• Tidak ada hasil yang ditemukan

BecraN II. KovtuNIKASI ANTenBUDAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BecraN II. KovtuNIKASI ANTenBUDAYA"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BecraN

II

(2)
(3)

BAB

IV

KOMUNIKASI

ANTARBUDAYA

A.

Komunikasi Antarbudaya

Berdasarkan

pengertian tentang komunikasi

dan

budaya

yang

dipaparkan

dalam

bab

se'belumnya,

maka

kita

dapat memahami apa arti kata komunikasi antarbudaya.

Willian

B

Hart

II,

1996 (dalam

Liliweri,

2003: 8) nrengatakan bahwa komunikasi dan kebudayaan

tidak

sekedar dua kata tetapi dua konsep yang

tidak

dapat dipisahkan. Harus dicatat bahwa

studi

komunikasi

antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan Pada

efek budaya terhadap komunikasi.

Larry A Samovar, dkk dalam bukunya Communication betu:een

Cultures (teriemahan, 2010:

13)

memberikan

definisi

tentang

komunikasi antarbudaya sebagai satu

bentuk

komunikasi yang

melibatkan interaksi antara orang-orang

yang persepsi

budaya

dan

sistem simbolnya

cukup

bert'eda dalam suatu komunikasi.

Dalam pandangan Samovar

dan

kawan-kawan

ini,

komunikasi

antarbudaya

terjadi ketika

anggota

dari

suatu budaya tertentu

memberikan

pesan kepada anggota

dari

budaya

yang

lain. Komunikasi antarbudaya sering melibatkan perbedaan-perbedaan ras dan etnis, namun komunikasi antarbudaya juga berlangsung ketika muncul perbedaan-perbedaan yang mencolok tanpa harus disertai perbedaan-perbedaan ras dan etnis.

Gudykunst

dan

Kim

(7997: 19),

melihat

komunikasi

antar-budaya sebagai proses transaksio:ral

dan

proses

simbolik

yang melibatkan atribusi makna antara

individu-individu

dari budaya

yang berbeda. Sedangkan

Ting

Toomey, 1999 (dalam Tumomo,

2005: 53) menjelaskan Komunikasi antarbudaya sebagai proses

pertukaran simbolik dimana

indivi,lu-individu

dari dua atau lebih komunitas

kultural yang

berbeda menegosiasikan makna yang

(4)

Mi ndfulness dalam Komunikasi Antarbudaya

dipertukarkan dalam sebuah interaksi

yang interaktif.

Menurut

Kim, individu

yang berasal

dari

budaya

yang

sama cenderung

akan saling berbagi kesamaan dibandingkan dengan mereka yang

berasal dari buday a y arrg berbeda.

Dalam pandangan Charley H Dood, komunikasi antarbudaya

meliputi

komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang

mewakili pribadi, antarpribadi maupun kelompok dengan mene-kankan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempe-ngaruhi komunikasi para peserta atau partisipan komunikasi. Alo

Liliweri

menambahkan bahwa

komunikasi

antarbudaya adalah komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan

(Aloliliweri,

2003: 9).

Berdasarkan beberapa

definisi dan

pengertian komunikasi antarbudaya di atas, ada beberapa penekanan yang sebetulnya bisa kita berikan dari komunikasi antarbuday a, y aitu:

1.

Komunikasi

antarbudaya

adalah komunikasi

antarpersonal yang terjadi antara dua orang atau lebih yang

memiliki

latar

belakang budaya yang berbeda dan membawa efek tertentu,

2.

Komunikasi antarbudaya merupakan studi yang menekankan

pada efek budaya dalam komunikasi

3.

Komunikasi antarbudaya merupakan

Proses transaksional

antara

individu-individu

dari budaya yang berbeda

4.

Komunikasi antarbudaya merupakan proses

simbolik

yang

melibatkan

atribusi

makna antara

individu-individu

dari

budaya yang berbeda

5.

Dalam komunikasi antarbudaya setiap

individu

yang berasal

dari budayayangberbeda dan yang terlibat dalam komunikasi,

berusaha

untuk

menegosiasikan makna

yang

diperfukarkan

dalam sebuah interaksi yang interaktif

Beberapa penekanan di atas menunjukkan bahwa komunikasi

antarbudaya merupakan proses pengalihan pesan yang dilakukan

seorang melalui saluran tertentu kepada orang lain yang keduanya

berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan menghasilkan

(5)

Rini Damarastuti

Dalam

pembahasan

komunil:asi antarbudaya sering

kali

disinggung tentang komunikasi

lintas

budaya.

Ada

sedikit

perbedaan antara komunikasi antarbudaya dengan komunikasi Iintar budaya. Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang

terjadi antara dua orang atau lebih yang berbeda latar belakang

budayanya

tetapi diantara partisipan komunikasi

berasal dari

satu negara. Sedangkan komunikar;i lintas budaya adalah adalah

komunikasi antar bangsa

yang

dipengaruhi oleh

latar

belakang budaya.

B.

Asumsi Dasar

Berbicara

dan

berdiskusi tentang komunikasi antarbudaya, maka tidak bisa lepas dari perspektif dan asumsi

y*g

mendasari tentang kajian

ini. Ada

beberapa perspektif yang menjadi dasar dalam kajian komunikasi antarbudaya, dengan mengajukan satu pertanyaan, 'kajian seperti apa yang perlu dipelajari dalam komunikasi

antarbudaya dan mengapa komunikasi antarbudaya itu perlu dipelajari' .

(6)

Mindfulness dalam Komunikasi Antarbudaya

Beberapa asumsi

yang

mendasari komunikasi antarbudaya adalah:

1.

Sebagai

makluk

sosial setiap

individu

akan

berkomunikasi dengan

individu

lainnYa.

2.

Latar belakang budayayang

dimiliki

oleh setiap

individu

akan mempengaruhi

individu

tersebut dalam berkomunikasi'

3.

Perbedaan

latar

belakang

budaya

ini

akan

mempengaruhi

perbedaan persepsi antara komunikator dan komunikan'

4.

Perbedaan

latar

belakang

budaya

juga

akan

menimbulkan ketidakpastian dalam proses komunikasi antara komunikator

dengan komunikan.

5.

Pemahaman terhadap

budaya

lain

menjadi satu

hal

yang penting dalam membangun komunikasi yang efektif

Asumsi-asumsi

inilah

yang

mendasari

kajian

komunikasi

antarbudaya dan menjawab pertanyaan tentang perlunya belajar

komunikasi antarbudaYa.

Alo

Liliweri

(2003

:

15) memberikan

asumsi-asumsi

dalam

rangka memahami

kajian

komunikasi antarbudaya sebagai berikut:

1.

Komunikasi

antarbudaya

dimulai

dengan

anggapan dasar

bahwa ada perbedaan Persepsi antara

komunikator

dengan komunikan.

2.

Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antar

pribadi

3.

Gaya personal memPengaruhi komunikasi antarpribadi

4.

Komunikasi antarbudaya bertujuan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian

5.

Komunikasi berpusat pada kebudayaan

6.

Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi.

Berbeda dengan pendapat dari AIo Liliweri,

Andrik

Purwasito

(2003: 8) memberikan asumsi dasar yang menjadi alasan mengaPa

komunikasi antarbudaya

(Andrik

Purwasito memberikan istilah

(7)

Rini Dama'astuti

1.

Meningkatnya intensitas dan pr:rtemuan antarbangsa semakin

tinggi,

maka

diasumsikan

delam kajian

ini

lebih

besar menimbulkan kesalahpahaman ketimbang kesepahaman

2.

Dengan dibukanya

NAFTA

d;rn perdagangan bebas, berarti akan banyak orang asing yang masuk ke Indonesia. Dengan kata

lain,

terjadinya peningkatan pertemuan antarberbagai bangsa dengan latar belakang kultural )'ung berbeda.

3.

Berjalannya

kebijakan

otononri daerah

telah

memisahkan

egoisme daerah. Egoisme dan se:gala bentuk nasionalisme lokal

dapat memicu

konflik

kepenti.ngan antardaerah

dan konflik

horizontal.

Asumsi-asumsi

di

atas menjadi alasan dan jawaban mengapa

kita

harus belajar komunikasi antarbudaya. Perbedaan persepsi yang seringkali teqadi antara komunikator dan komunikan ataupun antara partisipan komunikasi

ya.g

memiliki latar belakang budaya yang berbeda, menjadi alasan mendasar mengapa kita perlu belajar

komunikasi

antarbudaya. Perbedaan persepsi

yang

disebabkan

karena perbedaan

latar

belakang

budaya

memberikan peluang

yang

sangat besar

terjadinya miskomunikasi ataupun konflik

diantara partisipan komunikasi.

Padahal,

kalau

kita

melihat ,falam kehidupan

kita

sehari-hari, dalam setiap tindak komunik.asi yang terjadi dalam kontek

komunikasi antarbudayapasti terkandungisi danrelasiantarpribadi.

