• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANCASILA DALAM PUSARAN GLOBALISASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PANCASILA DALAM PUSARAN GLOBALISASI"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PANCASILA DALAM

(3)
(4)

Prolog

Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H.

PANCASILA

Editor:

Al-Khanif, S.H., LL.M., Ph.D

Mirza Satria Buana, S.H., M.H., Ph.D

Manunggal Kusuma Wardaya, S.H., LL.M

(5)

@CHRM2 UNEJ, LKiS, 2017

xviii + 440 halaman: 15,5 x 23 cm 1. Pancasila 2. Globalisasi

ISBN: 978-602-6610-23-2

Prolog: Prof. Moh. Mahfud MD

Editor: Al Khanif, Mirza Satria Buana, Manunggal Kusuma Wardaya Penyelaras Bahasa: Muhammad Bahrul Ulum

Perwajahan Sampul/Buku: Dwi Agusatya Wicaksana Setting/Layout: Tim Redaksi

Penerbit & Distribusi: LKiS

Salakan Baru No. I Sewon Bantul Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta Telp.: (0274) 387194

Faks.: (0274) 379430 http://www.lkis.co.id e-mail: lkis@lkis.co.id

Anggota IKAPI

Bekerja sama dengan The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember

Cetakan I: 2017

Percetakan: LKiS

Salakan Baru No. I Sewon Bantul Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta Telp.: (0274) 417762

(6)

PENGANT

PENGANT

PENGANT

PENGANT

PENGANTAR EDITOR

AR EDITOR

AR EDITOR

AR EDITOR

AR EDITOR

S

egala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya buku ketiga Pancasila yang didukung penuh oleh Universitas Jember dan the Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember telah berhasil dirampungkan. Kami dari tim editor, Universitas Jember dan CHRM2 tentu senang dengan diterbitkannya buku ini karena kami telah berhasil melewati banyak permasalahan yang mewarnai perjalanan panjang penulisan buku ini. Beberapa tantangan diantaranya terkait pemilihan tema dan proses seleksi artikel yang akan diterbitkan. Hampir setengah tahun tim editor selalu bekerja dan berkoordinasi untuk bisa menyelesaikan penulisan buku ini tepat waktu. Pada akhirnya kami dari tim editor menyepakati tema untuk buku ketiga Pancasila ini adalah “Pancasila Dalam Pusaran Globalisasi.”

(7)

Hungaria, Yunani, Swedia, Jerman, Austria dan Slovakia dengan satu slogan yakni anti imigran.1

Anti imigran yang menjadi kampanye utama dari gerakan ultra-nasionalis menunjukan bahwa “benturan peradaban” seperti yang ditulis oleh Samuel Huttington beberapa dekade silam layak untuk direnungkan. Hal ini disebabkan slogan “anti imigran” yang sekarang banyak berkembang di negara-negara maju sebenarnya juga berkaitan dengan penolakan mereka terhadap Islam dan bukan karena semata-mata alasan imigran. Tentu saja gerakan ultra-nasionalis tersebut menjadi anti-tesis globalisasi yang selama ini didengungkan oleh Barat. Hal ini dikarenakan revivalisme ultra-nasionalis muncul di negara-negara pendukung utama globalisasi dengan tingkat kemampuan ekonomi, pengetahuan demokrasi, pemahaman toleransi, dan pemanfaatan teknologi yang sudah mapan.2 Gerakan ultra-nasionalisme ini secara evolutif mendapatkan respon yang cukup besar di negara-negara mayoritas kulit putih. Oleh karena itu, terpilihnya Donald Trump di Amerika juga menjadi indikasi bahwa kemunculan ultra-nasionalisme di berbagai negara tidak lah berdiri sendiri melainkan sebuah fenomena yang saling berkaitan. Beberapa sebabnya antara lain terkait identitas dan ekonomi nasional, kebijakan pasar, nilai-sosial dan demografi penduduk terutama imigran yang ada di negara-negara Barat.3

Di lain pihak, semangat nasionalisme juga terus tumbuh di negara-negara berkembang dengan dinamika dan kompleksitas yang beragam. Konflik antara perdagangan bebas dan proteksi aset negara, sekularisme vs. fundamentalisme agama, universalisme vs. relativisme hak asasi manusia telah menempatkan diskursus nasionalisme negara-negara berkembang dalam kerangka globalisasi yang kompleks.4 Seringkali pertentangan

1 The New York Times, “Europe’s Rising Far Right: A Guide to the Most Prominent Parties”, N Y Times (13 June 2016), online: <https://www.nytimes.com/interactive/2016/world/europe/ europe-far-right-political-parties-listy.html>.

2 Muhammad Abdul Bari, “Brexit and the spectre of Europe’s ugly nationalism”, (18 June 2016), online: <http://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2016/06/brexit-spectre-europe-ugly-nation-alism-160608110032798.html>.

3 Patali C Ranawaka, “2017 a year of Transition from Globalization to Economic Nationalism”, (1 February 2017), online: <http://www.dailymirror.lk/article/-a-year-of-Transition-from-Globalization-to-Economic-Nationalism-121493.html?fbrefresh=refresh>.

(8)

tersebut menyebabkan pertentangan antara nasionalisme vs. globalisasi di banyak negara berkembang yang mengakibatkan konflik internal negara dan bahkan mengancam keamanan kawasan dan global.

Dalam paparan sejarah dunia, boleh dikata tak seorangpun pengamat yang mampu memprediksi secara presisi bahwa ultra-nasionalisme akan mampu menjungkir balikkan etos integrasi bangsa dan globalisasi. Bahkan proposisi Fransis Fukuyama yang dianggap sangat hebat di awal tahun 1990an juga tidak mampu menjelaskan mengapa ultra-nasionalisme justru mendapatkan panggung kembali di era milenium. Padahal globalisasi dalam sejarahnya telah mampu melakukan rekonsiliasi seperti yang terjadi di Jerman maupun juga menipiskan jarak antar negara khususnya pasca selesainya perang dingin. Diawal abad milenia, Hong Kong kembali berintegrasi dengan Tiongkok daratan. Dunia seolah juga semakin rapat dan borderless terutama setelah rejim internasional terus menekan seluruh negara di dunia untuk memasuki era globalisasi dengan membuka diri khususnya terhadap investasi asing. Sejalan dengan ide tersebut, mereka juga memberlakukan stigma “axis of evil” terhadap negara-negara yang anti globalisasi seperti Iran, Korea Utara dan Tiongkok.

Model Integrasi semacam ini mengakibatkan globalisasi dianggap sebagai sebuah kredo hubungan internasional. Negara-negara yang tidak inklusif terhadap globalisasi seperti Korea Utara, Iran, Tiongkok dan Kuba dianggap sebagai negara yang tidak demokratis dan tidak terbuka. Ketertutupan mereka dianggap berlawanan dengan nilai-nilai global. Mereka adalah negara-negara menyimpang harus dimusuhi oleh semua negara.

Sampai pada akhirnya nilai-nilai dasar globalisasi tersebut justru diruntuhkan oleh para penganjur globalisasi itu sendiri. Salah satu contohnya adalah keterkejutan publik dengan hasil pilihan mayoritas warga Inggris dalam referendum yang mengeluarkan Inggris dari sistem Uni Eropa di awal tahun 2016 lalu. Tentu saja hasil referendum tersebut menjadi indikasi bahwa warga negara Inggris tidak lagi menganggap Inggris sebagai bagian dari Eropa dan tidak seharusnya menanggung semua persoalan ekonomi yang sekarang menghantam kawasan tersebut.

Gejala menguatnya nasionalisme seperti yang terjadi di Eropa maupun di Amerika merupakan gejala global, yang manakala buku ini disusun,

(9)

begitu kuat menampak dan menyeruak. Gejala ini seolah muncul tiba-tiba, namun sebenarnyalah telah lama berkecambah dalam relung masyarakat kelas menengah di negara-negara Barat. Austria dalam pemilu eksekutif tahun lalu juga nyaris dikuasai partai populis-nasionalis. Pemilu Presiden Amerika Serikat 2016 bahkan memberi kejutan dengan terpilihnya sosok Donald Trump yang dikenal anti-keberagaman, anti-imigran dan anti-globalisasi. Sentimen anti-integrasi dan anti-keberagaman juga terasa kuat di Belanda, walaupun pada pemilu parlemen tahun 2017 narasi populisme tersebut dapat dibendung.5 Tentu juga menarik disimak hasil pemilu Perancis dalam beberapa bulan menjelang pemilu tersebut akan menentukan arus utama paradigma Eropa mendatang.

Tantangan nasionalisme sempit juga menjangkiti Indonesia, negara yang disebut-sebut paling demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) se-ASEAN. Gejala nasionalisme sempit yang anti-keberagaman berkembang dan mulai mendapatkan tempat di era Reformasi, dimana keran aspirasi publik mengalir kencang dan cenderung tiada batas. Puncak gunung es nya adalah pada perhelatan pemilu presiden 2014 silam, dimana masyarakat Indonesia terbelah dua; kami dan si liyan (others). Kontestasi pemilu berubah menjadi arena zero sum game. Konsep “others” yang mulai menggejala di Indonesia pasca Reformasi sebenarnya merupakan pengulangan sejarah karena sebenarnya benih-benih ultra-nasionalisme yang membedakan pribumi dan non pribumi telah ada sejak jaman kolonial hingga di awal kemerdekaan. Salah satu indikasinya adalah adanya kelompok-kelompok yang memaksakan kehendak mereka untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam seperti yang dilakukan oleh Mohammad Natsir.6

Pertentangan dengan si liyan bernuasa politis yang sekarang sedang merebak di Indonesia terejawantahkan dalam beberapa isu-isu sensitif seperti perbedaan keyakinan, rapuhnya kohesi sosial antar umat beragama dan tafsir kebenaran sepihak. Isu-isu tersebut jika diabaikan akan dapat menjadi ancaman potensial bagi keutuhan bangsa Indonesia yang majemuk

5 The New York Times, supra note 1.

(10)

dan toleran. Terutama jika intoleransi semacam ini menjadi salah satu slogan kampanye politik untuk menjaring simpati dari masyarakat. Hal ini disebabkan benih-benih intoleransi dan radikalisme sebenarnya masih ada di Indonesia terutama pasca tumbangnya Rejim Orde Baru. Orde Reformasi hanya berhasil menumbuhkan gerakan masyarakat sipil melainkan juga memberikan peluang kepada kelompok-kelompok radikal untuk berkembang di Indonesia.7 Seringkali keduanya terlibat perdebatan di ruang-ruang publik terkait isu moralitas dan toleransi.

Dalam menjawab tantangan-tantangan kontemporer tersebut, peran Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa menjadi sangat relevan untuk membendung paham-paham ekstrim diatas. Namun pertanyaan besar harus mulai diajukan terkait kemampuan Pancasila untuk menjadi penengah dalam kuasa tarik menarik antara globalisasi dengan sentimen ultra-nasionalis yang sedang menguat di Indonesia saat ini. Mungkinkah Pancasila yang katanya Eka Dharmaputra sebagai periuk kosong8 karena hanya memuat pilar kebangsaan dalam lima sila yang sangat sederhana mampu menjawab persoalan besar tersebut? Pertanyaan ini layak untuk diajukan karena Pancasila telah lama dimanipulasi oleh Orde Lama dan Orde Baru. Lalu saat ini Pancasila justru terjebak dalam pusaran globalisasi, ultrasanionalisme dan juga fundamentalisme agama yang kian hari semakin menguat. Tawaran konsep Pancasila sebagai ideologi terbuka justru dimanfaatkan oleh beberapa kelompok untuk menggaungkan intoleransi, menyebarkan paham radikalisme bahkan melakukan terorisme. Oleh karena itu sudah saatnya ada pemikiran untuk menekankan Pancasila sebagai sebuah ideologi yang mampu memediasi dan bergerak lincah menjawab persoalan-persoalan tersebut.

Berdasarkan pemikiran diatas, buku ini diharapkan dapat digunakan oleh para pembaca untuk memahami perubahan sosial politik mutakhir yang berlangsung di aras global. Selain itu, buku ini juga diharapkan dapat memberikan perspektif baru bagi bangsa Indonesia dalam menyiasati ekses

7 Zachary Abuza, Political Islam and violence in Indonesia, 1st ed, Asian security studies (New York: Routledge, 2007) hlm. 67.

8 Al Khanif, Protecting Religious Minorities within Islam in Indonesia: A Challenge for International

Human Rights Law and Islamic Law (SOAS University of London, 2016) [unpublished] hlm. 192.

(11)

perubahan tersebut dalam kehidupan bernegara. Pancasila sebagai ideologi bangsa yang dikaji dari berbagai sudut oleh para penulisnya dalam buku ini diyakini akan menjadi benteng bagi bangsa Indonesia dari kuatnya pusaran globalisasi dan perubahan yang walau tak selalu bermakna negatif, pula berpotensi mengancam keutuhan dan jatidiri sebagai bangsa yang bermartabat.

Jember, 30 April 2017

Editor

Manunggal K. Wardaya, Universitas Jenderal Soedirman

Mirza Satria Buana, Universitas Lambung Mangkurat

(12)

M MM

MMoh. Moh. Moh. Moh. Moh. Mahfud M.D.,ahfud M.D.,ahfud M.D.,ahfud M.D.,ahfud M.D., S.H., (Universitas Islam Indonesia), S.U., (Universitas Gadjah Mada), Dr. (Universitas Gadjah Mada), adalah guru besar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, hakim Mahkamah Konstitusi periode 2008–2013, dan Menteri Pertahanan di era Presiden Abdurrahman Wahid.

M MM

MMurni Hurni Hurni Hurni Hurni Hermawaty Sermawaty Sermawaty Sermawaty Sermawaty Sitanggangitanggangitanggangitanggang, S.Th. (Sekolah Tinggi Alkitab Jember),itanggang M.Th. (Seminari Alkitab Asia Tenggara), adalah pengajar di UPT-BSMKU Universitas Jember.

Anik I Anik IAnik I

Anik IAnik Iftitahftitahftitahftitahftitah, S.H., (Universitas Brawijaya Malang) adalah mahasiswa program pascasarjana Universitas Islam Kediri.

A AA

AAdam Mdam Mdam Mdam Muhshidam Muhshiuhshiuhshiuhshi, S.H., (Universitas Jember), S.AP., (Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi-Lembaga Administrasi Negara, Bandung), M.H., (Universitas Airlangga) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember dan peneliti di The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember.

M MM

MMade Pade Pade Pade Pramonoade Pramonoramonoramonoramono, S.S., (Universitas Gadjah Mada), M.Hum., (Universitas Gadjah Mada), Dr. (Universitas Gadjah Mada) adalah staf pengajar di Universitas Negeri Surabaya.

M MM

MMoch. Choiroch. Choiroch. Choiroch. Choirul Rizaloch. Choirul Rizalul Rizalul Rizalul Rizal, S.HI., (Universitas Islam Negeri Surabaya), M.H., (Universitas Trunojoyo Madura) adalah peneliti di Penal Policy of Initiatives (POINTS).

D

D

D

(13)

Al Khanif Al Khanif Al Khanif Al Khanif

Al Khanif, S.H. (Universitas Jember), M.A. (Universitas Gadjah Mada), LL.M. (Universitas Lancaster), Ph.D. (School of Oriental and African Studies/SOAS Universitas London) adalah pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember, direktur the Centre for Human Rights, Multi-culturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember dan Ketua Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia periode 2017-2019.

Khoir Khoir Khoir Khoir

Khoirul Anamul Anamul Anamul Anamul Anam, S.Thi., (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo), M.A. (Center for Religious and Cross Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada) adalah Editor Media Damai di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

F F F F

Fiska Miska Miska Miska Maulidian Niska Maulidian Naulidian Naulidian Nugraulidian Nugrugrugrugrohoohoohoohooho, S.H., (Universitas Jember), M.H., (Universitas Airlangga) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember dan peneliti di The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember.

D D D D

Dominikus Ratoominikus Ratoominikus Ratoominikus Rato, S.H. (Universitas Jember), M.Si (Universitas Airlangga),ominikus Rato Dr. (Universitas Diponegoro) adalah guru besar dan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember. Fokus keahlian dan penelitiannya adalah hukum adat dan filsafat hukum.

S SS

SSukrukrukrukrukron Mon Mon Mon Mon Maaaaa’’’’’munmunmunmunmun, S.HI., (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo) M.Hum., (Universitas Gadjah Mada) adalah staf pengajar di Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Aktivis muda NU ini pernah mengikuti short course Religious Pluralism di University of California, Santa Barbara, USA; Muslim Exchange Program (MEP) di Australia; Short Course Research Methodology di Western Sydney University, Australia; dan Short Course di English and Foreign Language University (EFLU) Hyderabad, India.

M M M M

Miririririrza Sza Sza Satria Bza Sza Satria Batria Batria Buanaatria Buanauanauanauana, S.H., (Universitas Lambung Mangkurat), M.H., (Universitas Islam Indonesia), Dr. (T.C. Beirne School of Law Universitas Queensland) adalah pengajar di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat.

IIIIIrham Brham Brham Brham Brham Bashori Hashori Hashori Hashori Hashori Hasbaasbaasbaasbaasba, S.HI., (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo), M.H., (Universitas Islam Indonesia) adalah staf pengajar di Universitas Islam Negeri Malang.

D D D D

(14)

Fakultas Hukum Universitas Jember dan peneliti di The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember.

Anwar M Anwar MAnwar M

Anwar MAnwar Masdukiasdukiasdukiasdukiasduki, S.HI., (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta), M.A., (Center for Religious and Cross Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

E EE

EEmanuel Raja Dmanuel Raja Dmanuel Raja Dmanuel Raja Dmanuel Raja Damaituamaituamaituamaituamaitu, S.H., (Universitas Jember), M.H., (Universitas Negeri Sebelas Maret) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Widya Karya Malang.

Ayuningtyas S Ayuningtyas SAyuningtyas S

Ayuningtyas SAyuningtyas Saptariniaptariniaptariniaptarini, S.H., (Universitas Jember) adalah mahasiswa padaaptarini program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember dan pegiat sosial di Mata Timoer Institute Jember.

W WW

WWiwit Kiwit Kiwit Kiwit Kurniawaniwit Kurniawanurniawanurniawan, S.S. (Universitas Muhammadiyah Purwokerto), M.A.,urniawan (Center for Religious and Cross Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada) adalah staf pengajar di Universitas Pamulang dan peneliti di Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

M MM

MMuhammad Buhammad Buhammad Buhammad Buhammad Bahrahrahrul Uahrahrul Uul Uul Uul Ulumlumlumlumlum, S.H., (Universitas Jember), LL.M. (Universitas Osmania) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember dan peneliti di The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember.

H HH

HHayatul Iayatul Iayatul Iayatul Ismiayatul Ismismismi, S.H., (Universitas Riau), M.H., (Universitas Islam Indonesia),smi Dr. (Universitas Padjajaran) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Riau.

R RR

RRosita Iosita Iosita Iosita Iosita Indrayatindrayatindrayatindrayatindrayati, S.H., (Universitas Jember), M.H., (Universitas Airlangga) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember dan peneliti di The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember.

M. I M. IM. I

M. IM. Iwan Swan Swan Swan Swan Satriawanatriawanatriawanatriawanatriawan, S.H., (Universitas Jember), M.H., (Universitas Brawijaya) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

A AA

AAchmadudin Rajabchmadudin Rajabchmadudin Rajabchmadudin Rajab, S.H., (Universitas Indonesia), M.H., (Universitaschmadudin Rajab Indonesia) adalah tenaga fungsional perancang undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

(15)

S SS

SSadhu Badhu Badhu Badhu Bagas Sadhu Bagas Sagas Sagas Sagas Suratnouratnouratnouratnouratno, S.H., (Universitas Jember), M.H., (Universitas Jember) adalah staf di Biro Hukum Pemerintah Daerah Banyuwangi.

Cakra A Cakra A Cakra A Cakra A

(16)

Pengantar Editor → → → → → v Daftar Kontributor → → → → → xi Daftar Isi → → → → → xv

PR PRPR PRPROLOLOLOLOLOGOGOGOGOG

Pancasila sebagai Pijakan Politik dan Ketatanegaraan → → → → → 1 Moh. Mahfud MD

BAB I P BAB I PBAB I P

BAB I PBAB I PANCASILANCASILANCASILANCASILANCASILA, AA, AA, AA, AGAMA DAN GLA, AGAMA DAN GLOBALISASI GAMA DAN GLGAMA DAN GLGAMA DAN GLOBALISASI OBALISASI OBALISASI OBALISASI → → → → → 15

Pancasila, Agama dan Tantangan Globalisasi → → → → → 17 Murni Hermawati Sitanggang

Pancasila versus Globalisasi: Antara Konfrontasi dan Harmonisasi? → → → → → 35 Anik Iftitah

Mengkaji Hak Beragama dalam Sistem Hukum Pancasila → → → → → 51 Adam Muhshi

Spiritualitas Pancasila: Dari Korupsi Spiritual ke Pancaran Intensional Universalitas Nilai-Nilai Pancasila → → → → → 73

Made Pramono

Mediasi Penal dan Pembaruan Hukum Berperspektif Pancasila → → → → → 91 Moch. Choirul Rizal

D

D

D

(17)

BAB II P BAB II P BAB II P BAB II P

BAB II PANCASILANCASILANCASILANCASILA, RADIKALISME DAN IDEOLANCASILA, RADIKALISME DAN IDEOLA, RADIKALISME DAN IDEOLA, RADIKALISME DAN IDEOLA, RADIKALISME DAN IDEOLOGIOGIOGIOGIOGI TRANSNASIONAL

Pancasila: Refleksi Sadar Ideologi sebagai Anti-virus Radikalisme → → → → → 147

Fiska Maulidian Nugroho BAB III P

BAB III P BAB III P BAB III P

BAB III PANCASILANCASILANCASILANCASILA SEBAANCASILA SEBAA SEBAA SEBAA SEBAGAI IDEOLGAI IDEOLOGI INKLGAI IDEOLGAI IDEOLGAI IDEOLOGI INKLOGI INKLOGI INKLOGI INKLUSIF DI ERAUSIF DI ERAUSIF DI ERAUSIF DI ERAUSIF DI ERA GLOBALISASI

Pancasila, Multikulturalisme dan Tantangan Inklusi Sosial → → → → → 215

Mirza Satria Buana

Patriarkhisme Pancasila: Dialektika Perempuan dalam Perumusan Pancasila dan Pembangunan Bangsa Indonesia → → → → → 237

Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana

Menguji Negara Paripurna: Pancasila dan Tantangan Dunia Maya → → → → → 261

BAB IV PANCASILANCASILANCASILA, KEDAANCASILANCASILA, KEDAA, KEDAA, KEDAA, KEDAULULULULAULAAATATTTTAN NEGARA DANAN NEGARA DANAN NEGARA DANAN NEGARA DANAN NEGARA DAN GLOBALISASI

(18)

Pancasila dan Kedaulatan Bahasa dalam Pusaran Globalisasi → → → → → 301

Wiwit Kurniawan

Pancasila dalam Arus Liberalisasi Pangan Pascareformasi → → → → → 317

Muhammad Bahrul Ulum

Menguji Keadilan Pancasila dalam Menjaga Kedaulatan Rakyat atas Tanah → → → → → 337

Hayatul Ismi

BAB BAB BAB

BAB BAB V KEADILV KEADILV KEADILV KEADILV KEADILAN DAN DEMOKRASI PAN DAN DEMOKRASI PAN DAN DEMOKRASI PANCASILAN DAN DEMOKRASI PAN DAN DEMOKRASI PANCASILANCASILANCASILANCASILA DI ERAA DI ERAA DI ERAA DI ERAA DI ERA GLOBALISASI

GLOBALISASI GLOBALISASI GLOBALISASI GLOBALISASI → → → → → 355

Pancasila dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia → → → → → 357

Rosita Indrayati

Purifikasi Pilkada dan Revitalisasi Demokrasi Pancasila di Indonesia → → → → → 371

M. Iwan Satriawan

Solusi Pancasila dalam Pembaharuan Demokrasi Indonesia: Kajian Penyempurnaan Regulasi Pilkada → → → → → 387

Achmadudin Rajab

Menyoal Aktualisasi Pancasila dalam Perspektif Mahkamah Konstitusi → → → → → 405

Sadhu Bagas Suratno

Pancasila di Era Globalisasi: Sebuah Perspektif Ketatanegaraan → → → → → 423

Cakra Arbas

(19)

A

rus global tidak hanya menyangkut ranah sosial, politik, dan budaya, namun juga melibatkan sisi agama sebagai “penyedap” dalam pertempuran ideologi sebagai bungkus kepentingan, baik politik ataupun ekonomi. Kenyataannya agama menjadi sumbu peledak yang paling ampuh untuk memporak-porandakan tatanan politik yang berkeadaban dan menjunjung tinggi moralitas kemanuasiaan.

Persoalan inilah yang nampaknya terjadi dalam dua tahun terakhir belakangan dan memiliki kecenderungan untuk terus menguat. Indikasi yang mampu memberikan gambaran akan terjadinya penguatan adalah adanya kekuatan-kekuataan politik yang mampu memahami karakter masyarakat bangsa, sebagai komunitas yang relijius dan kompromistis terhadap berbagai persoalan.

Gerakan keagamaan transnasional1 juga telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sisitem sosial dan politik bangsa Indonesia, semenjak reformasi tahun 1998 lalu.2 Hal ini tidak bisa dipungkiri mengingat kran kekebasan dalam sistem demokrasi memungkinkan masyarakat untuk bebas berserikat, berkumpul, berpendapat, dan memilih keyakinannya. Sistem

TERK

TERK

TERK

TERK

TERKO

O

O

O

OY

Y

Y

YAK

Y

AK

AK

AK

AK

Sukron Ma’mun

1 Gerakan keagamaan transnasional juga merupakan efek dari globalisasi dalam ranah politik, ekonomi,

(20)

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

rezim politik represif terhadap Islam yang dimainkan Orde Baru telah meledakkan gerakan Islam baik politik maupun keagamaan murni.

Kelompok-kelompok keagamaan yang selama ini “terindimitasi” oleh pemerintahan Orde Baru menyeruak dan mencari eksistensi diri dalam ruang publik yang terbuka. Ekspresi kebebasan ditunjukkan dengan penguatan ideologi, gerakan keagamaan, dan sakralitas ritual. Ideologi-ideologi yang selama ini belum dikenal oleh masyarakat tiba-tiba muncul menjadi idola baru bagi masyarakat yang dimabuk kebebasan.

Ekspresi keagamaan pada masa-masa awal reformasi menunjukkan hal yang bersifat positif, karena mengarah pada bentuk keterbukaan alam demokrasi, dalam berserikat, berpedapat, dan tentunya berkeyakinan. Namun belakangan nampaknya gerakan keagamaan tersebut lambat laun mulai mengkristal untuk menemukan titik kejelasan atau orientasi yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak.

Ali3 menyatakan bahwa gerakan keagamaan di Indonesia dapat dipilah dalam dua bkelompok besar, yakni kelompok mainstream dan non-main-stream. Kelompok gerakan Islam mainstream merujukan pada model gerakan keagamaan yang memiliki akar kuat dalam perjalanan masyarakat Muslim di Indonesia. Gerakan keagamaan ini seperti Miuhammadiyyah, NU, Persatuan Islam Indonesia (Persis) dan Mathlaul Anwar. Sementara gerakan non-mainstream adalah gerakan keagamaan yang tidak memiliki basis kuat dalam perjalanan gerakan di Indonesia, karena berangkat dari gerakan keagamaan transnasional.

Masing-masing kelompok ini masih dapat dipilah-pilah jenis dan modelnya, mengingat beragamannya orientasi yang ingin dicapai dalam pembentukan gerakan tersebut. Gerakan Islam mainstream dengan berbagai anak gerakan sendiri dapat dipilah dalam tiga model, yakni Islam modernis, Islam tradisonalis-konservatif, transformasi Islam, dan Islam fundamentalis.4

2 Lihat M Imdadun Rahmad, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2005) hlm. X. Lihat pula As’ad Said Ali, Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi: Gerakan-gerakan Sosial-Politik dalam Tinjauan Sosialogis (Jakarta: LP3ES, 2013), hlm. vii-xi.

3 As’ad Said Ali, Ibid., 63-144. Baca pula As’as Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa (Jakarta: LP3ES, 2009), hlm. 286-307.

(21)

Sementara kelompok non-mainstream dalam dipilah menjadi dua, yakni kelompok salafi dan non-salafi. kelompok salafi merujuk pada model Islam literal dan kaffah. Sementara non-salafi berusaha mewujudkan cita-cita politik Islam.5

Dalam konteks demokrasi dan kemajemukan Indonesia tentu hal ini sangat wajar terjadi. Adanya pluralitas dalam keyakinan beragama merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan, namun bagaiamana jika pluralitas tersebut mengancam bangunan fundamental dari ideologi besar bangsa yang menjadi penyangga berdirinya bangsa? Pancasila merupakan ideologi bangsa yang menjadi pondasi berdirinya bangsa Indonesia. Ia merupakan hasil perasan dari berbagai ideologi yang tumbuh di Nusantara. jika demikian adanya, pertanyaan selanjutnya adalah akankah sebuah bangsa mampu bertahan dalam ancaman rongrongan yang menggerus kerangka besar bangunannya? Jika ia berpotensi merobohkan imaginasi bersama, bagiamanakah seharusnya diselamatkan?

Konteks Historis Keragaman Ideologi

Konteks Historis Keragaman Ideologi

Konteks Historis Keragaman Ideologi

Konteks Historis Keragaman Ideologi

Konteks Historis Keragaman Ideologi

Secara ideologis Pancasila merupakan hasil dari proses resapan budaya, ajaran, dan nilai-nlai bangsa Indonesia yang sangat plural. Keberagaman budaya dan keyakinan masyarakat Indonesia adalah hasil warisan dan silang budaya yang menjadi bagian dari sejarah Indonesia semenjak berkembang-nya peradaban Nusantara. Posisi silang nan strategis inilah yang menjadikan bangsa Indonesia tumbuh dalam keragaman budaya dan ideologi.

Sartono Kartodirdjo, dalam pengantar buku Denys Lombard,6

menyatakan periodisasi kebudayaan dan ideologi masyarakat Nusantara mengalami tiga periode, yakni Hindu-Budha, Islamisasi, dan Westernisasi. Pengaruh ideologi dan budaya Hindu-Budha mungkin dapat dikatakan sebagai periode cukup lama memberikan pengaruh terhadap cara berfikir masyarakat Nusantara, yakni berlangsung sekirat 14 abad. Pengaruh

5 Kategori salafi dan non-salafi ini ditunjukkan oleh As’ad Said Ali untuk membedakan gerakan

keagamaan non-mainstream yang memiliki orentasi politik dan murni gerakan agama. Meskipun pada gerakan mainstream juga terdapat kelompok non-salafi. lihat Ibid, 73-74.

6 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejara Terpadu, Bagian 1: Batas-Batas Pembaratan

(22)

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

ideologi Islam berlangsung sekitar 7 dan pengaruh ideologi barat dengan varian agamanya berlangsung selama 4 abad.7

Hindu dan Budha yang berasal dari India memberikan warna dalam ideologi Nusantara mulai dari abad ketiga dan keeampat Masehi. Agama yang berasal dari Asia Selatan ini bukan hanya memberikan nuansa religi, tetapi juga memberikan cetak budaya pada masyarakat Nusantara hingga Indonesia modern. “Kontak” Islam dengan penduduk Nusantara disinyalir mulai abad ketujuh Masehi belum mampu memberikan warna ideologi dan budaya masyarakat Nusantara hingga abad ketiga belas Masehi. Artinya tujah abad Islam memasuki wilayah Nusantara namun tidak banyak mem-berikan pengaruh terhadap keyakinan dan kebudayaan Nusantara kala itu.

Sejarah masuknya Islam ke Nusantara yang dimulai abad ke-7 hanya menyentuh wilayah kontak ekonomi, belum merambah pada ranah ideologis dan kebudayaan. Islam baru secara massif menjadi bagian dari keyakinan masyarakat Nusantara dan mampu meberikan warna kebudayaan baru sekitar abad ketiga belas hingga empat belas Masehi. Hal ini ditandai oleh konversi masyarakat Nusantara untuk mengikuti ajaran Islam, serta massifnya intensitas masyarakat Timur Tengah dan India Muslim masuk wilayah Nusantara.

Hingga pada titik itu, Islam secara ideologis dan kebudayaan pada dasarnya belum diikuti secara “kaffah” (totalitas) oleh pemeluk barunya. Bahkan yang terjadi adalah adalah akulturasi kebudayaan antara Islam dan Jawa, yang tentu saja kental dengan budaya Hindu-Budha dan keyakinan animis-dinamis yang sudah ada. Pada proses selanjutnya terjadi sinkretisme ajaran, sehingga menyebabkan model dan praktik keagamaan Islam masyarakat Nusantara menjadi unik.8 Tidak mengherankan banyak model keislaman yang tumbuh dalam masyarakat muslim Nusantara sebagai artikulasi sinkretisme ajaran Islam dengan keyakinan lokal. Hal ini menunjukkan adanya penerimaan terhadap ajaran baru, namun masih kuatnya pengaruh ajaran lama yang telah ada.9

7 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia,

2015), hlm. 57.

8 Martin Van Bruinessen, “Global andLocal in Indonesia lslam” dalam Southeast Asian Studies,

Kyoto: vol 37, No 2, 1999, hlm. 46-63.

9 Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983), hlm. 170. Lihat pula

(23)

Selain diterima Islam sebagai bagian dari ideologi dan kebudayaan baru di Nusantara, masyarakat Nusantara juga memperoleh pengaruh Konghucu yang berasal dari China. Orang-orang China memberikan pengaruh cukup dalam kebudayaan dan ideologi masyarakat Nusantara.10 Lebih dari itu pada perkembangannya etnik China juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem sosial masyarakat Nusantara. Komunitas China dan tentu dengan ideologi dan kebudayaannya menjadi warna tersendiri dalam perkembangan masyarakat Nusantara, yang tersebar di berbagai wilayah.

Kedatangan kaum kolonial Eropa mulai abad 16, beberapa diantaranya adalah Portugis, Inggris, dan Belanda, memberikan pengaruh ideologi dan budaya modern bagi masyarakat Nusantara. Agama Kristen yang awalnya tidak dikenal oleh penduduk Nusantara mulai dikenal dan dikuti. Meskipun datang lebih akhir dibanding dengan ketiga agama sebelumnya, Kristen memberikan warna yang cukup mengingat kolonial Belanda yang memerintah Indonesia mayoritas pemeluk agama Kristen. Meskipun tidak ada pemaksaan agama oleh pemerintahan Hinda Belanda, namun kontak pemerintah dengan penduduk lokal memberikan imbas yang signifikan terhadap keberagaman masyarakat Indonesia pada nantinya.

Kenyataan di atas tentu bukan hal kebetulan belaka, namun sebuah proses sejarah yang berlangsung dalam cukup lama. Keragaman bangsa Indonesia tentu bukan kebetulan semata, namun dialektika dan negosiasi berbagai keyakinan dan budaya terjadi secara intensif. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah proses tersebut berjalan sangat harmonis dan nyaris tanpa perselisihan berarti. Mengapa hal ini dapat terjadi? Menurut Suyanto11 hal ini lebih karena disebabkan oleh karakteristik budaya Jawa yang cenderung religious, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan

1 0Yudi Latif, Negara, hlm. 58.

(24)

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

optimistik. Karakter yang demikian menjadikan masyarakat Nusantara, dengan komunitas etnik Jawa paling dominan, memiliki tingkat keragaman ideologi, budaya, sosial, dan politik. Dengan demikian, keragaman menjadi menjadi hal yang sangat wajar terjadi.

P

P

P

P

Pancasila sebagai I

ancasila sebagai I

ancasila sebagai I

ancasila sebagai I

ancasila sebagai Ideologi B

deologi B

deologi B

deologi B

deologi Bangsa

angsa

angsa

angsa

angsa

Pancasila lahir dalam konteks keragaman budaya dan ideologi masyarakat Nusantara. Ia merupakan konsesus dari berbagai keyakinan dan faham yang telah tumbuh di bumi Nusantara. Bahkan lebih dari itu Pancasila lahir dalam situasi pertarungan ideologi-ideologi besar dunia yang ada kala itu, yakni Liberalisme, Sosialis-Komunisme, Chauvinisme, dan Kosmopolitisme. Pancasila lahir setelah melalui pemikiran matang para pendiri bangsa yang tidak serta merta memunculkan poin-poin dasar (sila) yang lima tersebut.

Pancasila adalah dasar yang menjadi pijakan dalam setiap langka masyarakat bangsa dan tentu sistem pemerintahan dengan berbagai aturannya. Karenanya dalam sejarah penyusunannya ia digodog secara matang, melalui kejernihan fikir dan ketulusan hati. Ia merupakan resapan nilai-nilai fundamental dari kebudayaan, keyakinan atau kepercayaan, dan fasalah (cara pandang) bangsa Indonesia.

Hal yang perlu ditetakkan disini adalah Pancasila bukan sebuah kebetulan belaka, meskipun proses perumusannya terjadi setelah adanya janji kemerdekaan pemerintahan Jepang yang menguasai Indonesia kala itu, tahun 1945. Jepang yang menjanjian kemerdekaan Indonesia sejak September 1944, membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 29 April 1945. BPUPK sendiri mulai melakukan persidangan pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Hal yang mendasar dalam pertemuan tersebut adalah pembicaraan mengenai dasar negara.12

Masing-masing anggota memberikan pandangan mengenai hal-hal dasar yang menjadi landasan bernegara. Beberapa hal mendasar yang dibicara dalam persidangan tersebut adalah pentingnya ketuhanan (agama)

(25)

dalam bernegara, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, demokrasi permusyawaratan, dan nilai-nilai keadilan atau kesejahteraan sosial.13

Masing-masing tokoh memberikan pandangan mengenai dasar negara Republik Indonesia, beberapa diantaranya yang diminta memberi pendangan oleh ketua BPUPK, Radjiman Wediodiningrat adalah Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno.14

Dalam pandangan Muhammad Yamin, ketika berpidato di sidang BPUPK tanggal 29 Mei 1945, lima mendasar dari kehidupan bernegara adalah peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat. Sementara Soepomo yang berkesempatan memberikan pandangan pada 31 Mei 1945 menyatakan lebih abstrak dari gagasan Muhammad Yamin. Soepomo hampir senada dengan Yamin, ia melihat pentingnya prinsip ketuhanan, kemanusaian, persatuan, permusyawaratan dam keadilan/kesejahteraan sebagai fundamen kenegaraan.15 Meskipun Soepomo lebih melihat pentingnya sebuah negara

memiliki falsafah yang mendasar sebagai pondasi kehidupan. Ia juga mengusulkan aliran bagi Indonesia merdeka adalah alirah atau faham integralistik.16

Sementara Soekarno yang mendapatkan kesempatan mengemukakan gagasannya pada tanggal 1 Juni 1945 mengemukakan gagasan yang hampir sama dengan Yamin dan Soepomo. Hanya saja urutannya berbeda, kelima dasar tersebut adalah kebangsaan Indonesia, internasionalisasi atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Soekarno memberikan pandangan yang runut, solidm dan koheren sehingga mampu menyakinkan anggota BPUPK yang berjumlah 69 plus 7 anggota istimewa (Tokubetu Iin) perwakilan pemerintahan Jepang.17

1 3Yudi Latif, Negara, hlm. 10-11.

1 4Ibid. Lihat pula Muhammad Choirul Huda, Meneguhkan Pancasila Sebagai Ideologi Bernegara:

Implementasi Nilai Keseimbangan dalam Pembangunan Hukum, dalam Absori, dkk (ed),

Transendensi Hukum: Prospek dan Implementasi (Yogyakarta: Genta Publishing 2016), hlm. 494.

(26)

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

Pada dasarnya Soekarno sendiri tidak mempersoalkan urutan lima dasar tersebut harus sebagaimana yang ia sampaikan. Ia mempersilahkan urutan tersebut dibuat sesuai dengan kesepakatan. Namun yang lebih penting dari Soekarno adalah dasar-dasar tersebut hendaknya menjadi “dasar falsafah” (philosofische grondslog) atau “pandangan dunia” (weltanschauung) bagi bangsa dan negara Indonesia.18

Soekarno memberikan nama Pancasila yang berasal dari Bahasa Sansekerta. Panca berarti lima dan Sila berarti dasar. Angka lima menurut Soekarno merupakan “angka keramat” yang diyakini oleh bangsa Indonesia. Dalam ajaran Jawa terdapat ajaran etika mengenai larangan “Mo-Limo”. Taman Siswa dan Chuo Sangi memiliki ajaran “Panca Dharma”. Hindu-Jawa memiliki keyakinan kesatria Pandawa Lima. Islam memiliki rukun Islam yang berjumlah lima. Soekarno menyebut lima dasar tersebut dengan asosiasi penggunaan istilah Leitstar atau bintang pemimpin.19

Lima dasar dalam rumusan Pancasila adalah sari pati nilai-nilai kehidupan bangsa yang telah mengakar dalam alam pikir, sikap hidup, cara pandang hidup, dan tindakan masyarakat Indonesia. Sehingga wajar banyak ilmuwan, tokoh, dan pemerhati dunia yang menyatakan bahwa rumusan dalam Pancasila adalah karya agung bangsa Indonesia.

Pancasila merupakan sitensa dan juga antitesa dari berbagai ideologi. Rumusan yang terkadung dalam Pancasila merepresentasikan sebuah imaji besar dari bangsa Indonesia, bahwa Indonesia bukan negara agama, sekuler, ataupun sosialis. Tetapi juga mencerminkan bagaimana rumusan sila-sila di dalamnya merupakan resapan dari nilai-nilai agama, pandangan sosialis dan liberalis. Namun demikian Pancasila bukan ideologi agama, apalagi nilai ideologi sosialis, komunis, dan liberalis.

Latif20 menyatakan sintesa Soekarno akan nilai-nilai ideologi ini dalam rumusan yang sangat tepat. Sehingga Soekarno menyebut sebagai dasar falsafah (philosofische grondslag) dan pandangan dunia (weltanschauung). Sustesa tersebut adalah nasionalisme-islamisme, socio-democratic, dan konseptualisasinya tentang socio-nationalisme dan socio-democratic sebagai asas Marhaenisme.

1 8As’ad Said Ali, Negara, hlm. 17-18. 1 9Ibid.

(27)

Sila pertama ketuhanan menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menyadari bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Sila kemanusiaan merepresentasikan humanitas dan rasa kesamaan terhadap segala entitas ciptaan tuhan. Artinya adalah pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia. Sila persatuan menunjukkan rasa cinta akan kebangsaan. Bangsa sebagai entitas yang satu dalam bingkai keindonesiaan. Sila kerakyatan dan permusyawaratan menujukkan Indonesia merupakan negara demokrasi, bukan monokrasi ataupun teokrasi. Sila keadilan dan kesejahteraan sosial memberikan satu arahan bahwa Indonesia bukan negara kapitalis liberal, namun memperhatikan aspek social dalam membangun masyarakat.

Namun persoalan “ideologi bangsa” ini berhenti atau cukup sampai pada perumusan, nampaknya masih terjadi pertentangan hingga pengesahan Pancasila dengan sila-sila yang kita kenal sekarang. Hingga menjelang kemerdekaan Indonesia masih terdapat tarik ulur yang sengit antara banyak pihak terkait dengan adanya rumusan Pancasila pada sila pertama. Kelompok Islam masih sengit mempertahankan tujuh kata sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta, yakni “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Penambahan tujuh kata ini yang menjadikan pembahasan Pancasila sila pertama mengalami deadlock. Hingga akhirnya terjadi kesepakatan pihak Islam menerima penghilangan tujuh kata tersebut demi kesatuan bangsa Indonesia.

Kemauan pihak Islam ini merupakan indikasi langkah yang sangat luar biasa dalam perkembangan kehidupan beragama di Indonesia. kalangan Nasionalis, yang direpresentasikan oleh Soekarno, mampu menyakinkan kelompok Islam, Muhammadiyyah yang diwaliki oleh Ki Bagoes Hadikoesmo dan NU yang diwakili Wachid Hasjim. Keduanya menerima penghilangan tujuh kata dengan alasan menjaga persatuan bangsa.21

Hingga detik itu Pancasila merupakan dianggap sebagai dasar negara dan kesepakatan bersama, bukan falsafah ataupun ideologi sebagaimana Soekarno inginkan. Meskipun pada dasarnya Soekarno juga tidak terlalu berambisi untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi bangsa untuk

(28)

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

menggantikan ideologi atau keyakinan-keyakinan yang telah ada. Welstanchauung sebagaimana yang dimaksud Soekarno menurut Ali tidaklah sama dengan ideologi, karena secara prinsipal keduanya memiliki perbedaan. Welstanchauung lebih diartikan sebagai pandangan dunia (world view) suatu masyarakat yang terbentuk dan pengalaman bersama dalam batas dan kondisi lingkungan tertentu yang menghasilkan sistem sosiokultural, khususnya nilai-nilai spesifik.22 Sementara ideologi lebih cenderung pada sistem nilai yang bersifat mengikat dan berasal dari ide besar, baik yang bersumber dari alam pikir ataupun wahyu.

Pancasila pada akhirnya menjadi “ideologi bangsa” setelah pada kurun 1945 hingga 1950 mengalami berbagai cobaan dalam sistem politik dan kenegaraan negara muda Indonesia. Adanya kemungkinan tafsir yang disesuaikan dengan kepentingan adalah hal yang tidak terelakan mengenai sila pertama. Misalnya kelomopok nasionalis sekuler melihat makna ketuhanan dalam pengertian sosiologis.23 Ketuhahan tidak terikat pada agama atau netral, sehingga terlihat seolah Islam bukanlah inspirasi perumusan Pancasila. Sementara kalangan komunis berkeinginan lebih jauh, menggati sila pertama dengan kebebasan beragama dan kepercayaan.24

Perdebatan panjang mengenai tafsiran sila pertama ini cukup melegekan setelah beberapa tokoh sepakat untuk melakukan reinterpretasi. Pertama, Pancasila merupakan kompromi politik. Perdebatan di siding BPUPK dan PPKI merupakan bentuk kompromi tersebut. Kedua, lebih dari sekedar kompromi politik atau kontrak sosial, Pancasila merupakan falsafah bangsa atau welstanchauung bangsa Indonesia.25

Bagaimana lantar respon umat Islam? Muhammadiyyah dan Nahdlatul Ulama pada awalnya nampak masih ragu menerima Pancasila sebagai faslafah bangsa. Hal ini terambar dari pidato Mohammad Nasir yang mempertanyakan sumber sila-sila dalam Pancasila. Demikian pula dengan KH Ahmad Zaini yang berasal dari NU.26

2 2As’ad Said Ali, Negara, hlm. 18-19. 2 3Ahmad Syafii Maarif, Islam, hlm. 147. 2 4As’ad Said Ali, Negara, hlm. 26. 2 5Ibid., hlm. 23-24.

(29)

Muhammadiyah dan NU menggagap Pancasila merupakan kompromi politik yang dimaksudkan untuk mendudukan hal yang paling esensial dari proses kehidupan berbangsa yang plural atau multikultur. Kenyataan kehidupan berbangsa yang plural saat itu harus diselamatkan dalam situasi yang kritis dalam masa-masa awal menjelang kemerdekaan.27 Menurut

KH Mustafa Bisri NU sendiri misalnya menerima totalitas Pancasila sebagai asal tunggal setelah melakukan perdebatan panjang, bahkan kemudian menjadi pembela utama Pancasila.28

Terlepas dari perdebatan panjang mengenai Pancasila sebagai falsafah bangsa, Pancasila layak menjadi “ideologi bangsa” untuk menyatukan pikiran, gagasan, dan tindakan semua komponen bangsa. Sebagaimana dikemukakan KH Abdurrahman Wahid,29 Pancasila harus diterima sebagai

ideologi bangsa yang mengikat seluruh kompenen bangsa dalam sila yang lima. Pancasila merupakan bukan sebatas hasil perenungan, lebih dari itu nilai-nilai yang diangkat adat-istiadat, kebudayaan serta nilai-nilai relegius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara.

P

P

P

P

Potr

otr

otr

otr

otret R

et R

et R

et Retak N

et R

etak N

etak N

etak Nusantara

etak N

usantara

usantara

usantara

usantara

Tidak dapat dipungkiri bahwa Pancasila mengalami distorsi yang luar biasa selama rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan presiden Soeharto.

2 7Ibid., hlm. 149.

2 8Pembelaan ini menurut KH Mustofa Bisri dituangkan dalam Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila

dengan Islam yang berjumlah lima poin hasil Musyawarah Nasional (MUNAS) Alim Ulama tanggal 21 Desember 1983. Pertama, Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indone-sia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. Kedua, sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencermkinkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. Ketiga, bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. Keempat, penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. Kelima, sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak. Lihat As’ad Said Ali, Negara, hlm. xxix-xxx. Lihat pula Andree Feillard, NU vis a vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna

(Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 242-245.

2 9Abdurahman Wahid, Pancasila Sebagai Ideologi dalam Kaitannya Dengan Kehidupan Beragama

dan Berkepercayaan Terhadap Tuhan YME, dalam Alfian & Oetojo Oesman, eds. Pancasila Sebagai

Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara (Jakarta:

(30)

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

Pemberlakuan asas tunggal memang bukan sesuatu yang buruk, namun cara mensikapi dan menjadikan Pancasila sebagai bagian dari jiwa bangsa Indonesia yang kurang tepat.

Program pemasyarakatan Pancasila melalui Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dinilai hanya sebuah program tanpa “penghayatan dan pengamalan” sama sekali terhadap Pancasila itu sendiri. Pancasila hanya menjadi jargon, namun tidak menjadi bagian dari hidup terutama bagi kaum elit politik (penguasa). Memang setiap warga negara wajib mengikuti program tersebut untuk mengenalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bernegara. Namun program Penataran P4 seolah hanya rutinitas dan bagian dari cara “pembelengguan” warga masyarakat. Peserta penetaran hanya akan meniru kata-kata sang penatar, tanpa perlu mempertanyakan atau bahkan mengkiritisi. Bertanya, mendebat, atau mengkritisi justru akan menjadi boomerang bagi yang bersangkutan.30

Akibat dari kekurangtepatan memberikan pemahaman terhadap masyarakat akan Pancasila, justru Pancasila menjadi senjata bagi masyarakat untuk melawan negara. Tidak sedikti masyarakat yang secara diam-diam antipasti terhadap Pancasila. Banyak ormas-ormas Islam yang menentang Pancasila sebagai asas tunggal organisasi, bahkan menolaknya.

Pemberlakuan asas tunggal bagi organisasi selama Orde Baru mendapatkan tantangan keras dari berbagai ormas Islam.31 Bagi yang cukup moderat mereka menganggap bahwa Pancasila tidak bisa dijadikan asas untuk kepentingan organisasi, namun bisa menjadi asas bagi negara. Muhammadiyyah dan Nahdlatul Ulama (NU) berada dalam posisi ini. Meskipun keduanya pada akhirnya menerima secara total. Sebaliknya bagi yang secara frontal menolak, mereka tidak bisa mengkompromikannya karena berbagai alasan. Misalnya Pancasila ciptaan manusia, kesepakatan politik, dan penuh kontroversial pada proses pembentukannya. Menerima asas tunggal dikhawatirkan menganggap Pancasila telah menggantikan agama.

Potret paling nyata penolakan terhadap Pancasila sebagai ideologi negara adalah kasus pemberontakan Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia

(31)

(TII) oleh SM Kartosuwiryo. Kartosuwiryo memprokalmirkan diri sebagai imam dari gerakan pemberontakan tersebut dan mendapatkan simpati dan dukungan dari banyak pihak. Kahar Muzakar dan pasukannya menyatakan dukungannya pada tanggal 20 Januari 1952 dan menyatakan diri sebagai bagian dari NII (Negara Islam Indonesia, istilah lain dari Darul Islam/ DI). Kemudian pada tanggal 21 September 1953, Daud Beureueh di Aceh juga menyatakan bagian dari NII Kartosuwiryo. Tahun 1954, Ibnu Hajar dan pasukannya yang bermarkas di Kalimantan Selatan juga menggabungkan diri. Pada akhirnya, gerakan ini berhasil ditumpas oleh militer pro pemerintah dan tidak pernah lagi muncul kecuali melalui

gerakan bawah tanah.32

Setelah adanya gerakan makar itu, disusul oleh gerakan perlawanan terhadap kekuasaan yang dikomandani oleh Partai Komunis Indonesi (PKI)

tahun 1965.33 Sebagai partai komunis PKI boleh dibilang sebagai penolak

keras Pancasila, karena pertentangan dengan asas ideologi dan gerakan dasar dari ideologi komunis. Bukan haya itu, secara deametral PKI bertentangan dengan nilai-nilai dasar dalam Pancasila. Pada puncak gerakan makar yang dilakukan oleh PKI tanggal 30 Spetember 1965, akhirnya gerakan partai komunis ini berhasil dilumpuhkan sebelum akhirnya beralihnya kekauasaan Orde Baru.

Semasa pemerintah orde baru, rezim penguasa juga secara frontal “menyerang” kelompok-kelompok yang menolak asas tunggal sebagai kelompok yang berorientasi pada ideologi Marxist, Lenin, dan Komunis. Meskipun penyerangan ini juga ditujukkan pada ormas dan partai Islam, yang kala itu ditunjukkan pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

(Ismail, 1999:197-199). Menurut Gus Mus34 penolakan bisa dianggap

sebagai subversi oleh Rezim Orde Baru yang sangat membahayakan bagi yang bersangkutan. Mereka akan disebut “PKI”, “ekstrem kanan”, “ekstrim kiri” dan tidak Pancasilais”.

3 2Saifuddin, Radikalisme Islam di Kalangan Mahasiswa; Sebuah Metamorfosa Baru, Analisis, Volume

XI, Nomor 1, Juni 2011, hlm. 22.

3 3Baca Eep Syaifullah Fatah, Penghianatan Demokrasi ala Orde Baru; Masalah dan Masa Depan

Demokrasi Terpimpin Konstitusional (Bandung: Rosdakarya, 2000), hlm. 19.

(32)

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

Akibat dari penolakan ini tentu saja sikap represif pemerintah terhadap kalangan penolak, tidak mengecualikan Islam. Partai politik Islam mengalami masa kemunduran dan organisasi-organisasi Islam ada dalam pengawasan ketat pemerintah. Sikap represif ini mengakibatkan gerakan Islam justru mulai melakukan konsolidasi dan penguatan ideologi yang cukup diriskan pada masa-masa selanjutnya.

Ali35 melihat masyarakat Indonesia letih dengan ideologisasi Pancasila

selama Orde Baru yang hanya terkesan formalis tanpa makna. Tidak mengeherankan jika gerakan Islamist yang melakukan konsolodasi dan penguatan ideologi tiba-tiba meledak pasca reformasi tahun 1998. Penolakan Pancasila sebagai ideologi tunggal menjadi tidak terbendung lagi, bahkan yang lebih parah adalah adanya upaya menggantikan ideologi Indonesia.

Model gerakan, cara pandang, dan sistem yang seragam muncul kepermukaan sebagai bukti konsolidasi penguatan gerakan Islamist di bawah tekanan Orde Baru. Ali36 memberikan contoh bagaimana

alumni-alumni LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab, perguruan tinggi Islam di Indonesia yang merupakan cabang Universitas Imam Muhammad ibn Saud Riyad) yang mengenalkan ideologi salafi ala Arab Saudi kepada mahasiswa-mahasiswanya. Berdirinya LIPIA ini tidak lepas dari peran Nastir dan DDII-nya yang memiliki jaringan dengan Ikhwanul Muslimin Mesir.37 Ali38 menambahkan tidak mengherankan

pecahnya reformasi tahun 1998 kemudian bermunculan gerakan Islam yang memiliki karakter mirip gerakan Ikhwan di Timur Tengah.

Gerakan-gerakan salafi ini kemudian merembes di kota-kota besar terutama di kalangan kaum muda intelektual yang merasa haus akan pengetahuan agama dan spiritual. Kampus-kampus “sekuler” menjadi basis persemaian massifnya gerakan Islamist modern, seperti Institut Teknologi

3 5Ibid., 264.

3 6Ibid., 301-303.

3 7Abd A’la, Sikap Muslim Fundamentalis Indonesia terhadap NKRI Antara Penolakan dan Penerimaan

Setengah Hati, UNISIA, Vol. XXXIII No. 73 Juli 2010, hlm. 59. Lihat juga M. Imdadun

Rahmad, Arus, bagian yang membahas permulaan persinggungan kelompok Islam dengan Ikhwanul

Muslim Mesir.

(33)

Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Universitas Sebels Maret (UNS) Solo, dan kota-kota besar lainnya.

Di kalangan masyarakat luas gerakan Islamist juga mengalami penguatan yang tak kalah kerasnya, kelompok-kelompok radikal yang boleh jadi anti Pancasila melakukan penguatan. Beberapa kelompok gerakan dapat disebutkan adalah MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), Laskar Jihad, FKAWJ (Forum Komunikasi Ahlu Sunnah wa al-jama’ah), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), FPIS (Front Pemuda Islam Surakarta), Hizbullah Sunan Bonang, Laskar Jundullah, dan lain sebagainya.39 Indikasi anti Pancasila

adalah upaya yang massif untuk merongrong kekuasaan dengan dalih pemerintahan thaghut dan kafir. Hal yang paling sederhana juga misalnya terdapat sekolah-sekolah yang berafiliasi dengan gerakan tersebut melarang adanya penghormatan terhadap bendera Merah Putih.

Gerakan ideologi Islamist dengan berbagai variannya muncul baik di lembaga-lembaga pendidikan resmi milik pemerintah, seperti Sekolah-Sekolah Negeri Unggulan, universitas-universitas negeri terbaik di Indonesia. kelompok-kelompok siswa dan mahasiswa mendirikan atau berafiliasi dengan gerakan-gerakan radikal yang anti Pancasila dan bahkan NKRI. Kasinyo Harto40 yang melakukan penelitian di Universitas Sriwijaya

menemukan berbagai gerakan Islamist telah menjadi bagian dari gerakan Mahasiswa di kampus tersebut, seperti Hizbut Tahrir Indonesia, Gerakan Tarbiyah, gerakan Salafi, dan Jamaah Tabligh.

Gerakan-gerakan Islamist ini sebenarnya telah lama menjamur di berbagai kampus besar, sebagaimana disebutkan di atas. Gerakan-gerakan ini memang tumbuh dalam beberapa varian, jika merujuk pada model taksonomi gerakan yang dibuat oleh As’ad Said Ali41 gerakan Islam dapat

3 9Saifuddin, Radikalisme, hlm. 27.

4 0Kasinyo Harto, Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum: Kasus Gerakan Keagamaan

Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang, Jakarta: Balitbag Kemenag RI, 2008.

4 1Secara lebih rinci As’ad Said Ali membagi kelompok mainstream dan non-mainstream dalam

(34)

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

dibedakan menjadi dua, mainstream dan non-mainstream, maka seluruh gerakan tersebut ada di kampus-kampus. Gerakan Islam salafi, non-salafi, Islam konservatif, dan fundamentalis telah tumbuh di lingkungan pendidikan tinggi.

Gerakan-gerakan Islam transnasional ini memang memberikan warna yang cukup signifikan dalam kancah akademik di Perguruan Tinggi. Pluralias atau multiideologi menjadi warna baru yang tidak dapat dipungkiri. Namun sayangnya dari sekian gerakan ada upaya-upaya melemahkan NKRI dan menggerus nilai-nilai Pancasila. Hal ini wajar adanya mengingat gerakan keagamaan ini juga tidak sedikit yang antipasti terhadap Pancasila.

Kasus paling menyolok mata adalah video yang menjadi viral di media massa terkait dengan deklarasi khilafah Islamiyyah di kampus Institut

Pertanian Bogor (IPB) (Januari 2017).42 Kebenaran kasus ini sendiri masih

dalam proses penyelidikan pihak berwenang, polisi. Khilafah adalah sistem negara Islam yang menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai hukum tertinggi dan syariah merupakan sistem terbaiknya. Jika kabar tersebut benar adanya, Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara sedang dikoyak-koyak oleh anak bangsa sendiri. Belum lagi “skandal” politik yang menguras energi bangsa dalam kasus menjelang pilkada DKI. Isu penistaan agama dan kemudian dibumbui oleh sikap-sikap rasial merupakan kasus “ponodaan” terhadap kesepakatan bersama, yang sangat jauh dari nilai-nilai Pancasila.

Terlepas dari hal itu, pasca reformasi “performa” Pancasila sedang mengalami penurunan di mata masyarakat. Menguatnya gerakan syariat dan khilafah di beberapa forum yang diprakarsai oleh gerakan-gerakan Islamist menjadi potret buram perjalanan bangsa Indonesia. Seperti ada upaya yang massif menggerus kebhenikaan Indonesia yang mengarah pada satu tujuan politik tertentu.

jihadi, dan salafi puritan. Dalam taksonomi gerakan keagamaan yang dibuat oleh As’ad Said Ali ini, kelompok salafi merujuk pada kelompok yang cendenrung radikal dalam gerakannya, termasuk terbentuknya Laskar Jihad Ahl Sunnah Wal Jamaah (LJASW) pimpinan Ja’far Umar Thalib. Lihat As’ad Said Ali, Ideologi, hlm. 63-144.

4 2Lihat Berita Satu, Polri Dalami Video Deklarasi Konsep Khilafah di Kampus IPB, sumber: https:/

(35)

M

M

M

M

Mengembalikan P

engembalikan P

engembalikan P

engembalikan P

engembalikan Pancasila

ancasila

ancasila

ancasila

ancasila

Negara Kesatuan Republik Indonesai (NKRI) dan Pancasila adalah harga mati. Pengingkaran terhadapnya adalah sebuah pelanggaran kesepakatan bersama atas nilai-nilai besar yang dibangun oleh para pendahulu. Pancasila bukan hanya sekedar sila-sila yang perlu dihafal, namun juga perlu dihayati, dipahami, serta dipraktikkan dalam keseharian masyarakat bangsa dan negara.

Pobia terhadap Pancasila pasca reformasi merupakan imbas terhadap sikap represif Orde Baru terhadap ormas anti Pancasila dan sikap eksesif terhadap Pancasila. Sikap pobia ini muncul kembali tatkala tahun 2003 dirancang UU keormasan yang di dalamnya terdapat pasal pemberlakuan Pancasila sebagai asas utama organisasi langsung mendapat penentangan kuat. Beberapa ormas yang menolak pemberlakuan “asas tunggal” pun menolak disebut sebagai anti Pancasila.

Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Majelis Az Zikra, dan ormas Islam Persatuan Islam (PERSIS) menolak asas Pancasila wajib ada dalam ormas. HTI menjadi kelompok yang paling keras menolak Pancasila sebagai asas organisasi, bahkan HTI sendiri menolak Indonesia sebagai negara yang sah mengigat cita-cita politiknya khilafah Islamiyyah (Republika, 22/03/ 2013). Alasan penolakan ini didasarkan pada tiga pandangan, sebagaimana ditulisa dalam buku karya Drs. Muhammad Thalib dan Irfan S. Awwas dalam buku “Doktrin Zionisme dan Ideologi Pancasila: Menguak Tabir

Pemikiran Politik Founding Father RI”.43 Pertama teori yang menyatakan

Pancasila berasal dari bumi Indonesia, lahir akibat proses kebudayaan bangsa Indonesia yang beragam, kemudian dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini sejak zaman penjajah Jepang bercokol di Indonesia.

Menurut teori ini, dalam merumuskan Pancasila, Soekarno telah berhasil memadukan aspirasi para pemimpin Islam ketika itu, yang berhasrat menjadikan Islam sebagai ideologi dan dasar negara, dengan cara memasukkan ke-Tuhan-an sebagai salah satu silanya. Dalam ide pokok konsepsi ini, agaknya Pancasila ingin berdiri sebagai wakil kepercayaan

4 3Buku ini dapat diakses secara online di https://taimullah.files.wordpress.com/2012/09/

(36)

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

seluruh umat beragama di negeri ini. Dalam perkembangan berikutnya, penguasa ingin mencari kepastian hukum atas keinginan tersebut, yang pada gilirannya melahirkan doktrin azas tunggal, dengan tujuan pokoknya “Mempancasilakan Umat Beragama”.

K K K K

Keduaeduaeduaedua, teori yang edua, teori yang , teori yang , teori yang menyatakan bahwa Pancasila yang dikemukakan, teori yang oleh beberapa orang pemimpin pergerakan Indonesia di dalam rapat BPUPKI dalam sidangnya pada bulan Juni 1945, adalah pengaruh dari kode moral ajaran Budha yang telah menjadi tuntunan dan tatanan hidup sehari-hari di dalam masyarakat, terutama masyarakat Jawa. Sayangnya pendapat ini sangat lemah, mengingat angka lima dalam Pancasila, sebagaimana dikemukakan Soekarno dalam pidatonya 1 Juni 1945

merupakan angka penting yang ada dalam ajaran Jawa, Hindu, dan Islam.44

K K K K

Ketigaetigaetigaetiga,,,,, teori yang menyatakan baha Pancasila yang digagas olehetiga

Mohamad Yamin, Soepomo, dan Ir. Soekarno adalah terpengaruh akan doktrin zionis yang telah dipropagandakan oleh tokoh-tokoh Freemasonry di Asia pada umumnya, dan Asia Tenggara pada khususnya. Adanya persamaan antara sila-sila Pancasila dengan Khams Qanun Zionis, dan azas-azas ideologi negara yang dikemukakan oleh Nehru di India, Dr. Sun Yat Sen di Cina, Pridi Banoyong di Thailand, dan Andres Bonivasio di Filipina adalah bukti bahwa Pancasila tidak sesuai dengan Islam.

Pancasila nampaknya sulit keluar dari jarum penolakan elemen-elemen bangsa ini yang terlanjur memiliki cara pandang berbeda, namun pengembalian makna dan upaya penyegaran harus terus dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar bangsa ini tidak kehilangan arah dalam melangkah, dan terjebak pada sekterian kelompok-kelompok.

Memang harus diakui bahwa kenyataan keragaman dan pemahaman yang kurang tepat terhadap Pancasila menimbulkan berbagai persoalan, polemik, dan debat. Terlebih secara lebih dalam memaknai Pancasila dimaksudkan untuk menggantikan ideologi atau keyakinan umat beragama akan menambah alasan untuk anti Pancasila.

Untungnya beberapa akademisi dan praktisi melakukan diskusi positif

terkait dengan wacana Pancasila. Ali45 menjelaskan polemik dan debat

4 4Yudi Latif, Negara, hlm. 17.

(37)

tersebut berujung pada empat wacana. Pertama, wacana Pancasila yang dianggap sebagai kontrak sosial dan bukan ideologi. Sebagai kontrak sosial posisinya sama dengan Magna Charta Inggris atau Bill of Right Amerika Serikat. Pancasila tidak mungkin diubah, karena mengubah Pancasila sama dengan mengubah negara. Kedua, wacana Pancasila sebagai ideologi kebangsaan. Pancasila dalam konteks ini diletakkan sebagai identitas kebangsaan dan keindonesiaan, atau ciri kultural masyarakat Indonesia. nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dianggap sebagai nilai yang mampu merekatkan entitas sosial, politik, budaya, dan ekonomi bangsa Indonesia. sebagai ideologi bangsa Pancasila dimiliki oleh semua entitas bangsa yang ada di Indonesia.

Ketiga, wacana mengenai Pancasila sebagai visi bangsa dan negara. Hal yang penting untuk dipahami adalah Pancasila adalah cita-cita bangsa yang hendak diraih, bukan kondisi faktual yang ada. Jika pemahaman diletakkan pada kondisi saat ini maka terlalu banyak nilai-nilai yang dianggap melenceng jauh dari Pancasila. Sehingga kegetiran terhadap kendosi negara yang “kacau” harus dipahami bukan karena Pancasila, namun lebih pada sikap dan perilaku oknum. Keempat, wacana yang meletakkan Pancasila sebagai konsepsi politis dan ideologi negara. Dalam konteks ini Pancasila hanya berlaku pada ruang publik dan domain politik. Ideologi-ideologi yang menjadi doktrin keagamaan menjadi wilayah privat, golongan, atau asosiasi harus dihormati dan diakui oleh negara.

Jika perdebatan atau perbincangan wacana demikian berkembang dengan baik, dengan melepaskan segala prasangka politik dan golongan maka upaya “mengembalikan” atau mendudukan Pancasila sebagai ideologi

bangsa dan negara akan memperoleh hasil yang maksimal. Ali46

mengungkapkan banyak ilmuwan yang melihat di manakah Pancasila didudukan atau dikembalikan sehingga mampu memberikan resapan untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan luhur bangsa Indonesia. Pertama, posisi Pancasila bisa menjadi “kontrak sosial”, “ideologi bangsa”, “konsepsi politik”,

atau “common platform”. Masing-masing akan sangat tergantung pad acara

pandangnya. Namun hal yang membanggakan adalah adanya kejernihan dan ketulusan cara pandang terhadap Pancasila.

(38)

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

Kedua, Pancasila sebagai dasar negara, yang artinya sumber segala hukum. Hal ini sesuai dengan ketetapan MPRS No XX tahun 1966. Namun posisinya ini harus dipahami hukum kenegaraan, bukan hukum agama. Meskpiun masih terdapat hal-hal yang bersifat abstrak dalam Pancasila, sehingga yang menjadi tugas bersama adalah cara Pandang terhadap Pancasila sebagai grundnorm yang tidak kaku. Ketiga, Pancasila sebagai konsesus dasar negara. Pancasila sebagaimana dibahas di atas merupakan produk yang telah diperdebatkan, dinegosiasikan dan akhirnya menjadi kesepakatan bersama. Kesepakatan inilah yang hendaknya menjadikan pijakan bagi elemen-elemen bangsa untuk secara arif melihat kepentingan bersama, bukan ego sektoral etnisitas ataupun agama.

Hal yang menimbulkan polemik dalam konteks pendudukan dan fungsi Pancasila adalah ketika mendudukan Pancasila sebagai ideologi negara yang justru tidak diilhami secara tulus dan tepat oleh penguasa. Sehingga istilah Pancasila hanya “diwiridkan” betul adanya, karena Pancasila hanya didoktrinkan bukan diamalkan. Gambaran sederhana ajaran baik hanya disampaikan, tetapi tidak dilakukan apalagi dcontohkan.

Penting untuk dipikirkan ulang, meskipun sudah menjadi perdebatan lama, bahwa Pancasila harus menjadi ideologi bangsa yang mampu memberikan warna, identitas atau karakter bagi masyarakat bangsa. Nilai-nilai agung (high value) yang diserap dari kebudayaan, tradisi, keyakinan, dan agama-agama yang ada di Nusantara harus ditumbuhkan dan dimaknai secara berkelanjutan. Pemahaman dan kesadaran yang perlu terus dibangun adalah Pancasila tidak menggantikan ideologi atau keyakinan agama, namun ia merupakan warna lain yang memberikan bumbu. Dalam konteks sosio-cultul dan politik Pancasila ada dalam ranah publik, bukan pada area privat.

(39)

D

D

D

D

Daf

af

af

af

aftar P

tar P

tar P

tar Pustaka

tar P

ustaka

ustaka

ustaka

ustaka

A.M.W. Pranaka, Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, Jakarta: CSIS, 1985. Abd A’la, “Sikap Muslim Fundamentalis Indonesia terhadap NKRI Antara Penolakan dan Penerimaan Setengah Hati,” UNISIA, Vol. XXXIII No. 73 Juli 2010.

Abdurahman Wahid, “Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan Kehidupan Beragama dan Berkepercayaan terhadap Tuhan YME, dalam Alfian & Oetojo Oesman, eds., Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: BP-7 Pusat, 1991.

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dan Konstitante, Jakarta: LP3ES, 2006. Andik Wahyu Muqoyyidin, “Dialektika Islam dan Budaya Lokal dalam

Bidang Sosial Sebagai Salah Satu Wajah Islam Jawa”, el Harakah, Vol. 14. No. 1, 2012.

Andree Feillard, NU vis a vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna, Yogyakarta: LKiS, 1999.

As’ad Ali Said, Ideologi Gerakan Pasca Reformasi: Gerakan-Gerakan Sosial-Politik dalam Tinjauan Ideologis, Jakarta: LP3ES, 2013. ______, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbagangsa, Jakarta:

LP3ES, 2009.

Berita Satu, Polri Dalami Video Deklarasi Konsep Khilafah di Kampus IPB, sumber: https://www.youtube.com/watch?v=BqppeNoZluc. Diakses 2 Mei 2017.

Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-Batas Pembaratan,

Jakarta: Gramedia, 1996.

Eep Syaifullah Fatah, Penghianatan Demokrasi ala Orde Baru; Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Bandung: Rosdakarya, 2000.

Kasinyo Harto, Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum: Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang, Jakarta: Balitbag Kemenag RI, 2008.

(40)

Pancasila dalam Pusaran Globalisasi

Martin Van Bruinessen, “Global andLocal in Indonesia lslam” dalam Southeast Asian Studies, Kyoto: vol 37, No 2, 1999.

Muhammad Choirul Huda, “Meneguhkan Pancasila sebagai Ideologi Ber-negara: Implementasi Nilai Keseimbangan dalam Pembangunan Hukum”, dalam Absori, dkk (eds.), Transendensi Hukum: Prospek dan Implementasi, Yogyakarta: Genta Publishing 2016. Saifuddin, “Radikalisme Islam di Kalangan Mahasiswa; Sebuah Metamorfosa Baru”, Analisis, Volume XI, Nomor 1, Juni 2011. Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualisasi

Referensi

Dokumen terkait

Pemaparan di atas sudah cukup menjelaskan pada kita, bahwa hal pertama yang harus diperhatikan untuk memahami peristilahan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an, menurut Abdullah

Tools yang akan digunakan untuk mendukung metode ini adalah analisis SWOT untuk menghasilkan strategi usulan mengenai bisnis internal dan eksternal , Value chain untuk

Pengaruh Ukuran Pemerintah Daerah terhadap Tingkat Pengungkapan LKPD Variabel ukuran Pemda (size) memiliki koefisien –0.005 dengan nilai probabilitas signifikansi

Faktor pendidik dan cara mengajarkannya merupakan faktor yang terpenting dalam menentukan berhasil tidaknya belajar peserta didik. Bagaimana sikap dan kepribadian pendidik,

Pada penelitian awal yang peneliti lakukan terhadap ketiga subjek yang merupakan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, peneliti melihat aspek penerimaan diri

memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mengungkapkan informasi melalui Internet Financial Reporting , nilai perusahaan yang.. tinggi merupakan

Kata ”ABSTRAK” haru s diketik dengan huruf-huruf besar tanpa tanda petik, diletakkan di tengah-tengah kertas berjarak 6 spasi dari pinggir atas pada halaman pertama abstrak.. Kata

tian ini adalah menganalisis pengaruh langsung dan tidak langsung Pengetahuan gizi Ibu, Perilaku Kadar- zi, Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), Riwayat penyakit Infeksi dan