Bingung, Suami mau keluar dari pekerjaannya.
Tanya :
Assalamu’alaikum Wr.Wb. Pengasuh rubrik keluarga sakinah yth. Saya seorang ibu dari seorang putra berumur 3 tahun. Suami bekerja di sebuah peruasahaan asing (PMA). Kami berumah tangga sejak 5 tahun yang lalu. Segalanya kami mulai dari nol dan serba pas-pasan Maklum, pada waktu itu pekerjaan suami masih serabutan. Sampai 1 tahun setelah menikah suami diterima di perusahaan asing. Seiring dengan waktu keadaan ekonomi kami muali membaik. Suami sempat pindah-pindah bagian. Pada divisi/bagian yang terakhir ini suami kelihatannya merasa kurang ‘sreg’. Sampai suami bilang ingin keluar dari pekerjaannya. Tentu saja saya tidak setuju, sementara belum ada bahkan belum terpikir mau kerja apa dan dimana kalau nanti keluar dari pekerjaannya.
Bila mengingat dahulu susahnya mencari pekerjaan rasanya sayang kalau keluar begitu saja. Apalagi dengan kedudukan suami yang sekarang gajinya lumayan, ditambah jaminan kesehatan yang semua ditanggung perusahaan. Suami beralasan bahwa ia merasa tertekan dan stress dengan pekerjaannya yang sekarang, merasa jauh dari keluarga karena rasanya tak pernah bisa santai. Kelihatannya ia makin tak mencintai pekerjaanya. Maka ia selalu memohon persetujuan saya untuk keluar. Tapi saya katakan bahwa kalau ia mau berusaha menyesuaikan diri tentu nanti bisa mengatasi stressnya, bukankah teman-temannya juga bisa. Nyatanya, suami tetap memohon dengan penuh harap untuk keluar. Tak jarang masalah tersebut menjadi sumber pertengkaran di antara kami. Memang akhirnya suami mengalah, tapi ia tetap berharap untuk mencari pekerjaan lain meski saya tetap berpendirian agar tetap pada pekerjaannya. Belakangan saya tahu, tiap sehabis shalat ia berdo’a agar saya berubah pikiran. Saya jadi bingung dan sedih, saya mohon saran bagaimana keluar dari masalah ini. Terima kasih.
Ibu X, di kota G.
Jawab :
Wa’alaikum salam wr. Wb. Ibu X yang sedang bingung.
Salah satu indikator sehat tidaknya hubungan suami istri adalah komunikasi yang baik. Keduanya mampu mengekspresikan masalah-masalah yang dihadapi dalam rumah tangga dan mengatasinya bersama-sama dengan keterbukaan masing-masing, sehingga tidak ada yang harus ditutup-tutupi.
Banyak rumah tangga yang sepintas terlihat baik-baik saja, adem ayem tapi sebenarnya sudah ‘dingin’ dan tak ada gairah lagidi antara keduanya, hanya karena masing-masing mau menghindar dari konflik atau pertengkaran. Akhirnya menutup-nutupi apa yang ia tak suka dari pasangannya. Padahal, ada hal-hal tertentu yang kalau diangkat ke permukaan terasa tidak menyenangkan, karena memang ‘risi’ untuk membahasnya.
Akan hal nya dengan masalah ibu, maka bisa dikatakan bahwa perkawinan Anda sebenernya berada dalam kondisi sehat. Ibu dan suami bisa saling bicara, suami sangat menghargai pendapat ibu, bahkan ketika ibu tidak setuju dengan pendapat suami, suami tidak marah tapi malah mendo’akan. Padahal masalah itu bagi suami sangat mendasar yaitu menyangkut eksistensi suami dalam berkarir. Maka kurang tepat rasanya kalau ini hanya dilihat dalam kerangka berpikir kecukupan materi saja. Bukankah kehidupan rumah tangga yang diidamkan adalah yang dapat memberikan rasa aman dan nyaman serta kehangatan suami, istri dan anak-anak. Memang tak salah ibu menginginkan keleluasaan keuangan, karena ini juga sumber rasa aman.Tapi kalu hal itu menyebabkan salah satu anggotanya merasa tidak aman dan nyaman, bukankah itu bukan rumah tangga yang sehat? Apalagi, suami menganggap hal itu sebagai masalah besar baginya atau menjadi sumber stress (stressor). Kalau keadaan stress ini berkepanjangan bisa berakibat tidak baik bagi suami ibu. Mungkin ibu pernah membaca bahwa keadaan stress berkepanjangan dapat menjadi penyebab timbulnya penyakit stroke, lever … pokoknya semua tidak enak.
Sebaiknya ibu mencoba mengubah cara pandang terhadap permasalahan ini. Kalau sebelumnya yang ibu bayangkan adalah kekurangleluasaan ekonomi lagi, maka kini ubahlah cara pandang itu. Katakan pada diri ibu kalau dulu dengan penghasilan pas-pasan toh ibu dan keluarga dapat hidup, mengapa sekarang tidak?
Kalau boleh saya sarankan cobalah pula ibu berpikir dan mencoba menghayati dari sudut pandang suami ibu. Karena, kalau orang sudah merasa bahwa pekerjaannya sudah tidak bisa memberi hal-hal positif padanya, maka lama-kelamaan pekerjaan itu akan menjadi ‘beban’ dan bukan lagi kebanggaan baginya. Motivasinya turun dan prestasinya pun demikian. Pada akhirnya hal ini akan berdampak pada karirnya.
Percayalah, Bu bahwa ibu mampu mengatasinya. Dan jangan lupa rizki Allah bertebaran dimana-mana, selama kita mau berusaha dan berdo’a Allah pasti memberi. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rizki pada keluarga ibu. Amien.
Sumber: