ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TINDAKAN WALI
MUJBIR MENIKAHKAN WANITA HAMIL KARENA ZINA
DENGAN PRIA YANG TIDAK MENGHAMILI
(Studi Kasus Daerah Klingsingan Rt.05 Rw.03 Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya)
SKRIPSI Oleh: Meira Hikmawati NIM: C01212030
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan dengan judul Analisis Hukum Islam Terhadap Tindakan Wali Mujbir Menikahkan Wanita Hamil Karena Zina Dengan Pria Yang Tidak Menghamili. (Studi Kasus Daerah Klingsingan Rt.05 Rw.03 Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya). Rumusan masalah adalah: Bagaimana kasus tindakan wali mujbir menikahkan wanita hamil karena zina dengan pria yang tidak menghamili di Daerah Klingsingan Rt.05 Rw.03 Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya? Bagaimana analisa hukum islam terhadap tindakan wali mujbir menikahkan wanita hamil karena zina dengan pria yang tidak menghamili studi kasus daerah Klingsingan Rt.05 Rw.03 kelurahan Gubeng kecamatan Gubeng Kota Surabaya?
Penelitian ini menggunakan kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan secara jelas yang datanya bersumber dari lapangan, dengan teknik interviu, observasi, dan dokumentasi terkait dengan tindakan wali mujbir menikahkan wanita hamil karena zina dengan pria yang tidak menghamili, kemudian di analisis dengan menggunakan teori analisis hukum Islam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus tindakan wali mujbir menikahkan wanita hamil karena zina dengan pria yang tidak menghamili di Daerah Klingsingan Rt.05 Rw.03 Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya terjadi saat usia kehamilan si wanita menginjak usia lima bulan, sedang mereka baru menjalin pacaran masih berusia satu tahun. Hasil analisis hukum Islam terkait dalam kasus ini dalam KHI Kawin Hamil Pasal 53 ayat 1 menyebutkan bahwa‚Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya‛. Mazhab Syafi’i menetapkan, wanita yang hilang keperawanannya dengan jalan zina atau (walaupun dengan benda lain) hukumnya sama seperti janda. Berbeda dengan jumhur ulama berpendapat bahwa seorang wanita yang telah kehilangan perawanannya, apa pun sebabnya, tidak boleh dipaksa menikah karena status mereka disamakan dengan wanita yang sudah tidak bersuami lagi. Imam Hanbali dan Imam Maliki berpendapat bahwa Hukumnya tidak sah menikahi wanita yang diketahui telah berbuat zina, baik dengan laki-laki bukan yang mezinainya, terlebih lagi dengan laki-laki yang mezinainya, kecuali wanita itu telah memenuhi dua syarat berikut : pertama, telah habis masa iddahnya. Jika ia hamil iddahnya habis dengan melahirkan kandungannya. Bila akad nikah dilangsungkan dalam keadaan hamil maka akad nikahnya tidak sah. Kedua, telah bertaubat dari perbuatan zina dan harus istibra’ (pengosongan rahim).
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
PERSEMBAHAN ... viii
MOTTO ... ix
DAFTAR ISI... ... x
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR TRANSLITERASI ... xv
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 13
C. Rumusan Masalah ... 15
D. Kajian Pustaka ... 15
E. Tujuan Penelitian ... 20
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 20
G. Definisi Operasional ... 21
H. Metode Penelitian ... 23
BAB II : LANDASAN TEORI TERHADAP TINDAKAN WALI MUJBIR MENIKAHKAN WANITA HAMIL KARENA ZINA DENGAN PRIA YANG TIDAK MENGHAMILI
A. Wali Mujbir dalam Hukum Islam ... 32
1. Pengertian wali mujbir ... 32
2. Syarat-syarat wali mujbir dan tidak mujbir ... 33
3. Orang yang boleh dipaksa oleh wali mujbir ... 34
4. Orang yang berhak menjadi wali mujbir ... 35
B. Konsep Wali Mujbir ... 38
1. Mazhab Hanafi ... 38
a. Pengertian wali mujbir ... 38
b. Obyek wali mujbir ... 38
c. Orang yang berhak menjadi wali mujbir ... 42
d. Syarat-syarat wali mujbir ... 43
2. Mazhab Syafi’i ... 44
a. Pengertian wali mujbir ... 44
b. Obyek wali mujbir ... 45
c. Orang yang berhak menjadi wali mujbir ... 46
d. Syarat-syarat wali mujbir ... 49
3. Yusuf Qardhawi ... 51
a. Pengertian wali mujbir ... 51
b. Obyek wali mujbir ... 51
c. Syarat-syarat wali mujbir ... 52
4. Husein Muhammad ... 53
a. Pengertian wali mujbir ... 53
b. Obyek wali mujbir ... 54
c. Syarat-syarat wali mujbir ... 55
5. KH. MA. Sahal Mahfudh ... 56
a. Pengertian wali mujbir ... 56
b. Obyek wali mujbir ... 57
c. Syarat-syarat wali mujbir ... 58
C. Dasar Hukum Menikahkan Wanita Hamil Karena Zina Dengan Pria Yang Tidak Menghamili ... 58
1. Mazhab Hanbali ... 58
2. Mazhab Syafi’i ... 60
3. Mazhab Hanafi ... 61
4. Mazhab Maliki ... 63
D. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 53 ayat (1) sampai (3) ... 64
BAB III : LAPORAN HASIL PENELITIAN TERHADAP TINDAKAN WALI MUJBIR MENIKAHKAN WANITA HAMIL KARENA ZINA DENGAN PRIA YANG TIDAK MENGHAMILI A. Gambaran Umum Wilayah Gubeng ... 65
B. Faktor yang Melatarbelakangi Tindakan Wali Mujbir Menikahkan Wanita Hamil Karena Zina dengan Pria Yang Tidak Menghamili ... 73
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Tindakan Wali Mujbir Menikahkan Wanita Hamil Karena Zina Dengan Pria
Yang Tidak Menghamili ... 80
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 92
B. Saran ... 94
DAFTAR PUSTAKA ... 95
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam telah menentukan cara penyaluran naluri seks melalui lembaga perkawinan. Oleh sebab itu, penyaluran naluri seks di luar perkawinan yang sah adalah bertentangan dengan cara yang ditentukan dalam Islam.1Itulah sebabnya zina dilarang keras dalam Islam. Sebagaimana firman Allah surat al-Isra>’ ayat 32:
Dan janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk 2
(QS.al-Isra>’:32).
Perubahan nilai yang demikian telah menurunkan nilai-nilai kehormatan yang selama ini diagung-agungkan manusia. Keperawanan dan keperjakaan sudah tidak dipersoalkan lagi, sebab masing-masing pribadi yang akan membentuk keluarga telah sangat berpengalaman dalam bidang seksual.3 Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik kepada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan,sebagaimana firman Allah dalam surat Adz-dzari’at ayat 49:
1 H.E. Hassan Saleh, Kajian Fikih Nabawi Dan Fikih Kontemporer, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2008), 435.
2 Ketua Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
429.
3 Hasan Basri, Remaja Berkualitas ‚Problematika Remaja dan Solusinya‛, (Yogyakarta : Pustaka
2
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan dan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. 4 (
QS. Adz-dzari’at :49).
Perkawinan sendiri merupakan salah satu cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang biak, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang bahagia dunia dan akhirat. Untuk mencapai tujuan perkawinan tersebut diperlukan adanya landasan yang kuat dan kokoh dalam membentuk dan menjaga ketentuan keluarga. Rasa saling menyayangi, saling mengerti, saling mempercayai, serta menutupi atau memenugi kebutuhan masing-masing adalah merupakan beberapa sikap yang dapat dijadikan dasar untuk membentuk keluarga seperti yang dirumuskan dalam tujuan perkawinan tersebut.5
Perkawinan mempunyai beberapa tujuan, untuk memperoleh ketenangan hidup yang penuh cinta dan kasih sayang, sekaligus memenuhi kebutuhan biologis yang merupakan sarana untuk meneruskan dan memelihara keturunan, menjaga kehormatan dan juga bertujuan ibadah. Dalam membentuk keluarga yang bahagia, tidak lepas dari dua tujuan perkawinan yaitu yang bersifat primer dan bersifat sekunder. Tujuan perkawinan yang bersifat primer adalah hubungan seksual antara kedua pasangan juga tanggungjawab diantara keduanya yang menyangkut hak dan
4 Ketua Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
862.
5
Effy Setiawati, Nikah Sirri Tersesat Di Jalan Yang Benar, (Bandung : Kepustakaan Eja Insani,
3
kewajiban didalamnya, sedangkan tujuan perkawinan yang bersifat sekunder adalah kekerabatan dan kekeluargaan bahwa perkawinan memiliki tujuan untuk menyatukan dua keluarga yakni keluarga dari pihak laki-laki dan keluarga dari pihak perempuan.6
Dua tujuan di atas sering tidak dipahami oleh masyarakat Indonesia, karena di zaman sekarang tujuan sekunder lebih diutamakan daripada tujuan primer, sehingga terkadang sebuah perkawinan terhadapat hak-hak diantara kedua mempelai ada yang tidak terpenuhi, sebagai contoh adanya persetujuan gadis dalam memilih pasangannya. Orang tua terutama ayah sebagai wali mujbir tidak jarang memaksa anaknya untuk menikah dengan lelaki pilihannya. Padahal, yang akan menjalani kehidupan bersama lelaki adalah si gadis bukan si ayah.
Selain itu tujuan Perkawinan adalah untuk mencegah perzinaan agar tercipta ketenangan dan ketentraman bagi yang bersangkutan, keluarga dan masyarakat.7Tujuan utamanya adalah menjaga silsilah garis keturunan dan nasab manusia untuk menghindari rusaknya perkawinan. Sebagaimana firman Allah surah An-Nisa@’ ayat 1:
6 Puji Lestari, ‚Analisis Terhadap Pemikiran Husein Muhammad Tentang Wali Mujbir‛
(Skripsi—IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011), 7.
7 Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1 :Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim
4 ‛Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu‛ (QS. an-Nisa@’:1). 8
Menerangkan ayat di atas adalah bahwa manusia berasal dari satu diri dan dari satu diri itu dijadikan Allah isterinya. Diri yang satu ialah Adam dan isterinya Hawa. Kemudian kedua manusia itu berkembangbiak.9 Anjuran di atas, merupakan ajaran Islam untuk membimbing manusia melalui perkawinan sebagai jalan satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap keturunan, sedangkan perzinaan merupakan perbuatan melanggar hukum dan sebab jatuhnya hukum itu karena melanggar peraturan hidup, susunan masyarakat, melanggar kesopanan dan merampas hak orang lain yang sah dimilikinya.10
Sedangkan hukuman bagi orang yang melakukan perzinaan dalam agama Islam sudah jelas, yaitu diancam hukum pidana ha@d bagi laki-laki maupun perempuan, sebagaimana firman Allah Qur’an surat An-Nu@r : 2
8Ketua Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
14.
9 Oemar Bakry, Tafsir Rahmat, ( Jakarta : Ditetapkan oleh anggota MUI, 1983), 143.
10 Fuad Moch. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam ( Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya,
5
‛Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman‛.(QS. an-Nu@r : 2). 11
Menurut KHI pasal 53 berbunyi :‛(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. (2) Perkawinan
dengan wanita hamil yang yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir‛.12 Dan sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nur ayat 3:
‛Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin‛. (QS : an- Nu r : 3). 13
Maksud ayat ini ialah tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya.14 Begitu juga dalam perkawinan harus adanya wali nikah. Wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat
11 Ibid.,(QS. 24:2), 543.
12 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam.
13Ketua Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
543.
6
dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya. Wali itu ada yang umum dan ada yang khusus.Yang khusus ialah berkenaan dengan manusia dan harta benda.Yang dibicarakan di sini adalah wali terhadap manusia, yaitu masalah perwalian dalam perkawinan.15
Menurut KHI Pasal 19 tentang wali nikah yang berbunyi:‛wali nikah
dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya.‛16
َِِّوِب َاِا َح اَكِن آ
‚Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali‛.
Hikmahnya ialah agar pernikahan tersebut sempurna dengan adanya kerelaan dari pihak-pihak tertentu secara keseluruhan.17 Sebagaimana firman Allah qur’an surat an-Nu@r ayat 32 :
‛Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.Maksud ayat di atas ialah hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin‛. (QS.an-Nu@r : 32). 18
15
Sayyid Sabiq , Fiqh Sunnah Jilid 3,(Jakarta: Pena Pundi Aksara, Mei 2006), 11. 16
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam.
17
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 2, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), 476.
18Ketua Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
7
Syarat-syarat sebagai seorang wali dalam perkawinan harus memenuhinya sebagai berikut:
1. Islam
2. Balig(dewasa) 3. Berakal sehat 4. Merdeka 5. Adil, 6. Laki-laki19
Sedangkan macam-macam wali ada dua macam, yaitu pertama wali nasab dan kedua wali hakim. Wali nasab ialah seorang yang berhak melakukan akad pernikahan dari calon pengantin wanita berdasarkan hubungan darah (keturunan) antara dia dengan calon pengantin wanita tersebut.Adapun wali hakim ialah seseorang yang karena kedudukannya ( umpamanya sebagai hakim) berhak melakukan akad pernikahan. Hal itu didapatnya berdasarkan penyerahan dari wali nasab atau karena tidak adanya wali nasab, menurut cara-cara tertentu.20
Wali nasab bisa dilihat dari dekat dan jauhnya hubungan darah (keturunan) dengan calon pengantin wanita dibagi menjadi dua yaitu 1. wali aqrab, 2. wali ab’ad. Wali aqrab ialah wali yang dekat hubungan darahnya dengan calon pengantin wanita. Sedangkan wali ab’ad ialah wali yang sudah
19
Maman Abd. Djaliel, Fiqih Madzhab Syafi’i (Edisi Lengkap) Buku 2: Muamalat, Munakahat,
Jinayat, ( Bandung : CV Pustaka Setia, 2007), 270. 20
8
jauh pertalian darahnya dengan wanita calon pengantin.Wali aqrab terbagi menjadi dua yaitu 1. wali mujbir, 2. wali bukan mujbir.
Dan persoalan wali dalam perkawinan yang banyak terjadi zaman sekarang ini terkenal dalam istilah ‚wali mujbir‛. Wali mujbir ialah seorang
wali yang berhak mengakadnikahkan orang yang diwalikan di antara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka terlebih dahulu. Akadnya berlaku juga bagi orang yang diwakilkan tanpa melihat ridha atau tidaknya.21 Mereka adalah bapak dan datuk (bapak dari bapak). Selain kedua orang itu adalah wali bukan mujbir.
Syarat-syarat wali mujbir sebagai berikut :22a) Tidak ada rasa permusuhan antara wali dengan perempuan, yang ia sendiri, menjadi walinya (calon pengantin wanita), b) Calon suaminya sekufu dengan calon istri, c) Calon suami sanggup membayar mahar pada saat dilangsungkan akad nikah. Syarat- syarat wali yang tidak mujbir sebagai berikut :23a)Wali selain ayah,
kakek dan terus ke atas, b)Perwaliannya terhadap wanita-wanita yang sudah baligh, dan mendapat persetujuan dari yang bersangkutan, c) Bila calon pengantin wanitanya janda, izinnya harus jelas baik secara lisan atau tulisan, d) Bila calon pengantin wanitanya masih gadis, cukup dengan melihat diamnya.
21
Sayyid Sabiq , Fiqh Sunnah Jilid 3..., 18.
9
Adapun orang yang boleh dipaksa menikah oleh wali al-mujbir adalah
sebagai berikut : a) Orang yang tidak memiliki atau kehilangan kecakapan bertindak hukum, seperti anak kecil dan orang gila. b) Wanita yang masih perawan tetapi telah balig dan berakal. c) Wanita yang telah kehilangan perawanannya, baik karena sakit, dipukul, terjatuh atau berzina.24
Dalam hal ini ada lima konsep tentang wali mujbir menurut para ulama fikih sebagai berikut : Pertama, mazhab Hanafi dalam pengertian wali mujbir adalah seorang wali yang mempunyai hak untuk mengawinkan orang
yang berada di dalam perwaliannya walaupun tanpa seizin darinya.25Kedua, mazhab Syafi‛i dalam pengertian wali mujbir adalah wali (bapak atau kakek
ketika tidak ada bapak), yang berhak mengawinkan anak gadisnya meskipun tanpa persetujuannya.26 Selain kedua orang ini (bapak atau kakek) tersebut
adalah wali tak mujbir.27 Ketiga, Yusuf Qardhawi dalam pengertian wali
mujbir adalah wali hanya dimintai persetujuan dan ijinya. Dengan demikian
seorang gadis berhak menentukan atas pilihan yang dikehendakinya tanpa ada
paksaan dari orang tuanya atau walinya. Jadi ada unsur kerelaan
masing-masing dari orang tua dan anak perempuannya.28 Keempat, Husein
Muhammad dalam pengertian wali mujbir adalah wali yang mempunyai
24 Abdul Azizi Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 4.. ., 1337. 25
Fakhru@ Al- Din ‘Usman Bin Ali, Tabyi@nu al-Haqo@iq, Juz II, (Beirut –Lebanon : Da@r Al- Kutub Al- Ilmiah, tt), 493.
26
Al-Ima@m Al- Nawawi@, Majmu@’ Sharh al –Muhadhhab, Jilid XVI, (Kairo: Da@r al-Hadith, 2010), 409.
27 Maman Abd.Djaliel. Fiqh Madzhab Syafi’i (Edisi Lengkap) Buku 2: Muamalat, Munakahat,
Jinayat, Bandung : CV Pustaka Setia, 2007), 274.
28M.Sugeng Rianto, ‚ Studi Tentang Pendapat Yusuf Qardhawi Tentang Wali Mujbir‛,
10
kekuasaan atau hak untuk mengawinkan anak perempuannya, meskipun tanpa
persetujuan dari pihak yang bersangkutan, dan perkawinan ini dipandang sah
secara hukum.29 Kelima, KH. MA. Sahal Mahfud dalam pengertian wali
mujbir adalah lebih membahas wali mujbir di masa jaman sekarang
.Menurutnya, meminta persetujuan anak, selain dianggap baik dari sisi nilai ajaran yang disampaikan Rasulullah SAW, juga didukung kaidah fikih al-Khuru@j min al-Khila f mustahab, keluar dari perbedaan dengan
mengompromikan pendapat yang berbeda-beda adalah lebih disukai.30
Dalam hal ini penjelasan sebagai subjek (inisial) dalam penelitian sebagai berikut :
1. Wali mujbir : Ayah (AT) 2. Wanita hamil : Anak (TR) 3. Yang menghamili : Pacar (AR)
4. Selain yang menghamili : Pilihan ayah (AG)
Penelitian kasus dalam temuan penulis di lapangan yaitu di daerah Klingsingan Rt/Rw 05/03 Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya. Dalam satu keluarga kecil dengan latarbelakang lingkungan, keluarga dan pendidikan yang sangat bebas. Akibat dari pergaulan adalah kecelakaan dalam sebuah perkawinan yang tidak diinginkan yaitu hamil di luar nikah. Hal yang sepele ini akan berdampak negatif bagi kedua pelaku. Berdasarkan kronologinya adalah latar belakang keluarga AT dipandang baik
29
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqih al-Isla>mi wa Adillatuhu, Juz IX (Jakarta: Gema Insani, 2011 ), 6691.
30Imamul Muttaqin, ‚Studi Analisis Terhadap Pendapat KH.MA. Sahal Mahfudh tentang Wali
11
dan dari kalangan keluarga terhomat (gaya hidup yang tinggi) oleh sebagian masyarakat daerah Klingsingan yang mengenalnya. Sedangkan, keluarga AR berasal dari kalangan keluarga biasa. Dalam keluarga AT dikaruniai dua seorang anak. Kedua anaknya kakak (laki-laki) dan adik (perempuan) sama-sama menikah akibat perzinahan. Penulis, menceritakan si adik yang melakukan perbuatan tersebut. Awalnya, TR adalah murid yang baik, akan tetapi seiring lingkungan dirumahnya yang menerapkan pergaulan yang bebas dan minim dengan agamanya, sehingga mengubah dirinya menjadi tidak baik. Layaknya yang lagi gaya hidup muda-mudi di masa SMA adalah masa cinta abu-abu, maksudnya hanya melampiaskan cintanya kepada lawan jenisnya tanpa ada kejelasan dalam tujuan yang sakral dan abadi yaitu pernikahan. Mereka hanya ingin bersenang-senang dan melakukan yang dilarang oleh ajaran agama Islam yaitu ‚pacaran‛ tanpa ikatan yang sah.
Penulis akan menceritakan sedetail mungkin. Awalnya TR dan AR adalah dua sejoli yang menjalin cinta dan kasih di masa SMA (Sekolah Menengah ke Atas). TR dan AR keduanya mulai menjalin hubungan khusus, ketika itu umur mereka berdua 18 tahun dan keduanya duduk dibangku kelas 3. Dengan umur seperti itu adalah dimana seorang anak mencari jati diri dan proses penjajakan dalam menempuh kedewasaannya, dan melakukan kehendaknya sesuai emosinya. Setelah berpacaran 1 tahun kurang lebih lamanya, akhirnya terjadi kehamilan yaitu hamil di luar nikah. Akhirnya mereka berdua memutuskan menikah akibat perbuatannya itu jadi bahan pembicaraan di
12
mensetujui pernikahan tersebut. Pada akhir bulan september 2014, pernikahan sah antara AG dan TR. Ketika itu, masa kehamilannya sudah mencapai umur 5 bulan. Dan pada akhir bulan september 2014 pernikahan sah antara AG dan TR, AG adalah lelaki pilihan AT untuk dinikahkan oleh TR. AG mengetahui yang akan dinikahinya ini sudah hamil, tetapi AG sudah siap untuk menikahi dan menerima TR sebagai pendamping hidupnya. Akan tetapi AG tidak mengetahui bahwa TR melakukannya dengan keterpaksaan yang sangat luar biasa dan kebencian yang mendalam terhadap AG atau tidak mensetujui atas pernikahan tersebut. Dalam perknikahan tersebut TR ingin membatalkan pernikahan yang dipilihkan atau dijodohkan untuknya. AT memaksa TR untuk menandatangani persetujuan menikah di KUA Gubeng dengan AG, supaya tercapai keinginan ayah untuk mendapatkan keturunan yang baik.
Dalam penelitian ini penulis mendriskripsikan bahwa kasus tindakan wali mujbir terhadap wanita hamil karena zina dengan pria yang tidak menghamilinya, dikarenakan ayah ingin menikahkan putrinya dengan calon pria yang diinginkannya tanpa persetujuan calon pengantin wanita dan memaksa untuk menandatangani persetujuan menikah di Kantor Urusan Agama (KUA) Gubeng.
13
dunia sebelum disiksa nanti di akhiratnya.31 Akan tetapi dalam kasus ini, calon suami ridha atas pernikahan tersebut.
Dari uraian di atas maka penulis tertarik dan akan mengkaji, meneliti, dan mengupas tuntas terkait dalam kasus ini yaitu Analisis Hukum Islam Terhadap Tindakan Wali Mujbir Menikahkan Wanita Hamil Karena Zina Dengan Pria Yang Tidak Menghamili (Studi Kasus Daerah Klingsingan Rt.05 Rw.03 Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya).
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari paparan latar belakang masalah tersebut, dapat diidentifikasikan bahwa permasalahan yang akan dikaji dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Faktor keluarga yang membebaskan anak untuk melakukan banyak hal 2. Faktor lingkungan dan pergaulan bebas
3. Hamil di luar nikah dengan usia 18 tahun dan menikah dengan yang menghamili ketika itu berusia 19 tahun, usia kehamilan pada pernikahan berumur lima bulan
4. Wali dari calon mempelai wanita tidak mensetujui atas pernikahan antara anak perempuannya dengan yang menghamili
31Labib Mz, Aneka Problema Wanita Moderen : Membahas Berbagai Problem Wanita Dalam
14
5. Latar belakang orang tua yang menghamili dari kalangan biasa 6. Wali mujbir (ayah) memaksa anak untuk menikah dengan pilihannya 7. Tindakan wali mujbir menikahkan wanita hamil oleh selain yang
menghamili
8. Wali mujbir (ayah) ingin mencari keturunan yang baik
9. Calon mempelai wanita tidak mensetujui atas pernikahan tersebut, sebaliknya calon suami mensetujui pernikahan.
10. Objek dalam penelitian ini adalah wanita yang mengandung atau wanita hamil
11. Wali dari calon mempelai wanita memaksa untuk menandatangani persetujuan untuk menikah di KUA (Kantor Urusan Agama) Gubeng
Dari identifikasi masalah tersebut skripsi ini penulis batasi beberapa masalah antara lain:
1. Analisa kasus tindakan wali mujbir menikahkan wanita hamil karena zina dengan pria yang tidak menghamili (Studi Kasus di Daerah Klingsingan Rt.05 Rw.03 Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya).
15
C. Rumusan Masalah
Untuk spesifikasi pembahasan dalam penelitian ini, maka rumusan masalahya meliputi :
1. Bagaimana kasus tindakan wali mujbir menikahkan wanita hamil karena zina dengan pria yang tidak menghamili di Daerah Klingsingan Rt.05 Rw.03 Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya? 2. Bagaimana analisa hukum Islam terhadap tindakan wali mujbir
menikahkan wanita hamil karena zina dengan pria yang tidak menghamili?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah dekripsi ringkas tentang kajian atau penelitian yang sudah pernah dilakukan diseputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.32 Penulisan skripsi yang berkaitan dengan masalah tindakan wali Mujbir menikahkah wanita hamil oleh selain yang menghamili, menurut penelitian dan penelusuran penulis ada beberapa karya ilmiah sebelumnya yang membahas masalah tersebut, diantaranya adalah :
32 Tim penyusun Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi
16
Pertama, Skripsi ini ditulis oleh M.Sugeng Rianto, (IAIN Sunan Ampel) tahun 2001. Studi Tentang Pendapat Yusuf Qardhawi Tentang Wali Mujbir. Skripsi ini membahas tentang pendapat Yusuf Qardhawi tentang kerelaan anak dan juga keluarga sama-sama penting.33
Kedua, Skripsi ini ditulis oleh Puji Lestari, (IAIN Sunan Ampel Surabaya) tahun 2011. Analisis Hukum Islam Terhadap Pemikiran Husein Muhammad Tentang Konsep Wali Mujbir. Skripsi ini membahas tentang pemikiran Husein Muhammad tentang konsep wali mujbir yaitu Menurut
Husein mempunyai pandangan umum yang menyatakan bahwa perempuan
menurut fiqh Islam tidak berhak menentukan pilihan atas pasangan
hidupnya.Yang berhak menentukan adalah ayah atau kakeknya. Hal ini
menimbulkan asumsi bahwa Islam membenarkan nikah paksa .Pandangan ini
dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman terhadap apa yang dikenal dengan
hak ijba@r.Hak ijba@r dipahami oleh banyak orang sebagai hak memaksakan
suatu perkawinan oleh orang lain dalam hal ini adalah ayah.34
Ketiga, Skripsi ini ditulis oleh Imamul Muttaqin (IAIN Sunan Ampel
Surabaya) 2011. Studi Analisis Terhadap Pendapat KH. MA. Sahal Mahfudh tentang Wali Mujbir. Hasil penelitian ini adalah bahwa anak berhak menolak
dikawinkan dengan laki-laki yang bukan setara tanpa pesetujuannya serta orang tua juga berhak menolak keinginan anak gadisnya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak setara .KH.M.A.Sahal Mahfudh lebih
33
M.Sugeng Rianto, ‚ Studi Tentang Pendapat Yusuf Qardhawi Tentang Wali Mujbir‛, (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2001), iii.
34Puji Lestari,‛Analisis Hukum Islam Terhadap Pemikiran Husein Muhammad Tentang Konsep
17
mengedepankan maslahah (kemaslahatan). Menurutnya, meminta persetujuan anak, selain dianggap baik dari sisi nilai ajaran yang disampaikan Rasulullah SAW, juga didukug kaidah fikih Khuru@j min al-Khila f mustahab, keluar dari perbedaan dengan mengompromikan pedapat
yang berbeda-beda adalah lebih disukai.35
Keempat, Skripsi ini ditulis oleh Shoim (IAIN Sunan Ampel Surabaya) 2014. Studi Komparasi Antara Pemikiran Mazhab Hanafi@ dan Shafi’i@ Tentang Konsep Wali Mujbir. Hasil penelitian ini adalah perumusan
masalah berupa, pertama bagaimana konsep wali mujbir mazhab Hanafi@ dengan mazhab Shafi’i, kedua apa persamaan dan perbedaan dalam pemikiran serta konsep kedua mazhab ini antara Hanafi@ dan Shafi’i@.36
Kelima, Skripsi ditulis oleh Moh. Makbul (IAIN Sunan Ampel Surabaya) 2013. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Wanita Yang dihamili Ayahnya dan Dilimpahkan Kepada Pria Lain Untuk Menikahinya Dengan Imbalan Uang Dan Waktu Yang Ditentukan, Studi Kasus di Desa Temoran Kecamatan Omben Kabupaten Sampang. Hasil penelitian ini adalah, pertama masalah pernikahan wanita yang dihamili oleh orang tuanya, baik hamil dengan pasangan yang hendak menikahinya, atau hamil dengan orang lain, maka hukum menikahinya ada tiga pendapat. Pertama : haram dinikahi. Ini merupakan pendapat mazhab Maliki, Abu Yusuf dan Zafar dari mazhab Hanafi; termasuk Ibn Taimiyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah.
35Imamul Muttaqin, ‚
Studi Analisis Terhadap Pendapat KH.MA. Sahal Mahfudh tentang Wali Mujbir‛, (Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2011), iii.
36Shoim., ‚ Studi Komparasi Antara Pemikiran Madhhab Hanafi@ dan Shafi’i@ Tentang Konsep
18
Kedua :boleh dinikahi tanpa syarat. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Muhammad dari mazhab Hanaf, dan mazhab syafi’i. Ketiga : boleh
dinikahi dengan syarat: (1) kehamilannya telah berakhir atau habis masa ‘iddah-nya, (2) bertobat dengan tobatan nashuha. Dari penjelasan diatas bisa
disimpulkan bahwa menikahi wanita yang sedang hamil hukumnya boleh dan sah. Tapi, meski menikahi wanita yang hamil dari hasil perzinaan hukumnya sah, namun hukumnya makruh jika yang dinikahi sebelum wanita tersebut melahirkan sebagaimana dinyatakan oleh Imam Nawawi dalam ‚Al-Majmu‛.
Kedua, tinjauan hukum Islam pernikahan wanita yang di hamili oleh orang tuanya dan dilimpahkan kepada pria lain untuk menikahinya dengan imbalan uang dan waktu yang di tentukan, hukumnya tidak boleh karena itu termasuk nikah mut’ah (kawin kontrak). Nikah mut’ah ini merupakan salah satu pernikahan yang diharamkan Islam, baik dalam hadis, Ijma’, para ulama ahlu
sunnah telah menyebutkan, bahwa para ulama telah sepakat tentang haramnya nikah mut’ah dan juga qiyas.37
Keenam, Skripsi ditulis oleh M.Mukhlis, ( UIN Sunan Ampel Surabaya) tahun 2014. Analisis Hukum Islam Terhadap Pernikahan Wanita Hamil Oleh Selain Yang Menghamili, Studi Kasus di Desa Karangdinoyo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro. Hasil penelitian ini hukum nikah wanita hamil oleh selain yang menghamili adalah sah dengan mengacu pada beberapa pendapat ulama’ yang membolehkannya, berikut pendapatnya
37
Moh.Makbul, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Wanita Yang Dihamili Ayahnya dan
Dilimpahkan Kepada Pria Lain Untuk Menikahinya Dengan Imbalan Uang dan Waktu Yang
Ditentukannya (Studi Kasus di Desa Temoran Kecamatan Omben Kabupaten Sampang)‛,
19
: Imam Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani mengatakan, bahwa pernikahannya itu sah, tapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir. Sedang Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i
berpendapat, bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada masa iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) perkawinan wanita hamil oleh selain yang menghamili tidak sah. Maka nikah wanita hamil oleh selain yang menghamili harus mendapat perhatian lebih dari pihak otoritas hukum Islam Indonesia, sebab bahwa pelaksanaan nikah hamil lebih didorong atas dasar menutupi aib semata, bukan untuk menjalankan disyariatkannya nikah itu sendiri. 38
Objek skripsi di atas membahas dalam segi teori antara ulama fikih dan ulama kontemporer dalam membahas wali mujbir dan pernikahan wanita hamil oleh selain yang menghamili. Sedangkan, skripsi ini lebih fokus kepada kasus praktik tindakan wali mujbir menikahkan wanita hamil dengan
pria yang tidak menghamili.
38 M.Muklis ,‛Analisis Hukum Islam Terhadap Pernikahan Wanita Hamil Oleh Selain Yang
Menghamili (Studi Kasus di Desa Karangdinoyo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten
20
E. Tujuan Penelitian
Berangkat dari rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini yang hendak dicapai adalah :
1. Deskripsi kasus tindakan wali mujbir menikahkan wanita hamil karena zina dengan pria yang tidak menghamili di Daerah Klingsingan Rt.05 Rw.03 Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya..
2. Untuk mengetahui analisa hukum Islam tindakan wali mujbir menikahkan wanita hamil karena zina dengan pria yang tidak menghamili.
F. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangsih yang bernilai dalam bidang keilmuan hukum pada umumnya dan khususnya pada mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum.
1. Aspek Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan serta memperkuat ilmu pembaca pada umumnya, dan khusus bagi mahasiswa/i yang berkaitan dengan masalah hukum keluarga Islam.
21
c. Diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan pembaca pada umumnya, dan khususnya bagi mahasiswa yang berkecimpung dalam bidang hukum keluarga. 2. Aspek Praktis
a. Hasil studi ini diharapkan menjadi acuan dan bahan pertimbangan bagi masyarakat Islam dalam menghadapi kasus tindakan wali mujbir menikahkan wanita hamil karena zina dengan pria yang tidak
menghamili. Sehingga mengetahui hukum Islam dalam kasus tersebut.
b. Sebagai pedoman atau rujukan dan dasar bagi peneliti lain untuk mengkaji hal ini lebih lanjut dan lebih mendalam.
G. Definisi Operasional
Definisi Operasional adalah yang memuat masing-masing variabel yang digunakan di dalam penelitian yang didefinisikan secara jelas sehingga dapat diukur dengan menggunakan alat ukur. Definisi operasional mengandung penjelasan /spesifikasi mengenai variabel yang telah diidentifikasi, pengukuran, variabel, dan skala/ukuran yang digunakan.39 Untuk menghindari kesalah pahaman terhadap pengertian yang dimaksud, maka perlu ditegaskan terlebih dahulu maksud dari pada judul Skripsi ini
secara terprinci sebagai berikut:
39
22
Hukum Islam : Suatu hukum yang telah ditetapkan oleh Allah yang bersumber dari Al-Qur’an, hadits dan Ijtihad ulama@’, yang
harus dilaksanakan oleh orang Islam yang mukallaf (dewasa, orang yang dibebani tanggung jawab).40Dan juga Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman hukum positif. Wali Mujbir : Seorang wali yang berhak mengakadnikahkan orang yang
diwalikan di antara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka terlebih dahulu. Akadnya berlaku juga bagi orang yang diwakilkan tanpa melihat ridha atau tidaknya. Mereka adalah bapak dan datuk (bapak dari bapak).Selain kedua orang itu adalah wali tak Mujbir.41
Dalam skripsi ini perkawinan wanita hamil di atur dalam Undang-undang Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 53 yang berbunyi: ‚‛1. Seorang
wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. 2. Perkawinan dengan wanita hamil yang yang disebut pada
ayat (1) dapat dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir‛.42
40Pius A Paratanto. M. Dahlan Al-Bary, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 2001), 499. 41
Sayyid Sabiq , Fiqh Sunnah Jilid 3,(Jakarta: Pena Pundi Aksara, Mei 2006), 18.
42 Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
23
H. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah mengemukakan secara teknis tentang metode-metode yang digunakan dalam penelitian.43Dalam menelusuri dan memahami obyek kajian ini, penyusun menggunakan metode penelitian yang akan digunakan dalam rangka penulisan skripsi ini adalah penelitian lapangan (field research). Yang bermaksud mempelajari secara intensif
tentang latar belakang keadaan sekarang, dan interaksi suatu sosial, individu, kelompok, lembaga dan masyarakat.44 Digunakan untuk mencari pendapat, sikap, dan harapan masyarakat45 Oleh karena itu, data-data yang dikumpulkan berasal dari data lapangan sebagai obyek penelitian. Untuk memperoleh validitas data, maka tekhnik pengumpulan data yang relevan menjadi satu hal yang sangat penting.
Adapun metode penelitiannya adalah kualitatif deskriptif. Disebut kualitatif karena datanya bersifat verbal (secara sentence), meneliti pada kondisi obyek yang alamiah. Disebut deskriptif karena menggambarkan atau
menjelaskan secara sistematis fakta dan karakteristik obyek dan subyek yang diteliti secara tepat.
1. Sumber Data
Berdasarkan jenis data yang ditentukan sebelumnya maka dalam penelitian ini sumber data berasal dari sumber data primer dan sekunder.
43 Ibid,.3.
44
Husain Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodology Penelitian Sosial, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), 5.
24
a. Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh secara langsung dari subyek penelitian. Adapun data primer meliputi :
1) Data yang diperoleh dari pejabat KUA (Kantor Urusan Agama) Gubeng dalam kasus tindakan wali mujbir menikahkan terhadap wanita hamil karena zina dengan pria yang tidak menghamili.
2) Wawancara kepada kepala KUA Gubeng, wali mujbir, wanita hamil, dan pria yang tidak menghamili.
3) Dokumen berupa buku akta nikah, serta arsip lainnya.
b. Sumber data sekunder adalah data yang dibutuhkan untuk mendukung/ melengkapi sumber primer, yakni buku-buku, kitab-kitab fiqih serta literatur lain yang mendukung dan terkait dengan penelitian ini, antara lain :
1) Al-Fiqih al-Isla>mi wa Adillatuhu, karyaWahbah az-Zuhaili 2) Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 2, karya Dr.Yusuf Qardhawi 3) Fiqih Lima Mazhab, karya Muhammad Jawad al-Mughniyah 4) Fiqh Madzhab Syafi’i (Edisi Lengkap) Buku 2: Muamalat,
Munakahat, Jinayat, karya Maman Abd.Djaliel.
5) Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap. Karya Tihami dan Sohari Sahrani
25
8) Kompilasi Hukum Islam, karya Tim Redaksi Nuansa Aulia Cet.3
9) Masai@l al-Fiqhiya@h, karya Masjfuk Zuhdi 2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan proses yang sangat menentukan baik tidaknya sebuah penelitian. Maka kegiatan pengumpulan data harus dirancang dengan baik dan sistematis, agar data yang dikumpulkan sesuai dengan permasalahan penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Teknik Wawancara (interview)
Interview atau wawancara adalah sebuah dialog yang
dilakukan oleh pewancara untuk memperoleh informasi dengan terwancara dalam bentuk tanya jawab.46Dalam hal ini penulis mengadakan wawancara dan tanya jawab langsung dengan pelaku tindakan wali mujbir menikahkan wanita hamil karena zina dengan pria yang tidak menghamili. Dengan tekhnik wawancara ini peneliti akan memperoleh data yang bersifat fakta.47 Dalam hal ini penulis akan melakukan wawancara kepada kepala KUA (Kantor Urusan Agama) Gubeng dalam praktik kasus tindakan wali mujbir di lapangan.
b. Studi Dokumen
46 Suharsimi Arikunto,Prosedur Penelitian, (Jakarta: PT.Adi Mahasatya, 2002), 132.
26
Studi dokumen adalah suatu teknik untuk menghimpun data melalui data tertulis dengan menggunakan konten analisis.48 Teknik ini digunakan penulis untuk pengumpulan data tertulis terkait proses pelaksanaan tindakan wali mujbir menikahkan wanita hamil karena zina dengan pria yang tidak menghamili, data tentang akta nikah dan surat-surat yang lainnya yang berkaitan dengan kasus ini, dokumen-dokumen, laporan-laporan, arsip-arsip terkait dan kemudian menelaah sumber data sekunder yang berupa buku maupun literatur lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Teknik library research (kepustakaan), yakni pelengkap dari kedua
teknis di atas yang dapat dijadikan sebagai landasan teoritis terhadap permasalahan yang dibahas.
3. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data meliputi pengeditan, memberi kode dan mengkategorikan data (bila melakukan pengambilan data lewat angket).49 Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Editing, yaitu memeriksa kembali semua data yang diperoleh dengan memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai segi
48 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Uneversitas Indonesia UI-Press,
2010), 21.
49 Tim Penyusun Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi ,
27
yang meliputi kesesuaian, keselarasan satu dengan yang lainnya, keaslian, kejelasan serta relevansinya dengan permasalahan.50 b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sedemikian rupa
sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai dengan rumusan masalah.
c. Analizing, yaitu setelah data tersebut sudah melalui proses editing dan organizing, maka data tersebut akan dianalisa sehingga akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan tertentu.51
4. Teknik Analisa Data
Teknik Analisa Data adalah teknik analisis data yang secara nyata digunakan dalam penelitian beserta alasan penggunaannya.52 Dalam penelitian skripsi ini, penyusun menggunakan pendekatan dan metode analisa yaitu pendekatan normative yuridis. Pendekatan normatif berarti studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal-formal dan/atau normatifnya, penyusun menggunakan teori normative-sosiologis, yakni dalam memahami nash (al- Qur’an dan as-Sunnah) ada
pemisahan antara nash normatif (tidak tergantung pada konteks) dengan nash sosiologis (pemahamannya disesuaikan dengan konteks).53 Adapun
50 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004),
91.
51 Ahmad Tanzeh, Metodologi Penelitian Praktis, (Yogyakarta :Teras, 2011), 92.
52 Tim Penyusun Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi ,
Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015, 9.
53 Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Acamedia dan Tazzafa, 2004),
28
pendekatan yuridis adalah pendekatan dengan cara melihat dan menelaah hukum positif yang berlaku di Negara Indonesia.
Sedangkan pendekatan sosiologi sosial adalah penelitian terhadap identifikasi gejala sosial dalam keluaraga yang berkaitan dengan cara orang tua mendidik dan menyayangi anak-anaknya. Adapun penyusunan teori dan sumber tentang tindakan wali mujbir menikahkan wanita hamil karena zina dengan pria yang tidak menghamili dengan analisa secara rinci antara anak dan ayah (orang tua). Kemudian dalam penelitian ini supaya sempurna, maka perlunya metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini.
Metode kualitatif yakni mencari nilai-nilai suatu variabel yang tidak dapat diutarakan dalam bentuk angka-angka, tetapi dalam bentuk kategori.54 Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Deskriptif Analisis
Deskriptif Analitis adalah metode yang diawali dengan menggambarkan atau menguraikan sesuatu hal menurut apa adanya yang ada dilapangan tentang kasus tindakan wali mujbir menikahkan wanita hamil karena zina dengan pria yang tidak menghamili dengan alasan ingin mendapatkan keturunan dari keluarga yang terpandang dan baik bagi masyarakat atau sederajat,
54 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, cet.Ke-9 (Jakarta : PT.Gramedia,
29
di Daerah Klingsingan, Rt.05 Rw.03, Kelurahan Gubeng, Kecamatan Gubeng, Kota Surabaya.
2) Induktif Deduktif
Induktif Deduktif adalah metode berfikir yang berangkat dari suatu kasus yang khusus kemudian disoroti atau di analisa dengan teori yang umum terlebih dahulu. Dalam hal ini, peneliti akan menganalisis terhadap tindakan wali mujbir menikahkan wanita hamil oleh selain yang menghamili, berdasarkan Hukum Islam terhadap hal tersebut dengan menggunakan pola pikir Induktif Deduktif. Yaitu menggambarkan kasus tentang tindakan wali mujbir menikahkan wanita hamil oleh selain yang menghamili kemudian di analisa dengan hukum Islam, lalu mengemukakannya dengan melihat kenyataan yang bersifat khusus dari hasil tentang adanya Fakta tindakan wali mujbir menikahkan wanita hamil karena zina dengan orang yang tidak menghamili di Daerah Klingsingan Rt.05 Rw.03 Kelurahan Gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya.
I. Sistematika Pembahasan
Dalam sistematika pembahasan ini penulis menyusun kerangka teori dalam bentuk pembahasan secara rinci. Pembahasan adalah temuan hasil
30
temuan-temuan sebelumnya serta penafsiran dan penjelasan dari temuan /teori yang diungkap di lapangan. Bagian ini merupakan bagian terpenting pada Skripsi. Pembahasan menunjukkan tingkat penguasaan peneliti terhadap ilmu, paradigma, konsep, dan teori yang dipadukan dengan hasil penelitian.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas pada pembahasan skripsi ini, penulis akan mencoba untuk menguraikan isi uraian pembahasannya. Adapun sistematika pembahasan pada skripsi ini terdiri dari lima bab, dengan pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama merupakan bab tentang uraian pendahuluan yang berisi gambaran umum yang berfungsi sebagai pengantar dalam memahami pembahasan bab berikutnya. Bab ini memuat pola dasar penulisan skripsi, yaitu meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitan, kegunaan hasil penilitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua merupakan bab tentang landasan teori yang berisi tentang wali Mujbir dalam Hukum Islam yaitu Penegertian Wali Mujbir, Syarat-syarat wali mujbir dan tidak mujbir, orang yang diboleh dipaksa dengan wali
31
Hanifah dan Maliki. Kompilasi Hukum Islam yaitu tentang Kawin Hamil Pasal 53 ayat 1 sampai ayat 3.
Bab ketiga merupakan bab tentang laporan hasil penelitian yang meliputi deskripsi umum wilayah secara geografis, demografis, pendidikan, sosial, ekonomi, serta agama. Faktor yang melatarbelakangi praktik kasus tindakan wali mujbir.
Bab keempat merupakan bab ini merupakan analisa memaparkan masalah tindakan wali mujbir menikahan wanita hamil karena zina dengan pria yang tidak meghamili dan analisa terhadap hasil penelitian di lapangan dengan ditinjau hukum Islam tentang tindakan wali mujbir menikahkan wanita hamil karena zina dengan pria yang tidak menghamili.
32
BAB II
LANDASAN TEORI TERHADAP TINDAKAN WALI MUJBIR
MENIKAHKAN WANITA HAMIL KARENA ZINA DENGAN
PRIA YANG TIDAK MENGHAMILI
A. Wali Mujbir dalam Hukum Islam
1. Pengertian Wali Mujbir
Ulama fikih membagi perwalian dari sisi kekuasaan menikahkan
seseorang yang berada di bawah perwalian atas dua bentuk, yaitu al-
wila yah al- ijba riyah (kekuasaan memaksa
)
dan wila yahal-ikhtiyariyah (kekuasaan suka rela). Dilihat dari segi wali itu sendiri,
ulama fikih membaginya menjadi wali al –mujbir dan wali al- mukhta r.1
Wali al- mujbir adalah wali yang mempunyai wewenang
langsung untuk menikahkan orang yang berada di bawah perwaliannya
meskipun tanpa izin orang itu.2 Wali mujbir hanya terdiri dari ayah dan
kakek (bapak dan seterusnya ke atas) yang dipandang lebih besar kasih
sayangnya kepada perempuan yang di bawah perwaliannya. Selain
mereka tidak berhak ijba>r.3 Adapun wali al- mukhtar adalah wali yang
tidak memiliki kekuasaan memaksa orang yang di bawah perwaliannya
untuk menikah.
1Abdul Azizi Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 4, (Jakarta :PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), 1337.
2 Ibid.,1337.
33
Tihami dan Sohari Sahrani berpendapat bahwa wali mujbir
adalah seorang wali yang berhak menikahkan perempuan yang diwalikan
di antara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka lebih
dahulu, dan berlaku juga bagi orang yang diwalikan tanpa melihat
tidaknya ada pihak yang berada di bawah perwaliannya.4 Agama
mengakui wali mujbir itu karena memperhatikan kepentingan orang
yang diwalikan. Sebab, orang tersebut kehilangan kemampuan sehingga
ia tidak memikirkan kemaslahatan sekalipun untuk dirinya sendiri. Di
samping itu, ia belum dapat menggunakan akalnya untuk mengetahui
kemaslahatan akad yang dihadapinya.5
2. Syarat –syarat wali mujbir dan tidak mujbir
Syarat-syarat wali mujbir sebagai berikut :6a) Tidak ada rasa
permusuhan antara wali dengan perempuan, yang ia sendiri, menjadi
walinya (calon pengantin wanita), b) Calon suaminya sekufu dengan
calon istri, c) Calon suami sanggup membayar mahar pada saat
dilangsungkan akad nikah.
Syarat- syarat wali yang tidak mujbir sebagai berikut :7a)Wali
selain ayah, kakek dan terus ke atas, b)Perwaliannya terhadap
wanita-wanita yang sudah baligh, dan mendapat persetujuan dari yang
bersangkutan, c) Bila calon pengantin wanitanya janda, izinnya harus
4
Tihami dan Sohari Sahrani., Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, Cet. Ke-II (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 101.
5 Ibid., 101. 6
34
jelas baik secara lisan atau tulisan, d) Bila calon pengantin wanitanya
masih gadis, cukup dengan melihat diamnya.
3. Orang yang boleh dipaksa oleh wali mujbir
Adapun orang yang boleh dipaksa menikah oleh wali al-mujbir
adalah sebagai berikut : 8
a. Orang yang tidak memiliki atau kehilangan kecakapan bertindak
hukum, seperti anak kecil dan orang gila.
Dalam beberapa hal, kalangan ulama fikih berbeda
pendapat. Jumhur ulama, selain ulama Mazhab Syafi’i, sepakat
menyatakan bahwa anak kecil yang belum akil balig, baik ia
laki-laki atau perempuan, janda atau perawan, dan orang gila, boleh
dipaksa menikah. Akan tetapi, ulama Mazhab Syafi’i
mengemukakan satu dari hal di atas, yaitu anak perempuan kecil
yang sudah tidak bersuami lagi itu tidak boleh dipaksa kawin.
b. Wanita yang masih perawan tetapi telah balig dan berakal.
Menurut jumhur ulama, selain ulama Mazhab Hanafi
wanita tersebut juga termasuk wewenang wali al-mujbir. Mereka
sepakat mengatakan bahwa ilatnya adalah masih perawan. Ulama
Mazhab Hanafi> tidak sependapat dengan jumhur ulama. Menurut
mereka, ‘illat nya adalah masih kecil.
c. Wanita yang telah kehilangan perawanannya, baik karena sakit,
dipukul, terjatuh atau berzina.9
35
Ulama Mazhab Maliki menetapkan, wanita tersebut
termasuk dalam wewenang wali al-mujbir. Menurut mereka,
wanita itu boleh dipaksa menikah karena status mereka masih
sebagai al-bikr (belum menikah). Berbeda dengan jumhur ulama
berpendapat bahwa seorang wanita yang telah kehilangan
perawanannya, apa pun sebabnya, tidak boleh dipaksa menikah
karena status mereka disamakan dengan wanita yang sudah tidak
bersuami lagi. Menurut Ulama Mazhab Syafi’i menetapkan,
wanita yang hilang keperawanannya dengan jalan zina atau
(walaupun dengan benda lain ) hukumnya sama seperti janda.10
4. Orang yang berhak menjadi wali mujbir
Ulama fikih berbeda pendapat dalam menetapkan tertib dan
urutan wali nikah, baik yang menyangkut wali mujbir maupun wali
al-mukhta>r .11
1) Mazhab Hanafi
Tata tertib dan urutan wali al-ijba>r adalah sebagai berikut.
a)Anak laki-laki sampai ke bawah. b) Ayah, kakek (ayah dari
ayah) sampai ke atas. c) Saudara laki kandung, saudara
laki-laki seayah, kemudian anak laki-laki-laki-laki mereka sampai ke bawah.
d)Paman (saudara ayah) kandung, paman ayah, kemudian anak
9Abdul Ghofur Anshori, Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif, ( Yogyakarta: UII Press, 2011), 40.
36
laki-laki mereka sampai ke bawah. Wali al-mukhta>r urutan wali
adalah anggota keluarga yang terdekat. Apabila seluruh wali di
atas tidak ada, maka hak perwalian berpindah kepada hakim.12
2) Mazhab Maliki
Tata tertib dan urutan wali al-ijba>r adalah sebagai berikut
adalah ada tiga orang. a) Pemilik hamba sahaya terhadap
hambanya. b) Ayah, baik cerdas maupun tidak. c) Orang yang
diberi wasiat oleh ayah apabila ayah tidak ada, dengan syarat :
ayah menentukan laki-laki yang akan menjadi suami anaknya itu
atau ayah mewasiatkan untuk memilih suami anaknya, maharnya
tidak boleh lebih rendah dari al-mahr al-mis\l, dan suami yang
dipilihkan itu bukan orang yang fasik.
Tata tertib dan urutan wali al-mukhta>r adalah sebagai berikut:
1. Anak laki-laki sampai ke bawah
2. Ayah
3. Saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah dan
seibu, anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung dan
seayah, setelah itu seibu.
4. Kakek (ayah dari ayah)
5. Paman, kemudian anak laki-lakinya mendahulukan yang
kandung daripada yang seayah, setelah itu seibu.
12
37
6. Ayah kakek, paman kakek, kemudian anak laki-laki paman
kakek, dan anak laki-lakinya.
7. Orang yang memerdekakan budak wanita.
8. Al-Kafi>l (penjamin)
9. Hakim
10.Apabila kesembilan wali di atas tidak ada, maka hak
perwalian berpindah kepada paman (saudara ibu), kakek (ayah
dari ibu), saudara laki-laki seibu, dan setiap orang Islam.
3) Mazhab Syafi’i
Tata tertib dan urutan wali al-ijba>r adalah sebagai berikut
adalah ayah, kakek (ayah dari ayah) sampai ke atas, kemudian
pemilik hamba sahaya. Wali al-mukhta>r urutan wali adalah ayah,
kakek dan seluruh kerabat paling dekat.
4) Mazhab Hanbali
Tata tertib dan urutan wali al-ijba>r adalah sebagai berikut
adalah ayah, kakek (ayah dari ayah) sampai ke atas, anak laki-laki
sampai ke bawah, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki
seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung dan seayah,
paman, kemudian anak laki-laki paman dan paman ayah. Wali
al-mukhta>r urutan wali adalah seluruh kerabat yang menjadi
‘asabah, dengan prioritas yang paling dekat. Apabila seluruh wali
38
Wali tak mujbir adalah wali suka rela atau wali nasab
biasa. Karena wali nasab biasa ini tidak mempunyai kekuasaan
untuk memaksa kawin kepada calon mempelai perempuan. Wali
nasab biasa terdiri dari : saudara laki-laki kandung aau seayah dan
seterusnya yang anggota keluarga laki-laki menurut garis
keturunan patrilineal.13
B. Konsep Wali Mujbir
1. Mazhab Hanafi
a. Pengertian Wali Mujbir
Wali mujbir menurut mazhab Hanafi adalah seorang wali yang
mempunyai hak untuk mengawinkan orang yang berada di dalam
perwaliannya walaupun tanpa seizin darinya.14
b. Obyek Wali Mujbir
Wali mujbir memiliki hak untuk mengawinkan seseorang yang di
dalam perwaliannya, tetapi hak ijba r yang dimiliki oleh wali mujbir
tidak bisa digunakan secara mutlak, karena di dalam mazhab Hanafi
ada obyek dari wali mujbir yaitu al- Soghi@roh ( anak perempuan
kecil), ‘illat (alasan) hukum yang digunakan oleh mazhab Hanafi
bahwa al- Soghi@roh dinilai mempunyai sebuah kekurangan yaitu
13 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3, (Jakarta Pusat :Pena Pundi Aksara, 2006), 18.
39
kurang adanya aqal di dalam hal perkawinan, baik itu dalam
pemilihan pasangan atau juga dalam hal aqad.15
Mazhab Hanafi juga beragumen bahwa wilayah wali mujbir
adalah sebatas al- Soghi@roh (anak perempuan kecil) karena hukum
pernikahan dipersamakan (qiyas) dengan hukum jual beli, yaitu di
dalam jual beli dan perkawinan memiliki ‘illat (alasan) hukum yang
sama, karena di dalam jual beli ada sebuah aqad yang menjadikan
status jual beli tersebut sah secara shari’at dan juga disyaratkan bagi
orang yang ber-aqad jual beli harus orang yang sudah baligh, hal ini
untuk menghindari adanya jual beli gharar (penipuan), kemudian di
dalam pernikahan juga membutuhkan sebuah aqad, dan aqad
tersebutlah yang menjadikan pernikahan menjadi sah secara shari’at,
oleh karenanya semestinya aqad harus dilakukan oleh orang yang
sudah baligh, apabila orang yang akan menikah al- Soghi@roh (anak
perempuan kecil) maka agar aqad-nya sah secara shari’at, maka aqad
tersebut harus diwakili oleh walinya.16
15 Kama@l Al-Di@n Muhammad Bin Abdurra@hman Ibn Himami, Sharkh Fathul Al-Qadir, Juz III (Beirut –Lebanon : Da@r Al- Kutub Al- Ilmiah, 1995), 252.
40
ْنَع
َملَسَو ِْيَلَع َُللا يَلَص َِللا ُلْوُسَر ْتَتَا اًرْكِب َةَيِراَج نَا َُْع َُللا َيِضَر ْساَبَع ِنْبا
نَا َُل ْتَرَكَذَف
للا يَلَص َِللا ُلْوُسَر اََر يَخَف ًةَِراَك َيَِو اَهَجوَز َا اَبَأ
َملَسَو ِْيَلَع ُ
اورُ
َدواد وبا و دما
17
‚Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa jariyah, seorang gadis telah menghadap Rasulullah saw. Ia mengatakan bahwa ayahnya telah mengawinkannya, sedang ia tidak menyukainya. Maka Rasulullah menyuruhnya memilih. ‛18(HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah).
Bahwa hadith tersebut merupakan sandaran merupakan
sandaran bagi mazhab Hanafi@, karena menurut madhhab Hanafi@, dari
hadith tersebut dapat dipahami bahwa yang menjadi obyek wali
mujbir adalah al- Soghi@roh (anak perempuan kecil), sesuai hadith
tersebut bahwa ketika seorang al- Bika@roh (gadis ) yang sudah baligh
seperti yang disebutkan di dalam lafadh ةير اج hadith maka hak ijba@r
yang diwakili wali mujbir tidak berlaku lagi. 19 Mazhab Hanafi juga
mengomentari hadith yang seakan-akan berbeda dengan pendapat
beliau, salah satunya hadith berikut ini :
17 Abi@ Da@wud Sulaiman, Sunanu Abi@ Da@wud, (Riyad : Da@r al- Islam, t.t.), 1377.
18 Asy-Syekh Faishal bin Abdul Aziz Mubarak, Nailul Author, Jilid II, (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 2009), 1763.
41
َةَرْ يَرُ َِِأ ْنَعَو
للا يَلَص ِللا ُلْوُسَر َُْع ُّللا َيِضَر
ََح َُ َأا َُكُْ ت َاُ : َملَسَو ِْيلَع َ
ا َ :اوُل اَق َنَذْأَتْسُت ََح ُرْكِبْلا ُحَكُْ ت َاَو,َرَمْأَتْسُت
ن
ْنَأ : َلاَق ؟ اَهُ نْذِا َفْيَكَو ,ِللا ُلْوُسَر
ُ بَاَو ُاَوَرُ ََتُكْسَت
ْدُواَد ْو
)
‚Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: ‚Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diajak berembuk dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta izinnya.‛ Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya? Beliau bersabda: ‚Ia diam.‛20 (HR. Abu Dawud).
َأا َلاَق َملَسَو ِْلَع ُللا يَلَص ِللا ُلْوُسَر نَأ ْسابَع ِنْبا ْنَع
اَهِ يِلَو ْنِم اَهِسْفَ ِب قَحَأ َُ
ْدُواَد َِِأ ُاَوَر.اَهُ تاَمَص اَهُ نْذاَو َاهِسْفَ ِب ُرَمْأَتْسَت ُرْكِبْلاَو
‚Dari Ibnu Abbas r.a. bahwasanya Rasulullah SAW. Bersabda :‛janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan kepada gadis perawan dimintai persetujuannya, dan persetujuannya adalah diam‛.21 (HR.Abi@ Da@wud).Mazhab Hanafi> juga menanggapi hadith lain yang
seakan-akan berbeda dengan pendapat dari mazhab tersebut, mazhab Hanafi
berpendapat bahwa yang dijelaskan secara jelas di dalam matan
hadith di atas adalah khusus ميأا (janda) yakni ada teks yang jelas dan
tegas yang menunjukkan bahwa seorang janda lebih berhak atas
dirinya sendiri, tetapi dalam konteks ركبلا hadith di atas tidak
berbicara secara sejelas dan setegas ketika membicarakan ميأا (janda).
Mazhab Hanafi dalam hal ini mengeneralisir-kan ‘illat
(alasan) hukum dari hak ijba@r yang dimiliki wali mujbir yaitu al-
Soghi@roh (anak perempuan kecil), jadi apabila ada kasus anak kecil
menikah kemudian ditalak sebelum baligh, maka wali mujbir masih
20
42
memiliki hak ijba@r –nya, senada dengan hadith tersebut bahwa janda
lebih berhak atas dirinya adalah ketika janda sudah baligh.22 Dari
hadith di atas juga dapat dipahami bahwa meminta izin pada gadis
bukan kewajiban melainkan hanya sebatas sunnah, karena melihat
konteks hadith yang tidak tegas dalam menjelaskannya, karena secara
akal bisa saja nabi bersabda ا س نب حأ ركبلا tetapi ternyata tidak pada
redaksi matan hadith di atas.23 Hal ini menunjukkan tidak adanya
perintah wajib.
c. Orang Yang Berhak Menjadi Wali Mujbir
Pembagian wali menurut mazhab Hanafi di dalam perkawinan
sudah dijelaskan di atas, tetapi yang menjadi wali mujbir menurut
mazhab Hanafi hanyalah terbatas kepada perwalian dari jalur ‘asabah,
pengertian ‘asabah disini sama dengan konteks ‘asabah waris,
tentunya masih memperhitungkan mahju@b dan mendahulukan
‘asabah yang paling dekat berikut ini :
1) Bapak sampai nasab ke atas
2) Saudara laki-laki kandung
3) Saudara laki-laki sebapak
4) Anak dari saudara laki-laki
5) Anak dari saudara laki-laki seayah
22Muhammad Ami@n Ibn ‘Abidin, Raddul Al-Mukhta@r ‘Ala Al-Dar Al-Mukhta@r, Juz IV (Beirut-Lebanon:Da@r Al-Kutub Al-‘Ilmiah,t.t.), 170-171.
43
6) Paman kandung
7) Paman sebapak
8) Anak dari paman kandung
9) Anak dari paman sebapak
10) Paman kakek kandung dan anak-anaknya samapai nasab
kebawah.24
Mazhab Hanafi menentukan bahwa wali mujbir adalah wali
semua dari jalur ‘asabah, dan kemudian jika ternyata ‘asabah tidak
ada maka yang menjadi wali mujbir adalah Imam.25Sedangkan dalam
konteks perwalian untuk orang gila mazhab Hanafi pendapatnya
berbeda dengan perwalian terhadap orang yang mempunyai akal
sehat, bahwa perwalian terhadap ora