• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Pertumbuhan Sapi Bali (Bos javanicus D’alton) Jantan Pascapemberian Anthelmintik pada Penggemukan Tradisional di Lombok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Respon Pertumbuhan Sapi Bali (Bos javanicus D’alton) Jantan Pascapemberian Anthelmintik pada Penggemukan Tradisional di Lombok"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Respon Pertumbuhan Sapi Bali (

Bos javanicus D’alton

) Jantan

Pascapemberian Anthelmintik pada Penggemukan

Tradisional di Lombok

(Growth Response of Bali Cattle Bull (Bos javanicus) after Anthelmintik

Application at Traditional fattening Systmem in Lombok)

Luh Gde Sri Astiti, Prisdiminggo, Panjaitan T

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Nusa Tenggara Barat, Jl, Raya Peninjauan Narmada, Lombok Barat luhde_astiti@yahoo.com

ABSTRACT

The main purpose of this case study was to evaluate growth response of Bali cattle bulls fatten under traditional system in Lombok following gastrointestinal parasite control. The study was conducted in one of farmer group at West Lombok district between March and May 2014. Twenty one bulls (164±27 kg) were given double dose of anthelmintics in one treatment to suppress gastrointestinal nematodes, cestodes and trematodes infection. Results indicated that number of nematodes and cestodes eggs per gram of feces decreased to zero after 21 days following treatment and remained the same up to 55 days later while number of trematodes eggs per gram feces decreased from 24 to 7 eggs per gram (EPG) sample after 55 days following treatment. Growth response since the EPG of nematodes and cestodes decreased to zero and trematodes decreased to the lowest level due to suppressive treatment was 0.34 kg/day. It is commonly accepted that the growth of Bali cattle bull fatten under traditional system less than 0.3 kg/day. These indicated that anthelmintics treatment on traditional fattening resulted in substantial growth response.

Key Words: Bali Cattle Bull, Traditional Fattening System, Growth, Internal Parasite

ABSTRAK

Studi kasus dilakukan untuk mengetahui respon pertumbuhan sapi Bali jantan pada penggemukan tradisional paska pemberian anthelmintik. Studi dilakukan pada salah satu kelompok ternak di Kabupaten Lombok Barat antara bulan Maret sampai Mei 2014. Sebanyak 21 ekor sapi Bali jantan (164±27 kg) penggemukan diberi anthelmintik dengan dosis dua kali lebih tinggi dari anjuran dan diberikan dalam satu kali pemberian untuk menekan investasi cacing parasit dari golongan nematoda, cestoda dan trematoda. Hasil penelitian menunjukkan jumlah telur cacing di dalam kotoran ternak terus menurun paska pemberian anthelmintik. Telur cacing dari golongan nematoda dan cestoda sudah tidak ditemukan lagi dalam kotoran ternak mulai hari ke-21 sampai hari ke-55 paska pemberian anthelmintik. Sementara itu, telur cacing parasit dari golongan trematoda terus menurun dari 24 menjadi 7 telur per gram sampel kotoran (EPG) pada hari ke-55 setelah pemberian anthelmintik. Respon pertumbuhan dari sapi Bali jantan yang digemukkan secara tradisional setelah telur cacing parasit dari golongan nematoda dan cestoda tidak lagi ditemukan sebesar 0,34 kg/hari. Pertumbuhan sapi Bali jantan yang digemukkan secara tradisional umumnya dilaporkan kurang dari 0,30 kg/hari. Pemberian anthelmintik pada sapi Bali jantan yang digemukkan secara tradisional memberikan respon yang substansial terhadap pertumbuhan.

