BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Resiliensi
1. Pengertian Resiliensi
Anggraeni (2008) berpendapat bahwa istilah resiliensi berasal
dari kata latin `resilire' yang artinya melambungkembali. Awalnya istilah
ini digunakan dalam konteks fisik atau ilmu fisika.Resiliensi berarti
kemampuan untukpulih kembali dari suatu keadaan,kembali ke bentuk
semula setelahdibengkokkan, ditekan, atau diregangkan. Bila digunakan
sebagaiistilah psikologi, resi1iensi adalahkemampuan manusia untuk
cepat pulihdari perubahan, sakit, kemalangan, atau kesulitan
(Kartika,2012).
Menurut United Nations International Strategy for Disaster
Reduction(2011) resiliensi merupakan kemampuan sistem, komunitas
atau masyarakatuntuk bertahan pada saat bahaya, menyerap,
mengakomodasidan pulih daridampakbahaya tersebut secara tepat
waktudan efisien.
Menurut Meichenbaum,dkk (2006) yang dituangkan dalam
Their Families” memaparkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan
untuk belajar hidup dengan ketakutan dan ketidakpastian, serta mampu
beradaptasi pada pengalaman hidup yang sulit dan menantang.
Fiery Spirits Community of Practice (2011) mengemukakan
bahwa istilah resiliensi dapat berbeda dalam beberapa konteks sesuai
tahap perkembangan masyarakat. Menurut Siebert (2005)dalam bukunya
The Resiliency Advantage memaparkan bahwa resiliensi adalah
kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan terbesar yang
mengganggu dan berkelanjutan dengan mempertahankan kesehatan dan
energi yang baik ketika berada dalam tekanan yang konsisten sehingga
mampu bangkit kembali dari kemunduran.Resiliensi ditandai dengan
adanya kemampuan untuk bangkit kembali dari pengalaman emosi dan
dengan fleksibel mampu beradaptasi terhadap perubahan serta
pengalaman stres (Tugade& Fredrickson,2004).
Menurut Reivich dan Shatte yang dituangkan dalam bukunya
“The Resiliency Factor” menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk
mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah
yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan
bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang
dialami dalam kehidupannya (Reivich& Shatte, 2002).
Dari berbagai pengertian resiliensi yang telah dipaparkan dapat
disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan
kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan
dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam
kehidupannya.
2. Aspek-aspek Resiliensi
Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh aspek yang
membentuk resiliensi, yaitu sebagai berikut :
a. Regulasi Emosi
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah
kondisi yang menekan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang
yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami
kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan orang
lain.
b. Pengendalian Impuls
Pada tahun 1970, Goleman penulis dari Emotional Intelligence,
melakukan penelitian terkait kemampuan individu dalam
pengendalian impuls. Pengendalian impuls adalah kemampuan
Individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta
tekanan yang muncul dari dalam diri.
Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang
rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya
mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan
perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku
di sekitarnya merasa kurang nyaman sehingga berakibat pada
buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain.
Individu dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah
terjadinya kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon
yang tepat pada permasalahan yang ada. Pencegahan dapat dilakukan
dengan dengan menguji keyakinan individu dan mengevaluasi
kebermanfaatan terhadap pemecahan masalah.
Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat
terkait dengan kemampuan regulasi emosi yang ia miliki. Seorang
individu yang memiliki skor Resilience Quotient yang tinggi pada
faktor regulasi emosi cenderung memiliki skor Resilience Quotient
pada faktor pengendalian impuls.
c. Optimisme
Individu yang resilien adalah individu yang optimis, optimisme
adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang.
Optimisme yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa
individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk
mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Hal ini
juga merefleksikan efikasi diri yang dimiliki oleh seseorang, yaitu
kepercayaan individu bahwa ia mampu menyelesaikan permasalahan
yang ada dan mengendalikan hidupnya.
Optimisme akan menjadi hal yang sangat bermanfaat untuk
optimisme yang ada seorang individu terus didorong untuk
menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi
yang lebih baik.
Tentunya optimisme yang dimaksud adalah optimisme yang
realistis (realistic optimism), yaitu sebuah kepercayaan akan
terwujudnya masa depan yang lebih baik dengan diiringi segala usaha
untuk mewujudkan hal tersebut. Berbeda dengan unrealistic optimism
dimana kepercayaan akan masa depan yang cerah tidak dibarengi
dengan usaha yang signifikan untuk mewujudkannya. Perpaduan
antara optimisme yang realistis dan efikasi diri adalah kunci resiliensi
dan kesuksesan.
d. Analisis Penyebab Masalah
Analisis penyebab masalah merujuk pada kemampuan individu
untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan
yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan
penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan
terus menerus berbuat kesalahan yang sama.
Seligman mengidentifikasikan gaya berpikir explanatory yang
erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki
individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi:
personal (saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan
Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di
luar kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang
kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai
mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan hidup mereka,
bangkit dan meraih kesuksesan.
e. Empati
Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk
membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain.
Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam
menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh
orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan
mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain.
Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kemampuan berempati
cenderung memiliki hubungan sosial yang positif.
f. Efikasi Diri
Efikasi diri adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil.
Efikasi diri merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu
memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan.
Efikasi diri merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai
resiliensi.
g. Peningkatan Aspek Positif
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi
untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun
lebih dari itu resiliensi juga merupakan kemampuan individu meraih
aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa ada
7 aspek yang harus dimiliki oleh seseorang bila ingin menjadi orang
yang resiliensi,yaitu : (1) Regulasi Emosi, (2) Pengendalian Impuls,
(3) Optimisme, (4) Analisis Penyebab Masalah, (5) Empati, (6)
Efikasi Diri dan (7) Peningkatan Aspek Positif. Sebagian besar
aspek-aspek tersebut merupakan sebuah aplikasi dari seorang manusia yang
dapat mengenali dirinya sendiri mempunyai kecerdasan emosi yang
baik, dapat menyusun masa depan yang jelas, selalu bangkit dari
keterpurukan. Serta selalu berfikir bagaimana menjadi individu yang
baik dan bermanfaat bagi masyarakat disekitarnya.
3. Fungsi Resiliensi
Penelitian tentang resiliensi hanya mencakup bidang yang kecil
dan digunakan oleh beberapa profesional seperti psikolog, psikiater, dan
sosiolog. Penelitian mereka berfokus pada anak-anak, dan
mengungkapkan kepada kita tentang karakteristik orang dewasa yang
resilien (Reivich & Shatte, 2002).
