• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Daging Sapi

Jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia adalah sapi asli Indonesia dan Sapi Impor. Jenis-jenis sapi potong tersebut mempunyai sifat-sifat yang khas, baik ditinjau dari bentuk luarnya (ukuran tubuh, warna bulu) maupun genetiknya (laju pertumbuhan) (Tim Karya Mandiri, 2009).

Ternak sapi mampu menghasilkan berbagai macam kebutuhan terutama daging sapi. Menurut Sudarmono (2008), daging sapi sangat besar manfaatnya dalam memenuhi kebutuhan gizi berupa protein hewani. Karena sapi merupakan hewan pemakan rumput yang berperan sebagai pengumpul bahan bergizi rendah yang kemudian diubah menjadi bahan bergizi tinggi dan diteruskan kepada manusia dalam bentuk daging.

Protein dari daging sapi sangat penting karena mengandung semua asam amino esensial termasuk yang mengandung mineral S yang tidak dimiliki oleh protein nabati dan sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan mudah dicerna. Selain itu daging sapi juga merupakan sumber utama mineral Ca, P, Zinc, Fe serta vitamin B2, B6 dan B12 yang penting bagi tubuh manusia (Talib, 2008).

Daging sapi yang dijual umumnya dalam kondisi tua atau muda. Tekstur daging sapi yang diperoleh dari kedua jenis sapi pun berbeda. Daging sapi muda berwarna merah terang dengan serat-serat yang halus, konsistensinya lembek, serta bau dan rasanya berbeda dengan daging sapi dewasa. Sementara itu, daging

(2)

sapi tua berwarna merah pucat, berserabut halus dengan sedikit pucat, konsistensi liat, serta bau dan rasa sangat beraroma (Fikar, 2010).

Daging sapi yang mutunya baik biasanya hanya diperoleh sekitar 40% dari berat hewan secara keseluruhan dan sekitar 70% dari berat karkas. Karkas merupakan bagian tulang dan daging yang telah terpisah dari kepala, kulit, kaki dan jeroan (Darmono, 1998).

2.1.2 Produksi Daging Sapi Lokal

Sapi pedaging secara umum terdiri dari dua jenis sapi utama yaitu Bos taurus dan Bos indicus. Jenis sapi lainnya di luar dari jenis sapi utama berasal dari hasil perkawinan silang antara sapi dengan spesies lain seperti banteng, bison dan kerbau yang disebut dengan Bos bibos.Sedangkan untuk Indonesia jenis sapi yang dijadikan sebagai sumber daging adalah Sapi Bali, Sapi Ongole, Sapi PO (Peranakan Ongole) dan Sapi Madura (Tim Karya Mandiri, 2009).

Ternak sapi potong sebagai salah sumber makanan berupa daging. Produktivitas daging sapi saat ini masih sangat memprihatinkan karena volumenya masih jauh dari target yang dibutuhkan konsumen. Hal ini dikarenakan produksi daging sapi yang masih rendah dan dipengaruhi oleh tingkat populasi ternak sapi yang masih jauh dari jangkauan. Sebagian besar ternak sapi potong masih diusahakan dalam skala kecil, dengan penggunaan lahan dan modal yang masih terbatas (Sugeng, 2000).

Menurut Dwiyanto (2006), masalah produksi dan reproduksi sapi pedaging belum optimal. Waktu rata-rata umur sapi Indonesia untuk pertama melahirkan masih lambat yaitu lebih dari 4,5 tahun dan jarak kelahiran yang panjang hingga 18 bulan. Hal ini perlu adanya manajemen perawatan ternak

(3)

sehingga dapat mempercepat umur sapi melahirkan menjadi 3,5 tahun. Perawatan yang baik, seekor sapi mampu menghasilkan 1 ekor anak dalam setahun. Sapi betina yang produktif jika dipelihara dengan baik, mampu menghasilkan anak 2-3 ekor sepanjang hidupnya.

Produksi daging sapi disetiap daerah umumnya berbeda-beda tergantung dari ketersediaan sapi lokal dan tingkat kebutuhan. Adapun jumlah produksi daging sapi di beberapa daerah di Sumatera Utara.

Tabel 4. Produksi Daging Sapi di Sumatera Utara 2011

Kabupaten/Kota Produksi (Ton)

Nias 69,10 Mandailing Natal 370,33 Tapanuli Selatan 217,22 Tapanuli Tengah 103,63 Tapanuli Utara 49,17 Toba Samosir 51,14 Labuhan Batu 341,35 Asahan 988,65 Simalungun 1.644,03 Dairi 60,46 Karo 2.064,15 Deli Serdang 2.678,79 Langkat 663,33 Nias Selatan 15,22 Humbang Hasundutan 6,73 Pakpak Bharat 15,90 Samosir 63,02 Serdang Bedagai 75,57 Batu Bara 1.722,01 Padang Lawas 187,60

Padang Lawas Utara 1.677,93

Labuhan Batu Utara 203,64

Labuhan Batu Selatan 23,45

Sibolga 19,08 Tanjung Balai 147,34 Pematang Siantar 112,49 Tebing Tinggi 151,20 Medan 3.233,36 Binjai 930,31 Padang Sidempuan 392,97 Nias Utara 11,06 Nias Barat 4,99 Gunung Sitoli 4,11 Jumlah 18.299,35

(4)

Berdasarkan tabel 4, Produksi daging sapi di Provinsi Sumatera Utara mencapai 18.299,35 ton, dengan produksi terbanyak di Kota Medan mencapai 3.233,36 ton, sedangkan untuk produksi terendah berada pada daerah Gunung Sitoli sebesar 4,11 ton pada tahun 2011.

2.1.3 Impor Sapi

Dalam penyediaan daging sapi terdapat tiga pelaku utama yang perlu diperhatikan karena peranan ketiganya yang cukup signifikan dalam pencapaian ketahanan pangan daging sapi. Ketiga pelaku tersebut adalah peternakan sapi rakyat yang mengusahakan sapi lokal, industri penggemukan sapi yang mengandalkan sapi bakalan impor dan industri daging dan jeroan yang menggunakan produk daging sapi asal impor (Talib, 2008).

Rendahnya produksi sapi domestik menyebabkan rendahnya pula memenuhi kebutuhan akan daging sapi. Usaha yang telah dilakukan untuk menangani kekurangan sapi potong diantaranya adalah mengimpor sapi bakalan yang dilakukan sejak awal tahun 1990 dan terus meningkat hingga puncaknya tahun 1997, yaitu sebanyak 428 ribu ekor (Dwiyanto, 2006).

Awalnya pemenuhan permintaan daging dapat disediakan oleh peternakan rakyat. Akan tetapi karena semakin tinggi populasi masyarakat Indonesia maka kemampuan peternakan rakyat dalam memenuhi permintaan daging makin rendah. Hal ini mendorong pemerintah untuk melakukan impor sapi bakalan yang akan digemukkan di dalam negeri selama beberapa bula

Ada 7 negara yang menguasai hampir 70% sebagai produsen sapi tetapi tidak semua negara produsen termasuk sebagai negara eksportir utama. Amerika Serikat, Brasil dan Cina adalah 3 negara produsen yang memiliki lebih dari 50%

(5)

sapi potong dunia. Sedangkan Brasil, Australia, New Zealand, India dan Kanada menguasai 75% ekspor sapi potong dunia (Talib, 2008).

Indonesia mengimpor sapi hidup dari Australia. Jenis sapi yang diimpor yaitu Sapi Bos indicus seperti jenis sapi Brahman atau jenis campuran silang seperti sapi jenis Braford dan Droughtmaster. Sapi-sapi jenis ini sangat berhasil diternakkan di daerah tropis. Karena mempunyai ciri-ciri tahan panas, tahan terhadap kekeringan, dan serangan kutu. Sapi tersebut juga mempunyai ciri-ciri sapi jenis Bos taurus, misalnya laju pertumbuhannya tinggi, produksi susunya banyak, dan tingkat kesuburannya tinggi (Anonimus 3, 2010).

Sapi bakalan impor diperoleh dari Australia, walaupun harga ketika tiba di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti musim, cuaca, jarak tetapi tetap diminati oleh pihak industri penggemukan sebagai prioritas utama, karena harga beli oleh industri lebih menguntungkan daripada menggunakan sapi lokal (Talib, 2008).

Indonesia memilih mengimpor sapi dari Australia dan Selandia Baru selain lebih dekat juga berkaitan dengan kebijakan country based atau mengimpor sapi berbasis keamanan dan kesehatan disatu negara. Sapi yang berasal dari negara lain seperti India dan Brazil belum bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Tujuan dari penolakan masuknya sapi dari negara tersebut karena dikhawatirkan penyakit dapat menular pada ternak yang ada di Indonesia (Anonimus 4, 2012).

Terdapat berbagai jenis kebutuhan pangan bangsa Indonesia yang masih disediakan melalui kegiatan impor. Ini dikarenakan ketersediaan kebutuhan

(6)

pangan bagi masyarakat masih jauh dari yang dibutuhkan. Adapun total impor bahan pangan yang dilakukan pada tahun 2009.

Tabel 5. Total Nilai Impor Bahan Pangan Indonesia Periode Januari- Juli 2009 No Impor Bahan Pangan Indonesia Januari-Juli 2009

1 Susu 31,04%

2 Sapi Bakalan 25,53%

3 Daging Sapi 9,86%

4 Mentega 3,83%

5 Wol dan Limbah Wol 3,44%

6 Keju 3,08%

7 Hati/Jeroan Sapi 2,55%

8 Obat Hewan 2,20%

9 Hati/Jeroan Non Sapi 2,14%

10 Telur Konsumsi 0,48%

11 Daging Kambing/Domba 0,23%

Sumber: Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah Vol1 No.2, 2013

Berdasarkan tabel 5, impor sapi bakalan merupakan impor terbanyak kedua setelah susu yaitu sebesar 25,53% sedangkan untuk impor daging sapi terbanyak ketiga dari seluruh total impor bahan pangan di Indonesia pada Januari-Juli 2009 yaitu sebesar 9,86%.

2.1.4 Konsumsi Daging Sapi

Pangan yang dikonsumsi oleh penduduk terdiri dari pangan pokok dan pangan hewani. Pangan pokok sebagai sumber karbohidrat sebagian besar dipenuhi dari konsumsi beras, sedangkan pangan hewani (protein) banyak diperoleh dari konsumsi daging, ikan, telur dan susu. Protein hewani ini berperan dan berfungsi sebagai zat pembangun struktur tumbuh, zat pengatur (biokatalisator), sumber energi dan sebagai hormon (Nugroho, 2008).

Penduduk mengacu pada sejumlah manusia yang berdiam dalam suatu wilayah. Dengan meningkatnya jumlah penduduk dalam suatu wilayah akan menambah pula jumlah kebutuhan hidup. Semakin tinggi jumlah penduduk, maka

(7)

kebutuhan daging sapi juga akan meningkat. Sebaliknya, semakin rendah jumlah penduduk maka kebutuhan daging sapi juga akan berkurang (Supranto, 2007).

Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani. Setiap bahan pangan mempunyai kandungan gizi yang berbeda-beda baik jumlah maupun jenisnya. Bahkan sesama bahan pangan pun ada yang berbeda jumlahnya, untuk daging sapi mempunyai kandungan protein paling tinggi dibanding dengan daging hewan lainnya (Anonimus5, 2009).

2.1.5 Harga Daging Sapi

Laju permintaan daging sapi yang lebih tinggi dari laju pasokan domestik menyebabkan harga daging sapi domestik selalu meningkat, hingga pasokan impor semakin membesar. Harga impor yang lebih murah justru menyesuaikan dengan harga domestik yang cenderung naik (Ilham, 2009).

Dari aspek konsumsi berdasarkan budaya dan rasa, posisi daging sapi tidak tergantikan dengan daging lain. Ketersediaan daging sapi selalu dibutuhkan baik pada kelompok kelas pendapatan tinggi, sedang maupun rendah. Perilaku konsumen yang demikian menyebabkan harga daging sapi terus meningkat. Pemicu kenaikkan harga terutama pada saat menjelang hari besar keagamaan seperti menjelang bulan puasa dan hari raya (Ilham, 2009).

Pada usaha sapi potong harga relatif stabil, namun cenderung terus meningkat. Jika terjadi peningkatan harga tidak akan turun kembali. Walaupun harga daging sapi akan turun namun tidak akan kembali pada kondisi semula. Apalagi pada kondisi yang lebih rendah. Selain itu, konsumen daging sapi

(8)

umumnya kelas menengah ke atas. Pada konsumen ini, kenaikkan harga tidak berpengaruh nyata terhadap permintaannya (Ilham, 2009).

Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), rata-rata kenaikan harga komoditas daging sapi per tahun mencapai 9,0%. Dengan kenaikan harga tertinggi terjadi pada tahun 2008 yang mencapai angka 14,4%

dibandingkan pada tahun sebelumnya, yaitu dari Rp 50.036/kg menjadi Rp 57.259/kg. Harga daging sapi pada periode tahun 2003-2012 mengalami

gejolak kenaikan harga sebesar 27,3%. Secara nasional, perkembangan harga daging sapi pada tahun 2012 (sampai dengan bulan September 2012) berangsur-angsur mengalami kenaikan dari awal Januari dan mulai mengalami lonjakan harga pada bulan Juli (menjelang puasa), yaitu mencapai angka 3,36% dari Rp 74.393/kg menjadi Rp 76.895/kg. Sedangkan tingkat harga pada bulan Agustus 2012 terus bergerak naik mencapai 3,78% dari Rp 76.895/kg menjadi Rp 79.800/kg (Anonimus 7, 2012).

2.1.6 Penelitian Sebelumnya

Penelitian yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan dan Penawaran Daging Sapi Di Sumatera Utara” oleh Ronald Siahaan (2011). Hasil penelitian menyatakan bahwa usaha peternakan sapi potong di Sumatera Utara periode tahun 2001-2010 masih didominasi oleh peternakan rakyat, dengan sistem pemeliharaan yang masih sederhana dan tradisional. Permintaan daging sapi dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga daging, pendapatan per kapita, harga telur dan harga ayam. Penawaran daging sapi dipengaruhi oleh jumlah sapi impor, harga daging, jumlah sapi yang diinseminasi, harga sapi, daging impor dan jumlah populasi sapi. Jumlah sapi impor merupakan

(9)

faktor paling besar mempengaruhi jumlah penawaran, sementara harga sapi hidup mempengaruhi jumlah penawaran daging sapi. Elastisitas harga terhadap permintaan daging sapi adalah inelastis. Elastistas pendapatan terhadap permintaan daging sapi adalah inelastis. Elastisitas silang terhadap daging ayam dan daging sapi adalah subsitusi. Elastistas harga terhadap penawaran daging sapi adalah inelastis.

Penelitian yang berjudul “Pengaruh impor daging sapi terhadap tingkat harga daging sapi domestik Indonesia tahun 1993-2009” oleh Kurniawan (2011). Penelitian ini menguji pengaruh produksi daging sapi domestik, konsumsi daging sapi domestik, harga daging sapi dunia, nilai kurs dan volume impor daging sapi terhadap tingkat harga daging sapi domestik dunia tahun 1993-2009. Untuk mengujinya peneliti menggunakan teknik estimasi Ordinary Least Squared (OLS). Hasil penelitiannya adalah bahwa produksi daging sapi domestik, konsumsi daging sapi domestik, haga daging sapi dunia, nilai kurs dan volume impor daging sapi secara signifikan mempengaruhi tingkat harga daging sapi domestik Indonesia.

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Teori Permintaan

Permintaan suatu barang berkaitan dengan jumlah permintaan atas suatu barang pada tingkat harga tertentu. Konsumen dapat menentukan jumlah barang yang dikonsumsi tergantung pada harga tersebut. Pada umunya semakin tinggi harga suatu barang, maka semakin sedikit permintaan akan barang tersebut. Sebaliknya, semakin rendah harga suatu barang, maka semakin banyak jumlah permintaan akan barang tersebut ( Bangun, 2007)

(10)

Menurut Bangun (2007), Permintaan seseorang atau masyarakat terhadap suatu komoditi ditentukan oleh banyak faktor, seperti:

1. Harga komoditi itu sendiri

Jika harga semakin murah, permintaan terhadap suatu produk akan bertambah. Hal ini berkaitan dengan hukum permintaan, jika harga suatu barang meningkat cateris paribus, jumlah suatu barang yang diminta akan berkurang, dan begitu sebaliknya.

2. Harga komoditi lain yang berkaitan erat dengan komoditi tersebut

Pengaruh harga komoditas lain terhadap jumlah permintaan suatu barang tergantung pada jenis barangnya. Jenis barang yang ditentukan yaitu barang subsitusi dan barang komplementer.

3. Pendapata rumah tangga dan pendapata masyarakat

Tingkat pendapatan mencerminkan daya beli. Semakin tinggi tingkat pendapatan, maka daya beli akan suatu barang juga akan meningkat.

4. Selera

Semakin tinggi minat dan keinginan konsumen terhadap suatu barang, maka akan semakin tinggi pula tingkat permintaannya. Sebaliknya semakin berkurang keinginan konsumen akan suatu barang maka permintaanta juga akan berkurang.

5. Jumlah penduduk

Jumlah penduduk merupakan faktor yang mempengaruhi permintaan konsumen. Semakin besar jumlah penduduk maka semakin besar pula kecendrungan masyarakat untuk meningkatkan jumlah permintaan.

(11)

6. Perkiraan harga di masa mendatang

Perkiraan harga suatu barang di masa yang akan datang akan mempengaruhi jumlah permintaan suatu barang. Apabila diramalkan terjadi kenaikkan harga suatu barang tertentu dimasa yang akan datang, maka permintaan barang tersebut akan bertambah. Sebaliknya, apabila diramalkan harga suatu barang akan turun dimasa yang akan datang maka permintaan suatu barang akan berkurang.

Perubahan permintaan dapat dibedakan menjadi: 1. Pergerakan sepanjang kurva permintaan

Perubahan permintaan sepanjang kurva permintaan terjadi bila harga komoditi yang diminta berubah (naik atau turun). Penurunan harga komoditi tersebut akan menaikkan jumlah yang diminta dan kenaikkan harga komoditi mengurangi jumlah yang diminta.

2. Pergeseran kurva permintaan

Pergeseran kurva permintaan ke kanan atau ke kiri disebabkan oleh perubahan permintaan yang ditimbulkan oleh faktor-faktor selain harga komoditi tersebut.

2.2.2 Teori Penawaran

Penawaran menggambarkan hubungan antara harga dengan jumlah penawaran atas suatu barang. Apabila harga naik, maka jumlah penawaran akan suatu barang bertambah, dan sebaliknya jika harga barang turun, maka jumlah barang yang ditawarkan akan berkurang (Bangun, 2007).

(12)

Menurut Bangun (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran: 1. Harga komoditi itu sendiri

Jika harga suatu barang menurun maka jumlah barang yang akan ditawarkan juga akan menurun. Hal ini berkaitan dengan hukum penawaran, jika harga suatu barang meningkat cateris paribus, maka jumlah komoditi yang ditawarkan juga akan meningkat dan juga sebaliknya.

2. Harga komoditi lain

Adanya perubahan harga produk alternatif lain yang menyebabkan terjadinya jumlah peningkatan produksi atau semakin menurun.

3. Biaya produksi

Besar kecilnya biaya produksi yang dikeluarkan maka akan mempengaruhi jumlah input yang di pakai. Jika harga dari input produksi menurun maka produsen akan cenderung membeli input dalam jumlah yang relatif besar. 4. Tingkat teknologi

Penggunaan teknologi baru sebagai pengganti teknologi lama akan mempengaruhi peningkatan jumlah produksi.

5. Jumlah lembaga pemasaran

Apabila jumlah lembaga pemasaran suatu produk semakin banyak, maka penawaran produk tersebut akan bertambah.

2.2.3 Teori Harga

Harga pasar suatu komoditi dan jumlah yang diperjualbelikan ditentukan oleh permintaan dan penawaran dari komoditi tersebut. Dengan harga pasar dimaksudkan harga yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Analisis permintaan dan penawaran digunakan untuk menggambarkan mekanisme pasar.

(13)

Tanpa campur tangan pemerintah, permintaan dan penawaran dengan sendirinya akan mencapai keseimbangan harga dan jumlah komoditi yang diperjualbelikan (Sugiarto, 2000).

Kurva penawaran menunjukkan jumlah barang yang bersedia dijual oleh para produsen pada harga yang akan diterimanya di pasar, sambil mempertahankan agar setiap faktor yang mempengaruhi jumlah penawaran tetap. Sedangkan kurva permintaan menyatakan berapa banyak konsumen bersedia membeli karena harga per unit berubah (Pyndick, 2003).

Harga suatu barang ditentukan dengan melihat keadaan keseimbangan dalam suatu pasar. Keseimbangan pasar tersebut terjadi jika jumlah barang yang ditawarkan sama dengan jumlah barang yang diminta. Hukum harga menyatakan, bahwa perubahan penawaran akan menyebabkan berubahnya harga dalam arah yang berlawanan dengan asumsi permintaan tetap. Apabila permintaan tetap, kenaikkan penawaran akan menyebabkan penurunan harga dan sebaliknya penurunan penawaran akan menyebabkan naiknya harga (Sukirno, 2002).

Menurut Lipsey (1995), bahwa permintaan dan penawaran berinteraksi dalam menentukan harga dalam suatu pasar. Kondisi keseimbangan akan tercapai jika jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan. Pada kondisi ini, kedua pihak baik produsen maupun konsumen sama-sama diuntungkan. Gambar 1, pada kondisi harga di titik Pd, ketika jumlah yang ditawarkan produsen lebih kecil dibandingkan jumlah yang diminta konsumen, terjadi kelebihan permintaan terhadap penawaran (excess demand). Dalam hal ini konsumen akan bersaing untuk mendapatkan komoditas tersebut dan berani membayar dengan

(14)

harga yang lebih tinggi. Produsen juga akan memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan harga. Pada kondisi ini akan ada tekanan ke atas terhadap harga.

Selanjutnya, jika harga berada pada Pu, ketika jumlah yang ditawarkan produsen lebih besar dibandingkan jumlah yang diminta konsumen, dalam hal ini terjadi kelebihan penawaran atas permintaan (excess supply). Kondisi ini dimana produsen akan berusaha menurunkan harga agar kelebihan penawaran tersebut bisa terjual. Jadi pada excess supply akan ada suatu tekanan ke bawah terhadap harga. Akhirnya kedua kondisi tersebut akan mengarahkan harga pada Pe, dimana jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan. Kedua pihak, baik konsumen maupun produsen akan sama-sama diuntungkan. Kondisi inilah yang disebut sebagai kondisi keseimbangan, dimana jumlah dan harga yang terjadi sama-sama disetujui oleh kedua pihak.

Gambar 1. Penentuan Harga oleh Permintaan dan Penawaran Penawaran Permintaan Jumlah Pu Pe Pd

(15)

2.3 Kerangka Pemikiran

Sapi merupakan salah satu jenis ternak sebagai penyedia kebutuhan pangan hewani. Penyediaan kebutuhan daging sapi di Sumatera Utara diperoleh dari peternakan sapi rakyat dan industri penggemukan sapi potong. Dimana peternakan rakyat baru mampu memenuhi kebutuhan daging sapi sekitar 70% sedangkan sisanya 30% disediakan oleh industri penggemukan sapi potong. Peternakan rakyat masih menggunakan sistem pemeliharaan yang tradisional. Dimana para peternak hanya memiliki lahan dan modal yang masih terbatas. Sehingga kemampuan peternak rakyat belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi domestik.

Industri penggemukan sapi potong memperoleh sapi bakalan dari Australia. Indonesia memilih Australia karenakan sapi potong yang ada di negara tersebut sudah terbebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK). Sapi yang diimpor berumur 1-2 tahun. Hal ini dikarenakan pada umur tersebut sapi sedang mengalami masa pembentukan rangka dan pembentukan jaringan daging. Sistem penggemukan dilakukan yaitu dengan pemberian pakan yang cukup seperti mineral, vitamin dan protein dalam waktu beberapa bulan hingga sapi mencapai bobot ideal untuk menghasilkan daging yang berkualitas.

Tingkat konsumsi masyarakat untuk daging sapi terus meningkat setiap tahunnya. Menurut Aziz (2003), Sejumlah barang yang diminta konsumen tidak hanya dipengaruhi oleh harga barang tersebut, namun juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti selera, musim, pendapatan dan harga barang lainnya yang berkaitan. Begitu juga dengan tingkat konsumsi daging sapi di Sumatera Utara

(16)

umumnya dipengaruhi oleh meningkatnya pendapatan, taraf hidup seseorang, hari besar keagamaan serta kesadaran akan pentingnya kebutuhan gizi protein hewani. Ketersediaan daging sapi belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Jumlah penawaran daging sapi masih rendah, sedangkan permintaannya terus meningkat yang akhirnya menyebabkan harga daging sapi juga ikut meningkat. Berdasarkan penjelasan tersebut adapun beberapa faktor yang mempengaruhi harga daging sapi lokal di Sumatera Utara yaitu produksi daging sapi, impor sapi, konsumsi daging sapi dan harga daging sapi bulan sebelumnya.

Adapun kerangka pemikiran berkaitan dengan faktor-faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Daging Sapi di Sumatera Utara

2.4 Hipotesis

Berdasarkan identifikasi masalah, hipotesis penelitian adalah ada pengaruh dari produksi daging sapi, impor sapi, konsumsi daging sapi dan harga daging sapi bulan sebelumnya terhadap harga daging sapi di Sumatera Utara.

1. Produksi Daging Sapi 2. Impor Sapi

3. Konsumsi Daging Sapi 4. Harga Daging Sapi Bulan

Sebelumnya

Harga Daging Sapi

: Faktor-Faktor : Mempengaruhi

Gambar

Tabel 4. Produksi Daging Sapi di Sumatera Utara 2011
Tabel 5. Total Nilai Impor Bahan Pangan Indonesia Periode Januari- Juli 2009  No  Impor Bahan Pangan Indonesia  Januari-Juli 2009
Gambar 1. Penentuan Harga oleh Permintaan dan Penawaran PenawaranPermintaanJumlahPuPe Pd
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga        Daging Sapi di Sumatera Utara

Referensi

Dokumen terkait

Pada bab ini dimungkinkan mengajukan lebih dari satu teori atau data sekunder dalam bentuk tabel sintersa untuk membahas permaslahan variabel yang akan diteliti

Surat pernyataan di atas materai yang berisi jaminan spesifikasi teknis dan kualitas alat dan perangkat telekomunikasi adalah sama dengan spesifikasi teknis dan

Pelepasan sel neutrofil muda ke dalam sirkulasi juga terjadi pada keadaan infeksi, sehingga terjadi peningkatan jumlah neutrofil muda dalam sirkulasi yang menyebabkan rasio sel

Hampir semua perlakuan yang diterapkan menghasilkan faktis gelap yang tergolong mut u III dengan kadar ekstrak aseton antara 37.07 – 55.52 persen de ngan kadar sulfur bebas

Also, it is permissible to return an implicitly typed local variable to the caller, provided the method return type is the same underlying type as the implicitly typed data

Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan dan menganalisis peran, metode dan materi yang diajarkan saat pertanian modern dalam pengembangan jiwa wirausaha santri

Berisi tentang data-data teoritik, data empirik serta gagasan awal berkaitan dengan perancangan sarana pembersih kemoceng, diantaranya data teoritik didapatkan dari berbagai