Kata Kunci: Sapi Bali Jantan, Sistim Penggemukan Tradisional, Pertumbuhan, Parasit Internal

PENDAHULUAN

Jumlah petani ternak sapi potong yang melakukan kegiatan penggemukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) cenderung terus meningkat setiap tahun. Peningkatan tersebut antara lain disebabkan oleh adanya

peningkatan harga sapi hidup di tingkat petani ternak. Namun demikian praktek penggemukan yang dilakukan petani ternak di NTB belum menunjukkan adanya perubahan dan masih dilakukan secara tradisional sehingga produktivitasnya masih rendah. Panjaitan (2012) melaporkan pertambahan bobot badan

(2)

pada sapi Bali jantan pada penggemukan tradisional di Lombok hanya sebesar 0,27 kg/hari. Pertambahan bobot badan rendah selain disebabkan oleh jumlah dan kualitas pakan yang diberikan belum sesuai dengan kebutuhan untuk sapi penggemukan kemungkinan juga disebabkan oleh adanya investasi dari parasit saluran pencernaan yang menghambat pertumbuhan ternak. Astiti et al. (2014) dari survei sebaran nematodiosis yang dilakukan pada sapi Bali di Pulau Lombok melaporkan bahwa nematodiosis pada ternak sapi ditemukan di semua wilayah kecamatan yang ada di Pulau Lombok. Hal ini menunjukkan ternak sapi di Lombok secara alamiah terinvestasi oleh parasit saluran pencernaan.

Secara umum diketahui bahwa investasi parasit saluran pencernaan akan menghambat potensi pertumbuhan ternak. Namun demikian investasi yang terjadi seringkali bersifat subklinis sehingga tidak terlihat secara kasat mata. Hal ini merupakan salah satu penyebab mengapa investasi cacing pada saluran pencernaan sejauh ini belum banyak diperhatikan oleh petani ternak yang melakukan praktek penggemukan sapi secara tradisional di Lombok. Lawerence & Ibarburu (2007) mengembangkan model analisa penggunaan teknologi farmasi pada peternakan modern, melaporkan bahwa penggunaan anthelmintik pada sapi penggemukan sistem feedlot memberikan peningkatan pertambahan bobot badan 5,6% lebih tinggi.

Penelitian terdahulu dari Stomberg et al. (1997) melihat dampak pemberian anthelmintik pada induk terhadap pertumbuhan pedet sampai disapih melaporkan bahwa pemberian anthelmintik pada induk akan meningkatkan pertumbuhan pedet 10% lebih tinggi dibandingkan dengan pedet yang induknya tidak diberi anthelmintik. McMullan et al. (1981) pada penelitiannya melaporkan bahwa pemberian anthelmintik pada waktu penyapihan memberikan peningkatan bobot badan sebesar 14 kg atau 32% lebih tinggi setelah tiga bulan (127 hari) bila dibandingkan dengan pedet sapihan yang tidak diberi anthelmintik. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian parasit saluran pencernaan mempunyai peran penting dalam upaya mengatasi hambatan penambahan bobot badan ternak.

Infeksi saluran pencernaan yang disebabkan oleh cacing kemungkinan juga merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya pertambahan bobot badan dari sapi Bali jantan pada sistem penggemukan tradisional di Lombok. Respon pertumbuhan dari sapi yang digemukkan secara tradisional paska pemberian anthelmintik belum banyak dilaporkan. Studi kasus ini dilakukan untuk mengevaluasi pertambahan bobot badan sapi Bali jantan paskapemberian anthelmintik pada penggemukan tradisional.

MATERI DAN METODE

Studi kasus untuk mengetahui respon pertumbuhan sapi Bali jantan pada penggemukan tradisional paskapemberian anthelmintik dilakukan bersama kelompok ternak Beriuk Maju di Kabupaten Lombok Barat, dari bulan Maret-Mei 2014. Sebanyak 21 ekor sapi Bali jantan berumur antara 1-2 tahun dengan bobot awal 164±27 kg digunakan dalam studi kasus ini. Sapi yang digemukkan diberi pakan sesuai dengan pola petani berupa rumput alam, rumput budidaya dan ramban serta sebagian kecil petani ternak terkadang memberikan limbah pertanian berupa jerami kacang tanah dan kacang panjang. Rata-rata jumlah pakan segar yang diberikan oleh peternak berkisar antara 8-10% dari bobot badan. Hasil analisa laboratorium diketahui rata-rata kandungan bahan kering pakan yang diberikan sebesar 23% dengan kandungan protein kasar sebesar 13%.

