• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Bobak et al, 2004), Sectio Caesarea merupakan kelahiran bayi melalui insisi trans

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Bobak et al, 2004), Sectio Caesarea merupakan kelahiran bayi melalui insisi trans"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sectio Caesarea (SC)

2.1.1 Pengertian Sectio Caesarea

Sectio Caesarea menurut (Wikjosastro, 2000) adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat dinding dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram. Sementara menurut (Bobak et al, 2004), Sectio Caesarea merupakan kelahiran bayi melalui insisi trans abdominal. Menurut (Mochtar, 1998), Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina atau Sectio Caesarea adalah suatu histerotomia untuk melahirkan janin dalam rahim. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Sectio Caesarea merupakan suatu pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus.

2.1.2 Perawatan Pasca Bedah Caesar

Menurut Mochtar (1998) perawatan pasca bedah meliputi :

a.

Perawatan luka insisi

Luka insisi dibersihkan dengan alkohol dan larutan betadin dan sebagainya, lalu ditutup dengan kain penutup luka. Secara periodik pembalut luka diganti dan luka dibersihkan.

(2)

b.

Tempat perawatan pasca bedah

Setelah tindakan di kamar operasi selesai, pasien dipindahkan ke dalam kamar rawat khusus yang dilengkapi dengan alat pendingin kamar udara selama beberapa hari. Bila pasca bedah kondisi gawat segera pindahkan ke unit darurat untuk perawatan bersama-sama dengan unit anastesi, karena di sini peralatan untuk menyelamatkan pasien lebih lengkap. Setelah puslih barulah di pindahkan ke tempat pasien semula dirawat.

c.

Pemberian cairan

Karena selama 24 jam pertama pasien puasa pasca operasi, maka pemberian cairan perinfus harus cukup banyak dan mengandung elektrolit yang diperlukan, agar tidak terjadi dehidrasi.

d.

Nyeri

Nyeri pasca operasi merupakan efek samping yang harus diderita oleh mereka yang pernah menjalani operasi, termasuk bedah Caesar. Nyeri tersebut dapat disebabkan oleh perlekatan-perlekatan antar jaringan akibat operasi. Nyeri tersebut hampir tidak mungkin di hilangkan 100%, ibu akan mengalami nyeri atau gangguan terutama bila aktivitas berlebih atau melakukan gerakan-gerakan kasar yang tiba-tiba. Sejak pasien sadar dalam 24 jam pertama rasa nyeri masih dirasakan didaerah operasi.

Rasa nyeri biasanya diberikan analgetik. Ada tiga jenis analgesik yakni (1) Non narkotik dan Obat Anti Inflamasi Non Steroid (NSAID), (2) Analgesik narkotik atau Opiat dan (3) Obat tambahan (adjuvant) atau koanalgesik yang diberikan dengan tujuan untuk meredakan nyeri dan memperbaiki kualitas hidup pasien. (Smeltzer & Bare, 2001). Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral. Golongan obat AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik

(3)

opioid bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi. Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang mengalami metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang lepas ini akan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi, edema, rasa nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain itu juga prostaglandin. meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap suatu rangsangan nyeri (nosiseptif).

Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen yang nyata yaitutransduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri)

Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.

Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis

(4)

terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebridan dirasakan sebagai persepsi nyeri.

Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan

impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik.

Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari enzim COX yang menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal ini menghasilkan kedua efek yakni baik yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan duaisoenzim, yaitu ubiquitously dan constitutiveyang diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi COX-2. COX-1 terutama terdapat pada mukosa lambung,

(5)

parenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti agregasi platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducibledan diekspresikan terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan menimbulkan inflamasi, demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang transien di medulla spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam sensitisasi sentral. Ketorolac tromethamine merupakan obat Anti Inflamasi Non steroid (AINS) yang menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dipertimbangkan aksi analgesik perifernya. Aksitivitas biologi dari ketorolac trombethamine tidak memiliki efek sedatif atau anxiolytic. Waktu mula kerja efek analgesik ketorolac rute pemberian IV dan IM adalah sama kira-kira 30 menit, dengan munculnya efek analgesik dalam waktu 1 atau 2 jam. Nilai tengah durasi analgesik umumnya 4 sampai 6 jam.

e.

Mobilisasi

Mobilisasi segera tahap demi tahap sangat berguna untuk membantu jalanya penyembuhan pasien. Mobilisasi berguna untuk mencegah terjadinya thrombosis dan emboli. Miring ke kanan dan kiri sudah dapat dimulai sejak 6-10 jam setelah pasiensadar. Latihan pernafasan dapat dilakukan pasien sambil tidur terlentang sedini mungkin setelah sadar. Pada hari kedua pasien dapat didudukkan selama 5 menit dan dan diminta untuk bernafas dalam-dalam lalu menghembuskanya disertai batuk-batuk kecil yang gunanya untuk melonggarkan pernafasan dan sekaligus menumbuhkan kepercayaan pada diri pasien bahwa ia mulai pulih. Kemudian posisi tidur terlentang dirubah menjadi setengah duduk (semi fowler). Selanjutnya secara berturut-turut, hari demi hari pasien dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan dan berjalan sendiri pada hari ke 3 sampai 5 pasca bedah.

(6)

2.2 Nyeri

2.2.1 Pengertian Nyeri

Menurut Asosiasi Internasional untuk Penelitian Nyeri (IASP) dalam Potter (2006), mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian di mana terjadi kerusakan. Menurut Mc Caffery dalam Potter (2006), nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja seseorang mengatakan bahwa ia merasa nyeri. Menurut Carpenito, L J (2005), nyeri adalah keadaan dimana individu mengalami dan melaporkan adanya rasa ketidaknyamanan yang hebat atau sensasi yang tidak menyenangkan. Menurut Smeltzer & Bare (2002), nyeri adalah pengalaman emosional dan sensori yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang actual atau potensial. Dari beberapa pengertian di atas maka dapat didefinisikan nyeri secara umum sebagai suatu rasa yang tidak menyenangkan baik ringan maupun berat.

2.2.2 Fisiologis Nyeri

Menurut Barbara C Long (1996), menjelaskan tentang fisiologis nyeri sebagai berikut. Reseptor nyeri disebut noiceptor merupakan ujung-ujung syaraf yang bebas, tidak bermyelin atau sedikit bermyelin dari neuron aferen. Nociceptor-nociceptor tersebar luas pada kulit dan mukosa dan terdapat pada struktur-struktur yang lebih dalam seperti pada visera, persendian, dinding arteri, hati dan kandung empedu. Noiceptor member respon yang terpilih terhadap stimuli yang membahayakan seperti stimuli kimiawi, thermal, listrik atau mekanis. Yang tergolong stimuli kimiawi terhadap nyeri adalah histamine, bradikinin, prostaglandin, bermacam macam asam, sebagian bahan tersebut dilepas oleh jaringan yang rusak. Anoksia yang menimbulkan nyeri adalah oleh kimia

(7)

yang dilepas oleh jaringan anoksia yang rusak. Spasmus otot menimbulkan nyeri kerena menekan pembuluh darah yang menjadi anoksia. Spasme otot dapat juga berkibat anoksia. Pembengkakan jaringan menjadi nyeri akibat tekanan (stimuli mekanis) kepada nociceptor yang menghubungkan jaringan. Nyeri tidak menimbulkan adaptasi adaptasi yang berulang ulang pada beberapa kejadian bisa menjadi lebih sensitive untuk beberapa lama. Pada keadaan patologis sensitifitas nyeri meningkat. Contoh, luka yang terbakar karena matahari menjadi sangat peka terhadap nyeri walaupun hanya sedikit sentuhan (stimulus mekanis).

2.2.3 Proses Transmisi Nyeri

Impuls-impuls nyeri disalurkan kesum-sum tulang belakang oleh dua jenis serabut-serabut yang bermyelin rapat serabut A-delta (cepat), serabut-serabut lamban serabut C. Nyeri dapat diterangkan sebagai nyeri tajam atau menusuk dan yang mudah diketahui lokasinya akibat dari impuls-impuls yang disalurkan oleh serabut-serabut delta-A. Contoh dari nyeri tersebut ialah seperti tusukan oleh jarum, rasa nyeri “panas” , “tumpul” atau “gatal” dan yang lebih difus berasal dari impuls-impuls yang ditransmisikan oleh serabut C. Impuls-impuls yang ditransmisikan oleh serabut delta A mempunyai sifat inhibitori yang ditransmisikan ke serabut-serabut C. serabut-serabut syaraf aferen masuk ke spinal lewat “dorsal noot” dan sinaps pada “dorsal horn”. Dorsal horn terdiri dari beberapa lapisan yang saling bertautan. Lamina II dan III membentuk daerah yang disebut subtantia gelatinosa. Subtantia P dilepas pada sinaps dari SG dan diduga merupakan penyalur syaraf/neuro transmitter utama dari impuls-impuls nyeri.

Impuls-impuls nyeri menyebrangi sum-sum belakang pada interneuron-interneuron dan bersambung dengan jalur spinalis asendens. Paling sedikit terdapat enam jalur sendens untuk impuls-impuls nociptive terletak pada belahan ventral dari sum-sum

(8)

belakang yang paling utama adalah spinothalamus tract (STT) / jalur spinotalamus dan spinoreticular track (SKRT) / jalur spinoretikkuler. STT merupakan system yang diskriminatif dan membawa informasi mengenai sifat dan stimulus kepada thalamus kemudian ke kortek untuk di interpretasi. Impuls-impuls yang ditransmisi lewat SKT (yang pergi ke batang otak dan kesebagian thalamus) mengaktifkan respon-respon autonomi dan limbic (motivational affectice / evektif yang dimotivasi) (Barbara C. Long, 1996).

Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen yang nyata yaitutransduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri)

2.2.3.1 Proses Transduksi

Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.

(9)

2.2.3.2 Proses Transmisi

Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebridan dirasakan sebagai persepsi nyeri

2.2.3.3 Proses Modulasi

Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan

impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang

2.2.3.4 Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal

(10)

sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik

2.2.4 Teori Pengontrolan Nyeri

Teori Gerbang Kendali Nyeri (Gate Control Theory) proses dimana terjadi interaksi antara stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang mengirim sensasi tedak nyeri memblok atau menurunkan transmisi impuls nyeri melalui gerbang penghambat. Substantia Gelatinosa (SG) yaitu area dari sel-sel khusus pada bagianujung dorsal spinal cord mempunyai peran sebagai mekanisme pintu gerbang yang dapat membuka dan menutup yang dapat mengijinkan atau menolak lewatnya impuls nyeri. Mekanisme pintu gerbang ini dapat merubah sensasi nyeri yang datang sebelum sampai ke korteks dan menimbulkan persepsi nyeri. Jika menutup impuls nyeri tidak sampai ke korteks dan jika terbuka akan sampai ke korteks dan menimbulkan persepsi nyeri (Potter & Perry, 2006).

2.2.5 Klasifikasi Nyeri

Smeltzer & Bare (2002), mengklasifikasikan nyeri berdasarkan durasinya, yaitu:

a.

Nyeri akut

Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi. Nyeri ini umumnya terjadi kurang dari 6 bulan dan biasanya kurang dari 1 bulan. Untuk tujuan definisi nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri berlangsung dari beberapa detik hingga 6 bulan.

(11)

b.

Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronik dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyembuhannya. Nyeri kronik sering didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama 6 bulan atau lebih, meskipun dapat berubah antara akut dan kronik.

Sementara Price & Wilson (2006), mengklasifikasikan nyeri berdasarkan lokasi atau sumber, antara lain:

a)

Nyeri somatik superfisial (kulit)

Nyeri kulit berasal dari struktur-struktur superfisial kulit dan jaringan subkutis. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri di kulit dapat berupa rangsang mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Apabila kulit hanya yang terlibat, nyeri sering dirasakan sebagai penyengat, tajam, meringis atau seperti terbakar, tetapi apabila pembuluh darah ikut berperan menimbulkan nyeri, sifaf nyeri menjadi berdenyut.

b)

Nyeri somatik dalam

Nyeri somatik dalam mengacu kepadanyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi dan arteri. Struktur-struktur ini memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri kulit dan cenderung menyebar ke daerah sekitarnya.

(12)

c)

Nyeri visera

Nyeri visera mengacu kepada nyeriyang berasal dari organ-organ tubuh. Reseptor nyeri visera lebih jarang dibandingkan dengan reseptor nyeri somatik dan terletak di dinding otot polos organ-organ berongga. Mekanisme utama yang menimbulkan nyeri visera adalah peregangan atau distensi abnormal dinding atau kapsul organ, iskemiadan peradangan.

d)

Nyeri alih

Nyeri alih didefinisikan sebagai nyeri berasal dari salah satu daerah di tubuh tetapi dirasakan terletak didaerah lain. Nyeri visera sering dialihkan ke dermatom (daerah kulit) yang dipersarafi oleh segmen medula spinalis yang sama dengan viksusyang nyeri tersebut berasal dari masa mudigah, tidak hams di tempatorgan tersebut berada pada masa dewasa.

e)

Nyeri neuropati

Sistem saraf secara normal menyalurkan rangsangan yang merugikan dari sistem saraf tepi (SST) ke sistem saraf pusat (SSP) yang menimbulkan perasaan nyeri. Dengan demikian, lesi di SST atau SSP dapat menyebabkan gangguan atau hilangnya sensasi nyeri. Nyeri neuropatik sering memiliki kualitas seperti terbakar, perih atau seperti tersengat listrik. Pasien dengan nyeri neuropatik menderita akibat instabilitas sistem saraf otonom (SSO). Dengan deminkian, nyeri sering bertambah parah oleh stres emosi atau fisik (dingin, kelelahan) dan mereda oleh relaksasi.

(13)

2.2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Menurut Potter & Perry (2006) faktor-faktor yang menyebabkan nyeri, antara lain:

a.

Usia

Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak dan lansia. Perbedaan perkembangan yang ditemukan diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri.

b. Jenis kelamin

Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara makna dalam respon terhadap nyeri. Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam mengekspresikan nyeri. Toleransi nyeri sejak lama telah menjadi subyek penelitian yang melibatkan pria dan wanita, akan tetapi toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia dan merupakan hal yang unik pada setiap individu tanpa memperhatikan jenis kelamin.

c. Kebudayaan

Keyakinan dan nilai-nilai budayamempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Menurut Clancy dan Vicar dalam (Perry & Potter, 2006), menyatakan bahwa sosialisasi budaya menetukan perilaku psikologis seseorang. Dengan demikian, hal ini dapat mempengaruhi pengeluaran fisiologis opiat endogen dan sehingga terjadilah persepsi nyeri.

(14)

d. Makna nyeri

Pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu tersebut. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda beda apabila nyeri tersebut memberikan kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan tantangan. Misalnya seorang wanita yang melahirkan akan mempersepsikan nyeri, akibat cedera karena pukulan pasangannya. Derajat dan kualitas nyeri yang dipersiapkan nyeri klien berhubungan dengan makna nyeri.

e. Perhatian

Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat sedangkan upaya pengalihandihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus yang lain, maka perawat menempatkan nyeri pada kesadaran yang perifer. Biasanya hal ini menyebabkan toleransi nyeri individu meningkat, khususnya terhadap nyeri yang berlangsung hanya selama waktu pengalihan.

f. Ansietas

Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan ansietas. Price (Potter & Perry, 2006), melaporkan suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistim limbik dapat memproses reaksi emosi seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbic dapat memproses reaksi emosi seseorang terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri.