Sebuah penelitian telah menyatakan bahwa manusia dapat
menggunakan resiliensi untuk hal-hal berikut ini (Reivich &Shatte,
a. Overcoming
Dalam kehidupan terkadang manusia menemui kesengsaraan,
masalah-masalah yang menimbulkan stres yang tidak dapat untuk
dihindari. Oleh karenanya manusia membutuhkan resiliensi untuk
menghindar dari kerugian-kerugian yang menjadi akibat dari hal-hal
yang tidak menguntungkan tersebut. Kemampuan itu dapat
dilakukan dengan cara menganalisa dan mengubah cara pandang
menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk
mengontrol kehidupan kita sendiri. Agar kita dapat tetap merasa
termotivasi, produktif, terlibat, dan bahagia meskipun dihadapkan
pada berbagai tekanan di dalam kehidupan(Reivich & Shatte, 2002).
b. Steering through
Setiap orang membutuhkan resiliensi untuk menghadapi
setiap masalah, tekanan, dan setiap konflik yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Orang yang resilien akan menggunakan
sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi setiap masalah
yang ada, tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif
terhadap kejadian tersebut. Orang yang resilien dapat memandu
serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang
perjalanan hidupnya.
Penelitian menunjukkan bahwa unsur esensi dari steering
through dalam stres yang bersifat kronis adalah self-efficacy yaitu
lingkungan secara efektif dapat memecahkan berbagai masalah
yang muncul(Reivich &Shatte, 2002).
c. Bouncing back
Beberapa kejadian merupakan hal yang bersifat traumatik
dan menimbulkan tingkat stres yang tinggi, sehingga diperlukan
resiliensi yang lebih tinggi dalam menghadapai dan mengendalikan
diri sendiri. Kemunduran yang dirasakan biasanya begitu ekstrim,
menguras secara emosional, dan membutuhkan resiliensi dengan
cara bertahap untuk menyembuhkan diri.
Orang yang resiliensi biasanya menghadapi trauma dengan
tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri. Individu yang resilien
akan menunjukkan task-oriented coping style dimana individu
tersebut melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi
kemalangan tersebut, seorang yang resilien mempunyai keyakinan
kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan mereka,
dan orang yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat
dari trauma mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain
sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang mereka
rasakan(Reivich & Shatte, 2002).
d. Reaching out
Resiliensi, selain berguna untuk mengatasi pengalaman
negatif, stres, atau menyembuhkan diri dari trauma, juga berguna
bermakna serta berkomitmen dalam mengejar pembelajaran dan
pengalaman baru. Orang yang berkarakteristik seperti ini
melakukan tiga hal dengan baik, yaitu: tepat dalam memperkirakan
risiko yang terjadi; mengetahui dengan baik diri mereka sendiri;
dan menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa,
resiliensi memiliki empat fungsi utama, yaitu: (1) Overcoming (2)
Steering through, (3) Bouncing back dan (4)Reaching out. Dimana
dengan resiliensi, manusia menjadi mampu untuk menghindar dari
kerugian,kerugian, menghadapi tekanan serta konflik dalam
kehidupan sehari-hari. Selain itu juga mampu untuk mengendalikan
diri, mengontrol diri dari kemalanagan untuk mendapatkan
pengalaman hidup yang lebih kaya.
4. Karakteristik Individu yang Memiliki Kemampuan Resiliensi
Menurut Wolin dan Wolin dalam Kartika (2012)ada tujuh
karakteristik utamayang dimiliki oleh individu yangresilien.
Karakteristik-karakteristikinilah yang membuat individu
mampuberadaptasi dengan baik saatmenghadapi masalah,
mengatasiberbagai hambatan, sertamengembangkan potensi
a. Insight
Insight adalah kemampuanmental untuk bertanya pada diri
sendiri dan menjawab dengan jujur.Hal ini untuk membantu individu
untuk dapat memahami diri sendiridan orang lain serta dapat
menyesuaikan diri dalam berbagaisituasi.
b. Kemandirian
Kemandirian adalah kemampuanuntuk mengambil jarak
secaraemosional maupun fisik dari sumbermasalah dalam hidup
seseorang.Kemandirian melibatkankemampuan untuk menjaga
keseimbangan antara jujur pada dirisendiri dengan peduli pada
oranglain.
c. Hubungan
Seseorang yang resilien dapatmengembangkan hubungan
yangjujur, saling mendukung danberkualitas bagi kehidupan
ataumemiliki role model yang sehat.
d. Inisiatif
Inisiatif melibatkan keinginanyang kuat untuk bertanggung
jawabatas kehidupan sendiri atau masalah yang dihadapi. Individu
yang resilienbersikap proaktif bukan reaktifbertanggung jawab
dalam pemecahanmasalah selalu berusaha memperbaikidiri ataupun
situasi yang dapat diubahserta meningkatkan kemampuanuntuk
e. Kreativitas
Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan
berbagaipilihan, konsekuensi dan alternatifdalam menghadapi
tantangan hidup.Individu yang resilien tidak terlibatdalam perilaku
negatif sebab iamampu mempertimbangkankonsekuensi dari setiap
perilaku danmembuat keputusan yang benar.Kreativitas juga
melibatkan dayaimajinasi yang digunakan untukmengekspresikan
diri dalam seni,serta membuat seseorang mampumenghibur dirinya
sendiri saatmengahadapi kesulitan.
f. Humor
Humor adalah kemampuan untukmelihat sisi terang dari
kehidupan menertawakan diri sendiri danmenemukan kebahagiaan
dalamsituasi apapun. Individu yang resilienmenggunakan rasa
humornya untukmemandang tantangan hidup dengancara yang baru
dan lebih ringan.
g. Moralitas
Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan
keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang
resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan
yang tepat tanpa rasa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga
dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang lain
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa,
individu yang resilien memiliki karakteristik sebagai berikut : (1)
memiliki insight, (2) memiliki kemandirian, (3) mengembangkan
hubungan yang jujur, (4) memiliki inisiatif yang bertanggung jawab,
(5) kreatif, (6) memiliki selera humor, dan (7) memiliki moralitas
dan nilai-nilai.
5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi
Grotberg dalam Kartika (2012)mengemukakan faktor-faktor
resiliensiyang diidentifikasikan berdasarkansumber-sumber yang
berbeda. Untukkekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah “I
Am” untuk dukunganeksternal dan sumber-sumbernya,digunakan istilah
“I Have” sedangkanuntuk kemampuan interpersonaldigunakan istilah “I
Can”. Faktor-faktor resiliensi yang dapat menggambarkanresiliensi pada
individu sebagai berikut:
a. I Am
Faktor I Am merupakan kekuatanyang berasal dari dalam
diri, sepertiperasaan, tingkah laku dankepercayaan yang terdapat
dalam diriseseorang. Faktor I Am terdiri daribeberapa bagian yaitu,
bangga padadiri sendiri, perasaan dicintai dansikap yang menarik,
individudipenuhi harapan, iman, dankepercayaan, mencintai,
jawab.Berikut ini, akan dijelaskan satupersatu mengenai
bagian-bagian darifaktor I Am(Kartika, 2012).
1) Bangga pada diri sendiri;individu tahu bahwa merekaadalah
seorang yang penting danmerasa bangga akan siapakahmereka
itu dan apapun yangmereka lakukan atau akandicapai. Individu
itu tidak akanmembiarkan orang lainmeremehkan atau
merendahkanmereka. Ketika individumempunyai masalah
dalamhidup, kepercayaan diri dan self-esteem membantu
mereka untukdapat bertahan dan mengatasimasalah tersebut.
2) Perasaan dicintai dan sikap yang menarik; Individu pasti
mempunyai orang yang menyukai dan mencintainya. Individu
akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan
mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan
perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda
ketika berbicara dengan orang lain. Bagian yang lain adalah
dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan. Individu percaya
ada harapan bagi mereka, serta orang lain dan institusi yang
dapat dipercaya. Individu merasakan mana yang benar maupun
salah, dan ingin ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai
kepercayaan diri dan iman dalam moral dan kebaikan, serta
dapat mengekspresikannya sebagai kepercayaan terhadap
Tuhan dan manusia yang mempunyai spiritual yang
3) Mencintai, empati, altruistic; ketika seseorang mencintai orang
lain dan mengekspresikan cinta itu dengan berbagai macam
cara. Individu peduli terhadap apa yang terjadi pada orang lain
dan mengekspresikan melalui berbagai perilaku atau kata-kata.
Individu merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan orang
lain dan ingin melakukan sesuatu untuk menghentikan atau
berbagi penderitaan atau memberikan kenyamanan.
4) Mandiri dan bertanggung jawab; Individu dapat
melakukanberbagai macam hal menurut keinginan mereka dan
menerima berbagai konsekuensi dan perilakunya. Individu
merasakan bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas
hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka
terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain
bertanggung jawab.
b. I Have
Faktor I Have merupakanbantuan dan sumber dari luar
yangmeningkatkan resiliensi. Sumber-sumbernyaadalah
memberisemangat agar mandiri, dimanaindividu baik yang
independenmaupun masih tergantung dengankeluarga, secara
konsisten bisamendapatkan pelayanan sepertirumah sakit, dokter,
atau pelayananlain yang sejenis. Struktur dan aturan rumah,
setiapkeluarga mempunyai aturan-aturanyang harus diikuti, jika
akan diberikanpenjelasan atau hukuman.Sebaliknya jika anggota
keluargamematuhi aturan tersebut maka akan diberikan
pujian(Kartika, 2012).
Role Models jugamerupakan sumber dari faktor IHave
yaitu orang-orang yang dapatmenunjukkan apa yang individuharus
lakukan seperti informasiterhadap sesuatu dan memberisemangat
agar individumengikutinya. Sumber yang terakhir
adalahmempunyai hubungan. Orang-orangterdekat dari individu
seperti suami,anak, orang tua merupakan orangyang mencintai dan
menerima individu tersebut.
Tetapi individujuga membutuhkan cinta dandukungan dari
orang lain yangkadangkala dapat memenuhikebutuhan kasih
sayang yang kurangdari orang terdekat mereka.
c. I Can
Faktor I Can adalah kompetensisosial dan interpersonal
seseorang.Bagian-bagian dari faktor ini adalahmengatur berbagai
perasaan danrangsangan dimana individu dapatmengenali perasaan
mereka,mengenali berbagai jenis emosi, danmengekspresikannya
dalam kata-katadan tingkah laku namun tidakmenggunakan
kekerasan terhadapperasaan dan hak orang lain maupundiri sendiri.
Individu juga dapatmengatur rangsangan untukmemukul, kabur,
merusak barang atau melakukan berbagai tindakanyang tidak
Mencari hubungan yang dapatdipercaya dimana individu
dapatmenemukan seseorang misalnyaorang tua, saudara, teman
sebayauntuk meminta pertolongan, berbagiperasaan dan perhatian,
gunamencari cara terbaik untukmendiskusikan dan
menyelesaikanmasalah personal dan interpersonal.Sumber yang
lain adalahketerampilan berkomunikasi dimanaindividu mampu
mengekspresikanberbagai macam pikiran danperasaan kepada
orang lain dan dapatmendengar apa yang orang lainkatakan serta
merasakan perasaanorang lain.
Mengukur temperamen dirisendiri dan orang lain
dimanaindividu memahami temperamenmereka sendiri
(bagaimanabertingkah, merangsang, danmengambil resiko atau
diam, reflekdan berhati-hati) dan juga terhadaptemperamen orang
lain. Hal inimenolong individu untukmengetahui berapa lama
waktu yangdiperlukan untuk berkomunikasi,membantu individu
untukmengetahui kecepatan untukbereaksi, dan berapa banyak
individumampu sukses dalam berbagaisituasi.
Bagian yang terakhir adalahkemampuan memecahkan
masalah.Individu dapat menilai suatu masalahsecara alami serta
mengetahui apayang mereka butuhkan agar dapatmemecahkan
masalah dan bantuanapa yang mereka butuhkan dariorang lain.
Individu dapatmembicarakan berbagai masalahdengan orang lain
menyenangkan. Individuterus-menerus bertahan dengan
suatumasalah sampai masalah tersebutterpecahkan.
Menurut Jackson & Watkin (2004) dalam penelitiannya
menyebutkan tujuh faktor untuk mendorong resiliensi. Tujuh
kemampuan tersebut, sebagai berikut:
a. ABC
Merupakan kemampuan untuk belajar mengenali dampak dari
perilaku serta keyakinan diri dan konsekuensi emosi pada saat yang
sulit.
b. Thingking traps
Mengakui kesalahan dimana pada saat berpikir kita jarang
menyadarinya sebagai contoh pada saat langsung mengambil
kesimpulan.
c. Detecting icebergs
Membangun kesadaran yang dalam serta percaya dengan
yang kita miliki bagaimana dunia itu dapat bekerja dan berdampak
pada emosi serta perilaku.
d. Calming and focusing
Menemukan cara untuk melangkah kembali dari
keterpurukan, serta menciptakan ruang bernapas dan berpikir lebih
resilien.
Suatu proses yang lebih akurat dimana pemahaman kita
tentang peristiwa dapat ditingkatkan. Menyebabkan perilaku yang
lebih efektif dan berkelanjutan dalam pemecahan masalah.
f. Putting it in perspective
Belajar menghentikan pikiran mengenai bencana dan
mengubahnya menjadi pikiran yang lebih realistis
g. Real-time resilience
Menempatkan semuanya dalam prakteknya pada saat itu,
kemampuan resilien ini mampu dengan cepat menguasai dan tidak
bergantung pada orang lain (Jackson & Watkin, 2004).
Dari pernyataan di atas, terlihat bagaimana seorang
manusia dapat menjadi orang yang resilien terdiri dari
beberapafaktor. Faktor yang berasal dari suatu hubungan yang baik
dari lingkungan sekitarnya, kemudian bagaimana seseorang tersebut
dapat mengenali kekuatan yang berasal dari dalam dirinya.
Mempunyai tingkah laku yang baik dan percaya diri atas
kemampuanya. Serta kemampuan untuk dapat bersosialisasi dalam
hal ini agar diharapkan untuk dapat bersosialsi dengan berhubungan
sosial dengan masyarakat lain tidak lupa juga untuk dapat
mengendalikan perasaanya.Dimana individu mampu untuk belajar
mengenali dampak perilakunya, mengakui kesalahan, bangun dari
keterpurukan, menghentikan pikiran yang tidak realistis serta tidak
B. Perilaku Asertif
1. Pengertian Perilaku Asertif
Lazarus(1973) adalah orang pertama yangmengidentifikasi
perilaku asertifsebagai kemampuan untuk mengatakan tidak,
kemampuanuntuk memintabantuanatau membuatpermintaan,
kemampuan untukmengekspresikanperasaan positifdan negatif,
kemampuanuntuk memulai, melanjutkan danmenyelesaikansebuah
percakapan(Pipas& Jaradat,2010).
Agusdalam penelitiannya mengemukakan bahwa perilaku asertif
adalah perilaku yang merupakan ekspresi atau pernyataan dari minat,
kebutuhan, pendapat, pikiran dan perasaan, yang dilakukan secara
bijaksana, adil, dan efektif, sehingga hak-hak kita bisa dipertahankan
dengan tetap memperhatikan penghargaan atas kesetaraan dan hak orang
lain (Purwanto,N.A.,2012).
Menurut Rathus & Nevid (1983) perilaku asertif adalah tingkah
laku yang menampilkan keberanian untuk secara jujur dan terbuka
menyatakan kebutuhan, perasaan dan pikiran-pikiran apa adanya,
mempertahankan hak-hak pribadi, serta menolak permintaan-permintaan
yang tidak masuk akal termasuk tekanan yang datang dari figur otoritas
dan standar-standar yang berlaku pada suatu kelompok (Rosita,2012).
Paterson (2000) dalam bukunya The Assertiveness
gayakomunikasiyang dapat digunakandalam semuasituasi. Tapi ituhanya
salah satu dariempat gaya, tigagaya lainnya adalahgayapasif, gayaagresif
dangayaagresifpasif.
Menurut MacNeilage dan Adams (1982), asertif adalah bentuk
tingkah laku interpersonal yang di dalamnya terdiri dari komunikasi
langsung, terbuka dan jujur yang menunjukkan pertimbangan dan
penghormatan kepada individu lain (Hamzah& Ismail, 2008).
Caputo (1984), juga menafsirkan perilaku asertif sebagai
perwatakan individu seperti tenang, berfikir rasional, keyakinan diri dan
bertanggung jawab. Asertif juga dilihat sebagai tingkah laku paling baik
bagi individu, di samping mampu menolak perilaku yang buruk terhadap
orang lain. Individu yang asertif berupaya untuk berinteraksi dengan
orang lain secara produktif dan memuaskan kedua belah pihak
(Hamzah& Ismail, 2008).
Burley (1983) mengemukakan perilaku asertif adalah bentuk
tingkah laku yang menunjukkan penghormatan terhadap diri dan orang
lain. Perilaku asertif bersikap terbuka dan jujur terhadap diri sendiri dan
orang lain, mendengar pandangan orang lain, memiliki ketegasan untuk
diri sendiri dan memahami situasi orang lain (Hamzah& Ismail, 2008).
Menurut Alberti & Emmons (2002) definisi dari perilaku asertif
itu sendiri adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang
diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain namun dengan
berperilaku asertif, seseorang dituntut untuk jujur terhadap dirinya dan
jujur pula dalam mengekspresikan perasaan, pendapat, dan kebutuhan
secara proporsional, tanpa ada maksud untuk memanipulasi,
memanfaatkan, menyangkali hak-hak orang lain ataupun merugikan
pihak lainnya (Hapsari,2011).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku
asertif adalah tingkah laku yang menampilkan keberanian untuk secara
jujur dan terbuka menyatakan kebutuhan, perasaan dan pikiran-pikiran
apa adanya, mempertahankan hak-hak pribadi, serta menolak
permintaan-permintaan yang tidak masuk akal termasuk tekanan yang
datang dari figur otoritas dan standar-standar yang berlaku pada suatu
kelompok.
2. Tipe-tipe Perilaku Asertif
Lange & Jakubowski (1978) menyatakan beberapa tipe perilaku
asertif (Hapsari,2011). Tipe-tipe perilaku asertif tersebut adalah:
a. Basic Assertion.
Basic Assertion mengacu pada ekspresi penghargaan secara
sederhana terhadap hak, keyakinan, perasaan atau opini individu
tanpa melibatkan keterampilan social lain seperti empati,
konfrontasi, atau persuasi. Selain itu Basic Assertion juga
melibatkan pengekspresian perasaan dan penghargaan terhadap
b. Emphatic Assertion.
Bentuk ini dilakukan jika seseorang ingin untuk
melakukansesuatu yang lebih daripada sekedar mengekspresikan
perasaan atau kebutuhan mereka secara sederhana. Individu
menyampaikan pernyataan yang menunjukkan adanya pemahaman
akan situasi atau perasaan orang lain dan diikuti dengan pernyataan
lain yang menunjukkan usaha mempertahankan hak pribadi yang
bersangkutan.
c. Escalating Assertion.
Rimm & Masters menyatakan bahwa escalating assertion,
dimulai dengan respon asertif minimal yang biasanya dapat
mencapai tujuan dengan emosi negatif dan usaha minimum serta
kemungkinan konsekuensi negatif yang kecil. Ketika orang lain
tidak merespon dan terus melanggar hak pribadi, individu secara
bertahap meningkatkan tingkah laku asertifnya tanpa menjadi
agresif. Bentuk escalating assertion dapat berupa permintaan
sampai tuntutan, mulai dari mencoba memilih sampai langsung
menolak, atau mulai dari emphatic assertion sampai basic assertion
yang tegas.
Bentuk ini digunakan ketika kata-kata seseorang bersifat
kontradiktif dengan perbuatannya. Tipe ini meliputi penggambaran
secara objektif mengenai apa yang telah dikatakan seseorang, yang
sebenarnya telah dilakukan dan apa yang anda diinginkan.
e. I Language Assertion.
I-Language terutama berguna untuk orang-orang dalam
mengekspresikan perasaan-perasaan negative. Prinsip-prinsip
dalam I-Language dapat membantu individu
mempelajaribagaimana menentukan perasaan individu.
Sedangkan L’Abate & Milan (1985) menjelaskan ada 3 (tiga)
tipe perilaku asertif (Hapsari,2011). Tiga tipe tersebut yaitu:
a. Asertif untuk menolak (Refusal Assertiveness)
Perilaku asertif dalam konteks ketidaksetujuan atau ketika
seseorang berusaha untuk menghalangi atau mencampuri
pencapaian tujuan orang lain. Hal ini membutuhkan keterampilan
sosial untuk menolak atau menghindari campur tangan orang lain.
b. Asertif untuk memuji (Commendatory Assertiveness)
Ekspresi-ekspresi dari perasaan positif seperti penghargaan,
apresiasi dan menyukai dapat dilihat untuk memfasilitasi hubungan
interpersonal yang baik. Kemampuan untuk memuji orang lain
dalam cara yang hangat, tulus dan bersahabat dapat menjadi
membuat seseorang menjadi penguat dan partner interaksi yang
menyenangkan.
c. Asertif untuk meminta (Request Assertiveness)
Perilaku asertif jenis ini terjadiketika seseorang meminta
orang lain untuk membantunya mencapai tujuan atau memenuhi
kebutuhannya. Perilaku asertif ini sering dipadukan dengan
penolakan, dalam situasi menolak permintaan orang lain dan
meminta perubahan tingkah laku peminta. Fungsi dari jenis
perilaku asertif ini adalah agar menghindari terjadinya konflik yang
sama dikemudian hari (Hapsari,2011).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tipe-tipe
perilaku asertif, yaitu : (1) Asertif untuk menolak,(2) Asertif untuk
mengungkapkan perasaan, dan (3) Asertif untuk memuji dan
memberikan penghargaan.
3. Pendorong Munculnya Perilaku Asertif
Perilaku Asertif membuat orang menjadi lebih percaya diri dan
merasa berharga, memiliki konsep diri yang tepat, meningkatkan
pengendalian diri (self-control) dalam kehidupan sehari-hari, serta
memperoleh hubungan yang adil dengan orang
lain(Purwanto,N.A.,2012).
Munculnya perilaku asertif didorong oleh keyakinan bahwa:
b. Saya bebas untuk berfikir, memilih dan membuat keputusan, belajar,
dan mengembangkan diri.
c. Saya mampu untuk mencoba sesuatu, membuat kesalahan, belajar,
dan mengembangkan diri.
d. Saya bertanggung jawab atas tindakan saya dan respon saya terhadap
orang lain.
e. Saya tidak perlu minta ijin untuk mengambil tindakan.
f. Tidak masalah bila tidak setuju dengan orang lain. Persetujuan tidak
selalu diperlukan dan tidak selalu tepat (Purwanto,N.A., 2012).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa individu
yang ingin meningkatkan asertifnya harus memiliki keyakinan setara
dengan orang lain, mampu membuat keputusan, berani belajar dari
kesalahan, bertanggung jawab atas tindakannya serta tidak masalah bila
tidak setuju dengan orang lain.
4. Ciri-ciri Individu yang Berperilaku Asertif
Beberapa ciri dari individu yang memiliki asertivitas menurut
Large dan Jakubowski,1978(Rosita,2012) adalah sebagai berikut:
a. Memulai interaksi
b. Menolak permintaan yang tidak layak
c. Mengekspresikan ketidaksetujuan dan ketidaksenangan
d. Berbicara dalam kelompok
f. Mampu menerima kecaman dan kritik
g. Memberi dan menerima umpan balik
Ditambahkan oleh Palmer dan Froener (2002) ciri-ciri individu
yang asertif adalah:
a. Bicara jujur
b. Memperlakukan orang lain dengan hormat, begitu pula sebaliknya
c. Menampilkan diri sendiri dan menyayangi orang lain
d. Memiliki hubungan yang baik dan efektif dengan orang lain
e. Tenang dalam keseharian dan memperlihatkan selera humor
dalam menghadapi situasiyang sulit (Rosita,2012).
Dari kedua pendapat tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa ciri-ciri individu yang berperilaku asertif adalah sebagai
berikut (a) Memulai interaksi, (b) Bicara jujur, (c) Mengekspresikan
ketidaksetujuan dan ketidaksenangan, (d) Mengekspresikan pendapat
dan saran, (e) Mampu menerima kecaman dan kritik, (f)
Memperlakukan orang lain dengan hormat, begitu pula sebaliknya, (g)
Memberi dan menerima umpan balik, (h) Menampilkan diri sendiri
dan menyayangi orang lain dan (i) Tenang dalam keseharian dan
memperlihatkan selera humor dalam menghadapi situasi yang sulit.
5. Komponen-komponenPerilaku Asertif
Menurut Burley dan Allen (1983) perilaku asertif terdiri dari
a. Komponen verbal
Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata yang
menunjukkan perasaanindividu yang sebenarnya dan membuat orang
nyaman. Kata-kata yangdigunakan juga tidak menyudutkan orang
lain karena tidak terdapat penilaianatau pemberian label pada orang
lain.
b. Komponen Kognitif
Komponen kignitif berkaitan dengan apa yang dialami
individu secarainternal, mencakup semua hal yang mengganggu
perilaku individu untuk menuju perilaku yang diinginkan. Perilaku
asertif didasari oleh penilaianpositif hal-hal yang terjadi pada diri
mereka, sehingga konsep diri orang yangasertif cenderung positif.
c. Kompenen Emosional
Komponen emosional yang mencakup tingkat emosional
yang diekspresikan,volume suara dan intonasi. Penting bagi individu
untuk mengungkapkan pesandan tingkat emosional yang situasinya
sesuai karena nada suara memainkanperanan penting bagaimana
pesan diterima oleh orang lain.
d. Komponen Non Verbal
Perilaku non verbal pada perilaku asertif terdiri dari gerakan
non verbal yangdiekspresikan, misalnya kontak mata individu yang
asertif diarahkan padalawan bicaranya; ekspresi muka yang asertif
asertif tidak tersenyum ketika marah;gerak isyarat menentukan
perilaku yang ditampilkan; bahasa tubuh individuyang asertif rileks
dan tidak kaku; kecepatan bicara individu yang asertif adalah
moderat dan normal; pengaturan waktu. Individu yang asertif
mempertimbangkan waktu yang tepat dalam mengungkapkan
perasaan danpikiran mereka; jarak, dimana individu yang asertif
tidak mengambil jarak ketika berinteraksi dengan orang lain;
kelancaran dan isi (Hamzah& Ismail, 2008).
Menurut Eisler, Miller & Hersen, Johnson &Pinkton (Marini &
Andriani,2005) ada beberapa komponen dari asertivitas, antara lain
adalah:
a. Compliance
Berkaitan dengan usaha seseorang untukmenolak atau
tidak sependapat dengan orang lain.Yang perlu ditekankan di sini
adalah keberanianseseorang untuk mengatakan “tidak” pada orang
lain jika memang itu tidak sesuai dengankeinginannya.
b. Duration of Reply
Merupakan lamanya waktu bagi seseoranguntuk
mengatakan apa yang dikehendakinya,dengan menerangkannya pada
orang lain.
c. Loudness
Berbicara dengan lebih keras biasanya lebih asertif, selama
merupakan carayang terbaik dalam berkomunikasi secara
efektifdengan orang lain.
d. Request for New Behavior
Meminta munculnya perilaku yang baru padaorang lain,
mengungkapkan tentang fakta ataupunperasaan dalam memberikan
saran pada orang lain,dengan tujuan agar situasi berubah sesuai
denganyang kita inginkan(Marini & Andriani,2005).
e. Affect
Afek berarti emosi; ketika seseorang berbicara dalam
keadaan emosi maka intonasi suaranya akan meninggi. Pesan yang
disampaikan akan lebih asertif jika seseorang berbicara dengan
fluktuasi yang sedang dan tidak berupa respons yang monoton
ataupun respons yang emosional.
f. Latency of Response
Adalah jarak waktu antara akhir ucapanseseorang sampai
giliran kita untuk mulai berbicara. Kenyataannya bahwa adanya
sedikit jeda sesaat sebelum menjawab secara umum lebih asertif
daripada yang tidak terdapat jeda.
g. Non Verbal Behavior
Serber (Marini & Andriani,2005) menyatakan bahwa
komponen-komponen non-verbal dari asertivitas antara lain:
Secara umum, jika kita memandang orang yangkita ajak
bicara maka akan membantu dalampenyampaian pesan dan juga
akanmeningkatkan efektifitas pesan. Akan tetapijangan pula
sampai terlalu membelalak ataupun juga menundukkan kepala.
2) Ekspresi Muka
Perilaku asertif yang efektif membutuhkanekspresi wajah
yang sesuai dengan pesan yangdisampaikan. Misalnya, pesan
kemarahan akandisampaikan secara langsung tanpa senyuman
ataupun pada saat gembira tunjukkan denganwajah senang.
3) Jarak Fisik
Sebaiknya berdiri atau duduk dengan jarakyang
sewajarnya. Jika kita terlalu dekat dapatmengganggu orang lain
dan terlihat sepertimenantang, sementara terlalu jauh akan
membuat orang lain susah untuk menangkapapa maksud dari
perkataan kita.
4) Sikap Badan
Sikap badan yang tegak ketika berhadapandengan orang
lain akan membuat pesan lebihasertif. Sementara sikap badan
yang tidak tegakdan terlihat malas-malasan akan membuat orang
5) Isyarat Tubuh
Pemberian isyarat tubuh dengan gerakan tubuhyang sesuai
dapat menambah keterbukaan, rasapercaya diri dan memberikan
penekanan padaapa yang kita katakan, misalnya
denganmengarahkan tangan ke luar (Marini & Andriani, 2005).
Berdasarkan atas komponen-komponen di atas, dapat
disimpulkan bahwa komponen-komponen asertif yaitu:
a. Ekspresif
Artinya mampu untuk mengemukakan perasaan dan
pendapatnya, dapat berkomunikasi dengan orang lain, kemampuan
untuk melanjutkan dan mengkahriri pembicaraan dengan orang lain.
b. Mampu mempertahankan hak pribadi
Memiliki kemampuan untuk mempertahankan perasaan,
pikiran, keyakinan, dan keluhan secara langsung dan jujur terhadap
orang lain.
c. Menggunakan performance yang selaras
Mampu mengekspresikan perasaan atau segala hal yang
dirasakannya melalui mimik atau roman muka serta mempunyai
pandangan yang aktif tentang hidup.
d. Kemampuan berinisiatif
Memiliki kemampuan untuk bertindak dengan cara yang
selalu berusaha untuk mencapai sesuatu dengan usaha yang
sebaik-baiknya.
6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Asertif
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Perilaku
AsertifMenurut Rathus dan Nevid (1983)terdapat 6 faktor yang
mempengaruhiperkembangan perilaku asertif (Rosita, 2012), yaitu:
a. Jenis Kelamin
Wanita pada umumnya lebih sulit bersikap asertif seperti
mengungkapkan perasaan danpikiran dibandingkan dengan laki-laki.
b. Self - esteem
Keyakinan seseorang turut mempengaruhi kemampuan untuk
melakukan penyesuaian diridengan lingkungan. Orang yang
memiliki keyakinan diri yang tinggi memiliki kekuatiransosial yang
rendah sehingga mampu mengungkapkan pendapat dan perasaan
tanpamerugikan orang lain dan diri sendiri.
c. Kebudayaan
Tuntutan lingkungan menentukan batas-batas perilaku,
dimana batas-batas perilaku itusesuai dengan usia, jenis kelamin, dan
status sosial seseorang
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin luas
wawasan berpikir sehinggamemiliki kemampuan untuk
mengembangkan diri dengan lebih terbuka.
e. Tipe Kepribadian
Dalam situasi yang sama tidak semua individu memberikan
respon yang sama. Hal inidipengaruhi oleh tipe kepribadian
seseorang. Dengan tipe kepribadian tertentu seseorangakan
bertingkah laku berbeda dengan individu dengan tipe kepribadian
lain (Rosita,2012).
f. Situasi tertentu Lingkungan sekitarnya
Dalam berperilaku seseorang akan melihat kondisi dan situasi
dalam arti luas, misalnyaposisi kerja antara atasan dan bawahan.
Situasi dalam kehidupan tertentu akan dikuatirkanmenggangu.Jadi
dapat disimpulkan bahwa asertivitas dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu jenis kelamin, self esteem, kebudayaan, tingkat
pendidikan, tipe kepribadian serta situasi tertentu pada lingkungan
sekitarnya (Rosita,2012).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku asertif. Faktor-faktor
tersebut seperti jenis kelamin, self-esteem, kebudayaan, tingkat
C. Remaja
1. Pengertian Remaja
Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere
yang artinya tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Piaget menyatakan
secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi
dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah
tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan
yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak (Hurlock, 2012).
Menurut Larson, dkk (2002) masa remaja merupakan periode
transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa,
yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan
sosio-emosional. Tugas pokok remaja sendiri adalah mempersiapkan diri
memasuki masa dewasa (Santrock, 2007).
Monk mengungkapkan bahwa remaja sebetulnya tidak memiliki
tempat yang jelas, mereka tidak termasuk golongan anak-anak tetapi juga
belum bisa diterima secara penuh untuk masuk ke golongan orang
dewasa. Remaja ada di antara anak-anak dan orang dewasa. Remaja
seringkali dikenal sebagai fase mencari jati diri atau fase topan dan badai
(Kurniawan, 2009).
Dari pengertian remaja yang telah dipaparkan dapat disimpulkan
bahwa remaja merupakan periode transisi perkembangan dalam mencari
perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Pada masa
ini remaja memiliki tugas mempersiapkan diri memasuki masa dewasa.
2. Tugas Perkembagan Remaja
Menurut Hurlock (2012) tugas perkembangan remaja sebagai
berikut :
a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman
sebaya baik pria maupun wanita.
b. Mencapai peran sosial pria dan wanita.
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara
efektif.
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung
jawab.
e. Mencapai kemandirian emosional dari orag tua dan orang-orang
dewasa lainnya.
f. Mempersiapkan karir ekonomi.
g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.
h. Memperoleh perangkat dan nilai sistem etis sebagai pegangan untuk
berperilaku serta mengembangkan ideologi.
Menurut Suntrock (2007) tugas Perkembangan remaja sebbagai
a. Perkembangan biologis yang didalamnya terdapat perkembangan
hormon dan perubahan fisik remaja laki-laki dan perempuan sebagai
tanda dari kematangan seksual
b. Perkembangan kognitif meliputi perubahan inteligensi, pikiran dan
bahasa individu.
c. Perkembangan sosio-emosional meliputi perubahan dalam hubungan
individu dengan manusia lain, dalam emosi , kepribadian dan dalam
peran dari konteks sosial dan perkembagan.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan tugas perkembangan remaja
sebagai berikut :
a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya
baik pria maupun wanita.
b. Mencapai peran sosial pria dan wanita.
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.
e. Mencapai kemandirian emosional dari orag tua dan orang-orang dewasa
lainnya.
f. Mempersiapkan karir ekonomi.
g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.
h. Memperoleh perangkat dan nilai sistem etis sebagai pegangan untuk
berperilaku serta mengembangkan ideologi.
3. Kematangan Seksual Remaja
Menurut Hurlock (2012) meningkatnya minat pada seks
remaja membuat remaja mencari banyak informasi mengenai seks.
Remaja mulai membentuk hubungan baru yang lebih matang dengan
lawan jenis, dan dalam memainkan peran yang tepat dalam seksnya. Pada
akhir masa remaja sebagian besar remaja laki-laki dan perempuan telah
mempunyai cukup informasi tentang seks guna memuaskan keinginan
mereka (Hurlock, 2012).
Menurut Suntrock (2007) kematangan seksual ditandai dengan
perubahan fisik. Perubahan fisik seperti para remaja laki-laki dengan
bertambah panjangnya penis, membesarnya testis dan tumbuhnya rambut
wajah. Pada remaja wanita membesarnya payudara, rambut kemaluan
mulai tumbuh dan menstruasi. Masa ini menyebabkan perubahan hormon
yang menyebabkan mulai muncul dorongan, fantasi seksual, kenyataan
seksual untuk menjadikan seksual sebagai bagian dari identitas seseorang
(Suntrock, 2007).
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
kematangan seksual remaja ditandai dengan perubahan fisik seperti para
remaja laki-laki dengan bertambah panjangnya penis, membesarnya testis
dan tumbuhnya rambut wajah. Pada remaja wanita membesarnya
payudara, rambut kemaluan mulai tumbuh dan menstruasi. Masa ini
menyebabkan perubahan hormon yang menyebabkan mulai muncul
4. Remaja Yang Berpacaran
Meskipun banyak remaja putra dan putri yang saling
mempengaruhi secara sosial melalui teman sabaya yang dimilikinya baik
dalam kelompok formal maupun informal, melalui berpacaranlah kontak
yang serius mulai muncul. Berpacaran di masa remaja membantu remaja
dalam membentuk hubungan yang romantis selanjutnya bahkan hingga
jenjang pernikahan. Meningkatnya masalah-masalah seperti kehamilan
remaja, pemerkosaan yang terjadi pada saat berpacaran serta penyakit
seksual yang menular membuat hubungan romantis pada awal kehidupan
remaja menjadi dimensi yang penting pada perkembangan individu
(Santrock, 2008).
Pada saat ini pacaran telah berkembang menjadi sesuatu yang
lebih dari sekedar masa perkenalan menuju ke pernikahan. Pacaran
sendiri memiliki delapan fungsi sebagai berikut ( Santrock, 2008):
a) Pacaran merupakan suatu bentuk rekreasi. Remaja yang berpacaran
terlihat sangat menikmatinya dan melihat pacaran sebagai sumber
dari kesenangan rekreasi.
b) Pacaran merupakan sumber dari status dan keberhasilan. Sebagai
bagian dari proses perbandingan sosial yang juga melibatkan proses
pengevaluasian atas status orang yang mereka cintai.
c) Pacaran merupakan bagian dari proses sosialisasi pada masa remaja,
d) Pacaran meliputi proses belajar tentang keakraban dan merupakan
sebuah kesempatan untuk menciptakan hubungan yang unik.
e) Pacaran dapat menjadi sarana untuk eksperimen dan penggalian
hal-hal seksual.
f) Pacaran dapat memberikan kebersamaan dalam berinteraksi dan
melakukan aktivitas bersama-sama dalam hubungan dengan lawan
jenis.
g) Pengalaman pacaran memberikan proses kontribusi untuk mengenali
proses pembentukan dan perkembangan identitas.
h) Pacaran dapat menjadi alat untuk memilih dan menyeleksi pasangan,
sehingga juga tetap memainkan fungsi awalnya sebagai masa
perkenalan untuk hubungan yang lebih jauh.
Saat remaja berpacaran terdapat kecenderungan terbangun
suasana romantisme yang meningkatkan tingkat perilaku seksual dari
tahap sentuhan ringan hingga hubungan seksual. Remaja yang tidak
mampu mengendalikan diri dalam berpacaran cenderung melakukan
aktivitas seksual sampai dengan pergaulan bebas, bahkan hingga sampai
D. Hubungan Antara Perilaku Asertif dan Resiliensi Dalam Menghadapai Tekanan dari Pacar Untuk Melakuakan Seks Bebas pada Remaja
Perkembangan teknologi di era globalisasi ini memberikan dampak
pistif dan negatif bagi remaja. Remaja dihadapkan pada dilema dua hal, yaitu
disatu sisi remaja diharapkan sebagai generasi penerus bangsa, tetapi di sisi
lain remaja dihadapkan pada masalah rawannya pergaulan akibat dari arus
globalisasi itu sendiri (Ramadhy, 2011).
Tugas perkembangan masa remaja menuntut perubahan besar baik
perilaku dan sikap remaja. Terlebih dengan berkembangan tekhnologi dan
media masa. Sehingga sedikit dari remaja yang mampu untuk menguasai
tugas-tugas mereka sebagai remaja. Selain beban tugas perkembangan
remaja, pada diri remaja juga terdapat perubahan-perubahan pada bentuk
tubuh disertai dengan struktur serta fungsinya. Dimana perkembangan
karakteristik primer dan sekunder tersebut merupakan awal dari kematangan
seksual seseorang (Desmita,2005).
Kematangan organ reproduksi pada remaja menimbulkan
dorongan-dorongan seksual sehingga ada keinginan untuk memperluas pergaulan dan
adanya ketertarikan dengan lawan jenis. Ketertarikan yang intensif dan intim
tersebut memunculkan komitmen antar pasangan remaja untuk menjalin
hubungan yang lazim yang disebut pacaran. Saat remaja berpacaran terdapat
kecenderungan terbangun suasana romantisme yang meningkatkan tingkat
perilaku seksual dari tahap sentuhan ringan hingga hubungan seksual. Remaja
melakukan aktivitas seksual sampai dengan pergaulan bebas, bahkan hingga
sampai penularan HIV/AIDS (Wibowo, 2012).
Dalam segala segi, remaja mengalami banyak perubahan.
Perubahan-perubahan tersebut sering menimbulkan kegoncangan dan
ketidak-pastian. Dalam menghadapi badai perkembangan banyak remaja
yang berhasil mengatasi berbagai rintangan. Mereka menjadikan rintangan
dan berbagai kegagalan sebagai peluang dan tantangan untuk tetap bangkit
meraih keberhasilan. Pada akhirnya berhasil melaksanakan tugas-tugas
perkembangan secara wajar. Salah satu faktor yang berperan terhadap
keberhasilan individu dalam menghadapi berbagai kesulitan adalah daya
lentur individu atau resiliensi (Suwarjo, 2008).
Menurut Reivich. K dan Shatte. A yang dituangkan dalam bukunya
“The Resiliency Factor” menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk
mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang
terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan
berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam
kehidupannya (Reivichdan Shatte, 2002 ). Dimana didalamnya terdapat tujuh
aspek resiliensi yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme,
analisis penyebab masalah, empati, efikasi diri dan peningkatan aspek positif.
Tidak adanya resiliensi pada remaja dalam menghadapi seks bebas,
membuat remaja tidak mampu menolak untuk melakukan seks bebas. Remaja
menjadi kurang mampu berkomunikasi secara positif untuk menolak ajakan
untuk masuk dalam kelompok teman sebaya, remaja harus mengikuti nilai
dalam kelompok tersebut.
Hal ini disebabkan karena remaja tidak tegas menolak keinginan dan
paksaan dari pasangannya atau juga karena remaja merasa takut ditinggalkan
oleh pasangannya. Remaja dalam menentukan sikap haruslah bersikap
mandiri, tegas dan bebas. Artinya dapat mengambil keputusan sesuai dengan
keinginan tanpa harus membatasi diri, dapat menentukan apa yang terbaik
untuk diri sendiri. Hal inilah yang disebut sebagai perilaku asertif.
Banyuwati (dalam Falah, 2009) menyatakan untuk menjadi remaja
yang resilien, remaja harus memiliki kemampuan berkomunikasi secara
terbuka sehingga remaja perlu memiliki perilaku asertif. Remaja yang
bersikap asertif mampu berkomunikasi dengan semua orang secara terbuka,
langsung, jujur, dan sebagaimana mestinya, memiliki pandangan yang aktif
tentang kehidupan, mempunyai usaha-usaha untuk mendapatkan apa yang
diinginkannya, mampu mengungkapkan perasaan dan pikirannya, mampu
memberi dan menerima pujian serta dapat menerima keterbatasan dirinya.
Menurut Rathus & Nevid (1983) perilaku asertif adalah tingkah laku yang
menampilkan keberanian untuk secara jujur dan terbuka menyatakan
kebutuhan, perasaan dan pikiran-pikiran apa adanya, mempertahankan
hak-hak pribadi, serta menolak permintaan-permintaan yang tidak masuk akal
termasuk tekanan yang datang dari figur otoritas dan standar-standar yang
Dengan adanya perilaku asertif remaja mampu melakukan penilaian
tentang benar dan salah, baik dan buruk suatu perilaku, maka mereka akan
memahami mana perilaku yang benar dan mana perilaku yang salah, sehingga
remaja dapat mengambil keputusan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai
yang timbul dari hati nurani dan bukan paksaan dari luar yang disertai pula
oleh rasa tanggungjawab. Dalam perilaku seks bebas, jika remaja mampu
melakukan pertimbangan terhadap perilaku seks bebas, dimana pertimbangan
tersebut akan memunculkan pemahaman tentang resiko perilaku seks bebas,
maka remaja akan mampu untuk mengelola dorongan seksualnya secara baik
dan dorongan seksualnya dapat disalurkan secara sehat serta
bertanggungjawab(Rosita, 2012).
Diharapkan bahwa dengan adanya perilaku asertif maka remaja
mampu meningkatkan resilensi mereka terhadap seks bebas.Remaja juga
mampu untuk beradaptasi dalam lingkungan yang sulit dan menolak adanya
E. Kerangka Berpikir
Gambar 1. Kerangka Berpikir
REMAJA YANG BERPACARAN
RENDAH TINGGI
TEKANAN MELAKUKAN SEKS BEBAS
RESILIENSI
•
Regulasi Emosi,•
Pengendalian impuls,•
Optimisme,•
Empati,•
Analisis penyebab masalah,•
Efikasi diri•
Peningkatan aspek positif.ASERTIF
• Ekspresif,
• Mampu mempertahankan
hak pribadi,
• Menggunakan
performance yang selaras, • Kemampuan berinisiatif.
TINGGI
F. Hipotesis
Berdasarkan kerangka berfikir hipotesis yang diajukan penulis
ialah ada pengaruh perilaku asertifterhadap resiliensi dalam menghadapi
tekanan dari pacar untuk melakukan seks bebas pada remaja putri yang