• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM TRANSENDENTAL; ARGUMENTASI HUKUM MENGGUNAKAN NORMA-NORMA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI PURWOREJO - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUKUM TRANSENDENTAL; ARGUMENTASI HUKUM MENGGUNAKAN NORMA-NORMA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI PURWOREJO - Test Repository"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

1

HUKUM TRANSENDENTAL;

ARGUMENTASI HUKUM MENGGUNAKAN NORMA-NORMA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI PURWOREJO

Penulis

(2)

2

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat dan pengikutnya sampai akhir zaman.

Kajian keilmuan di bidang hukum, berjalan dan beriring dengan perkembangan keilmuan secara umum dalam dunia global. Ia bergerak mengikuti siklus pergerakan keilmuan secara umum, ada saat dimana ia muncul, berkembang dan tegak di atas permukaan keilmuan, terkadang pula tertutupi oleh tren kemajuan dan perkembangan keilmuan dalam sektor lain. Dalam keilmuan hukum berlaku pula falsifikasi, dekontruksi maupun rekonstruksi dan bahkan pula ia berkutat dalam satu tren kemudian bergerak secara evolutif menuju kejenuhan terhadap tren yang dianggapnya sudah tidak lagi kompatibel terhadap kebutuhan dan pergeseran kehidupan masyarakat.

(3)

3

Penelitian ini mencoba memperbincang hukum transendental, yakni suatu ajaran hukum yang bersumber pada nilai-nilai suci yang terkandung dalam ragam kitab suci yang ada pada agama-agama dunia (yang diakui di Indonesia) yang selanjutnya diobjektifikasi dalam ranah realitas hukum yang dihadapi, yang diharapkan menghasilkan satu produk hukum yang bernilai ilahiyah sekaligus kompatibel bagi perkembangan kehidupan manusia, yang sudah barang tentu, salah satu hasilnya tercermin dalam ragam argumentasi hukum yang dilakukan oleh para pembelajar hukum, termasuk hakim-hakim pada sistem peradilan yang berlaku di Indonesia.

Oleh karenanya dalam buku ini, kajian-kajian yang ada didalamnya adalah berkenaan dengan apa yang dimaksud dengan hukum transendental dan bagaimana mula perbincangan hukum transendental ini terlacak. Kemudian bagaimana aplikasi dan prospek hukum transendatal itu dalam ranah realitas hukum, salah satunya dipergunakan dalam argumentasi hukum yang biasa dipakai oleh hakim dalam memutuskan sebuah perkara. Untuk melihat perbincangan tersebut, secara spesifik, buku ini mengkaji salah satu Putusan Pengadilan Negeri Purworejo (Putusan Nomor: 61/Pid.B/2011/PN.Pwr). Dari sana, kita dapat melihat bagaimana pradigma berfikir hakim yang mencoba menerapkan hukum transendental dalam putusan pengadilannya.

Akhirnya, penulis bersyukur kepada Allah Swt yang memberikan kekuatan untuk menyelesaikan buku kecil ini, selanjutnya selaku penulis mengharap adanya koreksi dari berbagai pihak terutama para pembaca yang insya Allah akan kami jadikan sebagai bahan revisi buku pada kesempatan yang akan datang. Selamat membaca dan terima kasih.

Penulis

(4)

4

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……… DAFTAR ISI ..………

BAB I PENDAHULUAN ………

A. Gerak dan Arah Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia... B. Norma Agama Sebagai Sumber Hukum Transendenta...

BAB II HUKUM TRANSENDENTAL DAN ARGUMENTASI HUKUM DALAM PUTUSAN HAKIM ...……

A. Hukum Transendental ... ………...

B. Akaar Diskursus Hukum Transendental ………..

C. Argumentasi Hakim dalam Putusan Hakim ... D. Implementasi Hukum Transendental Sebagai Argumentasi Hukum

dalam Putusan Hakim ... BAB III KABUPATEN PURWOREJO DAN PENGADILAN NEGERI

PURWOREJO ... A. Sekilas Kabupaten Purworejo ... B. Pengadilan Negeri Purworejo ... BAB IV PARADIGMA BERFIKIR HUKUM HAKIM PENGADILAN

NEGERI PURWOREJO DALAM PUTUSAN NOMOR: 61/Pid.B/2011/PN.Pwr... A. Paradigma Berfikir Hukum ... B. Analisis Paradigma Berfikir Hukum Hakim Pengadilan Negeri

Purworejo dalam Putusan Nomor 61/Pid.B/2011/PN.Pwr...

(5)

5 BAB I

PENDAHULUAN

A. Gerak dan Arah Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia Gerak dan wacana hukum, dalam perkembangannya terus mengalami perubahan dan pergeseran. Bermula dari kajian tentang filsafat alam yang berkembang pada zaman Yunani Kuno, kemudian dengan kehadiran Socrates, Plato dan Aristoteles filsafat yang semula hanya memperbincangkan perdebatan diseputar penciptaan alam kemudian bergeser pada problem keseharian hidup manusia atau situasi manusiawi (Otje Salman S, 2012: 2). Pada masa ini, alam dimana manusia itu tinggal dianggap sebagai suatu kekuasaan yang mengancam manusia. Oleh karenanya perlu ada orang yang mampu menghadapi alam sebagai sesuatu yang penuh misteri dan sakral itu dan sebab manusia itu juga hidup dalam alam, maka manusia pun dianggap sesuatu yang mengandung misteri juga (Theo Huijber, 1982: 19).

(6)

6

dalam penerapan hukum ada pula yang berhenti dalam tataran makna dan hanya berlaku dalam kurun waktu yang pendek kemudian berhenti dalam diskursus ilmu pengetahuan hukum.

Dari banyaknya aliran pemikiran hukum pada masa klasik sampai pada post modernisme, Stanley L. Poulsen dan Shidarta membaginya dalam dua model aliran hukum yang pembagian tersebut berangkat dari pola hubungan antara hukum, fakta dan moral; pertama hukum yang menyatu dengan fakta (reductive thesis) dan terpisah dari fakta (normativity thesis). Kedua, hukum menyatu dengan moral (morality thesis) dan terpisah dari moral (separability thesis). Dari pola ini Poulsen tidak merinci pada banyak aliran-aliran pemikiran dalam hukum, ia hanya melampirkan tiga aliran pemikiran hukum, yaitu; aliran hukum kodrat (natural law theory), aliran legisme hukum ala Kelsenian (Klesen’s pure theory of law) dan aliran realisme hukum (empirico-positivist theory of law) (Shidarta dalam Absori dkk, 2017: 4).

(7)

7

oleh Kuntowijoyo (Absori dkk, 2015, dan Kelik Wardiono, 2016) dan akhir-akhir ini Universitas Muhammadiyah Surakarta sedang gencar menyebarkan wacana hukum transendental. Istilah wacana hukum langitan juga pernah dilontarkan oleh Anthon F. Susanto yang ditulisnya dalam sebuah buku kecil yang dikhususkan untuk mengkritisi wacana hukum profetik yang kedua buku tersebut dilaunching pada acara Konferensi Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) ke-5 di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Anthon F. Susanto, 2015). Terakhir adalah istilah hukum langit dari prosiding disertasi Muhyar Fanani (2008) yang menjelaskan upaya nasionalisasi hukum Islam dan Islamisasi hukum nasional.

Munculnya wacana pemikiran hukum yang beyond

postmodernisme di Indonesia itu tidak lain adalah bermula pada kegagalan legal positifisme hukum dalam memecahkan persoalan-persoalan kontemporer hukum yang sesungguhnya tidak an sich membutuhkan kepastian hukum dan legalitas atas segala perbuatan

hukum, baik yang bersifat onrechtsmatigedaad maupun yang

zaakwarneming. Kasus-kasus seperti pencurian biji kakao oleh nenek Minah, semangka afkiran oleh Kholil dan Basar, sandal jempit oleh pelajar SMK di Palu, kayu bakar oleh nenek Asyani, pisang batu oleh kakek Klijo Sumarto, minyak kayu putih oleh nenek Hasnah, piring oleh nenek Rasminah, penebang pohon Mangrove oleh Busri dan beberapa kasus semisal lainnya berbanding terbalik oleh kasus pembakaran hektaran hutan di Riau, dan korupsi menjadi bukti nyata ketidakmampuan positifisme hukum dalam menciptakan tujuan hukum diantara keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

(8)

8

pemikiran hukum legal formalisme pada tahun 1650 M, Belanda melalui VOC-nya dan pemerintahan kolonialnya telah menancapkan kuku imperialisme besarta tatanan nilai-nilai (norma dan teori) hukum, hingga masa akhir kejayaan paham teori ini (awal abad 19) Belanda masih tetap bercokol di Bumi Indonesia. Masa tanam dan internalisasi norma dan produk hukum kolonial yang positifistik ini jelas telah mengurat akar, dan sangat sulit dihilangkan dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia, maka dapat saja dipahami mengapa hakim-hakim itu mayoritas terkungkung dan nyaman terjebak dalam lingkaran legal formalistik yang positifitik, rasionalistik dan empiristik (Farkhani dan Evi Aryani, 2016: 31).

Legal formalistik yang positifistik, seusungguhnya tidak begitu buruk bilamana konsistensi dalam menjalankan hukum untuk keadilan dan kepastian hukumnya diterapkan secara adil kepada siapapun, prinsip atau azas equal before the law dipegangi dengan teguh oleh seluruh penegak hukum.

Ketidakkonsistenan yang selama ini diperlihatkan membuat pesimistis terhadap sistem hukum dan peradilan selama ini. Realitas yang kasat mata mempertontonkan para penegak hukum menjadi sangat cekatan, tegas dan mantap memproses hukum pada para terdakwa dari

kalangan masyarakat kaum proletar, membunyikan peraturan

(9)

9

Zaman terus bergerak dan berubah, ilmu pengetahuan terus dikembangkan, kesenjangan antara idealita dan kehidupan praksis terus didekatkan dalam semua sisi kehidpan manusia, termasuk dalam hal pemikiran ilmu hukum dan penerapannya dalam kasus perkasus. Para hakim sebagai benteng terakhir penegakan hukum, mulai ada yang berani membuka diri, menggali ilmu, nilai dan norma yang dapat dipedomani sebagai sumber hukum. Norma adat, norma kesopanan, norma kesusilaan dan norma agama mulai lebih sering dilirik, dijadikan bahan hukum guna tercapainya keadilan hukum sedekat mungkin dengan keadilan yang sesungguhnya.

Terkhusus dengan norma agama, hakim yang hidup dalam negara Indonesia yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan dalam setiap irah-irah putusannya tercantum “Demi Keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, menjadikan hakim sebagai “wakil” Tuhan di muka bumi untuk penegakan keadilan bagi seluruh manusia. Artinya bahwa setiap putusan yang hakim keluarkan harus benar-benar dapat dipastikan bahwa putusannya itu dapat dipertangungjawabkan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa.

(10)

10

argumentasi hukum dalam putusan pengadilan, dan sangat mungkin ada peluang untuk menjadikannya sebagai norma hukum nasional.

Setelah era Bismar Siregar, sulit didapatkan hakim yang menggunakan norma agama menjadi salah satu argumentasi dalam memutuskan perkara dalam persidangan, bukan berarti tidak ada. Akhir-akhir ini muncul putusan hukum yang semisal dengan apa yang pernah dilakukan oleh Bismar Siregar. Dalam sebuah persidangan pada perkara pembunuhan berencana di Pengadilan Negeri Purworejo, majlis hakim yang diketuai oleh Purnawan Narsongko, S.H., dengan hakim anggota Alex. TMH. Pasaribu, S.H. dan Mardiana Sari, S.H., M.H., menggunakan norma-norma agama sebagai salah satu argumentasi pemberian hukuman pada terdakwa Adriawan bin Subarjo.

Penelitian ini mencoba untuk mengkaji putusan hukum hakim Pengadilan Negeri Purworejo dalam menggunakan norma agama sebagai argumen hukum untuk pemberian hukuman pada terdakwa, dan bertolak dari persoalan ini juga akankah semakin terbuka dan berani para penegak hukum untuk menggunakan norma hukum transendental sebagai norma hukum yang keberlakuannya diakui secara terbuka dan menasional.

B. Norma Agama Sebagai Sumber Hukum Transendental

(11)

11

Menurut Absori (dalam Absori dkk, 2017: 14-15), pemikiran transendental berkaitan dengan pemahaman yang menempatkan ilmu pada jangkauan yang lebih luas melampaui batas-batas normatif kaidah ilmu yang bersifat rasional. Binkai ilmunya bersifat metafisik, supranatural dan sering kali irasional. Immanuel Kant memaknai transendental sebagai sebuah pemahaman yang melampaui batas-batas pengalaman. Menurut kaum Skolastik, transendental dipahami bersifat superkategoris, yakni mencakup segala hal yang lebih luas dari kategorisasi tradisional, baik dalam bentuk, potensi dan aksi. Transendental mampu mengungkap ciri universal dan adiindrawi dari yang ada yang ditangkap melalui intuisi yang melampaui pengalaman apapun. Transendental menunjukkan eksistensi melalui akumulasi kegiatan berfikir, kesadaran dan dunia (Lorens Bagus, 1996: 1118-1122).

Roger Garaudy, memaknai transendental dalam tiga perspektif; pertama, pengakuan ketergantungan manusia kepada Sang Pencipta, kedua, pengakuan terhadap kontinuitas dan ukuran bersama antar Tuhan dan manusia dan ketiga, mengakui keunggulan norma-norma mutlak yang melampaui akal manusia (M. Fahmi, 2005: 97). Dari pemahaman ini semua, diyakini bahwa agama, spiritual, etika dan moral sebagai bagian dari transendensi dalam kehidupan manusia.

(12)

12

transendensi agama bersifat fungsional, bukan sekadar untuk kehidupan akhirat yang bersifat ekskatologis murni dan terpisah dari kehidupan sekarang. Namun hal itu juga berfungsi praktis dan applicable untuk kehidupan dunia.

Agama sebagai petunjuk hidup yang didalammnya tertera banyak norma, termasuk norma yang bermuatan hukum, dapat dijadikan sebagai sumber hukum dan dapat pula dijadikan sebagai argumen hukum dalam mempertimbangan pemberian hukuman bagi pelanggar hukum. Bermula dari pemahaman ini kemudian muncul istilah hukum transendental yang sedang dikembangwacanakan oleh para sarjana hukum di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Konsep hukum transendental tercipta setelah mengelaborasi; (1) berbagai pemahaman dari para sarjana tentang transendental, (2) introdusir Spiritual Intellegence-nya Danar Zohar dan Ian Marshall yang diyakininya sebagai The Ultimate Intellegence, (3) konsep Emotional Spiritual Quotient-nya Ari Ginanjar Agustian dan (4) konsep hukum yang membahagiakannya Satjipto Rahardjo diperolehlah pemahaman bahwa yang dimaksud dengan hukum transendental adalah hukum yang mendasarkan pada nilai dan norma luhur agama, spiritual, etik dan moral untuk mengatur perilaku tutur dan tingkah laku

masyarakat hukum agar tercipta kehidupan yang harmoni,

mensejahterakan dan membahagiakan lahir dan batin. Hukum transendental juga tidak hanya menghendaki konten hukumnya tetapi juga pada sikap para penegak hukumnya yang menginternalisasi nilai-nilai transendensi.

Argumentasi hukum sifatnya wajib bagi hakim dalam setiap pemberian hukuman kepada pelanggar hukum. Keberadaannya di pastikan ada pada setiap putusan pengadilan pada saat mengakhiri persidangan. Dalam Terminologi Hukum (Rahuhandoko, 1996: 67), istilah

(13)

13

mengajukan alasan-alasan. Dalam Kamus Filasafat (Rakhmad, 1995: 22-23), ‘argument’ dari bahasa Latin ‘arguere’ yang berarti menjelaskan alasan-alasan (bukti) yang ditawarkan untuk mendukung atau menyangkal sesuatu. Adapun hukum secara ringkas diartikan sebagai aturan. Sehingga dapat dimakna bahwa yang dimaksud dengan argumentasi hukum adalah alasan-alasan yang dianggap logis yang memuat norma-norma hukum yang bertujuan meyakinkan pihak lain atas alasan yang dikemukakan. Argumentasi hukum yang biasa dijadikan pertimbangan pemberian putusan bagi hakim meliputi unsur-unsur legal justice, moral justice dan social justice.

(14)

14 BAB II

HUKUM TRANSENDENTAL DAN

ARGUMENTASI HUKUM DALAM PUTUSAN HAKIM

A. Hukum Transendental

Kebebasan beragama (religious freedom) menjadi salah satu bagian terpenting dalam kluster hak asasi manusia. Dalam sejarah pembentukan dan perubahan konstitusi di Indonesia, klausul kebebasan beragama tidak pernah hilang, bahkan mengalami penguatan dari waktu ke waktu dan semakin diperhatikan keberadaannya. Sebab sangat urgennya hak kebebasan beragama (religious freedom) dimasukan dalam klasifikasi sebagai non-derogable right - hak lainnya; hak atas hidup (freedom to life), hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture), hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery), hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang), hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut, hak atas kebebasan berfikir, keyakinan dan agama-, artinya hak kebebasan beragama adalah hak yang tidak boleh dikurangi dalam kondisi apapun (bencana, darurat ataupun perang) (Ifdhal Kasim, 2001: xii-xiii). Hak non-derogable right ini juga secara tegas tertuang dalam UUD 1945 pasal 28 huruf I ayat 1.

Kebebasan beragama (religious freedom) tidak boleh dikurangi, hanya diperbolehkan dilakukan pembatasan dengan alasan-alasan yang dibenarkan dan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Adapun keterangan yang dimaksud dengan pembatasan adalah sebagiamana terangkum dalam;

(15)

15

kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain”.

2. Deklarasi hak asasi manusia PBB (DUHAM) terangkum dalam pasal 29 ayat 2; “dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”.

3. Deklarasi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion and Belief) tahun 1981, pada pasal 1 Ayat 3; “Setiap orang

berhak atas kehidupan, kebebasan dan keamanan pribadi”.

4. Konvensi Hak-Hak Anak Persyarikatan Bangsa-Bangsa (Convention on the Rights of the Child), terdapat dalam pasal 14 ayat 3; “kebebasan untuk menyatakan agama seseorang atau kepercayaan seseorang, dapat tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan seperti yang ditentukan oleh undang-undang dan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan umum, ketertiban umum, kesehatan atau kesusilaan atau hak-hak atau kebebasan-kebebasan dasar orang lain”.

(16)

16

setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketetiban umum.

Berkenaan dengan hal tersebut, ada perdebatan yang cukup menarik antar hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009 berkenaan dengan penodaan agama, yang berpusat pada dua titik pemahaman dalam memahami kebebasan beragama dalam secara forum internum (sikap batiniyah) dan forum eksternum (sikap lahiriyah) (Suparman Marzuki, 2013: 200-203).

Berkaitan dengan persolan ini, mendasarkan pada UUD 1945 pasal 28 huruf I ayat 1, sangat mungkin melahirkan kebebasan berfikir dan berpendapat yang berdasarkan pada pemahaman atas keyakinan agama seseorang. Oleh karena tidak dapat disangkal bila kemudian ditemukan pemikiran-pemikiran dari para cerdik cendikia yang berkompeten di bidangnya masing-masing, ada kalanya mengikutsertakan pemahaman atau keilmuan yang berkaitan dengan agama pada persoalan yang sedang diperbincangkan atau bahkan menjadi landasan argumentasi dalam pandangan-pandangannya, baik secara tertulis maupun lisan.

Dalam ranah hukum, penyampaian argumentasi atau pendapat pribadi yang dikaitkan pada persoalan hukum yang sedang dihadapi bisa saja terjadi; apakah berasal dari para pihak yang bersengketa, terdakwa, kuasa hukum, penuntut umum bahkan dari hakim itu sendiri dalam pertanyaan-pertanyaan di persidangan sampai pada argumentasi hukum dalam putusannya.

(17)

17

adalah norma luhur dan adi luhung, atau ia adalah norma yang melampaui batas-batas rasionalitas (rasionalisme) yang didukung oleh kemampuan daya tangkap dan daya tampung panca indera manusia (empirisme). Selanjutnya nilai atau norma tersebut dikenal dengan istilah transendental.

Pengenalan istilah transendental sejatinya telah lama, yakni suatu pola pemikiran yang terlahir dari phythagorianisme yang mempengaruhi pemikiran Plato dan para pengikutnya serta kaum Neoplatonis, dan terus diperbincangkan dalam zaman Skolastik serta beberapa sarjana mewacanakannya sebagai anti tesis dari wacana yang telah popoler dan berkembang sebelumnya. Diantara tokoh yang mengangkat tesis ini adalah Immanuel Kant.

Tesis Kant (trancendental philosophy) tentang hal ini bermula dari perdebatan antara paham rasionalisme dan empirisme, khususnya rasionalisme G.W. Leibniz (1646-1716), dan empirisme David Hume (1711-1776). Kritik Kant berkenaan dua paham yang saling beroposisi melahirkan satu tesis baru yang “melampaui” batas-batas paradigma yang dipergunakan oleh dua paham tersebut. Kant tidak terpuaskan oleh argumentasi-argumentasi yang digunakan oleh rasionalisme yang lebih mengandalkan pada hasil pemikiran rasio semata. Ia menentang jargon yang diusung oleh Rene Descrtates “cogito erga sum” (saya berfikir maka saya ada”. Pemikiran Descrates ini seolah-olah tidak ada jalan pemikiran

(18)

18

Kritik Immanuel Kant terhadap rasionalisme dan empirisme ini sebab keduanya tidak mampu atau mengeluarkan segala sesuatu atau pengetahuan yang berasal dari sumber yang berada di luar rasia dan inderawi, misalkan memperbincangkan tentang Tuhan dan jiwa (ruh). Pemikiran Kant yang berkecenderungan bersifat metafisis memang

mengalami pertentang-pertentangan dalam zamannya, namun

pemikirannya sampai saat ini tidak hilang bahkan menjadi jalan lain (alternatif) atas kebuntuan-kebuntuan dari ilmu yang terpapar rasionalisme dan empirisme. Transendentalisme menjadi tren baru di fase post modernisme.

Begitu pula dalam ranah hukum, kejenuhan terhadap ragam produk dan pemikiran hukum yang bersifat rasional dan empiri mulai diragukan karena ketidakmampuannya untuk melahirkan keadilan dan rasa keadilan masyarakat yang menjadi subyek dari hukum itu sendiri. Hukum yang bersifat transendental mulai diangkat sebagai upaya lain untuk menerobos kekakuan-kekakuan hukum yang selama ini menjadi persoalan pelik dan selalu debatable, terutama dalam ranah law enforcment dari produk-produk hukum yang lebih mengunggulkan kepastian hukum.

Transendental, dalam bahasa Inggris ‘transcendent’, berasal dari bahasa Latin ‘trancender’. Trans bermakna seberang, atas, melampaui dan scender bermakna memanjat. Dari arti bahasa ini, muncul beberapa pengertian tentang makna istilah dari transendental; 1) sesuatu yang lebih tinggi, unggul, agung, melampaui, superlatif, 2) melampaui apa yang dalam pengalaman, 3) berhubungan dengan apa yang selamanya melampaui pemahaman terhadap pengalaman biasa dan penjelasan ilmiah, 4) tidak tergantung dan sendiri.

(19)

19

transendental adalah sesuatu yang berada di luar batas kemampuan dan pengalaman-pengalaman yang berawal dari eksploitasi ruang rasio dan inderawi manusia, ia adalah sesuatu yang tinggi, agung, suci, dan unggul, metafisis dan sangat mungkin bersifat ilahiyah.

Bila pengertian ini diterapkan pada ranah hukum, disebut sebagai hukum transendantal, secara sederhana adalah hukum yang tidak hanya terpaku pada produk-produk hukum yang argumentasi dan tafsirnya yang terpancang pada segala apa yang dapat ditangkap oleh logika hukum yang rasionalistik empiristik, tetapi melampaui batas-batas itu yang bersifat metafisis dan ilahiyah. Sebab dalam ranah hukum, produk hukum akan selalu terkait dengan sumber hukumnya dan idea of law, maka jalur yang paling singkat dan mudah untuk menemukan dan memahaminya adalah dalam norma-norma agama yang tersimpan rapih dalam diktum-diktum ajaran agama dalam masing-masing kitab suci agama. Selanjutnya lebih mudah menyebutnya sebagai norma dan/atau nilai agama. Singkatnya hukum transendental adalah objektifikasi norma dan/atau nilai agama menjadi hukum bagi manusia.

Jujur diakui bahwa wacana ini belum begitu populer dalam perkembangan ilmu hukum, tetapi telah ada dan mulai dilirik dalam berbagai kesempatan dalam ranah hukum terutama pada aspek argumentasi hukum dan ada pula produk-produk hukum di Indonesia.

B. Akar Diskursus Hukum Transendental

(20)

20

Para ilmuan mengatakan bahwa orang yang pertama kali memperbincangankan manusia dengan segala yang terkait dengan kehidupannya adalah Socrates. Dia-lah yang mengangkat tema manusia dengan segala seginya, termasuk bagaimana seharusnya manusia berperilaku pada diri dan alam sekitarnya. Berperilaku disini bermakna seharusnya manusia memposisikan diri sebagai organ makro kosmos untuk tunduk pada aturan-aturan alamiah. Pemikiran utama Socrates ini kemudian diperbincangkan dalam berbagai perspektif dan dari sini pula diyakini perbincangan tentang filsafat hukum termasuk kategorisasi aliran-aliran pemikiran hukum mulai berkembang. Pemikiran awal tentang hukum ini kemudian masuk dalam kategori aliran pemikiran hukum alam atau filsafat hukum alam.

Masa berikutnya adalah masa Plato. Plato adalah murid Socrates, maka tidak heran bila pandangan filsafatnya (filsafat hukum) banyak dipengaruhi oleh pemikiran Socrates. Tetapi perlu diketahui pula bahwa Plato mengenal filsafat tidak hanya dari Socrates, ia juga belajar pada filsuf-filsuf yang disebut sebagai filsuf pra sokratik, diantaranya Kratylos dan Heraklietos. Plato juga belajar dari kaum Sofis, walaupun banyak bertentangan dengan konsep relativisme moral kaum Sofis.

(21)

21

tidak mau dengan serta merta meninggalkan ajaran gurunya yang beraliran hukum alam. Sedangkan hukum alam menurut Otje Salman (2002: 63) adalah hukum yang normanya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dari alam semesta dan dari akal budi manusia.

Berawal dari pemikiran filsafat Plato ini, penulis meyakini sebagai cikal bakal aliran filsafat hukum positif (positifisme, realisme hukum). Statemen ini semakin jelas pemikiran hukum Aristotels yang merupakan murid langsung dari Plato. Otje Salman (2002: 64) menyebut Aristoteles sebagai pemikir hukum yang pertama-tama membedakan antara hukum alam dan hukum positif.

Perdebatan atau diskursus biner antara hukum alam dan hukum positif terus berlanjut sampai pada masa jauh setelah zaman Yunani kuno, diantaranya Thomas Aquinas dan Hugo Grotius sebagai filsuf hukum yang lebih condong beraliran hukum alam walau dengan bahasan yang lebih rinci dan klasifikasi kategoris yang mendasarkan pada asal sumber pemikiran hukumnya. Aquinas mengatakan bila antara hukum positif dengan hukum alam terjadi pertentangan, maka yang dimenangkan adalah hukum alam. Adapun Grotius mengatakan bahwa hukum alam adalah hukum yang riil dan sama dengan hukum positif (Otje Salman, 2002: 64-65).

(22)

22

mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah secara mutlak. Comte juga hanya mau mengakui hukum yang dibuat oleh negara.

Setelah dua tokoh itu, muncul Hans Kelsen (1881-1973) yang mengusung teori hukum murni. Hans Kelsen semakin mempertegas posisi dan kedudukan hukum positif di tengah menguatnya pemikiran dan praktik negara modern. Dalam bukunya “The Pure Theory of Law”, ia menyatkan “bahwa hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etika, sosiologi, politik, sejarah, dan lain sebagainya”. Selanjutnya menurut Kelsen bahwa orang menaati hukum karena ia merasa wajib untuk menaatinya sebagai suatu kehendak negara. hukum itu tidak lain merupakan suatu kaidah ketertiban yang menghendaki orang menaatinya sebagaimana seharusnya.

Pada masa ini pergulatan antara hukum yang bersumber pada idea Tuhan, kehendak alam dan akal budi manusia dan moral dengan hukum adalah hukum yang dibuat oleh negara lebih banyak unggul yang terakhir, kecuali pada negara dibelahan Timur, terkhusus negara-negara Islam yang berada dalam kekhilafahan Turki Utsmani. Sampai pada persoalan ini John Gilisem dan Frits Gorle (dalam Anton F. Susanto, 2010: 74) menerangkan bahwa sejarah memperlihatkan hukum berkembang dari apa yang kita kenal sebagai tatanan-tatanan hukum yang primitif menjadi tatanan hukum yang modern. Perkembangan selanjutnya menjadi semakin miris, karena melihat dunia hukum hanya dari teleskop perundang-undangan belaka untuk kemudian menghakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi (Khudzaifah Dimyati, 2005: 60).

(23)

23

perundang-undangannya, terutama Belanda. Tentu saja dengan berbagai argumentasi, terutama asas konkordasi, hukum yang mereka miliki diterapkan begitu saja kepada negara jajahannya serta diperkuat dengan pembelajaran ilmu hukum yang mendukung madzhab pemikiran hukum yang berjaya pada masa itu. Baik dengan cara menyediakan sekolah-sekolah hukum bagi pribumi di negara mereka dan/atau mendirikan sekolah hukum di negeri jajahan.

Sebab perkembangan yang demikian itu, menjadi wajar hal itu juga memperngaruhi alam pemikiran hukum di Indonesia. Oleh sebab itu corak pemikiran hukum para sarjana hukum dan peraturan perundang-undangan yang ada masyoritas bergenre positivisme. Tercermin jelas pada penekanan aspek legalitas, lebih sering mengesamping aspek-aspek moralitas, etika dan agama dalam praktek produksi dan penegakan peraturan perundang-undangan. Sebagai penguat atas statemen dimuka, sebagian kecil kasus yang sempat menjadi tranding topic pada beberapa tahun terakhir tulisan ini dibuat, diantaranya; pencurian minyak angin, pencurian biji kakao, ketumbar, sandal jepit, pisang dan beberapa kasus lainnya dengan skema penanganan yang serupa, siapa yang berbuat salah, ketangkap, pencocokan antara perbuatan dengan paraturan perundangan dan vonis.

Skema pemidanaan dalam pola positivistik hukum

Fakta dan skema hukum yang terlihat tersebut menunjukkan bahwa hukum itu tidak lain adalah yang terdapat dalam undang-undang,

Tangkap Pelanggar Hukum

Vonis Hukuman

(24)

24

dan bukan apa yang seharusnya, serta mengabaikan aspek moral, agama dan sosial di masyarakat.

Selanjutkan sebab berbagai fakta yang terjadi dalam dunia ilmu hukum dan hukum di Indonesia yang sangat terpengaruh oleh positivisme hukum, menjadikan hukum di Indonesia terpenjara dalam teks book peraturan perundang-undangan, mengabaikan terwujudnya cita hukum yang hakiki, meninggalkan kekacauan dan ragam problema dalam hukum baik dalam teks maupun implementasinya dalam law enforcment.

Kegagalan positivisme hukum yang demikian massif itu menimbulkan ragam kritik, yang intinya bahwa terjadinya kegagalan hukum dalam memainkan peranan yang sejati adalah akibat penerapan teori positivisme hukum dalam pembangunan hukum.

Dalam berapa kajian dan kritik yang dilakukan terhadap positivisme hukum, termasuk terhadap penerapan positivisme hukum di Indonesia datang dari para penganut penganut hukum responsif–sintesis dari berbagai aliran hukum, terutama aliran Hukum Alam, Madzhab Sejarah Hukum, Aliran Sociological Jurisprudence, Legal Realisme, maupun Critical Legal Studies movement. Ilmu hukum modern mulai digoyang, di geser ke berbagai lompatan wacana post modernisme yang ingin membebaskan diri pada terkungkungan teks dan rasionalitas empiris dalam berbagai ilmu yang selama ini diagungkan.

(25)

25

produk hukum (perundang-undangan) sangat sarat dengan kepentingan (politik), oleh karenanya setiap produk perundangan-undangan sangat terbuka untuk dicurigai ada muatan kepentingan tertentu yang membuat tujuan dari penciptaan hukum tidak tercapai.

Anton F Susanto dalam buku Ilmu Hukum Non Sitemik (2010) menolak klaim bahwa hukum berada dalam wilayah rasional-dogmatik dan statis yang dipegang erat oleh positivistik hukum, tetapi merupakan wilayah yang senantiasa mengalami retakan dan rekahan sehingga setiap saat akan muncul tatanan baru yang menggantikan tatanan lama dan usang. Sementara Kelik Wardiono (2016) mencoba memberikan tawaran wacana Hukum Profetik, dimana hukum seharus memperhatikan pula nilai-nilai luhur yang bersifat moralitas tertinggi dan nilai-nilai nubuwat. Walaupun apa yang ditawarkan oleh Kelik itu masih perlu pendalaman atau penegasan apa sesungguhnya hukum profetik itu.

Paling mutakhir yang sedang dikembangkan dan terus diupayakan penggaliannya adalah wacana hukum transendental. Absori (2016) dan para sarjana hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta sedang gencar menyuarakan aliran baru ini. Sebuah aliran yang berkeinginan mem-breakdown-kan nilai-nilai ajaran ilahiyah yang tertampung dalam ragam kitab suci untuk menjadi solusi atas ketidakberhasilan ragam ilmu hukum yang dikembangkan berdasarkan pada rasio dan meta rasio manusia.

C. Argumentasi Hukum dalam Putusan Hakim

Dari perkembangan tawaran aliran hukum transendental ini, terus disebarkan kepada para pemegang kepentingan atas tegaknya hukum yang sering kali terlihat semakin tidak menentu arahnya, sering meleset dari rel keadilan dan jauh dari rasa keadilan masyarakat.

(26)

26

dan menggunakan argumentasi hukum yang sebelumnya sangat terkotak dalam idealita positivisme hukum. Terutama paradigma pemikiran hukum para hakim sebagai benteng keadilan hukum yang terakhir. Putusan-putusan pengadilan yang merupakan hasil karya pemikiran para hakim, selama ini mayoritas didominasi pola pemikiran positivistik. Argumentasinya lebih sering tertuju lebih banyak berlandaskan kitab-kitab hukum (law in book law), sangat jarang mencari argumentasi hukum berdasarkan pada norma-norma lain yang hidup dan diakui dalam sistem hukum di Indonesia.

Andaipun ada, ujung-ujungnya hukum atau sanksi yang diterapkan kembali lagi pada peraturan perundangan yang sudah ada, sangat jarang yang hasil akhirnya out of the box dari positivisme.

Berkenaan dengan argumentasi hukum yang dapat saja dipakai oleh siapa saja yang memiliki perkara atau kepentingan yang berkaitan dengan hukum. Argumentasi hukum menjadi wajib untuk dikemukakan agar pihak lain memahami persoalan yang sedang diperbincangkan atau dihadapi.

(27)

27

Berargumentasi berarti memberikan alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan.

Berdasar pada arti bahasa argumentasi, kemudian sambungkan dengan kata hukum yang secara sederhana berarti norma atau peraturan yang mengatur tingkah laku manusia untuk berbuat atau tidak berbuat, maka makna dari frasa argumentasi hukum adalah alasan atau landasan pijak norma atau peraturan yang digunakan untuk meyakinkan secara logic dan yuridis pendapat hukumnya atau menolak pendapat atau gagasan hukum orang lain. Kusnu Goesniadhie memberikan pengertian argumentasi hukum adalah “alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara logis, untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas hukum, norma hukum dan peraturan hukum konkret, serta sistem hukum dan penemuan hukum”.

Berbicara dan menggunakan argumentasi hukum dalam praktik, tidak bisa dipisahkan dengan penalaran (logika) hukum dan penafsiran (interpretasi) hukum. Penalaran (logika) secara terminologi adalah suatu metode yang penilaian terhadap ketepatan penalaran yang dipakai untuk suatu argumentasi, sedangkan teori argumentasi ialah cara untuk mengkaji bagaimana menganalisis dan merumuskan suatu argumentasi (secara tepat dan jelas), serta rasional yang kemudian diimplementasikan dengan cara mengembangkan kriteria universal dan/atau kriteria yuridis sebagai suatu landasan rasional argumentasi hukum (Feteris, E.T., 1994: 2).

(28)

28

seseorang. Peran nalar yang baik dan benar, runut dan argumentatif sangat penting perannya dalam memberikan argumentasi hukum.

Adapun interpretasi hukum lebih merupakan suatu teknik untuk

memahami norma hukum (peraturan perundangan)agar dapat

menangkap pesan yang hendak dicapai oleh norma yang ada. Karena hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan adalah buah karya manusia dan merupakan produk politik yang sarat akan kepentingan. Walaupun kodifikasi tersebut telah diupayakan dengan sungguh-sungguh detail-detailnya tetap saja tidak akan sempurna, tetap menyisakan celah yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja agar terhindar dari jerat hukum. Apalagi akselerasi dinamika perubahan dan kemajuan kehidupan manusia selalu lebih cepat daripada hukum yang terkodifikasi tersebut. Oleh sebab itu muncul model-model penafsiran (interpretasi) hukum, kodifikasi hanya berfungsi sebagai pedoman agar ada kepastian hukum. Jangankan hukum yang diproduk manusia, hukum yang diturunkan Tuhan melalui kitab suci nabi-nabi-Nya ternyata memunculkan pula metode-metode penafsiran.

(29)

29

Interpretasi hukum hasil akhirnya adalah temuan hukum. Namun demikian, norma hukum tidak dapat diinterpretasikan bila tidak menggunakan alat yang disebut nalar hukum sebagaimana diterangkan di atas.

Nalar hukum dan interpretasi hukum sebagai bahan utama argementasi hukum harus benar-benar rasional. Argumentasi hukum yang rasional mencakup tiga struktut

1. Struktur Logika:

Alur premis menuju pada konklusi dari suatu argumentasi harus logis. Penalaran yg digunakan bisa berupa penalaran deduksi - pendekatan UU - pendekatan precedence .

2. Struktur Dialektika:

Agar argumentasi tidak monoton, maka hrs diberikan sentuhan dialektika, dan di dalam dialektika itu suatu argumentasi diuji, terutama pada argumentasi prokontra.

3. Struktur Prosedural:

Dalam pemeriksaan pengadilan diatur oleh hukum formal yg sekaligus merupakan rule of law dalam proses argumentasi dalam penanganan perkara di pengadilan. Prosedur dialektika di

pengadilan diatur oleh hukum acara

(http://nanangsuprijadi.blogspot.co.id).

Putusan pengadilan diibaratkan sebagai karya ilmuah hakim. Karena ia dapat dikatakan sebagai sebuah karya ilmiah, maka argumentasi hukum yang dikemukakan oleh hakim sangat penting. Dari argumentasi hukum itulah kualitas hakim dapat dinilai professionalitas, akuntabiltas sekaligus integritasnya sebagai seorang hakim.

(30)

30

akal atau sesuai dengan aturan dan rasional. Realitas di lapangan ada kalanya para yuris yang ahli berargumen membawa argumentasi kearah yang membingungkan untuk tujannya pribadi ataupun kepentingan kelompoknya. Pada beberapa kasus terakhir lemahnya argumentasi hukum dari para hakim bukan karena lemahnya intelektualitas, tetapi lebih sering dipengaruhi oleh faktor eksternal yang membuat independensi dan kemerdekaan hakim menjadi rusak.

Ada 2 (dua) jenis argumentasi hukum, argumentasi tertulis dan lisan serta argumentasi internal dan eksternal. Dalam persoalan yang sedang kita bahas, yang diperlukan adalah arumentasi tertulis dan argumentasi lisan, dan lebih khusus argumnetasi hukum secara tertulis. Argumentasi hukum tertulis adalah argumentasi hukum yang dirumuskan secara tertulis. Di dalam materi argumentasi tertulis terkandung makna penemuan hukum dan pembentukan hukum yang dilandasi dengan ilmu hukum, prinsip-prinsip hukum, asas-asas hukum, teori hukum dan falsafah hukum. Argumentasi tertulis merupakan landasan untuk melakukan argumentasi lisan. Seorang atau beberapa orang ahli hukum dapat melakukan artikulasi dan improvisasi dengan mengacu kepada argumentasi tertulis. Oleh karena itu, argumentasi lisan tidak boleh bertentangan dengan argumentasi tertulis. Argumentasi lisan akan memperkaya dan memperjelas apa yang terkandung di dalam argumentasi tertulis.(Tommy Hendra P., 2011).

D. Implementasi Hukum Transendental sebagai Argumentasi Hukum dalam Putusan Hakim

(31)

31

dilakukannya. Adapun dalam persepsi masyarakat pada umumnya tentang hakim adalah orang yang mengadili perkara di lembaga peradilan, berpakaian toga hitam dan memiliki tingkat prestise yang baik dalam strata sosial masyarakat pada umumnya. Hakim dipandang sebagai orang “suci” karena kedudukannya dan pemahamannya terhadap setiap persoalan hukum yang ada. Persepsi masyarakat tentang hakim yang demikian itu tidak salah, akan tetapi memahami secara mendalam tentang hakim sangat penting, terutama bagi para peminat ilmu hukum (Farkhani dan Evi Ariyani, 2016: 41).

Pengertian hakim yang diberikan oleh para ahli memang tidak jauh dari persoalan tersebut. Kata hakim secara khusus memiliki dua makna, yaitu; 1) pembuat hukum, yang menetapkan, yang memunculkan dan

sumber hukum, 2) yang menemukan hukum, menjelaskan,

(32)

32

jelas sebagai perintah UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Tugas berat tersebut diperberat dengan kaharusan memulai pembukaan setiap putusan hukum yang dikeluarkannya dengan klausul “demi keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (pasal 2 {1} UU No. 49 tahun 2009). Dari frase ini saja sudah dapat dikatakan bahwa hakim adalah wakil Tuhan dalam menetapkan keadilan di dunia. Jadi keadilan yang lebih utama yang harus ditegakkan bukan hukum (kepastian hukum). Memang sesuai dengan pasal 1 ayat (1) dan pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dan peradilan adalah menegakkan hukum dan keadilan. Tetapi asas kemerdekaan hakim dan kebebasan hakim untuk berbeda pendapat dalam menilai dan memberi putusan pada suatu dakwaan kasus. Disinilah ruang penegakkan keadilan yang seharusnya menonjol.

Tidak mudah untuk menemukan keadilan, karena persepsi setiap orang terhadap keadilan berbeda. Putusan yang dianggap hakim sebagai suatu keadilan belum tentu akan terasa adil bagi para pihak yang berperkara ataupun bagi masyarakat. Ditambah lagi dengan tak ada satu kata sepakat untuk devinisi tentang keadilan. Lord Denning yang seorang Hakim Agung Inggris pernah mengatakan bahwa “Justice is not something you can see. It is not temporal but eternal. How does a man know what is justice.

It is not the product of his intellect but of his spirit” (dalam Farkhani dan Evi

Ariyani, 2016: 43-44).

(33)

33

billah (QS. Ali Imran: 110). Atau dapat pula diperlebar bahwa transendensi adalah menempatkan nilai nilai agama pada kedudukan yang sentral dan tinggi dalam ragam ilmu. Dalam ranah hukum dapat dimaknai bahwa hukum transendental berisi nilai-nilai suci agama yang diimplementaskan dalam produk hukum, termasuk didalamnya putusan pengadilan yang dibuat oleh hakim.

Pemikiran ini merupakan reaksi atas ekses-ekses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi dalam bidang ilmu sosial khusunya (hukum) sehingga mendorong terjadinya gairah untuk menangkap kembali alternatif-alternatif yang ditawarkan oleh agama untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Dalam bingkai modernisasi yang selama ini berlangsung menempatkan menempatkan manusia sebagai produk renaissance yang berakar pada rasio manusia. Pusaran antroposentrisme menjadikan manusia sebagai pusat dunia, manusia merasa cukup dengan dirinya sendiri dan melepaskan diri dari nilai-nilai di luar dirinya (sekularisasi). Dari proyek ini selanjutnya adalah

menempatkan rasio manusia di atas segalanya, manusia

memproklamirkan dirinya sebagai penguasa diri dan alam raya. Kesombongan rasio ini pada akhirnya manusia menjalani kehidupannya tanpa makna, termasuk pada setiap produk yang dihasilkan dari rasionya. Rasionalisasi miskin transendensi, miskin transendensi berati miskin makna, mengesampingkan moralitas, terperangkap dalam penjara yang tertangkap indera.

(34)

34

Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada kehancurannya.

Dalam putusan hakim, dikenal istilah legal reasoning. Pengertian legal reasoning digunakan dalam dua arti, yaitu dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, legal reasoning berkaitan dengan proses psikologi yang dilakukan Hakim, untuk sampai pada keputusan atas kasus yang dihadapinya. Studi legal reasoning dalam arti luas menyangkut aspek psikologi dan aspek biographi. Legal reasoning dalam arti sempit, berkaitan dengan argumentasi yang melandasi satu keputusan. (Golding, 1984: 1).

Legal reasoning atau argumentasi hukum keberadaannya adalah wajib dalam setiap putusan pengadilan. Karena tidak mungin seorang hakim atau juris pada umumnya, menghadapi persoalan hukum dalam ruang hampa, pasti ada pijakan-pijakan yang akan dipilih untuk menyusun logika argumentatif, menyesuaikan antara teks dengan konteks. Hakim harus bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya serta di dalam membuat pertimbangan hukum hakim harus berdasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar (pasal 68 A UU No. 49 Tahun 2009). Pada prakteknya, hakim lebih sering berargumentasi hukum dengan hukum positif dengan simplikasi lebih terjamin kepastian hukumnya.

Realita yang demikian walaupun mayoritas tidak berarti harus diikuti untuk semua perkara hukum. Karena banyak juga kegagalan-kegagalan yang ditimbulkan yang semata-mata mengacu pada hukum positif sementara fakta tidak mesti sama persis dengan apa yang diinginkan oleh hukum positif.

Marni Emmy Mustafa (www.pt-bandung.go.id) menegaskan bahwa kepastian hukum tidak selalu menghasilkan keadilan. Mendiskusikan

(35)

35

Kepastian hukum mungkin saja berguna untuk memastikan seberapa jauh

nilai yang dapat diberikan terhadap kepastian hukum dalam kasus tertentu,

sebagaimana dihadapkan pada pertimbangan-pertimbangan lain yang

melemahkan nilai kepastian hukum. Argumentasi untuk kepastian hukum

dalam kasus yang berbeda satu sama lain akan beragam sesuai dengan

ukuran yang pada gilirannya akan berubah-ubah sesuai waktu dan tempat

terjadinya kasus tersebut. Berbagai alasan yuridis yang berbeda-beda akan

dipergunakan atau berbagai macam metoda penemuan hukum akan

diterapkan, agar di samping kepastian hukum, putusan akhir pengadilan

juga akan dilandaskan pada pertimbangan akan keadilan.

Oleh karenanya yang perlu diperhatikan oleh hakim adalah kesesuaian antara fakta dengan norma, norma yang dimaksud tidak hanya berhenti pada norma hukum saja akan tetapi dapat juga mempertimbangkan norma moral, doktrin bahkan norma agama yang transendental dan bersumber pada kitab suci agama. Pada posisi seperti ini, hakim memainkan posisi kunci dalam penggunaan norma yang akan dijadikan sebagai pertimbangan atau argumentasi hukum. Bahkan sangat mungkin apa yang dilakukan oleh hakim akan lebih berarti dibandingkan dengan sekedar membunyikan undang-undang atau peraturang perundangan lainnya. Franken menegaskan bahwa pembentukan pembentukan hukum oleh hakim dianggap sebagai suatu hal yang baik karena hakim melakukan perumusan aturan-aturan sedemikian rupa sehingga melalui perumusan tersebut juga ditetapkan fakta yang dalam hal ini adalah fakta hukum hasil pemeriksaan mana dalam kasus tertentu menjadi relevan dan kemudian putusan akhir akan mengalir darinya sebagai satu cara penyelesaian konkret dari sengketa (Herlien Budiono, 2006: 267).

(36)

36

(37)

37 BAB III

KABUPATEN PURWOREJE DAN PENGADILAN NEGERI PURWOREJO

A. Sekilas Kabupaten Purworejo

1. Letak Geografi dan Sejarah Singkat Kabupaten Purworejo

Kabupaten Purworejo merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang terletak antara 109°47’28’’ sampai 110°8’20” Bujur Timur dan antara 7°32’’ sampai 7° 54’’ Lintang Selatan. Sebelah Utara Kabupaten Purworejo berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo dan Magelang dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kebumen dan sebelah timur berbatasan dengan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tepatnya Kabupaten Kulonprogo.

(38)

38

Peta Kabupaten Purworejo

Wilayah Administrasi Kabupaten Purworejo terbagi dalam 16 Kecamatan. Wilayah tersebut terdiri dari 469 desa dan 25 kelurahan. (Badan Pusat Statistik Kab. Purworejo, 2017: 3).

2. Sejarah Singkat Kabupaten Purworejo

Sejarah keberadaan Purworejo sebagai sebuah wilayah administrasi pemerintahan dapat dilihat pada Prasasti Kayu Ara Hiwang ditemukan di Desa Boro Wetan (Kecamatan Banyuurip), jika dikonversikan dengan kalender Masehi adalah tanggal 5 Oktober 901. Ini menunjukkan telah adanya pemukiman sebelum tanggal itu.

Bujangga Manik, dalam petualangannya yang diduga dilakukan pada

abad ke-15 juga melewati daerah ini dalam perjalanan pulang dari

Bali ke Pakuan. Sampai sekarang, kapan tepatnya tanggal ulang tahun

(39)

39

Setelah Kadipaten Bagelen diserahkan penguasaannya kepada Hindia Belanda oleh pihak Kesultanan Yogyakarta (akibat Perang Diponegoro), wilayah ini digabung ke dalam Karesidenan Kedu dan menjadi kabupaten. Belanda membangun pemukiman baru yang diberi nama Purworejo sebagai pusat pemerintahan (sampai sekarang) dengan tata kota rancangan insinyur Belanda, meskipun tetap mengambil unsur-unsur tradisi Jawa. Kota baru ini adalah kota tangsi militer, dan sejumlah tentara Belanda asal Pantai Emas (sekarang Ghana), Afrika Barat, yang dikenal sebagai Belanda Hitam dipusatkan pemukimannya di sini. Sejumlah bangunan tua bergaya indisch masih terawat dan digunakan hingga kini, seperti Masjid Jami' Purworejo (tahun 1834), rumah dinas bupati (tahun 1840), dan bangunan yang sekarang dikenal sebagai Gereja GPIB (tahun 1879). Alun-alun Purworejo, seluas 6 hektare, konon adalah yang terluas di Pulau Jawa. (Wikipedia, diakses 28 Agustus 2017).

3. Jumlah Penduduk dan Prosentasi Pemeluk Agama

(40)

40

Persentase Penduduk Dirinci Menurut Agama yang Dianut Per Kecamatan di Kabupaten Purworejo Tahun 2016

Kecamatan Islam Katolik Kristen Budha Hindu Lainnya Jumlah

Grabag 99.20 0.40 0.40 - - - 100

Ngombol 88.98 10.31 0.70 - 0.01 - 100

Purwodadi 96.84 1.40 1.70 0.05 0.01 - 100

Bagelen 96.33 1.00 1.10 1.55 0.02 - 100

Kaligesing 97.70 1.40 0.90 - - - 100

Purworejo 92.54 3.80 3.50 0.06 0.10 - 100

Banyuurip 97.38 1.10 1.50 - 0.02 - 100

Bayan 99.39 0.20 0.40 0.01 - - 100

Kutoarjo 93.98 2.60 3.30 0.08 0.01 - 100

Butuh 99.09 0.10 0.80 0.01 0.01 - 100

Pituruh 99.58 0.10 0.30 0.02 - - 100

Kemiri 99.60 0.10 0.30 - - - 100

Bruno 99.79 0.10 0.10 0.01 - - 100

Gebang 99.76 0.10 0.10 - 0.04 - 100

Loano 99.40 0.40 0.20 0.01 - - 100

Bener 99.70 0.10 0.20 - - - 100

Jumlah 97.28 1.46 1.16 0.08 0.02 0.00 100 Tahun

2015

97.28 1.46 1.16 0.08 0.02 0.03 100

Tahun 2014

97.46 1.45 0.96 0.11 0.01 0.08 100

(41)

41

Aktivitas ekonomi kabupaten ini bergantung pada sektor pertanian dan perkebunan, di antaranya padi, jagung, ubi kayu dan hasil palawija lain. Di tingkat Provinsi Jawa Tengah, Purworejo menjadi salah satu sentra penghasil rempah-rempah (Bahasa Jawa: empon-empon), yaitu: kapulaga, kemukus, temulawak, kencur, kunyit dan jahe. Selain itu Purworejo dikenal sebagai sentra kelapa yang produksinya selain dimanfaatkan sebagai kelapa sayur, juga diolah menjadi gula merah dan minyak kelapa serta merupakan pusat penghasil mlinjo. Disamping itu Purworejo juga pernah memiliki

produk unggulan di bidang peternakan dan perikanan.

Pengembangan kambing Etawa peranakan sampai pernah ekspor ke Malaysia. Adapun di bidang industri, Kabupaten Purworejo tidak banyak memiliki sentra industri dan yang ada tidak banyak menyerap tenaga kerja. Begitupula dari sisi pariwisata, walaupun ada sebagian daerahnya menghadap ke laut namun belum ada pantai yang bisa dijual untuk tujuan pariwata yang menarik minat pelancong. Destinasi pariwisata yang adapun tidak begitu terkenal sampai keluar Purworejo (https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Purworejo).

Dilihat dari sisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kondisi perekonomian Kabupaten Purworejo dalam kurun waktu tahun 2005-2009, PDRB Kabupaten Purworejo atas harga berlaku berturut-turut sebesar 2.951.647,48; 3.443.170,90; 4.094.294,69; 4.660.785,05 dan 5.328.179,09 juta rupiah atau meningkat tiap tahun sebesar 14,21%. PDRB Perkapita atas dasar harga berlaku dalam kurun waktu 2005-2009 adalah 4.812.345,86; 5.707.718,23; 6.478.747,52; 7.376.755,82; dan 8.098.565,72 rupiah atau tiap tahun naik sebesar 13,94%.

(42)

42

Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) dan Upah Minimum Regional (UMR)/Upah Minimum Kabupaten (UMK). Pada tahun 2005-2009 standar UMK di Kabupaten Purworejo adalah Rp. 410.000,-; Rp. 460.000,-; Rp. 500.000,-; Rp. 555.000,-. Dan Rp. 643.000 Sedang untuk KHM masyarakat Rp. 420.893,-; Rp. 545.308,-; Rp. 586.219,-; 623.319,-.; 623.319,- Perbandingan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) dan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Kabupaten Purworejo Tahun

2005-2009 sebagaimana tersaji pada gambar 4.5 berikut

(bappeda.purworejokab.go.id).

B. Pengadilan Negeri Purworejo

Purworejo, sebagai wilayah administrasi yang tidak terlalu luas dan dengan dominasi kehidupan masyarakat pedesaan yang cenderung guyub dan rukun, tidak begitu banyak peristiwa hukum yang menimbulkan aksi hukum (legal action) yang harus diselesaikan melalui meja peradilan. Oleh karena tidak begitu banyak perkara yang masuk di meja Pengadilan Negeri Purworejo, kelas PN Purworejo masuk kategori 1B.

Contoh Statistik Perkara di Bulan September 2017

(43)

43 Pembayaran Utang

5 Hak Kekayaan

intelektual

0 0 0 0 0 0

6 Pengadilan

Hubungan Industrial

0 0 0 0 0 0

7 Perlawanan/Bantahan 0 0 0 0 0 0

8 Gugatan Sederhana 0 0 0 0 0 0

9 Pidana Biasa 36 6 11 4 7 30

10 Pidana Singkat 0 0 0 0 0 0

11 Pidana Cepat 0 31 31 31 0 0

12 Perkara Lalu-Lintas 0 2242 2242 2242 0 0

13 Pidana Anak 2 1 0 0 0 3

14 Pidana Praperadilan 0 0 0 0 0 0

Total 54

Sumber: pn-purworejo.go.id

1. Sejarah Singkat PN Purworejo

Pengadilan Negeri di Purworejo dahulu ada 2 (dua) yaitu Pengadilan Negeri yang terletak di Purworejo dan Pengadilan Negeri di Kutoarjo, Pada masa Mr. Wirjono Prodjodikoro menjadi Ketua Pengadilan Negeri Purworejo oleh beliau Pengadilan Negeri Kutoarjo dihapuskan dan dimasukkan dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Purworejo. Daerahnya meliputi seluruh daerah tingkat II Purworejo yang terdiri dari 16 (enam belas) kecamatan dan terdapat 496 (empat ratus sembilan puluh enam) desa, yang luas seluruhnya 104.137.788 Ha yang terdiri dari tanah darat dan dan tanah sawah.

(44)

44

Purworejo, dibangun pada zaman penjajahan Belanda di atas tanah seluas 2142 M2. Keadaan gedung sudah tua dan kurang luas baik untuk persidangan maupun tempat bekerja untuk para pegawai yang bertambah jumlahnya. Pada Tahun Anggaran 1979/1980 Pengadilan Negeri Purworejo pernah menerima DIP No.76/XIII/3/1979 tertanggal 25 Mei 1979 untuk pembelian tanah dan pembangunan gedung kantor baru namun baru memperoleh tanahnya saja, sedang pembangunan gedung kantor tersebut tidak dapat diselesaikan karena :

a. Sumber dana yang diterima dari pusat sangat lambat

b. Setelah gambar diterima ternyata harus ada ketentuan dari Dinas Pekerjaan Umum Magelang, bahwa untuk daerah Kedu Selatan termasuk daerah gempa, sehingga gambar dari Cipta Karya tidak disetujui sehingga harus dirubah konstruksi pondasinya.

c. Perubahan nama memakan waktu lama sehingga pada waktu tendernya tidak ada rekanan yang mau melaksanakan dan untuk merenovasi DIP-nya sudah tidak mungkin.

Pada Tahun Anggaran 1986/1987 Pengadilan Negeri Purworejo telah menerima DIP No.096/XIII/3/1986 tertanggal 1 Maret 1986 untuk untuk pembangunan gedung kantor baru yang terletak dijalan Tentara Pelajar KM.04 Purworejo, di atas tanah seluas 5000 M2 dan luas bangunan 624 M2 serta pengerasan tempat parkir seluas 600 M2. Mengingat bertambahnya pegawai pada kantor Pengadilan Negeri Purworejo, maka pengadilan Negeri Purworejo pada Tahun Anggaran 1993/1994 mendapat DIP No.42/XIII/3/1993 tertanggal 17 Maret 1993 guna perluasan gedung kantor baru seluas 600 M2.

(45)

45

Pengadilan Negeri Purworejo merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum. Tugas pokok Pengadilan Negeri Purworejo adalah sebagai berikut:

1. Mengadili, dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya sesuai dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Menyelenggarakan Administrasi Perkara dan Administrasi Umum lainnya.

Pengadilan Negeri Purworejo masuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tinggi Jawa Tengah, dengan luas wilayah kurang lebih 1034,82 Km2 yang terdiri dari 16 (enam belas) kecamatan dan 496 (empat ratus sembilan puluh enam) Desa / Kelurahan sebagai berikut:

1. Kecamatan Purworejo, terdiri dari 17 (tujuh belas) Desa / Kelurahan yaitu:

2. Kecamatan Banyuurip, terdiri dari 27 (dua puluh tujuh) Desa / Kelurahan

3. Kecamatan Bayan, terdiri dari 26 (dua puluh enam) Desa / Kelurahan

4. Kecamatan Bener, terdiri dari 28 (dua puluh delapan) Desa / Kelurahan

5. Kecamatan Bruno, terdiri dari 18 (delapan belas) Desa / Kelurahan

6. Kecamatan Butuh, terdiri dari 41 (empat puluh satu) Desa / Kelurahan

7. Kecamatan Gebang, terdiri dari 25 (dua puluh lima) Desa / Kelurahan

(46)

46

9. Kecamatan Kaligesing, terdiri dari 21 (dua puluh satu) Desa / Kelurahan

10.Kecamatan Kemiri, terdiri dari 40 (empat puluh) Desa / Kelurahan

11.Kecamatan Kutoarjo, terdiri dari 27 (dua puluh tujuh) Desa / Kelurahan

12.Kecamatan Loano, terdiri dari 21 (dua puluh satu) Desa / Kelurahan

13.Kecamatan Ngombol, terdiri dari 57 (lima puluh tujuh) Desa / Kelurahan

14.Kecamatan Pituruh, terdiri dari 49 (empat puluh sembilan) Desa / Kelurahan

15.Kecamatan Purwodadi, terdiri dari 40 (empat puluh) Desa / Kelurahan

16.Kecamatan Purworejo, terdiri dari 25 (dua puluh lima) Desa / Kelurahan.

(47)

47

Sebagaimana tradisi dalam kepemimpinan di lingkungan Mahkamah Agung, termasuk didalamnya berkenaan dengan struktur organisasi pada lembaga peradilan di seluruh Indonesia, struktur organisasi di Pengadilan Negeri Purworejo juga terus berubah dari waktu ke waktu bahkan dalam rentang waktu yang tidak lama. Dalam struktur terbaru, wakil ketua FX. Heru Santoso, S.H., M.H, kini posisinya digantikan oleh Sutarno, S.H., M.Hum.

Gedung Pengadilan Negeri Purworejo

C. Norma Agama dalam Putusan Hakim di Pengadilan Negeri Purworejo

Hukum diciptakan untuk terciptanya keadilan dalam kehidupan, bermanfaat bagi kehidupan dan menjamin adanya kepastian hukum. Ketertiban, keadilan, kedamaian dan kesejahteraaan adalah core utama dari terciptanya hukum, walaupun banyak yang abai terhadap tujuan substansi hukum itu diciptakan. Demi terwujudnya tujuan penciptaan hukum, maka perlu adanya sanksi (pidana, perdata atau lainnya).

(48)

48

bermartabat. Lembaga peradilan menjadi organ yang melaksanakan tugas mengadili ragam pelangggaran hukum sesuai dengan kompetensi relatif dan absolutnya. Aktor utama sekaligus benteng terakhir dari proses penegakan hukumnya adalah hakim.

Hakim adalah pejabat yang memimpin persidangan. Ia yang memutuskan hukuman bagi pihak yang dituntut. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan dan pelanggaran akan hal ini dapat menyebabkan hukuman. Hakim biasanya mengenakan baju berwarna hitam. Sedangkan menurut UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur oleh undang-undang (pasal 31). Adapun yang dimaksud dengan kekuasaan

kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia (pasal 1).

Hakim disebut sebagai aparatur penegak hukum yang diberi kedudukan tinggi dan wewenang oleh undang-undang diharapkan memberikan putusan yang seadil-adilnya, memberi kepastian dan manfaat hukum yang tepat untuk setiap kasus yang diajukan padanya.

(49)

49

Soerjono Soekanto (1982: 51) mengatakan bahwa pada diri seseorang memiliki faktor-faktor yang dapat mempengaruhi karakter dan kepribadiannya, yaitu;

1. Raw in put yaitu faktor-faktor individual dan latar belakang kehidupan yang bersangkutan, misalnya pengaruh orang tua, 2. Instrumental in put yaitu faktor-faktor pendidikan formal, misalnya

pengaruh sekolah,

3. Environmental in put yaitu faktor-fakor yang berasal dari lingkungan sosialnya secara luas.

Pendapat tersebut dikuatkan juga oleg Bismar Siregar (1986: 51), ia mengatakan bahwa “kemandirian dan kebebasan hakim sangat bergantung pada pribadinya dan kemandirian hakim bukan terletak pada jaminan undang-undang tapi iman”.

Sebab begitu urgennya posisi hakim dalam penegakan hukum, maka hakim diberikan kebebasan seluasnya untuk menggunakan norma sebagai jaminan kemerdekaannya. Jaminan itu telah tertuang dalam konstitusi pasal 24 UUD 1945 dan dipertegas dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kebebasan yang dimaksud dalam peraturan perundangan tersebut, termasuk didalamnya kebebasan dalam menentukan argumentasi hukum yang digunakan sebagai dasar pemberian hukum dalam putusan suatu perkara hukum.

Begitupula dengan para hakim yang ada di Pengadilan Negeri Purworejo, mereka memiliki kebebasan dalam membuat argumentas hukum dalam setiap putusan-putusan pengadilan pada perkara yang ditanganinya, termasuk menuangkan norma dari ajaran-ajaran agama sebagai bagian dari argmentasi hukum dalam putusannya.

(50)

50

oleh hakim sebagai argumentasi hukumnya. Kelangkaan pasca masa Bismar ini, seolah-olah menguatkan kembali pada pemikiran para hakim aliran positivisme hukum dalam dunia peradilan di Indonesia, mengesampingkan nilai ajaran agama sebagai norma.

Oleh karenanya kasus yang terjadi di Pengadilan Negeri Purworejo yang mengutip banyak norma agama-agama yang berlaku di Indonesia menjadi satu pertanda atau angin segar terbukanya kembali norma hukum yang bersifat transendental mewarnai putusan-putusan pengadilan di Indonesia, walaupun titik awal pusarannya dari pengadilan “kecil” kelas 1B di sebuah kabupaten yang tidak begitu terkenal di pesisir Jawa bagian Selatan. Putusan yang dimaksud adalah Putusan Nomor: 61/Pid.B/2011/PN.Pwr. dalam kasus “percobaan berencana secara berbarengan dan percobaan pembunuhan”. Majelis Hakim yang terlibat

dalam pembuatan putusan tersebut adalah Alex T.M.H. Pasaribu, S.H., Mardiana Sari, S.H., M.H., sebagai Hakim Anggota dan Purnawan Narsongko, S.H., sebagai Hakim Ketua.

Argumentasi hukum yang diintrodusir dari norma-norma ajaran agama-agama dalam putusan tersebut sebagai berikut;

(51)

51

terungkap dengan cepat. Dimana perbuatan terdakwa tersebut bertentangan dengan norma dan ajaran pelbagai agama. Begitu pula dalam agama dan iman KATOLIK yang dianut oleh korban AGNES SRI HARYATI serta menurut

agama KRISTEN PROTESTAN pembunuhan dilarang dalam KITAB KELUARAN 20:13 dan Injil Mateus 5: 21 yang berbunyi : “jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum.” Kemudian dalam agama HINDHU diatur dalam KITAB SUCI WEDA yaitu ATHARVAVEDA X:1:29 ditulis, bahwa : Jangan pernah membantai orang tidak bersalah, pembunuh orang yang tidak bersalah berkesudahan di dalam malapetaka, jangan membunuh manusia dan binatang bermanfaat.” Serta dalam Kitab SARASAMUSCCAYA pada CLOKA 141 disebutkan : “…Sekali-kali tidak pernah menyakiti mahluk lain, tidak mengikatnya, tidak membunuhnya…”. Di samping itu, khusus dari aspek agama ISLAM yang dianut oleh korban SRI UNDARI dan dimana terdakwa ANDRIAWAN Bin SUBARJO sebagai pemeluknya maka pembunuhan merupakan suatu dosa dan Agama Islam sendiri adalah Agama yang mengajarkan cinta kasih kepada sesama mahluk, mengajarkan perdamaian, kerja sama dalam 65 kebaikan, kerukunan dan persaudaraan antar sesama umat. Islam tidak mengajarkan kekerasan apalagi pembunuhan terhadap sesama Manusia yang merupakan hak Azasi Manusia. Khusus mengenai hak hidup yang merupakan hak Azasi Manusia yang harus dihormati dan dilindungi. Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang melarang agar orang jangan melakukan pembunuhan terhadap orang lain kecuali atas dasar alasan yang sah. Misalnya terdapat dalam Al Qur’an Surah. Al-Isra 17:33 Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sungguh kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan .Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan”; dan perbuatan terdakwa yang telah melakukan pembunuhan kepada para korban sehingga apabila terdakwa menyesali akan perbuatan yang telah dilakukannya maka pintu ampunan terbuka bagi orang yang bertobat dimana menurut pandangan agama ISLAM terhadap dosa yang dilakukan umat manusia termaktub dalam AL-QUR’AN NURKARIM sebagai berikut:

(52)

52

dia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Penyayang”. (AN NISAA 4 : 110) ;

b. “Dan Allah tidak akan mengazab mereka, sedang engkau berada diantara mereka. Dan tidak (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka memohon ampun”. (AL ANFAAL 8 : 33) kemudian “Dan (juga) orang - orang yang bila berbuat keji atau zalim terhadap dirinya, mereka ingat kepada Allah, lalu mereka memohon ampun atas dosa-dosanya. Dan siapa lagi yang dapat mengampunkan dosa melainkan Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu, sedang mereka mengetahui”. (ALI IMRON 3 : 135).

Selanjutnya menurut HADIST RIWAYAT TURMUDZI

(53)

53

(54)

54 BAB IV

PARADIGMA BERFIKIR HUKUM HAKIM PENGADILAN NEGERI PURWOREJO DALAM PUTUSAN NOMOR: 61/Pid.B/2011/PN.Pwr.

A. Paradigma Berfikir Hukum

Thomas Khun (18 Juli 1922 – 17 Juni 1996), diyakini sebagai ilmuan yang pertama kali memperkenalkan konsep paradigma. Walaupun sebenarnya paradigma telah ada dalam setiap perkembangan dan perbedaan cara pandangan ilmuan dalam mengupas soalan dalam ilmu pengetahuan. Hanya saja kita harus mengakui bahwa Khun adalaah orang yang pertama kali menyusun konsepsi paradigma dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions.

Paradigma berasal dari bahasa Yunani klasik “paradeigma”, yang berarti ‘pola atau model berpikir’. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut “paradigm” dan bahasa Perancis “paradigme”, ia berasal dari bahasa Latin ”para” dan deigma”. Para berarti disisi, disamping dan “deigma” berarti contoh, pola, model. Sedangkan deigma dalam bentuk kata kerja deiknynai berarti menunjukkan atau mempertunjukkan sesuatu. Dengan begitu, secara epistimologis, paradigma berarti disisi model, disamping pola atau disisi contoh. Paradigma berarti pula sesuatu yang menampakkan pola, model atau contoh. Paradigma juga sinonim dengan guiding principle, basic point of view atau dasar perspektif ilmu, gugusan pikir, model, pola, kadang ada pula yang menyebutnya konteks. Secara terminologi, paradigma berarti jalinan ide dasar beserta asumsi dengan variabel-variabel idenya (Zumri Bestado Sjamsuar, 2009: 12).

Bernard S. Phillips dalam bukunya “Social Research: Strategy and Tactics” (1971) mengatakan, “A paradigm is a set of assumptions, both stated

Gambar

gambar 4.5

Referensi

Dokumen terkait

Boy, kids, you know, they just grow up so fast.. So I heard that you were

Gabungan pernyataan terhadap daging sapi segar lokal adalah warna daging merah segar, teksturnya berserat besar, lemak ( marbling ) sedikit, masyarakat lebih menyukai

Hasil: Diperoleh hasil bahwa umur kawin pertama tidak berhubungan secara signifikan dengan fertilitas remaja (p>0,05). Kesimpulan: Asas temporalitas pada

Untuk mengetahui apa hubungan antara Promosi K3 meliputi rambu-rambu K3, pelatihan, pengawasan, komunikasi pesan K3, dan kegiatan-kegiatan bulan K3 dengan perilaku aman (

Peraturan yang menjadi acuan pembuatan standar kompetensi widyaiswara adalah Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) Nomor: 14 Tahun 2009 tentang

Dioda yang digunakan pada rangkaian rectifier adalah fast recovery diode yaitu dioda yang digunakan untuk fast switching atau pensaklaran frekuensi tinggi,

17 dan biaya yang ditanggung perusahaan menjadi lebih besar sehingga akan menjadi semakin sensitif return saham perusahaan terhadap perubahan tingkat suku bunga, akan

Jumlah rumah tangga usaha pertanian kelompok umur kurang dari 15 tahun dengan petani utama laki-laki tercatat sebesar 96 rumah tangga, lebih tinggi daripada