(15)

g. Keletihan

Keletihan meningkatkan persepsi nyeri, rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada setiap individu yang menderita penyakit dalam jangka lama. Apabila keletihan disertai kesulitan tidur, maka persepsi nyeri terasa lebih berat dan jika mengalami suatu proses periode tidur yang baik maka nyeri berkurang.

h. Pengalaman sebelumnya

Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berati bahwa individu akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Apabila individu sejak lama seringmengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh maka rasa takut akan muncul, dan juga sebaliknya. Akibatnya klien akan lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri.

i. Gaya koping

Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat merasa kesepian, gaya koping mempengaruhi mengatasi nyeri.

j. Dukungan keluarga dan sosial

Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri adalah kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka terhadap klien. Walaupun nyeri dirasakan, kehadiran orang yang bermakna bagi pasien akan meminimalkan kesepian dan ketakutan. Apabila tidak ada keluarga atau teman, seringkali pengalaman nyeri membuat klien semakin tertekan, sebaliknya tersedianya seseorang yang memberi dukungan sangatlah berguna karena akan membuat seseorang merasa lebih nyaman. Kehadiran

(16)

2.2.7 Proses Keperawatan Nyeri

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses keperawatan nyeri menurut Smeltzer & Bare (2002) adalah sebagai berikut :

1)

Intensitas nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subyektif dan individual, dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan obyektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri. Pengukuran subyektif nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai alat pengukur seperti Verbal Descriptor Scale (VDS), Numerical Rating Scales (NRS), Visual Analog Scale (VAS).

a)

Verbal Descriptor Scale (VDS)

Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale,VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama disepanjang garis. Pendeskripsi ini dirangking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri tidak tertahankan”. Perawat menunjukan klain skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. VDS memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendiskripsikan nyeri.

(17)

Gambar 2.1 Verbal Descriptor Scale (VDS)

b)

Numerical Rating Scales (NRS)

Skala penilaian numerik (Nemerical Rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10.

Gambar 2.2 Numerical Rating Scales (NRS)

c)

Visual Analog Scale (VAS)

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter & perry, 2006). Keadaan VAS ini telah dibuktikan oleh incractas korelasi koefisien (ICCs) dengan 95% confidence internal (95% CIS) dan Bland Altman analisis yang digunakan untuk menilai keandalan

(18)

diperoleh pasangan pengukuran VAS1 menit terpisah 30 menit selama 2 jam. Hasil yang diperoleh dari ringkasan ICC untuk semua pasangan VAS skor adalah 0,97 [95% CI = 0,96-0,98] (Bijur, 2001). Hal tersebut menunjukan bahwa VAS cukup handal digunakan untuk menilai nyeri.

Gambar 2.3 Visual Analog Scale (VAS)

1) Skala Nyeri

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter & perry, 2006).

2)

Karakteristik nyeri

Karakteristik nyeri meliputi lokasi nyeri, penyebaran nyeri, dan kemungkinan penyebaran, durasi (menit, jam, hari, bulan) serat irama (terus-menerus, hilang timbul, periode bertambah atau berkurangnya intenstias nyeri) dan kulitas nyeri (misalnya seperti ditusuk, seperti terbakar, sakit, seperti digencet dan sebagainya).

(19)

3)

Faktor-faktor yang meredakan nyeri

Berbagai perilaku sering diidentifikasikan klien sebagai faktor yang mengubah intensitas nyeri (misal aktivitas, istirahat, pengerahan tenaga, posisi tubuh, penggunaan obat bebas, dan sebagainya) dan apa yang diyakini klien dapat membantu dirinya. Perilaku ini sering didasarkan pada upaya try and error.

4)

Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari

Misalnya, terhadap pola tidur, kualitas tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi dan aktivitas santai. Nyeri akut sering berkaitan dengan ansietas dan nyeri kronis yang berhubungan dengan depresi.

5) Kekhawatiran individu tentang nyeri

Dapat meliputi masalah yang luas seperti beban ekonomi, prognosis serta berpengaruh terhadap peran dan citra diri.

2.3 Konsep Tidur

2.3.1 Definisi Tidur

Tidur merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan kesadaran. Berkurangnya aktivitas pada otot rangka dan penurunan metabolisme (Harkreader, Hogan, & Thobaben, 2007). Potter dan Perry (2005) mendefinisikan tidur sebagai waktu dimana terjadinya penurunan status kesadaran yang terjadi pada peiode waktu tertentu, terjadi secara berulang dan merupakan proses fisiologi tubuh yang normal. Tidur adalah kebutuhan dasar manusia, yang merupakan proses biologi universal yang biasa terjadi pada setiap orang, dikarakteristikkan dengan aktivitas fisik yang minimal, tingkat kesadaran yang bervariasi, perubahan proses fisiologis tubuh, dan penurunan respon

(20)

2.3.2 Fisiologi Tidur

Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur yang melibatkan mekanisme serebral secara bergantian dengan periode yang lebih lama, agar mengaktifkan pusat otak untuk dapat tidur dan terjaga (Potter & Perry, 2005). Tidur diatur oleh tiga proses, yaitu: mekanisme homeostasis, irama sirkardian dan irama ultradian (Harkreader, Hogan, & Thobaben, 2007).

1.

Mekanisme Homeostasis

Sebuah mekanisme homeostasis menyebabkan seseorang terjaga dan yang lain menyebabkan tertidur (Potter & Perry, 2005). Sistem aktivasi reticular (SAR) berlokasi pada batang otak teratas. SAR terdiri dari sel khusus yang mempertahankan kewaspadaan dan terjaga. SAR dapat menerima stimulus sensori visual, auditori, nyeri dan taktil serta aktivitas korteks serebral seperti rangsangan emosi dan berpikir. Sleep Research Society (1993) berpendapat bahwa neuron dalam SAR akan mengeluarkan katekolamin seperti norepinefrin yang akan membuat kita terjaga (Potter & Perry, 2005). Sedangkan tidur terjadi karena adanya pengeluaran serotonin dari sel tertentu dalam sistem tidur raphe pada pons dan otak depan bagian tengah di daerah sinkronisasi bulbar (bulbar synchronizing region, BSR). Ketika orang mencoba tertidur mereka akan menutup mata dan berada dalam keadaan rileks, stimulus ke SAR pun menurun. Jika ruangan gelap dan terang, maka kativasi SAR selanjutnya akan menurun. BSR mengambil alih yang kemudian akan menyebabkan tidur. Lanuza dan Farr (2003) mengungkapkan bahwa suhu tubuh, level kortisol, dan melatonin berubah saat tubuh bersiap untuk tertidur atau pun terbangun (Berger & Hobbs, 2006). Sebagai contoh, aktivitas pada pagi hari, level kortisol akan meningkat sekitar jam 4 pagi dan akan melemah sekitar jam 6 pagi. Suhu tubuh inti akan mulai meningkat setelah level suhu tubuh inti sampai pada jam 2-4 pagi. Aktivitas dan suhu tubuh inti akan melemah sekitar jam 4 sore. Melatonin adalah hormon

(21)

yang dihasilkan saat manusia tertidur. Dijk dan Lockey (2002) memberikan kesimpulan bahwa meskipun suhu inti dan level kortisol menurun saat permulaan di waktu gelap, namun level melatonin akan meningkat (Berger & Hobbs, 2006).

2.

Irama Sirkadian

Irama Sirkadian adalah pola bioritme yang berulang selama rentang waktu 24 jam. Fluktuasi dan prakiraan suhu tubuh, denyut jantung, tekanan darah, sekresi hormon, kemampuan sensorik, dan suasana hati tergantung pada pemeliharaan siklus sirkadian 24 jam (Potter & Perry, 2005). Akerstedt (2003) mengungkapkan bahwa irama sirkadian diatur oleh hipotalamus dan mengkordinasikan siklus tidur-bangun, sekresi hormon, pengaturan suhu tubuh, suasana hati dan kemampuan performa (Kunert & Kolkhorst, 2007). Pola tidur-bangun muncul akibat dan dapat menyebabkan adanya pelepasan hormon tertentu. Melatonin, disintesis di kelenjar pineal saat waktu gelap, saat siang hari pineal tidak aktif tetapi jika matahari sudah terbit dan hari mulai gelap, pineal mulai memproduksi melatonin, yang akan dilepaskan kedalam darah. Selain hormon, siklus tidur-bangun juga dipengaruhi oleh rutinitas sehari-hari, kegiatan sosial, kebisingan, alarm jam.

3.

Irama Ultradian

Irama ultradian merupakan kejadian berulang pada jam biologis yang kurang dari 24 jam. Silklus ultradian pada tahap tidur terdapat dua tahapan, yaitu tidur rapid eye movement (REM) dan tidur non rapid eye movement (NREM)

2.3.3 Pola Tidur

Pola tidur yang dimiliki setiap orang seperti halnya jam dimana tubuh individu dapat memahami kapan waktunya untuk tertidur dan kapan waktunya untuk bangun.

(22)

Ketika jam biologis menentukan waktu tidur, ini akan bekerja dengan fungsi tubuh lainnya untuk membantu menyiapkan individu untuk tertidur di malam hari, dan berhentinya berbagai fungsi tubuh yang berkaitan dengan waktu terjaga/bangun. Hal ini juga terjadi kebalikannya ketika individu terbangun.

Setiap orang memiliki siklus bangun tidur yang sudah biasa dilakukan. Ini menentukan kapan waktu yang tepat untuk seseorang tertidur. Waktu tersebut dapat didukung oleh cahaya lampu atau matahari di siang hari, kebiasaan waktu makan dan aktivitas yang dilakukan seperti biasanya dalam waktu tertentu setiap harinya. Seseorang yang memiliki pola tidur-bangun yang teratur lebih menunjukkan tidur yang berkualitas dan performa yang lebih baik daripada orang yang memiliki pola tidur-bangun yang berubah-ubah )Harkreader, Hogan, & Thobaben, 2007).

Pola tidur-bangun yang berubah-ubah dan apabila individu belum beradaptasi dengan perubahan tersebut maka akan mengakibatkan gangguan pola tidur. Carpenito (2002) mendefinisikan gangguan pola tidur sebagai kondisi ketika individu mengalami atau beresiko mengalami perubahan pada kualitas dan kuantitas pola istirahat yang menimbulkan ketidaknyamanan atau mengganggu gaya hidup yang diinginkan. Kualitas dan kuantitas tidur dipengaruhi beberapa faktor, seperti penyakit, lingkungan, gaya hidup, sres emosional, dan lain-lain.

