MAKNA SYARAT, PERALATAN, DAN
SESAJI
DALAM UPACARA
SIRAMAN
PERNIKAHAN
DI LINGKUNGAN KRATON YOGYAKARTA:
SEBUAH KAJIAN SEMIOTIKA
Tugas Akhir
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Dian Dwi Marlina
NIM 094114006
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji dan syukur ke Hadirat Allah SWT atas segala
karunia rahmat dan hidayah-Nya, sehingga karya ilmiah dengan judul Makna
Syarat, Peralatan, dan SesajiDalam UpacaraSiramanPernikahan Di Lingkungan
Kraton Yogyakarta dapat terselesaikan. Penulisan Karya Ilmiah inidimaksudkan
untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Program
Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih disertai
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Yoseph Yapi Taum M.Hum., selaku pembimbing pertama,
2. Prof. Dr. Praptomo Baryadi Isodarus M.Hum., selaku pembimbing kedua,
3. Dosen Prodi Sastra Indonesia USD: Drs. Hery Antono M.Hum.,Dr. Paulus Ari
Subagyo M.Hum.,Dr. Yoseph Yapi Taum M.Hum., Prof. Dr. Praptomo
Baryadi Isodarus M.Hum., Susilawati Endah Peni Adji S.S., M.Hum., Dra.
Fransisca Tjandrasih Adji M.Hum.
4. Sekeretariat Program Studi Sastra Indonesia yang telah membantu dalam hal
administrasi,
5. Perpustakaan USD yang telah memberikan fasilitas buku-buku sebagai
ABSTRAK
Marlina, Dian Dwi.2014. “Makna Syarat, Peralatan, dan Sesaji dalam Upacara
Siraman Pernikahan Di Lingkungan Kraton Yogyakarta: Sebuah Kajian
Semiotika”.Skripsi Strata I (S-1). Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Skripsi ini mengungkap topik makna syarat, peralatan, dan sesajiupacara siraman pernikahan bagi pecinta budaya Indonesia. Makna syarat, peralatan, dan sesajidiungkap bukan hanya dari segi fisik, tetapi juga dikaji makna dan ideologi yang terkandung didalamnya serta untuk ditinjau kegunaanya.Tujuan penelitian ini untuk mengungkapkan dan mendeskripsikan makna syarat, perlengkapan, dan sesajiupacarasiramanpernikahan di lingkungan Kraton Yogyakarata saat ini.
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang folklor dan Semiotika Roland Barthes. Teori folklor digunakan untuk memahami makna syarat, peralatan, dan sesajiupacara siraman dalam kaidah ilmu folklor. Roland Barthes digunakan untuk mengkaji makna denotatif dan makna konotatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengumpulan data, metode pustaka, metode wawancara, metode observasi, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data.
ABSTRACT
Marlina, Dian Dwi. 2014. “Meaning requirement, celebration, and an offering in
Baptism of Kraton Wedding Ceremony In Yogyakarta Court: semiotics
study a piece of “. Thesis Strata I (S-I). Indonesian Literature Studies Program, Indonesian Literature Field of Study, Faculty of Letters, Sanata Dharma University.
This thesis is to state topict the meaning requirement, celebration, and an offering in Baptism of wedding ceremony for lover Indonesian culture. The meaning requirement, celebration, and an offering being unfolded not just from it’s physical side, but to examined on that meaning in contained as well as for considered purpose.The purpose of this study was to state and to describe the meaning requirement, celebration, and an offering in Baptism of kraton wedding ceremony in yogyakarta court now.
Teory underlayment that used on research is teory about folklor and semiotics Roland Barthes. Folklor teory used for complete the meaning requirement, celebration, and an offering in Baptism of wedding ceremony on rule folklor. Roland Barthes used for to learn the meaning denotative and konotative.The method used in this study is a book method, interview method, observation method, analysis informations method,and presenting result analysis informations methode.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v
KATA PENGANTAR ... vi
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Permasalahan... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.4 Manfaat Penelitian ... 6
1.5 Tinjauan Pustaka ... 6
1.6 Landasan Teori ... 8
1.7 Metode Penelitian ... 11
1.7.1 Menggunakan Metode Pengumpulan Data... 12
1.7.2 Menggunakan Metode Analisis Data ... 14
1.7.3 Menggunakan Metode Penyajian Hasil Analisis Dara ... 16
1.8 Sistematika Penyajian... 17
BAB II MAKNA SYARAT, PERALATAN, DANSESAJIUPACARA SIRAMANPERNIKAHAN ... 18
2.1 Makna Syarat UpacaraSiramanPernikahan ... 18
2.1.1 Air Tujuh Sumber ... 18
2.1.4 Kliwatan sembagi... 21
2.1.5 Letrek ... 21
2.1.6 Klasa Bangka ... 22
2.1.7 Daun-daunan ... 23
2.1.7.1 Daun Beringin ... 23
2.1.7.2 Daun Ilalang... 24
2.1.7.3 Daun Mojo ... 24
2.1.7.4 DaunDhahap Srep ... 25
2.1.7.5 Daun Kluwih... 26
2.1.7.6 Daun Jati ... 27
2.1.7.7 Daun Awar-awar... 27
2.1.8 Dlingo Bengle ... 28
2.1.9 Londho Merang ... 29
2.1.10 Kembang Setaman... 29
2.1.10.1 Mawar ... 29
2.1.10.2 Melati ... 30
2.1.10.3 Kanthil ... 31
2.1.10.4 Kenanga ... 32
2.1.11 Dahan dan Bunga Kapas ... 32
2.1.12 Janur ... 33
2.1.13 Klapa Segandheng ... 34
2.1.14 Daun Turi ... 35
2.2 Makna Peralatan UpacaraSiramanPernikahan ... 36
2.2.1 Siwur ... 36
2.2.2 Konyoh Manca Warna ... 37
2.2.3 Tempayan dari Kuningan... 38
2.2.4 Klenthing ... 39
2.2.5 Bokor ... 40
2.2.6 BatikGrompol ... 41
2.2.9 BatikTruntum ... 43
2.2.10 BatikSido Mukti... 44
2.2.11 BatikSido Asih... 44
2.2.12 BatikCakar Ayam ... 45
2.2.13 BatikSimbar Lintang ... 46
2.2.14 BatikSido Luhur ... 47
2.3 MaknaSesajiUpacaraSiramanPernikahan... 48
2.3.1 Tumpeng Robyong ... 48
2.3.2 Tumpeng Megono ... 50
2.3.3 TumpengAsrep-asrepan... 51
2.3.4 Tumpeng Gundhul ... 52
BAB III PENUTUP ... 54
3.1 Kesimpulan ... 54
3.2 Saran ... 55
DAFTAR PUSTAKA ... 56
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kain Mori ... 19
Gambar 2 KainBangun Tulak ... 20
Gambar 3 Letrek... 21
Gambar 4 Klasa Bangka ... 22
Gambar 5 Daun Beringin ... 23
Gambar 6 Daun Ilalang ... 24
Gambar 7 Daun Mojo ... 25
Gambar 8 DaunDhahap Srep ... 26
Gambar 9 Daun Kluwih ... 26
Gambar 10 Daun Jati ... 27
Gambar 11 Daun Awar-awar ... 27
Gambar 12 Dlingo Bengle... 28
Gambar 13 Londho Merang... 29
Gambar 14 Mawar ... 30
Gambar 15 Melati ... 31
Gambar 16 Kanthil ... 31
Gambar 17 Kenanga ... 32
Gambar 18 Dahan Dan Bunga Kapas ... 33
Gambar 19 Janur ... 34
Gambar 20 Klapa Segandheng... 35
Gambar 21 Daun Turi ... 35
Gambar 22 SiwurBersepuh Emas ... 37
Gambar 23 SiwurBersepuh Perak ... 37
Gambar 24 Konyoh Manca Warna ... 38
Gambar 25 Tempayan dari Kuningan ... 38
Gambar 26 Klenthing ... 39
Gambar 27 Kendhi ... 40
Gambar 30 Batik Grompol ... 42
Gambar 31 Yuyu Sekandang ... 42
Gambar 32 Batik Nogosari ... 43
Gambar 33 Batik Truntum ... 43
Gambar 34 Batik Sido Mukti ... 44
Gambar 35 Batik Sido Asih ... 45
Gambar 36 Batik Cakar Ayam ... 45
Gambar 37 Batik Simbar Lintang ... 46
Gambar 38 BatikSida Luhur ... 47
Gambar 39 Tumpeng Robyong ... 49
Gambar 40 Tumpeng Megono ... 51
Gambar 41 TumpengAsrep-asrepan ... 52
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Pemaknaan Mitos Roland Barthes ... 11
Bagan 2 Ilustrasi Kerja Semiotika Roland Barthes dalam PerlengkapanSiraman. 15
Bagan 3 Ilustrasi Kerja Semiotika Roland Barthes dalam SyaratSiraman... 16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pernikahan selalu menjadi acara yang sakral dan bermakna. Tidak
heran jika setiap pernikahan kerap diikuti berbagai prosesi yang semakin
menegaskan kesakralannya. Pernikahan juga merupakan salah satu momen yang
diabadikan oleh setiap pasangan yang melangsungkan pernikahan (Dewi dkk.,
2011:21).