Sehingga bisa dibayangkan, bagaimana makna dari setiap isi pesan

dalam komunikasi

apabila masing-masing

partisipan

memiliki

persepsi dan pemaknaan yang bertrcda terhadap pesan itu? Maka

yang terjadi adalah miskomunikasi dan

konflik

yang membawa

pada

permasalahan

dalam relasj. Relasi

yang terjadi

antara partisipan komunikasi akan tergan;3gu karena perbedaan persepsi

ketika

memberikan makna dalam setiap

isi

komunikasi. Dalam pandangan Gudykunst, perbedaarl persepsi

yang

terjadi karena perbedaan latar belakang budaya <liantara partisipan komunikasi

akan menimbulkan ketidakpastian,Ian kecemasan.

Ketidakpastian

dan

kecemasan merupakan penyebab dasar dari kegagalan komunikasi dalam situasi antar kelompok maupun

(8)

Mindfulness dalam Komunikasi Antarbudaya

antarbudaya. Kedua penyebab mis-interpretasi

ini

saling terkait

(Griffin,

2003:

426). Ketidakpastian

dan

kecemasan

ini

j'ga

disebabkan karena setiap orang yang

terlibat

dalam komunikasi antarbudaya

itu

memiliki gaya personal yang akhirnya membawa pengaruh pada komunikasi antarpribadi. Oleh karena

itu,

dalam

pandangan Gudykunst, komunikasi antarbudaya merupakan satu

usaha

untuk

mengurangi ketidakpastian dan kecemasan. Dalam

upaya mengurangi ketidakpastian

dan

kecemasan

inilah

maka

kajian tentang komunikasi

antarbudaya

terus

dikembangkan. Konteks

yang

dipelajari dalam komunikasi antarbudaya adalah interaksi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat,

yaitu

dalam

setiap

tindak

komunikasi

yang

dilakukan antara

partisipan

komunikasi yang

memiliki

latar belakang

budayayang

berbeda. Dengan

kata lain, yang

menjadi penekanan dalam komunikasi antarbudaya adalah masyarakat.

Sebagai sebuah sistem, masyarakat tersusun

dalam

suatu

ikatan norma-norma dan

nilai-nilai

yang

diakui,

dihargai, ditaati

dan dianut untuk mengatur jalannya interaksi sosial dan kehidupan

sehari-hari.

Norma dan

nilai

menjadi

pedoman

dan

petunjuk

tingkah

laku

setiap komponen

masyarakat

dalam

mencapai kepentingan, menjaga integritas atau keutuhan masyarakat, serta dijadikan alat pengendalian sosial.

Interaksi sosial

yang dimaksud

disini

sering

juga

disebut sebagai proses sosial yang berjalan

dinamik

dan progresif yang merupakan syarat utama adanya aktivitas sosial. Dalam interaksi sosial

ini

terjadi kontak sosial primer dan sekunder. Kontak sosial primer merupakan kontak' interp er sonal communication', sedangkan

kontak

sosial sekunder adalah

kontak

sosial

yang

memerlukan perantara atau media.

C.

Permasalahan dalam Komunikasi Antarbudaya

Lewis

dan

Slade, 1994 (dalam Turnomo, 2005:

55-56)

menguraikan tiga kawasan yang paling problematik dalam lingkup

pertukaran antarbudaya. Ketiga hal tersebut adalah kendala bahasa, perbedaan

nilai

dan

perbedaan

pola perilaku

budaya. Kendala yang pertama adalah perbedaan bahasa. Perbedaan bahasa yang

(9)

Rini Dama,astuti

disebabkan karena perbedaan

makna

dari

setiap

simbol

yang digunakan dalam bahasa seringkali menjadi kawasan problematik

dalam komunikasi

antarbudaya.

Selain

itu,

perbedaan logat,

intonasi

dan

tekanan yang diguneLkan dalam setiap bahasa juga seringkali menjadi permasalahan yang muncul dalam komunikasi

antarbudaya. Dalam kelompok masyarakat tertentu, intonasi yang

cepat dan tekanan yang tajam bisa jadi akan memiliki makna biasa tanpa ada maksud marah, tetapi bagi masyarakat lairu intonasi yang

cepat dan tekanan yang tajam dalarn berbahasa akan mengandung

makna marah. Contoh ini menjadi saLtu contoh kawasan problematik dalam komunikasi antarbudaya akibat kendala bahasa. Hanya saja,

kendala bahasa

ini

lebih mudah diatasi dibandingkan dua kendala lainnya, karena bahasa dapat dipelajari.

-tr

Gambar 4.2.

Konflik

yang terjadi karena perbedaan budaya

(10)

-F--Mindfut ness dalam Komunikasi Antarbudaya

Kendala yang kedua adalah perbedaan

nilai.

Perbedaan

nilai

ini

disebabkan

karena

perbedaan

ideologi yang

dimiliki

oleh setiap budaya. Sebagai contoh, masyarakat Jawa

memiliki nilai

yang

dianut

dalam kehidupan mereka yang memandang bahwa "mangan ra mangan asal kumpul". Pandangan

ini

memiliki

nilai

dan

ideologi yang melihat

hidup

bersama dalam kedekatan

itu

lebih

penting dibandingkan dengan kebutuhan akan makan. Ideologi

dan

nilai

ini

menjadi dasar dalam kehidupan masyarakat Jawa,

akibatnya masyarakat Jawa

lebih

menekankan

hidup

bersama dalam kedekatan dibandingkan harus berpisah jauh dan berjuang untuk mendapatkan penghasilan dan pendapatanyang lebih layak.

Pandangan

ini

sangat berbeda dengan beberapa masyarakat yang

ada dinegara kita yang memandangbahwa kerja dan mendapatkan

penghasilan yang cukup adalah jauh lebih penting dibandingkan

dengan hidup berdekatan dan bersama.

Kendala yang disebabkan oleh perbedaan

nilai

seperti contoh

dalam paragraf sebelumnya merupakan kendala yang paling sering

menimbulkan permasalahan dalam kehidupan masyarakat kita.

Konflik-konflik yang terjadi di Indonesia, lebih banyak disebabkan karena kendala perbedaan nilai. Oleh karena itu, kendala perbedaan

nilai merupakan kendala yang harus ditangani secara serius.

Kendala yang ketiga adalah kendala karena perbedaan pola

perilaku

budaya. Kendala

ini

biasanya

muncul

karena ketidak-mampuan masyarakat kita dalam memahami dan menerjemahkan

perilaku budaya yang

dimiliki

oleh masyarakat lainnya. Perilaku budaya yang teraplikasi dalam sikap dan tindakan mereka

sehari-hari, ataupun dalam

tindak

komunikasi seringkali diaplikasikan

dalam

tindakan yang

berbeda. Bahkan

tidak

jarang,

sikap

dan tindakan itu juga memiliki makna yang berbeda. Selain itu, simbol

dan

makna

yang

digunakan

oleh

suatu masyarakat

dari

suatu

budaya

dalam

menyampaikan

pesannya,

seringkali

berbeda

dengan

simbol dan makna yang digunakan oleh

masyarakat lainnya. Karena perbedaan ini, tidak jarang sekelompok masyarakat

memberikan

penilaian yang negatif

terhadap

perilaku

budaya maupun kebiasaan-kebiasaan yang

dimiliki

oleh masyarakat

(11)

Rini Damarastuti

tersebut tidak

memiliki

kemampuan

untuk

memberikan apresiasi

terhadap

kebiasaan-kebiasaan (c,rctom)

yang

dilakukan

oleh kelompok budaya lain.

Tiga kawasan problematik yang disebutkan oleh Lewis dan Slade di atas, merupakan kendala yang paling sering terjadi dalam kehidupan masyarakatkita. Kendala lainnya vang menjadi penyebab munculnya permasalahan dalam komunikasi antarbudaya adalah:

1.

Persepsi

Desiderato (dalam

Jalaluddir,

Rakhmat, 2005:

51)

mende-finisikan

persepsi sebagai pengal;rman tentang objek, peristiwa

atau hubungan-hubungan yang di1>eroleh dengan menyimpulkan

informasi dan

menafsirkan pesan.

Hanya

saja, setiap

individu

mempunyai

pengalaman

yang

berbeda-beda

tentang

objek,

peristiwa atau

hubungan-hubunEan

yang

diperoleh

dengan menyimpulkan informasi dan menetfsirkan pesan ini.

Littlejohn

(2009:103) mengatakan bahwa persepsi

kita

pada

situasi tertentu

lebih

banyak dipengaruhi

oleh faktor

dalam

perilaku

psikologis

kita.

Biasanya

kita

akan selalu mengartikan

apa

yang kita

amati. Padahal dalam perkembangannya

arti

ini

akan sangat penting terhadap apa yar.1

kita "lihat".

Pemahaman

yang

kita miliki

akan

membanhr

kita

untuk

mempersatukan persepsi

kita

dan menyusun penglmatan

kita

menjadi pola-pola yang membantu

kita

memahami dunia. Kebutuhan

kita

terhadap konsistensi, akan membuat kita mendefinisikan segala hal dengan

cara yang membantu kita untuk memahami masyarakat di luar

kita

sebagai sebuah hubungan.

Perbedaan

pengalaman

inil;rh yang

seringkali

menjadi

penyebab

munculnya

perbedaan persepsi

ataupun

munculnya persepsi

negatif

terhadap keloml>ok

lain

yang

memiliki

latar belakang budaya yang berbeda dengan

kita.

Pada tataran

inilah

persepsi, terutama persepsi negatif menjadi kawasan problematika

dalam komunikasi antarbudaya.

Heider (dalam Littlejohn, 2009: 103) menyebut bentuk persepsi

(12)

Mindfulness dalam Komunikasi Antarbudaya

didasari oleh

pemahaman

bahwa

setiap

situasi apa

pun

akan

memunculkan berbagai

interpretasi yang

berbeda

dari

setiap orang

yang ditentukan oleh

hubungan

'partisipan'

komunikasi tersebut dengan objek yang dipersepsinya.

Hal

ini

bisa juga kita amati ketika

kita

menyakini bahwa seseorang melakukan sesuatu

sesuai dengan maksud tertentu, pada saat

inilah

keyakinan kita

itu

sangat ditentukan oleh hubungan dan kedekatan

kita

dengan

orang tersebut. Dengan kata

lain,

apabila partisipan komunikasi

tersebut

mempunyai hubungan yang dekat, maka

perbedaan

persepsi juga akan semakin kecil. Tetapi apabila hubungan antar

partisipan tersebut

kurang

dekat, bahkan terlalu

jauh

dan tidak

saling mengenal, maka persepsi diantara partisipan

itu

bisa

jadi

akan

berbeda.

Dimensi hubungan

memPunyai

peranan

yang

sangat besar dalam hal

ini.

Dua hal yang mendasari dalam pokok

permasalahan

ini,

yaitu

kemampuan

dan motivasi

(Littlejohn,

2009:103).

2.

Pola-pola

pikir

Dalam kaitannya dengan pola-pola pikir ini, Andrik Purwasito (2003: 225) mengatakan bahwa setiap orang harus

dilihat

sebagai

individu

dengan pola

berpikir

yang khas bahkan berbeda-beda. Sekalipr.rn mereka berasal

dari

budaya

yang

sama,

tetapi

setiap orang bisa jadi akan memiliki pola

pikir

yang berbeda. Akibatnya,

setiap orang akan memberikan makna yang berbeda-beda terhadap

hal-hal yang terjadi dalam kehidupan mereka.

Ada banyak hat dan banyak faktor yang mempengaruhi pola pikir setiap individu dalam memaknai hidup dan kehidupan mereka. Disinilah bisa dilihat bahwa setiap orang bebas memberikan makna

pada tanda sesuai dengan pandangan

hidup

mereka, maupun

sesuai dengan konteks sosio-kultural

dari

orang atau kelompok

yang memberikan maknanya.

Selain faktor personal, perbedaan pola

pikir

juga disebabkan karena perbedaan

latar

belakang budaya. Pola-pola

pikir

yang didasarkan pada latar belakang budaya akhirnya menjadi pola-pola

pikir

kolektif yang menjadi referensi maupun pedoman bagi setiap

(13)

Rini Dama,'astuti

bertingkah

laku.

Setiap

individu

rzang berasal

dari

satu budaya

yang

memiliki

pola

pikir

kolektif ini,

ketika mereka berinteraksi dengan masyarakat

lain,

akan menggunakan

pola

pikir

kolektif

sebagai referensi dan pedoman dalam bertindak maupun dalam

berinteraksi. Sedangkan kelompok masyarakat lain yang

memiliki

latar belakang budaya yang berbeda

juga

akan bertindak sesuai dengan

pola

pikir

kolekti{

yang rnereka

miliki.

Dalam interaksi inilah tidak jarang terjadi benturan-:enturan akibat perbedaan pola

pikir.

Kawasan problematika inilah yang menjadi alasan mengapa belajar komunikasi antarbudaya menjadi satu hal yang penting.

3.

Etnosentrisme

Porter (dalam Stewart

L

Tubs dan

Sylvia

Moss, 1993: 372)

memberikan

definisi

'etnosentrisme

is

judging

other cultures by comparison with one's own' . D alarnpemahaman Porter, etnosentrisme merupakan penghakiman suatu kelompok masyarakat terhadap

kebudayaan kelompok masyarakat

yang

lain

dengan

cara membandingkan atau menggunakan standar budayanya sendiri.

Nanda dan Warms (dalam Lurry

A

Samovar,

dkk.

2010:214)

mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan pandangan bahwa

budaya seseor€u:rg lebih unggul dibandingkan dengan budaya yang

lain.

Pandangan bahwa budaya

lain

dinilai

berdasarkan budaya kita. Tidak jarang seseorirng akan berubah menjadi etnosentrisme,

ketika

mereka

melihat budaya

lain

melalui

kacamata budaya mereka atau berdasarkan pada posisi sosial mereka.

Sebetulnya etnosentrisme tidak selalu berakibat negaLrt, karena

dalam

pandangan Samovar

dkk,

tingkat

etnosentrisme dapat

dilihat dari

3 tingkatan,

yaitu

positif, negatif dan sangat negatif. Pandangan

yang positif,

merupakan kepercayaan

(paling tidak

bagi

kita

sendiri) bahwa budaya

kita

lebih baik dari budaya lain.

Kepercayaan

ini

akan membawa akibat pada perasaan

memiliki

dan kebanggaan terhadap budaya yang

kita miliki,

sehingga kita

akan berusaha untuk melestarikan lrudaya kita sendiri.

Tingkat yang negatif, seringkali kita melakukan evalusi secara

(14)

Mi ndfulness dalam Komunikasi Antarbudaya

pusat

dari

segalanya dan budaya

lain

harus

dinilai

dan

diukur

sesuai dengan standar budaya kita. Hal

ini

seperti yang dikatakan oleh Triand is,' seringkali kita melihat kebiasaan kelompok dalam sebagian hal yangbenar'.

Tingkat terakhir dari etnosentrisme adalah tingkat yang sangat negatif ini. Etnosentrisme jenis ini bukan hanya melihat budaya kita

yang paling bagus dan paling benar, tetapi juga menganggap bahwa budaya kita yang paling berkuasa. Akibatnya, kita seringkali merasa

dan berusaha supaya

nilai

dan kepercayaan

kita

harus diadopsi oteh buday ayanglain. Kondisi ini seringkali membawa satu akibat

yang fatal, yang dalam bahasanya

Andrik

Purwasito (2003: 228),

etnosentrisme

itu

menjadi satu

wujud

egoisme budaya. sehingga

tidak

jarang suatu kelompok masyarakat yang

memiliki

budaya tertentu akan merasa tebih superior dibandingkan dengan budaya

lain. Suatu kelompokmasyarakat akan menganggaP bahwa budaya

merekalah yang

paling

top,

paling

bagus dan

paling

semPurna'

Mereka

akan melihat budaya

lain

lebih rendah

dibandingkan dengan budaya mereka. Ketika pandangan dan kondisi

ini

terus

berkembang, maka yang muncul adalah konflik antara masyarakat

yang satu dengan masyarakat lain karena setiap masyarakat merasa

bahwa merekalah yang lebih

top

dan lebih bagus dibandingkan

dengan yang lain. Tanpa disadari, didalam kehidupan masyarakat

kita

akan muncul tingkatan dimana individu-individu

menilai

budaya orang lain sebagai inferior terhadap budaya mereka.

4.

Stereotipe

Samovar,

dkk

(2010: 203) memberikan penjelasan tentang stereotipe sebagai

bentuk

kompleks

dari

pengelompokan yang secira mental mengatur pengalaman kita dan mengarahkan sikap

kita

dalam menghadapi orang-orang tertentu. Psikolog Abbatem

Boca dan Bocchiaro (dalam Samovar,

dkk

2010: 203) memberikan

pengertian yang lebih formal, dan mendefinisikan stereotipe sebagai susunan

kognitif yang

mengandung pengetahuary kepercayaan

dan harapan si penerima mengenai kelompok sosial manusia.

Andrik

Purwasito

(2003:

228) mendefinisikan

stereotipe

(15)

Rini Damarrstuti

terhadap kelompok masyarakat

lainnya.

Pandangan

umum ini

biasanya bersifat negatif. PandangarL negatif yang diberikan kepada suatu kelompok masyarakat inilah y'ang seringkali menjadi pemicu munculnya konflik. Hal

ini

terjadi karena pandangan umum yang bersifat negatif ini seringkali ditempelkan kepada suatu masyarakat sebagai stempel yang terus melekat tanpa melihat perubahan yang

terjadi

di

dalam masyarakat

itu.

Bahkan

tidak

i*^g,stempel

negatif

ini

juga dilekatkan kepada semua anggota yang ada dari

suatu masyarakat atau komunitas tanpa pandang bulu.

Samovar, dkk, 1981 (dalam Tttrnomo, 2005: 58) berpendapat

bahwa ada kemungkian suatu stereotipe itu mengalami perubahan.

Dalam pandangan Samovar,

ada

beberapa perubahan

dimensi-dimensi stereotipe,

yaitu

dimensi arah, intensitas, akurasi dan isi spesifik.

a.

Dalam

konteks arah, stereotipt: akan mengalami perubahan dalam konteks arahnya, yaitu pada arah yang menguntungkan

atau tidak menguntungkan.

b.

Dalam

konteks

intensitasnya,

stereotipe

akan

mengalami perubahan konteks intensitasnya,

yaitu

perubahan keyakinan yang kuat dari seseorang terhad,rp stereotipe yang ada.

c.

Dalam konteks

akurasinya, str:reotipe

akan

mengalami pe-rubahan dalam konteks akurasi:rya karena ada stereotipe yang benar, ada yang setengah benar'bahkan ada yang tidak akurat

d.

Dalam konteks isinya, stereotipe akan mengalami perubahan dalam konteks isinya yang spesilik, yaitu sifat-sifat khusus yang

diatribusikan terhadap suatu kelompok.

Tidak

semua orang memegang seperangkat stereotipe yang sama terhadap suatu kelompok.

Apabila

stereotipe

ini

dil:aitkan

dengan

komunikasi

antarbudaya, maka stereotipe

ini

al,.an menjadi akar permasalahan dalam komunikasi antarbudaya.

Arller

(dalam Samovar dkk,2010: 205) menuliskan bahwa stereotipe' menjadi masalah

ketika

kita

menempatkan orang di tempat yang salah. Permasalahan lain yang

(16)

Mi ndfulness dalam Komunikasi Antarbudaya

menggambarkan norma kelompok dengan tidak benar atau ketika

kita mengevaluasi suatu kelompok dibandingkan menjelaskannya dan ketika

kita

mencampuradukkan stereotipe dengan gambaran

dari

seorang

individu.

Dampak negatil lainnya yang

muncul

adalah ketika

kita

gagal

untuk

mengubah stereotipe berdasarkan

pada pengamatan dan pengalaman kita yang sebenarnya'

5.

Prasangka

Samovar

dkk

(2010: 207) memberikan pengertian tentang prasangka sebagai generalisasi kaku dan menyakitkan mengenai

sekelompok

orang.

Prasangka menyakitkan

dalam

arti

bahwa

orang

memiliki

sikap yang

tidak

fleksibel yang didasarkan atas

sedikit atau

tidak

ada

bukti

sama sekali. Orang-orang

dari

kelas sosial, jenis kelamirL orientasi seks, usia,

partai politik,

ras atau etrris tertentu dapat menjadi target dari prasangka.

Generalisasi

kaku yang

diberikan kepada

sekelompok

orang atau anggota masyarakat seringkali

justru

menjadi pemicu

munculnya

kesalahpahaman

di

masyarakat.

Hal

ini

terjadi

karena prasangka yang diberikan kepada sekelompok orang atau

sekelompok masyarakat itu lebih didasarkan pada keyakinan yang

tidak pas atau bahkan seringkali didasarkan pada keyakinan yang keliru. Hal ini sepertiyang dikatakan olehTurnomo dalambukunya

'Menghargai Perbedaan

Kultural'

(2005: 55-56) yang memberikan definisi tentang prasangka sebagai sikap yang kaku terhadap suatu kelompok yang didasarkan pada keyakinan atau prakonsepsi yang

keliru.

Bisa

juga

dipahami sebagai penilaian yang

tidak

didasari oleh pengetahuan atau pengujian terhadap informasi yang tersedia.

Prasangka juga seringkali didasarkan pada pemisahan yang

sangat tajam antara kelompok

kita

dan kelompok mereka, atau

kelompok saya dan kelompok mereka.

Andrik

Purwasito (2003 : 178) melihat bahwa prasangka

itu

akan

muncul ketika

adanya pandangan negatif dengan adanya pemisahan yang tegas antara

perasaan kelompokkrt (in group) dan perasaan

kelompoklain

(out

group feeling). Perasaan

ini

akan mempengaruhi cara pandang atau

(17)

Rini Damarastuti

6.

Gegar Budaya

Menurut Kalvero Oberg (dalam Deddy Mulyana,

2003),

gegar

budaya

muncul

sebagai at<ibat

dari

kecemasan karena

hilangnya

tanda-tanda

yang sudah dikenal dan

simbol-simbol dalam hubungan sosial. Kondisi

ini

biasanya terjadi karena terpaan pengaruh budaya lain maupun buctaya asing yang sangat banyak dalam kehidupan suatu masyarakat. Karena terpaan yang sangat banyak dan sangat kuat, maka masyarakat tersebut tidak mampu

melakukan penyesuaian sehingga yang muncul adalah kecemasan

yang

luar

biasa

akibat

simbol-sirnbol

yang digunakan

dalam hubungan sosial sudah hilang dan tidak mereka kenal lagi.

Kondisi ini akan membawa pada suatu bentuk ketidakmampuan

dari

masyarakat

itu

untuk

menyt:suaikan

diri

(personality mal-adjustment) dengan lingkungan dan orang-orang baru.

D.

Fungsi Komunikasi Antarbudava

Memahami

budaya

masyarakat

lain

merupakan satu

hal yang sangat penting dalam membangun komunikasi yang efektif.

Artinya, pemahaman dan penerimaan yang kita lakukan terhadap budaya yang

dimiliki

oleh masyarakat lain yang memiliki budaya yang berbeda menjadi satu dasar dalam membangun komunikasi

yang efektif.

Di

sinilah komunikasi

antarbudaya mempunyai

peranan yang sangat besar.

Kita dapatmengerti danmemahami tentangperanankomunikasi

antarbudaya

ini

ketika

kita

belaiar komunikasi

antarbudaya. Karena pada saat kita belajar tentanl; komunikasi antarbudaya, kita

dapat mengetahui fungsi komunikar;i antarbudaya tersebut. Fungsi

komunikasi antarbudaya ada dua, 1,211s fungsi

pribadi

dan fungsi

sosial. Fungsi pribadi adalahfungsi rrang didapatkan seseorang dan dapat digunakan dalam kehidupan mereka ketika mereka belajar tentang komunikasi dan tentang budaya. Maupun ketika mereka

belajar dan memahami apa itu komunikasi budaya.

Sedangkan fungsi sosial adalah fungsi yang didapatkan oleh

seseorang sebagai makhluk sosial 'yang bergaul dan berinteraksi

(18)

Mindfulness dalam Komunikasi Antarbudaya

antarbudaya.

Pemahaman

dia

terhadap

budaya orang

lain melalui komunikasi budaya

ini

dapat membantu hidupnya ketika berinteraksi dan bersosialisasi dengan anggota masyarakat lainnya.

Fungsi

pribadi dan fungsi

sosial

dari

komunikasi antarbudaya tersebut seperti yang dijelaskan di bawah ini.

FungsiPribadi

Ada beberapa fungsi yang bisa dikelompokkan dalam fungsi

pribadi

ini.

Menurut

Alo

Liliweri

dalam bukunya

Dasar-dasar Komunikasi Antarbuday a (2003: 36-M), fungsi pribadi tersebut

terdiri

dari fungsi-fungsi untuk:

1.

Menyatakan identitas sosial

Dalam

komunikasi antarbudaya,

ada

beberapa

perilaku

individu

yang

digunakan

untuk

menyatakan

diri.

Perilaku

itu

dinyatakan melalui tindakan berbahasa baik secara verbal maupun non verbal. Dari perilaku berbahasa itulah orang akan tahu identitas

diri

atau sosial dari seorang

individu.

2.

Menyatakan integrasi sosiai

Inti

dari konsep integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan

persatuan antarpribadi, antarkelompok namun tetap mengakui

perbedaan-perbedaan yang

dimiliki

oleh setiap unsur. Dalam

komunikasi

antarbudaya,

karena setiap

tindak

komunikasi

yang dilakukan antara komunikator dan komunikan dari latar

belakang

yang

berbeda

maka

selalu melibatkan perbedaan budaya diantara dua partisipan komunikasi tersebut.

Karena ada keterlibatan latar belakang budaya yang berbeda

ini, maka integrasi sosial merupakan tujuan utama komunikasi.

Prinsip utama dalam proses pertukaran pesan dalam komunikasi

antarbudaya adalah: saya memperlakukan

Anda

sebagaimana

budaya Anda memperlakuan Anda, dan bukan sebagaiman ay trLg

saya kehendaki. Dengan demikian komunikator dan komunikan dapat meningkatkan integrasi sosial atas relasi mereka.

3.

Menambah pengetahuan

Latar belakang budaya yang berbeda yang menjadi perbedaan

(19)

Rini Damarastuti

sumber pembelajaran diantara rnereka.

Akibatny+

komunikasi

antarbudaya menambah pengetlhuan bersama, saling

mempe-lajari

budaya

lain,

ketika komrurikator

dan

komunikan yang berasal

dari latar

belakang

yarg

berbeda melakukan tindak

komunikasi.

Seorang komunikator akan berta mbah pengetahuannya tentang

budaya

lain dari

komunikan. Begitu juga

sebalik^ya

seorang

komunikan akan bertambah pengetahuan tentang budaya lain

dari komunikator.

4.

Melepaskan

diri/

jalan keluar

Sebagai

makhluk

sosial, sering

kali

seorang

individu

ketika

berkomunikasi

dengan indivictu

yang

lainnya

mempunyai

tujuan

untuk

melepaskan

diri

atau mencari

jalan

keluar atas

masalah yang sedang dihadapinya.

Fungsi Sosial

1.

Pengawasan

Tindak komunikasi

antarbudava

diantara komunikator

dan komunikan yang berbeda latar be:lakang budaya berfungsi

untuk

mengawasi. Fungsi

ini

bermanfaat

untuk

menginformasikan

'perkembangan' tentang lingkunngan. Fungsi

ini

banyak

dilakukan oleh media

massa

yang

menyebarluaskan secara

rutin perkembangan peristiwa yang terjadi disekitar kita.

2.

Menjembatani

Komunikasi

antarbudaya

ntempunyai

fungsi

menjadi jembatan

di

antara

dua

orang yang berbeda budaya. Fungsi menjembatani

ini

dapat dilakukan melalui pesan-pesan yang

mereka pertukarkan. Keduanya saling menjelaskan perbedaan

tafsir atas sebuah pesan, sehing;ga menghasilkan makna yang sama. Fungsi

ini

dijalankan oleh berbagai konteks komunikasi

termasuk komunikasi massa.

3.

Sosialisasi

nilai

Fungsi sosialisasi merupakan f,.rngsi

untuk

mengajarkan dan

memperkenalkan

nilai-nilai

kt:budayaan

suatu

masyarakat kepada masyarakat lain.

(20)

Mindfulness dalam Komunikasi Antarbudaya

4.

Menghibur

Fungsi menghibur

ini

dapat kita temui dari peristiwa-peristiwa

atau tindak

komunikasi

antarbudaya

yang terjadi

dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi menghibur ini juga bisa kita lihat dari tayangan-tayangan yang ada

di

televisi. Ketoprak humor,

ludruk, wayang atau seni lainnya

merupakan

media

yang

digunakan

untuk

menyampaikan pesan

dalam

komunikasi

antarbudaya sebagai fungsi menghibur.

Dalam

komunikasi antarbudaya, yar:g menjadi penekanan utama adalah mengurangi tingkat ketidakpastian dan kecemasan.

Dua

fungsi

tersebut berasal

dari

komunikasi antar

pribadi

dan

komunikasi antar kelompok yang

diperkenalkan

oleh

Charles Berger (1975).

Untuk

mengurangi ketidakpastian

dan

kecemasan tersebut, ada tiga tingkatan untuk memahami orang lain:

L.

Menggambarkan (to describtion)

Kemampuan untuk rnenggambarkan adalah kemampuan untuk

mengungkapkan secara

rinci

cirri-ciri

seseorang. Misalnya

ciri

fisik

seseorang digambarkan dengan pendek,

hitam

dan

sebagainya menggunakan tanda-tanda non verbal.

2.

Meramalkan (fo prediction)

Adalah kemampuan untuk meramalkan apayarlg akan terjadi

kalau

Anda

berkomunikasi dengan seseorang

dalam

situasi tertentu.

3.

Menjelaskan (fo explanation)

Kemampuan untuk menjelaskan adalah kemampuan seseorang

untuk

menjawab pertanyaan mengapa

dia

berkomunikasi dengan orang itu.

E. Komunikasi

Verbal dan

Non

Verbal

dalam

Komunikasi

Antarbudaya

Komunikasi verbal dan komunikasi

non

verbal merupakan

dua bentuk komunikasi yang sangat penting dalam komunikasi

maupun

dalam

komunikasi

antarbudaya.

Kedua

bentuk komunikasi ini mempunyai peranan yang sama dalam komunikasi

(21)

RiniDamarastuti

antarbudaya. Artinya, komunikasi,, erbal banyak digunakan dalam

komunikasi antarbudaya, begitu juga komunikasi non verbal. Banyak simbol-simbol dan isyarat non verbal lainnya yang digunakan dalam komunikasi antarbudaya. Seperti yan g dikatakan oleh Singer " Culture

is defined as a pattern of learned, group related perception--including both

aerbal and nonaerbal language attitudes, aalues, belief system, disbelief

systems, andbehaaior" (Singer,L987, p.34 dalam Nakayama,1993 :79). Dalam pandangan Singer, kebudayaan

di

definisikan sebagai

sebuah

pola

pembelajaran, persepsi hubungan dalam kelompok

yang meliputi komunikasi verbal

drn

nonverbal, sikap, nilai-nilai,

sistem kepercayaan, sistem ketidakp,ercayaan dan tingkah laku. Hal

ini juga yang berlaku dalam komunikasi antarbudaya. Komunikasi

antarbudaya

meliputi

komunikasi verbal,

non

verbal, nilai-nilai,

sistem kepercayaan, sistem ketidakpercayaan

dan tingkah

laku.

Hanya saja, tidak jarang komunikasi verbal dan komunikasi non

verbal

ini

menimbulkan banyak masalah dalam

komunikasi

antarbudaya.

Hal

ini

disebabkan karena perbedaan persepsi dan

perbedaan makna yang muncul dal,lm komunikasi verbal mauPun

komunikasi non verbal.

1.

Komunikasi Verbal

Beberapa faktor yang menjadi penyebab muncul ketidakpastian

dalam komunikasi antarbudaya yarrg disebabkan oleh komunikasi

verbal adalah

keragaman bahaser

daerah

yang

dimiliki

oleh masyarakat Indonesia. Bangsa Lrdonesia yang sangat kaya akan budaya, ditambah dengan keanekaragaman budaya yang

dimiliki

oleh setiap daeralu membuat setiap daerah memiliki bahasa daerah

sendiri-sendiri.

Karena setiap daerah

memilil:i

budaya dan bahasa sendiri-sendiri, akhirnya menimbulkan ker,rgaman dan perbedaan budaya

dan bahasa. Perbedaan

ini

seringl..ali membawa akibat terhadap

perbedaan makna dalam satu kosa kata vang digunakan. Sehingga

tidak

mengherankan apabila terdapat kata-kata yang (kebetulan) sama

atau hampir

sama

tetapi dimaknai

secara berbeda. Atau

sebaliknya, ada kata-kata

yang

berbeda,

tetapi

justru

diberi

(22)

Mindfulness dalam Komunikasi Antarbudaya

masyarakat yang safu dengan masyarakat lainnya, atau antara satu

orang dengan orang lain tidak

jara.g

akan mengalami perbedaan

persepsi yang menimbulkan kesalahpahaman.

Perbedaan persepsi

dan

kesalahpahaman

ini

bukan

hanya

disebabkan karena perbedaan bahasa daerah antara satu daerah

dengan daerah lainnya. Kondisi

ini

juga terjadi manakala antara

bahasa daerah dengan bahasa Indonesia mengalami perbedaan

pemaknaan terhadap satu kata

yang

digunakan.

Ketika

bahasa

daerah digunakan dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya, tidak

jarang makna

dari

kata

itu

memiliki

makna yang berbeda dari

makna kata di daerah tertentu.

Komunikasi

verbal

lairurya

yang sering digunakan

dalam komunikasi antarbudaya adalah nama. Nama digunakan sebagai

simbol dalam komunikasi verbal. Deddy Mulyana dalam bukunya

Ilmu

Komunikasi Suatu

Pengantar

(2003

:

274-275) mengatakan bahwa nama

diri

sendiri adalah simbol pertama dan utama bagi

seseor:rng. Dalam masyarakat kita, nama dapat digunakan untuk

melambangkan status, cita-cita yang dikehendaki oleh orang tua,

untuk

memperoleh

citra tertentu

(pengelolaan kesan) atau bisa juga sebagai nama hoki dan banyak alasan lainnya. Nama pribadi adalah

unsur penting identitas

seseorang

dalam

masyarakat, karena interaksi dimulai dengan nama dan hanya kemudian

diikuti

dengan atribut-atribut lainnya.

Hal lain

yang terkait dengan komunikasi verbal dan sangat

mempengaruhi

dalam komunikasi

antarbudaya

adalah

dialek, logat, aksen maupun bahasa gaul yang

dimiliki

oleh masyarakat kita. Biasanya, orang-orang yang punya latar belakang sosial budaya

yang berbeda lazimnya akan berbicara dengan cara yang berbeda.

Perbedaan logat, akses, dialek, intonasi, kecepatan, volume (keras

atau lemahnya) merupakan perbedaan

yang

seringkali muncul

dalam komunikasi antarbudaya, selain kosakata yang digunakan.

2.

Komunikasi Non Verbal

Analisis dalam komunikasi antarbuda y a juga menitikberatkan

pada komunikasi

non

verbal

dan

paralinguistik

(aspek-aspek

(23)

Rini Dama'astuti

intonasi, suara, bunyi, diksi, gumamarn, maupun komunikasi non

verbal lainnya). Kajian

ini

penting karena komunikasi non verbal

dan

paralinguistik sangat

mem;>engaruhi

dalam

komunikasi

antarbudaya.

Andrik

Purwasito (2:003

:

210) mengatakan bahwa

bahasa non verbal biasanya lebih berhasil dalam tindak komunikasi

dengan perbandingan L0% kemampuan diterima oleh komunikan

karena faktor pendengaran, S0% karena

faktor

suara,. Sedangkan

60%

disebabkan

oleh

adanya

faktor

non

verbal. Fakta ini

menunjukkan bahwa komunikasi r,on verbal mempunyai peranan

yang sangat penting dalam komunikasi antarbudaya.

Samovar

dan Porter (dalam

Andrik

Purwasito

2003: 211) mengkaitkan proses komunikasi non verbal ini dengan komunikasi

antarbudaya. Samovar dan Porter

melihat

ada

tiga

aspek yang

relevan dengan komunikasi

antarbudaya,

yaitu

perilaku

non verbal yang berfungsi sebagai bentuk bahasa diam, konsep

waktu

dan penggunaan dan pengaturan nlang. Penekanan dari ketiga hal

yang disampaikan oleh Samovar

ini

adalah studi tanda yang fokus

atau unit analisisnya adalah memahami sistem makna budaya.

Analisis

untuk

tanda-tanda serta simbol-simbol

yang

digu-nakan dalam komunikasi

non verbal

merupakan satu

hal

yang sangat penting, karena faktanya komunikasi

non verbal

begitu kompleks sehingga tidak mudah bagi setiap orang untuk mengerti

dan memahami makna pesan

dari

setiap simbol dan tanda yang

disampaikan dalam komunikasi norr verbal. Seringkali tidak mudah

bagi kita untuk membaca pikiran seseorang dari gerak gerik, ekpresi wajah maupun isyarat yang mereka berikan. Dalam konteks ini, De Vito (2011 : 193) mengatakan, pada saat kita mempelajari komunikasi

non verbal, seharusnya kita harus nrempunyai tujuan yang realistis.

Ada tiga tujuan yang terkait dengan fungsi komuniksi non verbal.

Pertama,

kita

berusaha meningkatl.an pemahaman

kita

mengenai

sifat dan fungsi

komunikasi

non

verbal.

Kedua,

kita

berusaha mengingkatkan pemahamzu:r kita terhadap

diri

sendiri dan terhadap orang

lain

sebagai komunikator non verbal. Ketiga,

kita

berusaha

mengingkatkan kemampuan kita

urtuk

berkomunikasi secara lebih

(24)

Mindfulness dalam Komunikasi Antarbudaya

Dari

ketiga

hal

ini,

De Vito

inpn

menjelaskan bahwa keberhasilan

kita

dalam komunikasi

non verbal

itu

ditentukan oleh efektivitas dari pesan yang diterima oleh komunikan. Pesan

non verbal dapat diterima oleh komunikan secara efektif, sangat dipengaruhi oleh kemampuan komunikan dalam menerjemahkan pesan tersebut.

Oleh

karena

itu,

Devito

menegaskan perlunya

mengkaji lebihmendalamfungsibahasaVerbal sebagaisistemmakna

dengan alasan bahwa : pertama, kata-kata verbal yang disampaikan

kepada komunikan biasanya kurang dapat menggantikan perasaan

atau

pikiran

manusia yang demikian kompleks. Kedua, kata-kata hanyalah sebagian dari sistem komunikasi. Supaya lebih sempurna,

kata-kata biasanya diperkuat dengan pesan-pesan yang berbentuk

non verbal (dalam

Andrik

Purwasito 2OO3 :211).

Ketidaktepatan memberikan makna dalam komunikasi non

verbal seringkali menimbulkan miskomunikasi. Komunikasi non

verbal

ini

dapat dilihat dari konteks nonverbal, konteks waktu dan konteks ruang.

Konteks Nonaerbal

Komunikasi

non

verbal

yang

banyak digunakan

dalam komunikasi non verbal dan sering menjadi penyebab munculnya miskomunikasi dalam komunikasi nonverbal adalah bahasa tubuh.

Bahasa

tubuh

ini

meliputi

gerakan

mimik

muka, isyarat tangan,

warna, bau maupun simbol-simbol lainnya. Deddy Mulyana (2003:

317-350) memberikan penjelasan

tentang

bahasa

tubuh

dalam

konteks nonverbal dalam komunikasi antarbudaya sebagai berikut:

a.

Gerakan Kepala

Di Indonesia, anggukan kepala memiliki makna iya atau setuju. Sedangkan di beberapa negara, anggukan kepala malah berarti

"tidak",

seperti

di

Bulgaria, sementara isyarat

untuk

"ya"

di

negara itu adalah menggelengkan kepala (Deddy Mulyana 2003:

31n.

b.

Isyarat Tangan

Isyarat tangan sangat sering

kita

gunakan dalam komunikasi

(25)

Rini Damarastuti

gunakan

untuk

menyertai ucapan

kita.

Isyarat

tangan atau "berbicara dengan tangan" termasuk apa yang disebut emblem

yang dipelajari, yang punya makna dalam suatu budaya atau subkultur. Sekalipun isyarat tangan yang digunakan sama, bisa jadi maknanya akan berbeda pada masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. sebaliknya, isyarat fisiknya berbeda, tetapi

maksudnya sama. Sebagai contoh

ketika kita

mengacungkan

ibu

jari kita. Di

Indonesia, isyarat dengan mengacungkan

ibu

jari itu

artinya'sangat bagus' atau oke! Tetapi

di

daerah yang

lain misalnya

di

Iran, mengacungkan ibu

jari itu

menunjukkan

makna penyerangan (Andrik Purwasito 2003: 215).

c.

Postur Tubuh dan Posisi

Kaki

Postur

tubuh dan

posisi

kaki

sering bersifat simbolik. Tidak

jarang

kita

memiliki

kecenderungan

untuk

memberikan

apresiasi yang berlebihan kepada orang yang bertubuh

tinggi

dan

seimbang. Orang-orang

),ang

memiliki postur

tubuh

yang

tinggl

dan seimbang biasanya

diberi

label sebagai orang

yang berwibawa, orang yang menarik dan dipercaya. Karena pendapat

ini,

maka tidak jarang banyak orang berusaha

mati-matian untuk mendapatkan postur tubuh ideal.

Memang

tidak

bisa

kita

pungkiri, postur tubuh

memang

mempengaruhi

citra-diri.

Bet'erapa

penelitian

dilakukan

untuk

mengetahui hubungan

antara

fisik

dan

karakter

temperamen. Klasifikasi bentuk tubuh yang dilakukan

William

Sheldon misaLrya

menunjukkar

hubungan antara

tubuh

dan temperamen.

Ia

menghubungkan

tubuh

gemuk

(mdomorph) dengan sifat malas dan tenang; tubuh atletik (mesomorph) dengan sifat asertif dan kepercayaan-diri; dan tubuh kurus (ecthomoryh)

dengan sifat introvert yang lebih menyenangi aktivitas mental

dari

pada

fisik.

Sebagian angg:rpan mengenai

bentuk

tubuh

dan karakter yang dihubungkarulya mungkin sekedar streotipe (Deddy Mulyana 2003: 324).

Selain itu, cara seseorang berdiri, cara seseorang duduk maupun cara seseorang berjalan

akan

nremberikan kesan bagaimana karakter orang tersebut. Cara duduk, cara jalan dan cara orang

(26)

Mi ndful ness dalam Komunikasi Anta rbudaya

berdiri juga akan membangun kesan kondisi seseorang, apakah orang itu merasa lelah, sehat, bahagia, riang, seditu atau angkuh'

Dalam kehidupan

masyarakat

kita,

status

seseorang juga

tampak

dari

cara

seseorang

berdiri, cara

seseorang duduk

maupun cara seseorang berjalan. Status seseorang biasanya juga

akan mempengaruhi postur tubuhnya ketika ia berkomunikasi

dengan orang lain.'Orang yang bersatus lebih

ti.ggi

biasanya

akan mengatur postur tubuhnya secara lebih leluasa daripada

orang yang berstatus lebih rendah.

d.

Ekspresi Wajah dan Tatapan Mata

Dari

semua bahasa tubuh yang digunakan dalam komunikasi

nonverbal, ekspresi

wajah

dan

tatapan

mata

merupakan

perilaku non

verbal

yang paling

banyak digunakan. Kontak mata punya dua

fungsi

dalam komunikasi non verbal dalam konteks komunikasi antarbudaya ini. Pertama, fungsi Pengatur. Fungsi

ini

dilakukan

untuk

memberi tahu orang

lain

apakah

Anda

akan melakukan hubungan dengan orang

itu

atau menghindartrrya. Kedua, fttngsi ekspresif. Dalam

fungsi

yang

kedua

ini,

komunikasi

nonverbal berperan

untuk

memberi

tahu orang lain bagaimana perasaan Anda terhadapnya (Deddy

Mulyana 2003 : 331).

Pemahaman tentang

kontak mata

antara daerah

yang

satu dengan daerah

lainnya memiliki arti

yang berbeda-beda.

Di

Amerika Serikat, orang dianjurkan untuk mengadakan kontak

mata ketika

berkomunikasi. Sedangkan

di

Jepang, kontak mata seringkali dianggap sebagai perilaku yang kurang sopan

(Andrik

Purwasito 2003:213). Pendapat

ini

juga sama dengan

di

Indonesia.

Dalam

keadaan

normal,

kita

menatap orang

lain

sekilas,

hanya

satu-dua

detik.

Bila

lebih lama,

reaksi

orang

yang

kita

pandang cenderung emosional. Boleh

jadi

pandangan tersebut akan mengubah kesan

kita pada

orang

yang bersangkutan dan juga dimensi hubungan kita.

Berbeda

dengan kontak mata,

ekspresi

wajah

merupakan

perilaku nonverbal utama yang

mengekspresikan keadaan emosional seseor.rng. Secara

umum dapat

dikatakan bahwa

(27)

Rini Dama astuti

makna ekspresi wajah dan panctangan mata tidaklah universal,

melainkan sangat dipengaruhi

pesan verbal, dalam budaya yan;

sama dapat berbeda makna da yang berbeda.

e.

Penampilan

Fisik

Dalam studi komunikasi nonverbal, penampilan fisik seseorang

juga menunjukkan dari mana

or,ng

itu berasal dan dari budaya

mana.

Artinya, melalui

penampilan

diri,

seseorang

ingin

menyampaikan pesan tertentu. I)enampilan fisik seseorang dan

ketika seseorang

itu

berdandan, biasanya sangat dipengaruhi

oleh budaya yang

dia

hidupi, nilai-nilai

agama, kebiasaan,

tuntutan lingkungan (tertulis atau tidak),

nilai

kenyamanan maupun tujuan pencitraan yang ingin dibangun.

Di

Indonesia,

untuk

menunjukkan bahwa seseorang sedang berduka, biasanya dia akan menEgunakan baju hitam dan segala

atribut

yang

dia

kenakan berw;tma hitam.

untuk

masyarakat Tionghoa, rasa gembira biasany;r ditunjukkan dengan pakaian dan atribut-atribut yang berwarna merah.

Di

Amerika busana warna teduh dikenakan utnuk kt:gitan bisnis dan sosial.

f.

Sentuhan

Studi yang mempelajari tentang sentuh-menyentuh

ini

sering

disebut dengan

haptika

(haptics). Sentuharu

seperti

foto,

adalah

suatu perilaku

non

verbal

y*g

multimakna,

d,apat menggantikan seribu kata. (Deddy Mulyana 2003 : 335). Banyak

penelitian yang menunjukkan bahwa orang

berstatus lebih

tinggi lebih

sering menyentuh ,orang berstatus

lebih

rendah, dibandingkan orzrng yang lebih rendah menyentuh orang yang

kedudukannya lebih

tingg.

Bisa rliartikan, sentuhan juga berarti

"kekuasaan". Senfuhan

tidak

bersifat acak, melainkan suatu

strategi komunikasi yagn penting. Beberapa studi menunjukkan

bahwa sentuhan bersifat pasif.

seperti komunikasi non verbal lainnya, makna senfuhan antara

masyarakat

yang satu dengan

masyarakat

yang

lain

juga

(28)

Mindfulness dalam Komu nikasi Anta rbudaya

sentuhan

seringkali dianggap

sebagai penghinaan

dan pelecehan. sedangkan

di

Amerika, ketika

seseorang sedang berbicara sambil menatap

muka

dan memegang bahu orang

yang diajak

berbicara, sentuhan

ini

dianggap

sebagai satu

bentuk

penghormatan

dan

memberi semangat serta simpati

(Andrik Purwasito 2003 : 212).

g.

Parabahasa

Parabahasa atau vokalika (aocalics), merujuk kepada aspek-aspek suara selain ucapan yang dapat dipahami. Misalnya kecepatan berbicara, nada (tinggi atau rendah), intensitas (volume) suara intonasi, dialek, suera yang terputus-putus, suara yang gemetar,

suitan, siulan, tawa,

erangan,

tangis, gerufuan,

Surnarnan/ desahan dan sebagainya.setiap karakteristik suara

ini

mengko-mr:nikasikan emosi dan pikiran kita (Deddy Mulyana 2003

:342)-h.

Warna

Wama

merupakan salah

satu

komunikasi

non

verbal

yang sering kita gunakan dalam komunikasi antarbudaya. Kita sering menggunakan warna

unfuk

menunjukkurn suasana emosional, cita rasa, afiliasi politik, dan bahkan mungkin keyakinan agama kita. Sebagai contoh, untuk memberikan suasana yang sejuk, kita

sering menggunakarl

wilna

hijur. Tetapi tidak jarang, ketika kita

sedang marah kita akan menunjukkan dengan warna merah.

i.

Artefak

Artefak

adalah benda

apa

saja

yang dihasilkan

kecerdasan

manusia.

Benda-benda

yang

digunakan

untuk

memenuhi

kebutuhan

hidup

manusia

dalam interaksi

manusia, sering mengandung makna-makna tertentu.

i.

Karakteristik

Fisik

Karakteristik fisik seperti daya tarik, warna kulit, rambut, kumis, jenggot, dan tipstik, jelas dapat mengkomunikasikan sesuatu. Suatu

studi

menunjukkan bahwa daya

tarik fisik

merupakan suatu

ciri

penting dalam banyak teori kepribadian, meskipun

bersifat

implisit. Orang yang menarik

secara

fisik

biasanya

dinilai lebih

pandai bergaul, luwes, tenanS, menarik, hangat secara seksual, responsif, persuasif, dan berhasil dalam karier

(29)

RiniDamarastuti

k.

Bau-bauan

Wewangian

dan

bau-bauan,

terutama yang

menyenangkan (seperti

deodoran! parfum)

sebetulnya sudah sejak

berabad-abad yang

lalu

digunakan orang

untuk

menyampaikan pesan.

Tindak komunikasi

ini

sebetulnva

hampir

mirip

dengan cara yang dilakukan oleh hewan.

Wewangian

dapat

mengirim

pesan sebagai godaan, ra)ruzrn,

ekspresi f eminimitas atau maskulinitas. Dalam bisnis, wewangian melambangkan kesan, citra, stafus, dan bonafiditas. Perbedaan

persepsi atas bau-bauan dapat rrrenimbulkan kesalahpahaman

ketika orang-orang berbeda budaya berkomunikasi.

Konteks Ruang

Dalam

komunikasi

non

verbal

menjaga

ruang

disebut dengan prosemik.

Edward T.

Hall

merupakan antropolog yang menciptakan istilah proxemics (proksemika) sebagai bidang studi

yang menelaah persepsi manusia atas ruang @ribadi dan sosial),

cara manusia menggunakan ruang <lan pengaruh ruang terhadap

komunikasi. Prosemik merupakan afuran yang dianut oleh suatu masyarakat tentang bagaimana seharusnya

dua

orang atau lebih

menjaga jarak tubuh disaat komunikasi, juga menggunakan ruang

secara fisik tempat berkomunikasi (AIo

Liliweri

2003:lM).

Setiap budaya punya cara khas dalam mengkonseptualisasikan

ruang, baik dalam rumah,

di

luar

rumah, ataupun dalam

berhu-bungan dengan orang

lain.

Dalam kaitarurya dengan

ruang ini,

Deddy

Mulyana

(2003: 357-356) me:mberikan penjelasan tentang ruang pribadi, ruang publik, posisi duduk dan pengaturan ruang.

a.

Ruang

pribadi

vs ruang

publik

Setiap orang, baik

ia

sadar atau tidak,

memiliki

ruang pribadi

(personal space) imajiner yang apabila dilanggar oleh orang lain, akan menimbulkan rasa

tidak

nyaman. West

&

Turner (2008:

153) menyatakan bahwa Setiap rnanusia

memiliki

afiliasi dan

ruang pribadi

(personal),

yaitu

ruang

yang tidak

kelihatan,

dapat berubah-ubah dan menunjukkan jarak yang

dipilih.

West

& Turner membagi jarak ruang yang

dimiliki

oleh sesorang

itu

(30)

Mindful ness dalam Komunikasi Antarbudaya

Tabel4.L. |arak Ruang Pribadi dengan Ruang

Publik

Zona Proksimik. Sumber: West & Tumer (2008 : 155)

Terkait denganruangpribadidanruangpublikini,West &Turner

memberikan istilah

untuk

ruang

pribadi

dan ruang

publik ini

dengan

istilah

kewilayahan. Kewilayahan adalah merupakan kepemilikan seseorang akan sebuah area atau benda. West dan Turner membagi kewilayahan ini dalam tiga kelompok, yaitu: a)

Wilayah Primer, yaitu wilayah yang menunjukkan kepemilikan ekslusif seseortrng terhadap sebuah area atau benda.

b)Wilayah

Sekunder, yaitu afiliasi (hubungan personal) seseorang dengan sebuah area atau benda. c. Wilayah Publik, merupakan afiliasi

seseorang dengan tempat-tempat terbuka.

Ruang

pribadi

kita

identik

dengan

"wilayah

tubuh"

(body

tnritory), satu dari

empat kategori

wilayah yang

digunakan

manusia

berdasarkan

perspektif Lyman

dan

Scott.

Ketiga

wilayah lainnya adalah : wilayah

publik

(public terrirory), yakni tempat

yang

secara bebas dimasuki

dan

ditinggalkan oran& dengan sedikit kekecualian (hanya boleh dimasuki oleh kalangan

tertentu atau syarata tertentu); wilayah rumah (home territory),

yakni wilayah

publik

yang

bebas

dimasuki

dan

digunakan

orang

yang

mengakui memilikinya;

wilayah

interaksional (interactional

territory) tempat

yang

memungkinkan

semua orang berkomunikasi secara informal, seperti tempat pesta atau

tempat cukur (Deddy Mulyana, 2003: 358)

b.

Posisi

duduk

dan pengaturan ruangan

Terkait

dengan

posisi

duduk

dan

pengaturan

ruangan

ini,

orang Jawa sering memberikan istilatu "mengerti empan papan".

Konsep

ini

memberikan pemahaman bagaimana seseorang harus tahu

diri

ketika berhadapan dengan orang lain sehingga

|arak Intim |arak Sosial 18 - 4 kaki 0-18 inci (46 cm) 4 - 12 kaki Nama Iarak Jarak Personal Jarak Publik

(31)

Rini Damar,rstuti

dia akan menempatkan

diri

pada posisi

yt

E benar, termasuk dalam kaitannya dengan posisi tempat

duduk

dan pengaturan ruanSan.

Dalam

kaitannya dengan

posisi

duduk dan

pengaturan ruangan/ setiap budaya dan masyarakat memiliki posisi

duduk

dan

pengaturan ruangan

yang

berbeda-beda. Setiap budaya mengkonsepsikan pola komunikasi melalui posisi

duduk

dan pengaturan ruang dengan cara yang berlainan. Penataan ruan&

baik

ruang

tertutup

atau

ruang

terbuka, boleh

jadi

berkaitan dengan kepribadian, kebiasaan, a tau dilandasi oleh kepercayaan atau ideologi tertentu.

Sebagai contoh, dalam tradisi budaya lawa, or:rng-or.rng yang

terhormat dan disegani, dalam suatu acara selalu ditempatkan

pada posisi tempat

duduk di

depan. Sedangkan terkait dengan

posisi tempat

duduk,

orang Jawa biasanya akan memberikan

jarak ketika dia duduk

dengan orang

lain.

Sikap

ini

diambil

sebagai satu bentuk penghormatan kepada orang

lain

karena

orang Jawa sangat menghargai ruang

privat

orang lain. Sikap

dan tindakan

ini

sangat berbrc:da dengan

orang

Arab

dan

orang

Amerika

yang cenderung berinteraksi

lebih

dekat dan memposisikan tempat duduknya dengan orang lain.

Pengaturan ruangan biasanya

juga dikaitkan

dengan budaya yang ada

di

dalam masyarakat

itu.

Rumah-rumah ]oglo orang Jawa, pengaturan ruang untuk ruang tamu biasanya lebih luas

dibandingkan dengan ruangan yang

lain.

Hd

ini

disebabkan

karena

ruang tamu

merupakan ruangan

yang paling

sering

digunakan

untuk

berinteraksi ctan bertemu dengan keluarga besar mereka. Prinsip "mangan ,'a mangan asal kumpul" (makan

tidak

makan asal

bisa berkumpul),

sangat mempengaruhi

pembagian ruang dalam kehidupan masyarakat Jawa.

KonteksWaktu

Konsep tentang waktu disebut Kronemik. Kronemik adalah yang dianut oleh suatu masyarakat tentang bagaimana seharusnya anggota dalam komunitas

itu

menggunakan

waktu

(Alo

Liliweri

2003: 145).

(32)

Mindfulness dalam Komunikasi Antarbudaya

dalam waktu dipengamhi oleh budayanya. Waktu berhubungan erat

dengan perasazrn hati dan perasaan-Perasaan manusia.

Beberapa budaya

pada

saat berkomunikasi mereka sangat

menghargai waktu. Sedangkan budaya lainnya pada saat

berko-muniksi tidak memperhatikan dan menghargai waktu sama sekali.

Sebagai contoh, orang JePang merupakan orang yang sangat tepat

waktu.

Sedangkan beberapa masyarakat

yang memiliki

budaya yang berbeda dengan )ePang, seperti

Afrika,

Amerika

Latin

dan Malaysia termasuk Indonesia, kurang menghargai

waktu (Andrik

Purwasito 2003:1,46).

Ruang dan

waktu

adalah bagian

dari

lingkungan

kita

yang

juga

dapat memberi makna. John Cage mengatakan,

tidak

ada

sesuatu

yang

disebut ruang

yang

kosong

atau

waktu

yang kosong. Selalu ada sesuatu

untuk

dilihat,sesuatu

untuk

didengar.

Sebenarnya, bagaimanapun

kita

berusaha

untuk

diam,

kita

tidak

dapat melakukannya (Deddy Mulyana 2003:373)

Soal-soal Latihan Bab 4:

1.

Apa yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya? Berikan

contoh tentang komunikasi antarbudaya yang ada di masyarakat kita!

2.

Sebutkan asumsi-asumsi dasar dari komunikasi antarbudaya!

3.

Di masyarakat kita dalam beberapa waktu ini sering terjadi

konflik

yang sering disebabkan karena perbedaan budaya atau sering

disebut dengan permasalahan karena komunikasi antarbudaya.

Sebutkan satu contoh kasus

konflik

atau permasalahan yang terjadi karena komunikasi antarbudaya dan jelaskan!

4.

Apa

fungsi

komunikasi antarbudaya dalam kehidupan kita? Jelaskan dan berikan contoh!

5.

Komunikasi antarbudaya juga melibatkan komunikasi verbal

dan non verbal. Sebutkan dan jelaskan beberapa komunikasi

Gambar

Gambar  4.1.  Masyarakat  Indonesia  yang  Multikultural
Gambar  4.2.  Konflik  yang  terjadi  karena perbedaan budaya

Referensi

Dokumen terkait

1) Kangkung sutera dapat ditanam bersamaan dengan waktu tanam jagung manis, sampai dengan tiga minggu setelah tanam jagung manis. 2) Hasil jagung manis tidak

(3) Dalam menjalankan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Ketua dibantu pengelola keuangan Sekolah Tinggi wajib menatausahakan dan mempertanggungjawabkan

Sebaliknya individu yang memiliki tingkat pe- ngetahuan tentang agama yang rendah akan melakukan perilaku seks bebas tanpa berpikir panjang terlebih dahulu sehingga

[r]

PROGRAM STUDI KEAHLIAN: KEUANGAN KOMPETENSI KEAHLIAN: AKUNTANSI.. JUDUL BUKU:

Radiografi kedokteran gigi adalah suatu teknik yang digunakan untuk mendapatkan gambaran keadaan atau kelainan yang tidak terlihat secara klinis di rongga mulut, memberikan

menjelaskan bahwa perlakuan dengan kombinasi dosis pupuk 0, 7 kg kompos ampas sagu + 35 g NPK (E) menunjukkan rata-rata jumah daun terbaik yaitu sebanyak

Model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran,