektor MPJ
No Nama Industri Jenis Limbah yang Ditimbun Jumlah (Ton)
1 PT Indo Bharat Rayon Stabilized dan solidified sludge 18.540 2 PT Tanjung Enim Lestari Ash, sand, dreg/grits, screen reject, sludge 39.053 3 PT Lontar Papyrus Pulp and Paper Ash, grit/dreg, screen reject 65.114 4 PT Paiton Energy Ash, WWTP sludge 66.620 5 PT PPLI Mixed waste 48.000
6 PT Jawa Power Ash 108.880
Jumlah 346.207
Sumber: Laporan Realisasi Pengelolaan Limbah B3 Tahun 2004, KLH, 2004
Berdasarkan data dari tiga perusahaan pemanfaat aki bekas yang melapor kepada KLH pada tahun 2004, terdapat 15.948,9 ton aki bekas yang sudah dimanfaatkan dan 5.621,6 ton yang belum dimanfaatkan (inventory).
3) Penimbunan Limbah B3
Izin penimbunan limbah B3 dari industri MPJ yang masih berlaku sampai dengan tahun 2004 diberikan kepada PT Tanjung Enim Lestari, PT Lontar Papyrus, PT Jawa Power, PT Indo Bharat Rayon, PT Paiton, dan PT PPLI. Jumlah limbah yang ditimbun pada tahun 2004 tersaji pada Tabel 8.8.
b. Impor Limbah Non-B3
Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Basel tentang pengawasan perpindahan lintas batas limbah B3. Dalam penerapannya, Pemerintah Indonesia menetapkan larangan impor limbah B3 sesuai dengan PP Nomor 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3. Untuk mencegah impor limbah B3 terselubung sebagai bahan baku industri atau sebagai limbah non-B3, KLH dan Deperindag mengeluarkan surat keputusan im-porter produsen limbah (IPL) non-B3 untuk memastikan limbah yang diimpornya benar-benar
bukan limbah B3 sesuai dengan SK Menperindag Nomor 231/MPP/KP/07/1997 tentang Prosedur Impor Limbah.
Selama bulan Januari-Desember 2004 terdapat 69 perusahaan yang telah mendapatkan SK Pengakuan sebagai IPL non-B3 dari Deperindag, baik SK yang bersifat perpanjangan maupun SK baru. Jenis limbah non-B3 yang telah diimpor antara lain kertas bekas, scrap logam, limbah kapas, benang, kain rajutan dan barang usang, serta limbah pecahan dan sisa scrap kaca.
1) Kertas Bekas
Berdasarkan data dari SK pengakuan sebagai IPL non-B3 dari Deperindag yang dilaporkan kepada KLH, rencana impor kertas bekas adalah 3.446.487 ton/ tahun dan jumlah perusahaan yang telah mendapatkan izin impor kertas bekas adalah 26 pada tahun 2004. Jumlah industri yang melaporkan realisasi impornya kepada Deperindag melalui kartu KENDALI adalah delapan perusahaan dengan jumlah total kertas bekas yang diimpor sebanyak 501.302,1 ton. Realisasi impor tertinggi terjadi pada bulan Juni 2004 seperti terlihat pada Gambar 8.9.
Tabel 8.9
Realisasi Ekspor Limbah B3 Tahun 2003-2004
Tahun No.
Nama Eksporter
Jenis Limbah B3 yang
Negara
Negara
Jumlah
Diekspor
Importer
Transit
(ton)
1
PT Yutaka Manufacturing
Sludge Ni
Jepang
Singapura
39,8
Indonesia
2003
2
PT Batam Matsushita
Baterai Ni-Cd, baterai Ni- Perancis
Singapura
48
Battery
MH, elektrode
3
PT Kramapadma Tekalumni Katalis bekas
Jerman
132,9
1
PT Amoco Mitsui PTA
Katalis bekas
Italia
20,4
Indonesia
2
PT Kramapadma
Katalis bekas
Estonia
Jerman
91
Tekalumni
3
PT Astragraphia
Mesin printer dan
fotokopi bekas
Thailand
9.600 bh
2004
4
PT Yutaka Manufacturing
Sludge Ni
Jepang
32,2
Indonesia
5
PT Batam Matsushita
Baterai Ni-Cd, baterai Ni- Perancis
Singapura
68
Battery
MH, elektroda
6
PT Schlumberger
Lithium/thionyl chloride
Kanada
0,164
Geophysics Nusantara
cell batteries
7
Sumika Leadframe Bintan Sludge
Jerman
78
Sumber: Laporan Realisasi Pengelolaan Limbah B3 Tahun 2004, KLH, 2004
Gambar 8.9
Realisasi Impor Kertas Bekas
Sumber: Kartu Kendali Deperindag dalam Laporan Realisasi Impor Limbah Non-B3 dan Ekspor Limbah B3 Tahun 2004, KLH, 2004
Limbah kertas impor tidak dapat dimanfaatkan seluruhnya karena terdapat pengotor dalam limbah tersebut (Gambar 8.10). Berdasarkan data dari empat perusahaan yang melaporkan kepada KLH, jumlah total kertas bekas yang diimpor adalah 712.049.106 kg, tetapi hanya 93 persen yang bisa dimanfaatkan seperti terlihat pada Gambar 8.10.
2) Limbah Scrap Logam
Berdasarkan data dari SK pengakuan sebagai IPL non-B3 dari Deperindag yang dilaporkan kepada KLH, rencana impor limbah skrap logam (besi tuangan, baja dan tembaga) pada tahun 2004 adalah 2.588.211 ton/tahun dari 38 perusahaan yang mendapatkan izin untuk mengimpor limbah ini. Jumlah industri yang melaporkan realisasi impornya kepada Deperindag melalui kartu KENDALI adalah lima perusahaan dengan jumlah total scrap logam yang diimpor sebesar 67.699,55 ton. Realisasi impor cenderung menurun sejak bulan Juli 2004 (Gambar 8.12).
Gambar 8.11
Persentase Pemanfaatan Impor Kertas
Sumber: Laporan Realisasi Impor Limbah Non-B3 dan Ekspor Limbah B3 tahun 2004, KLH, 2004
Gambar 8.10
Pengotor dalam Impor Limbah Kertas
Sumber: Laporan Realisasi Impor Limbah Non-B3 dan Ekspor Limbah B3 Tahun 2004, KLH, 2004
Gambar 8.12
Realisasi Impor Scrap Logam Tahun 2004
Sumber: Kartu Kendali Deperindag dalam Laporan Realisasi Impor Limbah Non-B3 dan Ekspor Limbah B3 Tahun 2004, KLH, 2004
Kotak 8.1
Kasus Limbah Impor a. Impor Limbah dari Singapura ke Pulau Galang
Diduga masuknya limbah yang diklaim sebagai materi organik/media tanam sejumlah 1.762 kantong (1.149,4 ton) dari Singapura ke Pulau Galang Baru, Batam, dilakukan pada tanggal 29 Juli 2004. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh Bapedal Kota Batam dan Kementerian Lingkungan Hidup serta hasil analisis Laboratorium Sucofindo dan ALS Indonesia, diperoleh data bahwa “material organik” tersebut mengandung limbah B3 dengan konsentrasi logam-logam berat yang sangat tinggi, yaitu:
• Cu 5.945,51 mg/kg • Pb 64,51 mg/kg • Zn 4.734,78 mg/kg • Cd 14,99 mg/kg • Cr 88,21 mg/kg • Sn 397,96 mg/kg • Ni 20,06 mg/kg
Limbah tersebut juga mengandung kontaminan radioaktif berdasarkan pemeriksaan oleh BATAN.
KLH meminta kepada Bapedal Kota Batam dan PT APEL untuk mengamankan limbah B3 tersebut, meminta PT APEL untuk mengembalikan (reekspor) limbah B3, serta meminta Ditjen Bea dan Cukai untuk mengkoordinasikan pelaksanaannya. Dalam rangka reekspor ke Singapura, KLH telah menyampaikan kepada National Environmental Agency (NEA) Singapura tentang impor limbah B3, meminta untuk mengadakan pertemuan agar pemerintah Singapura mengambil kembali limbah B3 tersebut. Pada pertemuan yang telah dilaksanakan, NEA Singapura mengatakan bahwa material organik tersebut bukan limbah B3 berdasarkan peraturan nasional Singapura. Menurut Konvensi Basel, apabila peraturan nasional suatu negara telah menetapkan suatu bahan/unsur sebagai limbah B3, negara pengekspor tidak boleh menolak pengembalian kembali atau menarik limbah dari negara pengimpor.
Upaya selanjutnya adalah dengan meminta bantuan dari Sekretariat Konvensi Basel sebagai mediator. Jika mediasi ini tidak dapat membuahkan hasil yang diinginkan, rapat interdep sepakat untuk membawa hal ini kepada Sidang Committee Compliance Basel Convention yang akan dilaksanakan pada pertengahan Mei 2005. Proses pengembalian limbah ini diperkirakan masih membutuhkan waktu, padahal kondisi limbah di Pulau Galang Baru mulai mengkhawatirkan karena banyak kemasannya yang sudah rusak sehingga ber-potensi mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia.
Pelaksanaan reekspor dilakukan melalui mekanisme private to private (P to P) antara PT APEL dengan perusahaan Singapura. Loading dilakukan sejak tanggal 7 Maret 2005 ke dalam kapal tongkang Melati 2103 dan selesai pada 8 Maret 2005. Pada tanggal 9 Maret 2005 tongkang diberangkatkan dengan tujuan Singapura dengan pengawalan patroli Bea dan Cukai serta speed boat TNI-AL Batam. Pihak Bea dan Cukai menginformasikan bahwa kapal sudah sampai di perbatasan Indonesia-Singapura pada tanggal 10 Maret 2005. Berdasarkan pertemuan di Sekretariat Konvensi Basel di Jenewa, Swiss, yang diselenggarakan pada tanggal 10-15 Mei 2005, telah disepakati bahwa limbah tersebut direekspor kembali ke Singapura. Limbah tersebut telah direekspor pada tanggal 25 Mei 2005 dan telah diterima oleh Singapura pada tanggal 26 Mei 2005.
b. Impor Limbah dari Inggris
Inspectorate of Housing, Spatial Planning and the Environment Negeri Belanda memberitahukan KLH bahwa mereka telah mencegah pemasukan limbah secara ilegal ke wilayahnya. Dalam dokumennya, limbah tersebut dinyatakan sebagai kertas bekas (waste paper). Limbah tersebut dipindahkan ke wilayah Jerman dan pada minggu ketiga Januari 2005 dikirim ke wilayah Indonesia sebanyak 25 kontainer. Berdasarkan surat tersebut, KLH menginformasikan Dirjen Bea dan Cukai agar mengantisipasi pemasukan limbah B3 tersebut ke wilayah Indonesia. Pada tanggal 14 Maret 2005 Kantor Bea dan Cukai Tanjung Priok memberitahukan KLH bahwa limbah B3 telah masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok. Kontainer itu berisi plastik bekas (lembaran plastik, botol-botol plastik minuman, kantong plastik sampah), kertas bekas, bekas kemasan makanan, kaleng-kaleng minuman dan aerosol, sepatu bekas, dan sebagian berupa kemasan bahan kimia yang mudah terbakar. Ditemukan juga kemasan bahan kimia domestik bekas bahan deterjen, pelembut pakaian, dan pemutih pakaian.
PT Kertas Internasional selaku importer telah melakukan pengapalan 19 kontainer limbah B3 dengan menggunakan kapal Budi Waja untuk direekspor ke London pada tanggal 27 Maret 2005.
Kotak 8.2
Fasilitas Pengelolaan Limbah B3 Terpadu
Sejak awal pemerintah telah menyadari kebutuhan akan fasilitas yang mampu untuk menerima dan mengelola limbah B3 dari berbagai kegiatan/industri di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah melakukan beberapa kajian dan studi kelayakan bagi beberapa daerah yang diproyeksikan untuk memiliki fasilitas pengelolaan limbah B3 terpadu. Studi kelayakan persyaratan geohidrologis dan potensi limbah B3 dilakukan di Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Pulau Batam, dan Sumatra bagian Utara, dengan kesimpulan sebagai berikut:
(a) Wilayah Jawa bagian barat yang berlokasi di Cileungsi, Bogor, memenuhi persyaratan geohidrologis dan potensi limbah B3 sehingga layak untuk mempunyai fasilitas pengelolaan limbah B3 terpadu.
(b) Wilayah Jawa bagian timur yang berlokasi di Cerme, Gresik, memenuhi persyaratan geohidrologis dan potensi limbah B3 sehingga layak untuk mempunyai fasilitas pengelolaan limbah B3 terpadu.
(c) Wilayah Kalimantan, khususnya Kalimantan bagian timur di daerah Sepaku, memenuhi persyaratan geohidrologis dan potensi limbah B3 sehingga layak untuk mempunyai fasilitas pengelolaan limbah B3 terpadu.
(d) Daerah Kepulauan Riau, khususnya Pulau Batam, memiliki potensi timbulan limbah B3 yang memenuhi skala ekonomis, tetapi tidak memenuhi persyaratan geohidrologis. KLH merekomendasikan Pulau Batam untuk memiliki transfer depo dan fasilitas pengolahan untuk mengurangi volume dan tingkat bahaya limbah B3, tetapi tidak boleh melakukan penimbunan. (e) Untuk wilayah Sumatra bagian utara, lokasi yang memenuhi persyaratan geohidrologis berada di Lhokseumawe, NAD,
namun potensi timbulannya belum memenuhi skala ekonomis.
