• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR EKSPOR PRODUK PERTANIAN INDONESIA KE NEGARA KURANG BERKEMBANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS FAKTOR-FAKTOR EKSPOR PRODUK PERTANIAN INDONESIA KE NEGARA KURANG BERKEMBANG"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR EKSPOR PRODUK PERTANIAN

INDONESIA KE NEGARA KURANG BERKEMBANG

Qiki Qilang Syachbudy

1

, Muhammad Firdaus

2

,

dan Heny K. S. Daryanto

3

1)Mahasiswa Program Magister Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor 2)Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

3)Staf Pengajar Sekolah Bisnis, Institut Pertanian Bogor e-mail : 1)kisah_qiki@yahoo.com

 

ABSTRACT

This study aims to analyze the potential of new export markets for Indonesian agricultural products and analyze the factors that affect the export of agricultural products LDCs. The method used was Export Product Dynamics (EPD) and Gravity Model. The study focused on Indonesian agricultural exports to 36 countries which have a GDP per capita below US$ 3.500. The study found that Indonesia has relationships that is different among commodities. For tea, Indonesia has trade relation with Cambodia, Kenya, and Pakistan. For palm oil, Indonesia has trade relation with Bangladesh, Togo, Sierra Leone, Guinea, Benin, Mozambique, Tanzania, Nigeria, Yemen, Cameroon, Senegal, Pakistan, and Ghana. For coconut, Indonesia has good trade relation with Bangladesh, Tanzania, and Pakistan. For Sugar, Indonesia has trade relation to Madagascar, Kenya, Yemen, Cambodia, Bangladesh, Ghana, and Pakistan. Factors affecting the demand of tea are gross domestic product of importer countries and economics distance. Furthermore, factor influencing the trading of palm oil are world price, gross domestic product of importer countries and economics distance. While, coconut and sugar trading is affected by world price and economics distance. Thus, it can be said that the potential for new export markets for Indonesian agricultural products in the context of South-South Cooperation has a good chances.

Keywords: south-south cooperation, export product dynamic, gravity model.

PENDAHULUAN

Kerjasama Selatan-Selatan (South South Cooperation) merupakan sebuah bentuk kerja-sama antar negara berkembang dalam mem-bangun solidaritas untuk saling membantu menyelesaikan permasalahannya masing-masing. Selain itu, Kerjasama Selatan-Selatan ini pula berfungsi untuk meningkatkan nilai tawar negara-negara berkembang dalam menghadapi dominasi negara-negara maju.

Sejalan dengan perannya yang semakin meningkat di dunia internasional, Indonesia memiliki kepentingan ekonomi yang sesuai dengan arah pembangunan jangka panjang tahun 2005-2025, yang salah satunya adalah mewujudkan bangsa yang berdaya saing di tingkat global, meskipun secara eksplisit tidak disebutkan dalam kerangka Kerjasama Selatan-Selatan.

Menurut data klasifikasi income Bank Dunia tahun 2013 menyebutkan bahwa

terdapat 36 negara yang memiliki GDP per kapita kurang dari US$ 3.500. Negara-negara tersebut yaitu: Ghana, Cote d’Ivoire, Pakistan, Senegal, Cameroon, Syria, Yemen, Nigeria, Sudan, Zambia, Myanmar, Uganda, Benin, kenya, Nepal, Ethiopia, Mali, Tajikistan, Bangladesh, Malawi, Rwanda, Cambodia, Guinea, Tanzania, Burkina Faso, Niger, Togo, Mozambique, Haiti, Congo (Dem. Rep.), Sierra Leone, Madagascar, Chad, dan Burundi. Melalui konteks kerjasama Selatan-Selatan Indonesia memiliki keunggulan komparatif di sektor produk pertanian untuk dapat memenuhi kebutuhan impor negara-negara tersebut. Sehingga kemudian dapat meningkatkan potensi pasar ekspor baru bagi produk-produk pertanian Indonesia.

Komoditas dengan kode HS 0902 (Teh, diberi rasa maupun tidak), 1511 (Minyak kelapa sawit dan fraksinya, dimurnikan maupun tidak, tetapi tidak dimodifikasi

(2)

secara kimia), 1513 (Minyak kelapa [kopra], kernel kelapa sawit atau babassu dan fraksinya, dimurnikan maupun tidak, tetapi tidak dimodifikasi secara kimia), dan 1704 (Kembang gula [termasuk coklat putih], tidak mengandung kakao) merupakan komoditas pertanian penting Indonesia yang memiliki performa perdagangan antara tahun 2005-2014 terhadap negara yang memiliki GDP per kapita pada tahun 2013 kurang dari US$ 3.500. Berikut adalah data perbandingan per-kembangan ekspor keempat komoditi tersebut ke negara Developing Countries, High Income Countries dan Low & Middle Income Countries:

Gambar 1. Ekspor Komoditas 0902.

Sumber: UN Comtrade, 2016 (diolah)

Gambar 2. Ekspor Komoditas 1511.

Sumber: UN Comtrade, 2016 (diolah)

Gambar 3. Ekspor Komoditas 1513.

Sumber: UN Comtrade, 2016 (diolah)

Gambar 4. Ekspor Komoditas 1704.

Sumber: UN Comtrade, 2016 (diolah)

Berdasarkan data Gambar 1, Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4, maka ekspor keempat komoditas dari Indonesia ke berbagai negara cenderung mengalami trend yang meningkat antara tahun 2005 sampai tahun 2014. Hal ini menjadi menarik untuk diteliti sehingga kemudian dapat meningkat-kan potensi pasar ekspor baru bagi produk-produk pertanian Indonesia dalam koridor

Kerjasama Selatan-Selatan (South-South

Cooperation).

Sebagai negara yang sudah masuk dalam

kelompok lower middle income country,

Indonesia dalam konteks Kerjasama Selatan-Selatan memiliki peran sebagai negara yang memiliki tanggung jawab lebih dalam mem-bantu negara-negara lain. Menyikapi tuntutan peran ke luar yang semakin besar, maka Indonesia harus tetap bisa mengatur keseimbangan sehingga tidak mengganggu stabilitas keamanan di dalam negeri. Oleh karena itu, salah satu solusi yang saling menguntungkan adalah dengan cara Indonesia mampu memberikan bantuan ke negara-negara lain untuk menjalin kerjasama dan kedekatan sekaligus memperluas pasar ekspor. Berdasarkan hal tersebut maka upaya mencari potensi pasar ekspor baru bagi produk-produk pertanian Indonesia dan faktor-faktor yang memengaruhi ekspor produk-produk pertanian Indonesia di negara-negara kurang berkembang menjadi penting untuk diperhatikan. Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis potensi pasar ekspor baru bagi produk-produk pertanian Indonesia, serta meng-analisis faktor-faktor yang memengaruhi

0 20000000 40000000 60000000 80000000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 High-income Country

Low & Middle income Country Developing Country 0 5000000000 10000000000 15000000000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 High-income Country

Low & Middle income Country Developing Country 0 500000000 1000000000 1500000000 2000000000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 High-income Country

Low & Middle income Country Developing Country 0 20000000 40000000 60000000 80000000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 High-income Country

Low & Middle income Country Developing Country

(3)

ekspor produk-produk pertanian Indonesia ke negara-negara kurang berkembang.

KERANGKA PEMIKIRAN

TEORITIS

GRAVITY MODEL

Gravity Model adalah model yang paling banyak digunakan untuk melihat besarnya daya tarik dari suatu potensi yang berada pada suatu lokasi. Model ini sering digunakan untuk melihat kaitan potensi suatu lokasi dan besarnya wilayah pengaruh dari potensi tersebut. Selain itu, model ini juga digunakan untuk menganalisis efek integrasi ekonomi terhadap perdagangan dan merupakan satu alat analisis yang dapat digunakan untuk mengestimasi berapa besarnya nilai barang yang keluar dan masuk di suatu wilayah.

Model gravitasi memiliki keunggulan dibanding model perdagangan internasioanal lainnya karena menyajikan model yang lebih empiris dibanding model lainnya yang secara teoritis seperti model Ricardian. Pada model ini, negara mengkhususkan dalam mem-produksi apa yang mereka paling baik produksi. Tidak seperti model lainnya, rangka kerja model ini memprediksi dimana negara-negara akan menjadi spesialis secara penuh dibandingkan memproduksi bermacam barang komoditas.

Pada gravity model aliran perdagangan bilateral ditentukan oleh tiga kelompok variabel yaitu (Tarigan 2007):

1. Variabel-variabel yang mewakili total permintaan potensial negara pengimpor.

2. Variabel-variabel indikator total

penawaran potensial negara pengekspor. 3. Variabel-variabel pendukung atau

penghambat aliran perdagangan antar negara pengekspor dan negara pengimpor.

Dalam bentuknya yang paling umum, konsep gravitasi dapat dirumuskan sebagai berikut :

Iij = k PiPj dijb

dimana :

Iij = Taksiran tingkat interaksi antara wilayah i dengan j,

Pi, Pj = Besarnya daya tarik wilayah i dan j, dij = Ukuran jarak antar wilayah i dan j,

k = Konstanta,

b = Parameter dugaan.

Interaksi antara i dan j (Iij) meng-interpretasikan nilai dari aliran perdagangan suatu komoditas dari wilayah i ke wilayah j yang meliputi arus perdagangan keseluruhan wilayah dalam satu negara tersebut. Di tingkat negara, penerapannya hingga pada perdagangan antar negara dalam suatu perkumpulan yang pada umumnya variabel-variabel yang digunakan untuk mengukur daya tarik wilayah adalah jumlah penduduk (P), Produk Domestik Bruto (PDB), nilai tukar, harga komoditas yang diperdagangkan dan variabel jarak (dj) yang dapat diukur melalui pendekatan biaya transportasi.

EXPORT PRODUCT DYNAMIC (EPD) Export Product Dynamics (EPD) adalah salah satu alat analisis yang memberikan gambaran mengenai tingkat daya saing kondisi suatu produk (komoditas). Hal yang dilihat melalui alat analisis ini adalah dari performanya apakah dinamis (pertumbuhan-nya cepat) atau tidak. Alat analisis ini biasa-nya digunakan untuk mengukur posisi pasar dari produk suatu negara untuk tujuan pasar tertentu. Matriks EPD terdiri dari daya tarik pasar dan informasi kekuatan bisnis. Daya tarik pasar dihitung berdasarkan pertumbuh-an dari permintapertumbuh-an sebuah produk untuk tujuan pasar tertentu, sementara itu informasi kekuatan bisnis diukur berdasarkan per-tumbuhan dari perolehan pasar (market share) sebuah negara pada tujuan pasar tertentu.

Melalui bahasan Export Product Dynamic (EPD), kombinasi daya tarik pasar dan kekuatan bisnis dibagi menjadi empat kategori, yaitu: Rising Star, Lost Opportunity, Falling Star, dan Retreat. Rising Star merupa-kan posisi pasar ideal yang bertujuan untuk memeroleh pangsa ekspor tertinggi. Kondisi Rising Star ditandai dengan berkembang

(4)

cepatnya produk-produk (komoditas) dengan diiringi oleh semakin luasnya pangsa pasar dari produk-produk tersebut. Sementara itu, Lost Opportunity didefinisikan dengan penurunan pangsa pasar pada produk yang dinamis dimana suatu negara kehilangan kesempatan pangsa ekspor di pasar internasional. Lain halnya dengan kondisi Falling Star, walaupun tidak seperti pada kondisi Lost Opportunity (karena pangsa pasarnya masih meningkat), namun peningkatan pangsa pasarnya itu bukan terjadi pada produk yang dinamis. Lain halnya dengan Retreat yang berarti bahwa produk tersebut tidak diinginkan lagi di pasar internasional, meskipun kemudian masih bisa diinginkan kembali jika pergerakannya jauh dari produk stagnan dan bergerak mendekati peningkatan pada produk dinamis (Gumilar 2010).

METODE

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder empat komoditi, pada kode HS level empat digit, selama 10 tahun (antara tahun 2005-2014) yang didapat dari hasil analisis dari seluruh ekspor komoditi pertanian Indonesia ke 36 negara yang memiliki GDP per kapita kurang dari US$ 3.500 yang didapat dari UN Comtrade. Data-data lain yang diperlukan didapat dari berbagai sumber, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian Republik

Indonesia, Trade Map, Comtrade, FAO,

Worldbank, WDI, CEPII, WTO, dan situs www.fx-sauder.ubc.ca. Selain itu, data juga didapat dari jurnal, buku teks, skripsi, tesis, dan disertasi. Data ekspor komoditas pertanian yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari United Commodity and Trade Database (UN Comtrade), yaitu: 0902 (Teh, diberi rasa maupun tidak), 1511 (Minyak kelapa sawit dan fraksinya, dimurnikan maupun tidak, tetapi tidak dimodifikasi secara kimia), 1513 (Minyak kelapa [kopra], kernel kelapa sawit atau babassu dan fraksinya, dimurnikan maupun tidak, tetapi tidak dimodifikasi secara kimia), dan 1704

(Kembang gula [termasuk coklat putih], tidak mengandung kakao).

ANALISIS DATA

Gravity Model

Penelitian ini menganalisis potensi eks-por komoditas pertanian Indonesia ke 36 negara yang memiliki nilai GDP per kapita kurang dari US$ 3.500 dengan menggunakan gravity model. Beberapa variabel independen yang digunakan dalam permodelan ini meliputi, Harga Dunia masing-masing komoditas pertanian, GDP per kapita setiap negara importir, nilai tukar (exchange rate) antar negara, dan jarak ekonomi antar negara. Untuk menjawab masalah dalam pe-nelitian ini, spesifikasi model yang digunakan dalam penelitian mengacu pada gravity model yang digunakan oleh Bhattacharya (2007) yang telah dimodifikasi sebagai berikut:

Ln V ln ln P

ln ln

Dimana:

V : Nilai ekspor komoditas pertanian di

negara eksportir (US$)

P : Harga dunia komoditas pertanian

(US$)

GDPit : GDP per kapita negara importir (US$) DISTit : Jarak Ekonomi antar negara (dalam

satuan km yang telah dibobot dengan share GDP masing-masing Negara partner)

ERit : Nilai tukar mata uang negara

eksportir terhadap dolar Amerika

β0 : Konstanta/Intersep

β1,β2,β3,β4 : Parameter yang diestimasi

εit : Error term

Export Product Dynamic (EPD)

Melalui analisis EPD, berikut adalah uraian yang dimaksud dengan pangsa pasar ekspor suatu negara dan pangsa pasar produk untuk menghitung posisi pasar dan produk:

Sumbu x : Pertumbuhan pangsa pasar ekspor suatu negara

(5)

∑≡ 100% ∑≡ 100%

Sumbu y : Pertumbuhan pangsa pasar produk n ∑≡ 100% ∑≡ 100% Dimana, X = nilai ekspor T = jumlah tahun t = tahun ke-t n = jenis produk

Kombinasi dari daya tarik pasar dan kekuatan bisnis ini menghasilkan perpaduan yang dikelompokkan menjadi kategori Rising Star, Falling Star, Lost Opppotunity, dan Retreat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS POTENSI PASAR EKSPOR BARU BAGI PRODUK-PRODUK PERTANIAN INDONESIA Komoditas Teh

Teh merupakan komoditas pertanian penting karena Indonesia merupakan negara produsen teh pada urutan kelima di dunia setelah India, China, Sri Lanka, dan Kenya. Secara lengkap Hicks (2009) menyebutkan bahwa negara-negara produsen utama teh di dunia antara lain: di Afrika: Burundi, Kenya, Malawi, Rwanda, Tanzania, Uganda, dan Zimbabwe; di Amerika Selatan: Argentina dan Brazil; di Timur Tengah: Iran dan Turki; dan di Asia: Bangladesh, China, India, Indonesia, Sri Lanka, dan Vietnam.

Menurut data International Tea Committee (ITC), pada tahun 2002, total produksi teh Indonesia mencapai 172.790 ton atau 5,7% dari total produksi teh dunia yang mencapai 3.062.632 ton. Sebesar 65% dari total komoditas teh Indonesia ditujukan untuk pasar ekspor yang 94%nya masih diekspor dalam bentuk daun kering. Dari hasil ekspornya tersebut, secara nasional industri teh menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 1,2 triliun (0,3% dari total PDB

nonmigas) dan menyumbang devisa bersih sekitar 110 juta dollar AS per tahun.

Peran keberadaan komoditas teh di Indonesia dipandang penting karena menurut data dari Kementerian Pertanian, pada tahun 1999 diperkirakan komoditas ini dapat menyerap sekitar 300.000 pekerja dan menghidupi sekitar 1,2 juta jiwa. Namun hal ini tentunya membutuhkan sebuah usaha mengingat ekspor Indonesia yang semakin menurun. Dalam hal ini Indonesia dapat

bekerjasama dengan FAO (Food and

Agriculture Organization) dalam bekerjasama untuk memperbaiki kondisi keberadaan komoditas teh, karena hal ini sejalan dengan salah satu tujuan FAO dalam menaikkan tingkat nutrisi dan taraf hidup; meningkatkan produksi, proses, pemasaran dan penyaluran produk pangan dan pertanian; mempromosi-kan pembangunan di pedesaan; dan menghapuskan kelaparan.

Sekitar 40% dari total lahan tanaman teh nasional sudah tua karena berasal dari peninggalan zaman Belanda. Oleh karena itu menurut Sutarna (2000), untuk peremajaan tanaman teh selanjutnya hendaknya dilaku-kan dengan perencanaan yang cermat, hati-hati dan memperhati-hatikan inovasi baru yang dapat diterapkan agar dapat menghasilkan peremajaan yang benar-benar optimal dan bermanfaat bagi semua stakeholders. Meski-pun dengan kondisi perekebunan yang sudah tua, namun produksi teh nasional dalam wujud daun kering menunjukkan pening-katan rata-rata 1,2% per tahun dalam kurun waktu antara tahun 1980-2014. Meskipun ekspor teh Indonesia pernah mengalami penurunan rata-rata 2,1% dalam kurun waktu antara tahun 1993-2002. Hal ini menurut Suprihatini (2005) disebabkan karena: (1) komposisi produk teh yang diekspor Indonesia kurang mengikuti kebutuhan pasar, (2) negara-negara tujuan ekspor teh Indonesia kurang ditujukan ke negara-negara pengimpor teh yang memiliki pertumbuhan impor teh tinggi, dan (3) daya saing teh Indonesia di pasar teh dunia yang masih lemah. Oleh karena itu salah satunya diperlu-kan upaya untuk meningkatdiperlu-kan komposisi

(6)

produk teh melalui peningkatan ekspor teh Indonesia dalam bentuk produk-produk hilir teh.

Lebih lanjut Suprihatini (2005) menye-butkan bahwa kemampuan penguasaan teknologi pengolahan industri teh Indonesia masih berada pada tingkat kemampuan yang rendah khususnya kemampuan inovatif. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi pengolahan di industri teh Indonesia, program peningkatan ke-mampuan inovatif perlu dijadikan suatu program aksi dari Asosiasi Teh Indonesia dan pemerintah.

Melalui konteks kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation), komoditas teh Indonesia masih memiliki daya saing yang lemah. Terdapat tiga negara yang memiliki hubungan dagang dengan Indonesia, yaitu: Tabel 1. Hasil Nilai EPD Komoditas Teh

Periode 2005-2014

Komoditas teh Indonesia memiliki peluang dalam konteks Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation). Negara Cambodia, Kenya, dan Pakistan dapat menjadi permulaan pasar sehingga teh Indonesia bisa lebih dikenal di pasar internasional. Menurut Suprihatini (2004) perlu adanya pengembangan industri perkebunan ke arah hilir, seperti misalnya dalam bidang: 1) extract tea, 2) packing and bulk tea, 3) ready to drink with tea aroma.

Komoditas Kelapa Sawit

Komoditas kelapa sawit (palm oil)

merupakan komoditas unggulan Indonesia di pasar internasional. Menurut data FAO (2012), Indonesia menduduki peringkat pertama luas tanaman kelapa sawit di dunia dengan luas sekitar 6,5 juta hektar dengan rata-rata kontribusi sekitar 35,69% dari total luas tanaman kelapa sawit di dunia. Komo-ditas ini memiliki peran yang cukup penting

dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, karena selain berperan sebagai penghasil devisa negara, juga berperan dalam pe-nyerapan tenaga kerja.

Produksi minyak sawit (CPO) nasional terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 1980 produksi CPO Indonesia hanya sebesar 721,17 ribu ton, sedangkan tahun 2013 men-jadi 27,74 juta ton atau tumbuh rata-rata sebesar 11,95% per tahun. Sementara itu perkembangan produktivitas kelapa sawit di Indonesia selama tahun 1995-2013 menunjuk-kan pola yang berfluktuasi. Selama periode tersebut rata-rata pertumbuhan produktivitas kelapa sawit Indonesia mengalami sedikit peningkatan sebesar 0,57% per tahun, dimana penurunan produktivitas umumnya terjadi pada saat krisis moneter hingga masa pemulihan krisis. Produktivitas tertinggi dicapai pada tahun 2013 sebesar 3,85 ton/ha dan terendah tahun 2014 sebesar 2,83 ton/ha.

Ekspor-impor kelapa sawit Indonesia dilakukan dalam wujud minyak sawit, minyak sawit lainnya, minyak inti sawit dan minyak inti lainnya. Menurut Hiyashi (2007) menyebutkan bahwa pada tahun 2004 Indonesia menghasilkan 12 juta ton crude palm oil (CPO). Dari produksi tersebut, sekitar 60% CPO diekspor, 30% untuk ke-perluan rumah tangga domestik, 70% di-gunakan untuk oleochemical, 2% didi-gunakan untuk sabun, dan 1,6% digunakan untuk mentega.

Perkembangan volume ekspor kelapa sawit pada tahun 1980-2013 cenderung terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 23,52% per tahun. Pada tahun 1980 volume ekspor kelapa sawit Indonesia hanya sebesar 502,90 ribu ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 254,74 juta, sedangkan pada tahun 2013 volume ekspor meningkat menjadi 25,79 juta ton senilai US$ 17,67 milyar.

Menurut Hidayat (2006) menyebutkan bahwa perkebunan kelapa sawit mempunyai potensi sangat besar terlihat dari luas dan produksi yang dihasilkan. Walaupun demi-kian, pengembangan perkebunan kelapa sa-wit masih dihadapkan pada berbagai per-masalahan, seperti luas kepemilikan, status

Negara Sumbu X EPD Sumbu Y Posisi Pasar

Cambodia 240,76 -172,25 Falling Stars Kenya -49,99 -36,35 Retreat

(7)

hak tanah, produktivitas kebun, rendemen dan mutu produk, pabrik pengolahan pemasaran hasil, dan konflik perusahaan dengan masyarakat.

Melalui konteks Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation) Indonesia memiliki hubungan dagang dengan beberapa negara. Ada 13 (tiga belas) negara yang memiliki hubungan dagang dengan Indonesia, yaitu:

Tabel 2. Hasil Nilai EPD Komoditas Kelapa Sawit Periode 2005-2014

Negara Sumbu X EPD Sumbu Y Posisi Pasar

Bangladesh 39,03 -4,87 Falling Stars Togo 1280,70 107,95 Rising Stars Sierra Leone 1079,94 190,83 Rising Stars Guinea 7247,13 175,58 Rising Stars Benin 528,08 281,01 Rising Stars Mozambique 155,76 102,63 Rising Stars Tanzania 49,68 8,97 Rising Stars Nigeria 23840,05 2056,99 Rising Stars Yemen 164,18 31,88 Rising Stars Cameroon 602,83 140,28 Rising Stars Senegal 260,65 193,49 Rising Stars Pakistan 154,18 75,92 Rising Stars Ghana 221,75 20,47 Rising Stars

Hasil EPD senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Andelisa (2011) yang

menyebutkan bahwa produk CCO (Crude

Coconut oil) memiliki keunggulan kompetitif dengan posisi rising stars di dunia dan mayoritas negara-negara tujuan ekspor.

Hal yang menarik dalam konteks Kerja-sama Selatan-Selatan ini adalah bahwa komoditas Palm Oil Indonesia memiliki posisi Rising Stars pada beberapa negara yang termasuk dalam sepuluh besar negara-negara yang memiliki luas tanaman kelapa sawit di dunia, seperti Nigeria (memiliki kontribusi luas 19,98%), Ghana (memiliki kontribusi luas 2,19%), dan Guinea (memiliki kontribusi luas 1,93%). Adanya kondisi tersebut dapat dijadi-kan sebagai sebuah peluang dan parameter bagi Indonesia untuk dapat memperluas pasar internasionalnya ke berbagai negara. Hal ini didukung juga oleh data dari Kementerian Pertanian RI (2014) yang me-nyebutkan bahwa antara tahun 2014-2019 diperkirakan akan terjadi surplus minyak sawit, yaitu pada tahun 2014 sebesar 26,11 juta

ton dan pada tahun 2019 sebesar 32,75 juta ton.

Meskipun Indonesia temasuk peringkat pertama dalam produksi minyak kelapa sawit di dunia, namun dilihat dari produktivitasnya masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari data tahun 2008-2012 yang menyebutkan bahwa Indonesia hanya menempati urutan kedelapan dengan produktivitas rata-rata sekitar 16,87 ton/ha setelah Guatemala (26,23 ton/ha), Nicaragua (21,78 ton/ha), Malaysia (21,77 ton/ha), Colombia (20,69 ton/ha), Cameroon (19,03 ton/ha), Thailand (17,12 ton/ha), dan Costa Rica (17,01 ton/ha). Masih rendahnya produktivitas kelapa sawit di Indonesia memberikan sebuah peluang untuk dapat memperluas perdagangan Indonesia di pasar internasional dengan cara lebih me-ningkatkan research and development. Dalam hal ini Indonesia dapat bekerjasama dengan FAO sebagai lembaga internasional yang memiliki tujuan dalam menaikkan tingkat nutrisi dan taraf hidup; meningkatkan pro-duksi, proses, pemasaran dan penyaluran produk pangan dan pertanian; mempromosi-kan pembangunan di pedesaan; dan meng-hapuskan kelaparan.

Meskipun secara angka komoditas kelapa sawit telihat menjanjikan, namun menurut Hidayat (2006), melalui analisis keterkaitan dan efek penyebaran, sektor kelapa sawit mempunyai peran yang kecil dalam menstimulus pertumbuhan ekonomi. Namun melalui analisis pengganda sektor perkebunan menunjukkan besarnya peran perkebunan kelapa sawit dalam meningkat-kan pendapatan rumah tangga dan penye-rapan tenaga kerja sehingga sektor ini dapat diproritaskan dalam investasi pembangunan ekonomi walaupun mempunyai elastisitas yang rendah.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Syahza (2011) yang menyebutkan bahwa kegiatan perkebunan kelapa sawit di pedesaan menciptakan angka multiplier effect sebesar 3,03, terutama dalam lapangan pekerjaan dan peluang berusaha. Pada tahun 2003 pertumbuhan kesejahteraan petani mengalami kemajuan sebesar 172%,

(8)

dan pada rentang tahun 2006-2009 kesejah-teraan petani meningkat sebesar 12%. Komoditas Kelapa

Kelapa merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomi-an nasional terutama sebagai penghasil minyak nabati dalam memenuhi kebutuhan masyarakat disamping sebagai komoditas ekspor. Tanaman kelapa dikenal sebagai tanaman sosial karena lebih dari 95% diusaha-kan oleh petani (Kementerian Pertanian 2014).

Di Indonesia, perkebunan kelapa biasa-nya dikelola secara monokultur ataupun kebun campur. Perkembangan luas areal kelapa di Indonesia selama tahun 1980-2013 cenderung mengalami kenaikan. Pada tahun 1980, luas areal kelapa di Indonesia sebesar 2.680.423 Ha, dan di tahun 2013 meningkat menjadi 3.653.574 Ha. Sehingga dapat di-hitung bahwa secara umum rata-rata pertumbuhan luas areal kelapa pada kurun waktu 1980-2013 meningkat sebesar 0,96% per tahun meskipun antara tahun 2009-2013 luas areal kelapa di Indonesia mengalami rata-rata penurunan sebesar 0,68% per tahun.

Perkembangan produksi kelapa di Indonesia pada periode 1980-2013 cenderung naik dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,95% per tahun. Terjadi peningkatan total produksi kelapa di Indonesia dari 1.666.073 ton pada tahun 1980 menjadi 3.067.980 ton pada tahun 2013, dimana produksi kelapa tertinggi dicapai pada tahun 2009 sebesar 3.257.969 ton. Sementara itu perkembangan produktivitas kelapa di Indonesia selama kurun waktu 2002-2013 cenderung naik dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0,33% per tahun. Tahun 2002 produktivitas kelapa di Indonesia mencapai 1.097 kg/Ha kemudian pada tahun 2013 produktivitasnya naik menjadi 1.135 kg/Ha. Produktivitas kelapa tertinggi dicapai pada tahun 2009 sebesar 1.175 kg/Ha.

Berdasarkan data Food Agriculture

Organization (FAO) tahun 2008-2012, Indonesia menempati urutan pertama di dunia sebagai produsen kelapa yang diikuti

oleh negara Filipina, India, Brazil, dan Sri Lanka. Indonesia juga menempati urutan pertama sebagai negara eksportir kelapa di dunia dengan rata-rata kontribusi ekspor selama tahun 2007-2011 sebesar 141.341 ton. Volume ekspor dan impor kelapa di Indonesia dibagi menjadi volume ekspor impor bungkil kelapa dan minyak kelapa. Selama periode 1980-2013 perkembangan volume ekspor bungkil kelapa cenderung fluktuatif dengan rata-rata pertumbuhan 25,97% per tahun. Sedangkan perkembangan volume ekspor minyak kelapa di Indonesia selama periode 1980-2013 cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 92,78% per tahun.

Meskipun Indonesia memiliki luas perkebunan kelapa terbesar di dunia, namun produk olahan masih terbatas baik jumlah maupun jenisnya. Menurut Tambajong (2010), hal ini disebabkan karena terjadinya ke-terbatasan infrastruktur yang mengakibat-kan struktur industri masih bersifat parsial dan individual sehingga optimalisasi dan efisiensi pemanfaatan seluruh potensi kelapa masih rendah. Menurut Sianipar (2009) hal ini terjadi karena petani kelapa pada umumnya menjual produknya dalam bentuk produk primer (kelapa segar dan kopra).

Berdasarkan penelitian terhadap 36 negara berkembang yang memiliki GDP per kapita kurang dari US$ 3.500, maka terdapat tiga negara yang memiliki hubungan dagang dengan Indonesia, yaitu:

Tabel 3. Hasil Nilai EPD Komoditas Kelapa Periode 2005-2014

Negara EPD Posisi Pasar

Sumbu X Sumbu Y

Bangladesh 216,48 69,69 Rising Stars Tanzania 1525,91 556,21 Rising Stars Pakistan 68,46 40,48 Rising Stars

Berdasarkan hasil nilai EPD maka Indonesia memiliki peluang dalam memper-luas pasar dengan beberapa negara lainnya yang berada di sekitar kawasan di ketiga negara tersebut. Namun demikian, hal pen-ting yang harus diperhatikan adalah menge-nai hasil proyeksi Pusdatin yang menyebut-kan bahwa produksi kelapa di Indonesia

(9)

selama periode 2014-2019 diproyeksikan turun sebesar 0,37% per tahun. Seperti halnya pada produksi, luas areal kelapa selama periode 2014-2019 juga diproyeksikan turun sebesar 0,59% per tahun.

Hasil proyeksi Pusdatin tersebut sangat penting untuk disikapi karena menyangkut sekitar 20 juta jiwa keluarga tani atau buruh tani yang terlibat dalam produksi kelapa di Indonesia. Saat ini, luas perkebunan kelapa berada pada posisi nomor dua terluas setelah sawit, dan pengelolaan usaha tani belum menjadi sumber pendapatan utama. Hal ini terjadi karena sistem usaha yang diterapkan para petani masih bersifat tradisional. Padahal, jika usaha tani kelapa dikelola secara profesional maka akan memberikan kontri-busi yang besar untuk negara (Kementerian Pertanian 2006). Untuk itu maka diperlukan sebuah upaya intensif yang mendukung peningkatan produksi maupun luas areal kelapa agar pada tahun-tahun mendatang produksi kelapa semakin meningkat sehingga Indonesia tetap menjadi negara produsen dan negara eksportir kelapa di dunia.

Menyikapi hal tersebut, Indonesia dapat bekerjasama dengan FAO dalam meningkat-kan produksi, proses, dan pemasaran komo-ditas Kelapa. Hal ini sejalan dengan Chapman (2005) yang menyebutkan bahwa FAO

melalui FAO-RAP (Food and Agriculture

Organization Regional Office for Asia and the Pacific) telah berperan dalam research and development (R&D) dalam meningkatkan nilai tambah komoditas kelapa. Selain itu, ada

komunitas Asian and Pacific Coconut

Community’s (APCC) yang berperan dalam mengatasi dan penanggulangan penyakit yang terjadi pada komoditas kelapa. Menurut Rethinam (2005) APCC dapat berfungsi sebagai pusat informasi mengenai berbagai inovasi yang pernah diusahakan dalam rangka meningkatkan nilai tambah komoditas kelapa.

Sejalan dengan hal tersebut, menurut Tambajong (2010) menyebutkan bahwa faktor penggerak kunci keberhasilan adalah melalui penyediaan infrastruktur agribisnis kawasan untuk menunjang subsistem agribisnis hulu,

subsistem usaha tani, subsistem pengolahan hasil, subsistem pemasaran hasil, dan sub-sistem jasa penunjang. Oleh karena itu di-perlukan kerjasama antar aktor penggerak-nya, seperti pemerintah sebagai leader,

organisasi masyarakat sebagai partner

pemerintah, akademisi sebagai pendamping, perbankan sebagai penopang permodalan petani, dan swasta sebagai partner petani. Komoditas Gula

Tebu merupakan komoditas yang pen-ting di Indonesia sebagai bahan baku utama gula dan pemanis makanan atau sumber pembuatan bahan bakar terbarukan (bio-ethanol). Pengusahaan tebu di Indonesia sebagian besar diusahakan oleh rakyat me-lalui perkebunan rakyat dengan kontribusi rata-rata luas panen mencapai 63,5% antara tahun 1980-2013. Sementara itu, produksi tebu pada perkebunan rakyat juga berkontribusi sebesar 63,9% dari produksi nasional dalam bentuk produk gula hablur. Luas panen tebu meningkat sebesar 47,48% dari tahun 1980 ke tahun 2013 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,06% per tahun atau sekitar 4.547 ha per tahunnya.

Menurut data FAO tahun 2008-2012, Indonesia termasuk dalam tiga besar pro-dusen tebu di ASEAN dengan kontribusi sebesar 15,56%. Posisi pertama dan kedua diduduki oleh Thailand dengan kontribusi sebesar 48,47% dan Filipina sebesar 18,65%. Sementara itu pada tingkat dunia, lima besar produsen tebu berdasarkan sentra luas panen, yaitu: Brazil (35,72%), India (19,72%), China (7,00%), Thailand (4,44%), dan Pakistan (4,29%).

Industri gula telah ada di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Pada tahun 1930-an Indonesia pernah mengalami era kejaya1930-an industri gula dengan memiliki jumlah pabrik gula sebanyak 179, serta pernah mengalami produksi puncak dengan mencapai sekitar 3 juta ton dan ekspor gula 2,40 juta ton. Namun keadaan tersebut tidak berlanjut sampai zaman pasca kemerdekaan. Indonesia kemudian dikenal sebagai negara pengimpor

(10)

gula dengan laju peningkatan antara tahun 1989-1999 mencapai 21,62%/tahun atau sekitar 2 juta ton per tahun (Bantacut 2013). Padahal menurut Suryantoro (2013), adanya impor gula akan berpengaruh terhadap menurunnya produksi gula dalam negeri.

Pada tahun 1930-an Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula, namun Indonesia kemudian dikenal sebagai negara pengimpor gula. Menurut Susila (2005), permasalahan penurunan produksi tebu diakibatkan oleh semakin menurunnya areal tebu dan produktivitasnya. Sementara itu menurut Bantacut (2013), kendala-kendala dalam peningkatan produksi gula antara lain seperti keterbatasan bahan baku, kinerja pabrik yang kurang baik, keterbatasan modal investasi, dan keterbatasan lahan untuk perluasan perkebunan tebu. Di lain pihak konsumsi terhadap gula semakin meningkat seiring dengan meningkatnya populasi dalam negeri sehingga mengakibatkan impor (Sugiyanto 2007). Oleh karena itu untuk ke-majuan industri gula, selain masih memerlu-kan dukungan kebijamemerlu-kan pemerintah, juga Indonesia harus meningkatkan efisiensinya dalam berbagai aspek kegiatan produksi (Susila 2005).

Meskipun saat ini Indonesia masih mengimpor raw sugar, namun berdasarkan penelitian terhadap 36 negara berkembang, terdapat tujuh negara yang memiliki hubungan dagang dengan Indonesia dalam bentuk turunan komoditas Gula dalam kelompok kode HS 1704 (Kembang gula [termasuk coklat putih], tidak mengandung kakao). Ketujuh negara tersebut, yaitu: Tabel 4. Hasil Nilai EPD Komoditas Gula

Periode 2005-2014

Negara Sumbu X EPD Sumbu Y Posisi Pasar

Cambodia 1264,99 -47,26 Falling Stars Bangladesh 274,25 -79,51 Falling Stars Madagascar 473,44 90,24 Rising Stars Kenya 88,84 27,24 Rising Stars Yemen 144,82 125,22 Rising Stars Pakistan -69,66 96,72 Lost

Opportunity Ghana 159,25 -43,63 Falling Stars

Berdasarkan hasil uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki peluang dalam menjalin hubungan dagang dalam komoditas Gula ke negara-negara lain dalam konteks Kerjasama Selatan-Selatan. Hal ini diperkuat oleh hasil proyeksi Pusdatin (2014) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2014-2019 Indonesia akan bisa berswasem-bada dengan mengalami surplus pasokan gula hingga mencapai rata-rata 857.634 ton tebu per tahunnya. Meskipun seperti itu, menurut Bantacut (2010) menyebutkan bahwa swasembada gula tidak mungkin dicapai melalui pertumbuhan produksi normal, me-lainkan harus membangun pabrik-pabrik gula yang baru. Salah satu alternatifnya adalah dengan mengoptimalkan ketersediaan lahan yang terpencar untuk mendukung pabrik gula mini (Bantacut 2013). Mulyono (2011) menambahkan bahwa Indonesia harus me-ngembangkan industri bibit tebu unggul untuk menunjang program swasembada gula nasional.

Banyak permasalahan di sekitar industri gula di Indonesia, seperti misalnya masalah inefisiensi di tingkat usahatani dan pabrik, dan kebijakan yang kurang memadai di tingkat domestik dan perdagangan inter-nasional (Susila 2005). Oleh karena itu maka untuk mewujudkan kembali industri gula yang efisien memerlukan rancangan kebijak-an ykebijak-ang menyeluruh, mempunyai keterkaitkebijak-an dan keselarasan yang jelas antara satu kebijak-an dengkebijak-an ykebijak-ang lain, dkebijak-an terintegrasi sehing-ga cukup efektif untuk mencapai tujuan yang sama (Kementerian Pertanian 2014).

Susila (2005) menyebutkan bahwa untuk mengatasi permasalahan gula yang ada di Indonesia maka harus melakukan tiga upaya, yaitu: Pertama, meningkatkan efisiensi di tingkat usaha tani yang mencakup penanam-an varietas unggul, percepatpenanam-an peremajapenanam-an tanaman keprasan, optimasi masa tanam dan tebang, dan perbaikan sistem bagi hasil; Kedua, meningkatkan efisiensi pabrik gula melalui penutupan pabrik gula yang tidak efisien, rehabilitasi pabrik gula yang masih potensial, dan konsolidasi pabrik gula yang lokasinya berdekatan; Ketiga, menciptakan

(11)

persaingan yang adil bagi industri gula Indonesia dengan pilihan kebijakan memper-tahankan esensi kebijakan tataniaga impor gula, meningkatkan tarif impor menjadi sekitar 50%, atau menerapkan kebijakan provenue-tariff rate quota. Selain itu juga peme-rintah perlu juga memberikan insentif dan dukungan kebijakan untuk pengembangan industri gula di luar pulau Jawa.

Sementara itu menurut Yunitasari (2015), dalam perspektif swasembada gula dan peningkatan pendapatan petani tebu, kebijakan harus diarahkan baik pada sisi on farm maupun pada sisi off farm. Kebijakan-kebijakan itu seperti pengembangan sarana produksi, ketersediaan dan akses sarana produksi, pengembangan kelembagaan dan integrasi pabrik gula dan petani tebu, peningkatan produktivitas dan daya saing industri gula, kebijakan proteksi gula, serta kebijakan promosi dan harmonisasi data pasokan sebagai basis perumusan kebijakan swasembada gula nasional.

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI EKSPOR PRODUK-PRODUK PERTANIAN INDONESIA DI NEGARA-NEGARA KURANG

BERKEMBANG Komoditas Teh

Menganalisis faktor-faktor yang meme-ngaruhi permintaan komoditas Teh Indonesia di negara tujuan dapat ditentukan dengan

menggunakan gravity model dengan

pen-dekatan regresi data panel. Terdapat tiga

negara yaitu Cambodia, Kenya, dan Pakistan yang memiliki hubungan dagang dengan Indonesia selama periode 2005-2014. Terdapat jumlah observasi sebanyak 30 data. Menurut uji Hausman, model ini telah memenuhi kriteria dengan nilai probabilitas 0.00 < 5% tolak H0 maka Fixed Effect Model (FEM) lebih baik digunakan daripada Random Effect Model (REM). Berikut adalah hasil analisisnya:

Model ekspor komoditas Teh Indonesia adalah:

LnVit = -12.1844 + 0.3677lnPit + 9.0114lnGDPit – 0.4156lnERit + 2.1466lnDISTit

Pada Harga Dunia berpengaruh positif dan Nilai Tukar Riil berpengaruh negatif namun tidak signifikan atau tidak ber-pengaruh nyata terhadap permintaan komo-ditas Teh (diatas taraf nyata 5%). Sementara itu menurut Herminingsih (2002) menyebut-kan bahwa harga teh dunia, secara agregat berpengaruh terhadap harga ekspor teh, dan harga ekspor teh berpengaruh terhadap teh di pasar domestik. Senada dengan penelitian Mejaya (2016) yang menyebutkan bahwa harga internasional, produksi, dan nilai tukar berpengaruh terhadap volume ekspor teh Indonesia.

Hubungan jarak ekonomi (DIST) ber-pengaruh positif terhadap variabel dependen (nilai ekspor), artinya dalam kasus hubungan dagang komoditas Teh Indonesia dengan negara Cambodia, Kenya, dan Pakistan terjadi

Tabel 5. Hasil Estimasi Gravity Model dengan Pendekatan Data Panel Komoditas Teh

Indonesia ke Negara Tujuan Periode 2005-2014 Uji Kriteria Statistik dengan Variabel Dependen = LnV

Variabel Independen Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. *

P 0,37 1,33 0,28 0,78 GDP 9,01 2,32 3,88 0,0006 ER -0,42 0,30 -1,37 0,18 DIST 2,15 0,54 3,99 0,0004 C -12,18 8,63 -1,41 0,17 Uji Hausman 0,00

Weighted Statistics Unweighted Statistics

R-Squared 0,96 Sum squared resid 3,65

Prob (F-statistics) 0,00 Durbin-Watson stat 1,61

Sum squared resid 3,44 Jarque-Bera 1,48

(12)

kondisi bahwa semakin jauh jarak antara Indonesia dengan negara tujuan sebesar 1% maka meningkatkan nilai ekspor komoditas teh sebesar 2,17%.

Menurut Junaidi (2005), kondisi volume ekspor komoditas teh Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dijelaskan dengan membagi dua periode, yaitu masa prakrisis dan pascakrisis. Pada masa prakrisis pada tahun 1979-1996 volume ekspor teh cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 2,32% dengan pertumbuhan tertinggi dicapai pada tahun 1979-1980 sebesar 39,43%. Sedangkan pada pascakrisis tahun 1997-2002 volume ekspor teh juga cenderung meningkat yaitu sebesar 2,35% dengan pertumbuhan tertinggi dicapai pada tahun 1998-1999 yaitu sebesar 46,50%.

Melalui sisi penawaran, Herminingsih (2002) menyebutkan bahwa luas areal perkebunan teh negara dipengaruhi oleh harga teh di pasar domestik, harga biji kakao di pasar domestik dan harga pupuk, sedangkan luas areal perkebunan swasta hanya dipengaruhi oleh harga teh di pasar domestik. Selanjutnya, variabel yang ber-pengaruh terhadap produktivitas teh antara lain tingkat upah sektor perkebunan, terjadi-nya kekeringan, dan luas areal perkebunan. Sedangkan ekspor teh hanya dipengaruhi oleh produksi teh itu sendiri.

Berbeda dengan penelitian Herminingsih, Junaidi (2005) menyebutkan bahwa ada beberapa variabel yang diduga

mem-pengaruhi penawaran ekspor teh Indonesia. Faktor-faktor tersebut adalah Produksi Domestik, Harga Domestik Riil, Harga Ekspor Riil, Nilai Tukar Rupiah Terhadap Nilai Dollar AS, dan Penawaran Ekspor Tahun Sebelumnya. Oleh karena itu maka volume penawaran ekspor teh perlu ditingkatkan agar dapat meningkatkan volume ekspor teh pada tahun selanjutnya.

Komoditas Kelapa Sawit

Menganalisis faktor-faktor yang meme-ngaruhi permintaan komoditas Kelapa Sawit Indonesia di negara tujuan dapat ditentukan dengan menggunakan gravity model dengan pendekatan regresi data panel. Terdapat 13 negara yaitu Bangladesh, Togo, Sierra Leone, Guinea, Benin, Mozambique, Tanzania, Nige-ria, Yemen, Cameroon, Senegal, Pakistan, dan Ghana yang memiliki hubungan dagang dengan Indonesia selama periode 2005-2014. Terdapat jumlah observasi sebanyak 130 data. Menurut uji Hausman, model ini telah memenuhi kriteria dengan nilai probabilitas 0,07 < 10% tolak H0 maka Fixed Effect Model (FEM) lebih baik digunakan daripada Random Effect Model (REM). Berikut adalah hasil estimasinya:

Model ekspor komoditas Kelapa Sawit Indonesia adalah:

LnVit = -14,28 - 0,46lnPit + 1,34lnGDPit + 0,09lnERit – 1,89lnDISTit

Tabel 6. Hasil Estimasi Gravity Model dengan Pendekatan Data Panel Komoditas Kelapa

Sawit Indonesia ke Negara Tujuan Periode 2005-2014 Uji Kriteria Statistik dengan Variabel Dependen = LnV

Variabel Independen Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. *

P -0,46 0,21 -2,14 0,03 GDP 1,34 0,41 3,26 0,0015 ER 0,09 0,06 1,48 0,14 DIST -1,89 0,17 -10,99 0,00 C -14,28 0,79 -18,00 0,00 Uji Hausman 0,07

Weighted Statistics Unweighted Statistics

R-Squared 0,86 Sum squared resid 25,61

Prob (F-statistics) 0,00 Durbin-Watson stat 1,46

Sum squared resid 24,05 Jarque-Bera 4,88

(13)

Hubungan Gross Domestic Product (GDP) Per Kapita berpengaruh positif terhadap variabel dependen (nilai ekspor). Hal ini menunjukkan bahwa saat GDP meningkat sebesar 1% maka nilai eksport komoditas Kelapa Sawit akan meningkat sebesar 1,34%. Pada Harga Dunia berpengaruh negatif terhadap variabel dependen. Hal ini menunjukkan bahwa saat Harga Dunia meningkat 1% maka nilai eksport komoditas Kelapa Sawit akan menurun sebesar -0,46%. Sementara itu Nilai Tukar Riil berpengaruh positif namun tidak signifikan atau tidak ber-pengaruh nyata terhadap permintaan komo-ditas Kelapa Sawit (diatas taraf nyata 5%).

Hubungan jarak ekonomi (DIST) ber-pengaruh negatif terhadap variabel dependen (nilai ekspor), artinya semakin jauh jarak Indonesia dengan negara tujuan sebesar 1% maka menurunkan nilai ekspor komoditas Kelapa Sawit sebesar 1,89%. Indonesia perlu meningkatkan harga komoditas Kelapa Sawit untuk menutupi biaya transportasi seiring dengan semakin jauhnya negara pengimpor. Karena semakin jauh jarak antara dua negara maka memerlukan biaya transportasi yang semakin mahal. Penambahan biaya transpor-tasi ini menurut Rifin (2010) tidak

berpenga-ruh terhadap competitiveness komoditas

kelapa sawit. Dengan kata lain, lain halnya dengan peningkatan pajak ekspor yang kemudian dapat berdampak terhadap penurunan export competitiveness komoditas kelapa sawit di pasar internasional.

Hasil yang didapat di penelitian ini ber-beda dengan yang ditemukan oleh Munadi (2007) dalam penelitiannya mengenai faktor-faktor ekspor kelapa sawit dari Indonesia ke India. Munadi menemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kelapa sawit Indonesia adalah harga minyak kedelai dunia, harga minyak kelapa sawit dunia, goods production index (IPI), dan jumlah permintaan komoditas kelapa sawit tahun sebelumnya.

Komoditas Kelapa

Menganalisis faktor-faktor yang meme-ngaruhi permintaan komoditas Kelapa Indonesia di negara tujuan dapat ditentukan dengan menggunakan gravity model dengan pendekatan regresi data panel. Terdapat tiga negara yaitu Bangladesh, Tanzania, dan Pakistan yang memiliki hubungan dagang dengan Indonesia selama periode 2005-2014. Terdapat jumlah observasi sebanyak 40 data. Menurut uji Hausman, model ini telah memenuhi kriteria dengan nilai probabilitas 0,00 < 5% tolak H0 maka Fixed Effect Model (FEM) lebih baik digunakan daripada Random Effect Model (REM). Berikut adalah hasil estimasinya:

Model ekspor komoditas Kelapa Indonesia adalah:

LnVit = -6,43 + 0,16lnPit + 1,35lnGDPit – 0,15lnERit – 0,64lnDISTit

Tabel 7. Hasil Estimasi Gravity Model dengan Pendekatan Data Panel Komoditas Kelapa

Indonesia ke Negara Tujuan Periode 2005-2014 Uji Kriteria Statistik dengan Variabel Dependen = LnV

Variabel Independen Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. *

P 0,16 0,12 1,41 0,17 GDP 1,35 1,13 1,19 0,24 ER -0,15 0,14 -1,08 0,29 DIST -0,64 0,27 -2,39 0,02 C -6,43 3,02 -2,13 0,04 Uji Hausman 0,0022

Weighted Statistics Unweighted Statistics

R-Squared 0,91 Sum squared resid 2,76

Prob (F-statistics) 0,00 Durbin-Watson stat 2,63

Sum squared resid 2,37 Jarque-Bera 1,18

(14)

Hubungan Harga Dunia berpengaruh positif; Produk Domestik Bruto berpengaruh positif; dan Nilai Tukar Riil berpengaruh negatif namun tidak signifikan atau tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan komoditas Kelapa (diatas taraf nyata 5%).

Hubungan jarak ekonomi (DIST) ber-pengaruh negatif terhadap variabel dependen (nilai ekspor), artinya semakin jauh jarak Indonesia dengan negara tujuan sebesar 1% maka menurunkan nilai ekspor komoditas Kelapa sebesar 0,64%. Indonesia perlu meningkatkan harga komoditas Kelapa untuk menutupi biaya transportasi seiring dengan semakin jauhnya negara pengimpor. Karena semakin jauh jarak antara dua negara maka memerlukan biaya transportasi yang semakin mahal.

Sejalan dengan hal tersebut, menurut Sianipar (2009) menyebutkan bahwa dalam perdagangan internasional, pemerintah be-lum memiliki kebijakan khusus untuk mem-batasi ekspor ataupun kebijakan pendukung ekspor. Namun dalam sisi impor, pemerintah telah memberlakukan kebijakan bea masuk dan pajak penjualan yang ditujukan untuk melindungi petani dalam negeri. Sedangkan untuk kebijakan investasi, pemerintah telah memberlakukan kebijakan yang bersifat umum seperti menyangkut pembangunan infrastruktur yang tidak dilakukan secara khusus untuk pengembangan investasi agribisnis kelapa.

Komoditas Gula

Menganalisis faktor-faktor yang meme-ngaruhi permintaan komoditas Gula Indonesia di negara tujuan dapat ditentukan dengan menggunakan gravity model dengan pendekatan regresi data panel. Terdapat tujuh negara yaitu Cambodia, Bangladesh, Mada-gascar, Kenya, Yemen, Pakistan, dan Ghana yang memiliki hubungan dagang dengan Indonesia selama periode 2005-2014. Terdapat jumlah observasi sebanyak 70 data. Menurut uji Hausman, model ini telah memenuhi kriteria dengan nilai probabilitas 0,00 < 5% tolak H0 maka Fixed Effect Model (FEM) lebih baik digunakan daripada Random Effect Model (REM). Berikut adalah hasil estimasinya:

Model ekspor komoditas Gula Indonesia adalah:

LnVit= -3,77 – 0,46lnPit – 0,05lnGDPit – 0,13lnERit – 0,83lnDISTit

Hubungan Harga Dunia (P) berpengaruh negatif terhadap variabel dependen. Hal ini menunjukkan bahwa saat Harga Dunia meningkat 1% maka nilai eksport komoditas Gula akan menurun sebesar -0,46%.

Hubungan jarak ekonomi (DIST) ber-pengaruh negatif terhadap variabel dependen (nilai ekspor), artinya semakin jauh jarak Indonesia dengan negara tujuan sebesar 1% maka menurunkan nilai ekspor komoditas Gula sebesar 0,83%. Indonesia perlu me-ningkatkan harga komoditas Gula untuk

Tabel 8. Hasil Estimasi Gravity Model dengan Pendekatan Data Panel Komoditas Gula

Indonesia ke Negara Tujuan Periode 2005-2014 Uji Kriteria Statistik dengan Variabel Dependen = LnV

Variabel Independen Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. *

P -0,46 0,26 -1,80 0,08 GDP -0,05 1,16 -0,04 0,97 ER -0,13 0,22 -0,58 0,56 DIST -0,84 0,17 -4,87 0,00 C -3,77 3,82 -0,99 0,33 Uji Hausman 0,00

Weighted Statistics Unweighted Statistics

R-Squared 0,66 Sum squared resid 8,10

Prob (F-statistics) 0,00 Durbin-Watson stat 0,94

Sum squared resid 7,60 Jarque-Bera 3,86

(15)

menutupi biaya transportasi seiring dengan semakin jauhnya negara pengimpor. Karena semakin jauh jarak antara dua negara maka memerlukan biaya transportasi yang semakin mahal.

Menurut Hairani (2014), permasalahan penting yang dihadapi oleh Indonesia adalah mengenai impor yang selama kurun waktu sepuluh tahun antara tahun 2012-2016 cenderung meningkat. Peningkatan impor gula tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti impor tahun sebelumnya, konsumsi gula, harga gula internasional, perubahan pendapatan per kapita, dan stok gula domestik. Sementara itu dari sisi elastisitasnya, variabel stok dalam negeri, impor tahun sebelumnya, perubahan pen-dapatan per kapita, dan konsumsi gula terhadap impor gula di Indonesia bersifat inelastis, sedangkan nilai elastisitas harga gula internasional terhadap impor gula di Indonesia bersifat elastis.

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Terdapat empat komoditi yang memiliki hubungan perdagangan dengan Indonesia dalam konteks Kerjasama Selatan-Selatan, yaitu Teh, Kelapa Sawit, Kelapa, dan Gula. Indonesia memiliki hubungan perdagangan Teh ke negara Cambodia, Kenya, dan Pakistan. Komoditas Kelapa Sawit Indonesia

memiliki hubungan dagang ke negara

Bangladesh, Togo, Sierra Leone, Guinea, Benin, Mozambique, Tanzania, Nigeria, Yemen, Cameroon, Senegal, Pakistan, dan Ghana. Indonesia juga memiliki hubungan dagang Kelapa ke negara Bangladesh, Tanzania, dan Pakistan. Komoditas Gula Indonesia memiliki hubungan dagang dengan negara Madagascar, kenya, dan Yemen, Cambodia, Bangladesh, Ghana dan Pakistan. Dengan demikian maka dapat disebutkan bahwa potensi pasar ekspor baru bagi produk-produk pertanian Indonesia pada

Kerjasama Selatan-Selatan (South-South

Cooperation) memiliki peluang yang men-janjikan.

Faktor-faktor yang memengaruhi ekspor Teh secara signifikan adalah Produk Domes-tik Bruto Negara Importir dan Jarak Ekonomi. Pada Kelapa Sawit, variabel yang ber-pengaruh signifikan adalah Harga Dunia, Produk Domestik Bruto Negara Importir, dan Jarak Ekonomi. Pada Kelapa, variabel yang berpengaruh signifikan adalah Harga Dunia dan Jarak Ekonomi. Sedangkan untuk komoditas Gula, variabel yang berpengaruh signifikan adalah Harga Dunia dan Jarak Ekonomi.

SARAN

Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation) merupakan sebuah peluang yang baik bagi Indonesia dalam memperluas pasar ekspor produk-produk pertanian yang men-jadi keunggulan komparatifnya. Dengan semakin berkembangnya perekonomian du-nia, permintaan produk-produk pertanian Indonesia akan semakin bertambah. Sehingga perlu adanya sikap bersama antara pihak pemerintah dan swasta dalam menciptakan produk-produk yang berkualitas dan me-miliki harga yang kompetitif di pasar dunia.

DAFTAR PUSTAKA

[Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2014. Outlook Komoditi Tebu. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian RI.

[Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2014. Outlook Komoditi Kelapa Sawit. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian RI.

[Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2015. Outlook Komoditi Kelapa. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian RI.

[Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2015. Outlook Komoditi Teh. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian RI.

(16)

[UN COMTRADE] United Nations Comodity Trade Statistics Database [internet]. Berbagai Terbitan. [diunduh 2016 Mar-2016 Jun]. Tersedia dalam: www.wits.worldbank.org.

[WB] World Bank; World Development Indicators [internet]. [diunduh 2016 Mar-2016 Jun]. Tersedia pada: www.data.worldbank.org.

Andelisa N. 2011. Analisis Daya Saing dan Aliran Ekspor Produk Crude Coconut Oil (CCO) Indonesia. [Skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Bantacut T. 2010. Swasembada Gula: Prospek dan Strategi Pencapaiannya. PANGAN. 19 (3): 245-256.

Bantacut T. 2013. Pengembangan Pabrik Gula Mini untuk Mencapai Swasembada Gula. PANGAN. 22(4): 299-316.

Bhattacharya KS, Bhattacharyay BN. 2007. Gains and Losses of India-China Trade Cooperation – A Gravity Model Impact Analysis. CESIFO Working Paper No. 1970.

Chapman KR, Liebregts WJ, Viet TT. 2005. FAO Activities on Coconut Conducted By FAO Regional Office for Asia and the Pacific, Bangkok, Thailand. Proceeding of the International Coconut Forum held in Cairns, Australia, 22-24 November 2005.

Gumilar N. 2010. Dayasaing Komoditi Sayuran Utama Indonesia di Pasar Internasional. [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

Hairani RI, Joni MM, Jani J. 2014. Analisis Trend Produksi dan Impor Gula Serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Gula Indonesia. PERTANIAN. 1(4): 77-85.

Herminingsih A. 2002. Penawaran dan Permintaan Teh dan Teh Olahan di Pasar Domestik. [Tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

Hicks A. 2009. Current Status and Future Development of Global Tea Production and Tea Product. AU J.T. 12(4): 251-264.

Hidayat D. 2006. Analisis Peranan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Riau dalam Era Otonomi Daerah. [Tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

Hiyashi K. 2007. Environmental Impact of Palm Oil Industry in Indonesia. Proceedings of International Symposium on EcoTopia Science 2007. Junaidi M. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Penawaran Ekspor Teh Indonesia. [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

Mejaya AS, Fanani D, Mawardi MK. 2016. Pengaruh Produksi, Harga Internasional, dan Nilai Tukar Terhadap Volume Ekspor: Studi pada Ekspor Global Teh Indonesia Periode Tahun 2010-2013). Jurnal Administrasi Bisnis. 35(2): 20-29.

Mulyono D. 2011. Kebijakan Pengembangan Industri Bibit Tebu Unggul untuk Menunjang Program Swasembada Gula Nasional. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. 13(1): 60-64.

Munadi E. 2007. Penurunan Pajak Ekspor dan Dampaknya Terhadap Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia ke India (Pendekatan Error Correction Model). Informatika Pertanian. 16(2).

Rethinam P. 2005. Asian and Pacific Coconut Community Activities, Achievements and Future Outlook. Proceeding of the International Coconut Forum held in Cairns, Australia, 22-24 November 2005.

Rifin A. 2010. The Effect of Export Tax on Indonesia’s Crude Palm Oil (CPO) Export Competitiveness. ASEAN Economic Bulletin. 27(2): 173-184.

Sianipar TM. 2009. Analisis Respons Penawaran Kelapa di Indonesia pada Periode 1971-2006. [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

Sugiyanto C. 2007. Permintaan Gula Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 8(2): 113-127.

(17)

Suprihatini R, Bambang D, Undang F. 2004. Kebijakan Percepatan Pengembangan Industri Hilir Perkebunan: Kasus Teh dan Sawit. AKP. 2(1): 54-66.

Suprihatini R. 2005. Rancangbangun Sistem Produksi dalam Agroindustri Teh Indonesia. [Disertasi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

Suryantoro A, Susilo AM, Supriyono. 2013. Impacts of Sugar Import Policy on Sugar Production in Indonesia. Kinerja. 17(2): 119-144.

Susila WR dan Sinaga BM. 2005. Analisis Kebijakan Industri Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi. 23(1): 29-53. Susila WR. 2005. Pengembangan Industri

Gula Indonesia: Analisis Kebijakan dan Keterpaduan Sistem Produksi. [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Sutarna TH. 2000. Analisis Finansial dan Ekonomi Peremajaan Tanaman Perkebunan Teh: Studi Kasus PTP Nusantara VIII, Perkebunan Tambaksari, Kab. Subang, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

Syahza A. 2011. Percepatan Ekspor Pedesaan Melalui Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 12(2): 297-310.

Tambajong LA. 2010. Model Pengembangan Infrastruktur Kawasan Agropolitan Berbasis Komoditas Unggulan Kelapa yang Berkelanjutan di Sulawesi Utara. [Disertasi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

Tarigan R. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah Edisi Revisi. Jakarta (ID). Bumi Aksara.

Yunitasari D, Hakim DB, Juanda B, Nurmalina R. 2015. Menuju Swasembada Gula Nasional: Model Kebijakan untuk Meningkatkan Produksi Gula dan Pendapatan Petani Tebu di Jawa Timur. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik. 6(1): 1-15.

(18)

Gambar

Gambar 3. Ekspor Komoditas 1513.
Tabel 4.  Hasil Nilai EPD Komoditas Gula  Periode 2005-2014
Tabel 5.  Hasil Estimasi Gravity Model dengan Pendekatan Data Panel Komoditas Teh  Indonesia ke Negara Tujuan Periode 2005-2014
Tabel 6.  Hasil Estimasi Gravity Model dengan Pendekatan Data Panel Komoditas Kelapa  Sawit Indonesia ke Negara Tujuan Periode 2005-2014
+3

Referensi

Dokumen terkait

yang mana rataan total biaya produksi tertinggi pada perlakuan P0 (Penggunaan ransum kontrol dengan tepung limbah ikan gabus pasir sebanyak 0% dan tepung ikan komersil

Penarikan MS-manipulator ke daerah operasi merupakan kunci keberhasilan untuk mengatasi kerusakan booting dan terputusnya mekanisme pada gerakan naik-turun slave arm

Ayam lokal yang mempuyai potensi sebagai hewan kesayangan atau ternak klangenan (fancy) baik ayam yang mempunyai suara kokok yang merdu seperti ayam Pelung,

Hasil inventarisasi menunjukkan bahwa keragaman SDG yang ada di pekarangan dan di luar pekarangan umumnya hampir sama jenisnya di semua wilayah Kabupaten

Persentase Desa Penyelesaian APBDesa tepat waktu 75 % 100% Rata-rata persentase kesesuaian APBDesa dengan RPJMdesa. Hal ini dikarenakan pada Tahun Anggaran 2014, seluruh

Detektif o Secara rutin menjalankan program antivirus untuk mendeteksi infeksi virus.. o Melakukan pembandingan ukuran-ukuran berkas untuk

Kajian yang didasarkan dari hasil analisis pengukuran jumlah biomasa ve- getasi di bagian atas permukaan dan di bagian bawah permukaan di hutan rawa gambut dilakukan

karyawan tidak terlalu setuju dengan jenis penghargaan interpersonal. Dimana penghargaan ini tidak terlalu mempengaruhi karyawan untuk tetap tetap loyal kepada