SIKAP MAHASISWA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA TERHADAP PERILAKU SEKSUAL
HOMOSEKS
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Paulina Alfania Kartikasari
NIM: 019114017
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
S K R I P S I
SIKAP MAHASISWA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA TERHADAP PERILAKU SEKSUAL
HOMOSEKS
Oleh :
Paulina Alfania Kartikasari
NIM: 019114017
Telah disetujui oleh :
Pembimbing,
S K R I P S I
SIKAP MAHASISWA UNIVERSITAS SANATA DHARAM
YOGYAKARTA TERHADAP PERILAKU SEKSUAL
HOMOSEKS
Yang dipersiapkan dan ditulis oleh
Paulina Alfania Kartikasari
NIM: 019114017
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
pada tanggal 12 November 2007
dan dinyatakan memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda tangan
Penguji 1 : Drs. H. Wahyudi, M.Si. ………
Penguji 2 : Sylvia Carolina M.Y.M., S. Psi, M.Si. ………
Penguji 3 : A. Tanti Arini, S.Psi, M.Si. ………
Yogyakarta, November 2007
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Dekan,
Ada Sesuatu Yang Indah
Saat kuberdiam....
Kurasa kedamaian
Kurasa sukacita
Kurasakan sesuatu yang tak bisa diungkapkan
Saat ku bernyanyi....
Ketenangan kudapatkan
Kekuatan baru kudapatkan
Kekuatan baru ku terima
Semangat ku mulai berapi-api
Saat kumendengarkan....
Ada kedasyatan yang luar biasa
Ada kemenangan yang luar biasa
Ada Keindahan yang kuraih
Saat ku membaca....
Hadirat-Nya kurasakan
Kuasa-Nya begitu nyata
Ingin rasanya mengenalkan pada mereka
Saat kumerenungkan....
Ada suatu kreatifitas yang keluar
Ada jalan keluar
Ada penyelesaian sesuatu yang tak terpikirkan
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, Oktober 2007
ABSTRAK
Paulina Alfania Kartika Sari (2007). Sikap Mahasiswa Sanata Dharma
Yogyakarta terhadap perilaku seksual homoseks. Yogyakarta : Fakultas Psikologi.
Universitas Sanata Dharma.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Sikap Mahasiswa Sanata
Dharma Yogyakarta terhadap perilaku seksual homoseksual.
Sikap mahasiswa Sanata Darma terhadap perilaku seksual homoseks sebagai
variabel penelitian. Subyek dalam penelitian ini adalah 102 Mahasiswa Sanata
Darma Yogyakarta, yang diperoleh dengan menggunakan teknik purposive
sampling. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan satu macam skala
yaitu skala sikap. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode statistik deskriptif yang meliputi penyajian data melalui tabel, perhitungan
nilai maksimum, nilai minimum, mean empirik, mean teoritik, dan standar
deviasi.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa Mahasiswa Sanata Dharma
Yogyakarta memiliki sikap yang negatif (tidak setuju) terhadap perilaku seksual
homoseks. Hal ini ditunjukkan dari dari hasil perbandingan yang menyatakan
ABSTRACT
Paulina Alfania Kartika Sari (2007). Sanata Dharma University Students
attitude to homosexual behavior. Faculty Psychology Sanata Dharma University.
The target of this research is to examine the attitude of Sanata Dharma
University Students to homosexual behavior. The research variable of this
research is Sanata Dharma University Students. The subject of this research is 102
Students of Sanata Dharma University that is obtained by using purposive
sampling technique. The data collected in this research uses attitude scale. The
analyzing method data that used in this reseach is descriptive statistical methods
covering data by the presentation of calculation table asses maximum, minimum
value, mean empiric, mean teoritic, and standard deviation.
The result of data analysis indicates that Sanata Dharma Students have
negative attitude (adverse opinion) to homosexual behavior. This matter is shown
by the comparison result expressing the mean empiric which is smaller than the
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih yang telah memberikan berkat
dan kekuatan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Penulis
menyadari terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. P. Eddy Suhartanto, S.Psi, M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Drs. H. Wahyudi, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Sylvia Carolina M.Y.M M.Si. selaku dosen pembimbing akademik.
4. Dosen-dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan ilmu dan
pengetahuannya selama penulis menempuh studi di Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
5. Segenap staff Fakultas Psikologi, Mas Gandung, Pak Gie, Mbak
Nanik, Mas Muji dan Mas Doni, atas segala bantuan yang diberikan
untuk kelancaran studi penulis di Fakultas Psikologi.
6. Untuk Orangtuaku yang telah mendidik, membimbing, memberi
dukungan dan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
7. Adik-adikku tercinta, Betha dan Gamma yang telah membantuku
dalam menyelesaikan skripsi.
8. Keponakan-keponakanku tersayang, Geonk, Deron dan Titan yang
lucu-lucu dan menyenangkan, makasi ya dah menghiburku.
9. Sodara-sodaraku semuanya, mba Nina, mas Roni, dik Fika, Balita,
Atin, Putri, Brili, Tika, Lintang, Bulan dan Ajeng, makasi atas segala
dukungan yang diberikan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
10. My Lovely Dhany Apriyanto, yang selalu menemani dan selalu ada
bersamaku, makasi baget ya atas cinta, perhatian, kesabaran, dukungan
11. My best friends, The Lonchiez (Ita, Tyas, Vera, Anita, Mami, Cynthia,
dan Yayack) makasi ya...kalian sudah menjadi teman yang baik
untukku, mau mendengarkan curhatku, berbagi suka dan duka. Mizz u
prend.
12. Nina, Ida dan Yossi, makasi ya dah mau membantuku dalam
mengerjakan skripsi.
13. Untuk anjing kesayanganku, almarhum Poci (ciwawa) dan si nakal
Kresi. (Golden, Chow-chow dan Herder). Makasi ya, kalian dah mau
maen bareng ma aku. Luv u so.
14. Untuk adik angkatku Helga, makasi ya dah mau berbagi kesedihan dan
kebahagiaan bersamaku.
15. Untuk adik-adik angkatan Psikologi Sanata Dharma, makasi dah mau
membantuku dalam mengerjakan skripsi.
16. Teman-teman kuliah di Fakultas Psikologi Sanata Dharma, terima
kasih atas canda dan tawanya selama ini.
17. Untuk masa laluku, makasi ya karena kalian aku jadi tau apa arti hidup
yang harus bertahan dengan sekuat hati.
18. Pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang telah ikut
membantu baik langsung maupun tidak langsung, tanpa bantuan kalian
skripsi ini tidak akan terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena
memiliki berbagai keterbatasan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Akhir kata, semoga skripsi ini berguna bagi kita semua.
Yogyakarta, Oktober 2007
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ………... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ………... xv
BAB I. PENDAHULUAN ………. ... 1
A. Latar Belakang Masalah ………... 1
B. Rumusan Masalah ……….... ... 6
C. Tujuan Penelitian ………. ... 6
D. Manfaat Penelitian ………... ... 6
BAB II. LANDASAN TEORI ... 7
A. Sikap ... 7
1. Definisi Sikap ... 7
a. Komponen kognitif ... 8
b. Komponen afektif ... 9
c. Komponen konatif ... 9
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap ... 10
a. Pengalaman pribadi ... 10
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting ... 10
c. Pengaruh kebudayaan ... 11
d. Media massa ... 11
e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama ... 11
f. Pengaruh faktor emosional ... 12
B. Perilaku Seksual ... 12
1. Pengertian Perilaku seksual ... 12
2. Tahap-tahap perilaku seksual ... 15
C. Homoseksual ... 17
1. Pengertian Homoseksual ... 17
2. Klasifikasi Homoseksual ... 20
3. Perbedaan Waria dan Homoseksual ... 25
D. Mahasiswa ... 26
E. Sikap Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Terhadap Perilaku Seksual Homoseks ...29
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 31
A. Jenis Penelitian ... 31
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 32
1. Sikap ... 32
2. Perilaku Seksual ... 32
3. Homoseksual ... 32
4. Mahasiswa Universitas Sanata Dharma... 32
D. Subjek Penelitian ... 33
E. Prosedur ………. 33
F. Teknik Pengumpulan Data ... 34
G. Estimasi Validitas dan Reliabilitas ... 37
1. Validitas ... 37
2. Reliabilitas ... 37
H. Analisis Data ... 39
BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ... 41
A. Persiapan Penelitian ... 41
1. Uji coba (try-out) alat ukur ………41
2. Analisis item ……… 42
B. Pelaksanaan Penelitian ... 42
C. Deskripsi Subjek Penelitian ... 43
D. Hasil Penelitian ……….. 43
E. Pembahasan Hasil Penelitian ... 45
BAB V. PENUTUP ... 49
A. Kesimpulan ... 49
DAFTAR PUSTAKA ... 52
LAMPIRAN ... 55
DAFTAR TABEL
Tabel I. Spesifikasi Skala Sikap Mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Yogyarta Terhadap Perilaku Seksual Homoseks...
Tabel II. Distribusi Item Sebelum Uji coba (try-out) ...
Tabel III. Blue Print Setelah Uji Coba ...
Tabel IV. Blue Print Penelitian ...
Tabel V. Gambara Subjek Penelitian ...
Tabel VI. Analisis Data Penelitian ...
Tabel VII. Hasil Analisis Umum dan Analisis Khusus ...
Tabel VIII. Hasil Analisis Teoritik dan Empirik Aspek Sikap (Kognitif)...
Tabel IX. Hasil Analisis Teoritik dan Empirik Aspek Sikap (Afektif) ...
Tabel X. Hasil Analisis Teoritik dan Empirik Aspek Sikap (Konatif) ...
Tabel XI. Hasil Analisis Teoritik dan Empirik
Tahapan Perilaku Seksual (Bergandengan) ...
Tabel XII. Hasil Analisis Teoritik dan Empirik
Tahapan Perilaku Seksual (Berpelukan) ...
Tabel XIII. Hasil Analisis Teoritik dan Empirik
Tahapan Perilaku Seksual (Berciuman) ...
Tabel XIV. Hasil Analisis Teoritik dan Empirik
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Try-out
1. Reliabilitas
2. Skala Ujicoba (try-out)
Lampiran B. Penelitian
1. Reliabilitas
2. Skala penelitian
3. Data Penelitian
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada masa sekarang ini masalah seksualitas dapat lebih terbuka untuk
dibicarakan. Banyak sekali literatur-literatur yang yang membahas tentang
seksualitas, bahkan informasi-informasi tentang seksualitas dapat diperoleh
dengan bebas dan cepat. Ini berarti masalah seksualitas cukup menarik
untuk dikaji bagi masyarakat luas. Terlebih lagi jika hal itu terjadi pada
individu yang berbeda dari individu lainnya, misalnya saja yang terjadi pada
homoseksual. Homoseks merupakan sesuatu yang unik sehingga biasanya
menarik untuk dibicarakan.
Homoseks menurut Kartini Kartono (1989) adalah ketertarikan seksual
kepada orang lain yang berjenis kelamin sama dengan dirinya sendiri
daripada kepada jenis kelamin yang berlawanan. Bagi perempuan disebut
lesbian dan bagi laki-laki disebut gay. Namun di Indonesia kata homoseks
oleh awam hanya dipakai untuk mengacu pada laki-laki homoseks. Antara
kaum homoseksual dan kaum waria memiliki suatu persamaan yaitu dalam
hal orientasi seksualnya. Mereka merupakan orang-orang yang tertarik
secara emosional maupun seksual kepada orang yang berjenis kelamin
sama. Namun dunia waria memiliki ciri khas yang membedakannya, dimana
secara psikis cenderung untuk menampilkan diri sebagai lawan jenis
(perempuan). Dengan sendirinya gejala ini menjadi sangat berbeda dengan
homoseksualitas yang semata-mata merujuk pada perilaku relasi seseorang
yang merasa tertarik dan mencintai orang lain dari jenis kelamin sama
(Manshur, dalam Wahyuningtyas, 2003). Dari segi jumlah homoseks antara
laki-laki dan perempuan, kaum gay lebih banyak ditemui daripada kaum
lesbian. Hal ini mungkin berkaitan dengan beberapa hal, misalnya
perempuan kurang ekspresif dalam seks dan cenderung tertutup, sementara
laki-laki dianggap lebih terbuka dan bebas (www.geocities.com).
Pandangan sosial budaya di Yogyakarta dan masyarakat Indonesia
umumnya masih menganggap perilaku homoseksual sebagai pola hidup dari
Negara Barat yang berusaha ditiru sekelompok kecil masyarakat
(www.kompas.com). Dalam seminar “Pemberdayaan Hak-hak Sosial Politik
bagi Masyarakat Homoseksual di Indonesia“, terungkap bahwa upaya
mengaktualisasikan kehidupan lesbian, gay, biseksual dan transjender
(LGBT) di Yogyakarta jauh lebih memprihatinkan ketimbang daerah lain,
menyusul peristiwa penyerbuan kegiatan mereka di kawasan wisata
Kaliurang Yogyakarta, 11 November silam (www.kompas.com).
Tindak kekerasan yang dilakukan sekelompok pria di Kaliurang tersebut
makin menguatkan stigma bahwa kalangan homoseksual tidak pantas diberi
ruang di tengah masyarakat. Hilarus Mero dari Perhimpunan Bantuan
Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (www.kompas.com) mengatakan,
dari minimnya perhatian Negara terhadap hak warga untuk hidup berbeda.
Belum ada satupun produk hukum yang secara gamblang mengakui hak
warga Negara untuk memilih homoseksual sebagai pilihan hidup. Selain itu
pernyataan yang juga turut mendukung yaitu pengakuan beberapa
mahasiswa di Yogyakarta yang mengatakan bahwa eksistensi mereka
sebagai kaum gay masih sering mendapat stigma dan perlakuan negatif dari
masyarakat, termasuk aparat hukum. Mereka makin bertambah was-was
seiring dengan masuknya ketentuan dalam RUU KUHP yang
mengkriminalisasi pelaku hidup bersama tanpa terikat perkawinan
(www.hukumonline.com).
Masyarakat Yogyakarta menganggap bahwa keberadaan orang-orang
yang memiliki orientasi homoseks merupakan kaum minoritas yang sering
kali diabaikan, dianggap tidak normal. Hilarus Mero juga mengatakan
bahwa semua kaum minoritas selalu sulit mendapatkan ruang gerak,
termasuk kaum homoseksual. Homoseks dianggap menyimpang dari norma
masyarakat, karena itu sangat sulit untuk mengakui orientasi yang dimiliki
(www.kompas.com). Berbagai pandangan dari masyarakat ini berkaitan erat
dengan bagaimana sikap mereka terhadap homoseksual. Seperti yang
dikemukakan oleh Thurstone dan Charles Osgood (dalam Azwar 1988)
yaitu bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap
seseorang terhadap objek adalah perasaan mendukung atau memihak
(favorable) ataupun perasaan tidak mendukung (unfavorable) objek tersebut
saling menunjang. Dalam bukunya (Azwar,1995) merumuskan komponen
tersebut sebagai komponen kognitif (kepercayaan), komponen afektif
(perasaan, emosional) dan komponen konatif (perilaku).
Keberadaan kaum homoseksual saat ini tentu saja tidak lepas dari
bagaimana sikap masyarakat terhadap mereka. Dengan adanya sikap yang
negatif (tidak mendukung/tidak setuju) terhadap keberadaan kaum
homoseksual dari masyarakat, maka dapat dimungkinkan bahwa masyarakat
juga tidak setuju terhadap perilaku seksual homoseks. Hal ini dapat
berpengaruh terhadap sikap mahasiswa terhadap perilaku seksual homoseks,
karena hampir 20 % penduduk produktifnya adalah pelajar dan terdapat 137
perguruan tinggi, maka Yogyakarta merupakan kota yang diwarnai
dinamika pelajar dan mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di
Indonesia (www.wikipedia.org).
Azwar (1998) mengatakan bahwa perilaku merupakan reaksi yang dapat
bersifat sederhana/kompleks. Masters dkk (1982:1986) melihat seksualitas
dari berbagai dimensi diantaranya dimensi biologis, dimensi psikososial dan
dimensi perilaku. Dimensi biologis memandang dari fungsi seksualitas
sebagai cara mendapatkan keturunan, hasrat seksual dan kepuasan seksual.
Dimensi psikososial menyatakan bahwa seksualitas melibatkan faktor
psikososial yaitu adanya emosi, pikiran dan kepribadian yang terlibat.
Seksualitas dari dimensi perilaku atau disebut perilaku seksual adalah hasil
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana
sikap mahasiswa Yogyakarta terhadap perilaku seksual homoseks, dimana
masyarakat Yogyakarta belum bisa menerima kaum homoseksual. Padahal
sejumlah daerah di luar Jawa justru mengakui keberadaan homoseks.
Misalnya di Sulawesi Selatan, kaum homoseks (orang Bugis biasa
menyebutnya bissu/calabay) mendapat posisi sebagai penasihat raja dan
sangat berkuasa dalam mengurusi banda pusaka (Oetomo, 2001).
Sebagaimana kita tahu bahwa mahasiswa adalah golongan pemuda
(18-30 tahun) yang secara resmi terdaftar pada salah satu Perguruan Tinggi dan
aktif dalam Perguruan Tinggi yang bersangkutan (Sarlito, dkk 1979),
sehingga berdasarkan usia, mereka dapat digolongkan pada usia dewasa
awal. Pada usia dewasa awal, seseorang sudah harus menyesuaikan diri
dengan kehidupan baru, mampu mencari jalannya sendiri, tidak dikuasai
oleh orang tua, mampu mengungkapkan perasaan-perasaannya dan mampu
menemukan kelompok sosial yang cocok (Hurlock, 1999). Dengan
demikian, mereka diharapkan dapat mengungkapkan sikap mereka sendiri
terhadap perilaku seksual homoseks, yang mungkin saja berbeda dari sikap
masyarakatnya.
Peneliti juga hanya membatasi pada kaum gay saja karena ditemukannya
perilaku yang berbeda-beda pada masing-masing orang dalam merespon
sesuatu termasuk didalamnya merespon terhadap stimulus yang sifatnya
erotik (Masters dkk, 1986), yang berarti bahwa antara laki-laki dan
termasuk juga stimulus yang bersifat erotik. Dalam hal ini berarti bahwa
kaum gay lebih dapat terbuka dalam mengungkapkan orientasi seksualnya
daripada kaum lesbian sehingga perilaku seksualnya akan lebih mudah
untuk diamati. Selain itu juga karena kaum gay lebih banyak ditemui
daripada kaum lesbian.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana sikap mahasiswa Sanata Dharma Yogyakarta terhadap
perilaku seksual homoseks?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sikap mahasiswa
Sanata Dharma Yogyakarta terhadap perilaku seksual homoseks.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi
ilmu psikologi khususnya psikologi sosial.
2. Manfaat praktis:
a. Bagi mahasiswa dan masyarakat luas: dapat mengetahui sikap
mahasiswa Sanata Dharma Yogyakarta (penerimaan/penolakan)
terhadap perilaku seksual homoseksual.
b. Bagi homoseksual: dengan mengetahui adanya sikap
(menolak/menerima) dari mahasiswa, sehingga diharapkan kaum
homoseksual dapat menempatkan diri ketika akan melakukan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. SIKAP
1. Definisi Sikap
Sikap memiliki beberapa definisi yang berbeda-beda. Sikap
merupakan suatu kecenderungan seseorang untuk berperilaku atau
melakukan tindakan yang sesuai dengan pikiran dan perasaan orang
tersebut terhadap sesuatu hal tertentu. Individu tersebut akan bertindak
sesuai dengan apa yang diyakininya. Menurut Secord dan Backman
(dalam Azwar, 1988), sikap adalah keteraturan dalam hal perasaan
(afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang
terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Menurut Louis Thurstone
dan Charles Osgood (dalam Azwar, 1988), sikap adalah suatu bentuk
evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap objek adalah
perasaan mendukung atau memihak ataupun perasaan tidak mendukung
objek tersebut (Azwar, 1988).
Menurut Allport, sikap merupakan semacam kesiapan untuk
bereaksi terhadap sesuatu objek dengan cara-cara tertentu (dalam Azwar,
1988). Sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap objek
di lingkungan tertentu sebagai penghayatan terhadap objek tertentu
(Mar’at, 1981). Sikap terutama digambarkan sebagai kesiapan untuk selalu
menetap dan proses motivasional, emosional, perceptual dan kognitif
(Sears, 1994). Sikap negatif adalah kecenderungan untuk menjauhi,
membenci, menghindari ataupun tidak menyukai keberadaan suatu objek,
sedangkan sikap positif adalah memunculkan kecenderungan untuk
menyenangi, mendekati, menerima atau bahkan mengharapkan kehadiran
objek tertentu (Rukminto, 1994).
Sikap merupakan kemampuan internal yang berperanan sekali
dalam mengambil tindakan (Winkel, 1991). Sikap juga relatif stabil,
kecenderungan menetap untuk berpikir, merasakan dan bertindak dengan
jalan yang konsisten mengenai objek tertentu, peristiwa, orang-orang,
situasi atau konsep-konsep (Chaplin, 1985).
Dari definisi-definisi diatas, peneliti mengambil arti sikap yang
merupakan bentuk evaluasi atau reaksi perasaan, yaitu perasaan
mendukung atau memihak ataupun perasaan tidak mendukung dari objek
tersebut.
2. Komponen Sikap Dan Interaksinya
Dalam bukunya, Azwar (1995) menjelaskan bahwa ada tiga
komponen sikap, yaitu:
a. Komponen Kognitif
Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa
yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. Kepercayaan datang
Berdasarkan apa yang telah dilihat itu kemudian terbentuk suatu ide
atau gagasan mengenai sifat dan karakteristik umum suatu objek. Sekali
kepercayaan ini terbentuk, maka ia akan menjadi dasar pengetahuan
seseorang untuk membuat harapan-harapan. Komponen kognitif
dipengaruhi oleh pengalaman pribadi seseorang, apa yang diceritakan
orang lain mengenai objek sikap, dan kebutuhan emosional dirinya
sendiri. Mann (dalam Azwar, 1995) menyebutkan bahwa komponen
kognitif berisi persepsi, kepercayaan dan stereotipe yang dimiliki
individu mengenai sesuatu.
b. Komponen Afektif
Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif atau
perasaan yang dimiliki seseorang terhadap suatu objek sikap. Mar’at
(1981) menambahkan bahwa dalam komponen afektif terdapat evaluasi
negatif atau positif, berupa perasaan suka-tidak suka terhadap suatu
objek sikap. Komponen afektif ini berpengaruh besar dalam
pembentukan dan penghayatan sikap (Azwar, 1995).
c. Komponen Konatif atau Perilaku
Komponen mi menunjukkan perilaku atau kecenderungan
berperilaku dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang
dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan
perasaan banyak mempengaruhi perilaku. Kecenderungan berperilaku
membentuk sikap individual. Sikap ini akan tercermin dalam bentuk
tendensi perilaku dengan cara tertentu terhadap objek.
Interaksi yang terjadi antara ketiga komponen mi bersifat selaras
dan konsisten, dalam arti apabila dihadapkan pada satu objek yang
sama, ketiga komponen itu harus menuju kearah sikap yang sama. Jika
ada salah satu di antara ketiga komponen sikap yang inkonsisten dengan
yang lain, maka akan terjadi ketidakselarasan yang akan menyebabkan
timbulnya mekanisme perubahan sikap sedemikian rupa sehingga
konsistensi itu tercapai kembali (Azwar, 1995). Sebagai contoh, ketika
A mempunyai anggapan bahwa B adalah orang yang jahat (komponen
kognitif), ia menjadi tidak menyukai B (komponen afektif) sehingga A
selalu menghindari pembicaraan dengan B (komponen konatif). Dalam
hal ini A mempunyai sikap negatif terhadap B. Tetapi ketika suatu saat
B menolong A di saat A benar-benar membutuhkan pertolongan, A
merasa senang dengan perlakuan B. Pada saat itulah terjadi
inkonsistensi pada komponen afektif. Maka secara alami akan terjadi
perubahan sikap untuk menyeimbangkan kembali inkonsistensi
tersebut. Pada akhimya A yang semula mempunyai sikap negatif
terhadap B bisa berubah menjadi positif.
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap
Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap
tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Menurut
a. Pengalaman Pribadi
Pengalaman seseorang yang berkaitan dengan objek psikologis
akan membentuk suatu respon atau tanggapan. Tanggapan ini menjadi
salah satu dasar terbentuknya sikap. Middlebrook (1974)
mengemukakan bahwa jika tidak ada pengalaman pribadi sama sekali
dengan suatu objek psikologis, sikap yang terbentuk akan cenderung
negatif terhadap objek tersebut.
b. Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting
Seseorang yang berarti khusus bagi individu, seseorang yang
diharapkan persetujuannya bagi tingkah laku dan pendapat individu,
atau seseorang yang tidak ingin dikecewakan, akan banyak
mempengaruhi pembentukan sikap individu tersebut terhadap sesuatu.
Orang yang biasanya dianggap penting bagi individu adalah orang tua,
orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat,
guru, teman kerja, istri, atau suami, dan lain-lain.
Pada umumnya, individu cenderung memiliki sikap yang
konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting.
Kecenderungan ini dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan
keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap
penting tersebut.
c. Pengaruh Kebudayaan
Kebudayaan di mana individu hidup dan dibesarkan mempunyai
disadari, kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap individu
terhadap berbagai masalah. Kebudayaan membentuk pengalaman
individu yang mengikutinya.
d. Media Massa
Sebagai sarana penyampaian informasi, media massa seringkali
membawa pesan-pesan yang mengandung sugesti. Pesan-pesan sugestif
yang dibawa oleh informasi tersebut akan memberi dasar afektif dalam
menilai sesuatu sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama mempunyai
pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan
dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman
akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak
boleh dilakukan diperoleh dan ajaran-ajaran agama yang dianut.
f. Pengaruh Faktor Emosional
Kadang-kadang suatu sikap merupakan pemyataan yang didasari
oleh emosi yang berfungsi sebagai penyaluran frustrasi dan pengalihan
bentuk mekanisme pertahanan ego. Hal ini bisa bersifat sementara
maupun menetap. Sikap yang dipengaruhi faktor emosional biasanya
B. PERILAKU SEKSUAL
1. Pengertian Perilaku seksual
Perilaku merupakan reaksi yang dilakukan individu terhadap
stimulus yang diterimanya. Chaplin (1989) membagi perilaku menjadi 2
yaitu perilaku yang langsung dapat diamati/overt behavior dan perilaku
sebagai proses mental yang tidak langsung dapat diamati/covert
behavior. Perilaku yang dapat diamati, dicatat dan diukur secara
langsung meliputi apa yang dilakukan, dikatakan dan ditulisnya.
Perilaku yang tidak dapat diamati, dicatat dan diukur secara langsung
meliputi proses mental seperti perasaan, harapan, sikap, pikiran,
ingatan, motivasi, persepsi, kepercayaan, tanggapan yang ada diotak,
dan proses mental lainnya.
Morgan (1987), mengartikan perilaku seksual sebagai segala
sesuatu yang dapat dilakukan individu dan yang dapat diobservasi baik
secara langsung maupun tidak langsung. Morgan (1987), juga
menjelaskan bahwa perilaku itu dapat diukur dengan melihat apa yang
dilakukan seorang individu dan mendengarkan apa yang dikatakannya,
sehingga dapat dibuat suatu kesimpulan mengenai perasaan, sikap,
pemikiran dan proses mental yang melatarbelakangi dan yang sedang
terjadi.
Perilaku merupakan reaksi yang dilakukan individu terhadap
merupakan reaksi yang dapat bersifat sederhana dan kompleks. Artinya
stimulus yang sama belum tentu menimbulkan reaksi yang sama dan
sebaliknya reaksi yang sama belum tentu karena stimulus yang sama.
Sementara itu menurut Masters dkk (1986), seksualitas berasal dari
dimensi pribadi yang menunjukkan bagaimana seseorang merespon
sesuatu yang sifatnya erotis. Seksualitas adalah hal yang sangat unik
karena proses ini bersifat sangat pribadi. Masalah seksualitas selalu
menarik bagi manusia dari waktu ke waktu, terlihat dari tema
seksualitas yang selalu ada dalam sejarah dan literatur. Nilai-nilai dalam
seksualitas dipengaruhi oleh agama, filosofi, sistem sosial, dan pola
hidup manusia yang sangat kompleks.
Menurut Martono (dalam Hanani,1995), seksualitas merupakan
energi psikis atau kekuatan yang mendorong organisme untuk
melakukan sesuatu yang sifatnya seksual, baik untuk tujuan reproduksi
maupun tujuan lain. Sarwono (1994), menyatakan bahwa pengertian
seksualitas dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengertian dalam arti
sempit dan dalam arti luas. Pengertian dalam arti sempit ialah bahwa
seksualitas berarti kelamin yang terdiri dari alat kelamin,
anggota-anggota tubuh dan ciri-ciri badaniah yang membedakan laki-laki dan
perempuan, kelenjar dan hormon kelamin, hubungan seksual, serta
pemakaian alat kontrasepsi. Pengertian dalam arti luas adalah bahwa
adanya perbedaan jenis kelamin, seperti perbedaan tingkah laku, atribut,
peran atau pekerjaan, dan hubungan laki-laki dan perempuan.
Master dkk (1982;1986), melihat seksualitas dari berbagai dimensi
diantaranya dimensi biologis, dimensi psikososial, dan dimensi
perilaku. Dimensi biologis memandang dari fungsi seksualitas sebagai
cara mendapatkan keturunan, hasrat seksual dan kepuasan seksual.
Dimensi psikososial menyatakan bahwa seksualitas melibatkan faktor
psikososial yaitu adanya emosi, pikiran, dan kepribadian yang terlibat.
Seksualitas dari dimensi perilaku atau disebut perilaku seksual adalah
hasil dari perpaduan dimensi biologis dan psikososial.
Kallen, dkk (1984), menyatakan bahwa perilaku seksual
merupakan salah satu perilaku sosial yang diatur melalui norma-norma
dan dipelajari melalui proses sosialisasi. Perilaku seksual dapat
ditujukan pada lawan atau sesama jenis dan bertujuan untuk
memperoleh kepuasan serta dipengaruhi oleh pola-pola belajar yang
diperoleh individu melalui proses belajar (Isriati, 1999). Lebih lanjut
dijelaskan oleh Faturochman (1990), bahwa perilaku seksual
sebenarnya perilaku yang wajar dalam arti sebagian besar manusia pada
akhirnya mengalami hal itu. Perilaku seksual melibatkan orang lain
berarti perilaku seksual merupakan perilaku sosial. Seperti perilaku
sosial yang lain, maka perilaku seks dalam kehidupan sosial diatur
seksual menyatakan bahwa hubungan seksual hanya bisa dilakukan
dalam lembaga perkawinan.
Sementara itu Sarwono (1994), menyatakan bahwa bentuk ekspresi
seksualitas diantaranya adalah masturbasi, percumbuan, dan hubungan
seksual. Sedangkan Master dkk (1982), berpendapat bahwa perilaku
seksual tidak hanya aktivitas seks saja seperti masturbasi, berciuman,
sampai bersenggama. Namun menyangkut berkencan, bercumbu dan
membaca bacaan porno. Objek seksual dalam hal ini bisa berupa orang
lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri (Sarwono, 2002).
Stimulus-stimulus erotis tersebut muncul akibat dari dorongan seksual pada masa
remaja (Jersild, 1963).
Masters dkk (dalam Naryanti, 2001), secara garis besar melihat
perilaku seksual dalam dua bentuk, yaitu noncoital sex play (perilaku
seksual tanpa coitus/sanggama) dan coital sex play ( perilaku seksual
dengan coitus/sanggama). Banyak yang mendiskripsikan semua
aktivitas seksual sebelum melakukan intercouse disebut foreplay yang
artinya permulaan untuk melakukan intercouse. Terkadang aktivitas
yang menyerupai foreplay dilakukan sesudah melakukan intercouse
yang disebut afierplay. Bila hanya melakukan foreplay tanpa
dilanjutkan dengan intercouse maka disebut noncoital seks play.
Dari definisi-definisi yang telah disebutkan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku seksual adalah
melibatkan dimensi biologis (sebagai hasrat seksual, kepuasan sosial)
dan dimensi psikososial (melibatkan emosi, pikiran dan kepribadian).
2. Tahap-tahap Perilaku Seksual
Master dkk (dalam Naryanti, 2001), membuat pengertian tahap-tahap
perilaku seksual sebagai berikut:
a. Memegang dan bergandengan tangan
Memegang dan bergandengan tangan adalah salah satu bentuk dari
sentuhan. Sentuhan adalah salah satu bentuk perilaku dan dapat berarti
beberapa hal. Menyentuh sebagai salah satu bentuk komunikasi,
contohnya memberi selamat, mengucapkan salam, dan lain-lain. Sentuhan
dapat berarti pula untuk mendapatkan kesenangan seksual. Tingkat yang
lebih tinggi lagi yaitu untuk memberikan rasa nyaman dan kepercayaan.
b. Berpelukan
Berpelukan adalah salah satu satu bentuk sentuhan fisik dimana
dua orang saling merapatkan tubuh yang dapat berarti simbol afeksi dan
dapat bersifat sangat sensual.
c. Berciuman
Berciuman adalah salah satu bentuk sentuhan yang dapat berarti
simbol afeksi dan dapat bersifat sangat sensual. Ciuman dapat berupa
ciuman ringan seperti cium kening, cium pipi, dan dapat berupa ciuman
d. Menyentuh dengan memberi stimulasi untuk kesenangan seksual
pada bagian tubuh yang peka, contohnya menyentuh payudara. Biasanya
dilakukan pria kepada wanita.
e. Memegang alat kelamin
Memberi stimulasi pada alat vital akan memberi kesenangan secara
seksual, sebab daerah genital adalah tempat yang sangat sensitif untuk
disentuh. Bila pasangan saling memegang alat kelamin kemudian memberi
stimulasi secara kontinyu, sering disebut saling memasturbasi.
f. Petting
Petting adalah kontak fisik antara pria dan wanita dalam usaha
menghasilkan kesenangan seksual tanpa coitus (tanpa masuknya penis ke
vagina). Ada pendapat bahwa petting dilakukan untuk membantu
mempersiapkan organ genital sebelum seseorang siap untuk melakukan
penetrasi (memasukkan penis ke vagina). Petting sering disebut hampir
melakukan hubungan seksual. Terdapat pendapat bahwa petting dilakukan
untuk mengekspresikan perilaku seksual, namun tetap menjaga
keperawanan.
g. Oral genital seksual
Oral genital seksual adalah perilaku seksual yang menekankan
pemberian stimulus genital oleh mulut. Pemberian stimulus genital oleh
mulut juga sering dilakukan sebelum orang melakukan coital seksual. Oral
genital seksual yaitu memberi stimulasi pada alat kelamin laki-laki dengan
alat kelamin wanita dengan mulut dan lidah disebut cunnilingus. Oral
genital seksual dapat berupa jilatan, hisapan, ciuman, dan gigitan.
h. Anal seksual
Anal seksual adalah perilaku seksual dengan penetrasi anus oleh
penis pria atau dengan benda lain. Pasangan dengan orientasi homoseksual
sering menggunakan metode ini untuk aktivitas seksualnya. Saat ini
terdapat pasangan heteroseksual yang mencoba anal seksual, tapi cara ini
tidak dianjurkan sebab rektum (anus) dapat menjadi luka.
Perilaku seksual homoseksual yang dimaksud disini adalah
perilaku yang langsung dapat diamati /overt behavior yaitu perilaku
bergandengan tangan, berpelukan, berciuman dan meraba organ seks.
C. HOMOSEKSUAL
1. Pengertian Homoseksual
Homoseks berasal dari bahasa Yunani "homo" yang berarti
manusia sejenis, bukan berasal dari bahasa bahasa latin "homo" yang
berarti lelaki. Batasan ini jelas menekankan pada kesamaan jenis dua
manusia yang terlibat dalam hubungan seksual (Hawkins, dalam
Thadeus, 2003).
Menurut Chaplin (1999), homoseksualitas ini bisa mencakup
segenap jajaran tingkah laku, dari seksualitas yang tampak jelas yaitu
masturbasi timbal balik, menjilat kemaluan wanita (cunniliction)
menggesek-gesekkannya dengan bibir serta lidah untuk membangkitkan orgasme
(fellatio), atau persenggaman dubur (anal intercourse) sampai pada
hasrat terhadap lawan jenis kelamin yang ditekan kuat-kuat.
Menurut Oetomo (2001), orang homoseks adalah orang yang
orientasi atau pilihan seks pokok atau dasarnya, entah diwujudkan atau
dilakukan ataupun tidak, diarahkan kepada sesama jenis kelaminnya.
Oetomo mengungkapkan bahwa seksualitas homoseksual adalah segala
sesuatu yang berkaitan dengan seks dalam diri seorang homoseksual
yang terdiri atas 3 aspek, yaitu:
1. Orientasi (arah atau sasaran) seksual:
Orientasi seksual disini menunjukkan arah atau sasaran
ketertarikan fisik dan emosi pada orang lain, apakah itu pada
sesama jenis kelamin atau lawan jenisnya atau kedua-duanya.
Orientasi seks merupakan bagian yang manunggal (integral) dan
tidak dapat diubah dari dalam diri. Oleh karena masyarakat
cenderung menekankan heteroseksualitas sebagai norma, maka
banyak orang berorientasi homoseks menolak, menyembunyikan
atau menekan orientasi seksualnya.
2. Identitas (jati diri atau konsep diri) seksual:
Identitas seksual berkaitan dengan bagaimana individu
mmandang dirinya dan menghadirkan dirinya pada orang lain.
Bagi orang yang beridentitas homoseks, hal ini dapat menyebabkan
kebingungan dan kecemasan pada individu homoseksual. Untuk
itulah, seorang homoseksual diminta untuk berani coming out atau
keluar dari identitas palsu atau semu.
3. Perilaku (perbuatan atau kegiatan) seksual:
Perilaku seksual adalah cara-cara untuk menyatakan atau
mengekspresikan diri secara seksual atau perbuatan dan kegiatan
seksual yang dilakukan.
Menurut Sukadana (dalam Oetomo, 2001), terdapat 2 hubungan
homo seksual, yang diwujudkan antar laki-laki yaitu:
1. Hubungan yang non-genital (tidak melibatkan alat kelamin).
Contoh: mengagumi orang sesama jenis, merasa dekat dengan orang
sesama jenis sehingga menggandeng tangan, memeluk, mencium
atau membelai-belai bagian-bagian tubuh yang bukan alat kelamin.
2. Hubungan yang genital (melibatkan alat kelamin).
a. Hubungan tanpa kontak langsung, seperti masturbasi dual.
b. Hubungan dengan kontak langsung, seperti masturbasi
mutual, koitus interfemoral (sela paha), dan koitus oral atau
anal.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, homoseks dapat diartikan
sebagai seseorang yang merasa tertarik secara seksual terhadap orang
lain yang berjenis kelamin sama, yang diwujudkan dalam bentuk
2. Klasifikasi Homoseksual
Ada beberapa klasifikasi homoseksual yang dikemukakan oleh
beberapa tokoh, diantaranya oleh Tripp. Tripp (dalam Mayasari, 2001)
mengklasifikasikan homoseksual berdasarkan kualitas perilakunya
menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
a. Homoseksual Eksklusif
Homoseksual eksklusif yaitu ketertarikan erotis seseorang hanya pada
sesama jenis, daya tarik lawan jenis tidak dapat memunculkan minat
seksual orang tersebut. Mereka biasanya baik secara terbuka maupun
tertutup mcngakui identitas seksual mereka adalah homoseksual.
b. Homoseksual Fakultif
Homoseksual fakultatif yaitu pada situasi-situasi yang tertentu perilaku
homoseksual dilakukan untuk menyalurkan dorongan seksualnva
karena tidak adanya pasangan lawan jenis. Identitas seksual yang diakui
dari orang-orang yang terrnasuk dalam kelompok ini biasanya adalah
heteroseksual.
c. Biseksual.
Biseksual yaitu orang yang dapat memperoleh kepuasan erotis baik:
dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis. Identitas seksual yang
diakui biasanya antara biseksual atau heteroseksual.
Coleman, dkk (1988) juga membagi homoseksual dalam beberapa
a. Blantant Homosexuals (homoseksual Tulen)
Blantant Homosexuals lebih dikenal dengan istilah stereotipi
homoseksual, karena jenis ini memenuhi gambaran stereotipik populer
tentang laki-laki yang keperempuanan (Coleman, dkk, dalam
Supratiknya, 1995) sehingga mempunyai ciri-ciri berbicara berdesis dan
ayunan tangan yang lemah gemulai sebagai karikatur kewanitaannya.
Kaum yang tergolong blantant homosexuals ialah (tranventif yaitu
individu-individu yang lebih senang memakai pakaian dan sering
berperilaku sebagai lawan jenis seksnya atau lebih sering disebut
dengan waria).
b. Desperate Homosexuals (HomoseksualMalu-Malu).
Desperate Homosexuals yaitu kaum Iaki-laki yang lebih senang
mendatangi tempat-tempat umum seperti toilet umum atau steambath
(tempat mandi uap); kelihatannya seperti untuk memenuhi dorongan
rangsangan dari homosexual behaviour, namun tidak berani
mengadakan hubungan pribadi untuk melakukan perilaku
homoseksualitasnva. selain itu mereka mengadakan komunikasi yang
dilakukan secara berbisik-bisik dan menutupi identitasnya.
c. Secret Homosexuals (Homoseksual Tersembunyi).
Kebanyakan anggota kelompok ini berasal dari lapisan sosial kelas
menengah dan memiliki status yang dirasa perlu dilindungi (Coleman,
dkk, dalam Supratiknya, 1995), sehingga mereka tetap mempertahankan
homoseksualitas yang mereka miliki. Kebanyakan dari mereka menikah
dan mengenakan cincin kawin agar tidak diketahui orientasi seksualnya
yang cenderung tertarik pada sesama jenis. Sebagian besar
tingkungannya tidak mengetahui bahwa ia hidup dalam 2 (dua) dunia.
Homoseksualitas mereka biasanya hanya diketahui oleh orang-orang
tertentu yang jumlahnya sangat terbatas, seperti sahabat-sahabat karib
dan kekasih mereka (Coleman, dkk, dalam Supratiknya, 1995).
d. Situasional Homosexuals (Homoseksual Situasional).
Situasional Homosexuals adalah individu yang melakukan kegiatan
homoseksual akibat situasi saat itu yang dapat mendorong orang
mempraktikkan homoseksualitas tanpa disertai komitmen yang
mendalam (Coleman, dkk, dalam Supratiknya, 1995), seperti di penjara,
medan perang, atau tempat-tempat isolasi. Akibatnya, setelah mereka
lepas dari situasi tersebut, biasanya mereka akan kembali menjadi
heteroseksual.
e. Bisexuals (Biseksual).
Bisexuals yaitu individu yang dapat mengadakan hubungan
homoseksual dan heteroseksual sekaligus selama periode
kehidupannnya. Individu yang termasuk kategori ini adalah desperate
homosexuals, walaupun individu tersebut telah menikah.
f. Adjusted Homosexuals (Homoseksual Mapan).
Golongan ini dapat menerima keadaan dirinya (homoseksualitasnya),
jawab, memenuhi aturan sosial, dan membentuk atau mengikatkan diri
dengan komunitas homoseksual setempat.
Bell dan Weinberg (dalam Mayasari, 2001) mengklasifikasikan
homoseksual berdasarkan tipe hubungan yang dilakukannya menjadi 5
(lima) tipe, yaitu:
a. Close Coupled.
Close Coupled merupakan sebuah relasi antara dua orang
homoseksual yang terikat oleh sebuah komitmen seperti halnya
sebuah perkawinan dalam dunia heteroseksual.
b. Open Coupled.
Open Coupled merupakan sebuah bentuk hubungan antara dua
orang homoseksual yang terikat oleh sebuah komitmen tetapi
memungkinkan terjadinya hubungan lain di luar komitmen
tersebut, namun tipe hubungan ini seringkali mengalami banyak
permasalahan, misalnya kecemburuan.
c. Functional.
Functional adalah seorang homoseksual yang tidak terikat suatu
komitmen dengan seseorang tetapi memiliki pasangan seksual yang
cukup banyak.
d. Dysfunctional.
Dysfunctional adalah seorang homoseksual yang tidak memiliki
pasangan yang tetap dan memiliki banyak pasangan seksual, tetapi
e. Asexual.
Asexual adalah seorang homoseksual yang kurang memiliki
keinginan untuk mencari pasangan, baik pasangan tetap maupun
pasangan seksual.
Dari segi psikiatri (dalam Sukadana, 1987), ada 2 (dua) macam
homoseksual, yaitu:
a. Homoseksual Ego Sintonik (sinkron dengan egonya).
Seorang homoseks ego sintonik adalah seorang homoseks
yang tidak merasa terganggu oleh orientasi seksualnya, tidak ada
konflik bawah sadar yang ditimbulkan, serta tidak ada desakan,
dorongan, atau keinginan untuk mengubah orientasinya. Dengan
kata lain, kaum homoseks ini sangat menerima keadaan dirinya dan
hidup dengan senang sebagai homoseksual.
b. Homoseksual Ego Distonik (tidak sinkron dengan egonya).
Kaum homoseks ini tidak bisa menerima keadaan dirinya
atau merasa dirinya tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat, sehingga mereka terus-menerus berada dalam
keadaan konflik batin selama hidupnya. Seorang homoseks ego
distonik adalah homoseks yang mengeluh dan merasa terganggu
dengan konflik psikis. la sedikit sekali terangsang dengan lawan
jenisnya atau bahkan tidak sama sekali dan ini menyebabkan
hambatan untuk mcmulai dan mempertahankan hubungan
ia menyatakan dorongan homoseksualnya menyebabkan ia merasa
tidak disukai, cemas, dan sedih. Konflik psikis tersebut
menyebabkan perasaan bersalah, kesepian, malu, cemas, dan
depresi. Oleh karenanya, homoseksual macam ini dianggap
gangguan psikoseksual.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis/klasifikasi
dari homoseksual yang tergolong dalam homoseksual mapan
(Coleman, 1988) yang dapat menerima keadaan dirinya, dapat
memenuhi aturan sosial, dan dapat membentuk/mengikatkan diri
dengan komunitas homoseksual setempat. Tidak termasuk
didalamnya golongan biseksual, karena biseksual mempunyai
ketertarikan pada laki-laki dan perempuan, sedangkan homoseks
dalam penelitian ini hanya mengambil ketertarikan pada sesama
jenis saja, khususnya laki-laki.
3. Perbedaan Waria dan Homoseksual
Secara umum, waria memiliki ciri khas yang membedakannya
dengan homoseksual, dimana secara fisik jenis kelamin mereka normal
(dalam hal ini laki-laki), namun secara psikis cenderung untuk
menampilkan diri sebagai lawan jenis (perempuan). Berbeda dengan
homoseksual yang semata-mata merujuk pada perilaku relasi seseorang
yang merasa tertarik dan mencintai orang lain dari jenis kelamin yang
Kaum waria merupakan laki-laki yang bersifat, bertingkah laku,
serta berperasaan seperti wanita (www.forum.literatica.com), karena
dirinya merasa terjebak (terperangkap) di dalam tubuh yang salah
dalam gender yang sebenarnya dan mereka memperoleh kesenangan
dengan memainkan peran sosial lawan jenisnya, sehingga secara fisik
mereka berusaha mengadakan perubahan sesuai dengan karakteristik
khas perempuan seperti bentuk tubuh yang sintal dan suara yang lembut
(Supraktiknya, 1995).
Sedangkan pria homoseksual manyadari bahwa dirinya laki-laki,
tapi tertarik pada sesama jenis. Karena menyadari dirinya seorang
laki-laki, maka seorang homoseksual pria bisa jadi berpenampilan sangat
maskulin (www.kompas.com). Seorang homoseks tidak merasa perlu
berpenampilan dengan memakai pakaian wanita karena ia memang
tidak menganggap dirinya sebagai seorang wanita.
D. MAHASISWA
Mahasiswa adalah sebutan bagi mereka yang menjalankan studi di
perguruan tinggi. Direktorat Kemahasiswaan Ditjen Perguruan tinggi dan
Departemen P dan K (dalam Sarlito Wirawan Sarwono dan kawan-kawan
1979) mendefinisikan mahasiswa sebagai golongan pemuda (umur 18-30
tahun) yang secara resmi terdaftar pada salah satu perguruan tinggi dan
aktif dalam perguruan tinggi yang bersangkutan. Sehingga mahasiswa
berusia 18-30 tahun yang secara resmi terdaftar pada Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta dan aktif dalam Universitas Sanata Dharma. Menurut
Hurlock (1999), batasan umur dewasa awal adalah 18-40 tahun, dengan
demikian, mahasiswa dapat digolongkan pada usia dewasa awal. Dimana
ciri-ciri masa dewasa awal adalah
1. Masa dewasa awal sebagai “Masa pengaturan”
Hari-hari kebebasan telah berakhir dan saatnya tiba untuk
menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa.
2. Masa dewasa awal sebagai “Usia Reproduktif”
Menjadi orang tua merupakan salah satu peran yang paling penting
dalam hidup orang dewasa.
3. Masa dewasa awal sebagai “Masa Bermasalah”
Mereka sudah dapat membeikan suaranya, memiliki harta benda,
kawin tanpa persetujuan orang tua, namun kebebasan baru ini
menimbulkan masalah-masalah yang berhubungan dengan
penyesuaian diri dalam berbagai aspek kehidupan orang dewasa.
4. Masa dewasa awal Masa Ketegangan Emosional
Emosi yang menggelora merupakan ciri tahun-tahun awal. Ketika
mereka melihat dunia dari menara gading mereka tidak menyukai
apa yang mereka lihat dan ingin mengubahnya.
5. Masa dewasa awal sebagai Masa Keterasingan Sosial
Keterlibatan dalam kegiatan kelompok diluar rumah akan terus
6. Masa dewasa awal sebagai Masa Komitmen
Sebagai orang dewasa yang mandiri, maka mereka harus dapat
menentukan pola hidup baru, memikul tanggung jawab baru dan
membuat komitmen-komitmen baru.
7. Masa dewasa awal Sering Merupakan Masa Ketergantungan.
Meskipun telah resmi mencapai status dewasa pada usia 18 tahun,
banyak orang muda yang masih agak tergantung pada orang lain
selama jangka waktu yang berbeda-beda. Ketergantungan ini
misalnya pada orang tua yang membiayai pendidikan mereka.
8. Masa dewasa awal sebagai Masa Perubahan Nilai
Banyak nilai masa kanak-kanak dan remaja berubah karena
pengalaman dan hubungan sosial yang lebih luas dengan
orang-orang yang berbeda usia. Alasan yang menyebabkan perubahan
nilai pada masa dewasa awal karena:
a. Jika orang muda dewasa ingin diterima oleh anggota–
anggota kelompok orang dewasa, mereka harus menerima
nilai-nilai kelompok ini.
b. Kebanyakan kelompok sosial berpedoman pada nilai-nilai
konvensional dalam hal keyakinan dan perilaku.
9. Masa dewasa awal sebagai Masa Penyesuaian diri dengan Cara
Dalam masa dewasa ini gaya-gaya hidup baru paling menonjol di
bidang perkawinan dan peran orang tua. Perkawinan sesudah
kehamilan tidak dianggap hal yang perludirahasiakan seperti dulu.
10.Masa dewasa awal sebagai Masa Kreatif
Orang muda banyak yang bangga karena lain dari yang umum.
Bentuk kreatifitas tergantung pada minat dan kemampuan
individual, kesempatan untuk mewujudkan keinginan dan kegiatan
yang memberikan kepuasan sebesar-besarnya.
Bradbury (1975) menyatakan bahwa sejak usia 20 tahun sampai
pada usia 30-an, orang menemukan diri mereka dalam suatu dunia baru.
Mereka kini bebas. Orang tua tidak lagi menguasai mereka. Masyarakat
menerima mereka sebagai anggota penuh dan sebaliknya memberi mereka
kesempatan untuk menyumbangkan sesuatu kepada masyarakat. Namun,
justru karena kesempatan mereka begitu besar, kaum dewasa awal
menghadapi tanggung jawab yang sama besarnya, yaitu mereka harus
menentukan pola hidup mereka sendiri.
Tugas perkembangan lainnya dari masa dewasa awal adalah
menemukan kelompok sosial yang cocok (Hurlock. 1999). Dalam
menyesuaikan diri dengan kelompok-kelompok sosial yang dimasukinya,
orang dewasa awal perlu bersikap terbuka dan mampu mengungkapkan
perasaan-perasaan, kebutuhankebutuhan, dan ide-idenya pada orang lain
agar orang lain dapat mengerti dan memahami keinginan, perasaaan dan
menyesuaikan diri dengan kelompok-kelompok sosial tersebut. Selain itu
juga pada masalah agama, biasanya sesudah orang menjadi dewasa, ia
telah dapat mengatasi keragu-raguan di bidang kepercayaan atau
agamanya, yang mengganggunya apa waktu ia masih remaja. Setelah
menjadi dewasa ia biasanya sudah mempunyai suatu pandangan hidup,
yang didasarkan pada agama, yang memberikan kepuasan baginya
(Hurlock, 1999).
Oleh karena itu, mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta diharapkan dapat mengungkapkan sikap mereka secara
terbuka terhadap perilaku seksual yang terjadi pada homoseksual, karena
seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa pada usia dewasa awal,
mereka sudah harus menyesuaikan diri dengan kehidupan baru, mampu
mencari jalannya sendiri, tidak dikuasai oleh orang tua, mampu
mengungkapkan perasaan-perasaannya, serta mampu menemukan
kelompok sosial yang cocok.
E. SIKAP MAHASISWA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA TERHADAP PERILAKU SEKSUAL HOMOSEKS
Sikap mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta terhadap
perilaku seksual homoseksual yang dimaksud disini adalah bagaimana
sikap mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, apakah
mendukung atau tidak mendukung terhadap perilaku seksual homoseks.
mendukung/memihak/setuju terhadap perilaku seksual. Sedangkan jika
mempunyai sikap yang negatif yaitu tidak mendukung/tidak
memihak/tidak setuju terhadap perilaku seksual homoseks, karena pada
seminar “Pemberdayaan Hak-hak Sosial Politik bagi Masyarakat
Homoseksual di Indonesia”, mengatakan bahwa masyarakat Yogyakarta
belum bisa menerima kehidupan homoseksual (www.kompas.com).
Mereka dianggap tidak normal, menyimpang dari norma yang ada. Hal ini
diperkuat dengan adanya tindak kekerasan terhadap kaum homoseks yang
terjadi di kawasan wisata Kaliurang Yogyakarta pada tanggal 11
November 2000 (www.kompas.com). Selain itu juga karena adanya
pengakuan beberapa mahasiswa di Yogyakarta yang mengatakan bahwa
eksistensi mereka sebagai seorang gay masih sering mendapat stigma dan
perlakuan negatif dari masyarakat, termasuk aparat hukum. Mereka makin
bertambah was-was seiring dengan masuknya ketentuan dalam RUU
KUHP yang mengkriminalisasi pelaku hidup bersama tanpa terikat
perkawinan (www.hukumonline.com).
Karena kaum homoseksual belum bisa diterima oleh masyarakat
Yogyakarta, maka peneliti tertarik untuk melihat bagaimana sikap
mahasiswa Yogyakarta terhadap perilaku seksual yang dilakukan oleh
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Jenis PenelitianJenis penelitian mi adalah penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah peneitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau
memberi gambaran terhadap obyek yang diteliti melalui data sampel atau
populasi sebagaimana adanya, tanpa melakukan analisis dan membuat
kesimpulan yang berlaku umum (Sugiyono, 1999).
Berdasarkan pada teori diatas, maka penelitian ini menggunakan
data kuantitatif mengenai variabel yang diperoleh melalui analisis skor
jawaban subyek pada kuisioner yang digunakan sebagaimana mestinya.
Hal ini bertujuan untuk mengetahui dan menggambarkan sikap mahasiswa
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta terhadap perilaku seksual
homoseks, tanpa membuat kesimpulan yang berlaku secara umum di luar
subyek penelitian.
B.
Identifikasi Variabel PenelitianPada penelitian ini yang menjadi variabel penelitian adalah sikap
mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta terhadap perilaku
C.
Definisi Operasional Variabel Penelitian1. Sikap
Sikap adalah suatu bentuk kecenderungan keteraturan pemikiran
(kognisi), tindakan (konasi) dan evaluasi/reaksi perasaan (afeksi)
mendukung atau memihak ataupun perasaan tidak
mendukung/tidak memihak terhadap suatu objek.
2. Perilaku seksual
Perilaku seksual adalah reaksi seseorang terhadap suatu stimulus
yang bersifat erotis yang melibatkan dimensi biologis (sebagai
hasrat seksual, kepuasan seksual) dan dimensi psikososial
(melibatkan emosi, pikiran dan kepribadian). Dalam penelitian ini
diambil perilaku yang bisa diamati/overt behavior. Tahap-tahap
perilaku seksual:
a. Bergandengan tangan
b. Berpelukan
c. Berciuman
d. Meraba organ seks
3. Homoseks
Homoseks adalah seseorang yang tertarik secara seksual terhadap
orang lain yang berjenis kelamin sama dengan dirinya.
4. Mahasiswa Universita Sanata Dharma
Mahasiswa Universitas Sanata Dharma dapat diartikan sebagai
terdaftar pada Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan aktif
dalam Universitas Sanata Dharma
D.
Subjek PenelitianSubjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Sampel
penelitian diambil secara purposive sampling dipilih berdasarkan ciri-ciri
yang telah ditentukan yaitu:
- Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
- Berusia 18-30 tahun
Adapun alasan penelitian kelompok subjek ini karena mahasiswa
Psikologi Sanata Dharma mengerti tentang arti sikap dari segi psikologis
dan mengerti tentang arti homoseksual. Selain itu juga dikarenakan
peneliti merupakan mahasiswa Fakultas Psikologi Sanata Dharma
Yogyakarta sehingga memudahkan untuk pengambilan sampel.
E.
ProsedurProsedur/langkah-langkah yang diambil dalam penelitian ini adalah:
1. Membuat skala sikap dengan metode rating yang dijumlahkan
(summated rating)
2. Melakukan uji kesahihan butir dan reliabilitas skala untuk
3. Menentukan subjek penelitian yang sesuai dengan kriteria dan
kemudian mengukur sikap mahasiswa Yogyakarta dengan cara
subjek mengisi skala yang telah diuji kesahihannya dan
reliabelannya.
4. Menganalisis data yang masuk dengan uji statistik deskriptif
(penyajian data melalui tabel, perhitungan nilai maksimum, nilai
minimum, mean teoritis, mean empiris dan standar deviasi serta
perhitungan prosentase) untuk melihat sikap mahasiswa
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta terhadap perilaku seksual
homoseks.
5. Membuat kesimpulan berdasarkan analisis tersebut.
F.
Teknik Pengumpulan Data1. Data dalam penelitian ini adalah dengan cara pengisian skala.
Menurut Kerlinger (1983), skala adalah
kesimpulan/lambang/simbol yang disusun dengan cara tertentu
sehingga simbol/angka itu dengan cara tertentu dapat diberikan
kepada individu. Skala yang akan diberikan kepada subjek adalah
skala sikap, berdasarkan indikator-indikator sikap dan perilaku
seksual homoseks. Metode penyusunan skala yang digunakan
adalah Summated Rating dengan menggunakan skala Likert,
dimana skala terdiri dari item-item yang bersifat favorable dan
disediakan. Dalam jawaban ini ditiadakan jawaban tengah yaitu
ragu-ragu. Hal ini menurut Hadi (1990) didasarkan pada 3 alasan:
- Kategori undedicated yaitu mengarti ganda bisa
diartikan belum memutuskan atau memberi jawaban
(menurut konsep asli), bisa juga diartika netral
dikatakan setuju tidak, tidak setujupun tidak, atau
bahkan ragu-ragu.
- Tersedianya jawaban yang ditengah itu
menimbulkan kecenderungan menjawab tengah
(central tendency effect) terutama bagi mereka yang
ragu-ragu atas arah kecenderungan jawabannya,
kearah setuju atau tidak setuju.
- Maksud kategorisasi jawaban SS-S-TS-STS adalah
terutama untuk melihat kecenderungan pendapat
responden, kearah setuju atau tidak setuju. Jika
disediakan jawaban tengah akan banyak kehilangan
data penelitian sehingga mengurangi banyaknya
informasi yang dapat dijaring dari responden.
Kategorisasi respon yang disiapkan yaitu: Sangat Setuju (SS),
Setuju (S), Tidak Detuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS), dimana
masing-masing pilihan mencerminkan sikap yang ingin diungkap.
Item yang favorable merupakan item yang mengindikasikan sikap
3, TS diberi skor 2, STS diberi skor 1. Sedangkan item unfavorable
merupakan item yang mengindikasikan sikap negatif (tidak setuju)
dengan uraian SS diberi skor 1, S diberi skor 2, TS diberi skor 3,
STS diberi skor 4. Skala ini terdiri dari 72 item sebelum
diujicobakan. Aspek-aspek yang digunakan dalam menyusun skala
ini adalah:
Aspek-aspek sikap:
a. Kognitif
b. Afektif
c. Konatif
Aspek-aspek perilaku seksual:
a. Bergandengan tangan
b. Berpelukan
c. Berciuman
Tabel I
Spesifikasi Skala Sikap Mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta Terhadap Perilaku Seksual Homoseks (sebelum
Ujicoba)
PERILAKU SEKSUAL BERGANDENGAN
TANGAN BERPELUKAN BERCIUMAN
MERABA ORGAN SEKS
TOTAL NO SIKAP
FAV UNFAV FAV UNFAV FAV UNFAV FAV UNFAV 1 KOGNITIF 1,25,49 13,37,61 2,26,50 14,38,62 3,27,51 15,39,63 4,28,52 16,40,64 24 2 AFEKTIF 17,41,65 5,29,53 18,42,66 6,30,54 19,43,67 7,31,55 20,44,68 8,32,56 24 3 KONATIF 9,33,57 21,45,69 10,34,58 22,46,70 11,35,59 23,47,71 12,36,60 24,48,72 24
72
G.
Estimasi Validitas dan Reliabilitas1. Validitas
Validitas adalah taraf ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur
dalam melakukan fungsi ukurnya (Hadi, 1990). Jadi, sebuah alat
ukur dapat dikatakan valid jika alat ukur tersebut dapat
memberikan hasil ukur sesuai dengan maksud pengukuran tersebut.
Penelitian ini menggunakan validitas isi dalam estimasinya.
Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian
terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional
judgement. Pertanyaan yang dicari jawabannya dalam validasi ini
adalah sejauhmana item-item dalam tes mencakup keseluruhan
kawasan isi objek yang hendak diukur atau sejauhmana isi tes
kesahihan merupakan tingkat kemampuan alat penelitian untuk
mengungkap sesuatu yang menjadi sasaran pokok penelitian yang
dilakukan dengan alat penelitian tersebut (Hadi, 1990).
2. Reliabilitas
Reliabilitas adalah proporsi variabilitas skor tes yang disebabkan
oleh perbedaan yang sebenarnya diantara individu, sedangkan
ketidakreliabelan adalah proporsi variabilitas skor tes yang
disebabkan oleh eror pengukuran (Azwar, 2001). Pendekatan yang
digunakan dalam perhitungan reliabilitas alat tes ini adalah
reliabilitas koefisien Alpha Cronbach (SPSS for windows versi
15.0), sebab koefisien alpha mempunyai nilai praktis dan efisien
yang tinggi karena hanya dilakukan satu kali pada kelompok
subjek.
Tabel II
Distribusi item sebelum uji coba (try out)
Perilaku Seksual
begandengan berpelukan berciuman meraba TOT NO Sikap
FAV UNF FAV UNF FAV UNF FAV UNF
1 KOG 1,25,49 13,37,61 2,26,50 14,38,62 3,27,51 15,39,63 4,28,52 16,40,64* 24
2 AFEK 17,41,65 5,29,53 18,42,66 6,30,54 19,43,67 7,31,55 20,44,68 8,32,56 24
3 KON 9,33*,57 21,45*,69 10,34,58 22,46*,70 11,35,59 23,47,71* 12,36,60 24,48,72* 24
72
Tabel III
Blue Print setelah uji coba
Perilaku seksual No Sikap
bergandengan berpelukan berciuman meraba
Jumlah
1 kognitif 6 6 6 5 23
2 afektif 6 6 6 6 24
3 konatif 4 5 5 4 18
Tabel IV
Blue Print Penelitian
(setelah disesuaikan agar setiap aspek terwakilkan secara
proporsional)
Perilaku seksual No Sikap
bergandengan berpelukan berciuman meraba
Jumlah
1 kognitif 3 4 6 5 18
2 afektif 4 6 5 3 18
H.
Analisis DataMetode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode statistik deskriptif yang meliputi penyajian data melalui tabel,
perhitungan nilai maksimum, nilai minimum, mean teoritis, mean empiris
dan standar deviasi serta perhitungan prosentase.
Subjek dibedakan ke dalam sikap yang positif atau negatif dengan
cara melakukan uji perbandingan mean antara mean empirik dengan mean
teoritik. Apabila mean empirik > teoritik, maka sikap subjek positif,
namun jika mean empirik < mean teoritik maka sikap subjek adalah
negatif.
Analisis data dilakukan secara umum untuk melihat sikap yang
dimiliki oleh sebagian besar subjek penelitian. Selain pengkategorian
secara umum, dilakukan pula pengkategorian untuk setiap aspek sikap dan
indikator-indikator perilaku seksual.
Keterangan:
Skor maksimum teoritik: Skor paling tinggi yang diperoleh subjek pada
skala
Skor minimum teoritik: Skor paling rendah yang diperoleh subjek pada
skala
Skor maksimum empirik: Skor paling tinggi yang diperoleh subjek pada
penelitian
Skor minimum empirik: Skor paling rendah yang diperoleh subjek pada
Mean teoritik: Rata-rata teoritik dari skor maksimum dan minimum
Mean empirik: Rata-rata dari skor subjek penelitian
Median: Nilai tengah yang dihasilkan
Modus: Skor subjek yang sering muncul
SD: Simpangan baku menunjukkan variasi jawaban subjek
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan penelitian
1. Uji coba (try out) alat ukur
Sebelum melakukan penelitian maka alat ukur penelitian perlu
melewati tahap uji coba agar diperoleh alat ukur dengan kualitas yang
baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Uji coba pada penelitian ini
dilakukan dengan menyebarkan skala kepada 65 orang subjek dengan
karakteristik yang sama dengan subjek penelitian, yaitu mahasiswa
dengan batasan usia berusia 18-30 tahun dan Penyebaran alat ukur
uji coba dimulai dari tanggal 9 Juni 2007 hingga tanggal 20 Juni 2007.
Dari 65 skala yang disebarkan, 4 skala tidak dikembalikan kepada
peneliti sehingga jumlah keseluruhan subjek uji coba sebanyak 61
subjek.
a. Uji Validitas alat ukur (skala)
Validitas yang digunakan dalam skala ini adalah validitas
isi. Validitas isi dilakukan oleh professional judgment atau orang
yang dianggap ahli. Dalam penelitian ini peneliti meminta bantuan
dosen pembimbing skripsi sebagai professional judgment, untuk
melihat kesesuaian item soal dengan blue print yang telah dibuat
sebelumnya dan juga keterwakilannya setiap aspek sikap, yaitu
b. Uji Reliabilitas alat ukur
Uji reliabilitas dilakukan dengan teknik Alpha Cronbach
program SPSS versi 15.00 for windows. Dari hasil pengukuran
terhadap alat ukur diperoleh koefisien 0,975. Hasil kesahihan butir
dan reliabilitas sk