BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pelecehan Seksual
1. Pengertian Pelecehan Seksual
Menurut Winarsunu (2008), pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol,
isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual. Aktifitas yang berkonotasi seksual bisa dianggap pelecehan seksual jika mengandung unsur-unsur sebagai berikut,
yaitu adanya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh pelaku, kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku,kejadian tidak diinginkan korban, dan mengakibatkan penderitaan pada korban.
Menurut Collier (1998), pengertian pelecehan seksual disini merupakan segala bentuk perilaku bersifat seksual yang tidak diinginkan oleh yang mendapat
perlakuan tersebut, dan pelecehan seksual yang dapat terjadi atau dialami oleh semua perempuan. Sedangkan menurut Rubenstein (dalam Collier,1998) pelecehan seksual sebagai sifat perilaku seksual yang tidak diinginkan atau tindakan yang
didasarkan pada seks yang menyinggung penerima.
Pelecehan seksual adalah perilaku atau perhatian yang bersifat seksual yang
merendahkan tentang orientasi seksual atau seksualitas, permintaan melakukan tindakan seksual yang disukai pelaku, ucapan atau perilaku yang berkonotasi
seksual, semua dapat digolongkan menjadi pelecehan seksual.
Dari beberapa definisi pelecehan seksual diatas dapat disimpulkan bahwa
pelecehan seksual adalah perilaku atau tindakan yang mengganggu, menjengkelkan, dan tidak diundang yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dalam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak
dikehendaki oleh korbannya.
2. Bentuk-bentuk Pelecehan Seksual
Secara umum, pelecehan seksual ada 5 bentuk, yaitu : a. Pelecehan fisik, yaitu :
Sentuhan yang tidak diinginkan mengarah keperbuatan seksual seperti mencium,
menepuk, memeluk, mencubit, mengelus, memijat tengkuk, menempelkan tubuh atau sentuhan fisik lainnya.
b. Pelecehan lisan, yaitu :
Ucapan verbal/komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang, termasuk lelucon dan komentar
bermuatan seksual.
c. Pelecehan non-verbal/isyarat, yaitu :
d. Pelecehan visual, yaitu :
Memperlihatkan materi pornografi berupa foto, poster, gambar kartun,
screensaver atau lainnya, atau pelecehan melalui e-mail, SMS dan media
lainnya.
e. Pelecehan psikologis/emosional, yaitu :
Permintaan-permintaan dan ajakan-ajakan yang terus menerus dan tidak diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang
bersifat seksual.
Pelecehan seksual yang dihadapi laki-laki maupun perempuan dalam berbagai
bentuknya, mulai dari komentar yang berkonotasi seksual dan kontak fisik secara tersembunyi (memegang, sentuhan ke bagian tubuh tertentu) hingga ajakan yang dilakukan secara terang-terangan dan serangan seksual (Santrock,
2007).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk pelecehan
seksual adalah pelecehan fisik, pelecehan lisan, pelecehan non-verbal/isyarat, pelecehan visual, dan pelecehan psikologis/emosional.
3. Aspek-aspek Pelecehan Seksual
Mayer dkk. (1987) menyatakan secara umum dua aspek penting dalam pelecehan seksual, yaitu aspek perilaku dan aspek situasional.
a. Aspek Perilaku
halus, kasar, terbuka, fisik maupun verbal dan bersifat searah. Bentuk umum dari pelecehan seksual adalah verbal dan godaan secara fisik dimana pelecehan
secara verbal lebih banyak daripada secara fisik. Para ahli tersebut menyebutkan pelecehan dalam bentuk verbal adalah bujukan seksual yang tidak diharapkan,
gurauan atau pesan seksual yang terus-menerus, mengajak kencan terus menerus walaupun telah ditolak, pesan yang menghina atau merendahkan, komentar yang sugestif atau cabul, ungkapan sexist mengenai pakaian, tubuh, pakaian atau
aktivitas seksual perempuan, permintaan pelayanan seksual yang dinyatakan dengan ancaman tidak langsung maupun terbuka.
b. Aspek situasional
pelecehan seksual dapat dilakukan dimana saja dan dengan kondisi tertentu. Perempuan korban pelecehan seksual dapat berasal dari setiap ras, umur,
karakteristik, status perkawinan, kelas sosial, pendidikan, pekerjaan, tempat kerja, dan pendapatan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek pelecehan seksual adalah aspek perilaku dan aspek situasional.