1.

Kualitas Tidur

Kualitas tidur adalah kemampuan individu untuk tetap tertidur dan untuk

mendapatkan jumlah tidur REM dan NREM yang tepat (Kozier, Erb, Berman, &

Snyder, 2004). Kualitas tidur yang baik akan ditandai dengan tidur yang tenang,

merasa segar pada pagi hari dan merasa semangat untuk melakukan aktivitas

(Craven & Hirnle, 2000).

(23)

2. Kuantitas tidur

Kuantitas tidur adalah keseluruhan waktu tidur yang dimiliki individu (Kozier, Erb, Berman, Snyder, 2004). Jumlah waktu tidur yang dibutuhkan oleh setiap individu berbeda-beda sesuai dengan tahap perkembangannya, dari bayi sampai lansia. Seseorang dengan kuantitas tidur yang tergolong normal (usia dewasa tengah 6-8 jam) belum menjamin untuk mendapatkan tidur yang berkualitas.

2.3.4 Tahapan dan Siklus Tidur

2.3.4.1 Tahapan Tidur

Tidur yang normal melibatkandua fase: tahapan NREM (non rapid eye

movement) dan tahapan REM (rapid eye movement) (Potter & Perry, 2005).

Tabel 2.1 Tahapan Siklus Tidur

Tahapan Siklus Tidur

Karakteristik

Tahap 1: NREM

-

Tahap transisi diantara mengantuk

dan tertidur.

-

Ditandai

dengan

pengurangan

aktivitas fisiologis yang dimulai

dengan

menutupnya

mata,

pergerakan lambat, otot berelaksasi

serta penurunan secara bertahap

tanda-tanda vital dan metabolisme,

menurunnya denyut nadi.

(24)

tahap ini.

-

Tahap ini berakhir selama 5-10

menit

Tahap 2: NREM

-

Tahap tidur ringan

-

Denyut jantung mulai melambat,

menurunnya

suhu

tubuh,

dan

berhentinya pergerakan mata

-

Masih

relatif

mudah

untuk

terbangun

-

Tahap ini akan berakhir 10 hingga

20 menit

Tahap 3: NREM

-

Tahap awal dari tidur yang dalam

-

Laju pernapasan dan denyut jantung

terus melambat karena sistem saraf

parasimpatik

semakin

mendominasi.

-

Otot skeletal semakin berelaksasi,

terbatasnya

pergerakan

dan

mendengkur mungkin saja terjadi.

-

Pada tahap ini, seseorang yang tidur

sulit dibangunkan, tidak dapat

diganggu oleh stimuli sensori.

-

Tahap ini berakhir 15 hingga 30

(25)

menit.

Tahap 4: NREM

-

Tahap tidur terdalam

-

Tidak ada pergerakan mata dan

aktivitas otot.

-

Tahap ini ditandai dengan

tanda-tanda

vital

menurun

secara

bermakna dibanding selama terjaga,

laju pernafasan dan denyut jantung

menurun sampai 20-30%

-

Seseorang yang terbangun pada saat

tahap ini tidak secara langsung

menyesuaikan diri, sering merasa

pusing

dan

disorientasi

untuk

beberapa menit setelah bangun dari

tidur.

Tahap REM

-

Ditandai dengan pergerakan mata

secara cepat ke berbagai arah,

pernafasan cepat, tidak teratur, dan

dangkal, otot tungkai mulai lumpuh

sementara, meningkatnya denyut

jantung dan tekanan darah.

(26)

sedangakan pada wanita terjadi

sekresi vagina.

-

Mimpi yang terjadi pada tahap

REM penuh warna dan tampak

hidup, terkadang merasa sulit untuk

bergerak.

-

Durasi dari tidur REM meningkat

pada tiap siklus dan rata-rata 20

menit.

2.3.4.2 Siklus Tidur

Pada orang dewasa terjadi 4-5 siklus setiap waktu tidur. Setiap siklus tidur berakhir selama 80-120 menit. Tahap NREM 1-3 berlangsung selama 30 menit kemudian diteruskan ke tahap 4 kembali ke tahap 3 dan 2 selama ± 20 menit. Tahap REM muncul sesudahnya dan berlangsung selama 10 menit, melengkapi siklus tidur yang pertama (Potter & Perry, 2005)

(27)

Tahap Pratidur

NREM tahap 1 NREM tahap 2 NREM tahap 3 NREM tahap 4

Tidur REM

NREM tahap 2 NREM tahap 3

Gambar 2.4 Siklus Tidur Orang Dewasa

2.3.5 Fungsi Tidur

Fungsi tidur adalah sebagai penyimpan energi dan pemulihan (Harkreader, Hogan, & Thobaben, 2007). Energi tinggi yang digunakan selama beraktivitas di siang hari diseimbangkan dengan penurunan energi di malam hari. Otot skelet berelaksasi secara progresif, dan tidak adanya kontraksi otot menyimpan energi kimia untuk proses seluler. Laju metabolisme menurun 5-25% selama tidur, hal ini menunjukkan bahwa tubuh berusaha untuk menyimpan energi.NINDS (2005) berpendapat bahwa aktivitas pada bagian otak yang mengatur emosi, proses membuat keputusan, dan interaksi sosial menurun secara drastis selama tidur dalam, sehingga dapat membantu seseorang untuk mempertahankan emosional dan fungsi sosial secara optimal ketika terbangun (Harkreader, Hogan, & Thobaben, 2007). Seseorang yang tidak cukup mendapatkan waktu tidur cenderung lekas marah, konsentrasi kurang, dan sulit untuk membuat keputusan (Kozier, Erb, Berman, & Snyder,2004).

(28)

khususnya pada anak-anak. Tidur juga memiliki peran untuk memulihkan penyakit, mengontrol nyeri, mengurangi kelelahan, meningkatkan sirkulasi darah ke otak, meningkatkan sintesis protein, menyeimbangkan mekanisme melawan penyakit pada sistem imun, membantu tubuh melakukan detoksifikasi alami untuk membuang racun dalam tubuh, meningkatkan perbaikan dan pertumbuhan sel, meningkatkan penyembuhan dan menurunkan ketegangan (Potter & Perry, 2005).

2.3.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur

1.

Penyakit

Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan fisik dapat menyebabkan masalah tidur. Seseorang dengan masalah pernafasan dapat mengganggu tidurnya, napas yang pendek membuat orang lain sulit tidur dan orang yang memiliki kongesti di hidung dan adanya drainase sinus mungkin mengalami gangguan untuk bernapas dan sulit untuk tertidur (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2004). Dalam keadaan seperti ini, dibutuhkan dua atau tiga bantal untuk meninggikan kepalanya. Penderita DM sering mengalami nokturia atau berkemih di malam hari, yang membuat mereka harus terbangun di tengah malam untuk pergi ke toilet, hal ini dapat mengganggu tidur dan siklus tidur. Seseorang yang memiliki penyakit maag, tidurnya akn terganggu karena nyeri yang dirasakan (Harkreader, Hogan, & Thobaben, 2007). Rasa nyeri dan ketidaknyamanan akibat angina atau dipsnea terjadi di malam hari dan dapat mengganggu tidur (Craven & Hirnle, 2000). Gozmen, Keskin, & Akil (2008) berpendapat bahwa anak yang sering mengompol (enuresis) memiliki kualitas tidur yang buruk.

(29)

2.

Lingkungan

Lingkungan fisik tempat seseorang berada dapat mempengaruhi tidurnya. Ukuran, kekerasan, dan posisi tempat tidur mempengaruhi kualitas tidur. Seseorang lebih nyaman tidur sendiri atau bersama orang lain. teman tidur dapat mengganggu tidur jika ia mendengkur. Suara juga mempengaruhi tidur, butuh ketenangan untuk tidur, terhindar dari kebisingan (Potter & Perry, 2005).

Harkreader, Hogan, dan Thobaben (2007) mengungkapkan bahwa rumah sakit adalah tempat yang kurang familiar bagi kebanyakan pasien. Suara bising, cahaya lampu, tempat tidur dan suhu yang kurang nyaman, posisi restain yang tidak nyaman, kurangnya privasi dan kontrol, kecemasan dan kekhawatiran, perpisahan dengan orang yang dicintai serta deprivasi tidur dapat menimbulkan masalah tidur pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Tingkat cahaya dapat mempengarauhi seseorang untuk tidur. Ada orang yang bisa tidur dengan cahaya lampu tapi ada juga seseorang yang hanya bisa tidur jika lampu dimatikan atau dalam keadaan gelap. Ketidaknyamanan dari suhu lingkungan dan kurangnya ventilasi dapat mempengaruhi tidur (Kozier, Erb, Berman, & Snuder, 2004).

Rohman, et al (2002) meneliti tentang gambaran pola tidur pada klien rawat inap pertama kali di Rumah Sakit Islam Jakarta Pusat, ditemukan bahwa dari 64 responden yang mengalami gangguan pola tidur didapatkan faktor-faktor pengganggu pola tidur responden secara berturut-turut antara lain suara/ kebisingan (78,1%), suhu kamar tidur (67,2%), pasien lain (60,9%), pencahayaan (42,2%), tempat tidur (12,5%), familieritas terhadap lingkungan dan staf (7%).

(30)

3. Latihan Fisik dan Kelelahan

Seseorang yang melakukan olahraga di siang hari akan mudah tertidur di malam harinya. Meningkatnya latihan fisik akan meningkatkan tidur REM dan NREM (Harkreader, Hogan, & Thobaben, 2007). Seeorang yang kelelahan menengah (moderate) biasanya memperoleh tidur yang mengistirahatkan, khususnya jika kelelahan akibat kerja yang meletihkan atau penuh stres membuat sulit tidur (Potter & Perry, 2005). Seseorang yang kelelahan memiliki waktu tidur REM yang pendek (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2004). Tidur siang dapat mengganggu waktu tidur malam dan harus dihindari jika seseorang mengalami insomnia.

4. Kerja Shift

Individu yang bekerja bergantian atau shift mempunyai kesulitan menyesuaikan perubahan jadwal tidur. Gangguan tidur adalah masalah utama yang berkaitan dengan kerja shift, selain itu juga dapat menyebabkan kelelahan, konflik personal, dan gangguan gastrointestinal. Kesulitan mempertahankan kesadaran selama waktu kerja menyebabkan penurunan kinerja dan dapat membahayakan seseorang tersebut saat bekerja. Wijaya, Maurits, dan Suparniati (2006) meneliti tentang hubungan antara shift kerja dengan gangguan tidur dan kelelahan kerja perawat. Instalasi Rawat darurat di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogjakarta, dari 51 orang perawat didapati perawat yang mendapat shift pagi tingkat gangguan tidurnya adalah sedang yaitu sebanyak 9 orang perawat (69,2%), shift siang tingkat gangguan tidur adalah sedang yaitu 6 orang perawat, dan shift malam tingkat kejadian gangguan tidur sama dengan tingkat gangguan tidur pada shift sore.

(31)

5. Stres Emosional

Kecemasan dan depresi yang terjadi secara terus menerus dapat mengganggu tidur. Cemas dapat meningkatkan kadar darah norepinefrin melalui stimulasi sistem syaraf simpatik (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2004). Perubahan zat kimia ini menghasilkan waktu tidur NREM tahap 4 yang lebih sedikit dan banyak tahap yang berubah serta dapat membuat orang terbangun. Debonis (2011) meneliti tentang pengaruh stres, cemas, dan alkohol pada gangguan tidur, didapati hasil dari 80 responden, 19% kecemasan yang menjadi penyebab utama gangguan tidur, 8,1% disebabkan oleh stres yang dialami dan 3,7% disebabkan oleh konsumsi alkohol.

6. Gaya Hidup dan Kebiasaan

Kebiasaan sebelum tidur dapat mempengaruhi tidur seseorang. Seseorang akan mudah tertidur jika kebiasaan sebelum tidurnya terpenuhi. Kebiasaan sebelum tidur yang sering dilakukan, seperti berdoa sebelum tidur, menyikat gigi, minum susu, dan lain-lain. Pola gaya hidup dapat mempengaruhi jadwal tidur-bangun seseorang seperti pekerjaan dan aktivitas lainnya. Waktu tidur dan bangun yang teratur merupakan hal yang sangat efektif untuk meningkatkan kualitas tidur dan mensinkronisasikan irama sirkadian (Craven & Hirnle, 2000)

7. Obat-obatan dan Zat-zat Kimia

Terdapat beberapa obat resep atau obat bebas yang menuliskan bahwa mengantuk sebagai salah satu efek samping, insomnia dan juga menyebabkan kelelahan (Potter & Perry, 2005). Hypnotics atau obat tidur dapat mengganggu tidur NREM tahap 3 dan 4 serta dapat menekan tidur REM. Beta-blockers dapat menyebabkan insomnia dan mimpi

(32)

buruk. Narkotik seperti morfin, dapat menekan tidur REM dan dapat meningkatkan frekuensi bangun dari tidur dan mengantuk (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2004)

Orang yang minum alkohol dalam jumlah banyak sering mengalami gangguan tidur. Alkohol yang berlebihan dapat mengganggu tidur rEM dan orang yang mengkonsumsi alkohol sering mengalami mimpi buruk (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2004). Nikotin dalam jumlah banyak dapat menyebabkan agitasi. Kerusakan permanen pada paru akibat menghisap rokok dapat menyebabkan hipoksia, hipoksia berkaitan dengan meningkatnya kelelahan dan kebutuhan istirahat diselang aktivitas (Harkreader, Hogan, & Thobaben, 2007). Lajambe, et al., (2005) menjelaskan bahwa konsumsi kafein dalam dosis tinggi dapat melemahkan pertahanan tidur (pengurangan waktu tidur total atau meningkatnya waktu terjaga) dan dapat mengurangi kedalaman tidur.

8. Diet dan Kalori

Makan makanan berat, berbumbu dan makan berat pada malam hari dapat menyebabkan makanan tidak dapat dicerna yang akan mengganggu tidur (Potter & Perry, 2005). Kehilangan berat badan berkaitan dengan penurunan waktu tidur total, terganggunya tidur dan bangun lebih awal. Sedangkan kelebihan berat badan akan meningkatkan waktu tidur total (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2004).

Referensi

Dokumen terkait

(5) Ruang tertutup dalam bangunan umum dan pergudangan yang luas permukaan lantainya lebih dari luas tersebut pada ayat (2) atau (3) pasal ini, maka banyaknya alat pemadam

Selanjutnya, bahasa-bahasa yang masih berada dalam status yang sama tetapi dipertalikan oleh persentase persamaan kata kognat pada kisaran 6% adalah hubungan

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang berdasar

BPKP : Liaison Officer (LO) dari BPKP Pusat yang menjadi mitra K/L maupun dari Perwakilan BPKP untuk Pemerintah Daerah yang akan mendampingi APIP K/L/D melakukan proses

lalu lintas dengan kendaraan jenis sedan taksi yang sedang

Hasil Analisis Fungsi Produksi Cobb-Douglass Usahatani Ubikayu Pada Lokasi lttara di Propinsi Lampung Tahun 2002.. Hasil Analisis Fungsi Produksi Cobb-Douglass Usahatani Ubikavu

Dalam rangka menjalankan otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan dan kemandirian dalam mengatur urusan pemerintahan daerah. Masing-masing daerah

Pengambilan air dari mata air Cipager yang digunakan untuk daerah layanan Dusun Palutungan, Dusun Malaraman dan Dusun Cisantana, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur