• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN A. Latar belakang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1

I. PENDAHULUAN

A.Latar belakang

Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang penting bagi petani. Keberadaan pupuk secara tepat baik jumlah, jenis, mutu, harga, tempat, dan waktu akan menentukan kualitas dan kuantitas produk pertanian yang dihasilkan. Peranan pupuk sangat signifikan dalam peningkatan produksi pangan dan kualitas hasil komoditas pertanian. Ketersediaan pupuk hingga tingkat petani penting untuk dilakukan dengan memenuhi azas enam tepat yakni, tepat waktu, jumlah, jenis, mutu, dan tepat harga agar petani dapat menerapkan teknologi pemupukan berimbang sesuai dengan rekomendasi pemerintah. Pengembangan penerapan pemupukan berimbang spesifik lokasi sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40/SR.140/04/2007 tentang penyempurnaan revisi rekomendasi pemupukan N, P, dan K pada padi sawah spesifikasi lokasi. Disamping itu, efektifitas penggunaan pupuk ditingkat petani juga dilakukan untuk mendorong pengembangan penggunaan pupuk organik (Rusadhi,1987).

Pupuk bersubsidi merupakan salah satu sarana produksi yang ketersedian produknya disubsidi oleh pemerintah untuk petani. Dalam pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi telah diatur dengan peraturan Menteri Perdagangan No.15/M-DAG/PER/4/2013 menjelaskan bahwa pupuk bersubsidi adalah barang dalam pengawasan yang pengadaan dan penyaluranya mendapatkan subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan kelompok tani dan petani di sektor pertanian. Harga Eceran Tertinggi (HET) diatur dengan peraturan Menteri Pertanian No.130/Permentan/SR.130/11/2014 menjelaskan bahwa penetapan Harga Eceran Tertinggi pupuk urea sebesar Rp.1.800,-/kg, pupuk ZA sebesar Rp.1.400,-Rp.1.800,-/kg, pupuk SP-36 sebesar Rp.2.000,-Rp.1.800,-/kg, pupuk NPK sebesar Rp.2.300,-/kg dan pupuk organik sebesar Rp.500,-/kg. Pemberian pupuk bersubsidi oleh pemerintah guna mendorong peningkatan produktivitas mengingat pentingnya peran pupuk. Peranan pupuk yang penting sangat mempengaruhi produksi nasional guna mewujudkan program Ketahanan Pangan.

Kariyasa (2007) menjelaskan bahwa secara historis kebijakan subsidi pupuk dapat dikelompokan kedalam empat periode yaitu (1) Periode 1960-1979

(2)

2

(1). Periode 1960-1979 pada periode ini untuk pertama kalinya pengadaan dan penyaluran pupuk diatur oleh Pemerintah. Ada subsidi pupuk bagi petani peserta Bimas dan tersedianya peluang bisnis pupuk bagi setiap Badan Usaha. Sistem penyaluran pupuk kepada penyalur pengecer adalah secara kontinyu. Petani menebus pupuk dengan menggunakan kupon kepada penyalur sebagai pertanggung jawaban atas yang diterimanya secara kontinyu dari PT Pupuk Sriwidjaja Palembang tidak adanya ketentuan stok, sehingga tidak ada jaminan stok tersedia disetiap waktu. Kurangnya stok juga dipicu karena adanya pengembalian kredit yang macet dari petani dan di sisi lain pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk mengimpor pupuk.

(2). Periode 1979-1998. Sampai tahun 1993 seluruh pupuk untuk sektor pertanian disubsidi dan di tataniagakan dengan penanggung jawab pengadaan dan penyaluran pupuk pada satu tangan yaitu PT Pupuk Sriwidjaja Palembang ditetapkan prinsip 6 tepat dan ketentuan stok yang menjamin ketersediaan pupuk di Lini IV. Perkembangan berikutnya sejak tahun1993/1994 hanya pupuk urea untuk sektor pertanian yang disubsidi dan ditataniagakan. Pengadaan dan penyaluran pupuk urea bersubsidi dibawah tanggung jawab PT.PUSRI sedangkan untuk jenis yang lain tidak diatur. Sekalipun masih ada prinsip 6 tepat dan ketentuan stok untuk pupuk urea, namun tidak ada jaminan ketersediaan pupuk akibat adanya disparsitas harga antara pasar pupuk urea bersubsidi dan non subsidi.

(3). Periode tahun 1998-2002 terhitung mulai 1 Desember 1998 sampai dengan 13 Maret 2001 pupuk tidak disubsidi dan menjadi komoditas bebas dimana berlaku mekanisme supply dan demand. Tidak ada prinsip 6 tepat lagi dan ketentuan stok sehingga sering terjadi fenomena kelangkaan pupuk ditandai dengan tingginya harga sehingga memberikan peluang bagi pupuk alternatif yang kulitasnya diragukan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pengadaan penyaluran pupuk urea untuk sektor pertanian dengan SK Memperindag No.93/2001 tanggal 14 Maret 2001 yang mulai berlaku tanggal 14 Maret 2001. Pada dasarnya sebagian besar materi Kepmen ini hampir sama dengan ketentuan tataniaga sebelumnya (Keputusan Menteri Perdagangan No378/1998). Perbedaan yang mendasar adalah Keputusan Menteri Perdagangan No.93/2001 memberikan kesempatan bagi semua produsen pupuk untuk melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk urea ke subsektor tanaman pangan, perikanan, peternakan dan perkebunan rakyat yang pada Kepmen sebelumnya hanya dilakukan

(3)

3

oleh PT.PUSRI. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa Kepmen No.93/2001 masih belum menjamin ketersediaan pupuk menurut prinsip 6 tepat.

(4).Periode 2003-sekarang. Bedasarkan SK Menteri Perdagangan No.70/MPP/Kep/2003 bahwa sistem pendistribusian pupuk berdasarkan royonisasi dimana setiap produsen bertanggung jawab penuh untuk memenuhi permintaan di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. Jika produsen tidak mampu memenuhi permintaan pupuk bersubsidi di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya dari hasil produksi sendiri wajib melakukan kerjasama dengan produsen lain dalam bentuk kerja sama oprasional (KSO).

Kelancaran dalam pemenuhan pupuk urea bersubsidi sangat penting namun sering terjadi justru petani kekurangan pasokan pupuk urea bahkan harga yang dibebankan kepada petani melebihi harga eceran tertinggi. Harga yang dibebankan petani dalam hal ini adalah biaya ongkos kirim. Hal ini yang bisa menyebabkan kurangnya pertumbuhan tanaman dan dapat mengancam penurunan produksi serta pembenahan untuk program ketahanan pangan nasional.

Sistem distribusi pupuk di Indonesia selama ini diatur oleh Menteri Perdagangan. Peraturan sistem distribusi pupuk dengan harapan agar petani memperoleh pupuk dengan enam azas tepat, yaitu : tempat, jenis, waktu, jumlah, mutu, dan harga. Keberhasilan dalam implementasi dari sistem ini salah satunya dapat dilihat dari adanya kesesuaian antara rencana penyaluran dan realisasi.

Kebutuhan pupuk urea bersubsidi untuk tanaman pangan di Jawa Barat sebesar 662.000 ton. Rencana kebutuhan per bulannya berkisar 5.000-8.000 ton. Rencana kebutuhan pupuk jenis ini tertinggi terjadi di Kabupaten Indramayu 65.000 ton dan terendah di Kabupaten Purwakarta sebesar 13.600 ton. Sampai dengan bulan Juni 2005, realisasi penyaluran pupuk urea bersubsidi di Provinsi Jawa Barat sudah mencapai 55,74% dari rencana penyaluran pupuk dalam setahun dan sudah mencapai sekitar 103,29% dari rencana penyaluran sampai bulan juni. Artinya, realisasi penyaluran pupuk secara keseluruhan di Jawa Barat sudah mencapai 3,29% di atas rencana. Kelebihan realisasi penyaluran pupuk masing-masing terjadi pada bulan Januari, April, Mei dan Juni yaitu dengan volume penyaluran berkisar 105,29 – 113,66 %. Realisasi penyaluran pupuk masih dibawah rencana hanya terjadi pada bulan Februari dan Maret, yaitu dengan penyaluran berkisar 85,21-92,56%. Realisasi penyaluran pupuk baik diatas

(4)

4

maupun di bawah rencana akan menyebabkan terjadi langka pasok dan lonjak harga baik antar musim maupun antar daerah ( Kariyasa dan Yusmichad, 2005).

Sistem pendistribusian pupuk yang selama ini diterapkan selama ini belum cukup efektif dalam upaya memenuhi enam azas tepat yang selama ini menjadi target pemerintah dan para pelaku lainnya dalam mendistribusikan pupuk ke tingkat petani. Ada beberapa hal yang diduga sebagai penyebab terjadi pendistribusian pupuk tidak sesuai dengan rencana. Pertama, pemakaian pupuk urea di tingkat petani melebihi dosis anjuran. Dalam perhitungan subsidi pupuk, dosis pemakaian pupuk urea yang dianjurkan pemerintah hanya sebanyak 250 kg/ha, akan tetapi dalam prakteknya banyak petani mengggunakan pupuk jenis ini berkisar 350 – 500 kg/ha. Penggunaan pupuk berlebih terjadi karena petani masih beranggapan bahwa pupuk urea merupakan pupuk pokok dan mutlak diperlukan, sementara pupuk laiinya seperti SP36,NPK, dan Pupuk Organik merupakan pupuk pelengkap ( Adnyana dan Kariyasa, 2000).

Pupuk telah senantiasa berada di lini depan dalam usaha untuk meningkatkan produksi pangan dunia dan mungkin lebih dari pada jenis input yang lain, secara luas bertanggung jawab bagi keberhasilan pangan dunia. Dengan meningkatnya jumlah penduduk maka selaras dengan meningkatnya permintaan akan pangan, namun hal ini menyebabkan muncul permasalahan baru yakni adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan pemenuhan kebutuhan akan pangan. Agar dapat meningkatkan produksi pangan tentu saja banyak faktor yang menjadi indikator keberhasilan dalam pencapaiannya. Salah satu nya penggunaan sarana produksi yang tepat. Salah satu sarana produksi yang memegang peranan sangat penting adalah pupuk. Penggunaan pupuk yang tepat dan sesuai dosis anjuran tentu saja dapat meningkatkan produksi dan menekan biaya. Banyaknya ketidaktahuan petani dalam menggunakan pupuk berimbang. Dalam penggunaan pupuk yang tidak berimbang dan kerap menjadi akar dari permasalahan yakni penggunaan pupuk yang berlebihan tidak sesuai dengan alokasi menyebabkan terjadinya kelangkaan pupuk di beberapa daerah.

Kebijakan subsidi dan sistem distribusi pupuk yang selama ini dibuat begitu amat komprehensif ternyata tidak menjamin adanya ketersediaan pupuk ditingkat petani khususnya pupuk bersubsidi sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi yang telah ditetapkan. Mulai dari tahap perencanaan kebutuhan, penetapan Harga Eceran Tertinggi, besaran subsidi sampai distribusi sampai ke pengguna pupuk bersubsidi sepertinya telah

(5)

5

begitu baik dibuat, tetapi permasalahan langka pasok, lonjak harga termasuk didalamnya keinginan petani untuk menerima besaran Harga Eceran Tertinggi, besaran subsidi yang terlalu kecil dan pendistribusian pupuk bersubsidi yang tidak tepat sasaran terus terjadi dan berulang setiap tahun.

Kasus kelangkaan pupuk terutama jenis urea merupakan fenomena yang terjadi secara berulang tingginya HET di tangan petani menyebabkan terjadinya kelangkaan pupuk yang disebabkan karena sistem penditribusian pupuk bersubsidi jenis urea ini. Tingginya biaya produksi pendistribusian pupuk urea bersubsidi menyebabkan tingginya HET yang harus dibayar oleh petani diatas HET yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pasokan urea yang diproduksi oleh Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seharusnya dapat memenuhi kebutuhan domestik.

Penetapan kebijakan sistem distribusi pupuk urea bersubsidi memberi dampak pada setiap peranan sektor pertanian karena pupuk urea bersubsidi menjadi faktor sarana produksi yang paling penting guna meningkatkan produktivitas. Hal ini tentunya selaras dengan tujuan pemerintah dalam program swasembada pangan. Dengan produktivitas yang memadai pasar domestik diharapkan Indonesia dapat menekan impor dan dapat melaksanakan swasembada pangan. Penetapan kebijakan sistem distribusi pupuk urea bersubsidi ternyata masih menimbulkan masalah-masalah dalam pendistribusian dari produsen sampai ke konsumen yakni petani. Hal ini tentu saja dapat menghambat dan menurunkan produktivitas serta tidak dapat terlaksanakannya program swasembada pangan yang dicanangkan oleh pemerintah.

B. Rumusan Masalah

Kabupaten Banjarnegara merupakan kabupaten yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian sebagai petani. Kebutuhan akan sarana produksi pupuk urea bersubsidi merupakan hal yang sangat vital. Dalam pemenuhan kebutuhan pupuk urea bersubsidi oleh petani telah dialokasikan subsidi untuk pupuk bagi petani yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam pendistribusian pupuk bersubsidi salah satunya urea telah diatur sedemikian rupa dari penyaluran, kebutuhan serta HET.

Pada penyalaran pupuk urea bersubsidi melibatkan beberapa lembaga terkait yakni dari produsen sampai dengan konsumen. Dengan adanya lembaga yang terlibat

(6)

6

tentu saja mempengaruhi harga yang terbentuk ditingkat petani. HET yang telah ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan Keputusan Permentan Nomor 130/Permentan/SR.130/11/2014 tentang kebutuhan dan HET pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian, meskipun telah ditetapkan dengan HET, seringkali harga pupuk bersubsidi yang dibeli petani lebih tinggi dibandingkan dengan HET. Oleh karena itu, perlu dikaji keefektifan HET pupuk bersubsidi untuk melihat ketepatan harga yang diterima petani. Keefektifan HET dapat dilihat dari perbandingan harga pupuk yang dibeli oleh petani dengan HET lalu dinyatakan dalam persentase.

Dengan terbentuknya harga di tingkat petani dapat dikaji dengan mengukur faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pembentukan harga yakni terdapat beberapa variabel independen yakni biaya transportasi, jarak, saluran distribusi dan jumlah pupuk urea bersubsidi. Dengan mengetahui faktor yang berpengaruh signifikan maka dapat diketahui faktor dalam terbentuknya harga pupuk urea bersubsidi.

Pada penyaluran pupuk urea bersubsidi yang melibatkan beberapa lembaga tentu saja mempengaruhi marjin yang didapatkan oleh lembaga pemasaran tersebut serta dengan mengetahui hal tersebut dapat diketahui pula monopoli indeks lembaga disetiap saluran distribusi, oleh karena itu dapat diukur dan ditentukan dengan mengetahui tingkat keuntungan serta saluran distribusi yang memonopoli pasar.

Beberapa hal yang dapat dikaji dalam pendistribusian pupuk urea bersubsidi adalah sistem yang telah diterapkan apakah sudah sesuai, Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang telah sesuai, marjin pemasaran, tingkat monopoli masing-masing lembaga pemasaran, dan efisiensi pemasaran.

Bedasarkan uraian diatas, maka dirasakan perlu dilakukan kajian tentang efisiensi distribusi pupuk urea bersubsidi dengan masalah yang dikemukakan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah harga pupuk urea bersubsidi yang diterima petani sudah sesuai dengan HET ?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi harga pupuk urea bersubsidi di tingkat petani ?

3. Bagaimana marjin pada setiap lembaga distribusi pupuk urea bersubsidi ?

4. Bagaimana tingkat monopoli pada setiap lembaga distribusi pupuk urea bersubsidi?

(7)

7

5. Bagaimana tingkat efisiensi pendistribusian pupuk urea bersubsidi?

C.Tujuan Penelitian

Bedasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui harga pupuk urea bersubsidi yang diterima petani sudah sesuai dengan HET.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga pupuk urea bersubsidi di tingkat petani yakni rata-rata biaya transportasi, jarak, jumlah pupuk urea bersubsidi, dan saluran distribusi.

3. Mengetahui marjin pada setiap lembaga distribusi pupuk urea bersubsidi.

4. Mengetahui tingkat monopoli pada setiap lembaga distribusi pupuk urea bersubsidi.

5. Mengetahui tingkat efisiensi pendistribusian pupuk urea bersubsidi.

D.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat bagi:

1. Untuk peneliti, dapat sebagai sarana peningkatan ilmu pengetahuan dan peningkatan aplikasi ilmu di bidang agribisnis, dan untuk memenuhi persyaratan program sarjana di Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada.

2. Untuk pelaku distribusi pupuk urea bersubsidi dapat digunakan sebagai bahan informasi dan evaluasi dalam hal-hal yang berkaitan dengan distribusi pupuk urea bersubsidi di Kabupaten Banjarnegara.

3. Bagi pembaca dan pihak lain dapat digunakan sebagai bahan pengetahuan informasi serta tambahan pemahaman mengenai sistem distribusi pupuk urea bersubsidi di Kabupaten Banjarnegara.

Referensi

Dokumen terkait

Biro Konsultasi merupakan satu unit yang menjadi sasaran untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat baik secara individu maupun keluarga yang memiliki permasalahan dalam

Pengontrolan running text menggunakan voice ini menggunakan jaringan Bluetooth untuk mengkomunikasikan perangkat android ke arduino, user hanya perlu membuka Aplikasi

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan statistik inferensial yaitu statistik non parametrik melalui uji wilcoxon signed rangks test menyatakan

3. Sutama, M.Pd, selaku dosen Pembimbing yang selalu memberikan pengarahan, motivasi, dan bimbingan dengan penuh kesabaran kepada penulis hingga terselesaikannya

Dalam halaman awal buku ini menceritakan mengenai cerita rakyat yang berasal dari Kabupaten Pacitan Jawa Timur, yang membahas asal-usul nama Pacitan, Ki Ageng Buwono

f) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak di sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar kehijauan di

231 Tabel 4.65 Tabel keterangan halaman Revise Quotation untuk user Supplier.... 232 Tabel 4.66 Tabel keterangan halaman Revise Quotation Details

Dari hasil uji coaba lapangan pengembangan media audio visual menggunakan macromedia flash untuk siswa kelas V sekolah dasar pada mata pelajaran IPS diperoleh