BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI SEKOLAH
4.1 SMA Negeri 70 Jakarta
SMA 70 adalah sekolah menengah negeri yang terletak di Jalan Bulungan Blok C Nomor 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah dengan status unggulan yang bertaraf internasional. Sekolah yang memenuhi kriteria 7K (ketertiban, keamanan, kebersihan, keindahan, kekeluargaan, kerindangan, dan kesehatan), di mana lulusan dari sekolah ini (100 persen) berhasil masuk ke perguruan tinggi dengan nilai rata-rata kelulusan sebesar 8,0. SMA 70 mampu menampung 1.320 siswa atau 40 siswa per kelas dengan 11 kelas pada setiap tingkat. Penjurusan kelas dilakukan pada tahun ajaran kedua dengan program jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Pada SMA 70, rata-rata para siswa melanjutkan minat belajar pada program IPA sebanyak 8 kelas, dan IPS sebanyak 3 kelas.
Gambar 2. SMA Negeri 70 Sejarah dan Perkembangan Sekolah
SMA Negeri 70 Jakarta adalah gabungan dua SMA Negeri yaitu SMA Negeri 9 dan SMA Negeri 11 yang masing-masing berdiri tahun 1959 dan 1960. Karena sering terjadi tawuran antara kedua sekolah, maka Walikota Jakarta Selatan memutuskan untuk menggabungkan kedua sekolah menjadi satu sekolah, yaitu SMA 70. Sejak bergabung tahun 1981, prestasi SMA Negeri 70 terus meningkat, yaitu:
1. Tahun 1994, SMA Negeri 70 menjadi sekolah unggulan tingkat kotamadya Jakarta Selatan
2. Tahun ajaran 2001-2002, SMA Negeri 70 membuka Layanan Program Percepatan Belajar (Akselerasi)
3. Tahun ajaran 2003-2004, SMA Negeri 70 membuka Layanan Program Sertifikasi Internasional A/AS Level yang mengacu pada University of Cambridge International Examination
4. Tahun ajaran 2006-2007, SMA Negeri 70 ditetapkan sebagai salah satu Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)
5. Bulan Januari 2007, SMA Negeri 70 ditetapkan menjadi Cambridge International Centre dengan ID 074 yang dapat menyelenggarakan ujian sertifikasi IGCSE dan A/AS Level
Sarana dan Prasarana
Tujuan untuk meningkatkan kenyamanan dalam pembelajaran baik intrakulikuler maupun ekstrakulikuler, menyebabkan SMA 70 menyediakan fasilitas fisik berupa: ruang kelas ber-ac, ruang perpustakaan dengan pengembangan e-library, laboratorium fisika, laboratorium virtual science, laboratorium kimia, laboratorium biologi, laboratorium bahasa, laboratorium komputer, laboratorium ips, ruang multimedia, ruang relaksasi, wi-fi dengan 17 hotspot, lapangan bola basket, lapangan sepak bola, lapangan bola voli, lapangan badminton, ruang tinju (mini gym), ruang pingpong, tempat parkir studio band, dark room khusus fotografi, papan panjat tebing, musholla, taman, ruang UKS, ruang PMR, kantin, dan koperasi sekolah. Semua sarana dan prasarana ini hanya dapat dimanfaatkan pada jam pelajaran sekolah (termasuk jadwal ekstrakurikuler), sehingga pada saat sepulang sekolah (di luar jam pelajaran sekolah) para pelajar tidak dapat menggunakan sarana dan prasarana ini untuk mengisi waktu luang mereka. Dengan demikian para pelajar cenderung menggunakan waktu di luar jam pelajaran dengan tindakan yang tidak berstruktur seperti nongkrong.
Kegiatan Ekstrakurikuler
Setiap siswa-siswi SMA 70 diwajibkan untuk mengikuti minimal satu kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kepribadian, bakat dan
kemampuannya di berbagai bidang di luar bidang akademik. Pada bidang seni dan budaya terdapat ekstrakurikuler: band (musik band); bulungan art club (seni lukis); espresso de ritmo (seni musik paduan suara); persada karya cipta (seni tari modern); pustaka dokumentasi (fotografi); teater (seni teater); trads (tari tradisional); dan vocal group (musik vocal group). Pada bidang olah raga terdapat ekstrakurikuler: basket (bola basket); bulungan boxing camp (tinju); bulungan football club (sepak bola); bulungan volleyball (bola voli); ju-jitsu (beladiri jujitsu); karatedo (beladiri karate); sisgahana (pencinta alam); softball-baseball (softball dan baseball); taekwondo (beladiri taekwondo); dan tapak suci (beladiri pencak silat ).
Selain bidang seni budaya dan olah raga, di SMA 70 juga terdapat ekstrakurikuler pada keagamaan seperti: rohis (kerohanian agama islam); dan rohkris (kerohanian agama kristen). Dan beberapa ekstrakurikuler pada bidang lain seperti: lentera (majalah dinding); seksi karya ilmiah remaja (ilmu pengetahuan); palang merah remaja (kesehatan); dan tata laksana upacara (pelaksanaan paskibra). Ekstrakurikuler ini diharapkan dapat memajukan motivasi siswa untuk lebih berprestasi pada bidang non-akademik. Namun pada pelaksanaannya kegiatan ekstrakurikuler ini tidak diawasi/dikelola dengan benar, seperti kriteria pemberian nilai dan absensi yang tidak jelas dan tidak transparan. Dengan demikian pada pelaksanaannya banyak siswa dan siswi SMA 70 yang tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler walaupun mereka terdaftar di kegiatan tersebut.
Acara Rutin Tahunan
SMA 70 memiliki acara rutin tahunan yang diselenggarakan oleh siswa-siswi SMA, yang bertujuan untuk melatih dan meningkatkan kreativitas serta kemampuan berorganisasi. Acara utama pada setiap tahun adalah pekan olah raga yaitu Bulungan Cup (Bulcup) yang diadakan sejak tahun 1999. Bulungan Cup adalah Sport-Art Event terbesar yang diadakan oleh siswa Sekolah Menengah Atas se-Indonesia. Prospek yang dicapai sangat baik, sekolah-sekolah yang diundang tidak hanya berasal dari daerah Jabodetabek saja, tetapi juga seluruh Jawa, bahkan sudah merambah Lampung.
Gambar 3. Kegiatan Acara Tahunan Bulungan Cup
Selain pekan olah raga yang sudah bertaraf nasional, SMA 70 juga mempunyai acara rutin lainnya seperti Gelar Kreativitas (GK) yang sudah diadakan sejak 17 tahun yang lalu. Gelar Kreativitas diadakan oleh panitia kelas XI, dipersembahkan untuk kelas XII sebagai tanda hormat terhadap senior. Selain itu, acara ini juga bertujuan untuk meningkatkan kreativitas siswa dalam bidang seni. Lebih dari itu, GK yang merupakan acara intern yang diadakan di dalam lingkungan SMA Negeri 70 Jakarta sendiri juga dijadikan sebagai sarana temu kangen para alumni terdahulu sambil menikmati penampilan dari berbagai band dan bentuk-bentuk kreativitas lainnya.
4.2 SMA Negeri 6 Jakarta
SMA 6 adalah sekolah menengah negeri yang terletak Jalan Mahakam I No.2 Blok. C Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sedikit berbeda dengan SMA 70, walaupun SMA 6 merupakan sekolah unggulan, namun tarafnya baru menuju internasional, sehingga seringkali dikatakan bahwa SMA 6 adalah pendamping unggulan. Dimana sudah memenuhi 7K, namun belum 100 persen lulusannya masuk perguruan tinggi dengan rata-rata kelulusan 8,0. SMA 6 mampu menampung 1120 siswa (40 siswa per kelas), dimana terdapat 9 kelas pada tingkat X dan XI dan 10 kelas pada tingkat XII. Penjurusan kelas juga dilakukan pada tahun ajaran kedua dengan program jurusan IPA dan IPS. Mayoritas siswa tingkat XI melanjutkan pada program IPS sebanyak 6 kelas, dan IPA sebanyak 4 kelas.
Sejarah dan Perkembangan Sekolah
Tahun 1952 di Kebayoran Baru berdirilah suatu Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) swasta. Pada tanggal 1 Agustus 1952, sekolah ini mendapat
status "negeri" yang kemudian disebut dengan SMA Negeri II ABC. Pada tahun pelajaran 1954/ 1955, SMA ini berganti nama dengan SMA Negeri VI ABC. Kemudian sejalan dengan berubahnya sistem pendidikan, yaitu dengan munculnya SMA Gaya Baru, maka pada tahun pelajaran 1964/ 1965 SMA Negeri VI ABC berganti nama dengan SMU Negeri 6. Kemudian dengan adanya sistem pendidikan yang baru, maka SMU ini berganti nama dengan SMA Negeri 6 Jakarta. Pada saat cikal bakal SMA Negeri 6 didirikan, sekolah ini berlokasi di Jalan Bulungan. Kemudian dari 1 Januari 1969 sampai sekarang, SMA Negeri 6 menempati gedung baru yang berlokasi di Jalan Mahakam I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Sarana dan Prasarana
Peningkatkan kenyamanan dalam pembelajaran baik intrakulikuler maupun ekstrakulikuler, menyebabkan SMA 6 menyediakan fasilitas fisik berupa: ruang kelas, masjid, perpustakaan, ruang audio visual, laboratorium bahasa, laboratorium biologi, laboratorium fisika, laboratorium kimia, laboratorium komputer, aula pertemuan, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang kesehatan (uks), koperasi, kantin, lapangan basket, lapangan voli, dan 9 unit cctv yang letaknyanya tidak diketahui oleh siswa. Sejalan dengan peraturan sekolah yang berlaku pada SMA 70, pada SMA 6 juga terdapat larangan untuk menggunakan sarana dan prasarana sekolah diluar jam pelajaran. Dengan demikian para pelajar cenderung menggunakan waktu diluar jam pelajaran dengan tindakan yang juga dilakukan pelajar lain yaitu “nongkrong”.
Kegiatan Ekstrakurikuler
Setiap siswa-siswi SMA 6 seperti juga SMA 70 diwajibkan untuk mengikuti minimal 1 kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuannya di berbagai bidang di luar bidang akademik. Pada bidang seni dan budaya terdapat ekstrakurikuler: cheers (tari cheerleaders); lensa (fotografi); mahakam live sounds (musik/ band); pesona cipta mahakam (modern dance); paduan suara; samanhakam (tari tradisional saman); skema (seni lukis); teater enhakam (seni teater). sementar pada bidang olah raga terdapat ekstrakurikuler seperti: baseball; mahakam bc (basket); mahakam fc (sepak bola); voli; dan
ju-jitsu (seni bela diri). Pada bidang keagamaan dapat disalurkan pada: rohis (keagamaan islam); rohkat (keagamaan katolik); dan rohkris (keagamaan kristen). Dan terdapat beberapa ekstrakurikuler pada bidang lainnya seperti: kegiatan ilmiah remaja (ilmu alam); majalah dinding (seni pembuatan majalah dinding); dan paskibra mahakam (baris-berbaris dan pengibar bendera).
Sejalan dengan pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler di SMA 70, pada SMA 6 juga tidak terdapat control yang jelas dan transparan terhadap penilaian ekstrakurikuler. Dengan demikian pada pelaksanaannya banyak siswa dan siswi SMA 6 yang juga tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler walaupun terdaftar di kegiatan tersebut.
Acara Rutin Tahunan
Setiap tahunnya para siswa-siswi SMA 6 menyelenggarakan sebuah acara rutin untuk melatih dan menambah pengalaman berorganisasi mereka. salah satu acara tahunan yang diadakan adalah Gelar Lomba Paskibra Enam Untuk Satu (Glopreus). Glopreus merupakan ajang lomba Paskibra yang tak asing lagi bagi paskibra di kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Sebuah Event kebanggaan Paskibra Mahakam SMA Negeri 6 Jakarta. Merupakan lomba Paskibra yang selalu menampilkan sensasi tersendiri dalam pelaksanaannya baik bagi peserta maupun suporter dan penonton yang menghadiri kegiatan ini, sehingga event ini telah menjadi kegiatan Favorit khususnya bagi aktivis paskibra sekolah. Kegiatan tahunan lain yang juga cukup menarik perhatian adalah Mahakam Cup (Mahcup). Kegiatan kompetisi olah raga yang mengundang berbagai sekolah dari tingkat SMA dan SMK untuk mengikuti lomba dalam berbagai bidang untuk menjunjung tinggi sportivitas dan kekompakan tiap tim sekolah yang diundang untuk memperebutkan hadiah dan piala bergilir dari SMA Negeri 6 Jakarta.
4.3 Lokasi Sekolah
Masing-masing SMA 70 dan SMA 6 melarang para siswanya untuk melakukan tindakan tawuran. Namun kebanyakan dari para siswa tidak mengindahkan peraturan yang ditetapkan sekolah masing-masing, walaupun akan berakhir dengan skorsing dan pemanggilan orang tua bagi siswa yang kedapatan
terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam tawuran. Lokasi kedua sekolah yang berdekatan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingginya intensitas pertemuan para siswanya yang berakhir dengan tawuran.
Gambar 4. Peta Lokasi skala 1:10.000
Gambar 4. Peta Lokasi skala 1:10.000
SMA 6 dan SMA 70 merupakan dua sekolah dengan tingkat intensitas tawuran antar pelajar yang tinggi, yang berada di kawasan yang cukup strategis di Jakarta Selatan. Kedua sekolah berada pada lingkungan padat penduduk yang dikelilingi oleh prasarana umum yang berdampak positif dan juga negatif bagi fenomena tawuran yang terjadi. Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa jarak yang kurang dari 100 meter terhadap Blok M Plaza yaitu salah satu mall besar di Jakarta Selatan, memudahkan para siswa untuk sekedar jalan-jalan atau cuci mata, dan bahkan menjadi tempat tujuan pertama bagi siswa yang membolos sekolah. Dengan jarak kurang dari 200 meter terhadap terminal bus Blok M seharusnya dapat memudahkan siswa untuk segera pulang ke rumah, namun ada hal lain yang menjadikan keberadaan terminal ini menjadi faktor negatif. Karena merupakan tempat pergantian bus baik dalam maupun antar kota, terminal Blok M tidak jarang menjadi pusat bertemunya siswa dari sekolah yang berbeda. Hal ini dapat memancing terjadinya pertikaian yang berakhir dengan tawuran siswa dari sekolah yang bersangkutan.
Keberadaan kedua sekolah yang dapat dikatakan dekat (sekitar 500 meter) dari Mabes Polri seharusnya dapat meminimalisir terjadinya tawuran karena penertiban dapat dilakukan dengan cepat. Namun kedekatan kedua sekolah dengan mabes polri dan bahkan lembaga tinggi pemerintah lainnya seperti Kejaksaan Agung dan Balai Walikota tidak membuat mereka was-was untuk melakukan tindakan tawuran. Hal ini dapat dilihat dari intensitas yang masing cukup tinggi pada fenomena tawuran di kedua sekolah. Diduga kurangnya perhatian dari lembaga diluar pihak sekolah seperti mabes polri dalam mencegah dan menaggulangi keamanan lingkungan di sekitar sekolah menjadi salah satu sebab tingginya tingkat tawuran antar pelajar.
BAB V
KARAKTERISTIK REMAJA YANG TERLIBAT TAWURAN
5.1 Gambaran Umum Responden
Responden yang dipilih dalam penelitian ini merupakan pelajar laki-laki pada SMA 6 dan SMA 70 (Gambar 5) yang pernah terlibat dalam tawuran pelajar. Berdasarkan jawaban responden, peneliti mendeskripsikan dua Gambaran umum berdasarkan umur dan tingkat ekonomi.
Gambar 5. Siswa SMA 6 dan SMA 70 Pelaku Tawuran Karakteristik Umur
Selang umur responden berkisar antara 16-19 tahun yang dapat diklasifikasikan sebagai remaja madya, yaitu masa remaja berada dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, dan sebagainya. Berdasarkan Tabel 1, pelajar pelaku tawuran didominasi oleh responden berumur 16 tahun yang mayoritas berada pada kelas X dengan persentase sebesar 37,5 persen dan hanya 5 persen yang berumur diatas 19 tahun. Adanya sistem senioritas pada masing-masing SMA menjadikan angkatan yang lebih tinggi seperti memiliki kekuasaan atau pengaruh yang lebih besar. Alasan ini yang menyebabkan pelajar baru lebih banyak yang terlibat tawuran karena tidak memiliki kekuasaan untuk menolak perintah senior mereka.
Tabel 1. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Umur Umur Jumlah % 16 tahun 15 37,5 17 tahun 14 35 18 tahun 9 22,5 19 tahun 2 5 Total 40 100
Karakteristik Uang Saku per-minggu
Uang saku mingguan pelajar pelaku tawuran berkisar antara Rp50.000 sampai dengan Rp200.000. Pada Tabel 2, tampak uang saku perminggu pelajar pelaku tawuran kebanyakan berada pada kisaran uang saku Rp100.000 sampai dengan kurang dari Rp150.000 (40 persen), artinya dalam sebulan mereka mendapat uang saku antara Rp400.000 sampai dengan Rp600.000. Terlihat bahwa sebagian besar responden dapat dikatakan berada pada kisaran uang saku yang relatif besar (45 persen), karena didominasi oleh kisaran uang saku Rp150.000 ke atas. Hanya 15 persen pelajar pelaku tawuran yang mendapat uang saku kurang dari Rp100.000 atau Rp400.000 setiap bulannya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pelajar pelaku tawuran cenderung berasal dari keluarga menengah ke atas. Tabel 2. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Uang Saku per-minggu
Uang Saku/Minggu Jumlah %
Rp < 100.000 6 15
Rp 100.000 < 150.000 16 40
Rp 150.000 < 200.000 12 30
Rp 200.000 6 15
Total 40 100
5.2 Kondisi Tempat Tinggal
Kondisi tempat tinggal pelajar yang terlibat tawuran dapat dijabarkan dari beberapa variabel yaitu: 1) kepemilikan ruang pribadi dilihat dari status kamar tidur dan status kondisi tempat tinggal; 2) fasilitas hiburan; dan 3) kondisi rumah dilihat dari polusi udara, polusi suara, intensitas cahaya, tingkat kelembapan dan panasnya udara di sekitar rumah.
Kepemilikan Ruang Pribadi
Berdasarkan Tabel 3, mayoritas (90 persen) pelajar yang terlibat tawuran bertempat tinggal di rumah milik pribadi. Sebagian kecil pelajar lainnya memiliki tempat tinggal berstatus menumpang, sewa dan kontrak.
Tabel 3. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Status Tempat Tinggal
Status Tempat Tinggal Jumlah %
Menumpang 2 5
Rumah sewa/kontrak 1 2,5
Rumah dinas 1 2,5
Rumah sendiri 26 90
Total 40 100
Terkait dengan ruang gerak pribadi di rumah yaitu kamar tidur, dapat dikatakan bahwa seluruh pelajar yang terlibat tawuran dapat dikatakan memiliki kamar tidur (Tabel 4). Sebagian besar (72,5 persen) pelajar memiliki kamar tidur sendiri dan sisanya berbagi kamar tidur mereka dengan saudara.
Tabel 4. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Status Kamar Tidur
Status Kamar Tidur Jumlah %
Tidak punya 0 0
Berbagi 11 27,5
Sendiri 29 72,5
Total 40 100
Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa mayoritas pelajar yang terlibat tawuran mendapat akses yang cukup tinggi dalam kepemilikan ruang pribadi mereka. Dapat dikatakan bahwa pelajar berada pada golongan ekonomi menengah, karena selain mayoritas tempat tinggal merupakan rumah pribadi, para pelajar juga memiliki kamar tidur sendiri.
Fasilitas Hiburan
Para pelajar pelaku tawuran memiliki beberapa fasilitas alat hiburan yang dimiliki di rumah mereka. Menggunakan rumus sebaran frekuensi dihasilkan selang kelas seperti pada Tabel 5 dan perinciannya pada Tabel 6, jumlah alat hiburan yang dimiliki pelajar didominasi pada selang 6 jenis fasilitas alat hiburan (52,5 persen). Hal ini menandakan bahwa para responden memiliki prasaranan yang baik pada rumah mereka, yang seharusnya mampu mengalihkan perhatian mereka dari kegiatan tawuran dengan mengoptimalkan fungsi dari alat hiburan tersebut. Dengan alat hiburan terbanyak berupa televisi (97,5 persen) dan komputer (92,5 persen). Sementara alat hiburan yang jarang dimiliki pelajar berupa peralatan olah raga (55 persen).
Tabel 5. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Jumlah Fasilitas Hiburan
Fasilitas Hiburan Jumlah %
≤ 3 jenis 6 15
4 – 5jenis 13 32,5
6 jenis 21 52,5
Total 40 100
Tabel 6. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Fasilitas Alat Hiburan
Fasilitas Alat Hiburan Jumlah %
Radio 26 65 Televisi 39 97,5 CD/DVD player 31 77,5 Alat music 31 77,5 Komputer 37 92,5 Video game 29 72,5
Peralatan olah raga 22 55
Lainnya 1 2,5
Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa mayoritas pelajar yang terlibat tawuran berada pada tingkat kenyamanan fisik pada tempat tinggal yang relatif baik, mereka memiliki beragam fasilitas hiburan yang seharusnya dapat menekan intensitas mereka berada di luar rumah.
Kondisi Rumah
Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa sebagian besar pelajar pelaku tawuran berada pada lingkungan tempat tinggal dengan tingkat kebisingan yang cukup tinggi (52,5 persen). Yang disebabkan dekatnya tempat tinggal dengan jalan raya. Dengan lingkungan tempat tinggal pada tingkat polusi udara rendah (60 persen). Serta tingkat suhu udara panas cukup tinggi (65 persen). Hal ini juga dipengaruhi karena domisili pelajar yang berada di Jakarta dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi, dan kisaran suhu yang panas.
Kebanyakan pelajar pelaku tawuran berada pada lingkungan tempat tinggal dengan tingkat kelembapan rendah (57,5 persen). Hal ini disebabkan prasarana penyejuk yang terdapat di kebanyakan rumah yaitu AC, yang menghantarkan udara dingin yang kering, sehingga menekan kelembapan udara di sekitar lingkungan tempat tinggal. Mereka mendapat intensitas cahaya yang cukup tinggi (85 persen). Hal ini sangat mempengaruhi kesehatan dari pelajar pelaku tawuran, disebabkan cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah dapat membunuh kuman penyakit, yang akan berpengaruh pada perilaku pelajar di sekolah nantinya.
Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Penilaiannya akan kondisi tempat tinggalnya
Aspek Penilaian Tinggi (%) Sedang (%) Rendah (%)
Kebisingan 7,5 52,5 40
Polusi udara 2,5 37,5 60
Panas 2,5 65 32,5
Kelembapan 0 42,5 57,5
Intesitas Cahaya 85 12,5 2,5
Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa mayoritas pelajar yang terlibat tawuran berada pada lingkungan tempat tinggal dengan keadaan cuaca yang dapat dikatakan baik. Bisa dikatakan bahwa tempat tinggal para pelajar pelaku tawuran cukup strategis dan elit. Karena mayoritas berada pada daerah yang nyaman dimana tempat tinggal mereka mendapat cahaya matahari yang cukup, tingkat kelembapan dan polusi udara yang rendah, serta tingkat polusi suara dan intensitas panas yang sedang.
Ikhtisar Kondisi Tempat Tinggal
Mayoritas pelajar pelaku tawuran berada pada kondisi lingkungan tempat tinggal dengan fasilitas hiburan yang relatif baik, dan cukup memiliki ruang pribadi, serta tingkat kenyamanan fisik yang relatif tinggi. Namun dapat dikatakan kondisi tempat tinggal responden berada pada kondisi baik. Dalam hasil dari penelitian pada variabel bahwa kondisi lingkungan tempat tinggal ini diduga cenderung menolak hipotesis bahwa „remaja yang terlibat tawuran memiliki kondisi tempat tinggal yang buruk‟. Disimpulkan bahwa kondisi tempat tinggal yang buruk tidak berhubungan dengan perilaku tawuran pada pelajar.
5.3 Kondisi Hubungan dengan Orang Tua
Kondisi hubungan atara pelajar yang terlibat tawuran dengan orang tua mereka dapat dijabarkan dari beberapa variabel yaitu: 1) keadaan umum keluarga dilihat dari status pernikahan, bentuk komunikasi dan intensitas pertemuan; 2) kedekatan dengan orang tua dilihat dari kedekatan hubungan dan orang terdekat; 3) pola interaksi dilihat dari topik pembicaraan, intensitas dimintai pendapat, intensitas menentukan pilihan, intensitas berkonflik, intensitas dimarahi, dan intensitas dicurigai/tidak dipercaya.
Keadaan Umum Keluarga
Berdasarkan Tabel 8, terlihat bahwa status pernikahan orang tua moyoritas pelajar yang terlibat tawuran adalah lengkap (85,5 persen). Sisanya walaupun masih memiliki kedua orang tua, tetapi berada pada status bercerai dan pisah rumah. Dapat dikatakan hampir semua pelajar masih memiliki kedua orang tua yang tinggal bersama di dalam satu rumah.
Tabel 8. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Status Pernikahan Orang Tua
Status Pernikahan Jumlah %
Bercerai 2 5
Pisah rumah 3 7,5
Janda/duda 2 5
Lengkap 33 85,5
Total 40 100
Berdasarkan Tabel 9, terlihat bahwa bentuk komunikasi yang dilakukan masih didominasi metode tatap muka/langsung (82,8 persen). Sisanya yaitu komunikasi melalui email dan telfon merupakan pelengkap dari metode komunikasi utama yang dilakukan pelajar dengan orang tua mereka.
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Bentuk Komunikasi dengan Orang Tua
Bentuk Komunikasi Jumlah %
Email/SMS 15 37,5
Telfon 19 47,5
Langsung/tatap muka 38 95
Berdasarkan Tabel 10, terlihat bahwa intensitas pertemuan orang tua dengan anak mereka dapat dikatakan sangat baik, dimana hamper semua responden setiap hari bertemu dengan orang tuanya.
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Intensitas Pertemuan dengan Orang Tua
Intensitas Pertemuan Jumlah %
Tidak tentu 1 2,5
Beberapa kali dalam sebulan 1 2,5
Beberapa kali dalam seminggu 1 2,5
Setiap hari 37 92,5
Total 40 100
Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa kebanyakan pelajar yang terlibat tawuran memiliki keadaan umum keluarga yang baik. Hal ini disebabkan mayoritas responden memiliki orang tua lengkap dengan intensitas pertemuan harian dalam bentuk langsung/tatap muka.
Kedekatan dengan Orang Tua
Berdasarkan Tabel 11, terlihat bahwa perbandingan kedekatan hubungan antar orang tua dengan pelajar yang terlibat tawuran mendukung pernyataan pada Tabel 15 mengenai perbandingan topik pembicaraan kepada bapak dan ibu. Dimana para pelajar merasa bahwa lebih nyaman untuk menceritakan permasalahan pribadi mereka kepada ibu sehingga hubungan yang terjalin lebih kuat, dengan demikian persentase pelajar yang menganggap ibu sebagai sahabat sendiri lebih besar dari pada persentase bapak.
Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kedekatan Hubungan dengan Orang Tua
Kedekatan Hubungan Ibu Bapak
Jumlah % Jumlah %
Tidak saling peduli 0 0 0 0
Musuh 0 0 0 0
Teman 15 37,5 20 51,3
Sahabat 25 62,5 19 48,7
Total 40 100 39 100
Berdasarkan Tabel 12, terlihat bahwa orang terdekat dalam keluarga adalah ibu (57,5 persen) diikuti oleh saudara dan terakhir bapak. Pernyataan ini semakin mendukung pembahasan sebelumnya pada Tabel 13, dimana ibu merupakan teman terdekat pelajar saat berada di rumah. Namun terdapat kejanggalan karena posisi bapak berada di bawah posisi saudara, hal ini menunjukan bahwa pada sebagian besar responden, fungsi bapak sebagai kepala keluarga tidak terlalu berpengaruh terhadap kedekatannya pada anak. Padahal seharusnya terdapat kedekatan yang disebabkan oleh kesamaan jenis kelamin antar pelajar tawuran dengan pihak bapak.
Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Orang Terdekat dalam Keluarga
Orang Terdekat dalam Keluarga Jumlah %
Ibu 23 57,5
Bapak 6 15
Saudara 11 27,5
Pembantu/supir 0 0
Total 40 100
Berdasarkan uraian diatas, terlihat jelas bahwa mayoritas jawaban menyatakan betuk hubungan yang terjalin antar pelajar pelaku tawuran dengan
orang tua (terutama ibu), menjadikan ibu sebagai sosok terpenting dalam keluarga bagi mereka.
Pola Interaksi
Berdasarkan Tabel 13, terlihat bahwa topik pembicaraan yang dilakukan kepada bapak dan ibu oleh pelajar yang terlibat tawuran memiliki perbedaan. Responden lebih banyak berkomunikasi dengan ibu daripada bapak, terutama permasalahan yang sifatnya pribadi seperti pergaulan di sekolah, masalah pribadi dan keluarga. Dengan ayah para responden (yang semuanya laki-laki) cenderung berkomunikasi dengan fokus masalah yang bersifat non pribadi seperti uang jajan dan berita di televisi.
Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Topik Pembicaraan dengan Orang Tua
Topik Pembicaraan Ibu Bapak
Jumlah % Jumlah % Pelajaran 19 47,5 16 40 Pergaulan di sekolah 19 47,5 17 42,5 Uang saku/jajan 18 45 18 45 Masalah keluarga 13 32,5 10 25 Masalah pribadi 14 35 8 20 Berita di televisi 15 37,5 17 42,5
Berdasarkan Tabel 14, terlihat bahwa intensitas pelajar terlibat tawuran dimintai pendapat oleh orang tua mereka berada pada tingkatan cukup (kadang-kadang) yaitu sebesar 62,5 persen. Bahkan terdapat beberapa pelajar yang tidak pernah dimintai pendapat oleh orang tua mereka, dimana hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan pelajar yang masih berada pada usia remaja yang labil.
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Intensitas Dimintai Pendapat Oleh Orang Tua
Intensitas Dimintai Pendapat Jumlah %
Selalu 12 30
Kadang-kadang 25 62,5
Tidak pernah 3 7,5
Total 40 100
Berdasarkan Tabel 15, terlihat bahwa intensitas pelajar yang dapat menentukan pilihannya sendiri sangat banyak, walau belum seluruh responden dimintai pendapat secara rutin oleh orang tua, namun mereka sudah dipercaya untuk memberikan masukan pada orang tua.. Tetapi terdapat pencilan (2,5 persen)
dari pelajar tersebut yang tidak pernah menentukan pilihannya sendiri dan masih tergantung dengan keputusan orang tua untuk segala sesuatunya.
Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Intensitas Menentukan Pilihan Sendiri
Intensitas Menentukan Pilihan Sendiri Jumlah %
Selalu 19 47,5
Kadang-kadang 20 50
Tidak pernah 1 2,5
Total 40 100
Berdasarkan Tabel 16, terlihat bahwa intensitas berkonflik antar pelajar dengan orang tua masih didominasi jawaban kadang-kadang (92,5 persen). Hal ini dapat dikatakan baik karena konflik merupakan hal rutin yang dilandasi perbedaan pendapat, sehingga masih dalam taraf wajar bila kadang hal ini terjadi.
Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Intensitas Berkonflik dengan Orang Tua
Intensitas Berkonflik Jumlah %
Selalu 2 5
Kadang-kadang 37 92,5
Tidak pernah 1 2,5
Total 40 100
Berdasarkan Tabel 17, terlihat bahwa tidak ada pelajar yang tidak pernah dimarahi orang tuanya. Untuk jawaban mayoritas, terdapat kesamaan antara intensitas pelajar berkonflik dengan orang tua, tidak jauh berbeda dengan intensitas mereka dimarahi, karena keduanya didominasi jawaban kadang-kadang. Terdapat kesinambungan pada proses interaksi ini, dimana biasanya proses dimarahi dilakukan setelah terjadi konflik antar orang tua dan responden.
Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Intensitas Dimarahi oelh Orang Tua
Intensitas Dimarahi Jumlah %
Selalu 7 17,5
Kadang-kadang 33 82,5
Tidak pernah 0 0
Total 40 100
Berdasarkan Tabel 18, terlihat bahwa minoritas pelajar yang terlibat tawuran (10 persen) selalu merasa dicurigai/tidak dipercaya oleh orang tua mereka. Sedangkan cukup banyak pelajar yang tidak pernah merasa dicurigai oleh orang
tua mereka dan sisanya atau mayoritas mengalami perasaan dicurigai sekali-sekali/ kadang-kadang.
Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Intensitas Dicurigai/Tidak Dipercaya oleh Orang Tua
Intensitas Dicurigai/Tidak Dipercaya Jumlah %
Selalu 4 10
Kadang-kadang 19 47,5
Tidak pernah 17 42,5
Total 40 100
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan pola interaksi yang terjadi masih dapat dikategorikan cukup positif, hal ini disebabkan walaupun responden sering dimintai pendapat dan menentukan pilihan sendiri, namun orang tua masih belum dapat percaya sepenuhnya kepada anak mereka sehingga masih terjadi kejadian-kejadian seperti konflik, memarahi, dan rasa curiga terhadap anaknya.
Ikhtisar Kualitas Hubungan dengan Orang Tua
Mayoritas pelajar pelaku tawuran berada pada kualitas hubungan dengan orang tua yang cukup baik berdasarkan keadaan keluarga yang lengkap, pola interaksi tatap muka rutin harian, dan betuk hubungan yang cukup baik dengan orang tua terutama pada pihak ibu yang orang terdekat bagi rerponden. Mengenai pola interaksi nampaknya cukup positif disebabkan responden memiliki keleluasaan untuk menentukan pilihan sendiri dan sering dimintai pendapat, walaupun responden kadang-kadang masih dicurigai, dimarahi dan berkonflik dengan orang tua. Namun bentuk hubungan dengan orang tua ini nampaknya kurang mendalam, karena responden cenderung kurang membahas masalah pribadi terutama pada pihak bapak. Walaupun demikian, secara garis besar hubungan pelajar pelaku tawuran dengan orang tuas masih dapat dikatakan baik, sehingga bertolak belakang dengan hipotesis peneliti yaitu „diduga remaja yang terlibat tawuran memiliki kualitas hubungan dengan orang tua yang rendah‟.
5.4 Hubungan dengan Peer group
Hubungan antara pelajar yang terlibat tawuran dengan peer group mereka dapat dilihat dari beberapa variabel yaitu: 1) kedekatan dengan peer group dilihat dari keberadaan peer group, alasan kedekatan, dan arti peer group; 2) pola
hubungan dilihat dari intensitas pertemuan mingguan, intensitas pertemuan harian, dan topik pembicaraan; 3) kepercayaan antara responden dengan peer group dilihat dari pernyataan mengenai keberpihakan peer group saat responden dalam masalah, kepercayaan mengenai argument yang diberikan antara peer group dengan responden, peer group sebagai acuan pemecahan masalah responden, kesamaan pemahaman peer group dengan rersponden, bantuan yang diberikan antara peer group dengan responden saat terlibat dalam masalah.; dan 4) orang terdekat disekolah.
Kedekatan dengan peer group
Berdasarkan Tabel 19, terlihat bahwa mayorits pelajar pelaku tawuran (85 persen) memiliki peer group, baik berjumlah satu ataupun lebih. Hanya 15 persen pelajar yang menyatakan bahwa mereka tidak memiliki peer group di lingkungan sekolah.
Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Jumlah Peer group
Keberadaan Peer group Jumlah %
Tidak ada 6 15
Ada, satu kelompok 13 32,5
Ada, lebih dari satu kelompok 21 52,5
Total 40 100
Berdasarkan Tabel 20, terlihat bahwa alasan kedekatan para pelajar pelaku tawuran dengan peer group disebabkan mereka berada dalam satu angkatan (62,5 persen) atau berada pada umur yang sebaya. Alasan lain yang cukup tinggi mengenai kedekatan pelajar tawuran adalah kesamaan pola pikir yang dianut (27,5 persen).
Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Alasan Kedekatan dengan Peer Group
Alasan Kedekatan Jumlah %
Satu angkatan 25 62,5
Kesamaan kelas 2 5
Kesamaan basis/daerah rumah 2 5
Kesamaan hobi 0 0
Sepaham dalam pikiran 11 27,5
Total 40 100
Berdasarkan Tabel 21, pelajar menyatakan bahwa arti peer group bagi mereka adalah teman nongkrong (45 persen), yaitu teman dalam menghabiskan waktu bersama walaupun tanpa melakukan kegiatan apapun. Diikuti sebagai
sahabat (30 persen). Walaupun ada pencilan pelajar (2,5 persen) yang menyatakan bahwa peer group bagi mereka merupakan kelompok belajar. Menurut pelajar pelaku tawuran arti peer group sudah sedemikian intimnya sehingga bisa disamakan dengan arti orang tua bagi mereka.
Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Arti Peer group
Arti Peer group Jumlah %
Teman jalan 5 12,5 Teman nongkrong 18 45 Teman belajar 1 2,5 Teman curhat 4 10 Sahabat 12 30 Total 40 100
Berdasarkan uraian diatas, terlihat jelas bahwa mayoritas pelajar pelaku tawuran memiliki peer group, dan kedekatan hubungan mereka yang merupakan teman nongkrong dan sahabat lebih disebabkan kesamaan usia.
Pola Hubungan
Berdasarkan Tabel 22 dan 23, terlihat bahwa intensitas pertemuan mingguan para pelajar pelaku tawuran dengan peer group sangat tinggi, yaitu pertemuan rutin yang dilaksanakan setiap hari dalam satu minggu (50 persen). Dimana setiap harinya para pelajar ini menghabiskan waktu lebih dari empat jam (62,5 persen) untuk berinteraksi dengan peer groupnya. Sebaliknya minoritas dari pelajar mengalami pertemuan yang tidak tentu berapa kali dalam seminggu (12,5 persen) dengan intensitas waktu yang sedkit dalam setiap berinteraksi.
Tabel 22. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Pertemuan Mingguan dengan
Peer Group
Intensitas Pertemuan Minggu Jumlah %
Tidak tentu 5 12,5
1-2 kali dalam seminggu 1 2,5
3-5 kali dalam seminggu 14 35
Setiap hari dalam seminggu 20 50
Total 40 100
Tabel 23. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Pertemuan Harian dengan Peer Group
Intensitas Pertemuan Harian Jumlah %
< 2 jam 3 7,5
2 - 4 jam 12 30
> 4 jam 25 62,5
Berdasarkan Tabel 24, terlihat bahwa topik pembicaraan yang biasa dibicarakan para pelajar pelaku tawuran dengan peer groupnya adalah permasalahan internal (seputar hobi, permasalah pribadi, dan masalah keluarga). Hal ini dapat dipahami bila melihat hubungan responden dengan orang tua dimana sangan sedikit menyinggung ranah pribadi, dengan demikian peer group menjadi sosok utama untuk menceritakan permasalahan tersebut. Bila dibandingkan dengan Tabel 13 mengenai topik pembicaraan dengan orang tua, dapat dilihat bahwa pembicaraan mengenai ranah pribadi dengan peer group (masalah pribadi dan hobi) lebih tinggi bila dibandingkan dengan pembicaraan mengenai hal serupa dengan ibu maupun ayah. Dengan demikian keterbukaan lebih tinggi dilakukan pelajar tawuran terhadap peer group dibandingkan terhadap orang tua.
Tabel 24. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Topik Pembicaraan dengan
Peer Group
Topik Pembicaraan Jumlah %
Pelajaran 21 52,5
Keluarga 11 27,5
Berita di televisi 24 60
Gossip seputar teman 28 70
Hobi/minat 27 67,5
Masalah pribadi 20 50
Lainnya 1 2,5
Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa kebanyakan pelajar pelaku tawuran memiliki pola hubungan yang tinggi atau rutin baik bila dilihat dari skala pertemuan harian mupun pertemuan selama satu minggu. Dimana dalam rutinitas tersebut mereka mendiskusiakan mengenai permasalahan pribadi dan permasalah di seputar mereka.
Kepercayaan antara Responden dengan Peer group
Berdasarkan Tabel 25, terlihat bahwa peer group tidak pernah selalu berada berseberangan pihak dengan pelajar pelaku tawuran. Walaupun mayoritas (57,5 persen) menyatakan mereka tidak selalu berada di pihak kita, namun tidak sedikit (42,5 presen) yang merasa bahwa peer group selalu berada di pihak mereka.
Tabel 25. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Keberpihakan Peer Group saat Responden Dalam Masalah
Keberpihakan Peer Group saat Responden Dalam Masalah
Jumlah %
Selalu 17 42,5
Kadang-kadang 23 57,5
Tidak pernah 0 0
Total 40 100
Berdasarkan Tabel 26 terlihat bahwa peer group seringkali (47,5 persen) percaya terhadap pernyataan para pelajar pelaku tawuran saat para pelajar tersebut terlibat masalah. Dan kebanyakan dari peer group (52,5 persen) selalu mempercayai pernyataan mereka. Sedikit berbeda pada keadaan sebaliknya, para pelajar yang terlibat tawuran memiliki tingkat kepercayaan kepada peer group yang lebih tinggi pada skala seringkali dan lebih rendah pada skala selalu.
Tabel 26. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kepercayaan antara Peer Group
dengan responden
Kepercayaan Peer Group Terhadap Responden RespondenTerhadap Peer Group Jumlah % Jumlah % Selalu 21 52,5 11 27,5 Kadang-kadang 19 47,5 29 72,5 Tidak pernah 0 0 0 0 Total 40 100 40 100
Berdasarkan Tabel 27, terlihat bahwa seringkali (75 persen) peer group acuan pemecahan masalah bagi para pelajar pelaku tawuran. Walaupun terdapat pencilan (2,5 persen) pelajar yang menyatakan bahwa dia tidak pernah menjadikan peer groupnya sebagai acuan dalam penyelesaian masalah.
Tabel 27. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Peer Group sebagai Acuan Pemecahan Masalah Responden
Peer Group sebagai
Acuan Pemecahan Masalah Responden
Jumlah %
Selalu 9 22,5
Kadang-kadang 30 75
Tidak pernah 1 2,5
Total 40 100
Berdasarkan Tabel 28, terlihat bahwa seringkali (97,5 persen) peer group memiliki pemahaman mengenai permasalahan yang sejalan dengan pemahaman pelajar yang terlibat tawuran.
Tabel 28. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kesamaan Pemahaman Peer Group dengan Rersponden
Kesamaan Pemahaman Peer Group
dengan Rersponden Jumlah % Selalu 1 2,5 Kadang-kadang 39 97,5 Tidak pernah 0 0 Total 40 100
Berdasarkan Tabel 29, terlihat bahwa mayoritas (70 persen) peer group selalu membantu pelajar yang terlibat tawuran saat mereka terkena masalah. Begitu juga sebaliknya, para pelajar juga melakukan hal yang sama untuk selalu membantu Begitu juga sebaliknya, para pelajar juga melakukan hal yang sama untuk selalu membantu peer groupnya bila mereka berada dalam masalah (65 persen).
Tabel 29. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Bantuan yang diberikan saat Terlibat dalam Masalah
Bantuan dalam Masalah
Peer Group Terhadap Responden RespondenTerhadap Peer Group Jumlah % Jumlah % Selalu 28 70 26 65 Kadang-kadang 12 30 14 35 Tidak pernah 0 0 0 0 Total 40 100 40 100
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa tingkat kepercayaan antar pelajar pelaku tawuran dengan peer group dapat dikatakan cukup tinggi, hal ini berdasarkan kesamaan pemahaman peer group dengan pelajar yang terlibat tawuran, tingginya kepercayaan antara peer group dengan responden, dan keberpihakan dalam menghadapi masalah yang cukup tinggi, serta tingginya tingkat bantuan yang diberikan saat salah satu dari mereka terlibat dalam masalah. Ikhtisar Kualitas Hubungan dengan Peer group
Mayoritas pelajar pelaku tawuran berada memilik kedekatan dengan peer group yang tinggi, pola hubungan yang rutin dan berkala, serta tingkat kepercayaan yang tinggi yang ditunjukan kedua belah pihak saat berada dalam permasalahan. Dengan demikian hasil dari penelitian pada variabel kualitas hubungan dengan peer group ini sejalan dengan hipotesis peneliti yaitu „diduga remaja yang terlibat tawuran memiliki kualitas hubungan dengan peer group yang tinggi‟
5.5 Tingkat Keterdedahan Kekerasan pada Media Visual
Kondisi keterdedahan kekerasan pada media visual pada pelajar yang terlibat tawuran dapat dilihat dari beberapa media yang dekat dengan dunia pelajar yaitu: surat kabar/koran, televisi, komik, video game, film, dan internet.
Surat Kabar
Berdasarkan Tabel 30, terlihat bahwa intensitas pelajar melihat adegan kekerasan pada surat kabar relatif tinggi, dengan persentase jawaban didominasi oleh kadang-kadang (57,5 persen).
Tabel 30. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Intensitas Melihat Adegan Kekerasan di Televisi
Intensias Melihat Adegan Kekerasan Jumlah %
Selalu 17 42,5
Kadang-kadang 23 57,5
Tidak pernah 0 0
Total 40 100
Berdasarkan Tabel 31, terlihat bahwa judul surat kabar yang paling diminati oleh pelajar pelaku tawuran adalah kompas (75 persen) yang berisikan berita ekonomi, politik, dan olah raga. Namun masih terdapat beberapa pelajar yang menyukai surat kabar lampu merah (12,5 persen) yang konteks dan isinya penuh dengan berita berbau seksual dan kekerasan.
Tabel 31. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Judul Surat Kabar yang di Baca
Judul Surat Kabar Jumlah %
Kompas 30 75
Sindo 10 25
Poskota 9 22,5
Lampu merah 5 12,5
Lainnya (didominasi surat kabar bertema olah raga seperti bola, top score, dll)
10 25
Berdasarkan Tabel 32, terlihat bahwa menurut pelajar yang terlibat tawuran sumber kekerasan tertinggi berada pada topik olah raga (85 persen) sejelan dengan jawaban lainnya (25 persen) pada Tabel 31. Diduga hal ini disebabkan olah raga lebih dekat dengan rutinitas keseharian pelajar dibandingkan topik lainnya. Jawaban yang mengandung unsur kekerasan terlihat cukup besar (kriminal dan politik sebesar 65 persen) walaupun tidak mendominasi secara keseluruhan.
Tabel 32. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Topik Surat Kabar yang di Minati
Topik Surat Kabar Jumlah %
Kriminal 11 27,5 Ekonomi 9 22,5 Politik 15 37,5 Olah raga 34 85 Lainnya 2 5 Televisi
Berdasarkan Tabel 33, terlihat bahwa intensitas pelajar melihat adegan kekerasan pada televisi cukup tinggi (45 persen), walaupun mayoritas jawaban adalah kadang-kadang (55 persen). Tidak adanya responden yang menjawab tidak menandakan bahwa televisi termasuk salah satu media visual dengan tingkat penayangan kekerasan yang cukup besar.
Tabel 33. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Intensias Melihat Adegan Kekerasan
Intensias Melihat Adegan Kekerasan Jumlah %
Selalu 18 45
Kadang-kadang 22 55
Tidak pernah 0 0
Total 40 100
Berdasarkan Tabel 34, terlihat bahwa stasiun televisi yang diminati pelajar pelaku tawuran adalah RCTI (60 persen) dan Global tv (47,5 persen). Hal ini disebabkan kedua stasiun televisi tersebut merupakan stasiun televisi yang banyak menayangkan program favorit mereka yaitu hiburan dan musik.
Tabel 34. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Stasiun Televisi yang di Tonton
Stasiun Televisi Jumlah %
RCTI 24 60 O Channel 6 15 Global tv 19 47,5 Metro tv 15 37,5 Tran tv 15 37,5 Lainnya 9 22,5
Berdasarkan Tabel 35, terlihat bahwa film yang disiarkan pada televisi (RCTI) mengandung unsur kekerasan yang cukup tinggi (80 persen). Diikuti berita (55 persen) dan reality show (25 persen) dengan kekerasan verbal seperti „tak ada yang abadi‟ dan „mata-mata‟.
Tabel 35. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Topik Siaran Televisi yang di Minati
Topik Siaran Televisi Jumlah %
Sinetron 2 5 Reality show 10 25 Berita 22 55 Gosip 2 5 Film 32 80 Olah raga 5 12,5 Lainnya 2 5 Komik
Berdasarkan Tabel 36, terlihat bahwa intensitas pelajar melihat adegan kekerasan pada buku komik berada pada taraf sedang (kadang-kadang) dengan persentase 57,5 persen. Bahkan minoritas responden (12,5) menjawab mereka tidak pernah menemukan bentuk kekerasan pada komik yang mereka baca.
Tabel 36. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Intensias Melihat Adegan Kekerasan
Intensias Melihat Adegan Kekerasan Jumlah %
Selalu 12 30
Kadang-kadang 23 57,5
Tidak pernah 5 12,5
Total 40 100
Berdasarkan Tabel 37 dan 38, terlihat bahwa komik-komik yang diminati oleh pelajar yang terlibat tawuran seperti naruto, one piece, dan dragon ball merupakan komik berjenis petualangan yang banyak memperlihatkan adegan perkelahian. Hal ini sesuai dimana judul dan jenis komik tersebut menempati pilihan terbanyak dalam penayangan adagan kekerasan.
Tabel 37. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Judul Komik yang Dibaca
Judul Komik (Jenis) Jumlah %
Naruto (petualangan + laga) 13 32,5
One piece (petualangan + laga) 11 27,5
Dragon ball (petualangan + laga) 6 15
Doraemon (fantasi) 4 10
Eyeshield 21 (olah raga) 4 10
Conan (misteri) 2 5
Tabel 38. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Jenis Komik yang Diminati
Jenis Komik Jumlah %
Petualangan 24 60 Perang 11 27,5 Olah raga 16 40 Laga/action 23 57,5 Fantasi 13 32,5 Lainnya 1 2,5 Video game
Berdasarkan Tabel 39, terlihat intensitas pelajar (57,5 persen) melihat adegan kekerasan pada video game dapat dikatakan tinggi, terutama bila dibandingkan dengan media visual lain. Sisanya hanya sebesar 5 persen yang menyatakan tidak pernah memainkan game yang mengandung kekerasan didalamnya.
Tabel 39. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Intensias Melihat Adegan Kekerasan
Intensias Melihat Adegan Kekerasan Jumlah %
Selalu 23 57,5
Kadang-kadang 15 37,5
Tidak pernah 2 5
Total 40 100
Berdasarkan Tabel 40 dan 41, terlihat keserasian antara jawaban pelajar mengenai judul dan jenis video game yang menampilkan kekerasan. Mayoritas menjawab winning eleven (35 persen) dan grand thief outo (20 persen) untuk judul game, dengan olah raga (65 persen) dan petualangan (55 persen) untuk jenis game. Dimana game winning eleven merupakan game sepak bola yang paling digemari saat ini, namun bila dilihat secara total, game selain winning eleven memiliki unsure kekerasan didalamnya (perkelahian, menembak, dan petualangan), sehingga mayoritas game yang dimainkan pelajar tawuran merupakan game yang mengandung unsur kekerasan.
Tabel 40. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Judul Video Game yang di Mainkan
Judul Video Game Jumlah %
Winning Eleven (olah raga) 14 35
Grand Thief Outo (petualangan) 8 20
Counter Strike (menembak) 4 10
Tekken (berkelahi) 3 7,5
Lainnya (umumnya merupakan game berjenis peperangan, petualangan dan menembak)
Tabel 41. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Jenis Video Game yang di Minati
Jenis Video Game Jumlah %
Petualangan 22 55 Olah raga 26 65 Berkelahi 14 35 Simulasi/RPG 18 45 Perang 20 50 Film
Berdasarkan Tabel 42, terlihat bahwa intensitas pelajar (62,5 persen) melihat adegan kekerasan pada film (bioskop) dapat dikatakan sedang. Karena flim yang beredar begitu banyak dengan berbagai macam jenis yang walaupun menampilkan bentuk kekerasan, namun kuantitasnya sedikit.
Tabel 42. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Intensias Melihat Adegan Kekerasan
Intensias Melihat Adegan Kekerasan Jumlah %
Selalu 15 37,5
Kadang-kadang 25 62,5
Tidak pernah 0 0
Total 40 100
Berdasarkan Tabel 43 dan 44, terlihat bahwa film 300 merupakan pilihan mayoritas pelajar (27,5 persen) sebagai film yang menampilkan adegan kekerasan. Karena film tersebut memang merupakan film berjenis peperangan (72,5 persen) yang penuh dengan adegan laga dan perkelahian (75 persen), baik dengan menggunakan tangan kosong atau dengan senjata tajam. Bila dilihat secara keseluruhan, seluruh film mengandung unsure kekerasan walau berada pada tingkatan yang berbeda, sehingga dapat dipastikan pelajar yang terlibat tawuran menyukai film yang mengandung unsur kekerasan (laga, perang, horror) dibandingkan topik lainnya (komedi dan romantis).
Tabel 43. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Judul Film yang di Tonton
Judul Film Jumlah %
300 11 27,5
Transformer 6 15
Harry potter 5 12,5
Lord of the ring 4 10
Saw 3 7,5
Tabel 44. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Jenis Film yang di Minati
Jenis Film Jumlah %
Romantis 12 30 Komedi 25 62,5 Laga 30 75 Perang 29 72,5 Horror 13 32,5 Internet
Berdasarkan Tabel 45, terlihat bahwa intensitas pelajar melihat adegan kekerasan pada internet mayoritas (72,5 peren) berada pada tingkatan sedang. Karena internet merupakan media visual yang menampilkan banyak sekali hal-hal baik positif maupun negatif, sehingga dapat dikatakan tidak semua situs menampilkan adegan yang berbau kekerasan.
Tabel 45. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Intensias Melihat Adegan Kekerasan
Intensias Melihat Adegan Kekerasan Jumlah %
Selalu 9 22,5
Kadang-kadang 29 72,5
Tidak pernah 2 5
Total 40 100
Berdasarkan Tabel 46 dan 47, terlihat bahwa para pelajar pelaku tawuran menyukai facebook (32,5 persen) yang merupakan situs pertemanan (82,5 persen). Situs ini lebih menvisualkan tulisan dan gamba-Gambar tidak bergerak, sehingga kecil kemungkinan terdapat adegan kekerasan, dan bilapun ada mungkin berupa kekerasan verbal.
Tabel 46. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Situs Internet yang Dilihat
Situs Internet Jumlah %
Facebook 13 32,5
Kaskus 11 27,5
Youtube 10 25
Lainnya (umumnya merupakan situs berjenis pornografi dan berita)
14 35
Tabel 47. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Jenis Situs Internet yang Diminati
Jenis Situs Internet Jumlah %
Pertemanan 33 82,5
Video online 29 72,5
Baca online 14 35
Berita 7 17,5
Ikhtisar Tingkat Keterdedahan Kekerasan pada Media Visual
Menurut pelajar pelaku tawuran, televisi menayangkan tindakan kekerasan dengan porsi lebih besar dibandingkan media visual lainnya. Dan bila dilihat lebih dalam media audio visual seperti televisi, film, internet, dan video game menampilkan tindakan kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan pada media visual non audio seperti koran dan komik.
Tabel 48. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Media Visual dengan Tingkat Kekerasan Tertinggi
Media Visual dengan Tingkat Kekerasan Tertinggi Jumlah %
Koran 14 35 Televisi 31 77,5 Komik 8 20 Film 16 40 Internet 11 27,5 Video game 19 47,5
Mayoritas pelajar pelaku tawuran memiliki tingkat keterdedahan yang tinggi terhadap media visual yang menampilkan kekerasan seperti televisi, video game, internet, film, koran dan komik. Hasil ini mendukung hipotesis peneliti yaitu „diduga remaja yang terlibat tawuran memiliki tingkat keterdedahan tinggi pada media visual yang bertema kekerasan‟.
BAB VI
PERILAKU TAWURAN
6.1 Penyebab Terjadinya Tawuran
Berdasarkan Tabel 49, terlihat bahwa alasan utama pelajar terlibat dalam tawuran merupakan solidaritas kelompok (62,5 persen) diikuti rutinitas (12,5 persen). Kedua alasan dominan ini sesuai dengan yang dikemukakan Ridwan, 2006 mengenai tawuran sebagai rutinitas, yaitu alasan dimana pelaku tawuran cenderung tidak melibatkan proses agresi, dan lebih cenderung tidak memberikan sikap atau penilaian negatif berupa rasa kecurigaan, sakit hati dan benci kepada musuh mereka. Sehingga secara tidak langsung kegiatan tawuran ini menjadi rutin dilakukan.
Tabel 49. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Penyebab Tawuran
Penyebab Tawuran Jumlah %
Rutinitas 5 12,5
Solidaritas kelompok 25 62,5
Permasalahan pribadi dengan sekolah lain 1 2,5
Kalah pada pertandingan olah raga 1 2,5
Permasalahan tawuran sebelumnya 3 7,5
Iseng 5 12,5
Total 40 100
6.2 Peran yang Dilakukan Saat Tawuran
Berdasarkan Tabel 50, terlihat bahwa pada saat tawuran peran yang paling sering dilakukan adalah pendukung (52,5 persen). Peran ini merupakan peran dimana pelajar pelaku tawuran ikut berpartisipasi disebabkan solidaritas kelompok, tanpa terlalu banyak melakukah tindakan atau hanya meramaikan tawuran dengan aktivitas tindakan yang terbatas. Berdasarkan karakteristik lingkungan tempat tinggal, pendukung berada pada lingkungan yang diklasifikasikan baik karena 66,6 persen responden memiliki total nilai yang tinggi untuk karakteristik, dan sisanya 33,3 persen berada pada lingkungan kategori sedang. Sementara menurut karakteristik peer group, hasil yang didapat peran pendukung berkebalikan dengan karakteristik tempat tinggal, dimana 33,3
persen responden memiliki total nilai yang tinggi untuk karakteristik ini, dan sisanya 66,6 persen berada pada lingkungan kategori sedang.
Peran dominan ke dua adalah pentolan (27,5 persen) yaitu pelaku tawuran yang mengatur posisi teman-temanya (pendukung) pada saat tawuran dan memberikan komando saat terjadi tawuran. Berdasarkan karakteristik lingkungan tempat tinggal, pentolan berada pada lingkungan yang diklasifikasikan baik karena ke 11 responden memiliki total nilai yang tinggi untuk karakteristik ini (100 persen). Sementara menurut karakteristik peer group, pentolan berada pada hubungan yang dapat dikatakan sedang (tidak tinggi tidak rendah) dengan peer groupnya (90 persen).
Peran dominan ke tiga adalah provokator (12,5 persen) yang bertugas mengeluarkan kata-kata kasar dan memancing tawuran tanpa melakukan tindakan fisik. Berdasarkan karakteristik lingkungan tempat tinggal, provokator tersebar secara acak karena ke-5 responden memiliki total jawaban yang berada pada kategori berbeda (rendah, sedang, dan tinggi). Sementara menurut karakteristik peer group provokator berada pada hubungan yang dapat dikatakan cukup dekat (berada ditengah-tengah) dengan peer group-nya (80 persen).
Tabel 50. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Peran saat Tawuran
Peran Tawuran Jumlah %
Provokator 5 12,5 Tumbal 1 2,5 Pentolan 11 27,5 Medis 1 2,5 Pendukung 21 52,5 Fleksibel 1 2,5 Total 40 100
6.3 Tempat dan Waktu Tawuran
Berdasarkan Tabel 51 dan 52, terlihat bahwa tempat tawuran yang paling sering digunakan saat tawuran adalah lingkungan sekolah dan jalan raya (masing-masing 42,5 persen). Karena kedua tempat tersebut merupakan tempat umum dan seringkali menjadi tempat pertemuan antar pelajar dari sekolah berbeda. Dan peristiwa tawuran seringkali dilakukan pada saat setelah pulang sekolah (65 persen), disebabkan para pelajar pelaku tawuran sudah tidak mempunyai kegiatan lain untuk dilakukan, atau hanya sekedar nongkrong.
Tabel 51. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tempat Tawuran
Tempat Tawuran Jumlah %
Lingkungan sekolah 17 42,5
Lapangan 0 0
Jalan 17 42,5
Tidak tentu 6 15
Total 40 100
Tabel 52. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Waktu Tawuran
Waktu Tawuran Jumlah %
Sebelum jam sekolah 0 0
Setelah jam sekolah 26 65
Hari libur 0 0
Tidak tentu 14 35
Total 40 100
6.4 Intensitas Perilaku Agresi
Berdasarkan seringannya perilaku agresi yang ditampilkan oleh responden seperti: memprovokasi lawan, berkata kotor, berteriak-teriak, memukul, melempar batu, melukai lawan, merusak benda yang ada, menggunakan senjata tajam, menggunakan botol minum, memberikan perintah, menculik lawan/sandera, mengeroyok lawan, dan membantu teman yang terluka/dikeroyok; maka pada Tebel 53 yang menunjukan keberagaman responden berdasarkan tingkat agresinya, nampak bahwa sebagian besar responden berada pada tingkat aresi sedang (62,5 persen), dimana pelaku tawuran tidak terlalu aktif namun tidak juga terlalu pasif. Sedangkan hanya sedikit sekali yang menunjukkan tingkat agresi tinggi (5 persen), dimana pelaku tawuran hampir selalu melakukan perilaku agresi yang ada.
Tabel 53. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Intensitas Perilaku Agresi
Intensitas Perilaku Agresi Jumlah %
Agresi rendah skor 16 – 21 13 32,5
Agresi sedang skor 22 – 27 25 62,5
Agresi tinggi skor 28 – 33 2 5
Total 40 100
6.5 Tipologi Pelajar Pelaku Tawuran
Tabel 54 menunjukkan bahwa pelajar tawuran ternyata memiliki tipologi yang berbeda-beda, responden yang menunjukkan agresivitas tinggi adalah yang persentasenya terkecil (22,5%) sedangkan yang agresivitas sedang adalah yang
persentasenya terbanyak (47,5%). Bila dilihat secara keseluruhan responden cenderung termasuk dalam tipologi perilaku agresivitas sedang ke rendah. Hasil ini mendukung hipotesa yang telah ditegakkan bahwa remaja pelaku tawuran dapat dibedakan berdasarkan tipologi perilaku agresif yang ditampilkan.
Tabel 54. Jumlah dan Persentase Tipologi Pelajar Tawuran berdasarkan Perilaku Agresi dan Peran dalam Tawuran
Tipologi Jumlah % Pengikut skor 2- 4 12 30 Pasukan skor 5-7 19 47,5 Pemimpin skor 8-9 9 22,5 Total 40 100 Tipologi Pengikut
Peran yang biasanya diemban oleh para pelajar tipologi pengikut pada saat tawuran adalah sebagai pendukung, yaitu hanya ikut berpartisipasi atau meramaikan suasana tawuran tanpa terlalu banyak melakukah tindakan yang merugikan orang lain atau membantu kelompok sendiri. Penyebab mereka mengikuti tawuran pun disebabkan rasa solidaritas antar teman ataupun sekedar merasa tidak enak bila tidak berpartisipasi langsung.
Karakteristik pelajar yang termasuk ke dalam tipologi pengikut adalah mayoritas pelajar tawuran berada pada umur 17 tahun dan memiliki uang jajan berkisar antara Rp 100.000 sampai dengan kurang dari Rp150.000 (per minggu), dapat diartikan bahwa di sekolah para pelajar yang berada pada jenjang kelas menengah ini memiliki kondisi yang berkecukupan saat berada di sekolah. Kondisi tempat tinggal para pelajar pelaku tawuran mayoritas berada pada kategori tinggi, yaitu terdapat ruang pribadi atau ruang gerak yang lebih dari cukup, dan memiliki sarana dan prasarana yang cukup sehingga memungkinkan pelajar meluangkan waktu yang lebih di rumah. Tetapi dengan banyaknya fasilitas yang ada tidak menyebabkan mereka memiliki keterdedahan terhadap kekerasan pada media visual yang tinggi. Karena data pada Tabel 55 menunjukan para pelajar hanya berada pada tingkat keterdedahan sedang.
Sedikit banyak karakteristik para pelajar pelaku tawuran terbentuk oleh pengaruh orang terdekat mereka yaitu orang tua dan peer group. Pada tipologi ini para pelajar pelaku tawuran memiliki hubungan yang dikategorikan pada level
sedang, baik terhadap orang tua dan peer group. Sehingga dapat dikatakan pengaruh yang diberikan oleh orang tua dan peer group cukup kuat dalam pembentukan karakteristik mereka, walaupun tidak ada yang terlalu dominan.
Pelajar pelaku tawuran pada tipologi pengikut dapat dikategorikan ke dalam kategori yang baik karena kebanyakan pelaku tawuran hanya mencari aman dan tidak terlalu banyak melakukan tidakan yang merugikan. Penyebab mereka tidak terlalu dominan pada saat tawuran mungkin disebabkan hubungan mereka yang seimbang anatara peer group dan orang tua, sehingga pengaruh yang diberikan cukup merata. Dan juga kondisi tempat tinggal yang baik dan tingkat keterdedahan yang sedang.
Tabel 55. Karakteristik Tipologi Pengikut
Karakteristik Tipologi Pengikut N = 12
Jumlah (n)
Persentase (%)
Umur (tahun) 16 tahun
17 tahun 18 tahun 19 tahun 2 7 2 1 16,7 58,3 16,7 8.3 Uang Jajan (rupiah/minggu) < 100.000
100.000 < 150.000 150.000 < 200.000 200.000 2 6 4 0 16.7 50 33,3 0 Kondisi tempat tinggal Rendah
Sedang Tinggi 0 3 9 0 25 75 Hubungan dengan orang tua Rendah
Sedang Tinggi 0 8 4 0 66,7 33,3 Hubungan dengan peer
group Rendah Sedang Tinggi 1 7 4 8,3 58,3 33,3 Tingkat keterdedahan
kekerasan pada media visual
Rendah Sedang Tinggi 0 10 2 0 83,3 16,7 Alasan penyebab tawuran Rutinitas
Solidaritas
Permasalah pribadi
Kalah pertandingan olah raga Permasalahan tawuran sebelumnya Iseng 2 8 0 0 2 0 16,7 66,7 0 0 16,7 0
Tabel 56. Perilaku Agresi Tipologi Pengikut
Tindakan Agresi Tipologi Pengikut N = 12
Jumlah (n)
Persentase (%) Peran yang dilakukan pada
saat tawuran Provokator Tumbal Pentolan Medis Pendukung Lainnya 0 0 0 1 10 1 0 0 0 8,3 83,3 8,3 Memprovokasi lawan (verbal) Selalu
Kadang-kadang Tidak pernah 0 5 7 0 41,7 58,3 Berkata kotor (verbal) Selalu
Kadang-kadang Tidak pernah 1 10 1 8,3 83,3 8,3 Berteriak-teriak (verbal) Selalu
Kadang-kadang Tidak pernah 1 11 0 8,3 91,7 0 Memberikan perintah (verbal) Selalu
Kadang-kadang Tidak pernah 0 5 7 0 41,7 58,3 Membantu teman yang
terluka/dikeroyok (fisik) Selalu Kadang-kadang Tidak pernah 3 9 0 25 75 0
Memukul (fisik) Selalu
Kadang-kadang Tidak pernah 0 8 4 0 66,7 33,3 Melukai lawan (fisik) Selalu
Kadang-kadang Tidak pernah 0 5 7 0 41,7 58,3 Mengeroyok lawan (fisik) Selalu
Kadang-kadang Tidak pernah 0 4 8 0 33,3 66,7 Menculik lawan/sandera (fisik) Selalu
Kadang-kadang Tidak pernah 0 1 11 0 8,3 91,7 Melempar batu (alat) Selalu
Kadang-kadang Tidak pernah 0 4 8 0 33,3 66,7 Merusak benda yang ada (alat) Selalu
Kadang-kadang Tidak pernah 0 5 7 0 41,7 58,3 Menggunakan senjata tajam (alat) Selalu
Kadang-kadang Tidak pernah 0 1 11 0 8,3 91,7 Menggunakan botol minum (alat) Selalu
Kadang-kadang Tidak pernah 0 1 11 0 8,3 91,7
Perilaku dominan yang dilakukan tipologi pengikut dapat dikatakan tidak ada, karena mereka cenderung kadang-kadang saja melakukan tindakan agresi seperti: berkata kotor, berteriak, memberikan perintah, memukul, dan membantu teman yang dikeroyok (Tabel 56). Bisa diartikan juga bahwa perilaku yang sering dilakukan bersifat verbal dengan sedikit sekali tindakan fisik. Para pelajar dalam tipologi ini hampir tidak pernah melakukan tidakan fisik (memukul, melukai lawan, mengeroyok) dan menggunakan alat bantu (batu, senjata tajam, botol minum dan merusak benda yang ada) dalam keterlibatan mereka saat tawuran. Berdasarkan perilaku agresifnya, disimpulkan para pelajar tipologi pengikut hanya berpartisipasi dengan keberadaan ditambah tindakan verbal.
Tipologi Pasukan
Pembagian peran tipologi pasukan saat tawuran didominasi oleh pendukung yang hanya meramaikan suasana tanpa terlibat banyak, namun terdapat peran lain yang cukup banyak dilakuan yaitu provokator (orang yang mengeluarkan kata-kata kasar dan memancing tawuran tanpa melakukan tindakan fisik), dan juga pentolan (orang yang selalu berada pada baris depan saat tawuran/paling diakui). Penyebab mereka mengikuti tawuran pun tidak jauh berbeda dengan tipologi pengikut dimana alasan yang diberikan berupa rasa solidaritas antar teman ataupun sekedar merasa tidak enak bila tidak berpartisipasi langsung.
Karakteristik pelajar yang termasuk ke dalam tipologi pasukan (berdasarkan Tabel 57) adalah mayoritas pelajar tawuran berada pada umur 16 tahun dan memiliki uang jajan berkisar antar Rp100.000 sampai dengan kurang dari Rp150.000 (per minggu). Dapat diartikan bahwa pelajar yang mayoritas berada pada jenjang kelas pertama ini berada pada kondisi keuangan yang berkecukupan saat berada di sekolah. Kondisi tempat tinggal mereka tidak jauh berbeda dengan tipologi rendah yaitu berada pada kisaran tinggi, yang berarti ruang gerak cukup dan sarana prasarana lengkap. Namun tingkat keterdedahan pada kekerasan sedikit berbeda dengan tipologi rendah, walapun mayoritas berada pada level sedang, namun persentase tingkat keterdedahan pada kekerasan pada level tinggi memiliki nilai yang tidak jauh berbeda dengan level sedang. Dapat dikatakan mereka cenderung mengarah pada tingkat keterdedahan tinggi.