Kriteria Seleksi dan Toleransi Galur Kedelai pada
Lahan Kering Masam
Darman M. Arsyad
1dan Purwantoro
21Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor
2Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Jl. Raya Kendalpayak, km 8, Malang, Jawa Timur
ABSTRACT. Criteria for Selection and Tolerance of Soybean Genotypes in Acid Soil Dryland. Dry land in Sumatra has a
considerable potential for development of soybean planting areas, although the soil conditions are generally less fertile and acidic (low in pH). Provision of soybean varieties that are relatively adaptive to such soil conditions need to be done to support the development of soybean. A total of 24 F8 soybean lines, consisting of 13 medium seeded lines and 11 large seeded lines, and 6 improved soybean varieties (Tanggamus, Sibayak, Seulawah, Willis, Burangrang, and Panderman) were evaluated for their tolerance to acid soil dryland at Muara Enim regency, South Sumatra, and Central Lampung regency, Lampung, during the 2005/2006 rainy season. The trial was arranged in a randomized block design with three replications. Each soybean genotype was planted in a 1.6 m x 4.5 m plot with a 40 cm x 15 cm plant spacing, two plants/hill. The plants were fertilized with 50 kg urea, 100 kg SP36, and 75 kg KCl/ ha. Control of weeds and plant pests were carried out intensively. Results of the trial showed that there were variation in yields, plant heights, numbers of pods, numbers of branches, and 100 seed weights among soybean genotypes tested. Hence, further selection provides an opportunity to obtain soybean lines with high yielding potential. Based on the values of tolerance index to stress, four tolerant soybean lines were identified, i.e., W3898-14-3-17, D3465-42-2-15, MSR/SJ-5.21.3.7-3-27-1, and MSR/SJ-5.23. 4.1-3-28-3. Lines W3898-14-3-17 and D3465-42-2-15 had medium grain sizes (10-11 g/100 seeds), while 5.21.3.7-3-27-1 and MSR/SJ-5.23.4.1-3-28-3 had large seed sizes (15-16 g/100 seeds). The selection criteria that can be used in the selection of soybean lines for tolerance to acid soil in South Sumatra and Lampung were number of pods/plant and 100 seed weight or seed size. Keywords: Upland acid soil, tolerance index, selection criteria for
soybean
ABSTRAK. Lahan kering di Sumatera mempunyai potensi yang
cukup besar untuk pengembangan areal tanam kedelai, tetapi kondisi tanah pada umumnya kurang subur dan bereaksi masam (pH rendah). Penyediaan varietas kedelai yang relatif sesuai (adaptif) terhadap kondisi tanah tersebut perlu dilakukan guna mendukung upaya pengembangan kedelai. Sebanyak 24 galur F8 (13 galur berbiji sedang dan 11 galur berbiji besar) dan 6 varietas pembanding (Tanggamus, Sibayak, Seulawah, Wilis, Burangrang, dan Panderman) dievaluasi toleransinya terhadap lahan masam di lahan kering masam Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, dan Kabupaten Lampung Tengah, Lampung, pada Musim Hujan (MH) 2005/2006. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Ukuran petak adalah 1,6 m x 4,5 m dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm dan dua tanaman/ rumpun. Tanaman dipupuk dengan 50 kg urea, 100 kg SP36, dan 75 kg KCl/ha Pengendalian gulma dan hama tanaman dilakukan secara intensif. Hasil penelitian menunjukkan terdapat keragaman yang nyata pada hasil, tinggi tanaman, jumlah polong, jumlah cabang,
dan bobot 100 biji, sehingga seleksi memberikan peluang untuk mendapatkan galur-galur yang memiliki potensi hasil tinggi. Berdasarkan indeks toleransi terhadap cekaman, telah diidentifikasi empat galur terbaik, yaitu W3898-14-3-17, D3465-42-2-15, MSR/ SJ-5.21.3.7-3-27-1, dan MSR/SJ-5.23.4.1-3-28-3. Galur W3898-14-3-17 dan D3465-42-2-15 memiliki ukuran biji sedang (10-11 g/ 100 biji), sementara galur MSR/SJ-5.21.3.7-3-27-1 dan MSR/SJ-5.23.4.1-3-28-3 memiliki ukuran biji besar (15-16 g/100 biji). Kriteria seleksi yang dapat digunakan dalam pemilihan galur kedelai yang toleran terhadap lahan kering masam di Sumatera Selatan dan Lampung adalah jumlah polong/tanaman dan bobot 100 biji atau ukuran biji. Kata kunci: Lahan kering masam, indeks toleransi, kriteria seleksi
kedelai
U
ntuk meningkatkan produksi kedelai di dalam
negeri diperlukan upaya perluasan areal
tanaman ke luar Jawa, seperti Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau lainnya. Lahan
kering, yang pada umumnya memiliki tingkat kesuburan
yang rendah, cukup luas terdapat di pulau-pulau
tersebut. Varietas yang adaptif pada kondisi lahan
demikian diperlukan untuk mendukung upaya
pengembangan kedelai.