Fasilitas pengolahan limbah B3 terpadu pertama yang dapat direalisasikan adalah fasilitas yang terdapat di Cileungsi, Bogor. Prioritas kedua adalah fasilitas pengelolaan limbah B3 terpadu di Cerme, Gresik. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Gresik melalui dana APBD telah membebaskan 70 persen dari 100 ha lahan yang direncanakan sebagai lokasi pengelolaan limbah B3 terpadu. Pada tahun 1996, Bapedal, Pemprov Jawa Timur, dan Pemda Kabupaten Gresik telah melakukan pemilihan calon investor. Antusiasme investor pada saat itu sangat tinggi karena penawaran yang masuk melibat-kan konsorsium beberapa perusahaan multinasional yang mempunyai reputasi baik dalam pengelolaan limbah. Untuk menghindari monopoli dalam pengelolaan limbah B3, pemerintah mengambil kebijakan dengan tidak memperkenankan PT PPLI atau induk perusahaannya (WMI plc) untuk ambil bagian dalam tender untuk fasilitas pengolahan limbah B3 di luar Cileungsi, Bogor. Rencana tersebut tidak dapat diwujudkan karena krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Untuk fasilitas di Gresik dan Kalimantan Timur, KLH menyerahkan urusan pemilihan investor kepada pemerintah daerah karena kepemilikan sebagian modal berupa tanah diusahakan melalui APBD. Pemerintah Pusat hanya memastikan seluruh persyaratannya dapat dipenuhi melalui mekanisme perizinan. Fasilitas di Gresik diharapkan dapat beroperasi dalam waktu dekat. Kajian lain yang telah dilakukan selama tahun 2004 adalah fasilitas di Pulau Batam dan Provinsi Banten yang saat ini sedang dievaluasi oleh KLH.
Sumber: KLH, 2004
Gambar 8.13
Persentase Pemanfaatan Scrap Logam
Sumber: Laporan Realisasi Impor Limbah Non-B3 dan Ekspor Limbah B3 Tahun 2004, KLH, 2004
Berdasarkan data yang dilaporkan oleh 13 importer kepada KLH, jumlah limbah skrap logam yang diimpor adalah 324.213.909 ton, tetapi hanya 98 persen yang dapat dimanfaatkan seperti terlihat dari Gambar 8.13.
3) Limbah Kapas, Benang, Kain Rajutan, dan Barang Usang
Berdasarkan data dari SK pengakuan sebagai IPL non-B3 dari Deperindag, terdapat rencana impor limbah kapas, benang, kain rajutan, dan barang usang sebanyak 5.960 ton/tahun. Jumlah perusahaan yang telah mendapatkan izin impor untuk limbah kapas dan benang adalah tiga perusahaan, tetapi tidak ada yang melaporkan realisasi impornya kepada Deperindag maupun KLH.
4) Limbah Pecahan dan Sisa Skrap Kaca
Data rencana impor limbah pecahan dan sisa skrap kaca sebanyak 20.420 ton/tahun diperoleh dari SK pengakuan sebagai IPL non-B3 dari Deperindag. Jumlah perusahaan yang telah mendapatkan izin
impor sisa skrap kaca adalah dua perusahaan, tetapi tidak ada yang melaporkan realisasi impornya kepada Deperindag maupun KLH.
Kotak 8.3
Pemulihan Lingkungan oleh PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing
Selama kurun waktu 1974-1994 PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (PT YIMM) melakukan penimbunan sludge limbah B3 di dalam 12 bunker beton yang berada di tiga cluster yang berbeda. Pada saat itu ketentuan tentang pengelolaan limbah B3 belum diberlakukan.
Pada tanggal 26 November 2004 KLH mengadakan pertemuan koordinasi sebagai langkah pemulihan lingkungan. PT YIMM bersedia melakukan pembongkaran seluruh bunker tersebut dan mengirim limbahnya ke PT PPLI. Selain itu, perusahaan tersebut juga bersedia melakukan analisis kualitas air tanah dan air permukaan serta membuat RKL di sekitar Status Lingkungan Hidup Indonesia 2004Status Lingkungan Hidup Indonesia 2004Status Lingkungan Hidup Indonesia 2004Status Lingkungan Hidup Indonesia 2004bunker tersebut. Sampai dengan triwulan pertama tahun 2005, kegiatan pembongkaran bunker telah selesai dilaksanakan dan saat ini sedang dalam tahap analisis kualitas lingkungan serta pembuatan RKL berdasarkan hasil analisis tersebut.