PERIWAYATAN HADIS
BI AL-
MA‘NA<DALAM PERSPEKTIF ANALISIS
FRAMING
MURRAY EDELMAN
TESIS
DiajukanUntukMemenuhiSebagianSyarat
MemperolehGelar Magister Dalam Program StudiHadis
Oleh
Ahmad Rohmatullah NIMF18214213
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Ahmad Rohmatullah
NIM : F18214213
Fakultas/Jurusan : Prodi Ilmu Hadis Pascasarjana
E-mail address : kijangemas83@gmail.com
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif atas karya ilmiah :
Skripsi Tesis Desertasi Lain-lain (………)
yang berjudul :
Periwayatan Hadis bi al-ma‘na>dalam Perspektif Analisis Framing Murray Edelman
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslus if ini Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya berhak menyimpan, mengalih-media/format-kan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, dan menampilkan/mempublikasikannya di Internet atau media lain secara full text untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan atau penerbit yang bersangkutan.
Saya bersedia untuk menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan pihak Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Surabaya, 15 Agustus 2017
Penulis
( Ahmad Rohmatullah )
KEMENTERIAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
PERPUSTAKAAN
ABSTRAK
PERIWAYATAN HADIS BI AL-MA‘NA< DALAM PERSPEKTIF ANALISIS FRAMING MURRAY EDELMAN
Fenomena periwayatan hadis bi al-ma‘na> menyebabkan terjadinya keragaman redaksi hadis. Dalam konsep analisis framing, ragam redaksi pemberitaan merupakan indikasi terjadinya proses framing (pembingkaian). Menurut Murray Edelman, framing merupakan akibat dari kategorisasi. Kategorisasi merupakan fungsi pikiran untuk memahami realitas yang partikular menjadi realitas yang terstruktur. Kategorisasi juga membantu untuk menyederhanakan realitas yang multidimensi menjadi satu dimensi. Berangkat dari latar belakang ini, maka rumusan pembahasan tesis ini adalah tentang penerapan analisis framing menurut Murray Edelman dalam meneliti kategorisasi periwayat dalam meriwayatkan hadis bi al-ma’na>. Selanjutnya penelitian akan dilanjutkan kepada penerapan analisis framing Murray Edelman terhadap ragam redaksi hadis riwayat bi al-ma’na>.
Penelitian tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif analitik. Adapun jenis penelitian tesis ini adalah penelitian pustaka (library research). Dari penelitian ini disimpulkan bahwa periwayat hadis menggunakan kategori framing dalam menyaksikan peristiwa Nabi Muhammad saw. Terjadinya kategori framing dalam periwayatan hadis bisa dibuktikan dengan adanya rubrikasi hadis oleh mukharrij dalam kitab kumpulan hadis. Selain itu, proses kategori framing yang berbeda oleh periwayat hadis bisa dibuktikan dengan adanya hadis riwa>yat bi al-ma‘na>. Semua ini merupakan indikasi yang menunjukkan bahwa periwayat hadis memiliki kategori framing yang berbeda dalam melihat sebuah peristiwa di sekitar Nabi.
DAFTAR ISI
Halaman Dalam ... i
Pernyataan Keaslian ... ii
Persetujuan Pembimbing ... iii
Pengesahan Tim Penguji ... iv
Kata Pengantar ... v
Pedoman Transliterasi ... vii
Abstrak ... viii
Daftar Isi ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Tujuan Penelitian ... 9
E. Kegunaan Penelitian ... 9
F. Kerangka Teoritik ... 10
G. Penelitian Terdahulu ... 15
H. Metode Penelitian ... 18
I. Sistematika Pembahasan ... 21
BAB II BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MURRAY EDELMAN A. Biografi Murray Edelman ... 23
1. Latar Belakang Pendidikan ... 25
2. Karya-karya Murray Edelman ... 26
B. Pemikiran Tentang Framing Murray Edelman ... 32
1. Kategori ... 33
2. Rubrikasi ... 38
3. Hubungan Kategorisasi dan Ideologi ... 40
BAB III PERIWAYATAN HADIS A. Normatifitas dan Historisitas Periwayatan Hadis ... 42
1. Normatifitas Periwayatan Hadis ... 42
2. Historisitas Periwayatan Hadis ... 63 B. Variasi Matan Hadis ... 161 1. Periwayatan Hadis Secara Lafal (bi al-lafz}i) ... 161 2. Periwayatan Hadis Secara Makna (bi al-ma‘na>) ... 120 BAB IV ANALISIS TENTANG KONSEP KATEGORI FRAMING MURRAY EDELMAN DALAM PERIWAYATAN HADIS A. Penerapan Konsep Kategori Framing Murray Edelman pada Periwayat Hadis ... 125 1. Kategori Framing Periwayat Hadis ... 132
2. Rubrikasi Periwayat Hadis ... 145
1. Hadis Tentang Salat Tanpa Membaca Fa>tihat al-Kita>b ... 152 2. Hadis Tentang Etika Mendatangi Salat Jama’ah ... 158
BAB V PENUTUP
BAB I
PERIWAYATAN HADIS BI AL-MA‘NA< DALAM PERSPEKTIF ANALISIS
FRAMING MURRAY EDELMAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara faktual hadis merupakan baya>n (penjelasan) terhadap ayat-ayat
al-Qur’an yang masih mujmal (global), ‘a>m (umum) dan mut}laq (tanpa batasan).
Bahkan secara mandiri hadis dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir) suatu
hukum yang belum ditetapkan oleh al-Qur’an.1 Namun demikian, pada masa
al-Qur’an diwahyukan (‘as}ru al-wah}yi) tidak ada kebijakan resmi dari Nabi kepada
para sahabat untuk melakukan kodifikasi hadis demi tidak menganggu
pemeliharaan al-Qur’an.
Pada masa awal, hadis merupakan pengajaran Nabi (tarbiyya>t al-Nabi>)
kepada para sahabat yang memiliki tingkat ke-iman-an dan pengetahuan agama
berbeda. Adakalanya Nabi memerintahkan untuk mencatat hadis kepada sahabat
tertentu, dan adakalanya Nabi justru melarang mencatatnya. Demikian juga tidak
setiap hadis yang telah ditulis oleh beberapa sahabat telah dievaluasi di hadapan
Nabi. Selain itu hadis tidak selalu terjadi di hadapan banyak orang. Hal inilah
yang menjadi penyebab sebagian besar periwayatan hadis tidak mencapai derajat
mutawa>tir. Pada akhirnya sebagian besar riwayat hadis hanya menempati level
1 Hadis merupakan baya>n al-taqri>r, baya>n al-tafs}i>l, baya>n al-taqyi>d, baya>n al-takhs}i>s},
baya>n al-tashri>‘, dan baya>n al-nasakh daripada al-Qur’an. Hal demikian berdasar kepada
2
z}anni> al-thubu>t (kebenaran beritanya relatif).
Lebih dari itu, pada babak akhir sejarah masa sahabat dan memasuki era
ta>bi’i>n, ummat Islam memasuki babak sejarah kelam. Pada masa itu ummat Islam
terpecah dalam faksi-faksi politik. Hal ini terjadi setelah peristiwa pembunuhan
Khalifah Uthma>n ra. Sejak saat itu, sejarah peradaban Islam memasuki era fitnat
al-kubra>. Selanjutnya, peristiwa tahkim (arbitrase) antara pihak ‘Ali> bin Abi>
T{a>lib dengan Mu‘a>wiyah di Daumat al-Jandal (jalan utama antara Madinah dan
Damaskus) semakin memperlebar perpecahan di tubuh ummat Islam.2 Sejak masa
fitnat al-kubra> inilah banyak bermunculan hadis palsu. Setiap kelompok
menggunakan teks-teks agama dengan mengatas namakan Nabi demi
mendapatkan legitimasi dalam meraih kepentingan kelompoknya.3
Akibat terjadinya fitnat al-kubra> dan beberapa faktor eksternal lainnya
(seperti semakin berkurangnya para penghafal hadis dan wilayah kekuasaan Islam
yang semakin luas), maka pada tahun 100 H. Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azi>z
(Khalifah ke-3 dari Bani Umayyah), mengeluarkan kebijakan kodifikasi hadis.
Khalifah memerintahkah Gubernur Madinah, Abu> Bakr bin Muh}ammad bin ‘Amr
bin H{azm (w. 117 H.) untuk melakukan kodifikasi hadis Nabi. Khalifah juga
secara khusus menulis surat kepada seorang ahli, Abu> Bakr Muh}ammad bin
Muslim bin ‘Ubaidilla>h bin Shihab al-Zuhri> (w. 124 H.) untuk mengkodifikasikan
hadis Nabi dari para penghafal.
2 Sebagaimana dikutip Philip K. Hitti dalam History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi 2005), 224-235.
3
Sejak dimaklumatkan kodifikasi hadis oleh Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul
‘Azi>z secara resmi maka pembukuan hadis semakin massif. Para kodifikator
melakukan perlawatan ke berbagai penjuru kawasan Islam untuk mengumpulkan
warisan agung dari para penghafal hadis. Ratusan ribu hadis diriwayatkan,
dihafal, kemudian dibukukan.4 Bersama dengan proses perlawatan dan kodifikasi
hadis ini, seleksi hadis dilakukan para kodifikator untuk menghindari hadis palsu.
Dari proses seleksi hadis ini, maka terbentuklah persyaratan-persyaratan dan
kaidah untuk menseleksi riwayat hadis yang dapat diterima dan ditolak.
Persyaratan dan kaidah untuk menseleksi riwayat hadis tersebut
merupakan cikal bakal lahirnya ‘Ulu>m al-H{adi>th. Demikianlah setting history
periwayatan hadis di tengah pusaran intrik politik, menjadikan proyeksi Ulu>m
H{adi>th adalah untuk meneliti otentisitas hadis dari berbagai distorsi. Ulu>m
al-H{adi>th lahir dan berkembang demi meneliti dan menjaga otentisitas hadis Nabi
dari upaya pemalsuan. Bahkan orientasi demi menjaga otentisitas hadis Nabi dari
distorsi tersebut sangat mendominasi kritik hadis hingga saat ini.
Padahal untuk menjadikan hadis Nabi sebagai hujjah dalam Islam tidak
cukup dengan mengetahui otentisitasnya saja. Proses pemahaman terhadap hadis
Nabi merupakan tahapan kedua setelah otentisitasnya dapat dipertanggung
jawabkan. Hal ini penting dilakukan mengingat hadis Nabi berkaitan dengan
kondisi sosial-antropologis. Jika isi al-Qur’an lebih bersifat universal dan abadi—
tidak membicarakan hal-hal yang detil, maka lain halnya dengan hadis. Hadis
4
bersangkut paut dengan karakter lokal, partikular, dan temporal. Di samping itu,
dalam hadis juga terdapat berbagai hal yang bersifat khusus dan terperinci. Oleh
sebab itu, mengetahui makna hadis yang bersifat khusus dan umum, yang
sementara dan abadi, serta antara yang partikular dan yang universal merupakan
upaya untuk mendapatkan pemahaman hadis secara komprehensif.
Pemahaman terhadap hadis perlu memperhatikan aspek-aspek yang
terkait dengan diri Nabi, sahabat dan suasana yang melatarbelakangi lahirnya
sebuah hadis. Untuk itu, perlu kiranya memahami teori-teori berbagai disiplin
ilmu termasuk ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, psikologi maupun ilmu
sejarah demi membantu memahami hadis Nabi. Dan yang tidak bisa ditinggalkan
juga adalah pengetahuan tentang historisitas teks hadis dengan melihat
unsur-unsur yang sangat terkait dengan penciptaan teks. Dengan bantuan teori-teori
ilmu tersebut, maka akan diperoleh pemahaman hadis yang sesuai dengan
konteksnya.
Di lain pihak, terdapat fenomena periwayatan hadis bi al-ma‘na> (secara
makna).5 Demi memahami hadis secara utuh dan komprehensif, maka fenomena
keragaman redaksi hadis pada riwayat hadis bi al-ma‘na> merupakan hal yang
tidak bisa diacuhkan. Periwayatan hadis bi al-ma‘na> membutuhkan penelitian
lebih lanjut. Yakni meneliti berbagai pertimbangan, motivasi, dan konstruksi
sahabat berikut para periwayat hadis dalam merekam peristiwa Nabi selaku
5 Periwayatan hadis bi al-ma‘nā (semakna) diperbolehkan dengan syarat periwayat memahami maksud dan petunjuk hadis. Baca Muh}ammad bin Muh}ammad Abu> Shahbah, al-Wasi>t}
5
penjelas al-Qur’an, penetap hukum, dan uswah h}asanah (figur yang baik) bagi
umat Islam.6 Bisa jadi keragaman redaksi pada riwayat hadis bi al-ma‘na>
merupakan indikasi adanya perbedaan konstruksi sahabat dan periwayat hadis
dalam melihat realitas Nabi.
Banyaknya hadis yang sampai kepada kita, menunjukkan intensitas
sahabat dalam berinteraksi dengan Nabi sangat tinggi. Atau, bisa jadi motivasi
sahabat dalam merekam seluruh aktifitas Nabi sangat kuat. Para sahabat telah
meriwayatkan banyak informasi dari Nabi dalam segala urusan, baik yang berat
maupun yang ringan; bahkan seluruh segi kehidupan Nabi yang kadang-kadang
tidak mengandung unsur tashri>‘. Hal demikian merupakan bukti kecintaan dan
antusiasme para sahabat kepada Nabi. Seperti halnya yang diriwayatkan dari
sahabat ‘Umar r.a., bahwa beliau silih berganti dengan tetangganya untuk
singgah di sisi Nabi. Mereka membagi waktu untuk kepentingan hidup mereka
sehari-hari dan waktu untuk membuktikan antusiasme mereka terhadap ilmu dari
Nabi. Maka hasil interaksi salah seorang sahabat bersama Nabi kemudian
ditransmisikan kepada khalayak sahabat yang tidak hadir. 7
Sebelum proses pemberitaan dan transmisi, tentu dokumentasi peristiwa
Nabi dalam memori sahabat melalui proses rekonstruksi. Dalam proses
rekonstruksi inilah faktor individu sahabat mengambil peranan. Bisa jadi
6 Berkaitan dengan posisi Nabi selaku penjelas al-Qur’an dan suri teladan yang baik. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an QS: 16: 44, QS: 33: 21, QS: 8: 20, QS: 4: 69 dan 80, serta QS: 7: 157.
6
peristiwa Nabi yang sama diberitakan dalam redaksi, sudut pandang, bahkan sisi
yang berbeda. Wacana, pengetahuan, dan kondisi sosial-budaya menentukan arah
rekonstruksi peristiwa Nabi. Hal ini merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan adanya riwayat hadis dengan beragam redaksi seperti yang kita
jumpai dalam berbagai kitab hadis.
Menurut ahli ilmu politik yang concern dalam penelitian simbol politik,
Murray Edelman, perbedaan konstruksi oleh individu merupakan perbedaan
individu dalam memilih kategori. Kategorisasi dalam pandangan Edelman
merupakan abstraksi dan fungsi dari pikiran. Kategorisasi membantu manusia
dalam memahami realitas yang beragam dan tidak beraturan menjadi realitas
yang mempunyai makna. Namun menurut Edelman kategorisasi bisa menjadi alat
untuk menyederhanakan realitas yang kompleks dan multidimensi, dengan cara
menekankan dimensi tertentu dan meninggalkan dimensi lainnya dari
pengamatan. Oleh karena itu Edelman mensejajarkan kategorisasi dengan proses
pembingkaian (framing).8
Pemikiran Edelman di atas menjadi fondasi berkembangnya sebuah pisau
analisis framing dalam meneliti berita. Analisis framing merupakan perangkat
analisis untuk mengetahui secara lebih radikal proses pembingkaian realitas
(peristiwa, aktor, wacana dan lain-lain) dalam pemberitaan. Menurut Eriyanto,
pembingkaian tersebut melalui proses konstruksi.9 Realitas sosial-politik
8 Murray Edelman, ‚Contestable Categories and Public Opinion‛, Political Communication, vol. 10, no. 03, (1993.), 232.
7
dipahami dan dikonstruksi dengan makna yang sesuai dengan kepentingan
(interest) tertentu. Analisis framing tidak lagi mempersalahkan validitas sebuah
berita, akan tetapi lebih memfokuskan kajiannya pada konstruksi individu
tentang sebuah peristiwa (level individual frame), konstruksi individu dalam
memberitakan sebuah peristiwa (level media frame), dan efek yang ditimbulkan
oleh proses framing (level audience frame).10
Karena objek kajian analisis framing mengenai pembawa berita, isi berita,
dan efek berita, maka perangkat analisis ini dapat digunakan untuk menganalisis
hadis (berita tentang dan dari Nabi). Hadis memiliki kesamaan dengan berita
media pada empat unsur, pertama hadis merupakan sebuah peristiwa (yang
disandarkan kepada Nabi). Kedua, sahabat merupakan pembawa berita yang
menyaksikan peristiwa yang disandarkan kepada Nabi. Ketiga, teks hadis
merupakan media untuk menginformasikan peristiwa di sekitar Nabi kepada
publik. Keempat, pemahaman hadis yang beragam merupakan efek dari
perbedaan konstruksi dalam periwayatan hadis.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Pembahasan periwayatan hadis dalam perspektif analisis framing
merupakan pembahasan yang sangat luas. Penerapan analisis framing (yang
berasal dari disiplin ilmu komunikasi massa modern) dalam Islamic studies,
terlebih terhadap periwayatan hadis merupakan sesuatu yang baru. Di lain pihak
periwayatan hadis telah berlangsung sejak masa awal Islam. Membahas
KiS, 2002), 10.
8
perjalanan sejarah hadis sejak masa periwayatan dengan lisan, tulisan, kemudian
termaktub dalam kitab, hingga membahas pemahaman dan pengamalan hadis di
masa kontemporer (living hadis) merupakan pembahasan yang sangat luas. Dari
historisitas hadis yang panjang ini kesemuanya dapat diteliti menggunakan
analisis framing. Adapun beberapa permasalahan yang mungkin untuk dibahas
adalah:
1. Penerapan analisis framing dalam kritik matan hadis.
2. Penerapan analisis framing dalam meneliti kitab Hadis, kitab Fiqih, kitab
Tas}awwuf, dan kitab lain yang memuat hadis.
3. Penerapan analisis framing dalam meneliti siaran televisi, majalah, rubrik
konsultasi agama yang memuat dan mencantumkan hadis.
4. Penerapan analisis framing dalam meneliti pemahaman dan pengamalan
masyarakat terhadap hadis.
Dari beberapa hasil identifikasi permasalahan yang mungkin untuk diteliti
tersebut, penulis memilih untuk membahas: Periwayatan Hadis bi al-Ma‘na>
dalam Perspektif Analisis Framing Murray Edelman. Pembahasan ini dipilih
mengingat terdapat banyak matan hadis beragam namun memiliki makna yang
sama, atau dikenal dengan hadis riwa>yat bi al-ma‘na>. Fenomena perbedaan matan
yang memiliki makna sama tersebut adalah indikasi dari perbedaan konstruksi
para periwayat hadis. Menurut Murray Edelman, perbedaan konstruksi oleh
individu merupakan perbedaan individu dalam memilih kategori atau frame.
9
framing Murray Edelman tentang kategori dalam meneliti konstruksi individu
(individual frame) terhadap sebuah peristiwa tentang dan dari Nabi. Sudah tentu
pembahasan tentang variasi matan hadis riwa>yat bi al-ma‘na> menjadi titik tolak
pembahasan. Karena variasi matan hadis riwa>yat bi al-ma‘na> merupakan indikasi
serta cara bercerita individu (individual frame) tentang sebuah peristiwa dari dan
tentang Nabi.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka perlu
dirumuskan beberapa masalah yang diajukan dalam bentuk pertanyaan berikut:
1. Bagaimana penerapan analisis framing Murray Edelman dalam meneliti
konstruksi, dan motivasi sahabat dalam merekam peristiwa Nabi?
2. Bagaimana penerapan analisis framing Murray Edelman dalam meneliti
ragam matan hadis yang diriwayatkan secara ma‘na>wi>?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan kegiatan penelitian periwayatan hadis dalam perspektif analisis
framing Murray Eddelman ini antara lain adalah:
1. Mendeskripsikan penerapan analisis framing Murray Edelman dalam meneliti
konstruksi, dan motivasi sahabat dalam merekam peristiwa tentang dan dari
Nabi.
2. Mendeskripsikan penerapan analisis framing Murray Edelman dalam meneliti
10
E. Kegunaan Penelitian
1. Secara teoritis ilmiah penelitian ini diharapkan mampu memberikan
sumbangan pemikiran bagi perkembangan studi hadis.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada
masyarakat luas berupa pemahaman hadis secara lebih utuh dan
komprehensif.
F. Kerangka Teoritik
Sejarah perkembangan hadis terbagi menjadi tujuh periode sejarah;
pertama, dikenal dengan ‘as}ru al-wah}yi wa al-takwi>n, yaitu masa turunnya
wahyu al-Qur’an dan kelahiran hadis. Periode kedua disebut ‘as}ru at-tathabbut
wa al-iqla>l min al-riwa>yah, yaitu masa pembatasan atau pengetatan riwayat
hadis. Periode ketiga dikenal dengan ‘as}ru al-intisha>r al-riwa>yah ila> al-ams}a>r,
yaitu masa perluasan riwayat hadis ke berbagai penjuru kawasan Islam. Periode
keempat disebut ‘as}ru al-kita>bah wa al-tadwi>n, yaitu masa kodifikasi hadis.
Periode kelima disebut ‘as}ru al-tajri>d wa al-tas}h}}i>h} wa al-tanqi>h}, yaitu masa
penerimaan, pentashihan,dan penyempurnaan. Periode keenam disebut ‘as}ru
at-tahdhi>b wa at-tarti>b wa al-istidra>k wa al-jam‘i, yaitu masa pemeliharaan,
penertiban, penambahan, dan penghimpunan riwayat hadis. Periode ketujuh
disebut ‘as}ru al-sharh}i wa al-jam‘i wa al-takhri>j wa al-bah}th, yaitu masa
pen-sharah-an, penghimpunan, pen-takhrij-an, dan pembahasan.11
Dalam rentang sejarah panjang perkembangan hadis dari masa awal
11
hingga masa kontemporer, penerapan analisis framing untuk meneliti adanya
unsur pembingkaian (framing) dalam periwayatan hadis tentu menjadi
pembahasan yang sangat panjang. Oleh karena itu penulis membatasi lingkup
pembahasan pada masa periwayatan hadis secara normatif dan historis saja.
Secara normatif periwayatan hadis berarti memindahkan hadis dari seorang guru
kepada orang lain atau membukukannya dalam kitab hadis. Sedangkan
periwayatan hadis secara historis berarti terjadi sejak masa kelahiran hadis atau
‘as}ru al-wah}yi wa al-takwi>n hingga ‘as}ru al-kita>bah wa al-tadwi>n (masa
penulisan dan kodifikasi).
Analisis framing adalah metode analisis teks berita yang berkembang
dalam tradisi studi ilmu komunikasi. Analisis framing merupakan suatu tradisi
dalam ranah studi komunikasi yang mencoba membuka diri terhadap pendekatan
multidisipliner dalam menganalisis teks berita. Analisis framing dipengaruhi
secara epistemologis oleh paradigma konstruksionis dalam ilmu sosiologi dan
teori schemata dalam ilmu psikologi. Dengan menggunakan analisis framing
maka sebuah berita dapat dijelaskan berdasarkan konteks sosiologis dan atau
politis, dan atau budaya yang melingkupinya.12
Menurut paradigma konstruksionis, realitas di luar individu tidak
terbentuk secara alamiah, akan tetapi realitas hadir dari proses konstruksi.
Paradigma konstruksionis menganggap realitas di luar individu adalah produk
yang dialektis, dan memiliki wajah ganda atau plural. Dalam perspektif
12
konstruksi sosial yang dibangun oleh Peter L. Berger, kenyataan bukanlah
realitas tunggal yang bersifat statis dan final, melainkan bersifat plural, dinamis,
dan dialektis. Manusia terus terbuka untuk proses dialektika dengan realitas.13
Dengan pemahaman seperti ini, maka setiap individu bisa memiliki konstruksi
yang berbeda atas realitas yang dialaminya. Konstruksi atas realitas oleh setiap
individu dipengaruhi oleh pengalaman, latar belakang pendidikan, lingkungan
sosial, prejudice, nilai-nilai, prasangka, dan prinsip hidup.
Secara klasifikatif pengertian framing didefinisikan dalam dua level,
yakni level individual dan level kultural. Pada level individual, pengertian
framing berangkat dari asumsi bahwa setiap individu selalu bertindak dan
mengambil keputusan secara sadar, rasional, dan dengan tujuan yang jelas. Setiap
orang selalu menyertakan pengalaman, wawasan sosial, dan kecenderungan
psikologis dalam menginterpretasikan pesan yang diterimanya. Pengalaman dan
pengetahuan individu pada akhirnya mengkristal membentuk bagan atau schema
of interpretation. Schema individu inilah yang memberi kemampuan kepada
individu sehingga menjadi entitas yang aktif dalam menerima, memetakan,
mengidentifikasi, dan memberi label pada peristiwa atau informasi yang
diterima. Schema individu inilah yang dimaksud sebagai framing dalam level
individual.14
Sedangkan pada level kultural, framing dapat dimaknai sebagai batasan
13 Lihat dalam Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), 308-310. Lihat juga, M. Najib Azca, Hegomoni Tentara, (Yogyakarta: :LkiS, 1994), 16-17.
13
wacana dan elemen konstitutif yang tersebar dalam konstruksi wacana. Dalam
hal ini framing memberi petunjuk elemen isu mana yang relevan untuk
diwacanakan, problem apa yang membutuhkan tindakan politis, solusi apa yang
pantas diambil, serta pihak mana yang legitimate untuk memberi komentar
terhadap wacana yang terbentuk. Dengan demikian, framing dapat disimpulkan
sebagai cara bercerita (story line) yang menghadirkan konstrukni makna atas
peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Wacana hadir
dengan menggunakan seperangkat package interpretive yang mengandung
konstruksi makna tentang objek wacana. Package merupakan gugusan organisasi
ide-ide yang memberi petunjuk tentang isu yang dibicarakan dan peristiwa mana
yang relevan dengan suatu wacana. 15
Menurut Murray Edelman, realitas yang kita ketahui tergantung pada
bingkai (framing) dan penafsiran yang kita gunakan. Realitas yang sama bisa
menghasilkan pemahaman yang berbeda ketika realitas tersebut dibingkai dengan
frame dan konstruksi yang berbeda.16 Dengan demikian, framing merupakan
proses penggunaan perspektif tertentu, yang diejawantahkan dengan
menggunakan tehnik pemilihan kata dalam pemberitaan yang menandakan
bagaimana fakta atau realitas dipahami.
Murray Edelman mensejajarkan framing dengan kategorisasi.
Kategorisasi merupakan abstraksi dan fungsi dari pikiran yang membantu
manusia dalam memahami realitas yang beragam dan tidak beraturan menjadi
15 Agus Sudibyo, Tinjauan Teoritis Framing, 121.
14
realitas yang mempunyai makna. kategori bisa menjadi alat untuk
menyederhanakan realitas yang komplek dan multidimensi, dengan menekankan
pada satu sisi atau dimensi tertentu dan meninggalkan dimensi lainnya dari
pengamatan. Karena itu, dalam proses pemberitaan, kategori menjadi alat
bagaimana realitas dipahami dan hadir dalam benak khalayak. Dengan kategori
tertentu makna dapat berubah bahkan terjadi secara radikal. Perubahan makna
tersebut bukan ditentukan oleh perubahan realitas atau peristiwa, melainkan
perubahan dari abstraksi pikiran yang menentukan bagaimana realitas hendak
dipahami.17
Dengan demikian, kategori secara otomatis akan melakukan
pembingkaian (framing) terhadap sebuah peristiwa. Framing terjadi pada psoses
pemilihan peristiwa, yakni menentukan peristiwa yang diberitakan dan tidak
diberitakan. Pembingkaian selanjutnya terjadi pada proses penulisan berita, yakni
dengan mengklasifikasikan jenis berita yang menentukan penempatan berita pada
posisi tertentu dalam rubrikasi, menentukan narasumber untuk diwawancarai,
dan mengilustrasikan dengan gambar pendukung. Menurut analisis framing,
semua unsur tersebut bukan hanya bagian dari tehnik jurnalistik, akan tetapi
menggambarkan bahwa realitas tersebut telah diseleksi dalam makna tertentu
dan dikonstruksi untuk kepentingan tertentu.18
Proses framing dalam pemberitaan akan memberi pengaruh tehadap
pendapat publik. Framing berkaitan dengan bagaimana realitas dilihat dan
15
dengan cara apa realitas tersebut dilihat. Melihat peristiwa dengan realitas
tertentu, secara tidak langsung memberikan pembenaran dan legitimasi pada sisi
tertentu dari peristiwa atau aktor tertentu yang terlibat dalam peristiwa.
Demikian sebaliknya, framing juga menentukan siapa yang didelegitimasi dan
karena tindakan seperti apa ia disalahkan. Karenanya framing pada berita
memiliki posisi strategis dalam menunjukkan dan mengarahkan pendapat dan
opini publik.19
Dalam penelitian ini, konsep analisis framing Murray Edelman tentang
kategori akan dikontekstualisasikan dalam tema periwayatan hadis riwa>yat bi
al-ma‘na>. Dengan demikian analisis framing akan dijadikan sebagai pisau analisa
dalam mengkaji tema variasi matan hadis (riwa>yat bi al-ma‘na>). Hadis riwa>yat bi
al-ma‘na> bisa jadi disebabkan oleh perbedaan konstruksi sahabat dalam merekam
peristiwa Nabi. Dalam konsep analisis framing, variasi matan hadis merupakan
cara individu sahabat dan periwayat dalam memberitakan realitas di sekitar Nabi.
Konstruksi individu dalam memberitakan realitas dipengaruhi oleh konsep
kategori yang integral dalam pemberitaan.
Kontekstualisasi analisis framing Murray Edelman yang selanjutnya
adalah pada tema konstruksi (kategori) sahabat atau periwayat atas peristiwa
Nabi. Dalam hal ini analisis framing Murray Edelman memiliki kontekstualisasi
pembahasan kategori individu dalam mengkaji keterlibatan sahabat atau
periwayat dalam melihat, menseleksi sekian banyak peristiwa yang terjadi di
16
sekitar Nabi, untuk selanjutnya mempublikasikannya kepada khalayak.
G. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu dengan menggunakan analisis framing dalam objek
kajian komunikasi massa telah banyak dilakukan. Berikut juga telah banyak
karya tulis skripsi maupun thesis yang menggunakan analisis framing sebagai
pisau analisis untuk meneliti berita—media cetak maupun elektronik. Berkaitan
dengan penelitian dalam Islamic studies, kebanyakan analisis framing masih
digunakan untuk meneliti berita yang berkaitan dengan tema ke-Islam-an saja.
Penulis hanya menemukan satu buah skripsi yang menggunakan analisis framing
dalam studi hadis. Penulis juga belum menemukan penerapan analisis framing
dalam meneliti kitab hadis, kitab Tarikh, kitab Tafsir dan kitab lainnya. Hasil
penelitian tersebut antara lain:
1. Skripsi berjudul: Studi Hadis dalam Pendekatan Analisis Framing, karya
Ahmad Rohmatullah.20
Skripsi ini merupakan wacana awal dari thesis yang penulis teliti.
Dalam skripsi ini Analisis framing diterapkan dalam studi hadis. Studi hadis
dalam penelitian skripsi ini menjadi objek formal, sedangkan materi hadis
menjadi objek material dalam penelitian. Dalam skripsi ini ditemukan
kesimpulan bahwa analisis framing dapat diterapkan dalam tiga materi studi
hadis, yakni periwayat hadis, matan hadis, dan tema living hadis. Analisis
framing memiliki kontekstualisasi dalam meneliti self schema sahabat dalam
17
melihat, menseleksi, kemudian mempublikasikan hadis. Analisis framing juga
dapat diterapkan dalam meneliti variasi matan hadis yang diriwayatkan bi
al-ma‘na>. Serta kontekstualisasi efek framing dalam tema living hadis.
2. Skripsi berjudul: Analisis Framing Kasus Poligami Abdullah Gymnastiar di
Media Kompas dan Republika, karya Marliana Ngatmin.21
Dalam skripsi ini ditemukan kesimpulan bahwa media Kompas
menggunakan framing dalam memberitakan poligami Abdullah Gymnastiar
sebagai masalah sosial Islam. Framing media Kompas mengarahkan
pembacaan publik kepada gagasan bahwa poligami yang dilakukan Abdullah
Gymnastiar selaku figur publik tidak patut untuk dicontoh.
Sedangkan media Republika membingkai poligami Abdullah
Gymnastiar sebagai masalah hukum Islam. Republika menggunakan sudut
pandang hukum Islam dalam memberitakan poligami Abdullah Gymnastiar.
Dalam hukum Islam Poligami diperbolehkan dengan persyaratan melalui
proses dan ketentuan yang berlaku dalam hukum Islam. Dan poligami yang
dilakukan oleh Abdullah Gymnastiar telah melengkapi proses dan ketetapan
yang diatur dalam hukum Islam.
3. Buku berjudul Hadis dan Politik: Relevansi Perkembangan Politik Dengan
Periwayatan Hadis karya Idri.22
Buku ini mendeskripsikan tentang periwayatan hadis pada masa
21 Marliana Ngatmin, Analisis Framing Kasus Poligami Abdullah Gymnastiar di Media Kompas dan Republika, (skripsi UIN Sunan Kalijaga: 2008)
18
perkembangan politik Islam di masa awal; Periwayatan hadis sejak masa
Nabi, masa sahabat, masa dinasti Umayyah, dan dinasti Abbasiyah. Dalam
buku ini, deskripsi situasi politik Islam pasca era fitnah sedikit banyak
memiliki pengaruh dalam proses periwayatan hadis. Beberapa hadis
diselewengkan demi kepentingan politik. Namun pada era konflik tersebut
tidak membuat surut proses perlawatan hadis oleh para kodifikator hadis,
berikut juga jumhur Ulama’ hadis justru mampu membangun persyaratan dan
kaedah dalam menerima hadis. Demikianlah persyaratan dan
kaedah-kaedah yang ditetapkan oleh para muhaddith tersebut mampu mengeleminir
fenomena pemalsuan hadis. Terakhir buku ini mengimbuhi dengan dua hadis
tentang politik, berikut kritik danpembahasan atas keduanya.
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian thesis ini adalah penelitian pustaka (library
research). Dengan pengertian menjadikan pustaka sebagai sumber data utama
(primer) dalam melakukan penelitian.23 Dengan demikian, materi
pembahasan didasarkan pada buku, ensiklopedia, majalah dan artikel dalam
jurnal dan surat kabar yang membahas tentang analisis framing, berikut
materi periwayatan hadis sebagai objek yang dikaji.
2. Data dan Sumber Data
Data penelitian dalam thesis ini terbagi dalam dua jenis data, yaitu
19
data primer dan data sekunder. Adapun data primer yang akan dibahas dalam
penelitian tesis ini adalah data yang mendeskripsikan tentang periwayatan
hadis bi al-ma‘na>, dan data yang membahas tentang analisis framing menurut
Murray Edelman. Sedangkan data sekunder dalam penelitian tesis ini adalah
data yang mendeskripsikan tentang sejarah periwayatan hadis, biografi
Murray Edelman, dan data lain yang berhubungan secara tidak langsung
dengan tema penelitian tesis ini.
Data penelitian dalam thesis ini bersumber dari dua sumber: sumber
data primer dan sumber data sekunder.24 Yang menjadi sumber data primer
dalam penelitian ini adalah dokumen hadis dalam Kutub al-Sittah. Sumber
data primer selanjutnya adalah literatur sejarah periwayatan hadis dalam
al-Sunnah Qabla al-Tadwi>n karya ‘Ajja>j al-Khat}i>b. Juga dalam T{abaqa>t
al-Kubra> karya Abu> ‘Abdulla>h Muh}ammad bin Isma>‘i>l al-Bukha>ri>, al-Is}a>bah fi>
Tamyi>z al-S{ah}a>bah karya Abu> al-Fad}l Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H{ajr al-‘Athqalla>ni>
merupakan sumber data primer untuk menemukan gambaran sejarah
periwayat hadis di masa awal.
Sumber data primer selanjutnya adalah literatur yang mengulas
tentang pemikiran Murray Edelman tentang analisis framing, seperti
‚Contestable Categories and Public Opinion‛, dalam jurnal Political
Communication, vol. 10, no. 03, (1993.), The Symbolic Uses of Politics
(1964), Politics as Symbolic Action: Mass Arousal and Quiescence (1971),
20
Political Language: Words that Succeed and Policies that Fail (1977),
Constructing the Political Spectacle (1988), From Art to Politics: How
Artistic Creation Shape Political Conceptions (1996), dan The Politics
Misinformation (2001).
Sementara data sekunder adalah buku, jurnal, ensiklopedia, majalah,
maupun surat kabar yang menguraikan tentang sejarah periwayatan hadis,
dan tentang biografi berikut pandangan dan pemikiran Murray Edelman
tentang kategori framing.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data dalam penelitian thesis ini adalah dengan
tehnik dokumentasi. Tehnik pengumpulan data dokumentasi adalah jenis
pengumpulan data dari dokumen berupa catatan peristiwa yang sudah berlalu,
dokumen berupa karya-karya monumental seseorang, berikut catatan sejarah,
biografi, kebijakan, dan peraturan. Selain itu studi dokumen merupakan
tehnik pengumpulan data dengan meneliti berbagai macam dokumen yang
berguna untuk bahan analisis.25
4. Tehnik Analisis Data
Analisis data dalam menyusun thesis ini bersifat deskriptif-analitik.26
Deskriptif yakni data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan
angka-angka. Analitik artinya penyimpulannya dilakukan secukupnya
25 Margono S., Metode Penelitian Pendidikan KOmponen MKDK, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007), 187.
26 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
21
sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan karakteristik suatu
keutuhan yang kongkrit, namun bukan keutuhan itu sendiri.
Dalam menganalisis data pada penelitian ini penulis juga
menggunakan tehnik analisis isi. Tehnik analisis isi merupakan suatu analisis
mendalam yang dapat menggunakan tehnik kuantitatif maupun kualitatif
terhadap pesan-pesan, dengan menggunakan metode ilmiah dan tidak terbatas
pada jenis-jenis variable yang dapat diukur atau konteks tempat pesan-pesan
diciptakan atau disajikan.27
I. Sistematika Pembahasan
Penulisan penelitian Periwayatan Hadis bi al-Ma‘na> dalam Perspektif
Analisis Framing Murray Edelman dibagi dalam beberapa bab antara lain : Bab
pertama pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pokok masalah,
tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan. Hal ini dilakukan untuk mengarahkan para pembaca
kepada substansi pembahasan.
Bab dua membahas pemikiran Murray Edelman tentang konsep kategori
dalam framing berita. Dalam bab ini juga akan dikenalkan biografi Edelman
sebagai seorang ahli dalam bidang komunikasi politik yang banyak menulis
tentang bahasa dan simbol politik dalam komunikasi. Tujuan pembahasan dalam
bab ini adalah mendeskripsikan pemikiran Edelman sebagai ahli komunikasi,
berikut kontribusinya dalam membangun fondasi analisis framing.
22
Bab tiga mendeskripsikan tentang variasi matan hadis riwayat bi
al-ma‘na>. Tentunya semua hadis yang dicantumkan dalam penelitian ini memiliki
kedudukan yang sahih. Berikut juga deskripsi tentang para periwayat hadis yang
terlibat dalam meriwayatkan hadis tersebut. Tujuan pembahasan dalam bab ini
adalah mengeksplorasi data-data yang akan diteliti dengan menggunakan konsep
framing menurut Murray Edelman.
Kemudian dilanjutkan dalam bab empat yang membahas aplikasi konsep
kategori framing menurut Murray Edelman dalam mengkaji kategori dalam
konstruksi dan schema sahabat dan periwayat dalam melihat peristiwa Nabi.
Pembahasan dalam bab ini bertujuan untuk membuktikan bahwa variasi matan
hadis riwayat bi al-ma‘na> merupakan hasil dari perbedaan kategori dalam
konstruksi dan schema sahabat dan periwayat terhadap peristiwa Nabi. Variasi
matan hadis riwayat bi al-ma‘na> adalah sebuah cara sahabat dan periwayat dalam
memberitakan sebuah realitas di sekitar Nabi (story telling).
Dan terakhir adalah bab lima, penutup berisi kesimpulan dan saran.
Dalam bab ini penulis menyimpulkan uraian-uraian yang telah dipaparkan dalam
penelitian. Pada tahap selanjutnya, penulis mencoba menyusun saran-saran yang
BAB II
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MURRAY EDELMAN
A. Biografi Murray Edelman
Murray Jacob Edelman adalah seorang ilmuwan politik asal Amerika
yang dikenal karena penelitiannya tentang politik simbol dan psikologi politik. Ia
dilahirkan di Nanticoke, Pennsylvania, United States of America, pada 5
November 1919. Bersama seorang istri yang bernama Bacia Stepner, ia
dikaruniai 3 anak perempuan. Anak pertama Lauren Edelmen, tinggal di
Berkeley, California. Anak kedua Judith Edelman, tinggal di Green, Kfarsava,
Israel. Serta anak ketiga bernama Sarah E. Coyne, tinggal di Madisson. Dari
putri-putrinya tersebut lahir lima orang cucu.1
Setelah menerima gelar akademik pertamanya sebagai seorang sarjana
ilmu sosial dari Bucknell University pada tahun 1941, berbagai gelar kesarjanaan
selanjutnya seperti program Doctoral dan Ph.D. ia tempuh. Kemudian ia
curahkan hidupnya untuk berkarir dalam dunia pengetahuan. Ketertarikannya
kepada ilmu politik menghasilkan banyak temuan penelitian dan karya ilmiah.
Demikian pula berbagai penghargaan ia raih, di antaranya Fulbright Awards dan
Fellowships dari John Simon Guggenheim Memorial Foundation dan National
Endowment for the Humaniora. Selain itu Edelmen memangku banyak jabatan
24
akademik.2 Pemikirannya tentang politik simbol yang tertuang dalam belasan
karyanya menjadi inspirasi dan kontribusi nyata bagi dunia ilmu politik.
Edelman pensiun dari karir akademiknya pada tahun 1990. Sekalipun ia
pensiun, namun ia tetap melakukan kegiatan-kegiatan penelitian dan penulisan
buku tentang poltik. Ia masih menulis buku ‚From Art to Politics: How Artistic
Creation Shape Political Conceptions‛ yang diselesaikan pada tahun 1996. Karya
terakhir adalah ‚The Politics Misinformation yang selesai menjelang akhir
hayatnya oleh putrinya, seorang sosiolog Lauren Edelman. Akhirnya pada
tanggal 26 Januari 2001, ia mengehembuskan nafas terakhir setelah kurang lebih
25 tahun dokternya memvonis ia memiliki penyakit jantung.3
Murray Edelman meninggalkan warisan sebelas buku dan banyak artikel
yang memuat ide tentang gagasan dan pemikirannya. Bahkan artikelnya dalam
sebuah jurnal politik telah menginspirasi dikembangkannya analisis framing yang
akan digunakan sebagai pisau anlisis dalam penelitian ini. Kesemuanya
merupakan kontribusi kongkrit Edelman dalam dunia ilmiah. Yang lebih penting
lagi adalah warisan hidupnya, yakni para siswanya, kolega dan orang-orang yang
belajar darinya, dimana pekerjaan mereka terus bergantung pada pengajaran dan
gagasan Edelman.4
2 Paul Lewis, ‚Murray Edelman. 81, Professor And Pioneer In Political Science‛, dalam https://mobile.nytimes.com/2001/02/03/nyregion/murray-edelman-81-proffesor-and-pioneer-in-political-science.html, 1, (25 juni 2017).
3 Memorial Committee, "Memorial Resolution of the Faculty, 1.
25
1. Latar Belakang Pendidikan Murray Edelman
Murray Edelman melangsungkan studinya untuk mendapat gelar
sarjana ilmu sosial di Bucknell University, dan pada tahun 1941 gelar sarjana
ilmu sosial mampu ia raih. Kemudian ia melanjutkan studi masternya dalam
bidang sejarah di University of Chicago, dan mendapatkan gelar master pada
tahun 1942. Tidak selesai di situ, Murray Edelman melanjutkan studinya ke
program doctoral. Akhirnya ia mendapatkan gelar Ph.D. dalam Ilmu Politik
dari University of Illinois pada tahun 1948. Setelah itu ia tetap bergabung
dengan fakultas Universitas Illinois, sampai bergabung dengan fakultas
Universitas Wisconsin - Madison pada tahun 1966.5
Murray Edelman mulai mengasah gagasan dan pemikirannya dengan
melakukan penelitian tentang \kebijakan publik, terutama yang berkenaan
dengan hubungan manajemen buruh. Namun tidak lama kemudian Edelman
segera beralih kepada pembahasan yang menarik baginya, yaitu tentang
politik simbol dan aspek subjektif politik dan kekuasaan. Untuk memenuhi
ketertarikannya terhadap pembahasan politik simbol ini, Edelman
menghabiskan waktunya selama lebih dari empat puluh tahun untuk
mengurai gagasan politik simbol. Selama itu kontribusi Murray Edelman
sangat besar dalam perkembangan ilmu politik. Kontribusi pemikirannya
yang termaktub dalam belasan buku dan banyak artikel menjadi rujukan
26
banyak orang dalam mengeksplorasi berbagai aspek dari masalah politik
simbol.6
Selama karir akademiknya, Edelman banyak menerima penghargaan,
Termasuk sebagai profesor kehormatan dan profesor tamu di Amerika, di
Austria, serta Italia. Selain itu Edelman juga mendapat penghargaan dari
Fulbright Awards, mendapatkan beasiswa dari Yayasan Gug Genheim dan
National Endowment for the Humanities, serta banyak gelar kehormatan
lainnya. Pada tahun 1971 Edelman dianugerahi ‚kursi‛ Rumah Universitas,
yang ia peruntukkan untuk sebuah nama George Herbert Mead, seorang filsuf
besar dan teoretikus sosial psikologis yang mengilhami sebagian besar
karyanya tentang politik simbol. Kemudian pada tahun 1984 ia diangkat
sebagai seorang Profesor Riset Senior WARF. Dan pada pada tahun 1990 dia
pensiun.7
2. Karya-karya Murray Edelman
Di antara bukunya yang terkenal adalah The Siymbolic Uses of
Politics. (Diterbitkan University of Illionis press, 1964). Dan buku berjudul
Politics as Symbolic Action: Mass Arousal and Quiescence (1971). Dalam
buku karyanya tersebut, dan dalam karya lainnya, Edelman menuangkan
konsep yang menjadi pioner teori postmodern atau teori dekonstruksi dalam
bidang sastra dan budaya, dengan penekanan terhadap interpretasi subyektif,
27
pendekatannya serupa dengan ilmu politik postmodern.8
a) The Siymbolic Uses of Politics (1964)
Buku yang diterbitkan pertama kali oleh University of Illionis
press, pada 1964 ini merupakan pembuka wacana terhadap gagasan
disiplinnya. Meskipun karya ini klasik, namun ia tetap menjadi referensi
wajib bagi siapa saja yang tertarik pada politik simbol. Setelah karya
pertamanya ini, banyak orang lain yang tertarik untuk mengeksplorasi
berbagai aspek dari masalah politik simbol ini.9
Dalam buku ini, Edelman menerangkan bahwa pemilihan simbol,
tujuan, dan politik terungkap dalam analisis terhadap institusi politik dan
manusia sebagai insan politik. Berbeda dengan studi konvensional
tentang politik yang berhubungan dengan bagaimana orang mendapatkan
barang yang mereka inginkan melalui pemerintahan, buku ini
berkonsentrasi pada bagaimana politik mampu mempengaruhi apa yang
mereka inginkan, apa yang mereka takuti, dan apa yang mereka anggap
mungkin. Dalam meneliti politik sebagai bentuk simbolis, Edelman
memandang manusia dan politik sebagai kesatuan refleksi satu sama
lain.10
b) Politics as Symbolic Action: Mass Arousal and Quiescence (1971)
8 Lewis, ‚Murray Edelman. 81, 1.
28
Buku ini dan buku yang terbit sebelumnya merupakan dua karya
Edelman yang sangat penting. Fokus buku ini adalah tentang aksi massa
politik dan opini publik di negara-negara demokrasi. Buku ini
berhubungan dengan dinamika perkembangan ancaman politik yang
terkait dengan perilaku politik. Buku ini membahas kondisi di mana
dinamika yang terkait dengan perilaku politik adalah penyebab awal dari
gejolak politik, kekerasan, dan ketenangan. Dalam buku ini Edelman
mengkaji pengaruh aktivitas pemerintah terhadap kepercayaan dan
persepsi orang, serta bagaimana kognisi non-empiris menjadi basis
perubahan yang resisten. Dalam buku ini Edelman juga meneliti
bagaimana fenomena individu dan fenomena kelompok menjadi terkait
melalui pembentukan simbol dan mitos.
Selain itu, buku ini membahas tentang emosi sebagai katalisator
dari ritual politik dan kekerasan politik, sebagaimana disimpulkan dari
teori peran Theodore Sarbin. Penggunaan metafora, bentuk bahasa, dan
ketegangan massa semuanya bisa menjadi proses sosial-psikologis dan
politik yang dapat menyebabkan suatu gairah politik atau sebaliknya
menyebabkan sebuah ketenangan. Buku ini juga menjelaskan tentang
gangguan kekerasan. Utamanya kekerasan terjadi dalam pola yang
mencerminkan organisasi, disorganisasi, dan hal kepemimpinan. Melalui
29
politik dapat berubah dan persepsi fenomenologis kelompok masyarakat
tertentu dapat mengidentifikasi perilaku politik dengan sistematis.11
c) Political Language: Words that Succeed and Policies that Fail (1977)
Dalam buku ini Edelman membahas tentang ketidaksetaraan yang
terjadi dalam sebagian populasi masyarakat semakin banyak dan kronis.
Buku ini membahas tentang terjadinya kemiskinan dan ketidaksetaraan
dalam masyarakat demokratis seperti Amerika Serikat lebih besar. Buku
ini mengulas masalah kronis dan berbagai kepercayaan yang ditemukan di
masyarakat Amerika, dan juga mencatat tentang persepsi umum terhadap
perbedaan kualitas hidup masyarakat, yang mencakup kekuatan politik
dan otonomi. Buku tersebut kemudian mendefinisikan persepsi
‘penonton’ politik dan menjelaskan generasi asumsi linguistik (menerima
begitu saja), rekonstruksi fakta linguistik (cover-up), dan segmentasi
linguistik politik (berbeda dari dunia biasa). Buku ini kemudian
mengarahkan kepada bahasa penyelidikan, wewenang, partisipasi, dan
perlawanan dengan melakukan penyelidikan dan eksperimen bebas atau
kesetiaan politik.12
11https://books.google.co.id/books?id=dXLBQAAQBAJ&dq=Politics+as+Symbolic+Act ion:+Mass+Arousal+and+Quiescence&hl=id&source=gbs_navlinks_s (20 Juni 2017).
30
d) Constructing the Political Spectacle (1988)
Interpretasi konvensional menganggap bahwa dengan adanya
berita politik pada saat ini, maka warga negara dapat melindungi dan
mempromosikan kepentingan mereka sendiri dan kepentingan publik
secara lebih efektif. Namun dalam buku ini Murray Edelman menentang
interpretasi politik konvensional tersebut, yang menganggap bahwa kita
hidup di dunia fakta dan orang bereaksi rasional terhadap fakta yang
mereka ketahui. Dengan demikian, Edelman mengeksplorasi secara rinci
cara-cara di mana aspek dominan dari suatu adegan politik adalah
interpretasi yang secara sistematis mendukung ketidaksetaraan, serta
interpretasi yang sudah menyiratkan ideologi politik yang dominan.13
e) From Art to Politics: How Artistic Creation Shape Political Conceptions
(1996)
Dari karya-karya sebelumnya, Edelman dikenal sebagai ahli ilmu
politik yang concern terhadap pengaruh kuat suatu tanda, perspektif, serta
simbol budaya terhadap perilaku politik dan institusi politik. Dalam buku
ini, Edelman melanjutkan pencariannya untuk memahami pengaruh
persepsi terhadap proses politik dengan beralih kepada peran seni. Dia
berpendapat bahwa gagasan, bahasa, dan tindakan politik dapat
digambarkan berdasarkan gambar dan narasi yang kita ambil dari
31
literatur, lukisan, film, televisi, dan genre lainnya. Edelman percaya
bahwa seni memberi kita model, skenario, narasi, dan gambar yang kita
gunakan untuk memahami peristiwa politik, dan ia mengeksplorasi
berbagai cara seni dapat membentuk persepsi dan tindakan politik untuk
mempromosikan dan menghambat keragaman dan demokrasi.14
f) The Politics Misinformation (2001)
Buku yang ditulis menjelang Edelman meninggal ini merupakan
suatu bentuk investigasi terhadap kekuatan sosial dan ekonomi yang
menghasilkan bahasa politik publik berdasarkan pada citra, samar-samar,
dan menyesatkan, bahkan mengindikasikan kecenderungan tidak
demokratis. Akibatnya, wacana demokrasi publik cenderung populis,
emosional, dan cenderung menekankan gambaran kemajuan daripada
ketidaksetaraan struktural dalam formulasi masalah publik mereka.
Singkatnya, definisi dan solusi sebuah masalah tidak mampu
menghadirkan pemahaman yang benar dan tidak mampu meraih
partisipasi publik dalam politik demokrasi.15
Selain karya-karya di atas, banyak karya Edelman yang lain termasuk
The Licensing of Radio Services in United States, 1927-1947. The Politics of
Wage-Price Decisions, 1946-1963: A Four-Country Analysis, yang ditulis
bersama Robben W. Fleming, juga Political Language and Political Reality
14https://books.google.co.id/books?id=4lcthzR5SNgC&dq=From+art+to+politics:+how+ artistic+creation+shape+political+conceptions&hl=id&source=gbs_navlinks_s, (25 juni 2017).
32
(1985). Masing-masing karya ini menunjukkan pengamatannya yang akurat,
dan menunjukkan perhatiannya yang besar pada bahasa, serta minat
intelektualnya yang luas.16
B. Pemikiran Murray Edelman tentang Framing
Pada tahun 1960-an hingga 1970-an Murray Edelman merintis sebuah
pendekatan baru tentang ilmu politik. Dengan mengatakan bahwa kepentingan
sebenarnya dari tindakan institusi politik seringkali sangat berbeda dengan apa
yang tampak. Edelman percaya bahwa perkembangan politik publik berlangsung
dalam ruang simbol dan makna yang hanya dapat diketahui dengan penelitian
yang cermat. Selanjutnya Edelman menyatakan bahwa fakta selalu tersirat dalam
suatu bangunan teori dan butuh penafsiran. Sebagai contoh ia memandang bahwa
nilai simbolis dari pemilihan umum merupakan tolak ukur dari kemampuan
politisi untuk meyakinkan pemilih bahwa mereka sebenarnya memiliki pilihan,
padahal kenyataannya tidak seperti itu. Serupa dengan hal itu Edelman
memandang bahwa mekanisme pengadilan yang rumit hanyalah sebagai alat
untuk menegaskan otoritas hakim itu sendiri.17
Menurut Edelman pemerintah berusaha untuk menghapuskan ketidak
adilan hanya untuk mengalihkan fokus masyarakat selagi pemerintah membentuk
birokrasi yang berfungsi untuk mempertahankan masalah daripada
menyelesaikannya. Dan ketika pemerintah berbicara soal ‚krisis‛, mereka hanya
16 http://www.press.uillinois.edu/books/catalog/72shy2en9780252012020.html, (25 juni 2017).
33
ingin membuka ruang untuk melakukan tindakan-tindakan di luar kebiasaan,
karena mereka merasa berhak untuk melakukannya demi menyelesaikan masalah
luar biasa yang mana masyarakat umum tidak akan bisa memahaminya.18
Adapun pemikiran Edelman tentang framing tertuang dalam tulisannya di
jurnal Political Communication vol. 10, no. 3, yang terbit di England pada tahun
1993. Judul tulisan Edelman yang menginspirasi berkembangnya analisis framing
adalah ‚Contestable Categories and Public Oppinion‛. Dalam tulisan tersebut,
Edelman mencurahkan pemikirannya tentang peranan media dalam komunikasi
politik. Menurut Edelman realitas dipahami dalam bahasa politik tertentu dan
dihadirkan untuk mempengaruhi pemahaman publik atas realitas. Politisi
menggunakan sarana media, dengan menggunakan kata dan kategori tertentu
untuk menarik dukungan publik serta untuk mempengaruhi pendapat umum.
Dengan demikian, pemakaian kata dan kategori tertentu merupakan kreasi dari
para politisi untuk mempengaruhi konsepsi atau persepsi publik.19 Lebih lengkap
tentang gagasan framing Edelman adalah sebagai berikut:
1. Kategori
Kategorisasi merupakan tindakan pikiran berupa penggunaan
perspektif tertentu untuk memahami sebuah realitas. Proses kategorisasi
meniscayakan pemakaian kata-kata tertentu yang dengannya realitas akan
dipahami. Kategorisasi dalam pandangan Edelman, merupakan abstraksi dan
18 Ibid, 1.
34
fungsi dari pikiran. Berbagai peristiwa, orang, maupun kelompok diberi
makna dalam sebuah kerangka atau skema. Dengan kerangka tersebut
seorang individu meletakkan setiap kejadian, peristiwa, orang, maupun
kelompok dalam alur cerita yang terstruktur dan runtut. Tanpa kerangka itu
maka peristiwa akan tampak kacau, membingungkan, dan tidak bermakna,
dan berbagai peristiwa akan terlihat berdiri sendiri tidak saling berhubungan.
Kategori membantu manusia memahami realitas yang beragam dan tidak
beraturan tersebut menjadi realitas yang mempunyai makna.20
Namun demikian, kategori bisa berarti proses simplifikasi terhadap
sebuah peristiwa. Dengan fungsi pikiran individu menggunakan skema agar
realitas yang kompleks menjadi saling terhubung dan sederhana, serta bisa
dipahami. Realitas yang kompleks dan multidimensi akan disederhanakan
menjadi realitas yang terstruktur dan satu dimensi. Maka tidak heran jika
Edelman mensejajarkan proses kategorisasi dengan proses pembingkaian
(framing). Dalam konsep inilah maka kategori bisa menjadi alat untuk
menyederhanakan berbagai peristiwa yang diamati.21
Selanjutnya, Edelman menyatakan bahwa setiap individu bahkan
media bisa menciptakan framing (bingkai) tertentu. Dengan frame tersebut
individu dan media mampu memposisikan diri dalam sudut pandang kategori
tertentu untuk mengambil pemahaman atas realitas. Untuk mengetahui suatu
20 Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, (Yogyakarta: LKiS, 2007), 156.
35
realitas dunia, individu membutuhkan bingkai dan tafsir. Dengan demikian,
pengetahuan individu atas realitas dunia tergantung pada bagaimana individu
membingkai dan menafsirkan realitas. Dalam hal ini Edelman mengatakan:
‚What we know about the nature of the social depends upon how we frame
and interpret the cues we recive about the world‛.22
Realitas yang sama bisa jadi akan dipahami dalam konstruksi makna
yang berbeda tergantung pada frame dan sudut pandang yang digunakan.
Peristiwa percobaan nuklir bisa dimakanai sebagai tindakan anti
kemanusiaan, dan dapat juga dikatakan sebagai kemajuan tekhnologi
pengetahuan. Semua pilihan tersebut tidak sekedar tehnik pemakaian
kata-kata, akan tetapi merupakan cara untuk menghadirkan dan menafsirkan
sebuah peristiwa kepada publik. Pemahaman publik atas sebuah realitas
merupakan realitas yang telah diseleksi dengan frame (bingkai) tertentu.
Akhirnya publik diarahkan dan didikte untuk memahami realitas dengan cara
dan frame (bingkai) tertentu. Dengan demikian pemahaman dan persepsi
publik mampu diarahkan sesuai dengan kepentingan tertentu.23
Kategorisasi merupakan kekuatan besar dalam mempengaruhi pikiran
dan kesadaran publik. Menurut Edelman kategori lebih halus dibandingkan
propaganda.24 Sebagai contoh propaganda yang dilakukan dengan
penggunaan kata ‚agresi‛, berbeda dan lebih kasar dibandingkan dengan
22 Edelman, ‚Contestable Categories and Public, 231. 23 Ibid, 232.
36
pemakaian kategori ‚kebijakan luar negeri‛, atau ‚tindakan militer‛.
Pemakaian kata-kata tersebut tampak lebih halus daripada propaganda yang
memperjelas maksud dari komunikator. Meskipun terlihat lebih halus dan
tidak langsung, akan tetapi pemakaian kategori akan memiliki efek lebih
besar dibandingkan dengan propaganda. Karena kategori lebih menyentuh,
dan masuk ke alam bawah sadar.25
Dalam lapangan politik, berbagai kekuatan poltik saling bersaing
untuk menggunakan kategori masing-masing, dan seringkali berbeda dalam
menggunakan kategori untuk menunjukkan klaim kebenaran masing-masing
pihak. Oleh karena itu Edelman menyatakan bahwa politisi hanya berkutat
pada usaha pemenangan terhadap opini publik daripada menyelesaikan
masalah.26 Dengan kategori tertentu, politisi menggunakan media dengan
menggunakan kata-kata tertentu demi menarik dukungan publik serta untuk
mempengaruhi pendapat umum.27
Sebagaimana dikemukakan di awal, bahwa dalam pandangan Edelman
kategori sebagai fungsi dari pikiran manusia tak ubahnya sebuah frame atau
bingkai yang hampir selalu digunakan untuk melihat sebuah peristiwa.
Dengan proses kategorisasi maka pikiran manusia akan spontan
menggunakan perspektif tertentu untuk memahami sebuah realitas. Dengan
demikian, kategorisasi mampu mengantarkan individu kepada pengetahuan
25 Ibid. Lihat juga Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, 86. 26 Memorial Committee, "Memorial Resolution of the Faculty, 1.
27 Edelman, ‚Contestable Categories and Public, 232. Lihat juga Eriyanto, Analisis
37
tentang cara untuk mendefinisikan sebuah masalah, untuk membatasi ruang
lingkup masalah, dan memberikan solusi efektif untuk direkomendasikan.
Dalam hal inilah perbedaan atau kesalahan dalam menggunakan kategori
akan berakibat fatal.28
Kesalahan dalam menggunakan kategori akan berakibat terhadap
kesalahan dalam mendefinisikan sebuah masalah, kesalahan dalam
membangun ruang lingkup masalah, dan kesalahan dalam memberikan solusi
atas masalah tersebut. Dalam pemberitaan media, kategorisasi atas sebuah
peristiwa diikuti dengan menentukan nara sumber yang diwawancarai,
pertanyaan yang akan diajukan, kutipan yang diambil, dan dimensi peristiwa
mana yang akan dibuang. Semua ini dilakukan demi mengarahkan fokus
publik kepada kategori tertentu. Seperti halnya konflik yang terjadi di
Sampit, dimana telah terjadi pembunuhan dan pengusiran atas etnis Madura.
Digambarkan oleh media tentang kekejaman suku asli Sampit kepada orang
Madura, dan kesaktian mereka mampu mengusir orang Madura. Semua
gambaran ini merupakan hasil seleksi media dari sekian banyak peristiwa
berikut dimensinya untuk menggambarkan bahwa tragedi tersebut tergolong
dalam kategori konflik etnis.29
Berbeda halnya jika media melihat tragedi tersebut sebagai kegagalan
negara dalam menjamin keamanan warganya. Jika kategori ini digunakan
oleh media dalam melihat tragedi tersebut, maka perhatian media bukan pada
38
sisi kekejaman suku asli Sampit, melainkan fokus kepada sisi peristiwa atau
kejadian dimana aparat tidak mampu dalam menjaga keamanan. Aparat yang
berjaga-jaga setiap hari tidak sukses dalam menjalankan tugas pengamanan.
Kekejaman yang terjadi bukanlah masalah kekejaman etnis satu atas etnis
lainnya, melainkan masalah ketidak mampuan negara dalam mengelola
konflik. Bahkan bisa jadi konflik tersebut sengaja dimanipulasi untuk
kepentingan politik tertentu.30
2. Rubrikasi
Penggunaan kategori dalam melihat berbagai peristiwa meniscayakan
adanya klasifikasi terhadap berbagai peristiwa yang diamati oleh individu.
Secara tehnis, klasifikasi berhubungan dengan bagaimana suatu peristiwa
dipahami dan dikomunikasikan. Oleh karena itu, Edelman menyatakan bahwa
klasifikasi menentukan tumbuhnya dukungan publik atau bahkan oposisi.
Terjadinya dukungan atau oposisi publik terhadap suatu kebijakan
pemerintah ditentukan oleh cara menyajikan dan mengkomunikasikan suatu
peristiwa kepada publik. Dalam proses menyajikan dan mengkomunikasikan
peristiwa inilah kategorisasi dan klasifikasi bekerja dalam pikiran. Pemakaian
kategori dan klasifikasi tertentu dapat menggiring publik kepada tindakan
mendukung atau bisa jadi menolak.31
Berkaitan dengan penyajian berita, proses kategorisasi dan klasifikasi
yang terjadi dalam pikiran individu wartawan media, meniscayakan adanya
30 Ibid, 161.
39
proses rubrikasi dalam penulisan berita. Rubrikasi merupakan kegiatan
menempatkan pemberitaan atas sebuah peristiwa dalam rubrik tertentu sesuai
dengan kategori yang diajukan oleh pikiran seorang individu wartawan atau
media. Dalam hal ini, rubrikasi merupakan perwujudan dari proses
kategorisasi pikiran dalam pemberitaan. Maka dari itu, rubrikasi bukan
sekedar persoalan teknis atau prosedur standar tehnik penyampaian berita,
akan tetapi ia merupakan bagian dari proses klasifikasi peristiwa dalam
kategori tertentu. Rubrikasi dapat menentukan cara menjelaskan peristiwa.
Rubrikasi menegaskan adanya proses kategorisasi atas sebuah peristiwa.
Sebuah peristiwa ditempatkan dalam klasifikasi dan rubrik tertentu bukan
dalam klasifikasi dan rubrik lainnya, merupakan indikasi terjadinya unsur
kesengajaan dalam memilih perspektif tertentu dan kategori tertentu.32
Sebagai contoh permasalahan anak jalanan. Anak jalanan bisa
dipahami sebagai masalah sosial seperti ketimpangan dan kesenjangan sosial,
bisa juga dimasukkan dalam kategori permasalahan ekonomi, yakni
kesenjangan pendapatan dan tidak adanya akses ekonomi, bisa juga
diklasifikasikan dalam masalah politik, yakni kurangnya perhatian
pemerintah, bahkan bisa juga digolongkan dalam masalah kriminalitas, yakni
anak jalanan sebagai sumber kejahatan. Semua kategori tersebut dapat dilihat
secara kasat mata dalam proses rubrikasi media dalam pemberitaan. Dengan
demikian pendefinisian media terhadap permasalahan anak jalanan mudah
40
diketahui dari proses rubrikasi yang mereka lakukan, apakah termasuk dalam
permasalahan politik, ekonomi, sosial, kriminal dan lain sebagainya.33
Terjadinya perbedaan rubrikasi antara satu media dengan lainnya
merupakan indikasi perbedaan media dalam mendefinisikan dan
mengkategorikan sebuah peristiwa. Kategori yang berbeda akan
mengakibatkan rubrikasi yang berbeda pula. Kesalahan dalam
mengkategorisasikan akan menimbulkan kesalahan rubrikasi, dan tentu
berakibat pada kesalahan pemahaman publik terhadap definisi masalah yang
diberitakan. Jika sebuah masalah didefinisikan berbeda bahkan salah, maka
gambaran publik terhadap batasan masalah juga akan berbeda, dan tentu
solusi yang direkomendasikan juga tidak sama bahkan salah.34
3. Hubungan Kategorisasi dan Ideologi
Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa kategorisasi merupakan upaya
untuk mengklasifikasikan dan menyederhanakan realitas dunia yang
kompleks menjadi sederhana, runtut, mudah diamati, dan mudah dipahami.
Dalam hal ini peradaban manusia dengan kemampuan berpikirnya telah
membangun berbagai simbol untuk memahami peristiwa dan fenomena yang
dialami. Baik fenomena alam, fenomena manusia sendiri dalam jiwa dan
raganya, bahkan fenomena yang bers