Keragaman genetik tanaman kedelai untuk sifat
toleran cekaman edafik seperti keracunan aluminium
memberikan peluang bagi pengembangan varietas yang
lebih toleran. Kemajuan tingkat toleransi tanaman
terhadap keracunan aluminium pada tanaman gandum,
jagung, dan barley telah dilaporkan oleh Clark (1982).
Keragaman genetik toleran lahan masam pada kedelai
juga telah dilaporkan sejumlah peneliti (Sartain and
Kamprath 1978; Lee 1989; Sumarno et al. 1989; Arsyad
et al. 1996). Pada tahun 2001 telah dilepas tiga varietas
kedelai adaptif lahan masam, yaitu Tanggamus, Sibayak,
dan Nanti. Pada umumnya pengujian varietas-varietas
tersebut lebih banyak dilakukan pada lahan kering
masam di Lampung. Dalam upaya pengembangan
kedelai di wilayah lain perlu dilakukan pengujian galur/
varietas kedelai pada lahan kering masam, antara lain di
Sumatera Selatan. Pengrajin tempe dan tahu lebih
menginginkan kedelai berbiji besar, karena terbiasa
dengan kedelai impor yang pada umumnya berbiji besar.
Walaupun varietas-varietas kedelai berbiji besar pada
umumnya memiliki daya simpan yang kurang baik,
namun dalam pembentukan varietas baru perlu
memperhatikan sifat biji besar ini.
Persilangan untuk mendapatkan varietas kedelai
berbiji besar dan berdaya hasil tinggi telah dilakukan
pada tahun 1998 oleh Dr. T. Sanbuichi (pemulia kedelai,
JICA) di Malang menggunakan tetua yang berasal dari
introduksi, seperti Mansuria, SJ-4, SJ-5, Hayakin, ST-2
(Arsyad et al. 2004). Sejak tahun 2002, penanganan
galur-galur yang telah diperoleh dari persilangan tersebut
diserahkan dan dilanjutkan oleh Balai Penelitian
Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, dan
pada tahun 2004 telah diperoleh 11 galur harapan yang
perlu diuji lebih lanjut di berbagai lokasi (Arsyad et al.
2004). Dari program pemuliaan kedelai untuk toleran
lahan kering masam juga dihasilkan sejumlah galur
harapan yang perlu dievaluasi lebih lanjut. Dalam
pemilihan galur yang terbaik pada dua kondisi
lingkungan yang berbeda (optimal/non-stress
environment vs suboptimal/stress environment),
Fernandez (1992) menyarankan penggunaan indeks
toleran cekaman (stress tolerance index).
Dalam pemuliaan tanaman perlu diketahui
hubungan (korelasi) antarsifat. Apabila seleksi dilakukan
pada suatu sifat, maka perlu diketahui pengaruhnya
terhadap sifat lain (Burton 1983). Board et al (1997)
mengemukakan bahwa komponen hasil yang dapat
digunakan sebagai kriteria seleksi untuk hasil adalah: (i)
komponen hasil yang mempunyai korelasi positif
dengan hasil dan berpengaruh langsung yang besar
terhadap hasil, (ii) komponen hasil yang memiliki
pengaruh langsung positif yang besar walaupun kurang
berkorelasi dengan hasil, dan (iii) komponen hasil
tersebut memiliki pengaruh tidak langsung negatif
minimal terhadap hasil melalui komponen hasil yang
lain. Penelitian mereka menemukan sifat jumlah biji
sebagai kriteria seleksi terbaik untuk potensi hasil tinggi
dan diikuti oleh sifat jumlah polong/buku subur. Susanto
dan Adie (2006) melaporkan adanya pola hubungan
antarsifat yang berbeda pada lokasi yang berbeda. Pada
lokasi pertama, hasil berkorelasi positif dengan jumlah
polong, bobot 100 biji, dan jumlah biji/tanaman. Pada
lokasi kedua, hasil berkorelasi positif dengan tinggi
tanaman, jumlah polong, dan jumlah biji/tanaman. Pada
lokasi ketiga, hasil berkorelasi positif dengan jumlah
cabang, jumlah polong, dan jumlah biji/tanaman.
Sumarno dan Zuraida (2006) menyarankan tinggi
tanaman dan jumlah polong/tanaman sebagai kriteria
seleksi hasil tinggi dalam pemuliaan kedelai.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi galur
kedelai berbiji sedang dan berbiji besar yang adaptif pada
lahan kering masam di Sumatera Selatan dan Lampung,
serta menganalisis sifat komponen hasil yang dapat
digunakan sebagai kriteria seleksi untuk hasil.
BAHAN DAN METODE
Sebanyak 24 galur F8 pilihan (13 galur berbiji sedang
dan 11 galur berbiji besar) dan enam varietas
pembanding (Tanggamus, Sibayak, Seulawah, Wilis,
Burangrang, dan Panderman) dievaluasi pada lahan
kering masam di KP SMK Gelumbang, Kabupaten Muara
Enim, Sumatera Selatan, dan Desa Astomulyo,
Kecamatan Punggur, Kabupaten Lampung Tengah,
Lampung, pada MH 2005/2006. Tiga belas galur berbiji
sedang berasal dari persilangan galur W3578-16 x MLG
3072, Wilis x No. 3898 (Lokal Bali), Dempo x No. 3465,
dan galur D3623-22 x W3898-11-3. Sebelas galur berbiji
besar berasal dari persilangan tetua-tetua SJ-5 dan
Mansuria (Arsyad et al 2004). Tanah di Lampung lebih
masam dibandingkan dengan di Sumatera Selatan, tetapi
kandungan Ca, Mg, K dan H
ddrelatif lebih tinggi (Tabel
1). Al
dddi kedua lokasi percobaan tergolong sedang.
Rancangan percobaan yang digunakan di
masing-masing lokasi adalah acak kelompok dengan tiga
ulangan. Ukuran petak 1,6 m x 4,5 m, jarak tanam 40 cm
x 15 cm, dua tanaman/rumpun. Tanaman dipupuk
dengan 50 kg urea, 100 kg SP36, dan 75 kg KCl/ha.
Pengendalian gulma dan hama tanaman dilakukan
secara intensif sesuai dengan kebutuhan. Teknik budi
daya lainnya dilakukan sesuai anjuran. Pengamatan
meliputi; tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah polong,
bobot 100 biji, dan hasil biji. Analisis ragam individual
dan gabungan dilakukan mengikuti metode Gomez dan
Gomez (1984), Analisis indeks toleran cekaman mengikuti
metode Fernandez (1992), yaitu indeks toleran cekaman
(ITC)= [(Y
p)(Y
s)]/(Y
mp)
2, di mana Y
p
=keragaan hasil
suatu genotipe pada lingkungan optimal, Y
s= keragaan
hasil suatu genotipe pada lingkungan suboptimal, dan
Y
mp= rata-rata keragaan semua genotipe pada
lingkungan optimal. Semakin tinggi nilai ITC suatu
genotipe semakin adaptif galur tersebut, baik lingkungan
suboptimal maupun pada lingkungan optimal. Untuk
Tabel 1. Analisis sifat kimia tanah (lahan kering) Desa Astomulyo, Kecamatan Punggur, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung dan KP SMK Gelumbang, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, 20051).
Jenis analisis tanah Lampung Tengah Muara Enim (Lampung) (Sumatera Selatan) pH (H2O) (1:1) 4,43 5,5 (KCl) (1:1) 3,62 3,9 Ca (Cmol+/kg) 4,03 1,56 Mg (Cmol+/kg) 1,27 0,95 K (Cmol+/kg) 0,22 0,13 KTK (Cmol+/kg) 12,63 28,8 Al-tukar (me) 1,16 1,63 H-tukar (me) 0,44 0,14
mengetahui perilaku hubungan antarsifat tanaman
dilakukan analisis korelasi dan sidik lintas mengikuti
metode Singh dan Chaudhary (1979).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Galur dan Indeks Toleran Cekaman
Analisis ragam gabungan menunjukkan bahwa lokasi
berpengaruh nyata terhadap hasil dan bobot 100 biji,
namun tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman,
jumlah cabang, dan jumlah polong/tanaman (Tabel 2).
Galur dan varietas yang diuji berpengaruh nyata
terhadap semua sifat yang diamati (hasil, tinggi tanaman,
jumlah cabang, jumlah polong/tanaman, dan bobot 100
biji). Interaksi galur x lokasi juga berpengaruh sangat
nyata terhadap hasil, tinggi tanaman, jumlah polong/
tanaman, dan bobot 100 biji dan berpengaruh nyata
terhadap jumlah cabang. Hal yang sama juga ditemukan
pada penelitian terdahulu (Arsyad et al. 2002; Adie 2002;
Susanto dan Adie 2004; Susanto et al. 2004; Arsyad dan
Nur, 2006; Arsyad et al. 2007). Pengaruh nyata interaksi
lokasi x galur menunjukkan adanya perbedaan
tanggapan galur-galur kedelai terhadap perubahan
lokasi dan lahan. Peringkat galur akan berubah pada
lokasi dan kondisi lahan yang berbeda, sehingga
pendekatan pemilihan galur yang lebih tepat adalah
memilih galur-galur yang beradaptasi spesifik lokasi.
Di Sumatera Selatan, dengan menggunakan varietas
Sibayak sebagai pembanding (yang terbaik), diperoleh
dua galur yang produktivitasnya lebih baik, yaitu
W3898-14-3-17 dan MSR/SJ-5.23.4.1-3-28-3; di Lampung
diperoleh lima galur yang lebih baik dibandingkan
dengan varietas Sibayak, yaitu W3578-16/MLG 3072-2,
W3898-14-3-17, D3465-42-2-15, SJ-5/MSR.99.5.4.5-1-6-1,
dan MSR/SJ-5.23.4.1-3-28-3 (Tabel 3). Kedua galur yang
terbaik di Sumatera Selatan (W3898-14-3-17 dan MSR/
SJ-5.23.4.1-3-28-3) juga termasuk yang terbaik di
Lampung. Dengan mengasumsikan Sumatera Selatan
sebagai lokasi yang lebih optimal (rata-rata hasil 2,05 t/
Tabel 2. Analisis ragam gabungan beberapa sifat agronomis galur-galur kedelai pada lahan kering masam Sumatera Selatan dan Lampung (MH 2005/2006).
Kuadrat tengah Sumber keragaman Derajat bebas
Hasil Tinggi tanaman Jumlah cabang Jumlah polong Bobot 100 biji Lokasi (L) 1 11341686,05** 1237,70 10,27 5335,56 43,144**
L/G 4 145160,18 330,36 2,84 7432,79 0,054
Galur (G) 29 187553,33** 524,71** 5,35** 5643,36** 39,292** L x G 29 242592,30** 353,07** 2,71* 2243,26** 4,260**
Galat 116 36923,14 71,57 1,60 1155,54 0,168
*Nyata pada taraf 5%, **Nyata pada taraf 1%
Tabel 3. Keragaan hasil galur-galur kedelai pada lahan kering masam, Kabupaten Muara Enim (Sumatera Selatan) dan Lampung Tengah (Lampung), MH 2005/2006.
Hasil (t/ha)
Galur ITC
Muara Lampung Rata-Enim Tengah rata
W/SJ-5.10.2.2.1-5 2,32 1,43 1,88 0,789 W3578-16/MLG 3072-2 1,57 2,12 1,85 0,792 W3578-16/MLG 3072-5 2,20 1,07 1,64 0,560 W3898-14-3-1 2,07 1,63 1,85 0,803 W3898-14-3-17 2,74 2,11 2,43 1,376 W3898-14-3-19 2,26 0,84 1,55 0,452 W3898-14-3-28 1,20 1,17 1,19 0,334 D3465-42-2-15 2,00 2,33 2,17 1,109 D3465-42-2-17 1,80 1,29 1,55 0,552 D3465-42-2-22 1,95 1,72 1,82 0,798 D3465-42-2-32 2,15 1,36 1,76 0,696 D3465-42-2-36 2,07 1,39 1,73 0,685 D3623-22/W3898-11-3-18 1,87 1,34 1,61 0,596 SJ-5/MSR.99.5.4.5-1-6-1 1,92 2,13 2,03 0,973 SJ-5/MSR.99.5.4.5-1-15-1 1,88 1,38 1,63 0,617 SJ-5/MSR.99.5.4.5-1-17-1 2,28 1,31 1,80 0,711 SJ-5/MSR.151.3.5.1-10 1,92 0,98 1,45 0,448 MSR/SJ-5.21.3.7-3-26-3 2,30 1,12 1,71 0,613 MSR/SJ-5.21.3.7-3-27-1 2,54 1,78 2,16 1,076 MSR/SJ-5.23.4.1-3-28-3 2,91 1,96 2,44 1,357 MSR/SJ-5.5.4.1-5 2,03 1,52 1,78 0,734 MSR/SJ-5.23.4.1-5 2,16 1,88 2,02 0,960 MSR/SJ-5.48.31.1-10 1,85 1,66 1,76 0,731 TGM/SBY-10 1,64 1,43 1,54 0,558 Burangrang 2,06 1,25 1,66 0,613 Panderman 2,57 0,51 1,54 0,312 Tanggamus 1,47 1,61 1,54 0,563 Sibayak 2,61 1,65 2,13 1,025 Seulawah 1,54 1,65 1,60 0,605 Wilis 1,69 1,88 1,79 0,756 Rata-rata 2,05 1,52 1,79 BNT 0.05 0,54 0,26 0,40 KK (%) 15,1 16,02 15,71 ITC = indeks toleran cekaman.
ha) dan Lampung sebagai lokasi suboptimal (rata-rata
hasil 1,52 t/ha), dengan intensitas cekaman [1-(1,52/
2,05)] x 100% = 26%, maka diperoleh indeks toleran
cekaman galur-galur yang diuji seperti terlihat pada Tabel
3. Faktor lokasi (lingkungan) yang dinilai dominan
sebagai pembeda antarlingkungan pengujian adalah
faktor kesuburan/kemasaman tanah. Percobaan pada
kedua lokasi dilaksanakan pada MH 2005/2006, sehingga
pertanaman tidak mengalami kekeringan, sedangkan
gangguan organisme pengganggu tanaman (gulma dan
hama) dikendalikan secara optimal sehingga insiden
gangguan organisme pengganggu tanaman tersebut
sangat minimal.
Berdasarkan indeks toleran cekaman terpilih empat
galur terbaik dengan ITC > 1,0, yaitu W3898-14-3-17,
D3465-42-2-15, 5.21.3.7-3-27-1, dan
MSR/SJ-5.23.4.1-3-28-3. Galur W3898-14-3-17 memiliki latar
belakang genetik Wilis dan No. 3898 (Lokal Bali), galur
D3465-42-2-15 berasal dari persilangan Dempo dan No.
3465 (koleksi plasma nutfah Balai Besar Litbang
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Pertanian).
Galur MSR/SJ-5.21.3.7-3-27-1 dan MSR/SJ-5.23.4.1-3-28-3
memiliki latar belakang genetik varietas Mansuria dan
SJ-5.
Analisis Korelasi dan Sidik Lintas
Di Muara Enim, Sumatera Selatan, tinggi tanaman
berkorelasi positif dengan jumlah cabang dan jumlah
polong, tetapi berkorelasi negatif dengan bobot 100 biji
(ukuran biji) dan tidak berkorelasi dengan hasil (Tabel
6). Berarti semakin tinggi tanaman, semakin banyak
jumlah cabang dan jumlah polong, tetapi ukuran biji
cenderung mengecil. Hasil biji berkorelasi positif dengan
bobot 100 biji, tetapi tidak berkorelasi dengan
komponen hasil lainnya. Hal ini menunjukkan adanya
peluang untuk mendapatkan galur-galur berdaya hasil
tinggi dengan ukuran biji lebih besar.
Di Lampung Tengah, tinggi tanaman tidak berkorelasi
dengan jumlah cabang, jumlah polong, bobot 100 biji,
dan hasil biji. Jumlah cabang berkorelasi positif dengan
jumlah polong, tetapi berkorelasi negatif dengan bobot
100 biji. Jumlah polong berkorelasi negatif dengan
bobot 100 biji. Hasil biji hanya berkorelasi positif dengan
jumlah polong. Berarti semakin banyak jumlah cabang,
Tabel 4. Keragaan agronomik dan hasil galur-galur kedelai generasi lanjut pada lahan kering masam Muara Enim, Sumatera Selatan, MH 2005/2006.
Sifat Tinggi tanaman Jumlah Jumlah polong/ Bobot 100 biji Hasil biji (cm) cabang tanaman (g) (t/ha)
W/SJ-5.10.2.2.1-5 49 4,0 100 15,2 2,32 W3578-16/MLG 3072-2 59 3,3 107 10,1 1,57 W3578-16/MLG 3072-5 66 4,7 125 10,0 2,20 W3898-14-3-1 59 6,3 148 9,6 2,07 W3898-14-3-17 62 6,0 193 10,5 2,74 W3898-14-3-19 67 6,3 171 9,9 2,26 W3898-14-3-28 76 4,3 103 11,1 1,20 D3465-42-2-15 69 4,0 127 10,8 2,00 D3465-42-2-17 64 4,3 133 9,4 1,80 D3465-42-2-22 60 3,7 143 9,5 1,95 D3465-42-2-32 61 4,7 187 9,8 2,15 D3465-42-2-36 67 3,7 120 10,4 2,07 D3623-22/W3898-11-3-18 71 5,3 121 13,4 1,87 SJ-5/MSR.99.5.4.5-1-6-1 56 4,3 89 15,1 1,92 SJ-5/MSR.99.5.4.5-1-15-1 40 4,3 91 14,3 1,88 SJ-5/MSR.99.5.4.5-1-17-1 40 4,3 113 15,6 2,28 SJ-5/MSR.151.3.5.1-10 39 3,0 86 15,3 1,92 MSR/SJ-5.21.3.7-3-26-3 41 3,0 92 16,4 2,30 MSR/SJ-5.21.3.7-3-27-1 39 5,0 112 15,8 2,54 MSR/SJ-5.23.4.1-3-28-3 49 4,7 133 15,9 2,91 MSR/SJ-5.5.4.1-5 57 2,7 74 18,1 2,03 MSR/SJ-5.23.4.1-5 42 2,7 90 15,1 2,16 MSR/SJ-5.48.31.1-10 43 2,7 81 15,8 1,85 TGM/SBY-10 43 4,7 138 7,8 1,64 Burangrang 48 3,7 95 16,0 2,06 Panderman 50 5,0 114 16,8 2,57 Tanggamus 65 4,3 102 9,7 1,47 Sibayak 88 5,7 150 12,6 2,61 Seulawah 72 4,7 126 8,3 1,54 Wilis 62 5,3 119 12,4 1,69 Rata-rata 57 4,4 119 12,7 2,05 BNT 0.05 16 2,2 63,93 0,8 0,54 KK (%) 17,3 30,5 32,7 4,0 15,1
semakin banyak jumlah polong, tetapi semakin rendah
bobot 100 biji. Juga terdapat peluang untuk
mendapatkan galur-galur berdaya hasil tinggi dengan
ukuran biji lebih besar. Nampaknya terdapat pola
hubungan antarsifat yang berbeda pada lokasi yang
berbeda. Dengan demikian faktor lingkungan
mempengaruhi pola hubungan antarsifat pada kedelai.
Pada lingkungan yang lebih optimal, ukuran biji lebih
menentukan hasil, sedangkan pada lingkungan
suboptimal, jumlah polong yang menentukan hasil.
Susanto dan Adie (2006) melaporkan adanya pola
hubungan antarsifat yang berbeda pada lokasi yang
berbeda. Pada lokasi pertama, hasil berkorelasi positif
dengan jumlah polong, bobot 100 biji, dan jumlah biji/
tanaman. Pada lokasi kedua hasil berkorelasi positif
dengan tinggi tanaman, jumlah polong, dan jumlah bij/
tanaman. Pada lokasi ketiga, hasil berkorelasi positif
dengan jumlah cabang, jumlah polong, dan jumlah biji/
tanaman. Komponen hasil yang konsisten berkorelasi
positif dengan hasil adalah jumlah polong.
Arsyad dan Asadi (2009) melaporkan bahwa hasil
biji mempunyai korelasi positif yang paling kuat dengan
jumlah biji pada dua populasi F4. Ditemukan juga bahwa
semakin besar biji (bobot 100 biji) dan semakin banyak
jumlah polong semakin tinggi pula hasil biji populasi F4
asal persilangan Tanggamus x Tegal. Sifat tinggi tanaman
dan jumlah cabang nampaknya tidak mempunyai
hubungan yang erat dengan hasil biji. Lebih lanjut
disarankan tiga sifat sebagai kriteria seleksi, yaitu jumlah
biji, jumlah polong, dan ukuran (besar) biji. Untuk
mendapatkan galur-galur yang berpotensi hasil tinggi
perlu dipilih galur-galur yang berpolong banyak (jumlah
biji banyak) dan ukuran biji relatif lebih besar.
Kedinamisan hubungan antarsifat dapat diuraikan
menjadi pengaruh langsung dan tidak langsung (Singh
and Chaudhary 1979). Pola pengaruh langsung dan
tidak langsung sifat komponen hasil terhadap hasil di
dua lokasi penelitian nampak berbeda. Di Muara Enim,
Sumatera Selatan, pengaruh langsung kuat ditunjukkan
oleh bobot 100 biji, jumlah polong, dan jumlah cabang.
Tabel 5. Keragaan agronomik dan hasil galur-galur kedelai generasi lanjut pada lahan kering masam Lampung Tengah, Lampung, MH 2005/ 2006.
Sifat Tinggi tanaman Jumlah Jumlah polong/ Bobot 100 biji Hasil biji (cm) cabang tanaman (g) (t/ha)
W/SJ-5.10.2.2.1-5 69 3,3 105 13,5 1,43 W3578-16/MLG 3072-2 57 3,3 81 9,5 2,12 W3578-16/MLG 3072-5 63 3,0 87 9,0 1,07 W3898-14-3-1 62 6,3 123 8,3 1,63 W3898-14-3-17 54 4,0 193 11,8 2,11 W3898-14-3-19 70 4,0 122 9,0 0,84 W3898-14-3-28 64 5,3 166 10,1 1,17 D3465-42-2-15 69 5,7 226 9,3 2,33 D3465-42-2-17 67 4,0 120 9,5 1,29 D3465-42-2-22 67 4,0 103 9,2 1,72 D3465-42-2-32 50 2,7 62 9,5 1,36 D3465-42-2-36 60 4,7 81 9,4 1,39 D3623-22/W3898-11-3-18 58 6,7 81 9,3 1,34 SJ-5/MSR.99.5.4.5-1-6-1 54 5,3 138 13,7 2,13 SJ-5/MSR.99.5.4.5-1-15-1 37 3,0 84 13,9 1,38 SJ-5/MSR.99.5.4.5-1-17-1 49 2,3 39 13,4 1,31 SJ-5/MSR.151.3.5.1-10 72 5,3 64 14,5 0,98 MSR/SJ-5.21.3.7-3-26-3 74 3,7 106 14,7 1,12 MSR/SJ-5.21.3.7-3-27-1 74 2,3 116 14,7 1,78 MSR/SJ-5.23.4.1-3-28-3 56 2,3 165 13,9 1,96 MSR/SJ-5.5.4.1-5 58 2,7 69 14,4 1,52 MSR/SJ-5.23.4.1-5 70 4,0 116 13,1 1,88 MSR/SJ-5.48.31.1-10 67 1,7 50 13,7 1,66 TGM/SBY-10 38 3,3 75 10,5 1,43 Burangrang 60 3,3 79 14,6 1,25 Panderman 72 2,7 111 15,8 0,51 Tanggamus 44 5,3 149 9,8 1,61 Sibayak 84 4,0 134 11,3 1,65 Seulawah 60 3,3 112 11,4 1,65 Wilis 81 5,0 101 10,9 1,88 Rata-rata 62,0 3,9 108,7 11,7 1,52 BNT 0.05 11,13 1,95 45,83 0,45 0,26 KK (%) 10,99 30,78 25,78 2,37 16,02
Pengaruh langsung bobot 100 biji tidak didukung oleh
komponen hasil yang lain, tetapi pengaruh langsung
jumlah polong/tanaman didukung oleh jumlah cabang/
tanaman (Tabel 7). Pengaruh langsung jumlah cabang
didukung oleh pengaruh tidak langsung tinggi tanaman,
tetapi diperlemah oleh bobot 100 biji. Di Lampung,
pengaruh langsung yang kuat ditunjukkan oleh bobot
100 biji, tetapi diperlemah oleh pengaruh tidak langsung
tinggi tanaman dan jumlah polong (Tabel 8). Pengaruh
langsung jumlah polong diperlemah oleh pengaruh
tidak langsung bobot 100 biji.
Karakter yang dapat digunakan sebagai kriteria
seleksi untuk hasil adalah komponen hasil yang
mempunyai korelasi positif hasil dan berpengaruh
langsung yang besar terhadap hasil dan komponen hasil
yang memiliki pengaruh langsung positif yang besar,
walaupun kurang berkorelasi dengan hasil (Board et al.
1997). Dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu,
jumlah polong konsisten berkorelasi positif yang kuat
dengan hasil, sedangkan untuk karakter lain seperti
tinggi tanaman, bobot 100 biji, dan jumlah cabang
nampaknya lebih spesifik (fixed), bergantung pada latar
belakang genetik bahan pemuliaan yang digunakan dan
kondisi lingkungannya.
Pengaruh kondisi lingkungan terhadap pola
hubungan antarkarakter terlihat pada hasil penelitian
ini. Lahan kering Sumatera Selatan tergolong agak
masam, sedangkan lahan kering Lampung tergolong
masam. Pada lahan kering agak masam (cekaman
rendah), ekspresi faktor genetik akan lebih baik
(maksimal) dibandingkan dengan kondisi lahan kering
masam (cekaman lebih tinggi). Pada lahan kering
Sumatera Selatan, karakter bobot 100 biji (ukuran biji)
dan jumlah polong/tanaman memiliki pengaruh
langsung yang kuat terhadap hasil, sedangkan pada
lahan kering Lampung hanya bobot 100 biji yang
memiliki pengaruh langsung yang kuat terhadap hasil.
Dari hasil penelitian ini, karakter jumlah polong dan
bobot 100 biji dapat digunakan sebagai kriteria seleksi
untuk hasil.
Tabel 8. Pengaruh langsung (diagonal) dan tidak langsung komponen hasil terhadap hasil galur kedelai generasi lanjut pada lahan kering masam Lampung Tengah, Lampung, MH 2005/2006.
Sifat Tinggi tanaman Jumlah cabang Jumlah polong/ Bobot 100 biji Pengaruh total tanaman
Tinggi tanaman -0,085 -0,002 0,004 0,046 0,037 Jumlah cabang -0,010 -0,017 0,010 -0,231 -0,.214 Jumlah polong/tanaman -0,014 -0,065 0,026 -0,298 -0,351 Bobot 100 biji -0,008 0,008 -0,017 0,466 0,449 Tabel 7. Pengaruh langsung (diagonal) dan tidak langsung komponen hasil terhadap hasil galur kedelai generasi lanjut pada lahan kering
masam Musi Rawas, Sumatera Selatan, MH 2005/2006.
Sifat Tinggi tanaman Jumlah cabang Jumlah polong/ Bobot 100 biji Pengaruh total tanaman Tinggi tanaman 0,329 0,497 0,721 -1,089 0,458 Jumlah cabang 0,145 1,130 1,176 -0,793 1,658 Jumlah polong/tanaman 0,148 0,828 1,605 -1,210 1,371 Bobot 100 biji -0,187 -0,054 -1,011 1,920 0,668 Tabel 6 (diagon Sifat Tinggi t Jumlah Jumlah Bobot 1 Hasil bij *dan **
Tabel 6. Korelasi antarsifat galur-galur kedelai generasi lanjut pada lahan kering masam Musi Rawas, Sumatera Selatan (diagonal) dan Lampung Tengah, Lampung (di bawah diagonal), MH 2005/2006.
Sifat Tinggi tanaman Jumlah cabang Jumlah polong/ Bobot 100 biji Pengaruh total tanaman Tinggi tanaman 0,440* 0,449* -0,567** -0,200 Jumlah cabang 0,113 0,733** -0,413* 0,274 Jumlah polong/tanaman 0,165 0,391* -0,630** 0,327 Bobot 100 biji 0,098 -0,496** -0,640** 0,416* Hasil biji -0,081 0,135 0,438* 0,146
KESIMPULAN
1. Dari 24 galur kedelai yang diuji diperoleh dua galur
berbiji besar (5.21.3.7-3-27-1 dan
MSR/SJ-5.23.4.1-3-28-3) dan dua galur berbiji sedang
(W3898-14-3-17 dan D3465-42-2-15) yang toleran
dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai
varietas unggul yang adaptif pada lahan kering
masam.
2. Jumlah polong/tanaman dan ukuran biji
merupakan kriteria penting varietas adaptif dan
berdaya hasil tinggi pada lahan kering masam.
3. Penanaman varietas adaptif disertai oleh
pengelolaan hara dan tanaman yang tepat dapat
menghasilkan kedelai hingga 2 t/ha pada lahan
kering masam.
DAFTAR PUSTAKA
Adie, M.M. 2002. Daya hasil galur-galur kedelai di lahan sawah setelah padi. p.202-2008. Dalam: M. Jusuf et al. (Eds.). Teknologi inovatif tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian mendukung ketahanan pangan. Puslitbang Tanaman Pangan. 425 p. Bogor.
Arsyad, D.M., A. Tanjung, I. Nasution, dan Asadi. 1996. Pembentukan varietas unggul kedelai toleran lahan kering masam. I. Keragaman genetik dan pemilihan tetua. p. 87-92.
Dalam: Sumarno et al. (eds.). Pros. Simp. Pemuliaan
Tanaman IV. PERIPI Jawa Timur.
Arsyad, D.M., Purwantoro, H. Kuswantoro, dan M.M. Adie. 2002. Keragaan galur-galur kedelai toleran lahan kering masam. p. 109-120. Dalam: I.K. Tastra et al. (Eds.). Peningkatan produktivitas, kualitas, efisiensi, dan sistem produksi tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian menuju ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
Arsyad, D.M., M.M. Adie, A. Nur, Purwantoro, N. Saleh, dan T. Sanbuichi. 2004. Seleksi galur-galur F5, F6, dan F7 kedelai berbiji besar di lahan sawah. p. 231-240. Dalam: S. Hardaningsih (Eds.). Teknologi inovatif agribisnis kacang-kacangan dan umbi-umbian. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
Arsyad, D.M. dan A. Nur. 2006. Analisis AMMI untuk stabilitas hasil galur-galur kedelai di lahan kering masam. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 25(2):78-84.
Arsyad, D.M., H. Kuswantoro, dan Purwantoro. 2007. Kesesuaian varietas kedelai di lahan kering masam Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 26(1):26-31.
Arsyad, D.M. dan Asadi. 2009. Seleksi galur-galur F4, F5 dan F6 kedelai untuk hasil tinggi dan biji besar. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan (In press).
Board, J.E., M.S. Kang, and B.G. Harville. 1997. Path analysis identify selection criteria for yield of late planted soybean. Crop Sci. 37 (1):879-884.
Burton, J.W. 1983. Quantitative genetics: results relevant to soybean breeding, p. 211-248. In J.R. Wilcox (Ed.). Soybean: improvement, production, and uses. Second edition, ASA, Wisconsin, No. 16.
Clark, R.B. 1982. Plant response to mineral element toxicity and deficiency, p. 71-142. In M.N. Christiansen dan C.F. Lewis (eds): Breeding plants for less favorable environ-ment. John Wiley & Sons N.Y.
Fernandez, G.C.J. 1992. Effective selection criteria for assessing plant stress tolerance, p. 257-270. In: C.G. Kuo (Ed.). Adaptation of food crops to temperature and water stress. Proceeding of an Int. Symp. AVRDC. Inst. of Botany, Taiwan. Gomez, K.A. and A.A. Gomez. 1984. Statistical procedures for agricultural research. John Wiley & Sons, New York. 680 p. Lee, H.S. 1989. Effect of soil acidity on growth, yield and it’s varietal difference in soybean. p.1030-1035. In: A.J. Pascale. World Soybean Research Conference IV. Buenos Aires, Argentina. Sartain, J.B. and E.J. Kamprath. 1978. Aluminium tolerance of
soybean cultivars based on root elongation in solution culture compared with growth in acid soil. Agron. J. 70:17-20. Singh, I.D. and B.D.Chaudhary. 1979. Biometrical methods in
quantitative genetic analysis. Kalyani Publ. New Delhi. 301 p.
Sumarno, T. Sutarman, and Soegito. 1989. Grain legumes breeding for wetland and for acid soil adaptation. Cent. Res.Inst. For Food Crops. 63 p.
Sumarno dan N. Zuraida. 2006. Hubungan korelatif dan kausatif antara komponen hasil dengan hasil kedelai. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 25(1):38-44.
Susanto, G.W.A. dan M.M. Adie. 2004. Evaluasi potensi hasil galur harapan kedelai di beberapa lokasi. p. 302-307. Dalam: S. Hardaningsih et al. (Eds.). Teknologi inovatif aAgribisnis kacang-kacangan dan umbi-umbian. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
Susanto, G.W.A. dan M.M. Adie.2006. Sidik lintas dan implikasinya pada seleksi kedelai. p. 12-22. Dalam: Suharsono et al. (Eds.). Peningkatan produksi kacang-kacangan dan umbi-umbian mendukung kemandirian pangan. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
Susanto, G.W.A., M.M. Adie, dan Suyamto. 2004. Stabilitas dan adaptabilitas galur harapan kedelai. p.109-114. Dalam: A.K. Makarim (Eds.). Kinerja penelitian mendukung agribisnis kacang-kacangan dan umbi-umbian. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.