• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENYEBUTAN JENIS MEREK SECARA ENUMERATIF TIDAK SESUAI DENGAN TUJUAN PERLINDUNGAN MEREK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PENYEBUTAN JENIS MEREK SECARA ENUMERATIF TIDAK SESUAI DENGAN TUJUAN PERLINDUNGAN MEREK"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

43 BAB III

PENYEBUTAN JENIS MEREK SECARA ENUMERATIF TIDAK SESUAI DENGAN TUJUAN PERLINDUNGAN MEREK

A. Konsep Teknik Penulisan Tertutup (Enumeratif) dan Teknik Penulisan secara Terbuka

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Sistem Penulisan Undang-undang No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis berkaitan dengan penyebutan jenis-jenis merek digunakan sistem penulisan tertutup (enumeratif) sedangkan dalam TRIPs Agreement dan Lanham Act sistem penulisan yang digunakan adalah sistem penulisan terbuka. Sistem penulisan tertutup (enumeratif) merupakan sistem penulisan yang dilakukan dengan menyebutkan secara spesifik dan jelas mengenai hal-hal tertentu dalam hal ini adalah jenis-jenis merek. Dalam Undang-undang No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis menyebutkan bahwa:

”merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih…”

Melihat dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikatakan sebagai merek adalah tanda yang dapat di tampilkan secara grafis, tanda tersebut berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih. Hal ini menunjukkan bahwa yang dikatakan sebagai merek adalah hal-hal yang disebutkan dalam pengertian tersebut saja atau dapat dikatakan terbatas hanya pada yang disebutkan dalam pengertian tersebut.

(2)

44

Hal yang menunjukkan bahwa kategori/jenis merek hanya terbatas pada hal yang disebutkan dalam pengertian itu saja tercermin dari kata “berupa” yang berarti memiliki sifat rigid dan membatasi dimana tanda selain yang disebutkan di dalam pengertian tersebut tidak dapat dikatakan sebagai merek. Suatu penafsiran menjadi berbeda ketika pada awal kalimat dalam pengertian merek dalam Undang-undang No 20 Tahun 2016 disebutkan dengan “segala tanda” atau “semua tanda”, yang berarti kata “berupa” ini dapat dikatakan untuk menunjukkan contoh atau alternatif dari tanda yang dapat didaftarkan menjadi sebuah merek. Namun pada Undang-undang tersebut hanya menyebutkan hanya ”tanda” dan bukan “segala atau semua tanda” yang berarti kata “berupa” ini menunjukkan suatu keharusan dimana jenis tanda yang dimaksud adalah yang tercantum di dalam pengertian merek pada Undang-Undang No 20 Tahun 2016. Hal ini berbeda dengan apa yang diatur di dalam TRIPs Agreement yang cakupan jenis tanda yang dapat didaftarkan menjadi merek bersifat lebih luas dan tidak terpaku pada apa yang dituliskan di dalam

pengertian mereknya.44

Selain itu, secara sistematis dalam Undang-undang merek juga menjelaskan lebih lanjut mengenai jenis tanda yang dimaksud pada pengertian merek. Hal ini dapat dilihat pada pengaturan mengenai pendaftaran merek yang mengatur berdasarkan jenis mereknya pada pasal 4 ayat (6) dan ayat (7) menyatakan “dalam hal Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa bentuk 3 (tiga) dimensi, label Merek yang dilampirkan dalam bentuk karakteristik dari Merek tersebut dan dalam hal Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa suara, label Merek yang dilampirkan berupa notasi dan rekaman suara. Pada pasal tersebut

(3)

45

menunjukkan ketika suatu tanda yang ingin didaftarkan berwujud 3 dimensi maka lampiran dari label merek tersebut harus berbentuk karakteristik dari merek tersebut, dan ketika tanda yang ingin didaftarkan tersebut dalam bentuk suara maka lampiran dari label merek tersebut berupa notasi dan rekaman suara. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tanda yang dapat didaftarkan menjadi merek harus sesuai dengan apa yang dicantumkan pada pengertian merek di dalam Undang-undang No 20 Tahun 2016 tersebut.

Mendasarkan pada uraian diatas dapat dikatakan sistem penulisan yang dipakai dalam Undang-undang No 20 Tahun 2016 adalah sistem penulisan tertutup (enumeratif) dimana tidak ada tanda lain yang dapat disebut sebagai merek selain yang tercantum dalam pengertian merek di Undang-undang tersebut.

Sistem penulisan ini juga dipakai pada Undang-undang merek milik Australia, yaitu Trade Mark Act 1995. Trade Mark Act 1995 menjelaskan pengertian merek sebagai berikut:

“A trade mark is a sign used, or intended to be used, to distinguish goods or services dealt with or provided in the course of trade by a person from goods or services so dealt with or provided by any other person.

Sign includes the following or any combination of the following, namely, any letter, word, name, signature, numeral, device, brand, heading, label, ticket, aspect of packaging, shape, colour, sound or scent.”

Melihat pengertian merek menurut Undang-undang tersebut, yang diartikan sebagai merek dagang adalah tanda yang digunakan, atau dimaksudkan untuk digunakan, untuk membedakan barang atau jasa yang ditangani atau disediakan dalam perdagangan oleh seseorang dari barang atau jasa yang ditangani atau disediakan oleh orang lain. Secara khusus Undang-undang tersebut menjelaskan yang

(4)

46

dimaksud dengan tanda mencakup berikut atau kombinasi dari yang berikut, yaitu, huruf apa pun, kata, nama, tanda tangan, angka, perangkat, merek, judul, label, tiket, aspek pengemasan, bentuk, warna, suara atau aroma. Undang-undang tersebut dapat dikatakan menggunakan sistem penulisan tertutup, dilihat dari kata “a sign” yang berarti sebuah tanda dan kemudian dijelaskan lebih lanjut mengenai tanda

yang dimaksud. Kata “Sign includes the following…” menunjukkan sifat yang

mengikat dimana bila ditafsirkan berarti “tanda harus mencakup hal berikut”, yang berarti mempersempit cakupan dari arti tanda itu sendiri karena tanda yang dimaksudkan sudah dijelaskan secara terperinci dalam Undang-undang tersebut. Sehingga dapat dikatakan Undang-undang tersebut tidak membuka peluang tanda lain yang belum disebutkan di dalam pengertian tersebut tidak dapat dikatakan sebagai merek.

Sistem penulisan dalam penyebutan merek di dalam TRIPs Agreement dan Lanham Act berbeda dengan sistem penulisan dalam Undang-undang No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Pada TRIPs Agreement dan Lanham Act sistem penulisan yang dipakai dalam penyebutan jenis mereknya adalah dengan sistem penulisan terbuka. Sistem penulisan secara terbuka merupakan sistem penulisan yang tidak terbatas pada apa yang dicantumkan dalam pengertian tersebut. Dalam TRIPs Agreement menyatakan bahwa:

“Any sign, or any combination of signs, capable of distinguishing the goods or services of one undertaking from those of other undertakings, shall be capable of constituting a trademark. Such signs, in particular words including personal names, letters, numerals, figurative elements and combinations of colours as well as any combination of such signs, shall be eligible for registration as trademarks…”

(5)

47

Dari pengertian tersebut dapat ditafsirkan bahwa merek menurut TRIPs Agreement adalah semua tanda, atau kombinasi dari beberapa tanda, yang mampu membedakan barang atau jasa satu dari yang lain, dapat membentuk merek. Tanda-tanda tersebut dalam kata-kata tertentu termasuk nama pribadi, surat, angka, unsur figuratif dan kombinasi warna serta setiap kombinasi tanda-tanda tersebut harus memenuhi persyaratan untuk pendaftaran sebagai merek dagang.

Dalam bukunya yang berjudul Max Planck Commentaries on World Trade Law

WTO-Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights, Rudiger Wolfrum dan Peter Tobias Stoll, dkk mengatakan bahwa:

Art. 15.1, sentence 1, makes protectability of signs and combinations of signs as a trademark depend on their abstract capability “of distinguishing the goods or services of one undertaking from those of other undertakings”. In accordance with Art. 15.1, sentence 1, the capability of distinguishing the good or service furthermore represents a condition for the eligibility for registration of types of signs. Art. 15.1, sentence 2 clarifies this definition by giving examples of signs eligible for registration as trademarks, such as “words including personal names, letters, numerals, figurative elements and combinations of colours”.

TRIPs Agreement pada intinya menyatakan bahwa suatu merek dapat dikatakan

sebagai merek apabila berupa tanda yang memiliki “abstract capability” berupa

daya pembeda untuk membedakan suatu barang dan jasa. Dalam pengertian tersebut juga ditulis contoh dari tanda tersebut berupa kata-kata tertentu termasuk nama pribadi, surat, angka, unsur figuratif dan kombinasi warna serta setiap kombinasi tanda-tanda tersebut harus memenuhi persyaratan untuk pendaftaran sebagai merek dagang. Melihat pemaparan tersebut berarti TRIPs Agreement membuka peluang bahwa segala bentuk tanda dapat didaftarkan sebagai merek. Walaupun telah disebutkan macam jenis yang dapat digolongkan kedalam merek

(6)

48

names, letters, numerals, figurative elements and combinations of colours as well as any combination of such signs) tetapi hal itu dapat dikatakan hanya sebagai contoh saja karena pada awal kalimat sudah dijelaskan bahwa yang dapat digolongkan kedalam merek adalah semua tanda, atau kombinasi dari beberapa tanda, yang mampu membedakan barang atau jasa satu dari yang lain, dapat membentuk merek sehingga tidak terbatas hanya pada yang disebutkan di dalam

pengertian tersebut. Lisa P. Ramsey di dalam artikelnya yang berjudul Free Speech

and International Obligations to Protect Trademarks mengatakan bahwa:

Article 15 of TRIPS defines the subject matter—the types of words, names, and other “signs”—which may constitute a protectable trademark. Per Article 15(1), “any sign, or any combination of signs, capable of distinguishing the goods or services of one undertaking from those of other undertakings, shall be capable of constituting a trademark.” The range of protectable signs is quite broad; “words including personal names letters, numerals, figurative elements and combinations of colours as well as any combination of such signs, shall be eligible for registration as trademarks.

Pada Intinya Lisa P. Ramsey ingin mengatakan bahwa perlindungan merek dalam pengaturan TRIPs Agreement memiliki cangkupan yang luas dimana yang terpenting merek tersebut memiliki daya pembeda untuk membedakan barang/jasa lain yang merupakan fungsi dari merek itu sendiri.

Di dalam Lanham Act mengatur juga mengenai pengertian dari merek. Penyebutan jenis merek pada pengertian merek menurut Lanham Act berbunyi:

“The term ‘trademark’ include any word, name, symbol, or device, or any combination thereof…”

Menurut Lanham Act suatu merek dapat dikatakan sebagai merek yaitu yang termasuk semua kata, nama, symbol atau perangkat, atau semua kombinasi yang digunakan oleh seseorang dan dimana seseorang mempunyai niat jujur untuk

(7)

49

digunakan dalam perdagangan dan harus mendaftar pada kepala pendaftaran. Merek dipakai untuk mengidentifikasi dan membedakan barang-barang kepunyaannya, termasuk produk yang unik. Dari semua yang dihasilkan atau dijual oleh yang lain dan untuk mengidentifikasi asal barang, ketika asalnya tidak

diketahui.45 Sistem penulisan yang dipakai dalam Lanham Act sama dengan yang

diterapkan di dalam TRIPs, yaitu sistem penulisan secara terbuka dimana suatu merek tidak terbatas pada yang disebutkan pada pengertian tersebut. Menurut Lanham Act suatu merek tidak terbatas pada kata nama symbol dan perangkat, tetapi terbuka pada semua kombinasi yang digunakan seseorang dalam suatu perdagangan dan dapat membedakan serta mengidentifikasi asal dari barang tersebut. Kata “semua” dalam pengertian tersebut menunjukkan arti yang luas sehingga dapat dikatan tidak terbatas pada yang disebutkan dalam pengertian tersebut.

Menurut Trade Mark Act 1994, merek dijabarkan sebagai berikut:

“In this Act a “trade mark” means any sign capable of being represented graphically which is capable of distinguishing goods or services of one undertaking from those of other undertakings. A trade mark may, in particular, consist of words (including personal names), designs, letters, numerals or the shape of goods or their packaging.”

Dari pengertian tersebut dapat diartikan suatu merek dagang berarti setiap tanda yang dapat direpresentasikan secara grafis yang mampu membedakan barang atau jasa yang dilakukan dari usaha lain. Suatu merek dagang dapat, secara khusus, terdiri dari kata-kata (termasuk nama pribadi), desain, huruf, angka atau bentuk barang atau kemasannya. Undang-undang tersebut menerapkan sistem penulisan

(8)

50

terbuka sama dengan TRIPs dan Lanham Act dimana semua tanda bisa didaftarkan sebagai merek asalkan merek tersebut dapat dipresentasikan secara grafis dan mampu membedakan barang atau jasa dari usaha lain. Dalam pengertian tersebut juga dituliskan tanda dapat berupa kata-kata (termasuk nama pribadi), desain, huruf, angka atau bentuk barang atau kemasannya. Namun penyebutan jenis-jenis tanda tersebut hanya dipakai sebagai contoh dari wujud tanda yang dapat dikatakan sebagai merek sehingga tidak menutup kemungkinan tanda lain yang tidak disebutkan di dalam pengertian tersebut bisa didaftarkan sebagai merek.

Pengaturan yang dipakai dalam TRIPs Agreement, Lanham Act, dan Trade Mark Act 1994 mengatur pengertian merek yang sama dimana untuk mendaftarkan sebuah merek tidak terbatas hanya pada beberapa tanda saja seperti logo, nama, kata, huruf, angka, dan warna melainkan semua tanda bisa didaftarkan sebagai merek asalkan memiliki unsur daya pembeda untuk membedakan barang atau jasa usaha lain. Seperti pada Trade Mark Act 1994 yang merupakan pengaturan merek di negara Inggris, yang mengatur bahwa merek dagang merupakan setiap tanda yang dapat direpresentasikan secara grafis yang mampu membedakan barang atau jasa yang dilakukan dari usaha lain. Dalam pengertian tersebut juga dijelaskam suatu merek dagang dapat, secara khusus, terdiri dari kata-kata (termasuk nama pribadi), desain, huruf, angka atau bentuk barang atau kemasannya. TRIPs Agreement dan Trade Mark Act 1994 dalam menjabarkan pengertian mereknya, Undang-undang tersebut menyertakan contoh tanda yang bisa dijadikan sebagai merek. Namun hal tersebut tidak bersifat mengikat atau membatasi karena di awal

kalimat sudah dicantumkan kata “any sign” yang bila ditafsirkan berarti “semua

(9)

51

pengertian merek tetap bisa dijadikan atau didaftarkan sebagai merek asalkan tetap memenuhi unsur lain yaitu memiliki daya pembeda. Catherine Colstone dalam bukunya yang berjudul Principles of Intellectual Property Law mengungkapkan bahwa:

”A trade mark must be a ‘sign’, so that, although the definition refers to ‘any sign’ and no express limit is given as to what may constitute a sign, the definition does exclude anything that is not a sign”

Menurutnya sebuah merek dagang harus berupa 'tanda', sehingga, meskipun definisi mengacu pada 'tanda apa pun' dan tidak ada batasan yang diberikan untuk apa yang mungkin merupakan tanda, definisi tersebut tidak mengecualikan apa pun yang bukan merupakan tanda. Chaterine colstone juga mengemukakan pendapatnya dalam mengomentari kata “Any signs” yang terdapat di TRIPs Agreement bahwa:

“a ‘sign’ is anything which can convey information. I appreciate that this is extremely wide, but I can see no reason to limit the meaning of the word. The only qualification expressed in the Directive is that it be capable of being represented graphically”

Chaterine colstone berpendapat bahwa sebuah 'tanda' adalah sesuatu yang dapat menyampaikan informasi. Menurutnya yang dimaksud dengan tanda ini memiliki arti yang sangat luas dan tidak ada pembatasan dari arti kata tersebut. Satu-satunya kualifikasi yang dinyatakan mengarah pada suatu tanda yang dapat dikatakan sebagai merek adalah bahwa tanda tersebut dapat diwakili secara grafis. Namun berbeda dengan pengertian merek yang diatur di Undang-undang no 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, dimana suatu merek hanya bisa didaftarkan jika merek tersebut sesuai dengan jenis-jenis merek yang disebutkan di dalam pengertian tersebut. Suatu merek harus berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi,

(10)

52

suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih dan dapat ditampilkan secara grafis. Pemaparan mengenai jenis merek yang dipakai Undang-undang di Indonesia sama dengan yang dipakai pada Undang-undang Australia yaitu dengan disebutkan secara terperinci. Secara terperinci maksudnya adalah penyebutan jenis merek disebutkan secara jelas dan terbatas pada jenis merek yang disebutkan pada pengertian tersebut. Di Trade Mark Act 1995 Australia secara khusus membahas mengenai tanda apa saja yang dimaksudkan untuk dijadikan merek. Tanda yang dimaksud pada Undang-undang tersebut adalah mencakup hal berikut atau kombinasi dari hal berikut, yaitu, huruf apa pun, kata, nama, tanda tangan, angka, perangkat, merek, judul, label, tiket, aspek pengemasan, bentuk, warna, suara atau aroma. Penjelasan ini menunjukkan bahwa terdapat batasan pada “tanda” yang dimaksudkan sehingga menutup kemungkinan terhadap “tanda” lain untuk dapat dijadikan sebagai merek.

Dapat disimpulkan bahwa sistem penulisan secara tertutup (enumeratif) merupakan sistem penulisan yang bersifat rigid dan hanya terbatas pada yang dicantumkan di dalam Undang-undang tersebut sehingga sedangkan sistem penulisan secara terbuka merupakan sistem penulisan yang bersifat fleksibel sehingga tidak terbatas pada yang tercantum di dalam undang-undang tersebut.

B. Persinggungan Penyebutan Jenis Merek secara Enumeratif dengan Tujuan Perlindungan Merek

Merek merupakan suatu tanda yang dipakai untuk membedakan dan mengidentifikasi darimana asal suatu barang/jasa dalam suatu perdagangan. Orang yang berhak atau memiliki kekuasaan penuh dari merek tersebut disebut dengan Pemilik Merek. Pemilik merek memiliki hak eksklusif dimana hak tersebut

(11)

53

diperoleh dari negara diberikan kepada pemilik merek ketika seseorang sudah mendaftarkan mereknya dalam jangka waktu tertentu untuk menggunakan merek tersebut ataupun memberikan izin kepada orang lain untuk menggunakan merek tersebut. Di Indonesia merek diatur di dalam Undang-undang no 20 Tahun 2016 tentang merek dan Indikasi Geografis. Tujuan dari pembuatan Undang-undang tersebut adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat dalam keterkaitannya dengan suatu merek. Seorang pemilik merek akan memperoleh haknya secara penuh setelah orang tersebut mendaftarkan mereknya. Namun tidak semua merek dapat didaftarkan begitu saja. Di Undang-undang No 20 Tahun 2016 mengatur merek yang tidak dapat didaftar dan salah satu contoh merek yang tidak dapat didaftar adalah merek yang tidak memiliki daya pembeda.

Daya pembeda pada suatu merek merupakan suatu konsep penting dalam mengatur hukum tentang merek. Suatu merek akan memenuhi syarat pendaftaran atau dapat didaftarkan jika itu sesuai dengan fungsi dan memiliki kekhasan tersendiri. Adapun syarat mutlak suatu merek yang harus dipenuhi oleh setiap orang ataupun badan hukum yang ingin memakai suatu merek, agar supaya merek itu dapat diterima dan dipakai sebagai merek atau cap dagang, syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah bahwa merek itu harus mempunyai daya pembeda yang

cukup.46 Dapat dikatakan jika tanda-tanda yang ingin dijadikan merek tidak

mempunyai daya pembeda atau yang dianggap kurang kuat dalam pembedaannya

46 H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), PT

(12)

54

tidak dapat didaftarkan sebagai merek. Tanda dengan daya pembeda untuk dapat

dilindungi sebagai merek secara teoritis dapat dikategorikan:47

1. Inherently distinctives: eligible for immediate protection upon use.

(tanda yang secara inheren memiliki daya pembeda, segera mendapat perlindungan melalui penggunaan).

2. Capable of becoming distinctive: eligible for protection only after development of consumer association (secondary meaning). (tanda yang memiliki kemampuan untuk menjadi daya pembeda, dapat dilindungi hanya setelah pengembangan asosiasi konsumen yang

disebut pengertian kedua.).

3. Incapable of becoming distinctive: not eligible for trademark protection regardless of length of use. (tanda yang tidak memiliki kemampuan untuk membedakan tidak dapat dilindungi sebagai merek meskipun dalam waktu yang panjang telah digunakan.

Suatu tanda yang secara inheren memiliki daya pembeda semakin pantas dipilih untuk dijadikan merek dan segera mendapat perlindungan hukum, tanda tersebut meliputi:

a. Fanciful words (kata khayalan yang unik dan menarik). Merek yang di bentuk

dari kata khayalan (fanciful), bahkan kata-kata yang tidak ada dalam kamus,

paling baik untuk dijadikan merek karena tidak saja baru, tetapi secara

substansinya jelas berbeda dengan kata yang digunakan pada umumnya.48

Contoh dari bentuk merek ini adalah merek “Dagadu” dari Yogyakarta.

b. Arbritary (yang berubah-ubah/bukan berdasarkan akal sehat). Merek yang

berubah-ubah (arbritary) menampilkan merek yang sama sekali tidak terkait

dengan produknya.49 Bentuk contoh dari merek ini adalah merek “Apple” untuk

alat elektronik.

47 Rahmi Jened, Op. Cit, h. 64

48 Rahmi Jened Parinduri Nasution, Interface Hukum Kekayaan Intelektual dan Hukum Persaingan

(Penyalahgunaan HKI), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, h. 208

(13)

55

c. suggestive (memberi kesan). Merek yang bermaksud memberikan kesan (suggestive) dikaitkan dengan imajinasi konsumen untuk menerjemahkan informasi yang disampaikan melalui merek dan kebutuhan pesaing untuk

menggunakan kata yang sama.50 Contoh dari bentuk merek ini adalah merek

world book untuk ensiklopedia.

Tanda yang memiliki kemampuan untuk menjadi suatu daya pembeda

membutuhkan pengembangan asosiasi konsumen (secondary meaning) agar

mendapat perlindungan hukum merek, tanda tersebut mencakup tanda yang bersifat

descriptive, deceptive misdescriptive, dan personal names. Lazimnya pembuktian

dari secondary meaning adalah:51

1) Pengakuan konsumen langsung (direct consumer testimony);

2) Survey konsumen (consumen survey) terkait dengan kehendak

pihak lain untuk meniru merek tersebut;

3) Disamping itu ada bukti-bukti eksklusivitas, lama, dan cara

penggunaan;

4) Jumlah dan banyaknya periklanan

5) Banyaknya penjualan dan konsumen

6) Peletakan perusahaan di pasar

7) Bukti dari tindakan pengcopian jika kompetitor meniru berarti

merek tersebut cukup berharga

Tanda Deskriptif (descriptive) merupakan tanda atau merek yang

menggambarkan produknya. Secara teoritis, lebih bersifat deskriptif suatu terminologi yang digunakan sebagai merek, maka harus lebih tinggi upayanya

untuk membangun secondary meaning.52 Contoh dari merek ini adalah seperti

merek air mineral “Aqua” yang berarti suatu barang cair yang tidak berwarna dan

50Ibid., h.208-209

51 Rahmi Jened, Op. Cit., h. 75-76 52Ibid., h. 76

(14)

56

tidak berbau (primary meaning) tetapi melalui penggunaannya lebih dahulu,

dikenal sebagai produk air mineral dari Danone (secondary meaning).

Tanda dengan deskripsi yang keliru (deceptive misdescriptive) merupakan

merek yang tidak akurat atau memberikan penggambaranan yang keliru

(misdescriptive) tentang karakter, kualitas, fungsi, komposisi atau penggunaan produk atau bahkan dengan tata Bahasa yang salah, masih dapat didaftar dengan

membangun secondary meaning mengakibatkan konsumen percaya bahwa merek

tersebut menggambarkan produk.53 Contoh dari merek ini adalah Baby Dry untuk

produk diapers bayi.

Nama pribadi (personal name) meskipun dalam beberapa hal daya

pembedanya rendah, namun dapat didaftarkan jika membangun secondary meaning

melalui penggunaan. Penggunaan ini untuk membangum persepsi konsumen.

Merek dengan nama pribadi lazimnya digunakan untuk produk jasa.54 Contohnya

adalah restoran ayam goring “Suharti”.

Sedangkan tanda yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk membedakan suatu barang atau jasa dari usaha lain tidak dapat dilindungi sebagai merek meskipun dalam waktu yang panjang telah digunakan.

Pada intinya daya pembeda merupakan salah satu unsur terpenting dari suatu merek, dimana merek tidak dapat didaftarkan jika tidak memiliki unsur daya pembeda. Bahkan merek juga tidak dapat didaftarkan apabila merek tersebut tidak

53Ibid., h. 78 54Ibid. h. 79

(15)

57

memiliki kekuatan pembeda yang cukup untuk membedakan merek. Unsur penting lain yang harus ada dalam suatu merek adalah merek harus berupa suatu tanda.

Melihat dari Undang-undang No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, pengertian dari merek dituangkan dalam pasal 1 angka 1 yang berbunyi:

Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh

orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang

dan/atau jasa.”

Adapun undang-undang tersebut juga mengatur mengenai perlindungan merek itu sendiri yang dituangkan kedalam pasal 2 ayat (3) yang berbunyi:

Merek yang dilindungi terdiri atas tanda berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.”

Berdasarkan dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem penulisan yang dipakai di dalam undang-undang tersebut mengenai penyebutan jenis mereknya, digunakan sistem penulisan secara tertutup (enumeratif). Sistem penulisan secara tertutup (enumeratif) memiliki sifat rigid, dalam hal ini jenis-jenis merek yang dapat digolongkan kedalam merek menurut undang-undang tersebut hanya terbatas pada apa yang dicantumkan dalam pengertian tersebut yaitu berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih dan yang mendapat perlindungan hukum hanya tanda-tanda yang disebutkan di dalam undang-undang tersebut. Hal ini

(16)

58

ditunjukkan dari penggunaan kata “berupa” dimana kata tersebut memiliki penafsiran bahwa hanya tanda-tanda yang dicantumkan di dalam pengertian tersebut yang dapat digolongkan sebagai merek. Sehingga jika ada tanda lain yang tidak tercantum di dalam pengertian tersebut, tanda itu tidak dapat didaftarkan

sebagai merek seperti contohnya aroma dan tanda tangan (signature) yang tidak

dicantumkan di dalam undang-undang tersebut.

Berbeda denngan Undang-undang merek di Indonesia, TRIPs Agreement dalam mengartikan suatu merek, sistem penulisan yang digunakan adalah sistem penulisan terbuka. Sistem penulisan terbuka berarti tidak terbatas pada apa yang tercantum di dalam pengertian tersebut melainkan bersifat lebih fleksibel. Dalam Artikel 15 TRIPs Agreement mengartikan merek sebagai berikut:

Any sign, or any combination of signs, capable of distinguishing the goods or services of one undertaking from those of other undertakings, shall be capable of constituting a trademark. Such signs, in particular words including personal names, letters, numerals, figurative elements and combinations of colours as well as any combination of such signs, shall be eligible for registration as trademarks. Where signs are not inherently capable of distinguishing the relevant goods or services, Members may make registrability depend on distinctiveness acquired through use. Members may require, as a condition of registration, that signs be visually perceptible.”

Menurut TRIPs Agreement pada intinya semua tanda dapat didaftarkan sebagai merek asalkan tanda tersebut memiliki daya pembeda untuk membedakan suatu barang atau jasa dari barang atau jasa yang lainnya. Rudiger Wolfrum dan

Perter Tobias Stoll dkk dalam bukunya yang berjudul Max Planck Commentaries

on World Trade Law WTO-Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights

(17)

59

Art. 15.1, sentence 2 clarifies this definition by giving examples of signs eligible for registration as trademarks, such as “words including personal names, letters, numerals, figurative elements and combinations of colours”. No reference is made to three-dimensional designs and single colours and letters. This, however, does not mean that Members are authorized to deny such signs their trademark capability a priori. Rather, the listed examples represent an illustrative list, and as such an indication of the Members’ inability to agree on a definitive list of signs. The non-final character is emphasized by the expression “in particular” in its introduction. In consequence, abstract distinctiveness will determine the protectability also in situations, where the application concerns individual letters, colours or three-dimensional objects.

Dalam pemaparannya, TRIPs Agreement juga mencantumkan tanda apa yang dapat digolongkan sebagai merek seperti kata-kata termasuk nama pribadi, huruf, angka, elemen figuratif dan kombinasi warna, namun hal itu tidak bersifat mengikat melainkan bersifat fleksibel. Tanda-tanda yang dicantumkan pada pengertian tersebut hanya dipakai sebagai contoh saja. Menurut TRIPs Agreement yang terpenting adalah tanda tersebut harus memiliki suatu kekhasan atau daya pembeda untuk bisa dikatakan sebagai merek.

Melihat dari pengertian merek menurut Undang-undang no 20 Tahun 2016 dan pengertian merek menurut TRIPs Agreement terdapat perbedaan dalam penggolongan jenis merek. Dalam Undang-undang No 20 Tahun 2016, suatu merek akan mendapat perlindungan jika berbentuk suatu tanda yang berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih. Kata “berupa” di dalam pasal tersebut menunjukkan bahwa terdapat pembatasan terhadap merek yang akan dilindungi. Sehingga jenis-jenis tanda lain yang tidak tercantum di dalam pengertian tersebut tidak dapat dilindungi seperti tanda tangan ataupun aroma. Berbeda dengan undang-undang di Indonesia, perlindungan merek

(18)

60

TRIPs Agreement tidak membatasi tanda yang dapat digolongkan kedalam merek namun bergantung pada kemampuan suatu merek dalam membedakan barang atau jasa dari seseorang yang melakukan dari usaha lain. Tanda apapun bisa dijadikan merek asalkan tanda tersebut memiliki kekhasan atau daya pembeda untuk membedakannya dengan merek lain.

Tujuan dari perlindungan merek pada umumnya adalah untuk mencegah tindakan-tindakan curang yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain yang dapat menimbulkan kerugian. Dampak dari pelanggaran ini dapat mempengaruhi berbagai pihak seperti pemilik merek itu sendiri, konsumen sebagai pihak yang mengkonsumsi suatu produk dengan merek tertentu dan pelaku usaha yang memperjualbelikan merek tersebut. Melihat dari pemaparan sebelumnya, terdapat persinggungan yang terjadi antara sistem penulisan secara tertutup pada Undang-undang 20 Tahun 2016 dengan tujuan dari perlindungan merek itu sendiri.

1. Persinggungan Sistem Penulisan Secara Tertutup (Enumeratif) dengan Tujuan Perlindungan Merek berkaitan dengan Pemilik Merek

Dari pemaparan mengenai sistem penulisan secara tertutup (enumeratif) yang dipakai dalam penyebutan jenis merek pada Undang-undang No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, terdapat persinggunggan dengan tujuan dari perlindungan merek itu sendiri. Tujuan perlindungan merek berkaitan dengan pemilik merek sendiri seharusnya adalah memberikan kepastian hukum kepada pemilik merek agar mereka yang ingin mendaftarkan mereknya mendapat perlindungan hukum. Namun melihat dari penjelasan mengenai pengertian dan perlindungan merek yang diatur di dalam Undang-undang No 20 Tahun 2016

(19)

61

terdapat suatu celah yang dapat menimbulkan suatu permasalahan yaitu dimana terdapat suatu tanda yang sebenarnya telah memiliki daya pembeda namun tanda tersebut tidak tercantum di dalam penyebutan jenis-jenis merek pada Undang-undang No 20 Tahun 2016 maka tidak dapat didaftarkan sebagai merek sehingga tidak mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum. Perlindungan merek itu sendiri akan didapat seseorang apabila orang tersebut telah mendaftarkan merek tersebut. Pada kenyataannya terdapat tanda seperti aroma dan tanda tangan yang dapat didaftarkan sebagai merek dimana tanda-tanda tersebut tidak dicantumkan dalam pengertian merek di dalam Undang-undang tersebut. Dengan kata lain jenis tanda seperti aroma dan tanda tangan tidak bisa mendapatkan perlindungan hukum di Indonesia sehingga menjadi rawan terjadinya permasalahan pemalsuan merek.

Seorang pemilik merek tidak terdaftar bisa saja mendapatkan perlindungan hukumnya dengan menggugat orang yang memalsukan mereknya walaupun merek tersebut belum terdaftar. Pemilik merek tersebut harus membuktikan kepada hakim bahwa memang merek tersebut telah digunakannya terlebih dahulu dan orang yang ingin menggunakan mereknya beritikad tidak baik dan berniat untuk membonceng sehingga tidak berhak atas merek tersebut. Pemilik merek tidak terdaftar harus membuktikan kepada hakim bahwa orang yang mendaftarkan mereknya beritikad tidak baik karena meniru merek dari si pemilik merek tidak terdaftar yang notabene walaupun mereknya belum terdaftar tetapi jelas mereknya memiliki daya pembeda dan sudah dikenal masyarakat sehingga orang yang mendaftarkan merek tersebut dapat dikatakan beritikad tidak baik. Ketika sudah terbukti terdapat tindakan beritikad tidak baik, maka solusi yang diberikan oleh Hakim adalah supaya pemilik merek tidak terdaftar untuk mendaftarkan mereknya di kantor pendaftaran HKI.

(20)

62

Namun biasanya kasus-kasus tersebut merupakan kasus dimana jenis mereknya sudah tercantum di dalam pengertian merek di Undang-undang Merek. Namun untuk jenis merek yang tidak tercantum di pengertian merek di dalam Undang-undang, yang bisa dilakukan oleh pemilik merek tidak terdaftar adalah sama yaitu membuktikan bahwa pemilik merek tidak terdaftar telah menggunakan mereknya terlebih dahulu dan sudah dikenal di masyarakat dan membuktikan bahwa yang mendaftarkan merek tersebut beritikad tidak baik dan bermaksud membonceng mereknya. Setelah itu Hakim harus melakukan suatu penemuan hukum, dimana Hakim jangan hanya mengacu pada Undang-undang Merek di Indonesia namun juga melihat dari TRIPs Agreement sehingga merek yang jenis “tanda”nya tidak tercantum di pengertian Undang-undang Merek tetap bisa mendapat perlindungan hukum.

2. Persinggungan Sistem Penulisan Secara Tertutup (Enumeratif) dengan Tujuan Perlindungan Merek berkaitan dengan Perlindungan Konsumen

Secara tidak langsung penulisan secara tertutup (enumerative) ini dapat menimbulkan suatu permasalahan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen. Suatu tanda yang sebenanya memenuhi unsur sebagai daya pembeda namun jenis nya tidak tercantum di dalam pengertian Undang-undang Merek di Indonesia, maka tanda tersebut tidak dapat didaftarkan sebagai merek. Tanda yang tidak terdaftar sebagai merek secara otomatis tidak mendapat perlindungan hukum dari Undang-undang merek tersebut sehingga hal tersebut berdampak pada rawannya terjadi pemalsuan dan peniruan. Hal ini dapat dikatakan telah melanggar hak dari konsumen, dimana konsumen berhak untuk memilih barang dan/atau jasa serta

(21)

63

mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Terjadinya suatu pemalsuan dapat menyesatkan konsumen, dimana konsumen mendapat barang yang tidak sesuai dengan yang dicari atau dibutuhkan sehingga melanggar hak-hak konsumen yang dilindungi di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Penulisan secara tertutup (enumerative) dikatakan dapat melanggar hak-hak yang tercantum perlindungan konsumen karena adanya pendaftaran merek dapat dikatakan sebagai salah satu upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen. Dengan didaftarkannya suatu merek maka dapat dijadikan sebagai dasar penolakan terhadap merek yang sama secara keseluruhannya atau sama pada pokoknya yang dimohonkan oleh orang lain untuk barang atau jasa sejenis. Selain itu, dapat dijadikan dasar mencegah orang lain memakai merek yang sama pada pokoknya atau secara keseluruhan dalam peredaran barang atau jasa. Ketika pengaturan merek di Indonesia menggunakan sistem tertutup, maka yang terjadi adalah pemilik merek yang ingin mendaftarkan merek yang jenis nya tidak tercantum di Undang-undang Merek menjadi tidak bisa. Pemilik merek yang tidak mendaftarkan merek otomatis tidak mendapatkan perlindungan mereknya, hal ini menjadi rawan dengan terjadinya pemalsuan terhadap merek.

Pada prakteknya banyak merek yang sebenarnya tidak/belum terdaftar sebagai merek namun sudah diperdagangkan di masyarakat. Dengan tidak adanya perlindungan hukum terhadap merek yang belum terdaftar di Indonesia maka menjadi rawan terhadap terjadinya pemalsuan. Jika terjadi tindakan pemalsuan maka hal ini berdampak fatal bagi konsumen, dimana merek itu sendiri memiliki keterkaitan dengan kebutuhan konsumen. Seorang konsumen yang sudah terbiasa

(22)

64

mengkonsumsi barang-barang dengan merek tertentu akan mengalami kerugian karena mengkonsumsi secara keliru barang tertentu yang kualitasnya berbeda dengan yang biasa dikonsumsi dan mengeluarkan uang untuk barang yang nilai tukarnya tidak sesuai dengan kualitas produk yang dibelinya. Hal ini dapat dikatakan bahwa melanggar hak konsumen untuk mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan karena konsumen tidak mendapat barang sesuai dengan yang dibutuhkannya. Orang yang memalsukan merek biasanya menjual barangnya dengan kualitas yang lebih rendah dibanding dengan barang aslinya. Dengan adanya kemiripan yang identik maka akan menimbulkan kebingungan terhadap konsumen, konsumen yang tidak teliti akan mudah terkecoh dan akan membeli barang palsu.

3. Persinggungan Sistem Penulisan Secara Tertutup (Enumeratif) dengan Tujuan Perlindungan Merek berkaitan dengan Persaingan Usaha Salah satu tujuan dari adanya perlindungan merek adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi dunia industri, perdagangan, dan investasi dalam menghadapi perkembangan perekonomian lokal, nasional, regional, dan internasional serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Didunia perdagangan dan perekonomian akan selalu berkaitan dengan Persaingan Usaha. Di Indonesia sendiri pengaturan mengenai persaingan usaha diatur dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1999, yang salah satu tujuannya adalah untuk mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha. Persaingan usaha yang tidak sehat merupakan persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat

(23)

65

persaingan usaha.55 Dalam kaitannya dengan penulisan secara tertutup

(enumerative) jenis-jenis tanda dalam pengertian merek di Undang-undang No 20 Tahun 2016, adalah jenis tanda yang dapat dijadikan sebagai merek hanya terbatas pada yang dicantumkan di dalam pengertian tersebut sehingga tanda lain selain yang dicantumkan pada pengertian tersebut tidak dapat didaftarkan sebagai merek. Perlindungan hukum untuk merek itu sendiri didapat setelah merek tersebut didaftarkan, sehingga dapat dikatakan pemilik merek yang tidak mendaftarkan mereknya maka tidak akan mendapat kepastian dan perlindungan hukum. Hal ini akan berdampak pada pemilik merek yang tidak terdaftar, mereknya menjadi rawan untuk dipalsukan oleh pihak lain. Dalam dunia persaingan usaha, pelaku usaha harus membangun citra dan reputasi yang baik serta memberikan jaminan terhadap kualitas produk agar masyarakat dapat percaya dan mau memakai produk ber merek tersebut. Mereka rela mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk keperluan pemasaran dan membangun reputasi produk baru ataupun mempertahankan reputasi dari produk yang telah ada. Peranan perlindungan merek sangatlah penting, dimana perlindungan merek diharapkan dapat mencegah terjadinya tindakan-tindakan curang yang dilakukan pihak lain. Namun dengan sistem penulisan secara tertutup (enumeratif) yang diterapkan di Undang-undang No 20 Tahun 2016, justru membawa dampak pada rawan terjadi pemalsuan merek, karena terdapat merek yang tidak dapat didaftarkan sehingga tidak mendapatkan perlindungan hukum terhadap merek tersebut.

Memanfaatkan reputasi dari suatu merek terkenal dengan cara memalsukan merek tersebut dan memperjualbelikannya dengan kualitas yang lebih rendah dapat

(24)

66

mengganggu jalannya perekonomian yang berarti dapat dikatakan bertentangan dengan tujuan dari adanya Undang-undang persaingan usaha untuk mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha dan tujuan perlindungan merek dalam memberikan kepastian hukum bagi dunia industri, perdagangan, dan investasi dalam menghadapi perkembangan perekonomian lokal, nasional, regional, dan internasional serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Demi mencapai tujuan dari persaingan usaha dalam mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, yang bisa dilakukan adalah jika terdapat pemilik merek tidak terdaftar yang bisa membuktikan bahwa telah terjadi pemalsuan terhadap mereknya walaupun jenis tanda merek tersebut tidak tercantum di dalam pengertian merek pada Undang-undang Merek maka Hakim diharapkan melakukan penemuan hukum dimana selain jenis tanda merek yang tercantum yang memiliki daya pembeda dan sudah dikenal masyarakat bisa didaftarkan sebagai merek sehingga pemilik merek dapat memperoleh perlindungan terhadap mereknya.

Suatu tindakan pemalsuan merek salah satu alasannya terjadi karena tidak adanya perlindungan hukum terhadap pemilik merek tidak terdaftar. Pengaturan mengenai jenis “tanda” yang dapat dijadikan sebagai merek pada Undang-undang No 20 tahun 2016 memiliki sifat tertutup dimana tanda yang tidak disebutkan dalam pengertian tersebut tidak bisa didaftarkan sebagai merek. Pemilik merek yang memiliki jenis tanda yang tidak disebutkan di dalam pengertian tersebut, tidak mendapat perlindungan hukum terhadap mereknya sehingga bisa disebut dengan pemilik merek tidak terdaftar. Pemilik merek tidak terdaftar yang bahkan mereknya sudah dikenal masyarakat dan memiliki reputasi yang baik menjadi rawan untuk

(25)

67

dipalsukan karena tidak mendapat perlindungan hukum dan hal tersebut dapat dikatakan mengancam kelancaran jalannya perekonomian di Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa tujuan dari adanya perlindungan merek pada umumnya adalah untuk mencegah tindakan-tindakan curang yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain yang dapat menimbulkan kerugian. Tujuan lainnya yaitu untuk lebih meningkatkan pelayanan dan memberikan kepastian hukum bagi dunia industri, perdagangan, dan investasi dalam menghadapi perkembangan perekonomian lokal, nasional, regional, dan internasional serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Namun dengan penulisan secara tertutup mengenai jenis-jenis tanda yang dapat digolongkan menjadi merek yang diterapkan di Undang-undang No 20 Tahun 2016, dapat dikatakan hal ini bertentangan dengan tujuan perlindungan merek itu sendiri. Dikatakan bertentangan karena sesungguhnya terdapat jenis tanda yang belum disebutkan di Undang-undang tersebut dapat dijadikan menjadi sebuah merek, sehingga tanda-tanda tersebut tidak dapat didaftarkan sebagai merek dan secara otomatis pemilik merek yang tidak atau belum mendaftarkan mereknya tidak bisa mendapatkan perlindungan hukum. Sehingga yang akan terjadi adalah banyaknya permasalahan yang muncul mengenai pemalsuan-pemalsuan merek yang mengakibatkan perekonomian berjalan tidak lancar.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian tentang studi pengguaan kombinasi oral antidiabetes dengan insulin pada pasien diabetes melitus tipe 2 periode Januari 2017 –

Dengan demikian berdasarkan permasalahan diatas maka perlu diadakan pelatihan peningkatan kemampuan aritmatika bagi masyarakat umum terutama anak-anak usia sekolah,

Disamping itu, banyak penelitian tentang modal intelektual yang tidak mencantumkan item pengungkapan maupun kurangnya penjelasan mengenai definisi item pengungkapan

Zona Kerawanan Sangat Rendahsangat jarang atau hamper tidak pernah mengalami gerakan tanah Untuk wilayah zona kerawan tinggi sebagian wilayah di Kecamatan Kaliangkrik,

Permasalahan inilah yang menjadi catatan penting bagi pemerinta desa boyong pante karena dengan adanya kendala ini dimana pembangunan masyarakat lebih tepatnya

Sistem kontrol dengan loop tertutup adalah suatu sistem kontrol yang sinyal output atau keluaran sistem berpengaruh langsung terhadap sinyal aksi pengontrolan sistem jika

Ketika menurunkan persamaan koofisien viskositas, kita meninjau aliran lapisan fluida riil antara 2 pelat sejajar dan fluida tersebut bisa bergerak karena adanya

Kesadaran bayar energi dibangun dengan menampilkan semua informasi konsumsi daya beban dari konsumen seperti: tegangan, arus, faktor daya, sifat beban, jenis beban, daya,