• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORITIS"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) 1. Hak dan Kewajiban Pemotong Pajak

Menurut Siti Resmi (2011:167) hak-hak pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 antara lain :

a. Pemotong pajak berhak atas kelebihan jumlah penyetoran PPh Pasal

21 yang terjadi karena jumlah PPh Pasal 21 yang terutang dalam 1 (satu) tahun takwim lebih kecil daripada jumlah PPh Pasal 21 yang telah disetor, untuk kemudian diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang atas gaji untuk bulan pada waktu dilakukan perhitungan tahunan, dan jika masih ada sisa kelebihan, diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tahun berikutnya.

b. Pemotong Pajak berhak mengajukan permohonan untuk

memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Pasal 21. Permohonan diajukan secara tertulis elambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak disertai surat pernyataan mengenai perhitungan sementara PPh Pasal 21 yang terutang dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran PPh Pasal 21 yang terutang untuk tahun takwim yang bersangkutan.

(2)

6

c. Pemotong Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak dan permohonan banding kepada Badan Peradilan Pajak.

Kewajiban Pemotong Pajak

Kewajiban pemotong PPh Pasal 21 adalah :

a. Setiap Pemotong Pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan

Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.

b. Pemotong Pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.

c. Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh

Pasal 21 yang terutang untuk setiap akhir bulan takwim dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pos atau Bank BUMN atau BUMD atau bank-bank lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya.

d. Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran PPh Pasal 21 tersebut

sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke KPP setempat, selambat-lambatnya pada tanggal 20 (dua puluh) bulan takwim berikutnya.

e. Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21

baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang

(3)

7

tebusan pensiun, penerima JHT, penerima uang pesangon, dan penerima dana pensiun.

f. Pemotong pajak wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21

kepada pegawai tetap, dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun pajak berakhir.

2. Surat Setoran Pajak (SSP) dan Surat Pemberitahuan (SPT) a. Pengertian SSP dan Fungsi SSP

Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kas Negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Fungsi SSP :

a. Sebagai sarana untuk membayar pajak b. Sebagai bukti dan laporan pembayaran pajak

Batas Waktu Penyetoran :

Batas waktu penyetoran dengan SSP paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya.

(4)

8

Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terhutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Fungsi SPT :

Fungsi SPT bagi Wajib Pajak PPh :

a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan

perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terhitung.

b. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah

dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan pajak atau pemungutan pajak lain dalam satu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak.

c. Untuk melaporkan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang

pemotongan atau pemungutan pajak Orang Pribadi atau badan lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Fungsi SPT bagi Pengusaha Kena Pajak :

a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan

perhitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sebenarnya terhutang.

b. Untuk melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak

(5)

9

c. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah

dilaksanakan oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Fungsi SPT bagi Pemotong dan Pemungut Pajak :

Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetor

Batas Waktu Pelaporan SPT :

a. Batas waktu pelaporan dengan SPT Masa paling lambat 20 bulan

berikutnya.

b. Batas waktu pelaporan dengan SPT Tahunan selambat-lambatnya 31

Maret tahun takwim berikutnya.

B. Pajak Penghasilan

1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)

Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 yang kemudian untuk ketiga kalinya diubah dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 dan diubah untuk yang keempat kalinya dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2009 digunakan sebagai dasar hukum pemungutan pajak penghasilan.

(6)

10

Menurut Yustinus Prastowo (2010 : 28) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan penghasilan adalah :

Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi, atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Jadi, pengertian pajak penghasilan menurut Erly Suandy (2002 :75)

adalah pajak yang subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak untuk kepentingan Negara dan masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan.

2. Subjek Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan termasuk dalam kategori pajak subjektif. Artinya, pajak dikenakan karena ada subjeknya. Menurut Djoko Mulyono (2009:2) yang dapat menjadi subjek pajak yaitu :

a. Orang Pribadi

Orang Pribadi adalah mereka yang bertempat tinggal (domisili) atau berada di Indonesia (residensi) ataupun di luar Indonesia.

b. Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan

menggantikan yang berhak

Warisan merupakan subjek pengganti mereka yang berhak yaitu ahli Waris. Selain itu menggantikan yang berhak sampai dengan adanya kejelasan hukum, subjek pajak warisan juga

(7)

11

dapat menggantikan pemenuhan kewajiban dan penunjukan yang mewariskan (almarhum).

c. Badan

Yaitu sekumpulan orang dan atau modal yang merupaka kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, Dana Pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk reksa dana.

d. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Bentuk usaha tetap ditentukan sebagai subjek pajak tersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan untuk pengenaan pajak penghasilan, namun bentuk usaha tetap mempunyai eksistensi sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.

3. Pengecualian Subjek Pajak Penghasilan

Menurut Mardiasmo (2011 : 171) yang tidak termasuk subjek sebagaimana dimaksud sebagai mana maksud dalam pasal 3 adalah :

(8)

12

a. Badan Perwakilan Negara Asing ;

b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau

pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan Warga Negara Indonesia dan Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;

c. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan

Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat : 1) Indonesia menjadi organisasi tersebut ;

2) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk

memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota ;

d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang

ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan Warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

(9)

13

4. Objek Pajak Penghasilan

Menurut Rudy Suhartono (2009 : 22) yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik berasal yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untu konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk :

a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau

jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;

b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan

penghargaan; c. Laba usaha;

d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta;

e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan

sebagai biaya;

f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena

(10)

14

g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk

dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil koperasi;

h. Royalti;

i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan

harta;

j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala

k. Keuntungan karena pembebasan utang;

l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; m. Selisih lebih karena penerimaan kembali aktiva; n. Premi asuransi

o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dan

anggotanya terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang

belum dikenakan pajak

Objek Pajak yang dikenakan pajak final

Atas penghasilan berupa bunga deposito dari tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(11)

15

5. Pengecualian Objek Pajak Penghasilan

Sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU PPh yang tidak termasuk objek pajak adalah:

a. 1) bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh

badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerinth dan para penerima zakat yang berhak; 2) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;

b. warisan

c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) hurub b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau

jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau pemerintah;

(12)

16

e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;

f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di indonesia;

g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja atau pegawai;

h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;

i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan firma, dan kongsi;

j. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha;

k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di indonesia.

(13)

17

C. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 1. Pengertian PPh Pasal 21

Menurut Anastasia Diana (2010:409) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak yang dipotong oleh pihak lain atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang dalam negeri.

2. Pemotong PPh Pasal 21

Pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21 adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, badan, bentuk usaha tetap, yayasan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa, serta dana pensiun, badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.

Dikecualikan sebagai pemungut pajak adalah, organisasi internasional yang tercantum dalam Lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 649/KMK.04/1994 jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-13/pj.4/1995, sehingga tidak berkewajiban memotong yang PPh Pasal 21. Dengan demikian, bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam

(14)

18

negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan pada organisasi internasional tersebut wajib membayar sendiri pajak yang terutang dalam tahun berjalan dan melaporkan penghasilan dengan mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi apabila seluruh penghasilannya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

3. Subjek Pajak dan Bukan Subjek Pajak PPh Pasal 21

Ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan.

Yang menjadi Wajib Pajak PPh Pasal 21 terdiri dari : a. Pegawai Tetap

Pegawai tetap adalah orang pribadi yang melakukan pekerjaan berdasarkan suatu perjanjian kerja baik tertulis ataupun tidak tertulis yang menerima atau memperoleh gaji secara berkala, termasuk dalam pengertian pegawai adalah orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik negara atau daerah, termasuk pula anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur ikut serta melaksanakan kegiatan perusahaan.

(15)

19

Pegawai tidak tetap adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja dan hanya menerima upah apabila orang pribadi bersangkutan bekerja.

c. Penerima honorarium

Penerima honorarium adalah orang pribadi atau persekutuan orang pribadi yang memberikan jasa menerima atau memperoleh imbalan tertentu sesuai jasa tersebut.

d. Penerima upah

Penerima upah adalah orang pribadi yang menerima upah baik berupa upah harian, upah borongan, maupun upah satuan.

Bukan Subyek Pajak Penghasilan Pasal 21

Yang tidak termasuk penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :

a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat ; bukan Warga Negara Indonesia, tidak menerima atau memperoleh penghasilan diluar jabatannya di Indonesia, dan Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.

b. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana

(16)

20

611/KMK.04/1994 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 314/KMK.04/1998 sepanjang ; bukan Warga Negara Indonesia, tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atas pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.

4. Obyek Pajak dan Bukan Obyek Pajak PPh Pasal 21

Secara umum objek dari Pajak Penghasilan adalah penghasilan, sedangkan objek PPh Pasal 21 secara spesifik antara lain :

a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, upah, uang pensiun bulanan, honorarium, premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan jabatan, tunjangan kemahalan, tunjangan khusus, tunjangan transport, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, bea siswa, hadiah, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun.

b. Penghasilan yang diterima secara tidak teratur berupa jasa

produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak teratur dan biasanya dibayarkan sekali dalam setahun.

(17)

21

d. Uang tebusan pensiun, uang tabungan hari tua, tunjangan hari tua, uang pesangon dan pembayaran sejenis lainnya.

e. Honorarium uang saku, hadiah dalam bentuk apapun, komisi,

beasiswa, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.

f. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya

dengan nama dan bentuk apapun yang diberikan oleh bukan (yang dikecualikan sebagai) Wajib Pajak.

Bukan objek Pajak Penghasilan Pasal 21

Meskipun setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh oleh Wajib Pajak merupakan objek pajak, tetapi ada beberapa tambahan kemampuan ekonomis yang merupaka bukan objek pajak sehingga tidak dipungut pajak penghasilan. Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :

a. Pembayaran asuransi dari perusahan asuransi kesehatan,

asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.

b. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali

diberikan oleh bukan Wajib Pajak.

c. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang

(18)

22

Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua kepada badan penyelenggara jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.

d. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya

dengan nama apapun yang diberikan oleh pemerintah.

e. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja.

f. Pembayaran THT-Taspen dan THT-Asabri dari PT. Taspen dan

PT. Asabri kepada para pensiunan yang berhak menerimanya. g. Zakat yang diterima oleh pribadi yang berhak dari badan atau

lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

h. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan

nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama jangka waktu 4 (empat) tahun tidak dikenai pajak.

i. Beasiswa yang diterima atau diperoleh oleh penerima beasiswa tidak dikenai pajak.

j. Bantuan atau santunan yang diterima dari Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial tidak dikenai pajak.

5. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI dan Pensiunannya

(19)

23

a. Pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang bersifat rutin (teratur)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 80 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 262/PMK.03/2010 bahwa PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN atau APBD dan dihitung menurut tarif pajak penghasilan pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:

a. Pejabat Negara, untuk:

1) gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau

2) imbalan tetap sejenisnya,

yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

c. Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(20)

24

b. Pemotongan PPh Pasal 21 atas Honorarium atau imbalan lain sejenis

Penghasilan Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI/POLRI dan pensiunannya berupa honorarium, uang sidang, uang hadir uang lembur, Imbalan Prestasi kerja dan imbalan lain dengan nama apapun yang sumber dananya berasal dari APBN/APBD, maka tata caranya adalah sebagaimana juga diatur dalam PP 80 Tahun 2010. Apabila penerima penghasilan tersebut Non Pejabat Negara/PNS/TNI/POLRI, maka tata cara pemotongan/ pemungutan adalah tata cara yang berlaku umum Perdirjen Pajak No. 31/PJ/2009 sebagaimana diubah dalam Perdirjen Pajak No 5/PJ/2009. Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI/POLRI dan Pensiunannya yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang memiliki Nomor Pokok wajib Pajak.

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN/APBD bersifat final dengan tarif sebagai berikut :

(21)

25

Penerima Penghasilan Tarif

PNS Golongan I dan II dan pensiunannya 0%

PNS Golongan III dan pensiunannya 5%

Pejabat Negara, PNS Golongan IV dan pensiunannya 15%

6. Perhitungan PPh Pasal 21 Atas Penghasilan a. Pengertian Penghasilan Bruto

Penghasilan bruto adalah gaji pokok ditambah dengan semua tunjangan yang diterima secara tetap serta premi asuransi kematian dan premi asuransi kecelakaan kerja yang ditanggung oleh pemberi kerja.

b. Perhitungan Penghasilan Neto

Untuk menentukan besarnya penghasilan neto pegawai tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi dengan :

a. Biaya jabatan, yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan

memelihara penghasilan sebesar 5 % dari penghasilan bruto, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp. 6.000.000,00 setahun atau Rp. 500.000,00 sebulan;

b. Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai

kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara THT/JHT yang

(22)

26

dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

c. Perhitungan Penghasilan Kena Pajak (PKP)

Besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) dihitung sebagai berikut : a. Bagi pegawai tetap dan penerima pensiun adalah penghasilan neto

dikurangi dengan PTKP.

b. Bagi pegawai tidak tetap, pemagang dan calon pegawai adalah

penghasilan bruto dikurangi PTKP.

c. Bagi distributor perusahaan MLM dan kegiatan sejenis lainnya

adalah penghasilan bruto setiap bulan dikurangi dengan PTKP per bulan.

d. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21

Dasar pengenaannya untuk pajak penghasilan pungutan ditetapkan tarif progresif yaitu tarif pajak yang persetasenya semakin besar penghasilan semakin besar pula persentasenya sesuai dengan Undang-undang Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008, yaitu dengan lapisan pengenaan pajak penghasilan sebagai berikut :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

Sampai dengan Rp. 50.000.000,00 5%

(23)

27

Di atas Rp. 250.000.000 s.d Rp. 500.000.000 25%

Di atas Rp. 500.000.000 30%

e. Perhitungan PPh Pasal 21 atas Pegawai Tetap

Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang No. 36 Tahun 2008 Perhitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur pegawai tetap adalah sebagai berikut :

1. Terlebih dahulu ditotalkan penghasilan bruto sebulan, dihitung dari gaji pokok ditambah dengan semua tunjangan yang diterima secara tetap serta premi asuransi kematian dan premi asuransi kecelakaan kerja yang ditanggung pemberi kerja kemudian menghitung penghasilan neto yaitu penghasilan bruto dikurangi biaya jabatan, iuran pensiun, iuran Jaminan Hari Tua yang dibayar oleh pegawai, kemudian disetahunkan. Untuk biaya jabatan dihitung sebesar 5 % dari penghasilan bruto, dengan jumlah maksimum adalah Rp. 6.000.000 atau Rp. 500.000 perbulan.

2. Penghasilan neto tersebut selanjutnya dikurangi PTKP

(Penghasilan Tidak Kena Pajak) untuk memperoleh Penghasilan Kena Pajak (PKP). Besarnya PTKP setahun sebagai berikut :

(24)

28

• Rp. 15.840.000 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi.

• Rp. 1.320.000 tambahan untuk Wajib Pajak yang

kawin.

• Rp. 15.840.000 tambahan untuk seorang istri yang

penghasilannya digabung dengan penghasilan suami.

• Rp. 1.320.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga

sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

3. Atas dasar Penghasilan Kena Pajak tersebut kemudian dihitung PPh Pasal 21 setahun yang dihitung dengan mengalikan Penghasilan Kena Pajak dengan tarif sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No.36 Tahun 2008. Untuk keperluan penerapan tarif penghasilan kena pajak dibulatkan kebawah hingga ribuan rupiah. Untuk memperoleh jumlah PPh Pasal 21 sebulan, jumlah PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan dibagi dengan 12. Sedangkan bila tidak sampai satu tahun, maka untuk mendapatkan jumlah PPh 21 setahunnya adalah dengan membaginya dengan banyaknya bulan pegawai bersangkutan bekerja.

(25)

29

D. Pajak Penghasilan Pasal 22 1. Pengertian PPh Pasal 22

Pajak Penghasilan Pasal 22 merupakan pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang; dan badan-badan tertentu baik badan-badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.

2. Pemungut PPh Pasal 22

Berdasarkan peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010, Pemungut PPh Pasal 22 adalah :

1. Bank Devisa dan Direktorat Bea Cukai, atas impor barang;

2. Bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)

sebagai pemungut pajak pada Pemerinta Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;

3. Bendahara pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan

dengan mekanisme Uang Persediaan (UP);

4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat

Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);

(26)

30

5. Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri

semen, industri kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;

6. Produsen, atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas;

7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas pembelian bahan bakar untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.

3. Objek Pemungutan PPh Pasal 22

Pemungutan PPh Pasal 22 dibedakan berdasarkan jenis kegiatan yang dilakukan. Kegiatan yang dikenakan PPh Pasal 22 adalah :

1. Impor barang;

2. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh

bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pemerintah pusat, pemerintah daerah, instansi, atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga Negara lainnya;

3. Pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme Uang

(27)

31

4. Pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan

mekanisme pembayaran langsung (LS) oleh KPA atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA;

5. Penjualan hasil industri dalam negeri oleh Badan usaha yang

bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak;

6. Penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, gas dan pelumas;

7. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul oleh industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.

4. Pengecualian Objek PPh Pasal 22

Pemungutan PPh Pasal 22 dibedakan berdasarkan jenis kegiatan yang dilakukan. Kegiatan yang tidak dikenakan PPh Pasal 22 adalah :

1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan.;

2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau pajak pertambahan nilai;

(28)

32

a. Barang perwakilan Negara asing beserta para pejabat yang

bertugas di Indonesia atas asas timbal balik;

b. Barang untuk keperluan Badan Internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui dan terdaftar peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang Tata Cara Pemberian Pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan Badan Internasional beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia;

c. Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal,

sosial, kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana;

d. Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi

alam dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;

e. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan;

f. Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan

penyandang cacat lain;

g. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah; h. Barang pindahan;

i. Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas

batas, dan barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sampai dengan ketentuang perundang-undangan kepabeanan;

(29)

33

j. Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah

Daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum;

k. Persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;

l. Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan

barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;

m. Vaksin polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan

Imunisasi Nasional;

n. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku

pelajaran agama;

o. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan penyeberangan,kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan penangkapan nasional;

p. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan

penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh perusahaan Angkatan Udara Nasional

(30)

34

q. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan

atau pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT. Kereta Api Indonesia;

r. Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia; dan atau

s. Barang untuk kegiatan hulu minyak gas dan Minyak Bumi

yang importasi nya dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama.

3. Impor sementara, jika pada waktu impor nyata-nyata dimaksudkan

untuk ekspor kembali;

4. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang –barang yang telah diekpor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai;

5. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana

dimaksud dalam nomor 2, 3, dan 4 bagian “pemungut pajak” dalam Bab ini berkenaan dengan:

a. Pembayaran yang jumlah nya paling banyak Rp. 2.000.000

(dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;

(31)

35

b. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, pelumas, air minum/PDAM dan benda-benda pos.

6. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh

Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (BULOG);

7. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang

perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor;

8. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan

penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22 atas barang impor sebagaimana dimaksud pada nomor 2 tetap berlaku dalam hal impor tersebut dikenakan tarif bea masuk sebesar 0% (nol persen). Pengecualian sebagaimana dimaksud pada nomor 7 dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Pengecualian sebagaimana dimaksud pada nomor 4,5,6, dan 8 dilakukan tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB).

5. Tarif Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22

Keterangan Tarif Pengenaan

Impor menggunakan API 2.5 %

Impor kedelai, gandum, dan tepung terigu yang menggunakan API

(32)

36

Impor tidak menggunakan API 7.5%

Impor yang tidak dikuasai 7.5%

Pembelian barang yang dilakukan oleh bendahara pemerintah, bendahara pengeluaran, KAP, pejabat penerbit SPM

1.5%

Penjualan bahan bakar minyak kepada SPBU Pertamina 0.25%

Penjualan bahan bakar minyak kepada SPBU non Pertamina dan Non SPBU

0.3%

Penjualan bahan bakar gas 0.3%

Penjualan Pelumas 0.3%

Penjualan Kertas hasil produksi dalam negeri

0.1% dari DPP PPn

Penjualan semen produksi dalam negeri

0.25% dari DPP PPn

Penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih hasil produksi dalam negeri

0.45% dari DPP PPn

Penjualan baja hasil produksi dalam negeri

0.3% dari DPP PPn

Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan

Referensi

Dokumen terkait

Melalui Program Kreativitas mahasiswa (PKM) ini disusun suatu langkah solusi yaitu dengan melakukan penelitian pembuatan nanofiber kitosan berbahan dasar cangkang..

CNF yang diproduksi pada 500 o C secara umum berbentuk fiber/serat yang lurus dan heliks dengan diameter serat sekitar 300 nm, pada CNF dengan suhu 600 o C secara

Bagian tengah cabang memiliki proporsi polip karang yang berkaitan dengan lo- kasi energi untuk pertumbuhan yang lebih reproduktif (100%) dengan kandungan rataan jumlah telur yang

§ Secara keseluruhan pembelajaran mengandung aspek Daily life, local material dan hands-on. Tetapi masih belum mengajak siswa untuk berpikir tingkat tinggi, LKS yang

scoping excercise dengan mitra FTA ASEAN. Template akan dilaporkan kepada SEOM agar SEOM dapat membahasnya secara inter-sessional sebelum dikirim kepada mitra FTA

- Menjelaskan isi bacaan melalui Referencing - Menyebutkan fungsi nouns pada suatu kalimat - Menyebutkan suffixes yang tepat pada suatu kalimat Materi Pokok :

Bila dikaitkan antara perubahan posisi PRIMA-1 dengan fluktuasi sudut dihedral yang terjadi (gambar 10), maka diketahui bahwa tidak adanya interaksi antara PRIMA-1 dengan 2BIM

Preferensi umpan padi/gabah lebih disukai oleh tikus dari pada umpan umpan beras utuh, beras pecah, jagung utuh, jagung pecah dan tepung jagung karena umpan padi mudah