B.Kontrol Diri
1. Pengertian Kontrol Diri
Calhoun dan Acocella, (1990). Mengatakan kontrol diri sebagai pengaturan
membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu kearah konsekuensi positif.
Menurut Chaplin, (1997). Menjelaskan bahwa self control atau kontrol diri adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan untuk
menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif. Thompson mengartikan kontrol diri sebagai suatu keyakinan bahwa seseorang dapat mencapai hasil-hasil yang diinginkan lewat tindakan diri sendiri. Karena itulah
menurutnya, perasaan dan kontrol dapat dipengaruhi oleh keadaan situasi, tetapi persepsi kontrol diri terletak pada pribadi orang tersebut, bukan pada situasi.
Lazarus (1976) mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu proses yang didasarkan pada aspek kognitif yang menjadikan individu sebagai agen utama dalam menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku
yang dapat membawa individu pada konsekuensi positif.
Menurut Goldfiled dan Merbaum (Muharsih, 2008), kontrol diri diartikan
sebagai kemampuan individu untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu kearah konsekuensi positif. Kontrol diri juga dapat diartikan sebagai perasaan bahwa seseorang dapat
membuat keputusan dan mengambil tindakan yang efektif untuk menghasilkan akibat yang diinginkan dan menghindari akibat yang tidak diinginkan.
perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi kemampuan untuk mengendalikan perilaku, kecenderungan
menarik perhatian, keinginan mengubah perilaku agar sesuai untuk orang lain, selalu konform dengan orang lain, dan menutupi perasaannya.
Hurlock (dalam Ghufron,2010) menyatakan bahwa kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan dari dalam dirinya. Pada remaja kemampuan mengontrol diri berkembang seiring dengan
kematangan emosi. Remaja dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila tidak meledakkan emosinya dihadapan orang lain melainkan menunggu saat yang
tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima.
Menurut Hurlock (1994) kontrol diri adalah kemampuan seseorang untuk
membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk-bentuk perilaku melalui pertimbangan kognitif sehingga dapat membawa ke arah konsekuensi positif.
Kemampuan mengontrol diri berkaitan dengan bagaimana seseorang mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya.
Berdasarkan teori yang telah dikemukakan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa kontrol diri adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk selalu mengarahkan, mengendalikan, mengatur, dan mengubah perilakunya ke arah yang
2. Aspek-aspek Kontrol Diri
Berdasarkan konsep Averill (Ghufron, 2010) terdapat tiga aspek kontrol diri,
yaitu :
a. Kontrol perilaku (behavior control)
Kontrol perilaku merupakan kesiapan tersedianya suatu respons yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua
komponen, yaitu :
1) mengatur pelaksanaan (regulated administration), yaitu kemampuan
individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, apakah dirinya sendiri atau aturan perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakan
sumber eksternal.
2) Kemampuan mengontrol stimulus (stimulus modifiability), merupakan
kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang waktu di antara
rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir, dan membatasi intensitasnya.
b. Kontrol kognitif (cognitive control)
menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau mengurangi tekanan. Kemampuan ini terperinci atas dua
komponen, yaitu :
1) Kemampuan memperoleh informasi (information gain), dengan informasi
yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan.
2) Kemampuan melakukan penilaian (appraisal), yaitu melakukan penilaian
berarti individu berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau
peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif. c. Kemampuan mengontrol keputusan (decisional control)
Kemampuan mengontrol keputusan adalah kemampuan seseorang untuk
memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi, baik
dengan adanya suatu kesempatan , kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kontrol
diri adalah kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif (cognitive
control), dan kemampuan mengontrol keputusan (decisional control).
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri
a. Faktor internal
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu
seperti kepribadian , kecerdasan emosi, minat, motif, pengetahuan, dan usia. Faktor internal yang ikut andil dalam kontrol diri adalah usia. Semakin
bertambah usia seseorang maka semakin baik kemapuan mengontrol diri seseorang.
b. Faktor eksternal
Faktor eksternal diantaranya adalah lingkungan keluarga, terutama orang tua menentukan bagaimana kemampuan kontrol diri seseorang.
Baumeister dan Boden, 1998 (dalam Arlyanti, 2012), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol diri antara lain :
a. Orang tua
Hubungan anak dengan orang tua memberikan bukti bahwa ternyata orang tua mempengaruhi kontrol diri anak-anaknya dengan keras dan secara
otoriter akan menyebabkan anaknya kurang dapat mengendalikan diri serta kurang peka terhadap peristiwa yang dihadapi. Sebaiknya orang tua yang sejak dini sudah mengajari anak untuk mandiri memberikan kesempatan
untuk menentukan keputusannya sendiri, maka anak akan lebih mempunyai kontrol diri yang kuat.
b. Faktor budaya
yang berbeda-beda dengan budaya dari lingkungan lain. Hal demikian mempengaruhi kontrol diri individu sebagai anggota lingkungan tersebut. c. Faktor kognitif
Berkenaan dengan kesadaran berupa proses-proses seseorang
menggunakan pikiran, dan pengetahuannya untuk menggunakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu proses dan cara-cara yang tepat atau strategi yang sudah dipikirkan untuk mengubah stressor. Individu yang
menggunakan kemampuan diharapkan memenipulasi tingkah laku sendiri melalui intelektual. Jadi kemampuan intelektual individual mempengaruhi
seberapa besar individu memiliki kontrol diri.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol diri adalah faktor internal, faktor eksternal, orang
tua, faktor budaya, dan faktor kognitif.
C. Remaja
Menurut Hurlock (1991) istilah adolescence berasal dari bahasa latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah remaja ini mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental emosional, sosial
dan fisik. Secara psikologis masa remaja adalah usia saat individu mengalami masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa.
tampak jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai pula berkembangnya
kapasitas reproduktif. Selain itu remaja juga berubah secara kognitif dan mulai mampu berfikir secara abstrak seperti orang dewasa. Pada periode ini pula
remaja mulai melepaskan diri secara emosional dari orang tua dalam rangka menjalankan peran sosialnya yang baru sebagai orang dewasa.
Offer & Schonert-Reichel (Papalia, Old, & Feldman, 2008) berpendapat
bahwa masa remaja adalah waktu meningkatnya perbedaan diantara anak muda mayoritas, yang diarahkan untuk mengisi masa dewasa dan menjadikannya
produktif, dan minoritas (sekitar satu dari lima) yang akan berhadapan dengan masalah besar.
Muangman (dalam Sarwono, 2011) menjelaskan remaja adalah suatu masa
saat individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual, individu
mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
Ciri-ciri umum yang menonjol pada masa remaja adalah berlangsungnya perubahan itu sendiri, yang dalam interaksinya dengan lingkungan sosial
masa remaja bisa diuraikan seperti berikut ini Lerner & Hultsch (dalam Agustiani, 2007) :
1. Perubahan fisik
Rangkaian perubahan yang paling jelas yang nampak dialami oleh remaja
adalah perubahan biologis dan fisiologis yang berlangsung pada masa pubertas atau pada masa remaja, yaitu sekitar umur 11-15 tahun pada wanita dan 12-16 tahun pada pria (Hurlock, 1973). Hormon-hormon baru diproduksi oleh
kelenjar endokrin, dan ini membawa perubahan dalam ciri-ciri seks primer dan memunculkan ciri-ciri seks sekunder. Gejala ini memberi isyarat bahwa fungsi
reproduksi atau kemampuan untuk menghasilkan keturunan sudah mulai bekerja.
2. Perubahan emosionalitas
Akibat langsung dari perubahan fisik dan hormonal tadi adalah perubahan dalam aspek emosionalitas pada remaja sebagai akibat dari perubahan fisik dan
hormonal tadi, dan juga pengaruh lingkungan yang terkait dengan perubahan badaniah tersebut.
Hormonal menyebabkan perubahan seksual dan menimbulkan
dorongan-dorongan dan perasaan-perasaan baru. Keseimbangan hormonal yang baru menyebabkan individu merasakan hal-hal yang belum pernah dirasakan
senantiasa berubah, seperti tekanan dari teman sebaya, media masa, dan minat pada jenis seks lain, remaja menjadi lebih terorientasi secara seksual. Ini semua
menuntut kemampuan pengendalian dan pengaturan baru atas perilakunya. 3. Perubahan kognitif
Dalam tahapan yang bermula pada umur 11 atau 12 tahun in, remaja tidak lagi terikat pada realitas fisik yang konkrit dari apa yang ada, remaja mulai mampu berhadapan dengan aspek-aspek yang hipotesis dan abstrak dari
realitas. Imajinasi ini bisa terkait pada kondisi masyarakat, diri sendiri, aturan-aturan orang tua, atau apa yang akan dia lakukan dalam hidupnya. Singkatnya,
segala sesuatu menjadi fokus dari kemampuan berpikir hipotesis, kontrafaktual, dan imajinatif dari remaja.
4. Implikasi psikososial
Secara psikologis proses-proses dalam diri remaja semuanya tengah mengalami perubahan, dan komponen-komponen fisik, fisiologis, emosional,
dan kognitif sedang mengalami perubahan besar. Sekarang dengan terbukanya kemungkinan bagi semua objek untuk dipikirkan dengan cara yang hipotesis, berbeda dan baru, dan dengan perubahan dirinya yang radikal, sepantasnyalah
bagi individu untuk memfokuskan pada dirinya sendiri dan mencoba mengerti apa yang sedang terjadi.
a. Masa remaja awal (12-15 tahun)
Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan
berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak tergantung pada orang tua. Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap
bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan teman sebaya.
b. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)
Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru. Teman sebaya masih memiliki peran penting, namun individu sudah
lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self-directed). Pada masa ini remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal yang berkaitan dengan
tujuan vokasional yang ingin dicapai. Selain itu penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.
c. Masa remaja akhir (19-22 tahun)
Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa. Selama periode ini remaja berusaha memantapkan tujuan
vokasional dan mengembangkan sense of personal identiti. Keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan
orang dewasa, juga menjadi ciri dari tahap ini.
kanak-kanan ke masa dewasa. Pada masa peralihan terjadi banyak perubahan baik perubahan fisik, psikologis dan sosial ekonomi. Pada masa-masa ini
sebagai masa yang penting dalam pembentukan kepribadian remaja. Batasan remaja yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah remaja akhir usia 19
sampai 22 tahun.
D. Hubungan Kontrol Diri dengan Pelecehan Seksual
Menurut Goldfiled dan Merbaum (Muharsih, 2008), kontrol diri
diartikan sebagai kemampuan individu untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu
kearah konsekuensi positif. Kontrol diri juga dapat diartikan sebagai perasaan bahwa seseorang dapat membuat keputusan dan mengambil tindakan yang efektif untuk menghasilkan akibat yang diinginkan dan menghindari akibat yang
tidak diinginkan.
Harter (dalam Muharsih, 2008). Menyatakan bahwa dalam diri seseorang
terdapat suatu sistem pengaturan diri (self-regulation) yang memusatkan perhatian pada pengontrolan diri (self-control). Proses pengontrolan diri ini menjelaskan bagaimana diri (self) mengatur dan mengendalikan perilaku dalam
menjalani kehidupan sesuai dengan kemampuan individu dalam mengendalikan perilaku. Jika individu mampu mengendalikan perilakunya dengan baik, maka
seseorang tersebut akan dapat menjalani kehidupan dengan baik.
tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual. Aktifitas yang
berkonotasi seksual bisa dianggap pelecehan seksual jika mengandung unsur-unsur sebagai berikut, yaitu adanya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh
pelaku, kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku, kejadian tidak diinginkan korban, dan mengakibatkan penderitaan pada korban.
Remaja sebagai bagian dari masyarakat memiliki kewajiban untuk
mematuhi aturan yang berlaku didalam masyarakat itu sendiri. Remaja dituntut untuk dapat menahan keinginan yang dapat mengakibatkan perilaku negatif
(Noviana, 2003).
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kontrol diri merupakan bagian yang penting dari remaja sebagai pengontrol dorongan dan
keinginan yang berasal dari dalam. Remaja yang kontrol dirinya kurang cenderung berperilaku negatif, tidak mampu mengontrol perilaku-perilaku
negatif sehingga dapat melakukan pelecehan seksual.
E. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Remaja
Pelecehan Seksual Kontrol Diri
1. Berupa siulan yang menggoda 2. Lelucon bersifat
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah remaja UKM Olahraga dalam masa perkembangannya yang ditandai dengan pertumbuhan primer dan sekunder,
mengalami kematangan yang sempurna. Hormonal menyebabkan perubahan seksual dan menimbulkan dorongan-dorongan dan perasaan-perasaan baru. Seperti
tekanan dari teman sebaya, media masa, dan minat pada jenis seks lain, remaja menjadi lebih terorientasi secara seksual sehingga pada masa remaja ini muncul permasalahan-permasalahan seksual diantaranya perilaku pelecehan seksual. Ini
semua menuntut kemampuan pengendalian dan pengaturan baru atas perilakunya. Peranan kontrol diri merupakan bagian yang sangat penting dalam perkembangan
jiwa remaja. Pada remaja yang kurang memiliki kontrol diri, cenderung berperilaku negatif, tidak mampu mengontrol perilaku-perilaku negatif sehingga dapat melakukan pelecehan seksual.
F. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas diajukan hipotesis penelitian yaitu : ada hubungan