Di dalam prosesi pernikahan yang digelar di lingkungan kraton selalu
diselipkan piwulang (ajaran) yang tidak kasatmata melalui simbol-simbol
kasatmata. Konsep pernikahan yang diterapkan di dalam lingkungan kraton juga
sarat makna. “Setiap acara selalu ada pakem (aturan) yang harus diikuti, tetapi
terdapat beberapa variasi yang dilakukan. Meskipun terdapat beberapa variasi
yang dilakukan, namun tetap tidak meninggalkan pakem bakunya (Dewi dkk.,
2011:21).
Di dalam rangkaian prosesi siraman pernikahan, terdapat salah satu
upacara pakem, upacara siraman yang harus dilakukan oleh kedua calon
pengantin. Upacarasiraman dilakukan satu hari sebelum palakrama(akad nikah)
dilaksanakan. Setiap daerah memiliki ritual atau upacara tertentu. Tidak semua
daerah, saat mengadakan upacara pernikahan terdapat upacarasiraman.
Penelitian ini hanya memfokuskan pada makna syarat, peralatan, dan
ada di dalamsiramanpernikahan beserta makna dari syarat-syarat tersebut. Untuk
peralatan, di dalam penelitian ini akan mengemukakan makna di dalam peralatan
yang digunakan saat siraman, sedangkan untuk sesaji akan diungkapkan makna
yang terkandung di dalamsesajiyang di gunakan tersebut.
Siramanpernikahan yang terdapat di dalam Kraton Yogyakarta dengan
siramanpernikahan di luar kraton atau secara umum sangat berbeda. Jikasiraman
pernikahan di dalam lingkungan kraton, ubarampēnya (peralatannya) menurut
pakem yang sudah ada sejak zaman dahulu, sedangkan masyarakat umum atau di
luar kraton ada yang mengadakan siraman dan ada juga yang tidak mengadakan
siramandanubarampēnya (peralatannya) sedikit berbeda dengan kraton.
Prosesi siraman di lingkungan Kraton Yogyakarta sangat menarik
karena banyak sekali makna yang bisa didapatkan dari berbagai macamubarampē
untuk siraman. Sebelum prosesi siraman, pengantin wanita harus mengenakan
kebaya tangkeban yang nantinya dilapisi kain mori yang dililitkan sebagai
kemben. Kebaya tangkeban ini merupakan kebaya warisan model kebaya yang
umum dikenakan oleh wanita keturunan kraton di masa lalu.
Upacara siraman pernikahan dalam lingkungan Kraton Yogyakarta
jika dicermati secara mendalam, terdapat makna syarat, peralatan, dansesaji yang
digunakan. Pada zaman Hamengku Buwana IV-VIII, prosesi siraman tertutup
untuk umum. Akan tetapi, sejak zaman Hamengku Buwana IX media massa
(wartawan, Koran) boleh mengikuti jalannya prosesi siraman melalui TV
pemantau saja. Pakem yang digunakan tetap sama namun ada beberapa variasi
menggunakan kamar mandi, namun sekarang menggunakan krobongan yang
berada di luar.
Upacara siraman bertujuan untuk menyucikan calon pengantin baik
secara jasmani maupun secara rohani, karena pada hari berikutnya calon
pengantin akan melaksanakanpalakrama. Secara lahiriah, upacarasiramanbukan
hanya untuk menyucikan badan, tetapi juga mengandung makna bahwa jika
seseorang akan melakukan tugas suci, hendaknya dimulai dengan bersuci lahir
dan batin. Dengan bekal itulah seseorang dapat menyelesaikan tugas dengan baik
karena telah di dasari dengan kesucian jiwa.
Kata siram dan siraman tidaklah asing bagi masyarakat Yogyakarta
karena kata tersebut sering diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Kamus
Basa Jawa (Bausastra Jawa) kata siram dan siraman memiliki arti yang hampir
sama. Kata siram bisa diartikan “adus”. Sedangkan siraman dapat diartikan
guyuranataucurahan.
Jadi, adus dalam bahasa Indonesia disebut mandi. Kata mandi
dijelaskan sebagai tindakan membersihkan tubuh dengan air dan sabun (dengan
cara menyiramkan, merendamkan diri dengan air). Sedangkan, Kata guyuran
dijelaskan sebagai hasil mengguyur dan curahan dapat diartikan sesuatu yang
dicurahkan (seperti hujan); hasil mencurahkan.
Menurut Pringgawidagda (2010) dalam buku Tata Upacara dan
Wicara, Siraman adalah upacara mandi kembang bagi calon pengantin putra
maupun calon pengantin putri sehari sebelum palakrama. Siraman juga disebut
artinya raja, taman artinya tempat tumbuh. Jadi sritaman berarti memilih bunga
khusus (rajanya bunga), yaitu mawar, melati, dan kenanga. Siraman juga disebut
ados pamor. Air mandi yang digunakan untuk siraman adalah perpaduan
(pamoring) air ‘suci’ dari berbagai sumber air yang diwor (dicampur) menjadi
satu. Selain itu, siraman juga merupakan awal pembukaan pamor (aura) agar
wajah calon pengantin tampak bercahaya.
Sebenarnya, zaman dahulu dan zaman sekarang tidak terdapat
perbedaan mengenai upacara siraman pernikahan, Zaman dahulu lebih kaku dan
benar-benar harus sesuai denganpakemnya, juga rakyat tidak bisa ikut menikmati
perayaan agung yang diadakan oleh kraton. Zaman dahulu upacara siraman
dimaknai untuk membersihkan diri baik lahir maupun batin. Namun, pada zaman
sekarang, meskipun masih mengikuti pakem, terdapat beberapa variasi yang
ditambahkan dengan tidak meninggalkan pakem bakunya, sehingga rakyat bisa
melihat serta menikmati perayaan agung tersebut.
Perkembangan makna syarat, perlengkapan, dan sesajiini bagi penulis
menarik untuk diteliti lebih mendalam. Dalam skripsi ini, penulis hanya menulis
makna syarat, perlengkapan, dan sesaji upacara siraman pernikahan dalam
lingkungan Kraton Yogyakarta yang dilihat dari segi mitologi dan dari segi
semiotikanya. Pemilihan ini didasari oleh kenyataan belum adanya studi yang
secara khusus membahas tentang makna syarat, perlengkapan, dan sesaji upacara
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, dapat dirumuskan
permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu:
1.2.1 Apa makna syarat upacara siraman pernikahan di dalam
lingkungan Kraton Yogyakarta?
1.2.2 Apa makna peralatan upacara siraman pernikahan di dalam
lingkungan Kraton Yogyakarta?
1.2.3 Apa makna sesaji upacara siraman pernikahan di dalam
lingkungan Kraton Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1.3.1 Mendeskripsikan makna syarat upacara siraman pernikahan di dalam
lingkungan Kraton Yogyakarta.
1.3.2 Mendeskripsikan makna peralatan upacara siraman pernikahan di
dalam lingkungan Kraton Yogyakarta.
1.3.3 Mendeskripsikan makna sesaji upacara siraman pernikahan di dalam
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian terbagi atas teoretis dan praktis, yaitu:
1.4.1 Manfaat teoretis hasil penelitian ini adalah menambah khazanah
penelitian folklor bukan lisan berdasarkan teori Roland Barthes
dengan menggunakan sebuah kajian semiotika.
1.4.2 Manfaat praktis, hasil penelitian ini mempunyai dua sasaran manfaat
yaitu: sasaran pertama adalah pelajar. Diharapkan skripsi ini dapat
memberikan sumbangan pada ilmu budaya berupa pengetahuan
tentang siraman dalam upacara pernikahan di dalam lingkungan
Kraton Yogyakarta. Sasaran yang kedua adalah pariwisata.
Diharapkan, skripsi ini dapat menjadi sumber informasi dan referensi
dalam pengembangan penelitian di bidang budaya baik bagi
masyarakat luar Yogyakarta maupun masyarakat Yogyakarta sendiri.
1.5 Tinjauan Pustaka
Studi tentang upacara pernikahan sudah banyak dilakukan, namun
untuk upacara siraman pada khususnya belum banyak dilakukan
penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini mengkaji tentang makna syarat, peralatan,
dan sesaji dalam upacara siraman pernikahan di lingkungan Kraton Yogyakarta.
Sejauh ini ditemukan tiga pustaka yaitu Mochtar (1988), Yosodipuro (1996),
Harian Jogja dan Solopos (2011).
Kusni Mochtar, pada tahun 1988, menulis buku yang berjudul
dari kerabat kraton. Dalam bukunya ini, dia menuliskan tentang upacara
pernikahan Kraton Yogyakarta dari zaman Hamengku Buwana VII-IX lengkap
dengan syarat dan sajen yang diperlukan. Dalam Buku ini tidak menjelaskan
secara detail bagaimana jalannya prosesi siraman yang diyakini oleh Kraton
Yogyakarta sebagai penyucian baik lahir maupun batin. Bahasa bukunya lebih
memaparkan hal-hal yang tetap ada pada zaman Hamengku Buwana IX.
Marmien Sardjono Yosodipuro 1996 dalam bukunya yang berjudul
Rias Pengantin Gaya Yogyakarta, menerbitkan buku ini agar masyarakat bisa
lebih mengenal dan mengetahui tentang tradisi budaya sendiri. Marmien Sardjono
di dalam bukunya memaparkan tentang ritual siraman secara mendetail lengkap
dengansesajidan syarat-syaratnya.
Tahun 2011, Harian Jogja dan Solopos menerbitkan buku yang
berjudul Dhaup Ageng Kraton Yogyakarta. Buku ini lebih menjelaskan tentang
pemahaman dan tradisi tata cara pernikahan di dalam Kraton Yogyakarta. Di
dalam buku ini prosesi siraman sudah sedikit banyak dijelaskan, namun
detail-detailnya belum diungkapkan. Tetapi, dari bukuDhaup Ageng Kraton Yogyakarta
ini sudah terlihat dan bisa diketahui seperti apa prosesi siraman pernikahan di
dalam lingkungan Kraton Yogyakarta itu.
Dalam skripsi ini, penulis memaknai ritual siraman pengantin bukan
hanya dari segi fisik, tetapi ingin lebih memaknai ritual siraman pernikahan di
lingkungan kraton dari segi makna tradisi bagi masyarakat. Penulis ingin
memaparkan lebih jauh mengenai makna syarat, peralatan, dan sesaji siraman
ini. Studi ini juga akan dilengkapi dengan observasi dan wawancara terhadap
beberapa orang yang masih termasuk kerabat kraton dan beberapa orang yang
mengetahui upacara siraman pernikahan tersebut. Sehingga akan diperoleh data
tentang makna syarat, peralatan, dan sesaji upacarasiraman pernikahan di dalam
lingkungan kraton.
Upacara siraman pernikahan pernah dibahas, namun pembahasan
mengenai makna syarat, peralatan, dan sesaji upacara siramanpernikahan belum
pernah ada yang membahasnya. Berdasarkan atas tiga tinjauan kepustakaan di atas
tentang kajian makna syarat, peralatan, dan sesaji upacara siraman pernikahan
tersebut, menunjukan bahwa studi pustaka di atas layak dilakukan dalam skripsi
ini.
1.6 Landasan Teori
Sebuah penelitian tidak lepas dari adanya teori-teori. Dalam penelitian
ini, penulis menggunakan teori dari Roland Barthes yang diterapkan dalam
semiotika. Di sini akan diuraikan mengenai hal-hal yang mendasari kajian pada
folklor bukan lisan subkelompok yang material, mencakup dua hal yaitu: (1)
folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan, (2) semiotika Roland Barthes. Dua
hal tersebut akan diuraikan dalam sub-bab dibawah ini:
1.6.1 Folklor Lisan, Sebagian Lisan, dan Bukan Lisan
Kata folklor berasal dari kata majemuk bahasa inggris folklore, yang
lore berarti tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Dengan demikian
definisi folklore secara keseluruhan adalah tradisi kolektif sebuah bangsa yang
disebarkan dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat, sehingga tetap
berkesinambungan dari generasi ke generasi (Dananjaya, 1984:2).
Jika kebudayaan mempunyai tujuh unsur kebudayaan universal, yakni
sistem mata pencaharian hidup (ekonomi), sistem peralatan dan perlengkapan
hidup (teknologi), sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan,
dan sistem religi, maka folklor menurut Jan Harold Brunvand, dapat digolongkan
ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya: (1) folklor lisan (verbal
folklore), (2) folklor sebagian lisan(partly verbal folklore), (3) folklor bukan lisan
(non verbal folklore)(Danandjaja 1984:21).
Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya murni lisan. Yang
termasuk ke dalam kelompok folklor lisan yaitu: (a) bahasa rakyat (folk speech),
(b) ungkapan tradisional, (c) perayaan tradisional, (d) puisi rakyat, (e) cerita prosa
rakyat, dan (f) nyanyian rakyat. Folklor sebagian lisan adalah folklor yang
bentuknya berupa campuran unsur lisan dan bukan lisan. Yang tergolong
kelompok folklor sebagian lisan adalah kepercayaan rakyat. Folklor bukan lisan
adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, namun cara pembuatannya diajarkan
secara lisan. Folklor bukan lisan terbagi menjadi dua subkelompok yaitu: yang
berupa material dan yang bukan material (Danandjaja 1984:21-22).
Di sini akan dibahas mengenai folklor bukan lisan yang material.
Bentuk folklor bukan lisan yang material berupa: arsitektur rakyat (bentuk rumah
perhiasan tubuh adat, makanan, minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional.
Folklor bukan lisan banyak ditemukan di Kraton Yogyakarta, salah satunya adalah
yang akan dibahas di dalam skripsi ini mengenai makna syarat, peralatan, dan
sesajiupacarasiramanpernikahan di dalam lingkungan Kraton Yogyakarta.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hubungan antara bahasa dan mitos
adalah bahasa ada karena bahasa sebagai sarana, alat, atau media komunikasi
antar-kelompok, sedangkan mitos dapat disampaikan melalui bahasa. Jika tidak
ada bahasa, mitos tidak dapat tersampaikan maknanya karena orang-orang tidak
mengetahui makna yang terkandung di dalam mitos. Bahasalah yang melahirkan
simbol-simbol sehingga simbol-simbol tersebut digunakan oleh mitos untuk
menafsirkan makna.
1.6.2 Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes mengatakan bahwa mitos merupakan sistem semiologi
tingkat kedua. Tanda pada sistem yang pertama (penanda dan petanda) yang
memunculkan makna-makna denotatif menjadi sebuah penanda bagi suatu makna
mitologis konotatif tingkat kedua (Barthes, 2011: 161).
Mitos ini masih berupa bahan mentahnya saja, sehingga semua
mitos-mitos yang ada hanya berubah status menjadi bahasa. Di dalam skripsi ini mitos-mitos
atau kepercayaan rakyat akan dibahas bukan hanya sampai pada tingkat kedua
saja, tetapi akan dibahas dari tanda, makna denotatif, dan juga makna
konotatifnya. Barthes memaknai mitos atau kepercayaan rakyat dengan bagan
Bahasa
Mitos
Bagan 1 Pemaknaan mitos Roland Barthes
Sumber: Roland Barthes (2011:162)
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda (tanda denotatif) (3)
terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Namun, pada saat yang bersamaan
penanda konotatif juga merupakan petanda konotatif. Dengan kata lain, bagan di
atas hanya berupa unsur mentahnya saja.
Di dalam konsep bagan pemaknaan mitos Roland Barthes terdapat
penanda dan petanda. Penanda adalah citraan mental dari sesuatu yang bersifat
verbal maupun visual dan digambarkan melalui suara, tulisan, maupun
digambarkan dengan benda. Sedangkan petanda adalah makna yang dihasilkan
dari suatu tanda.
1.7 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
empat tahapan, yaitu: (1) Menggunakan Metode Pengumpulan Data, (2)
Menggunakan Metode Analisis Data, (3) Menggunakan Metode Penyajian Hasil
Analisis Data.
1.7.1 Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan tiga
metode yaitu: a) Dengan studi pustaka, b) Dengan metode wawancara, c) Dengan
metode observasi. Dibawah ini akan diuraikan mengenai metode-metode yang
digunakan di dalam skripsi ini yaitu:
a) Metode Pustaka
Studi pustaka merupakan sebuah metode pengumpulan data yang
bersumber dari buku-buku, majalah-majalah ilmiah, dan sumber-sumber
tertulis lainnya. Peulis melakukan pembacaan-pembacaan terhadap
buku-buku yang bersifat teoretis untuk mendapatkan informasi.
b) Metode Wawancara
Wawancara merupakan salah satu cara mendapatkan informasi
secara langsung. Wawancara mendalam dan dilakukan berulang-ulang
karena tingkat keakuratan datanya akan lebih bisa dipertanggungjawabkan.
Wawancara etnografis merupakan suatu strategi untuk membuat
orang berbicara mengenai hal yang mereka ketahui. Wawancara etnografis
adalah sebagai serangkaian percakapan persahabatan yang di dalamnya
peneliti secara perlahan memasukkan beberapa unsur baru guna membantu
informan memberikan jawaban sebagai seorang informan (Spradley,
Wawancara dilakukan penulis dengan informan yaitu kerabat
kraton dan abdi dalem Kraton Yogyakarta yang mengetahui jalannya
prosesi siraman pernikahan di dalam lingkungan kraton. Penentuan
informan berdasarkan profesi yaitu dari kalangan abdi dalem yang masih
merupakan keluarga kraton maupun dari kalangan masyarakat biasa.
c) Metode Observasi
Observasi berarti meninjau secara cermat. Dalam etnografi,
observasi diartikan sebagai sebuah kegiatan dimana peneliti langsung ke
lapangan untuk meninjau dan melihat secara cermat suatu kebudayaan.
Tujuan observasi adalah untuk memahami pandangan hidup dari sudut
pandang penduduk asli (Spradley, 2007:3).
Observasi dipakai oleh penulis agar penulis dapat melihat dan
mengamati sendiri serta mencatat perilaku dan kejadian yang dialami
olehinforman. Hal ini memungkinkan peneliti mencatat situasi yang
berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh langsung dari data.
Dalam penelitian lapangan, peneliti datang sendiri dan
menceburkan diri dalam suatu masyarakat untuk mendapatkan keterangan
tentang gejala kehidupan manusia dalam masyarakat itu. Di sana, kecuali
dari observasi sendiri ia mendapatkan sebagian besar dari bahan
keterangan dari orang-orang warga masyarakat yang didatangi itu, yang
merupakan orang-orang pemberi keterangan, atau informan.
Seperti diungkapkan Koentjaraningrat tersebut, penulis akan
langsung ke lapangan untuk mengamati perkembangan budaya upacara
siraman pernikahan yang berada di dalam lingkungan Kraton Yogyakarta.
Penulis akan mencari keterangan ke berbagai narasumber secara langsung,
sehingga penulis akan memahami benar upacara siraman pernikahan
dalam budaya masyarakat Yogyakarta dan perkembangan makna syarat,
perlengkapan, dansesajinya.
1.7.2 Metode Analisis Data
Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller dalam Moleong
(2006:2) pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang
dipertentangkandengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif
melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu
dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu.
Untuk itu, pengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga, dst.
Berdasarkan pertimbangan dangkal demikian, kemudian peneliti
menyatakan bahwa penelitian kuantitatif mencakup setiap jenis penelitian yang
didasarkan atas perhitungan presentase, rata-rata, cikuadrat, dan perhitungan
statistik lainnya. Dengan kata lain, penelitian kuantitatif melibatkan diri pada
perhitunganatauangkaataukuantitas.
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk penelitian kualitatif, yaitu
penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah, etnografi, interaksionis simbolik,
kasus, interpretatif, ekologis, dan deskriptif (Bogdan dan Biklen, 1982:3).
Penelitian kualitatif dari sisi definisi lainnya dikemukakan bahwa hal itu
merupakan penelitian yang memanfaatkan wawancara terbuka untuk menelaah
dan memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku individu atau
sekelompok orang (Moleong, 2006:5).
Dalam skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
memanfaatkan wawancara terbuka dengan para narasumber serta menggunakan
teori Roland Barthes mengenai mitos. Berdasarkan pandangan Roland Barthes
mengenai mitos, maka dapat ditarik kesimpulan dari bagan pemaknaan mitos
mengenai upacara siraman pernikahan berdasarkan perlengkapan, syarat, dan
sesaji yang digunakan. Berikut ini ilustrasi yang akan digunakan sebagai dasar
untuk mengungkapkan wujud denotatif dan konotatif dalam upacara siraman
pernikahan.
Bahasa
Mitos
Bagan 2
Ilustrasi Kerja Semiotika Roland Barthes dalam perlengkapanSiraman
1. Penanda
Klenthing
2. Petanda
Tempat air yang terbuat dari tanah liat, bentuknya sama dengan kendi tetapi klenthing tidak ada corongnya Terbuat dari tanah liat, Untuk hajatan yang bersifat baik dan bahagia.
III TANDA
(Tanda Konotatif)
Bahasa
Mitos
Bagan 3
Ilustrasi Kerja Semiotika Roland Barthes dalam SyaratSiraman
Bahasa
Mitos
Bagan 4
Ilustrasi Kerja Semiotika Roland Barthes dalam Sajen Siraman
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Metode penyajian hasil analisis data ada dua tahapan, yaitu: 1) secara
informal, dan 2) secara formal. Tahapan secara informal adalah penyajian hasil
analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:145).
Sedangkan tahapan secara formal adalah tahapan penyajian hasil analisis data
1. Penanda
Mori
2. Petanda
Kain berwarna putih yang sering digunakan untuk membungkus jenasah
Agar calon pengantin selalu ingat akan kematian
1. Penanda
Tumpeng Robyong
2. Petanda
Nasi yang dibentuk kerucut menyerupai bentuk gunung, dan mempunyai ciri khas diujung atas tumpeng terdapat telur, cabai merah, terasi bakar, bawang merah, dan ayam utuh. Serta disekeliling tumpenf dililiti kacang panjang rebus.
hasil analisis data di sini, penulis akan menggunakan tahapan penyajian data
secara formal.
1.8 Sistematika Penyajian
Skripsi ini akan dibagi menjadi tiga bab. Bab I yaitu pendahuluan
sebagai pengantar. Pendahuluan ini berisi tentang latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, landasan
teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab II membahas makna syarat, peralatan, dan sesaji dalam upacara
siraman pernikahan di lingkungan Kraton Yogyakarta, yang dibagi menjadi
beberapa sub-bab. Dalam bab ini akan dijelaskan makna syarat upacara siraman
pernikahan, makna peralatan upacara siraman pernikahan, makna sesaji upacara
siramanpernikahan.
Bab III merupakan penutup. Semua deskripsi yang ada dan disertai
data-data yang sudah dianalisis akan disimpulkan hingga diperoleh suatu
kesimpulan mengenai makna syarat, peralatan, dan sesajidalam upacara siraman
BAB II
MAKNA SYARAT, PERALATAN, DANSESAJIUPACARASIRAMAN
PERNIKAHAN
Pembahasan mencakup tiga aspek, yaitu: 1) makna syarat dalam
upacarasiraman, 2) makna peralatan dalam upacarasiraman, dan 3) maknasesaji
dalam upacarasiraman. Berikut ini akan dibahas satu per satu dari aspek di atas.
2.1 Makna Syarat Dalam UpacaraSiraman
2.1.1 Air Tujuh Sumber
Air tujuh sumber khusus siraman pernikahan di Kraton Yogyakarta
diambil dari tujuh sumur yang terdapat di dalam Kraton Yogyakarta. Tujuh
dari kata pitulungan, yang dalam bahasa Indonesia mempunyai arti
perbuatan atau sesuatu yang dipakai untuk menolong. Orang Jawa zaman
dahulu sangat mempercayai angka-angka ganjil seperti angka 5,7,9, dan 11
karena dipercaya mempunyai makna tersendiri.
Air tujuh sumber ini tidak diambil oleh sembarang abdi dalem kraton.
Di dalam kraton, ada orang yang khusus ditugaskan untuk mengambil air
yang berasal dari tujuh sumur ini. Abdi yang ditugaskan pun tergantung
dari perintah GKR Hemas, namun tetap menggunakan pakem bahwa yang
2.1.2 Kain Mori
Kain mori merupakan kain berwarna putih, yang biasanya digunakan
untuk membungkus jenasah. Namun, ternyata di dalam siramanpernikahan
kain mori bukan hanya sekedar mempunyai kegunaan sebagai pembungkus
jenasah, kain mori digunakan oleh calon pengantin untuk kemben. Dalam
bahasa Indonesiakembenmempunyai arti kain/jarit kecil penutup dada saat
siramanpernikahan.
Kain mori digunakan dalam siraman karena kain mori yang
berwarna putih itu mempunyai makna suci, bersih, dsb. Selain itu, kain
mori yang lazimnya digunakan sebagai pembungkus jenasah itu juga
mengingatkan kepada calon pengantin pada kematian. Dari kain yang suci
dan bersih ini calon pengantin memulai kesucian saat berikrar akan mulai
mengarungi bahtera rumah tangga dan calon pengantin juga kelak akan
berakhir suci pula saat ajal sudah menjemput salah satu calon pengantin ini.
2.1.3 KainBangun Tulak
Bangun tulak disebut juga kain bango tulak. Bangun tulak adalah
sejenis kain dengan motif kuno, yang menurut kepercayaan memiliki daya
tangkal terhadap segala macam gangguan kekuatan gaib yang jahat. Kain
bangun tulak ini berwarna biru dengan warna putih ditengahnya. Tetapi,
ada juga kain bangun tulak yang pinggirnya berwarna merah, hijau, dan
biru.
Bangun tulak merupakan lambang penolak bala. Warna biru
merupakan lambang dari bumi sedangkan warna putih merupakan lambang
dari langit. Bangun tulak juga merupakan salah satu syarat kain yang
digunakan dalamsiraman.
2.1.4 Kliwatan Sembagi
Kliwatan sembagi adalah kain berwarna biru yang digunakan untuk
siraman. Kliwatan sembagi digunakan sebagai alas duduk saat calon
pengantin melakukan siraman. Kliwatan sembagi dipercayai juga
digunakan sebagai penolak bala, agar saat siraman berlangsung bisa
berjalan dengan lancar tanpa suatu halangan apapun.
2.1.5 Letrek
Letrek juga merupakan bagian dari syarat siraman.Letrek berwarna
kuning, mempunyai kegunaan sama dengan kliwatan sembagi dan bangun
tulak. Letrek digunakan sebagai penolak bala yang nantinya akan
digunakan sebagai alas duduk oleh calon pengantin saat siraman
berlangsung.
Warna merupakan perlambang dari apa saja yang ada di dunia.
Letrek bermakna agar manusia di dunia tidak kekurangan sandang dan
pangan. Serta letrek juga bermakna agar manusia di dunia kuat dan tabah
2.1.6 Klasa Bangka
Klasa Bangka merupakan tikar yang dianyam dari daun pandan.
Klasa Bangka ini jauh-jauh hari sudah dipersiapkan karena klasa Bangka
ini tidak membeli, tetapi ada abdi dalem yang khusus di tugaskan untuk
menganyam klasa ini. Klasa Bangka mempunyai makna sebagai
perlambang dunia.
Daun pandan yang digunakan untuk membuat klasa bangka ini
banyak ditemukan di daerah pesisir pantai. Di Yogyakarta banyak sekali
tumbuhan pandan, sehingga jika ingin membuat anyaman dari daun pandan
tidak susah mencarinya.
Gambar 4
2.1.7 Daun-daunan
2.1.7.1 Daun Beringin
Daun beringin digunakan sebagai syarat siraman. Pohon
beringin banyak ditanam di lingkungan Kraton Yogyakarta. Daun
beringin mempunyai makna kokoh dan kuat. Dimaksudkan agar
calon pengantin saat membina rumah tangga agar sekokoh dan kuat
seperti beringin. Diterpa banyak ujian hidup agar bisa mengatasi
meskipun sesulit apapun itu ujian yang diperoleh.
Daun beringin juga memiliki makna semoga calon pengantin
selalu mendapatkan perlindungan (pengayoman) serta dapat
mencapai apa yang di cita-citakan (yang diinginkan). Pohon beringin
berasal dari kataber-ingin, yaitu keinginan.
2.1.7.2 Daun Ilalang
Daun ilalang digunakan sebagai syarat siraman yang
mempunyai makna agar saatsiramanberlangsung tidak ada halangan
suatu apapun. Daun ilalang merupakan tanaman liar yang bisa
tumbuh di tempat manapun. Filosofi yang dapat dipetik dari daun
ilalang adalah nantinya calon pengantin meskipun tinggal dimana
pun bisa bertahan.
Gambar 6
2.1.7.3 Daun Mojo
Mojo adalah tumbuhan yang jika berbuah buahnya seperti
jeruk namun buahnya tidak enak dan sangat pahit. Orang Jawa
mengambil makna dari pohon mojo ini bahwa sepahit-pahitnya
hidup saat calon pengantin menjalani rumah tangga dapat
mengatasinya. Pahit getirnya hidup yang kelak akan dijalani pasti
Dari pahit getirnya hidup yang diibaratkan pada pohon mojo
inilah calon mempelai bisa memetik hikmahnya. Yang digunakan
untuk siraman adalah daun mojonya. Daun mojo juga
melambangkan kekuatan dan kejayaan.
Gambar 7
2.1.7.4 DaunDhadhap Srep
Srep berasal dari kata asrep yang dalam bahasa Indonesia
mempunyai arti sejuk, teduh, dan dingin. Daun dhahap srep
digunakan dalam siraman bermakna agar nanti setelah berumah
tangga, calon pengantin bisa menghadapi semua persoalan dengan
Gambar 8
2.1.7.5 Daun Kluwih
Kluwih berasal dari kata linuwih yang dalam bahasa
Indonesia mempunyai arti yang paling, sangat menonjol/pandai
(dalam ilmu pengetahuan). Daun kluwih juga digunakan sebagai
syarat siraman. Diharapkan agar calon pengantin setelah berumah
tangga agar selalu diberi kelebihan rizky.
2.1.7.6 Daun Jati
Jati berasal dari kata sejati. Pohon jati adalah pohon yang
berdaun lebar, kokoh dan kuat. Dimaksudkan agar calon pengantin
setelah berumah tangga bisa kokoh dan kuat seperti pohon jati.
Meskipun diterpa ujian dan cobaan bertubi-tubi namun calon
mempelai bisa tetap saling memepertahankan rumah tangganya.
Gambar 10
2.1.7.7 Daun Awar-awar
Awar-awar berasal dari kata penawar. Dimaksudkan agar
2.1.8 Dlingo Bengle
Dlingo bengle merupakan dua jenis tanaman yang berbeda
namun merupakan satu kesatuan. Maksudnya adalah jika hanya
digunakan salah satunya seperti dlingo saja atau bengle saja,
khasiatnya akan berkurang. Dlingo bengle ini juga digunakan
sebagai syaratsiraman.Dlingo bengle ini akan ditumbuk kemudian
di tusuk peniti dan disematkan di kain.
Dlingo bengledipercaya berguna sebagai penangkal roh-roh
jahat yang akan mengganggu. Sebagai penolak bala agar terhindar
dari marabahaya.
Gambar 12 Dlingo
2.1.9 Londho Merang
Londho merang lebih dikenal dengan kulit padi. Kulit padi
dalam siraman digunakan sebagai pengganti shampo. Londho
merang dibakar kemudian direndam ke dalam air, setelah direndam
kemudian londho merang disaring dan airnya digunakan untuk
keramas.
Londho merang ini bagus digunakan sebagai ganti shampo
dan juga bagus untuk kesehatan rambut karena alami. Merang ini
nantinya disiramkan ke kepala calon pengantin kemudian
digosok-gosokkan seperti orang keramas.
Gambar 13
2.1.10 Kembang Setaman
2.1.10.1 Mawar
Bunga mawar mempunyai berbagai macam warna, tetapi
yang sering digunakan adalah warna merah muda. Bunga mawar
Mawar berasal dari kata awar-awar ben tawar, maksudnya
buatlah hati menjadi “tawar” tulus.Niat itu harus yang tulus berasal
dari hati dan tanpa pamrih.
Gambar 14
2.1.10.2 Melati
Melati berasal dari kata rasa melad saka njero ati.
Bermakna jika berucap atau berbicara hendaknya mengandung
ketulusan dari dalam hati yang paling dalam. Melati juga
mempunyai makna filosofis yaitu jika bertindak jangan hanya
sesuai dengan keinginan sesaat tapi hendaknya berasal dari dalam
hati (kalbu). Kalbu yang berasal dari kataanteping kalbu.
Bunga melati harum baunya dan berwarna putih. Bunga
melati melambangkan putih, kesucian, dan murni. Selain itu bunga
melati juga melambangkan kesederhanaan seseorang. Harum
Gambar 15
2.1.10.3 Kanthil
Kanthil berasal dari kata kanthi laku tansah kumanthilyang
mempunyai bermakna bahwa manusia itu jika ingin meraih
kesuksesan atau mempunyai keinginan itu tidak cukup hanya
berdoa saja, namun juga diimbangi dengan bekerja keras.
Selain itu kanthil juga memiliki makna tansah
kumanthil-kanthil yang artinya kasih sayang yang tiada terputus. Kathil
mempunyai warna putih juga mempunyai filosofi putih bersih dan
2.1.10.4 Kenanga
Kenanga berasal dari kata keneng-a yang bermakna agar
semua anak turun selalu mengenang warisan leluhur seperti
pusaka, tradisi, kesenian, kebudayaan, dll.
Gambar 17
2.1.11 Dahan dan Bunga Kapas
Pohon kapas merupakan tumbuhan semak yang tumbuh
tidak hanya di Asia, namun pohon kapas juga tumbuh di beberapa
Negara. Bunga kapas serta dahan kapas juga merupakan bagian
dari siraman pernikahan. Dahan dan bunga kapas mempunyai
makna agar calon pengantin selalu hidup sejahtera, lahir batin, dan
Gambar 18
2.1.12 Janur
Janur merupakan bagian penting dari sebuah pernikahan.
Untuk acara siraman pun janur juga digunakan sebagai
hiasan.Janur berasal dari kata Jan dan Nur. Kata Jan mempunyai
makna sejati dan sesungguhnya, sedangkan kata Nur mempunyai
arti cahaya atau petunjuk. Jadi kata janur berarti petunjuk sejati
dari Tuhan Yang Maha Esa.
Janur melambangkan petunjuk sejati kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Calon pengantin berharap agar rumah tangganya kelak
selalu diberi petunjuk serta kemudahan dalam berbagai macam
cobaan hidup.
Bunga Kapas
Dahan Pohon
Gambar 19
2.1.13 Klapa Segandeng
Klapa Segandheng atau biasanya disebut kelapa juga
merupakan bagian dari siraman pernikahan. Segandheng
maksudnya dua buah kelapa yang diikat sabutnya satu sama lain.
Klapa segandheng mempunyai makna agar calon pengantin seia
sekata, selalu terikat tali kasih sayang hingga akhir hayat.
Klapa segandhengjuga bermakna bahwa calon pengantin
mempunyai pikiran yang cerah dan penuh kematangan sehingga
siap dalam mengarungi bahtera rumah tangga ini. Calon pengantin
juga diharapkan agar kelak dapat berguna untuk keluarga dan
masyarakat.
Air dariKlapa Segandhengini juga memiliki makna yang
dan bersih. Air klapa segandheng ini melambangkan calon
pengantin diharapkan suci dan bersih sampai akhir hayat.
Gambar 20
2.1.14 Daun Turi
Pohon turi juga merupakan bagian dari siraman
pernikahan. Pohon turi mengandung makna yaitu berupa harapan
dan petuah yang berasal dari tetua yang memberikan siraman
untuk calon pengantin. Kata turi berasal dari kata ditutur nang
mburi.
Gambar 21
Klapa
2.2 Makna Peralatan Dalam UpacaraSiraman
2.2.1 Siwur
Siwur berasal dari kata sinuwun ing dhuwur. Siwur yang
digunakan dalam siraman berbeda dengan siwur yang digunakan
oleh masyarakat pada umumnya. Siwur yang digunakan untuk
siraman di Kraton Yogyakarta khusus putra/putri dari permaisuri
berasal dari emas asli zaman dahulu, tetapi zaman sekarang hanya
bersepuh emas saja. Sedangkan putra/putri yang berasal dari selir
zaman dahulu menggunakan siwurdari perak asli, sedangkan zaman
sekarang hanya bersepuh perak saja.
Terdapat perbedaan di dalam warna siwur yang digunakan
untuk menyirami calon pengantin laki-laki dan perempuan. Calon
pengantin putri yang berasal dari keturunan kraton maka saat
siraman menggunakan siwur yang bersepuh emas, sedangkan calon
pengantin laki-laki yang bukan berasal dari keturunan kraton dan
juga termasuk orang biasa maka saat siraman menggunakan siwur
Gambar 22 Gambar 23
2.2.2 Konyoh Manca Warna
Konyoh manca warna merupakan lulur atau bedak basah
yang terbuat dari tepung beras dan kencur serta diberi pewarna.
Sesuai dengan kata manca warna, konyoh ini menggunakan lima
macam warna yaitu: merah, kuning, hijau, biru, dan putih.
Disetiap warna-warna tersebut terdapat masing-masing
maknanya. Warna merah melambangkan keberanian, warna kuning
melambangkan harapan atau cita-cita, warna hijau melambangkan
ketaqwaan, warna biru melambangkan kemuliaan, sedangkan warna
putih melambangkan kesucian.
Konyoh manca warna melambangkan kemanunggalan
warna cahaya (pamor) “sarana pembuka aura”, agar berbagai macam
warna cahaya berkumpul menjadi satu. Jika sarana pembuka aura
tersebut sudah berkumpul menjadi satu maka aura tersebut akan Siwur
bersepuh emas
pengantin perempuan menjadi cantik. Secara simbolik, konyoh
manca warna ini bermakna agar segala cahaya yang berupa aura tadi
menyatu di dalam tubuh calon pengantin, sehingga calon pengantin
juga tampak berwibawa dan indah dipandang.
Gambar 24
2.2.3 Tempayan Dari Kuningan
Tempayan dari kuningan ini digunakan sebagai tempat air
tujuh sumber yang nantinya akan ditaburi bunga setaman dan klapa
segandheng. Air tujuh sumber yang mempunyai makna pitulungan
atau pertolongan dalam bahasa Indonesia. Air tujuh sumber,
kembang setaman, dan klapa segandheng ini nantinya digunakan
untuksiramancalon pengantin.
2.2.4 Klenthing
Klenthingterbuat dari tanah liat dan memiliki bentuk seperti
kendhi. Perbedaanya klenthing dan kendhi yaitu jika klenthing itu
memiliki corong namun pendek sedangkan kendhi memiliki corong
namun corongnya agak panjang. Berbeda pula dengan kendil, jika
kendilitu sama-sama terbuat dari tanah liat namun bentuknya seperti
kwali tetapi kecil yang biasa digunakan untuk membuat gudheg, dsb.
Di masyarakat pada umumnya, saat siraman pernikahan
yang digunakan bukan klenthing namun kendhi. Di Kraton
Yogyakarta saat siraman yang digunakan klenthing. Klenthing
dipercayai digunakan untuk acara yang bersifat baik, sedangkan
kendhi untuk acara yang bersifat kematian. Saatsiramanini nantinya
klenthing ini akan di pecahkan oleh Haji tertua yang dipilih oleh
GKR Hemas sendiri sambil mengucapkan Wis pecah pamore(sudah
berakhir masa remajanya).
Gambar 26
Kendhi
Gambar 27
Kendil
Gambar 28
2.2.5 Bokor
Bokor merupakan tempat bunga setaman. Biasanya oleh
masyarakat luar digunakan sebagai tempat cuci tangan. Bokor
Gambar 29
2.2.6 BatikGrompol
Batik grompol merupakan batik yang digunakan sebagai
kembenatau kain bermotif yang dililitkan diseputar badan saat akan
melakukan siraman pernikahan. Batik ini mempunyai makna suatu
pengharapan bahwa calon pengantin dalam kehidupannya akan
diberi banyak keturunan. Biasanya batik yang digunakan sebagai
kemben itu tergantung apa perintah dari GKR Hemas selaku Ratu
dan ibu dari putri yang dinikahkan. Namun, batik yang digunakan
tetap mempunyai makna.
Kata grompol berasal dari kata dompol-grombol. Batik
grompoljuga memiliki makna lain yaitu harapan. Maksudnya bahwa
agar calon pengantin selalu senantiasa diberikan anugrah, agar selalu
hidup tentram, rukun, banyak rizky, diberi banyak keturunan, serta
Gambar 30
2.2.7 Yuyu Sekandang
Kain batik tenun yang berwarna coklat dan bergaris-garis
benang berwarna kuning. Untuk daerah Yogyakarta Batik yuyu
sekandang ini digunakan pada saat acara siraman calon pengantin
sebagai alas tempat duduk. Batik yuyu sekandang ini mengandung
makna harapan. Harapan agar kelak calon pengantin mempunyai
banyak keturunan serta dikaruniai rizky yang berlimpah.
2.2.8 Batik Nogosari
Batik nogosari mempunyai makna kesuburan dan
kemakmuran. Calon pengantin diharapkan agar kelak memiliki
banyak keturunan dan dalam mencari rizky lancar.
Gambar 32
2.2.9 Batik Truntum
Batik truntum berasal dari bahasa Jawa yaitu
teruntum-tuntum yang mempunyai makna tumbuh lagi. Calon pengantin
diharapkan kelak setelah berkeluarga memiliki kehidupan yang
harmonis, penuh kasih sayang baik dengan istri, anak, orang tua,
maupun masyarakat.
2.2.10 Batik Sido Mukti
Sida mukti berasal dari kata sida dan mukti. Kata sida
memili makna jadi atau menjadi, sedangkan kata mukti memiliki
makna bahagia. Jadi, batik sida mukti mempunyai makna agar calon
pengantin selalu diberi kebahagiaan baik dalam keadaan susah
maupun senang.
Gambar 34
2.2.11 Batik Sido Asih
Sido asih dalam bahasa Jawa kata sido adalah jadi atau
terus-menerus, sedangkan kata asih memiliki sayang. Kata sido asih
melambangkan kasih sayang yang terus-menerus. Diharapkan calon
Gambar 35
2.2.12 Batik Cakar Ayam
Batik cakar ayam berasal dari kata cakar dan ayam. Batik
ini memiliki makna filosofi cakar ayam yang melambangkan
semangat hidup manusia yang terus-menerus. Selain itu, batik ini
juga mempunyai makna yang mengandung harapan yaitu, calon
pengantin dapat mencari nafkah sendiri, banyak rizky, banyak anak,
tentram, dan sejahtera sepanjang masa.
2.2.13 Batik Simbar Lintang
Batik simbar lintang ini mempunyai makna hidup yang
kekal pada motif batiknya. Namun di balik itu, batik simbar lintang
memiliki makna simbolik yang mengandung arti suatu harapan dan
kebahagiaan. Calon pengantin diharapkan mendapatkan anugerah
yang berupa kesentosaan, kebahagiaan, makmur sandang pangan,
dan sejahtera selama-lamanya.
Gambar 37
2.2.14 BatikSida Luhur
Batik sida luhur digolongkan ke dalam motif semen. Pola
semen mengkiaskan proses hidup diatas tanah, dimana proses ini
menggambarkan kehidupan. Kata sida luhur berasal dari kata sida
dan luhur. Sida mempunyai arti jadi atau menjadi, sedangkan luhur
mengandung pengertian terpuji, tinggi, serta berwibawa. Di dalam
batiksida luhurini mempunyai lambang bahwa agar calon pengantin
pangkat yang tinggi, suka berbuat adil, mempunyai budi yang luhur,
serta tabah dalam menghadapi segala macam cobaan.
Gambar 38
2.3 MaknaSesajiDalam UpacaraSiraman
Bagi orang Jawa, upacara tradisi selamatan merupakan tradisi yang
sudah dilestarikan dan elekat sampai sekarang. Seiring berjalannya waktu
ada beberapa orang yang sudah melupakan tradisi ini tetapi banyak orang
yang masih melestarikan tradisi yang dimiliki.
Sesaji dalam siraman pernikahan meliputi: tumpeng robyong,
tumpeng megono, tumpeng asrep-asrepan dan tumpeng gundhul. Tumpeng
berbentuk kerucut seperti gunung, tetapi gunung tidak runcing seperti
tumpeng. Tumpeng menurut orang Jawa berasal dari kata yen metu kudu
seng mempeng (bila melakukan sesuatu hal haruslah bersungguh-sungguh).
Tumpeng berbentuk seperti gunung karena orang Jawa percaya bahwa
gunung merupakan tempat tinggal para dewa. Filosofi yang dapat diambil
dari gunung juga bahwa manusia itu jika berjalan harusndungkluk(melihat
2.3.1 Tumpeng Robyong
Tumpeng robyong adalah tumpeng yang digunakan untuk
hajatan yang bersifat bergembira, misalnya pernikahan, khitanan,
dsb. Tumpeng robyong mempunyai ciri khas terdapat cabe merah
dipuncak tumpengnya. Tumpeng robyong dililiti oleh kacang
panjang rebus disekitar tumpeng dan lauk-pauknya berasal dari
gudhangan. Terdapat ayam bakar, terasi bakar,telur rebus utuh, dan
bawang merah utuh.
Tumpeng robyong menggunakan berbagai macam sayuran.
Hiasan tumpeng robyong menyimbolkan variasi manusia yang
bermacam-macam bentuk maupun kepribadiannya. Variasi manusia
tersebut banyak menjadikan perbedaan yang harus disikapi jika
manusia berinteraksi terhadap satu sama lain. Jika tidak menghargai
perbedaan maka akan terjadi konflik. Filsafat hidup orang Jawa
adalah menghindari konflik, dengan cara manusia saling menghargai
sehingga tercipta keharmonisan.
Tumpeng robyong juga menunjukan bahwa hajad mantu
saat itu di robyong-robyong oleh para tetua, sanak saudara, keluarga,
dan handai taulan. Maksudnya di robyong-robyong yaitu dibantu
oleh sanak saudara agar bebannya menjadi ringan. Jadi bisa ditarik
kesimpulan bahwa tumpeng robyong melambangkan kebersamaan
Gambar 39
Pada tumpeng robyong terdapat hiasan yang ditusuk pada
puncak tumpeng yaitu: cabe merah, bawang merah, trasi bakar, telur
rebus, dan kacang panjang rebus. Meskipun hanya hiasan, tetapi
mempunyai makna tersendiri. Cabe merah mempunyai makna bahwa
dilah atau api yang memberikan penerangan serta tauladan yang
bermanfaat bagi orang lain.
Bawang merah mempunyai makna agar calon pengantin
mempertimbangkan segala sesuatu baik buruknya sebelum
melakukan tindakan. Telur rebus mempunyai makna bahwa semua
tindakan yang dilakukan harus direncanakan dengan baik, dikerjakan
sesuai dengan rencana dan dievaluasi hasilnya demi kesempurnaan.
Piwulang Jawa mengajarkan tata, titi, titis, dan tatas yang
mempunyai makna bahwa kerja yang baik adalah kerja yang
Telur juga melambangkan manusia bahwa manusia diciptakan
dengan derajat atau fitrah yang sama, yang membedakan hanya
ketaqwaan dan tingkah lakunya. Sedangkan kacang panjang
bermakna agar kelak calon pengantin bisa berfikiran jauh ke depan
serta bisa berhasil dalam hidupnya.
Kacang panjang yang dililitkan disekeliling tumpeng harus
utuh tanpa dipotong yang mempunyai makna bahwa manusia itu
sebelum bertindak harus berfikir panjang dan kacang panjang juga
melambangkan umur panjang.
2.3.2 Tumpeng Megono
Tumpeng megono merupakan tumpeng yang sama seperti
robyong, namun perbedaan tumpeng robyong dan megono hanya
dari isinya saja. Tumpeng megono tidak terdapat cabai merah kriting
di puncak tumpengnya dan juga tidak menggunakan lilitan kacang
panjang rebus.
Tumpeng megono mempunyai makna bahwa agar orang
yang mengadakan selamatan atau hajatan yang bersifat baik, diberi
kemurahan rizky secara terus-menerus dan diberi keselamatan.
Tumpeng megono juga melambangkan ketaqwaan kepada Tuhan
Gambar 40
2.3.3 TumpengAsrep-asrepan
Tumpeng asrep-asrepan ini juga menggunakan
sayur-sayuran yang sama seperti pada tumpeng robyong dan megono
namun bedanya, tumpeng asrep-asrepan ini tidak ada rasanya.
Rasanya hanya anyep (tidak ada rasanya). Tumpeng asrep-asrepan
mempunyai makna bahwa calon pengantin kelak jika mendapat
berbagai macam cobaan agar bisa saling mendinginkan. Maksud dari
mendinginkan adalah bisa saling mengerti satu sama lain.
2.3.4 Tumpeng Gundhul
Tumpeng gundhul adalah tumpeng yang tidak ada
hiasannya. Tumpeng ini hanya berisi nasi yang dikerucutkan seperti
bentuk gunung dan tidak menggunakan lauk apapun. Serta yang
membedakan tumpeng gundhul dengan tumpeng-tumpeng yang lain
adalah disekeliling tumpeng ini menggunakan jenang baro-baro.
Tumpeng gundhul ini sebagai lambang ketaqwaan manusia Kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam ketaqwaan ini manusia harus
bersih, suci, dan ikhlas.
Jenang abang (jenang merah) lambang darah yang
mempunyai makna keberanian.Jenang putihlambang sungsum yang
bermakna kesucian. Jenang abang putih lambang kama pria dan
wanita yang mempunyai makna harapan kelak calon pengantin
diberi keturunan. Jenang baro-baro (jenang separuh putih separuh
merah) lambang kebahagiaan hidup. Jenang palang lambang kiblat
yang bermakna saudara tidak dapat dipisahkan (kakang kawah, adi
Gambar 42
Jenang abang
putih palang
Jenang putih
abang
Jenang
abang putih
Jenang putih abang palang Nasi putih
Jenang abang
putih baro-baro
Jenang putih
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berikut ini dikemukakan kesimpulan yang ditarik dari hasil penelitian
ini. Kesimpulan berikut sesuai dengan urutan butir permasalahan dalam penelitian
ini sebagaimana terpapar dalam rumusan masalah.
Pertama, berkenaan dengan makna syarat upacara siramanpernikahan
di lingkungan Kraton Yogyakarta. Dalam penelitian ini terdapat berbagai macam
syarat yang harus digunakan untuk upacara siraman. Syarat di sini bersifat
mutlak, karena syarat bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam upacara siraman
ini. Syarat mutlak di sini misalnya air tujuh sumber. Air tujuh sumber mutlak
karena air merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia.
Kedua, berkenaan dengan makna peralatan upacara siraman
pernikahan di lingkungan Kraton Yogyakarta. Dalam penelitian ini, diperoleh
berbagai macam peralatan yang digunakan dan harus ada dalam upacara siraman
pernikahan. Peralatan pernikahan ini sudah digunakan sejak zaman dahulu dan
digunakan secara turun-temurun. Namun, yang sekarang digunakan hanya
duplikatnya saja bukan yang asli. Peralatan yang asli disimpan sebagai benda
pusaka karena usianya yang sudah tua.
Ketiga, berkenaan dengan makna sesaji upacara siraman pernikahan
pernikahan ini juga merupakan warisan turun-temurun sejak zaman dahulu.
Kraton Yogyakarta masih sangat melestarikan dalam menggunakansesaji.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa Pertama, siraman
berdasarkan makna fisik yaitu misalnya kain mori berwarna putih yang
mempunyai makna ideologi untuk mengingatkan manusia bahwa kelak manusia
akan mati, dsb., dan Kedua, kehadiran agama Islam di lingkungan Kraton
Yogyakarta turut mewarnai upacara siraman pernikahan yang terdapat di
lingkungan Kraton Yogyakarta.
3.2
Saran
Dari studi tersebut di atas, penulis menyarankan agar peneliti
selanjutnya dapat mengungkap aspek-aspek seperti: Pengaruh Hindhu atau agama
Islam dalam upacara siraman pernikahan. Hal ini belum terdapat di dalam studi
DAFTAR PUSTAKA
"Adat Istiadat Keraton Ngayogyakarta," Stable URL: http://artwoart.blogspot.com/2008/07/keraton-ngayogyakarta.html. Diunduh: 23/05/2013, 18:30.
---. 1992.Kebudayaan dan Agama.Yogyakarta: Kanisius.
---. 2008.Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak.
“Adat Pengantin Jawa,” Stable URL:
http://anggitawedding.blogspot.com/2012/01/adat-pengantin-jawa.html.Diunduh: 23/05/2013, 18:30.
“Prosesi Acara GKR. Maduretno Dan KPH Purbodiningrat,” Stable URL:
http://artwoart.blogspot.com/2008/07/prosesi-pernikaha-ala-keraton-jogja.html. Diunduh 23/05/2013, 18:30.
“Upacara Perkawinan Jawa,” Stable URL:
http://djonny.sman1prambyog.sch.id/senirupaonline/upacarakawinjawa.htm. Diunduh 23/05/2013, 18:32.
Barthes, Roland. 2011.Mitologi.Yogyakarta: Kreasi Wacana. (Cetakan Keempat, Edisi Revisi).
Berger, Arthur Asa. 2000. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Bratawidjaja, Thomas Wiyasa. 1998. Upacara Perkawinan Adat Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Danandjaja, James. 2002.Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Cetakan keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Depdiknas. 1993. Upacara Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Murni Offset.
Dewi, Astrid Prihartini Wisnu, Pamuji Tri Nastiti, Galih Kurniawan, Wahyu Kurniawan. 2011. Dhaup Ageng Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta: Harian Jogja dan Harian Solopos.
Geertz, Clifford. 1992.Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Hamidin, Aep S. 2012. Buku Pintar Adat Perkawinan Nusantara. Yogyakarta: Diva Press.
Hersatoto, Budiono. 2000. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Hoed, Benny H. 2007. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.
Irmawati, Wahyunah. 2013. Makna Simbolik Upacara Siraman Pengantin Adat Jawa.Surakarta.
Junus, Umar. 1981.Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Çarasvati books.
Koentjaraningrat. 1986.Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif (ed.rev). Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulder, Niels. 2001.Mistisme Jawa.Yogyakarta: Lkis.
Mulyana, Rakhmat. 2000.Komunikasi Antar Budaya. Bandung: Rosdakarya.
Negoro, Suryo S. 2001. Upacara Tradisional dan Ritual Jawa. Surakarta: Buana Raya.
Piliang, Yasraf Amir. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan Matinya Makna. Bandung: Matahari. (Edisi Keempat).
Pringgawidagda, Suwarna. 2003.Siraman. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Sobur, Alex. 2004.Semiotika Komunikasi.Bandung: Remaja Rosdakarya.
Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Diterjemahkan oleh Misbah Zulfa Elizabeth dari judul asli The Ethnographic Interview. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sudaryanto. 1993. Metode dan aneka teknik analisis bahasa: Pengantar penelitian wahana kebudayaan secara linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest (terjemahan). 1996. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sumarsono. 2007.Tata Upacara Pengantin Adat Jawa.Jakarta: Buku Kita.
Suwarno, Drs Pringgawidagda. 2010. Tata Upacara dan Wicara. Yogyakarta: Kanisius.
Tim Balai Bahasa Yogyakarta. 2011. Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa. Yogyakarta: Kanisius. Edisi Revisi.
Utomo, Sutrisno Sastro. 2009. Kamus Lengkap Jawa-Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Widagdho, Joko. 1999.Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumiaksara.