• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENOLAKAN PENGADILAN TERHADAP GUGATAN PERCERAIAN DENGAN ALASAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDI ANALISIS PUTUSAN NOMOR: 666Pdt.G2011PA.Sal) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENOLAKAN PENGADILAN TERHADAP GUGATAN PERCERAIAN DENGAN ALASAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDI ANALISIS PUTUSAN NOMOR: 666Pdt.G2011PA.Sal) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam"

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENOLAKAN PENGADILAN TERHADAP GUGATAN

PERCERAIAN DENGAN ALASAN KEKERASAN

DALAM RUMAH TANGGA

(STUDI ANALISIS PUTUSAN

NOMOR: 666/Pdt.G/2011/PA.Sal)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum Islam

Oleh :

KHALIM MUDRIK MASRUHAN

NIM : 21208003

JURUSAN SYARIAH

PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk

(menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh

habislah lautan itu sebelum habis (ditulis)

kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan

tambahan sebanyak itu (pula)" (Q.S al-Kahfi

109).

PERSEMBAHAN

Untuk ayahku Abdul Rosyad dan bundaku

Khuzaemah yang telah dipanggil oleh-Nya, isteri

dan buah hatiku yang tercinta Muhammad Jangki

Dausat, para guru dan dosen STAIN Salatiga,

saudara-saudaraku, sahabat-sahabat

(7)

vii

KATA PENGANTAR

ميحرنا همحرنا للها مسب

يهعنا للهاب لاا ةىقلاو لىحلا هي دناو ايو دنارىما ًهع هيعتسو ًب و هيمناعنا بر لله دمحنا

مهسو مص مههنا ًنىسرو يدبع ادمحم نا دهشاو ًن ليرشلا يدحو للهالاا ًنالا نا دهشا ميظعنا

هيعمجا ًباحصاو ًنا ًهعو دمحم او ديس ًهع كرابو

.

دعب اما

Alhamdulillah puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan taufiq serta hidayah-Nya, tak lupa shalawat serta salam saya sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari jalan yang gelap menuju ke jalan yang terang, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : “Penolakan Pengadilan Terhadap Gugatan Perceraian dengan Alasan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Analisis Putusan Nomor:

666/Pdt.G/2011/PA.Sal)”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program S-1 Jurusan Syari‟ah, Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.

Penulisan skripsi ini tidak akan selesai bila tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan meluangkan waktunya guna memberikan bimbingan dan petunjuk yang berharga demi terselesainya skripsi ini. Sehingga pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada:

(8)

viii

1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M. Ag selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.

2. Bapak Drs. Mubasirun, M.Ag selaku Kepala Jurusan Syari‟ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.

3. Bapak Ilyya Muhsin, S.HI, M.Si selaku Kepala Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah (AHS) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun dan menyelesaikan skripsi.

4. Bapak Benny Ridwan, M. Hum selaku pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak Drs. H. Umar Muchlisselaku Ketua Pengadilan Agama Salatiga yang

telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian dan bapak Hakim, bapak Panitera, ibu Wakil Panitera dan seluruh pegawai, karyawan dan karyawati Pengadilan Agama Salatiga yang telah membantu selama kegiatan penelitian di Pengadilan Agama Salatiga.

6. Ayahanda Abdul Rosyad, Ibunda Khuzaemah (al marhum, al marhumah) dan istri tercinta yang telah banyak memberi bantuan moral dan spiritual sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Teman-teman semuanya yang telah bersedia memberikan kritik, saran dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(9)

ix

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga amal kebaikannya mendapatkan imbalan setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak kekurangannya, untuk itu diharapkan saran dan kritik untuk kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat khususnya bagi almamater dan semua pihak yang membutuhkannya.

Amiiin yaa rabbal „alamiin.

Salatiga, 5 September 2012

penulis,

(10)

x ABSTRAK

Masruhan, Khalim Mudrik. 2012. Penolakan Pengadilan Terhadap Gugatan Perceraian dengan Alasan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi

Analisis Putusan Nomor: 666/Pdt.G/2011/PA.Sal). Skripsi. Jurusan

Syari‟ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Benny Ridwan, M. Hum

Kata Kunci: Penolakan Pengadilan, Gugatan Perceraian, Kekerasan dalam Rumah Tangga

Penelitian ini merupakan upaya menganalisis putusan Pengadilan Agama Salatiga nomor: 0666/Pdt.G/2011/PA.Sal tentang pengajuan gugatan perceraian dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga tahun 2011, pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah 1) Bagaimana Majelis Hakim dalam menilai alat bukti yang diajukan Penggugat di persidangan yang telah dituangkan dalam putusan tersebut. 2) Apa yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan yang menolak gugatan Penggugat dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga tersebut.

Metode penelitian yang digunakan peneliti untuk menjawab rumusan masalah tersebut diatas adalah menggunakan metode penelitian yurisprudensi yang memfokuskan penelitian pada studi putusan. Adapun pendekatan yang digunakan dengan pendekatan yuridis normatif yakni suatu analisis untuk mengetahui apakah putusan tersebut sudah sesuai dengan undang-undang dan peraturan lain yang berlaku. Teknik pengumpulan data dengan tiga cara, yang pertama wawancara yakni tanya jawab secara lisan terhadap informan dengan berhadapan secara langsung, kedua observasi yang diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan terhadap informasi yang didapat selama melakukan penelitian, ketiga dokumentasi yakni pengumpulan, pemilihan, pengolahan, dan penyimpanan informasi yang berupa catatan, transkip, buku, dan lain sebagainya.

(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………. i

HALAMAN LOGO STAIN SALATIGA...………. ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN ………. iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ……….. v

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN……...……… vi

KATA PENGANTAR...………. vii

H. Sistematika Penulisan ………... 14

BAB II PENERAPAN HUKUM ACARA PERDATA PERADILAN AGAMA DALAM PEMERIKSAAN GUGATAN PERCERAIAN A. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama …...………….. 16

B. Gugatan Perceraian …...… 24

C. Hukum Acara Pemeriksaan Perkara Perceraian …...…… 34

D. Hukum Acara Pembuktian ... 47

(12)

xii BAB III

PRAKTIK PELAKSANAAN HUKUM ACARA

PERDATA PERADILAN AGAMA DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA DALAM MEMERIKSA DAN MENGADILI PERKARA GUGATAN PERCERAIAN

A. Profil Pengadilan Agama Salatiga... 90 B. Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga ……… 101 C. Administrasi Berperkara di Pengadilan Agama

Salatiga...… 106 D. Proses Pemeriksaan pada Perkara Gugatan Perceraian ….... 122 E. Sikap Hakim Terhadap Dalil-dalil Gugatan Penggugat 136

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA YANG MENOLAK GUGATAN PERCERAIAN DENGAN ALASAN KEKERASAN

DALAM RUMAH TANGGA

A. Proses Pemeriksaan Perkara ...….. 138 B. Dasar Hukum Majelis Hakim dalam Menetapkan Putusan 143

BAB V PENUTUP

A Kesimpulan ………... 147 B Saran ………. 149

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tugas pokok Pengadilan Agama sebagaimana dalam

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 pasal 2 adalah “menerima, memeriksa,

mengadili dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya”. Pengadilan Agama dalam memeriksa perkara di persidangan menghasilkan tiga macam yaitu putusan, penetapan dan akta perdamaian. Selain itu, ada pula produk Pengadilan Agama yang bukan merupakan produk sidang tetapi mempunyai kekuatan hukum seperti putusan sebagai akta otentik yaitu akta komparasi dan akta keahliwarisan.

Putusan adalah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan atau kontensius (Arto, 2007:251). Pengadilan Agama melalui Majelis Hakim dalam menerima, memeriksa dan mengadili suatu perkara gugatan atau kontensius diakhiri dengan suatu putusan. Putusan tersebut dapat berupa putusan akhir, putusan sela, putusan gugur, putusan verstek, putusan tidak menerima, putusan menolak gugatan Penggugat, putusan mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dan menolak atau tidak menerima selebihnya dan lain sebagainya.

(14)

dalil-2

dalil gugat tersebut tidak dapat dibuktikan oleh Penggugat dalam persidangan. Tentunya Majelis Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut harus sudah melalui semua tahap pemeriksaan persidangan. Proses pemeriksaan perkara perdata dilakukan melalui beberapa tahap dalam hukum acara perdata, setelah hakim terlebih dahulu berusaha dan tidak berhasil mendamaikan para pihak berperkara. Berkaitan dengan hal tersebut menurut Arto (2007:83), ”tahap-tahap pemeriksaan perkara perdata dalam persidangan adalah pertama pembacaan gugatan, kedua jawaban Tergugat, ketiga Replik Penggugat, keempat Duplik Tergugat, kelima

Pembuktian, keenam kesimpulan, dan yang ketujuh adalah putusan hakim”.

Pembuktian merupakan tahapan pemeriksaan persidangan yang kelima. Pembuktian atau membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di persidangan dalam

suatu persengketaan. Sedangkan menurut Arto (2007:139), “membuktikan

artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum

pembuktian yang berlaku”.

(15)

3

Pemeriksaan persidangan perkara tersebut mulai dari pembacaan gugatan sampai pada tahap pembuktian, Tergugat tidak hadir setelah dipanggil secara sah dan patut. Penggugat juga telah mengajukan alat-alat bukti atau dalil-dalil gugatannya berupa seorang saksi dan salinan putusan Pengadilan Negeri Salatiga nomor: 45/Pid.Sus/2011/PN.Sal, tanggal 12 Oktober 2011.

Disamping akta otentik berupa putusan dan saksi sebagai alat bukti yang diajukan Penggugat, antara Penggugat dan Tergugat juga mengadakan perjanjian perkawinan sebagaimana tercantum dalam Kutipan Akta Nikah Nomor: 240/231/VIII/1996, tanggal 12 Agustus 1996 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, yang isinya sebagai berikut:

Sewaktu-waktu saya:

a. Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut;

b. Atau, saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya;

c. Atau, saya menyakiti badan/jasmani istri saya;

d. Atau, saya membiarkan (tidak meperdulikan) istri saya enam bulan lamanya, kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan, serta diterima oleh Pengadilan tersebut, dan istri saya membayar uang sebesar Rp. 1000,00 (seribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 29 (1) menyebutkan:

(16)

4

Perjanjian perkawinan bukan sesuatu yang wajib ada dalam perkawinan, namun apabila perjanjian taklik talak sudah dibuat maka perjanjian tersebut tidak dapat dicabut kembali. Hal ini sesuai dengan pasal

46 (3) Kompilasi Hukum Islam yang isinya sebagai berikut, “Perjanjian

taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat

dicabut kembali” (Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam,

2001:328).

Mengenai Hukum Acara Perdata Islam, pengajuan alat bukti diatur dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 282 yang bunyinya :







Artinya, “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu) (Q.S, al-Baqarah:282)”.

Surat ath-Thalaq ayat 2 :

(17)

5

Artinya, “Bayyinah itu diwajibkan kepada Penggugat dan sumpah itu

diwajibkan kepada orang yang mengingkari”. (H.R, Baihaqi dan Thabarani)

(Sabiq, 1987:42).

Secara bahasa lafal bayyinah dalam hadits tersebut berarti hujjah (argumentasi), atau burhan (tanda bukti). Sedangkan menurut istilah para

fuqoha, bayyinah adalah segala sesuatu yang diusahakan oleh Penggugat

untuk membenarkan gugatannya dalam memperoleh keputusan yang diharapkan, sehingga bayyinah itu merupakan syarat mutlak untuk memperkuat suatu gugatan.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang penelitian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah pertama bagaimana Majelis Hakim dalam menilai alat bukti yang diajukan Penggugat di persidangan yang telah dituangkan dalam putusan tersebut ? Kedua apa yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan yang menolak gugatan Penggugat dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga tersebut ?

C. Tujuan Penelitian

(18)

6

1. Untuk mengetahui Majelis Hakim menilai alat bukti yang diajukan Penggugat di persidangan yang telah dituangkan dalam sebuah putusan. 2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan

yang menolak gugatan Penggugat dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga.

D. Kegunaan Penelitian

Agar tulisan ini dapat memberikan hasil yang berguna secara keseluruhan, maka penelitian ini sekiranya dapat memberikan manfaat diantaranya:

1. Teoritis

Memberikan sumbangsih terhadap kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya yang memiliki kaitan dengan gugatan perceraian sehingga dapat mengungkap permasalahan-permasalahan yang saling berhubungan erat (inherent) di dalam proses pembaharuan hukum.

2. Praktis

a. Bagi masyarakat

(19)

7 b. Bagi Pengadilan Agama

Memberi masukan tentang perkembangan aspirasi dan kebutuhan hukum yang terus berkembang dalam masyarakat tentang gugatan perceraian.

c. Bagi STAIN Salatiga

Memberi masukan kepada akademik tentang masalah hukum kekeluargaan (ahwal al-syakhshiyyah) yang memiliki banyak perkembangan dalam masyarakat sehingga menarik untuk dimasukkan sebagai kurikulum yang nantinya dapat memenuhi kebutuhan dalam masyarakat serta menunjang pembaharuan hukum dari hasil penemuan-penemuan di lapangan.

d. Bagi Penulis

Menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola berpikir serta pemenuhan pra-syarat dalam menyelesaikan pembelajaran ilmu hukum Islam dalam bidang hukum keluarga

(ahwal al-Syakhshiyyah) pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

(STAIN) Salatiga. E. Penegasan Istilah

Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penafsiran yang berbeda dengan maksud utama penulis dalam penggunaan kata pada judul, maka perlu penjelasan beberapa kata pokok yang menjadi inti penelitian.

(20)

8

1. Penolakan pengadilan adalah gugatan yang diajukan oleh Penggugat ke pengadilan dalam putusan akhir yang dijatuhkan setelah menempuh semua tahap pemeriksaan, dalil-dalil gugat tidak terbukti (Mardani, 2009:120).

2. Gugatan Perceraian adalah surat-surat yang diajukan oleh Penggugat kepada Ketua Pengadilan Agama yang berwenang yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak yang berkaitan perceraian.

3. Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah suatu bentuk penganiayaan

(abuse) secara fisik maupun emosional atau psikologis yang merupakan

suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga (Awwalin, 2005:21)

F. Tinjauan Pustaka

Penolakan Pengadilan Terhadap Gugatan Perceraian dengan Alasan Kekerasan dalam Rumah Tangga(Studi Analisis Putusan Nomor: 666/Pdt.G/2011/PA.Sal) belum pernah diangkat menjadi skripsi. Meskipun demikian peneliti menemukan judul skripsi yang memilki kaitan dengan masalah gugatan perceraian yaitu :

(21)

9

terhadap istri dalam rumah tangga, pandangan Hukum Islam tentang kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga, data perkara perceraian yang dikabulkan gugatannya di Pengadilan Agama Salatiga antara tahun 1999-2001 dengan alasan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga.

2. Khulu’ Sebagai Penyebab Putusnya Perkawinan (Studi Kasus di

Pengadilan Agama Salatiga 2004-2005) oleh Wiwien Tri Haryono dengan fokus penelitian membahas tentang hukum dan syarat talak, pengertian perceraian, macam-macam talak khulu‟, kasus perceraian dan

sebab khulu‟ di Pengadilan Agama Salatiga, putusnya perkawinan karena

khulu‟.

3. Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga (Studi Komparatif Terhadap Hukum Islam dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004) oleh Fithri Awwalin fokus pembahasannya adalah pengertian kekerasan dalam rumah tangga, latar belakang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, bentuk-bentuk kekerasan dalam perspektif Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 dan Hukum Islam, akibat hukum tindakan kekerasan yang dilakukan.

(22)

10

proses penyelesaian perkara dengan alasan pelanggaran taklik talak, data perceraian yang disebabkan pelanggaran taklik talak.

Berbeda dengan skripsi-skripsi yang sudah ada, disini penulis menfokuskan pada dasar hukum penolakan Pengadilan Agama terhadap gugatan perceraian dengan alasan adanya kekerasan dalam rumah tangga, membahas hukum acara peradilan Agama, tentang alat-alat bukti atau dalil-dalil gugatan dan pertimbangan khusus apa yang digunakan oleh hakim dalam menetapkan putusan.

G. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akurat, penulis menggunakan metode penelitian yang diantaranya adalah:

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian a. Pendekatan

Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum normatif

(yuridis normatif). Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yaitu

metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Dalam penelitian ini yang akan dicari terkait dengan putusan perceraian.

b. Jenis Penelitian

(23)

11

menggambarkan semua hal yang berkaitan tentang penolakan pengadilan terhadap gugatan perceraian di Pengadilan Agama Salatiga 2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan oleh penulis di Pengadilan Agama Salatiga Jl. Lingkar Selatan, Kelurahan Cebongan, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga. Penulis memilih lokasi tersebut karena Pengadilan Agama Salatiga yang dalam tugas pokoknya menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, termasuk di dalamnya gugatan perceraian. Disamping itu penulis mempunyai pertimbangan lain penelitian ini dilakuan di Pengadilan Agama Salatiga yaitu untuk mengatahui sejauh mana antara teori dan praktik pelaksanaan undang-undang dan peraturan tentang Peradilan Agama.

3. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu: a. Informan

(24)

12

setempat. Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah Ketua Pengadilan Agama Salatiga, hakim, panitera.

b. Dokumen

Dokumen adalah surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan (Departemen Pendidikan Nasional, 2002:272):

1) Surat gugatan Penggugat 2) Salinan putusan

3) Buku-buku yang memiliki kaitan dengan penelitian ini 4) Artikel ilmiah

5) Arsip-arsip yang mendukung 6) Putusan Hakim

4. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data adalah proses untuk menghimpun data yang diperlukan, relevan serta dapat memberikan gambaran dari aspek yang akan diteliti baik penelitian pustaka ataupun penelitian lapangan.

Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan metodologi penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan terjun langsung secara aktif ke lapangan.

(25)

13 a. Wawancara

Wawancara adalah tanya jawab secara lisan terhadap informan dengan berhadapan secara langsung. Wawancara dilakukan penulis kepada Ketua Pengadilan Agama Salatiga, hakim, panitera. b. Observasi

Kegiatan ini diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan terhadap informasi yang didapat selama melakukan penelitian. Observasi penelitian ini dilakukan di Kantor Pengadilan Agama Salatiga baik di luar maupun di dalam proses persidangan.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah pengumpulan, pemilihan, pengolahan, dan penyimpanan informasi yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, agenda, dan lain sebagainya. Salah dokumentasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah berkas secara utuh gugatan perceraian yang akan diteliti.

5. Analisis Data

(26)

14

ini digunakan dalam rangka mengetahui bagaimana penerapan kaidah-kaidah normative dan yuridis dalam perkara gugatan perceraian.

6. Pengecekan Keabsahan Data

Dalam suatu penelitian, keabsahan data mempunyai peranan yang sangat besar, sehingga untuk mendapatkan data yang valid diperlukan suatu pengecekan. Menurut Nawawi (1992:218), “hasil penelitian sebelum atau sesudah tersusun sebagai laporan dan bahkan penafsiran-penafsiran data, perlu dicek kebenarannya, agar waktu didistribusikan tidak terdapat keragu-raguan.

7. Tahap-tahap Penelitian

Setelah peneliti menentukan tema yang akan diteliti, maka penulis melakukan penelitian pendahuluan ke Pengadilan Agama Salatiga guna mendapatkan data awal dengan bertanya kepada panitera dan hakim sehingga menghasilkan sebuah catatan-catatan, kemudian mencari permasalahan yang ada. Data awal dan masalah yang sudah diperoleh kemudian dilanjutkan dengan proses observasi ke lapangan dan melakukan wawancara-wawancara kepada informan. Setelah data dan fakta telah didapatkan langkah selanjutnya adalah proses penyusunan. H. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini, sistematika penulisan dapat digambarkan sebagai berikut:

(27)

15

tinjauan pustaka, metode penelitian (pendekatan dan jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data, pengecekan keabsahan data, tahap-tahap penelitian), dan sistematika penulisan.

Bab II, Kajian Pustaka yang meliputi: hukum acara perdata Pengadilan Agama, pembahasan tentang gugatan perceraian, hukum acara pemeriksaan, hukum acara pembuktian, putusan.

Bab III, Hasil Penelitian dan Pembahasan yang meliputi: profil Pengadilan Agama Salatiga, kewenangan Pengadilan Agama Salatiga, administrasi berperkara di Pengadilan Agama Salatiga, proses pemeriksaan gugatan dalam persidangan, sikap hakim terhadap dalil-dalil gugatan.

Bab IV, Analisis Data yang meliputi: Analisis putusan yang meliputi proses pemeriksaan perkara, dasar hukum atau pertimbangan yang dipakai majelis hakim dalam menetapkan putusan.

(28)

16 BAB II

PENERAPAN HUKUM ACARA PERDATA PERADILAN AGAMA DALAM PEMERIKSAAN GUGATAN PERCERAIAN

A. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama 1. Pengertian

Hukum Acara Peradilan Agama adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil Peradilan Agama dengan perantaraan hakim Peradilan Agama.

Sedangkan Hamami (2003:24) mengatakan bahwa Hukum Acara Perdata Peradilan Agama adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang bagaimana cara mengajukan tuntutan hak di pengadilan di lingkungan Badan Peradilan Agama, bagaimana cara hakim memeriksa dan memutus perkara yang ditanganinya, dan bagaimana cara melaksanakan putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan Badan Peradilan Agama.

(29)

17

Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus.

Adapun Hukum Acara Peradilan Agama yang diatur secara khusus adalah pertama biaya perkara perceraian dibebankan kepada penggugat, kedua saksi keluarga yang dihadirkan dalam persidangan, ketiga sumpah li‟an, keempat perkara perceraian sidang dilaksanakan dalam sidang tertutup untuk umum, kelima perkara perceraian dengan harta bersama dalam satu gugatan atau perkara, keenam dalam perkara perceraian gugatan diajukan di tempat penggugat, ketujuh khulu‟, kedelapan panggilan tergugat yang ghaib dalam perkara perceraian. 2. Asas Hukum Acara Perdata Peradilan Agama

Pengadilan Agama dalam melaksanakan tugas-tugas peradilannya harus berpijak pada berbagai asas yang dimilikinya.

Adapun asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama sebagaimana disebutkan dalam HIR, RBG, Rv, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, yaitu:

a. Peradilan Agama adalah peradilan negara.

b. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.

(30)

18

d. Peradilan Agama memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara berdasarkan hukum Islam.

e. Peradilan Agama dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

f. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. g. Peradilan dilakukan menurut hukum dan tidak membedakan orang. h. Peradilan dilakukan bebas dari pengaruh dan campur tangan dari luar. i. Peradilan dilakukan dalam persidangan majelis dengan

sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim (ketua dan dua anggota) dengan dibantu oleh panitera sidang.

j. Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili.

k. Hakim bersifat menunggu.

Maksudnya yaitu tidak ada tuntutan hak maka tidak ada hakim (nemo yudek sine aktore), hakim dianggap tahu (ius curia

novit), inisiatif mengajukan perkara ada pada pihak yang

berkepentingan (inde ne proeedat ex officio). l. Hakim pasif.

Maksudnya yaitu para pihak yang wajib membuktikan

(verharlungs maxime), sedangkan hakim wajib mengumpulkan bahan

(untersiungs maxime).

m. Hakim aktif dalam memimpin persidangan.

(31)

19

o. Pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri kedua pihak.

p. Hakim membantu para pihak.

q. Putusan harus disertai alasan dan memuat dasar hukum.

r. Hakim wajib mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya, hakim tidak boleh menolak perkara dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili. s. Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia.

t. Setiap putusan atau penetapan dimulai dengan kalimat Bismillahirrahmanirrahim diikuti dengan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

u. Terhadap setiap putusan atau penetapan diberikan jalan upaya hukum menurut undang-undang.

3. Sumber Hukum

a. HIR (Herzeine Indlandsch Reglement) atau Reglement Indonesia yang diperbaharui).

b. R.Bg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) atauRechtsreglement Buitengenwesten, Staatblad Tahun 1927 Nomor 227.

c. Rv (Reglement of de Burgelijke Rechsvordering) Staatblad Nomor 52, 63 Tahun 1849 apabila tidak ada dalam HIR dan R.Bg.

(32)

20

e. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan.

f. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004.

g. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004.

h. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, yangg telah diubah denga Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009. i. Undang-undang Nomor 41 Tentang Wakaf.

j. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Biaya Meterai. k. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. l. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

m. undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

n. Undang-undang nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun. o. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari‟ah. p. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan

(33)

21

q. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Perasuransian.

r. Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Gubernur Bank Indonesia. s. Kompilasi Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Ekonomi Islam. t. Perma (Peraturan Mahkamah Agung).

u. Sema (Surat Edaran Mahkamah Agung). v. Permenag (Peraturan Menteri Agama). w. Kepmenag (Keputusan Menteri Agama).

x. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia. y. Fatwa Dewan Syariah Nasional.

z. Kitab-kitab fiqh Islam dan sumber hukum tidak tertulis lainnya. 4. Tugas Hakim

Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya guna menegakkan hukum dan keadilan.

Hakim Peradilan Agama mempunyai tugas untuk menegakkan Hukum Perdata Islam yang menjadi wewenangnya dengan cara-cara yang diatur dalam Hukum Acara Peradilan Agama.

(34)

22

a. Membantu pencari keadilan. Hal ini diatur dalam pasal 5 (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Pemberian bantuan tersebut harus dalam hal-hal yang dianjurkan oleh hukum acara perdata yaitu dalam hal-hal sebagai berikut:

1). Membuat gugatan bagi yang buta huruf.

2). Memberi pengarahan tata cara berperkara secara prodeo. 3). Menyarankan penyempurnaan surat kuasa.

4). Menganjurkan perbaikan surat gugatan.

5). Memberi penjelasan tentang alat bukti yang sah.

6). Memberi penjelasan tentang cara mengajukan bantahan dan jawaban.

7). Bantuan memanggil saksi secara resmi.

8). Memberi penjelasan tentang acara verzet dan rekonpensi. 9). Memberi penjelasan tentang upaya hukum.

10). Mengarahkan dan membantu menformulasikan perdamaian. b. Mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa.

Perdamaian adalah lebih baik daripada putusan yang dipaksakan terutama dalam gugatan perceraian, maka hakim harus lebih bersungguh-sungguh dalam upaya perdamaian.

c. Mengawasi pelaksanaan putusan.

(35)

23

mengawasi pelaksanaan putusan tersebut agar putusan dapat dilaksanakan dengan baik.

d. Memimpin persidangan.

Dalam memimpin persidangan hakim menetapkan hari sidang, memerintahkan memanggil para pihak berperkara, mengatur mekanisme sidang, mengambil prakarsa untuk kelancaran sidang, melakukan pembuktian dan mengakhiri sengketa.

e. Meminutir berkas perkara.

Minutering yaitu tindakan yang menjadikan semua dokumen perkara menjadi dokumen resmi dan sah.

f. Memberi pengayoman kepada pencari keadilan.

Hakim wajib memberi rasa aman dan pengayoman kepada pencari keadilan melalui pendekatan secara manusiawi, sosiologi, psikologi, dan filosofis yang relijius dan sekaligus yuridis.

g. Memeriksa dan mengadili perkara.

Dalam memeriksa dan mengadili perkara hakim harus mengikuti prosedur hukum acara pemeriksaan.

h. Mengatasi segala hambatan dan rintangan.

Untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, maka hakim wajib mengatasi segala rintangan baik yang berupa tehnis maupun yuridis.

(36)

24

Sebagaimana pasal 27 (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

j. Mengawasi penasehat hukum.

Pengawasan terhadap penasehat hukum bertujuan membantu peradilan apabila terjadi pelanggaran kode etik dan hukum profesi yang dilakukannya.

Sedangkan tugas hakim bukan dibidang yustisial adalah: a. Tugas pengawasan sebagai hakim pengawas bidang.

b. Turut melaksanakan hisab, rukyat dan mengadakan kesaksian hilal. c. Melayani riset untuk kepentingan ilmiah.

d. Sebagai rokhaniwan sumpah jabatan. e. Memberikan penyuluhan hukum.

f. Tugas-tugas lain yang diberikan kepadanya. B. Gugatan Perceraian

1. Pengertian

Gugatan pada prinsipnya didefinisikan sebagai tuntutan hukum guna pemenuhan hak dan kewajiban tertentu, yang diajukan oleh seseorang atau lebih (sebagai penggugat) terhadap seseorang atau suatu badan hukum atau lebih (sebagai tergugat).

(37)

25

tuntutan hak yang di dalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak (Arto, 2007:36).

Dengan demikian dapat disimpulkan gugatan perceraian adalah surat-surat yang diajukan oleh penggugat kepada Ketua Pengadilan Agama yang berwenang yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak yang berkaitan dengan perceraian.

2. Prinsip-prinsip Gugatan

Gugatan yang dibuat oleh penggugat atau kuasanya harus memenuhi prinsip-prinsip gugatan perdata. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah :

a. Ada dasar hukum yang jelas. Menurut pasal 118 HIR dan pasal 142

R.Bg, “siapa saja yang merasa hak pribadinya dilanggar oleh orang

lain sehingga mendatangkan kerugian, dan ia tidak mampu menyelesaikan sendiri persoalan tersebut, maka ia dapat meminta kepada pengadilan untuk menyelesaikan masalah itu sesuai dengan

hukum yang berlaku”.

(38)

26

pengadilan karena dasar hukum inilah yang menjadi dasar putusan yang diambilnya.

b. Adanya kepentingan hukum. Suatu tuntutan hak yang akan diajukan kepada pengadilan yang dituangkan dalam sebuah gugatan, pihak penggugat harus mempunyai kepentingan hukum yang cukup. Orang yang tidak mempunyai kepentingan hukum tidak dibenarkan untuk menjadi para pihak dalam mengajukan gugatan, oleh karena itu syarat mutlak untuk dapat mengajukan gugatan adalah kepentingan hukum secara langsung yang melekat dari penggugat. Tidak setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat mengajukan gugatan, apabila kepentingan itu tidak langsung dan melekat pada dirinya.

c. Dibuat dengan cermat dan terang. Pada prinsipnya semua gugatan harus dibuat secara tertulis. Bagi penggugat yang tidak dapat membaca dan menulis maka gugatan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Agama (Pasal 118, 120 HIR dan pasal 144 (1) R.Bg).

(39)

27

ditandatangani oleh Ketua Pengadilan atau hakim yang menerimanya itu.

d. Memahami hukum formil dan materiil. Sebuah gugatan dikatakan baik dan benar apabila orang yang membuat surat gugatan itu mengetahui tentang hukum formal dan hukum materiil, sebab kedua hukum tersebut berkaitan erat dengan seluruh isi gugatan yang akan dipertahankan dalam sidang pengadilan.

e. Merupakan suatu sengketa. Gugatan yang diajukan kepada pengadilan harus bersifat sengketa, dan persengketaan itu telah menyebabkan kerugian dari pihak penggugat, sehingga perlu diselesaikan melalui pengadilan sebagai instansi yang berwenang dan tidak memihak. 3. Susunan Gugatan Perceraian

Dalam HIR dan R.Bg tidak disebutkan secara tegas dan rinci tentang bagaimana seharusnya gugatan itu disusun. Siapapun bebas menyusun dan merumuskan surat gugatannya asal cukup memberikan keterangan tentang kejadian materiil yang menjadi dasar gugatan.

Menurut pasal 8 (3) Rv menyebutkan, “surat gugat harus dibuat

secara sistematis dengan unsur-unsur identitas para pihak, dalil-dalil kongkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar dari

gugatan serta petitum atau apa yang diminta atau dituntut”.

(40)

28

kelima tempat tinggal atau domisili, keenam kedudukannya sebagai pihak dalam perkara yang diajukan ke pengadilan. Bagi para pihak dalam gugatannya memakai advokat, maka identitas advokat juga dicantumkan dalam gugatan tersebut.

b. Posita atau fundamentum petendi. Posita merupakan dalil-dalil kongkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan. Posita terdiri dari dua bagian yaitu pertama bagian yang menguraikan tentang kejadian atau peristiwa hukum (feitelijke gronden).

Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan

“Perkawinan dapat putus karena: a. kematian, b. perceraian, c. atas

keputusan pengadilan”. Sedangkan dalam pasal 116 Kompilasi

Hukum Islam menyebutkan bahwa alasan-alasan perceraian yaitu: Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan, salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya, salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung, salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain, salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri, antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, suami melanggar taklik talak, peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

(41)

29

alasan-alasan yang dapat diajukan oleh penggugat ke Pengadilan Agama dalam gugatan perceraiannya dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga yang sampai saat ini persoalan tersebut sering muncul di masyarakat. Persoalan tersebut sering dibawa ke Pengadilan Agama sebagai dasar alasan gugatan perceraian.

a. Pengertian kekerasan dalam rumah tangga

Kata kekerasan mengingatkan penulis pada suatu keadaan, situasi ataupun perlakuan yang menimbulkan rasa sakit, tidak nyaman dan berbagai bentuk kerugian baik secara fisik maupun

emosional psikologis. Faqih (1997:17) mengatakan “kekerasan

adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas

(keutuhan) mental psikologis seseorang”. Kekerasan dalam rumah

tangga (KDRT) adalah kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami maupun oleh istri.

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pengertian kekerasan dalam rumah tangga adalah

setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

b. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga

(42)

30

Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, maka bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa:

1) Kekerasan fisik

Yaitu bentuk yang paling nyata dan mudah diidentifikasi. Serangan secara fisik ini berupa pemukulan tangan, menampar, dibenturkan ke tembok, mendorong, menjepit, mencekik, menendang, menempeleng dan lain-lain. 2) Kekerasan secara psikologis

Bentuk kekerasan ini berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial, tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina.

3) Kekerasan seksual

(43)

31

Sedangkan kekerasan seksual berat berupa pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak atau jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.

4) Kekerasan secara ekonomis

Yaitu tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi misalnya: memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran, melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya, mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.

c. Motif Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Ada beberapa hal penyebab atau motifasi tindakan kekerasan dalam rumah tangga yaitu:

1) Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara.

2) Masyarakat menganggap laki-laki dengan menanamkan anggapan bahwa laki-laki harus kuat, berani serta tanpa ampun. 3) Kekerasan dalam rumah tangga dianggap bukan sebagai

permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi terhadap relasi suami istri, orang lain tidak boleh ikut campur.

(44)

32

Dengan demikian kekerasan dalam rumah tangga dapat dikategorikan dalam pelanggaran taklik talak atau salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain sehingga hal tersebut dapat dijadikan dasar dalam posita gugatan perceraian.

Menurut Manan (2006:25), “cara menyusun gugatan dikenal

dua teori yaitu substantiering theorie dan individualisering theorie”. Teori substansi yaitu merumuskan peristiwa hukum dengan menjelaskan fakta-fakta yang mendahuluinya sebagai penyebab timbulnya suatu peristiwa hukum.

Sedangkan teori individual yaitu merumuskan peristiwa hukum dalam gugatan dengan memperlihatkan secara jelas hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan, tetapi tidak mengemukakan secara rinci kronologi terjadinya hubungan hukum itu.

Bagian kedua menguraikan tentang dasar hukumnya

(rechtgronden) yaitu fakta-fakta dan dasar hukum dengan menunjuk

sifat melawan hukum, ketentuan hukum ataupun asas-asas hukum mana saja yang sudah dilanggar berdasarkan fakta-fakta perbuatan atau peristiwa.

c. Petitum.

(45)

33

Dalam praktik peradilan, petitum atau tuntutan dibagi tiga bagian yaitu :

1). Tuntutan primer atau tuntutan pokok . Tuntutan ini merupakan tuntutan yang sebenarnya, atau apa yang diminta oleh penggugat sebagaimana yang dijelaskan dalam posita.

2). Tuntutan tambahan. Tuntutan tambahan merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok.

3). Tuntutan subsider atau pengganti. Tuntutan subsider diajukan untuk mengantisipasi barangkali tuntutan pokok dan tuntutan tambahan tidak diterima oleh hakim.

4. Kumulasi Gugatan

Kumulasi gugatan yaitu gabungan beberapa gugatan hak atau gabungan beberapa pihak yang mempunyai akibat hukum yang sama, dalam satu proses perkara.

Ada beberapa macam kumulasi gugatan yaitu:

a. Kumulasi suyektif yaitu penggabungan beberapa penggugat atau tergugat dalam satu gugatan.

(46)

34

c. Intervensi yaitu ikut sertanya pihak ketiga dalam suatu proses perkara. Intervensi ada 3 (tiga) macam yaitu:

1). Voeging yaitu masuknya pihak ketiga atas kehendaknya sendiri

untuk membantu salah satu pihak menghadapi pihak lawan.

2). Vrijwaring yaitu masuknya pihak ketiga ditarik oleh tergugat

dengan maksud agar ia menjadi penanggung bagi tergugat.

3). Tusencomst yaitu masuknya pihak ketiga dalam proses suatu

perkara yang sedang berjalan untuk membela kepentingannya sendiri.

C. Hukum Acara Pemeriksaan Perkara Perceraian 1. Pemanggilan Para Pihak

Penyampaian surat panggilan kepada para pihak merupakan tahap pertama pemeriksaan perkara yang diawali dengan ditetapkannya pelaksanaan hari persidangan perkara oleh Ketua Majelis Hakim, yang disingkat dengan PHS. Penetapan pelaksanaan sidang atas perkara tersebut, jarak antara hari dan tanggal dibuatnya Penetapan Majelis Hakim (PMH) dengan hari sidang disesuaikan dengan kondisi para pihak berperkara (jarak jauh dekatnya).

(47)

35

diketahui tempat kediamannya yang jelas tenggang waktunya sekurang-kurangnya 4 (empat) bulan sejak perkara tersebut terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama. Hal ini diatur dalam pasal 68 (1), 80 (2), Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan pasal 27, 29 (30) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Jurusita atau Jurusita Pengganti dalam menyampaikan surat panggilan kepada para pihak berperkara harus disampaikan secara patut dan resmi. Panggilan yang patut dan resmi sesuai dengan ketentuan pasal 26, 27 dan 28 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal 390 HIR serta pasal 718 R.Bg yaitu:

a. Tenggang waktu antara diterimanya surat panggilan dengan hari dan tanggal sidang sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari.

b. Penyampaian surat panggilan dilakukan di tempat domisili para pihak secara pribadi langsung. Apabila Jurusita atau Jurusita Pengganti tidak bertemu yang bersangkutan, maka penyampaian surat panggilan dilakukan melalui Kepala Desa atau Kepala Kelurahan tempat kediaman yang dipanggil.

c. Untuk tergugat dalam surat panggilannya yang pertama dilampirkan salinan surat gugatan yang dibuat penggugat.

(48)

36

Aturan dalam menyampaikan surat panggilan yang patut dan resmi bagi pihak tergugat yang tidak diketahui alamatnya di wilayah Hukum Republik Indonesia sesuai ketentuan pasal 27 (1), (2) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu:

a. Panggilan dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu 1 (satu) bulan antara panggilan pertama dengan panggilan yang kedua, dan panggilan kedua dengan pelaksanaan hari dan tanggal persidangan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.

b. Panggilan dilakukan dengan cara menempelkan salinan surat gugatan pada papan pengumuman dan mengumumkannya melalui media masa. Segala peristiwa yang ditemui oleh Jurusita atau Jurusita Pengganti saat menyampaikan surat panggilan, apakah ia bertemu langsung atau tidak dengan yang dipanggil, bagaimana cara ia menyampaikannya, harus dicatat dalam berita acara panggilan.

Setelah Jurusita atau Jurusita Pengganti selesai melaksanakannya, kemudian surat panggilan tersebut diserahkan kepada Ketua Majelis Hakim yang akan memeriksa perkara tersebut sebagai bukti bahwa para pihak telah dipanggil.

(49)

37

Sidang pertama yaitu sidang yang ditunjuk atau ditetapkan menurut yang tertera dalam Penetapan Hari Sidang (PHS) yang ditetapkan oleh Ketua Majelis Hakim, atau juga dapat diartikan sidang yang akan dimulai pertama kali menurut surat panggilan.

Dalam sidang pertama tersebut, para pihak yang telah dipanggil untuk hadir dalam sidang ada beberapa kemungkinan yaitu:

a. Penggugat tidak hadir, sedangkan tergugat hadir, maka Majelis Hakim dapat menyatakan gugatan dinyatakan gugur, atau menunda persidangan sekali lagi untuk memanggil penggugat.

b. Tergugat tidak hadir, sedangkan penggugat hadir, maka Majelis Hakim dapat menunda persidangan untuk memanggil tergugat sekali lagi. Dalam hal ini, Arto (2007:87) menyatakan Majelis Hakim tidak dapat menjatuhkan putusan verstek dalam perkara perdata perceraian, karena menurut pendapat Mahkamah Agung terbaru, khusus perkara perceraian hanya dapat dijatuhkan apabila dalil-dalil gugat telah dibuktikan dalam persidangan.

(50)

38

d. Penggugat dan tergugat tidak hadir dalam persidangan. Jika penggugat dan tergugat tidak hadir dalam sidang pertama, maka sidang harus ditunda dan atau para pihak berperkara dipanggil lagi sampai dapat diajukan putusan gugur atau verstek atau perkara dapat diperiksa. e. Penggugat dan tergugat hadir dalam persidangan. Jika para pihak

hadir semua dalam persidangan, maka Majelis Hakim sebelum memulai memeriksa pokok perkaranya wajib berusaha mendamaikan para pihak.

Dalam sengketa yang berkaitan dengan status seseorang (perceraian) maka tindakan Majelis Hakim dalam mendamaikan para pihak yang bersengketa untuk menghentikan persengketaannya adalah mengupayakan tidak terjadinya perceraian.

2. Perdamaian

Asas umum sebelum memeriksa pokok perkara hakim harus mengupayakan perdamaian bagi pihak-pihak yang bersengketa cukup pada sidang pertama saja. Hal ini ditegaskan dalam pasal 130 HIR dan pasal 154 R.Bg.

(51)

39

Usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan pada semua tingkat peradilan, yaitu tingkat pertama, tingkat banding maupun kasasi selama perkara belum diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap pada tingkat tersebut, jadi tidak hanya dalam ringkat pertama sebagaimana lazimnya perkara perdata.

Apabila upaya perdamaian yang dilakukan hakim tidak tercapai, selama proses pemeriksaan perkara dalam persidangan, maka pemeriksaan pokok perkara diteruskan sampai selesai. Namun apabila upaya tersebut berhasil, maka dibuatkanlah akta perdamaian di muka pengadilan.

Para pihak yang bersengketa mohon kepada Majelis Hakim agar persetujuan perdamaian itu dikukuhkan dalam suatu keputusan dan disebut dengan putusan perdamaian. Formulasi isi dan perjanjian perdamaian itu dibuat sendiri oleh para pihak yang berperkara yang dituangkan dalam suatu akta, para pihak yang bersengketa menandatangani akta perdamaian tersebut. Atas dasar akta perdamaian tersebut Majelis Hakim menjatuhkan putusan perdamaian sesuai isi persetujuan dengan diktum menghukum kepada pihak-pihak untuk mentaati dan melaksanakan isi perjanjian tersebut.

(52)

40 3. Pembacaan Gugatan

Pembacaan gugatan dilakukan oleh penggugat langsung atau kuasanya yang sah, kecuali kalau penggugat buta huruf maka pembacaan gugatan diserahkan kepada panitera sidang.

Pada dasarnya menurut asas hukum acara perdata persidangan harus dalam keadaan terbuka untuk umum, untuk pemeriksaan sengketa perkawinan persidangan harus dalam keadaan tetutup untuk umum (pasal 68 (2), pasal 80 (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975). Pelanggaran atas asas ini berakibat putusannya batal demi hukum.

Pada tahap pembacaan gugatan terdapat beberapa kemungkinan dari penggugat pertama mencabut gugatan, kedua mengubah gugatan, ketiga mempertahankan isi gugatan.

Perubahan gugatan berupa menambah, melengkapi atau memperbaiki gugatan diperbolehkan selama tidak merugikan kepentingan penggugat dalam menyampaikan pembelaannya, tidak melampaui batas-batas materi pokok gugatan yang dapat merugikan pada hak pembelaan tergugat.

(53)

pertanyaan-41

pertanyaan kepada penggugat, dan jawaban-jawaban penggugat atas pertanyaan Majelis Hakim tersebut dicatat dalam berita acara persidangan serta dianggap sebagai perbaikan, penambah atau perubahan gugatan.

Dalam hal akan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada pihak penggugat, sebelumnya Majelis Hakim harus mengingatkan kepada tergugat agar jawaban-jawaban penggugat disimak dan dicatat, sebagai bahan bagi tergugat dalam menyampaikan pembelaan atau jawabannya.

4. Jawaban

Dalam pasal 121 (2), 132 (1) HIR, pasal 154 (2), 158 (1) R.Bg, menyebutkan tergugat dapat mengajukan jawaban baik secara tertulis maupun lisan. Tergugat harus hadir secara pribadi atau diwakilkan dalam memberikan jawaban tersebut.

Apabila tergugat atau kuasanya tidak hadir dalam sidang meskipun mengirim surat jawabannya, tetap dinilai tidak hadir dan jawabannya itu tidak perlu diperhatikan, kecuali dalam hal jawaban yang berupa eksepsi.

(54)

42

Eksepsi adalah sanggahan terhadap gugatan yang tidak mengenai pokok perkara dengan maksud menghindari gugatan dengan cara agar Majelis Hakim menetapkan gugatan tidak dapat diterima atau ditolak.

Eksepsi dapat dilakukan dalam jawaban tergugat baik eksepsi formil maupun eksepsi materiil. Eksepsi formil yaitu eksepsi yang berdasarkan hukum formil yang meliputi:

a. Nebis in idem yaitu eksepsi terhadap suatu perkara tidak dapat diputus

dua kali, sehingga suatu perkara yang sama antara pihak-pihak yang sama di pengadilan yang sama pula, tidak dapat diputus lagi.

b. Diskualifikator yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa penggugat tidak

mempunyai hak untuk mengajukan gugatan atau penggugat salah menentukan tergugat baik tentang orangnya maupun identitasnya.

c. Obscuurlibel yaitu karena gugatan kabur, tidak jelas dan tidak dapat

dipahami, baik mengenai susunan kalimatnya, formatnya atau hubungan satu sama lain yang tidak saling mendukung atau bertentangan.

d. Eksepsi tidak berwenang secara absolut, yaitu Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan oleh penggugat tetapi menjadi wewenang Pengadilan lain.

(55)

43

Eksepsi materiil yaitu eksepsi berdasarkan hukum materiil yang terdiri dari:

a. Dilatoir exceptie yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan

penggugat tidak dapat dikabulkan karena belum memenuhi syarat secara hukum.

b. Peremtoir exceptie yaitu eksepsi yang dilakukan tergugat karena

penggugat terlambat mengajukan gugatan yang bertujuan unutk menghalangi dikabulkannya tuntutan penggugat.

Apabila tergugat dalam jawabannya itu mengakui seluruh dalil gugatan secara bulat, maka perkara dianggap telah terbukti dan gugatan dapat dikabulkan seluruhnya, kecuali dalam perceraian.

Khusus dalam perceraian, meskipun tergugat mengakui, hakim harus berusaha menemukan kebenaran materiil alasan cerai dengan alat bukti yang cukup, sebab Undang-undang Perkawinan mempunyai prinsip mempersulit perceraian, karena berdampak berat bagi kedua belah pihak dan anak-anak mereka.

Namun apabila tergugat membantah semua isi gugatan, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan pada tahap berikutnya sampai dapat dibuktikan atau tidaknya dalil-dalil gugat.

Pengakuan tergugat harus diterima seutuhnya dan tidak boleh dipisahkan, apabila tergugat mengakui isi gugatan dengan syarat-syarat

(klausula) serta pemeriksaan perkara dilanjutkan sampai semua tahap

(56)

44

Tergugat kadang-kadang dalam jawabannya berbelit-belit

(referte) atau menyerahkan kepada kebijaksanaan Majelis Hakim, pasrah

atau tidak membantah dan tidak pula membenarkan, maka pemeriksaan dilanjutkan seperti biasa.

Ada kalanya tergugat mengajukan gugat balik (rekonpensi) yaitu gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat bukan kuasanya dalam sengketa antara keduanya dalam segala hal. Rekonpensi diajukan sebagaimana disebutkan dalam pasal 132 (2) HIR dan pasal 158 (2) R.Bg bersamaan dengan jawaban tergugat sampai sebelum tahap pembuktian. 5. Replik

Dalam tahap ini Majelis Hakim memberi kesempatan kepada penggugat untuk menanggapi jawaban tergugat sesuai dengan pendapatnya, apakah mempertahankan isi gugatannya, menambah keterangan yang dianggap perlu untuk memperjelas dalil-dalinya, atau mungkin penggugat merubah sikap karena adanya jawaban tersebut dengan membenarkan atau membantahnya.

6. Duplik

Setelah penggugat menyampaikan repliknya, kemudian Majelis Hakim memberi kesempat pula kepada tergugat untuk menanggapinya sesuai dengan pendapatnya. Dalam tahap ini mungkin juga tergugat bersikap seperti penggugat dalam repliknya tersebut.

(57)

45

untuk mengetahui dan menentukan pokok perkara, dan atau dianggap cukup oleh Majelis Hakim.

Apabila acara jawab-menjawab ini dianggap telah cukup namun masih ada hal-hal yang tidak disepakati oleh penggugat dan tergugat sehingga perlu dibuktikan kebenarannya, maka acara dilanjutkan ke tahap pembuktian.

7. Pembuktian

Pembuktian adalah suatu tindakan atau perbuatan untuk meyakinkan Majelis Hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan oleh masing-masing pihak yang bersengketa.

Pembuktian ini bertujuan untuk menetapkan hukum diantara para pihak berperkara yang menyangkut suatu hak, sehingga diperoleh suatu kebenaran yang memiliki nilai keadilan. Tentang kebenaran tersebut dalam acara perdata Peradilan Agama yang dicari adalah kebenaran formil, yakni hakim dilarang melampaui batas yang diajukan oleh pihak yang berperkara (pasal 178 (3) HIR, pasal 189 (3) R.Bg).

(58)

46

tergugat, maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Prinsip dasarnya siapa yang mendalilkan maka ia wajib membuktikannya.

8. Kesimpulan

Pada tahap kesimpulan atau konklusi, baik penggugat maupun tergugat diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat akhir yang merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan perkara selama sidang berlangsung, menurut pandangan masing-masing.

Kesimpulan dalam hal ini adalah uraian akhir yang memaparkan suatu konklusi dari seluruh pemeriksaan perkara dimaksudkan agar Majelis Hakim pemeriksa perkara akan lebih mudah dalam memahami pokok perkaranya, sebelum mengambil putusan akhir. Pembuktian kesimpulan akhir bukanlah sesuatu yang wajib, karena hal itu lahir dari kebiasaan disamping memang tidak ada ketentuan hukum yang mengaturnya.

9. Musyawarah Majelis Untuk Mengambil Putusan

(59)

47

dijatuhkan putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Musyawarah Majelis Hakim merupakan tahap akhir persidangan yang bersifat menyimpulkan dari hasil tindakan sebelumnya, yakni acara jawab menjawab dan pembuktian. Tujuan disamping untuk menyamakan persepsi, juga bertujuan untuk menentukan peraturan hukum apakah yang menguasai atau yang paling tepat atas sengketa kedua belah pihak. Majelis Hakim dalam acara ini harus menemukan hukumnya.

Dalam mengemukakan hukumnya, yang tertuang dalam putusan, Majelis Hakim dalam mempertimbangkan putusannya, oleh karena jabatannya wajib menyertakan alasan-alasan hukumnya, bukan hanya yang yang disebutkan oleh para pihak, namun Majelis Hakim juga harus menambah dasar-dasar hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak berperkara, hal ini diatur dalam pasal 189 R.Bg, pasal 178, 179 HIR.

D. Hukum Acara Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian

(60)

hal-48

hal yang dibantah atau hal-hal yang masih disengketakan atau hanya sepanjang yang menjadi perselisihan di antara pihak yang beperkara.

Sehubungan dengan hal ini Manan (2006:227) memberi batasan tentang pengertian pembuktian yaitu upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

Sedangkan R. Subekti yang dikutip Manan (2006) mendefinisikan pembuktian adalah suatu daya upaya para pihak berperkara untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakannya di dalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim.

Dengan demikian pembuktian artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku.

2. Asas-Asas Pembuktian

(61)

49 a. Asas Audi Et Alteram Partem

Asas yang paling utama dari Hukum Pembuktian adalah asas Audi Et Alteram Partem yaitu asas kesamaan prosesuil dari para pihak yang berperkara. Berdasarkan asas ini Majelis Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan sebelum memberi kesempatan untuk mendengarkan kedua pihak. Dalam hal putusan verstek, dianggap Majelis Hakim sudah memberi kesempatan kepada kedua pihak, tetapi kesempatan itu tidak digunakan oleh tergugat.

b. Asas Ius Curia Novit

yaitu asas dimana hakim selalu difiksikan mengetahui akan hukumnya dari setiap kasus yang diadilinya. Menurut asas ini, Majelis Hakim sama sekali tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara hingga putus dengan alasan tidak mengetahui hukumnya, atau hukumnya belum ada. Dalam hal hukumnya jelas belum ada, Hakim harus menggunakan metode Analog dan Argumentum A Contrario. Oleh katrena itu maka para pihak berperkara yang wajib untuk membuktikan peristiwanya, sedang Majelis Hakim hanya membuktikan masalah hukumnya.

c. Asas Nemo Testis Indoneus In Propria Causa

(62)

50

Dengan perkataan lain, saksi harus orang lain yang akan memberikan keterangan kesaksian tentang apa yang dilihat, didengar dan dialaminya.

Sehubungan dengan saksi ini, ada asas khusus yang bunyinya

unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi). Dan biasanya asas

inipun diterapkan alat bukti persangkaan-persangkaan. d. Asas Ne Ultra Petita

Yaitu asas yang membatasi hakim sehingga hakim hanya boleh mengabulkan sesuai yang dituntut. Hakim dilarang mengabulkan lebih daripada yang dituntut. Sehubungan dengan pembuktian, maka ini berarti hakim tidak boleh membuktikan lebih daripada apa yang dituntut oleh penggugat.

Jika tergugat telah mengakui secara penuh dengan pengakuan murni atas gugatan penggugat, maka sekalipun pengakuan tergugat itu diketahui oleh Majelis Hakim sebagai tidak benar, tetapi hakim berdasarkan asas Ne Ultra Petita harus menerima pengakuan murni tergugat itu sebagai sesuatu yang benar.

e. Asas Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet

(63)

51 f. Asas Negativa Non Sunt Probanda

Asas ini menyatakan bahwa sesuatu yang bersifat negatif itu tidak dapat dibuktikan. Yang dimaksud sebagai sesuatu yang bersifat negatif adalah yang menggunakan perkataan tidak.

Sehubungan dengan asas ini, penulis ingin menjelaskan, bahwa sesuatu yang bersifat negatif tidaklah berarti mustahil untuk dibuktikan, hanya saja sulit untuk dibuktikan secara langsung. Dengan perkataan lain, dapat dibuktikan secara tidak langsung.

g. Asas Actori Incumbit Probatio

Asas ini dikenal juga sebagai asas beban pembuktian (the

burden of proof) yang dalam Hukum Positip di Indonesia diatur dalam

pasal 163 HIR, pasal 283 R.B.g. Berdasarkan asas ini berarti bahwa barang siapa yang mempunyai suatu hak atau menyangkal adanya hak orang lain, harus membuktikannya. Hal ini berarti bahwa dalam hal: 1). Pembuktian yang diajukan oleh penggugat dan tergugat

sama-sama kuat, atau;

2). Pembuktian yang diajukan penggugat dan tergugat sama sekali tidak ada, maka baik penggugat maupun tergugat ada kemungkinan dibebani dengan pembuktian oleh Majelis Hakim.

(64)

52

h. Asas Yang Paling Sedikit Dirugikan

Asas ini menyatakan bahwa Majelis Hakim harus membebani pembuktian bagi pihak yang paling sedikit dirugikan jika harus membuktikan. Asas ini jika dalam Hukum Pidana sebenarnya merupakan perwujudan dan the presumption of innocence (praduga tak bersalah).

i. Asas Bezitter Yang Beritikat Baik

Itikat baik selamanya harus dianggap ada pada setiap orang yang menguasai sesuatu benda dan barang siapa menggugat akan adanya itikat buruk bezittter itu harus membuktikannya.

Jadi dengan asas ini telah ditentukan bahwa jika penggugat dalam gugatannya menyatakan adanya itikat buruk kepada tergugat yang merupakan bezitter dari barang yang digugat, maka penggugatlah yang harus dibebani dengan pembuktian.

j. Asas Yang Tidak Biasa Harus Membuktikan

Asas ini ditemui dalam putusan Mahkamah Agung, sehingga merupakan asas yang lahir dari Yurisprudensi, bahwa barangsiapa yang menyatakan sesuatu yang tidak biasa, harus membuktikan sesuatu yang tidak biasa itu.

3. Tujuan Pembuktian

(65)

53

Hakim tidak dapat menjatuhkan perkara suatu putusan sebelumnya baginya bahwa fakta atau peristiwa yang diajukan itu benar terjadi, yakni dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.

Kebenaran yang dicari oleh Majelis Hakim adalah kebenaran formal. Sedangkan dalam hukum pidana, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran materiil. Dalam praktik peradilan, sebenarnya seorang hakim dituntut mencari kebenaran materiil terhadap perkara yang sedang diperiksanya.

4. Teori Pembuktian

Pada umumnya, sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, Majelis Hakim bebas untuk menilai pembuktian. Berhubung Majelis Hakim dalam menilai pembuktian dapat bertindak bebas atau terikat oleh undang-undang, sebagaimana yang dikatakan Mertokusumo (2002:133) maka tentang hal tersebut terdapat 3 (tiga) teori pembuktian yaitu:

a. Teori pembuktian bebas, teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim.

(66)

54

c. Teori pembuktian positif, dalam teori ini Majelis Hakim diwajibkan untuk melakukan segala tindakan dalam pembuktian, kecuali yang dilarang dalam undang-undang.

5. Hukum Pembuktian

Dalam acara perdata pembuktian harus mengikuti Hukum Pembuktian, maka pembuktiannya adalah:

a. Bersifat mencari kebenaran formil.

Dari setiap peristiwa yang harus dibuktikan adalah kebenarannya. Dalam acara perdata, kebenaran yang dicari adalah kebenaran yang bersifat formil. Mencari kebenaran formil berarti bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara. Jadi jika melihat kepada bobot atau isi, akan tatapi melihat kepada luas dari pada pemeriksaan oleh hakim. Sehingga karenanya, hakim dilarang untuk mengajukan putusan atas perkara yang tidak dituntut, atau meluluskan lebih dari yang dituntut. Hal ini berbeda dengan acara pidana yang mengharuskan hakim mencari kebenaran materiil.

b. Tidak disyaratkan adanya keyakinan hakim.

Referensi

Dokumen terkait

Padahal jika dilihat dari potensi konsumen baik dari RTP dan maupun konsumen untuk usaha skala kecil (homestay) maka pengembangan energi terbarukan layak dilakukan, misalnya

Strategi pengembangan ekowisata yaitu pengembangan ekowisata dengan konsep pelestarian ekosistem serta melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah; peningkatan pemberdayaan

The fiscal decentralisation side of Village Law 2014 has cre- ated new intergovernmental village fiscal relations in the form of fiscal transfers adding village funds (Dana Desa)

Estimasi penelitian diformulasikan dalam bentuk persamaan tunggal ( single equation ), dengan variabel dependen adalah permintaan pariwisata yang diproksi dengan jumlah

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Tugas Akhir ini dengan judul

Data Variabel Penelitian Tahun 2008 (Sebelum

Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan kurangnya penguasaan terhadap

sangat ketat, perusahaan harus mampu memberikan harga dan kualitas produk yang berkualitas terhadap pembelinya karena perusahaan dikatakan berhasil mencapai