Anthelmintik yang digunakan adalah albendazole dan ivermectin yang diberikan dua kali dari dosis anjuran dan diberikan dalam satu kali pemberian. Sebelum dilakukan pemberian anthelmintik terlebih dahulu dilakukan pengambilan sampel kotoran untuk mengetahui tingkat investasi dan jenis parasit cacing penyebab infeksi. Pengambilan kotoran selanjutnya dilakukan pada hari ke-28 dan 55 setelah pemberian anthelmintik. Pengambilan sampel darah untuk mendapatkan gambaran hematologi dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel kotoran untuk mendapatkan gambaran hematologi sebelum dan sesudah pemberian anthelmintik.

Jumlah telur cacing per gram feses (EPG) yang terdapat dalam setiap sampel kotoran

(3)

ternak dihitung menggunakan teknik Sedimentasi (Deptan 1999); Wisconsin dari Kvasnicka (1996). Sentrifugasi Wisconsin dilakukan sebanyak dua kali, pertama menggunakan air dan kemudian menggunakan larutan gula jenuh. Telur cacing yang telah mengapung kemudian diidentifikasi dan dibedakan sesuai dengan genusnya. Gambaran hematologi yang dilihat meliputi kadar hemoglobin (g/dl), jumlah eritrosit (juta/l), kadar hematokrit atau packed cell volume (PCV) (%), jumlah leukosit (ribu/l) dan deferensial leukosit; neutrofil, eusinofil, limfosit dan monosit (Siswanto 2011; Schalm 1975).

Data pertambahan bobot badan, parasitologi dan hematologi yang terkumpul ditabulasi dan dianalisa secara deskriptif menggunakan software MS Excel 2007/2010.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertambahan bobot badan

Pertambahan bobot badan dan penurunan jumlah telur cacing setelah pemberian anthelmintik disajikan pada Gambar 1. Pemberian anthelmintik memberikan pertambahan bobot badan sebesar 0,34 kg/hari. Pakan yang diberikan pada ternak penggemukan didominasi oleh rumput alam, rumput budidaya dan ramban serta sebagian kecil petani ternak terkadang memberikan sisa

pertanian berupa jerami kacang tanah dan kacang panjang. Pakan yang diberikan peternak merupakan pakan yang umum diberikan pada praktek penggemukan tradisional di Lombok.

Panjaitan (2012) melaporkan rata-rata pertambahan bobot badan sapi Bali jantan pada penggemukan tradisional yang dimonitor selama dua periode musim kering dan dua periode musim basah rata-rata sebesar 0,27 kg/hari. Pertambahan bobot badan yang diperoleh paskapemberian anthelmintik pada studi kasus ini 13% lebih tinggi. Respon pertumbuhan paskapemberian anthelmintik yang diperoleh sesuai dengan penelitian sebelumnya yang melaporkan pemberian anthelmintik meningkatkan pertambahan bobot badan (McMullan et al. 1981; Stomberg et al. 1997; Lawrence & Ibaburu 2007).

Hal ini menunjukkan investasi parasit saluran pencernaan menghambat pertumbuhan dari sapi Bali jantan pada penggemukan tradisional di Lombok. Pemberian anthelmintik dapat mengatasi hambatan pertumbuhan yang disebabkan oleh parasit saluran pencernaan dan meningkatkan respon pertumbuhan dari sapi Bali jantan yang digemukkan.

Parasit saluran pencernaan

Pemberian anthelmintik menurunkan jumlah telur cacing yang ditemukan dalam kotoran (Gambar 1).

Gambar 1. Pertambahan bobot badan dan penurunan jumlah telur cacing parasit saluran pencernaan dari golongan nematoda dan cestoda serta trematoda setelah pemberian anthelmintik pada sapi Bali jantan penggemukan tradisional

0 20 40 60 80 Pengamatan (hari) 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 -10 P en u ru n an ju m lah telu r ca cin g ( % ) 180 170 160 150 140 Be ra t b ad an (k g )

(4)

Jumlah telur cacing dari golongan nematode dan cestoda tidak lagi ditemukan dalam kotoran pada 21 hari paskapemberian anthelmintik, sedangkan telur cacing dari golongan trematoda walaupun jumlahnya dalam kotoran cenderung terus menurun tetapi masih ditemukan dalam kotoran pada 55 hari paskapemberian anthelmintik. Sebelum dilakukan pemberian anthelmintik sebanyak 16 ekor dari 21 ekor sapi (76%) perlakuan terinvestasi parasit cacing dengan indikasi ditemukannya telur cacing pada kotoran sapi. Telur cacing yang ditemukan umumnya berasal dari cacing golongan nematoda dan cestode, namun diantaranya sebanyak 31% ternak yang terinvestasi nematoda dan cestoda juga ditemukan telur cacing dari golongan trematoda. Jenis nematoda yang ditemukan adalah Tricostrongylus, Chabertia, Cooperia

dan Bunostomum, jenis cestoda yang

ditemukan adalah Moniezia dan jenis trematoda yang ditemukan adalah Fasciola. Tricostrongylus ditemukan pada 44% dari total ternak penderita nematodiasis. Hasil ini sesuai dengan survei yang dilakukan Astiti et al. (2014) yang melaporkan luas sebaran Tricostrongylus pada sapi Bali mencapai 84% untuk pulau Lombok.

Jumlah telur cacing yang ditemukan dalam kotoran ternak yang terinvestasi nematoda rata-rata 5 telur/g (EPG) dengan kisaran 2 sampai 12 EPG, cestoda rata-rata 6 EPG dengan kisaran 3 sampai 10 EPG dan trematoda rata-rata 5 EPG dengan kisaran 1 sampai 8 EPG.

Dengan demikian dapat dikatakan ternak mengalami investasi parasit saluran pencernaan pada tingkat ringan dengan jumlah telur kurang dari 499 EPG (Soulsby 1982; Levine 1994). Penurunan EPG nematoda dan cestoda mencapai titik terendah atau nol pada hari ke-21 paskapemberian anthelmintik tetapi tidak serta merta memberikan respon positif terhadap pertumbuhan ternak. Respon pertumbuhan cenderung meningkat setelah EPG trematoda juga turun mencapai level terendah (20%) pada hari ke-55 paskapemberian anthelmintik. Dimana EPG trematoda hanya ditemukan pada 1 dari 5 ekor sapi perlakuan yang pada awalnya terdeteksi menderita fasciolosis. Peningkatan pertambahan bobot badan setelah hari ke-55 paskapemberian anthelmintik sebesar 13% lebih tinggi dibandingkan pertambahan bobot badan sebelumnya. Pertambahan bobot badan pada sapi perlakuan masih berada dalam kisaran nilai yang dilaporkan oleh Stomberg et al. (1997); Lawrence & Ibarburu (2007). Hal ini menunjukkan pentingnya melakukan pengendalian parasit saluran pencernaan untuk meningkatkan pertambahan bobot badan dari sapi Bali jantan pada penggemukan tradisional.

Gambaran hematologi

Gambaran hematologi sebelum dan paskapemberian anthelmintik pada 21 ekor sapi Bali jantan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Gambaran hematologi sebelum dan paskapemberian anthelmintik sapi Bali jantan pada penggemukan tradisional di Lombok

Hematologi indeks Sebelum Paskapemberian anthelmintik Hari ke-28 Hari ke-55 Hemoglobin (g/dl) 12,1±2,1 13,4±1,9 11,9±1,4 Eritrosit (x106/l) 6,5±2,0 7,4±1,6 5,6±1,0 Leukosit (x103/l) 7,3±1,4 9,8±2,3 6,6±2,6 PCV (%) 31,7±5,7 31,9±5,2 33,1±4,6 MCV (fl) 51,9±14,5 44,2±6,8 60,6±9,3 MCH (pg) 19,9±5,7 18,5±2,6 21,7±2,6 MCHC (%/dl) 38,6±5,7 42,1±2,4 36,1±2,7 Eosinofil 2,8±1,1 0,8±0,8 2,8±1,1 Neutrofil 38,0±8, 4 51,4±5, 2 53,6±4, 4 Limfosit 56,9±9,3 46,8±5,9 40,2±5,8 Monosit 2,4±2,7 0,6±0,8 3,9 ± 1,4

(5)

Gambaran hematologi sebelum dan paskapemberian anthelmintik pada ternak secara umum tidak berbeda dan masuk dalam kategori normal sesuai dengan yang dilaporkan oleh Siswanto (2011). Hal ini mungkin disebabkan karena investasi cacing pada saluran pencernaan masih berada pada level ringan. Kadar haemoglobin dan rata-rata kadar haemoglobin sel darah merah (Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration = MCHC) yang hampir tidak berbeda sebelum dan paskapemberian anthelmintik merupakan konfirmasi bahwa infeksi berada pada level ringan.

Jumlah leukosit cenderung meningkat pada hari ke-28 paska pemberian anthelmintik namun kemudian menurun pada hari ke-55 paska pemberian anthelmintik. Penurunan ini sejalan dengan penurunan jumlah telur cacing baik dari golongan nematode, cestode dan trematoda yang ditemukan dalam kotoran.

Diferensial leukosit menunjukkan respon yang bervariasi. Jumlah absolut eosinofil dan monosit cenderung segera turun paska pemberian anthelmintik namun kemudian meningkat dan kembali pada level semula. Kejadian ini mungkin disebabkan adanya re-investasi yang menyebabkan peningkatan jumlah absolut eosinofil kembali pada level semula sehingga diperlukan pemberian anthelmintik secara berkala.

Jumlah absolut neutrofil yang terus meningkat tidak sejalan dengan penurunan jumlah telur cacing parasit yang ditemukan dalam kotoran. Peningkatan ini kemungkinan dapat disebabkan oleh faktor lain yang menyebabkan peradangan selain infeksi yang disebabkan oleh parasit saluran pencernaan.

Penurunan limfosit paskapemberian anthelmintik memberikan gambaran terjadinya penurunan tingkat infeksi yang disebabkan oleh cacing pada saluran pencernaan. Penurunan jumlah telur cacing yang ditemukan dalam kotoran sejalan dengan penurunan limfosit dalam darah. Limfosit berfungsi dalam mekanisme antibodi untuk meningkatkan pertahanan tubuh terhadap patogen.

KESIMPULAN

Pemberian anthelmintik dapat

meningkatkan respon pertumbuhan sapi Bali

jantan pada penggemukan tradisional. Peningkatan respon pertumbuhan sejalan dengan menurunnya tingkat investasi yang disebabkan oleh cacing pada saluran pencernaan yang terlihat dari menurunnya jumlah telur cacing parasit dalam kotoran dan gambaran hematologi terutama pada limfosit yang menunjukkan pola penurunan yang sama dengan jumlah telur cacing dalam kotoran.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kami sampaikan kepada para Laboran Balai Laboratorium Kesehatan Hewan Propinsi Nusa Tenggara Barat, Laboratorium Imunologi FMIPA Universitas Mataram dan partisipasi seluruh peternak di kelompok Ternak Beriuk Maju Desa Lekong Siwaq, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat atas kerjasama yang baik sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.

DAFTAR PUSTAKA

Astiti LGS, Panjaitan T, Sriasih M. 2014. Survei sebaran nematodiosis pada sapi Bali (Bos javanicus D’Alton) di Lombok. Dalam proses publikasi.

Departemen Pertanian. 1999. Manual standar metode diagnosa laboratorium kesehatan hewan. Jakarta (Indonesia): Direktorat Bina Kesehatan Hewan. Direktorat Jendral Peternakan.

Kvasnicka B. 1996. Parasite control strategies for dairy cattle in the 1990s. Hoechst-Roussel Agri-Vet Company.

Lawrence JD, Ibarburu MA. 2007. Economic analysis of pharmaceutical technologies in modern beef production. Proceeding of the NCCC-134 Conference on applied commodity price analysis forecasting, and market risk management. Chicago. III.

Levine LD. 1994. Buku pelajaran parasitologi veteriner. Ashadi G penerjemah, Yogyakarta (Indonesia): Gajah Mada University Press. McMullan MJ, Leaning WHD, Holmden J, Cairns

GC. 1981. The effect of anthelmintics treatment on the growth rate of beef calves following weaning. New Zealand Journal of Experimental Agriculture. 9:129-134. Panjaitan T. 2012. Performance of male Bali cattle

(6)

Koonawootrittriron S, Suwanasopce T, Jaichansukkit T, Jattawa D, Booyanuwut K, Skunmun P, editors. Improving smallholder and industrial livestock production for enhancing food security, envioronment and human welfare. Proceeding Asian Australasian Animal Production. Bangkok (Thailand): 26-30 November 2012. p. 956-959.

Schalm OW.1975. Veterinary hematology. Lea and Febiger, Philadelphia 3rd edition.

Siswanto. 2011. Gambaran sel darah merah sapi Bali (studi rumah potong). Denpasar (Indonesia): Buletin Veteriner. Udayana. 3:2:99-105.

Soulsby EJL.1982. Helminths, arthropods and protozoa of domesticated animals. 7th. Ed. Bailliere Tindall London.

Stomberg BE, Vatthauer RJ, schlotthauer JC, Myers GH, Haggard DL, King VL, Hanke H. 1997. Production responses following strategic parasite control in beef cow/calf herd. Veterinary Parasitology. 68:315-322.

Gambar

Gambar 1.  Pertambahan bobot badan dan penurunan jumlah telur cacing parasit saluran pencernaan dari
Tabel 1.   Gambaran  hematologi  sebelum  dan  paskapemberian  anthelmintik  sapi  Bali  jantan  pada

Referensi

Dokumen terkait

Melalui hasil uji hipotesis ditemukan bahwa persepsi harga, produk, promosi, dan tempat secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembelian sepeda

Hal itu di sebabkan karena rongga udara yang besar menambah tekanan udara untuk mendorong air menuju titik yang lebih tinggi, dorongan air dari pipa inlet yang

Seminar Nasional Tahunan VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 25 Juli 2009. Semnaskan_UGM/Daftar Isi xii STRATEGI PENINGKATAN HARGA RUMPUT LAUT

Software perhitungan Td, Tdur dan T50Ex merupakan program komputer yang berfungsi untuk mengestimasi parameter sumber gempa bumi; durasi rupture (Tdur), periode

Pada peta kendali p menunjukkan bahwa semua data berada dalam batas kendali dan untuk mengetahui penyebab terjadinya cacat dilakukan analisis dengan diagram sebab

menimbulkan miskonsepsi akibatnya akibatnya akibatnya artinya Partisipan mengalami permasalahan dalam memahami konsep massa udara pada suatu sistem

Berdasarkan hal tersebut, model pembangunan yang berpusat pada rakyat merupakan suatu alternatif baru untuk meningkatkan hasil produksi pembangunan guna memenuhi

Sistem informasi masuk keberbagai aspek kehidupan salah satunya adalah pembelajaran, Permasalahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran anak adalah siswa lebih