• Tidak ada hasil yang ditemukan

Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

KRISIS KEPEMIMPINAN ISLAM DI INDONESIA: KRISIS IDEOLOGI

Oleh: Saefur Rochmat1

Abstrak:

Judul di atas begitu menyentak, mengingat dua presiden pertama Indonesia memerintah dalam kurun waktu yang lama dari tahun 1945-1998. Namun bila diamati lebih dalam maka suksesi keduanya berjalan tidak normal dan penuh kekerasan. Bahkan, dua presiden berikutnya yang dikenal dari kalangan Islam memerintah relatif singkat. Hal ini mendorong penulis mengajukan hipotesa bahwa krisis kepemimpinan terjadi karena masalah krisis ideologi.

Kita sudah punya ideologi nasional Pancasila, tetapi Pancasila belum dimaknai secara benar. Pemerintah berusaha memonopoli penafsiran Pancasila sesuai dengan keinginannya mempertahankan kekuasaan selama-lamanya. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila hendaknya mengakomodasi semua pemikiran yang ada. Yang sering terjadi benturan antara agama dengan pemerintah yang memonopoli penafsiran nasionalisme, seolah-olah dari kelompok agama tidak dapat lahir nasionalisme. Pemerintah juga sering merasa terganggu dengan masalah desintegrasi, sehingga segan mengembangkan budaya lokal yang mengandung nilai-nilai moralitas dari agama.

Sementara itu UUD 1945 sebagai dasar hukum negara masih mengandung banyak kelemahan karena tidak menegakkan prinsip check and balance di antara berbagai lembaga negara dan memberi kekuasaan yang besar kepada presiden sehingga cenderung menghasilkan presiden yang otoriter.

Kata-kata kunci: krisis kepemimpinan, ideologi, Pancasila, agama, budaya lokal.

A. Pendahuluan

(2)

dengan mengesampingkan aspek kebebasan. Euforia kebebasan tidak dapat diatasi dengan perangkat hukum yang ada maupun para penegak hukum yang tersedia. Kekacauan melanda pada berbagai aspek kehidupan dengan akibat pada tersendatnya pertumbuhan ekonomi, bahkan pengangguran masih terus membengkak.

Keadaan yang memprihatinkan tersebut menyebabkan sebagian orang mulai melirik pada sistem pemerintahan otoriter Soeharto. Kita tidak boleh ragu-ragu akan jalan kebebasan! Kebebasan merupakan modal utama bagi kemajuan, karena memungkinkan berbagai perbedaan pemikiran berkontes untuk mencari sinthesis yang paling memuaskan. Hukum dialektika thesis-antithesis-sinthesis telah teruji dalam sejarah, termasuk dalam sejarah Islam pada masa Nabi Muhammad SAW yang sering dituduh menggunakan cara berpikir yang dikotomis, tapi kenyataannya Nabi berpikir dialektis terhadap kedua unsur tersebut.

(3)

Untuk membangun suatu bangsa yang maju, disamping diperlukan perangkat hukum (legal formal) yang dapat menjamin kepastian hukum dan didukung aparat hukum yang menjiwai substansi hukum yang legal formal tersebut, diperlukan juga suatu sistem yang bisa melahirkan pemimpin Islam yang punya legitimasi karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam. Untuk melahirkan pemimpin Islam tersebut perlu dipikirkan suatu ideologi yang bisa diterima semua umat Islam.

Orang yang optimis adalah ciri orang yang punya identitas, yaitu orang yang selalu ingin mencari tahu masalah yang sedang menimpa bangsanya dan memikirkan solusi pemecahan masalah secara bijaksana. Orang semacam inilah yang tahu akan arah kehidupan yang dijalaninya, dan akan menjalani kehidupan dengan perasaan percaya diri. Memang kita akan dapat keluar dari krisis ini dengan cepat jika semua orang Indonesia mau menyelesaikan masalah ini dengan sungguh-sungguh.

B. Perlunya Pemimpin Islam

(4)

perhatian kedua, karena salah satu dari karakteristik utama Islam adalah pensakralan

sejarah’.

Akan tetapi Islam tidak identik dengan politik! Al-Qur’an bukanlah kitab politik, sehingga di dalamnya tidak ditemukan model sistem pemerintahan. Al-Qur’an hanya berisi aturan moral yang harus ditegakkan dalam kehidupan, termasuk dalam urusan politik. Lagi pula persoalan politik sangat dipengaruhi oleh kondisi ruang dan waktu, serta sejarah perkembangan suatu komunitas politik tersebut. Mengingat Al-Qur’an tidak menentukan suatu bentuk pemerintahan yang Islami, maka sepeninggal Nabi Muhammad SAW terjadi suatu krisis dalam suksesi kepemimpinan Islam, namun berhasil diselesaikan dengan bijaksana oleh para sahabat Nabi (Wahid, 2000: 1).

Memang bentuk pemerintahan kurang begitu penting bila dibandingkan dengan tegaknya prinsip-prinsip salvation dalam Islam di dunia ini. Memang sebagian dari umat Islam berobsesi kepada sistem kekhalifahan, karena sejarah awal yang gemilang di tangan Khulafaur Rasyidin (Jansen, 128-129). Namun bila kita mencermati sejarah kekhalifahan maka para ulama membolehkan adanya dua atau lebih kekhalifahan asalkan jaraknya berjauhan. Fakta sejarah itu seharusnya ditindaklanjuti oleh para khalifah dengan mengembangkan suatu model dialog bagi terwujudnya kerjasama. Bila kita mengabaikan realitas sejarah tersebut, berarti kita sedang berpikir dari kaca mata rasio dengan melupakan realitas sosio-politik umat Islam di Indonesia di dalam usaha mewujudkan aspek salvation (keselamatan) di dunia dan akherat.

(5)

penerapan ajaran agama dipengaruhi oleh tradisi dari suatu masyarakat; dan itu berarti bahwa pemimpin Islam juga bersifat unik bagi suatu masyarakat tertentu.

C. Krisis Pemimpin Islam di Indonesia

Apakah sudah dipikirkan masalah kepemimpinan dalam Islam di Indonesia? Kepemimpinan Islam di Indonesia hendaknya bersifat keindonesian dan kita sudah punya dasarnya, yaitu Ideologi Pancasila. Pancasila jangan sampai menghambat perkembangan ideologi agama maupun memerankan diri sebagai pseudo-agama. Selama ini Pancasila telah disakralkan dan ditempatkan berhadap-hadapan dengan kelompok agama Islam tertentu. Umat Islam yang mengkritik dan menentang Pancasila dikejar-kejar, dihukum, dan kalau perlu diperangi; padahal mereka tidak melakukan tindakan kriminal. Mereka tidak menyadari sebagai sesama Muslim, yang harus menjunjung tinggi kedamaian, tolong-menolong, dan kerjasama untuk mewujudkan salvation. Seharusnya mereka mengembangkan suatu dialog dalam rangka menyiarkan dakwah Islam kepada seluruh dunia. Namun banyak penguasa yang mengatasnamakan Islam bersikap tidak toleran terhadap kebebasan berpikir di dalam kalangan umat Islam sendiri, karena mereka takut kehilangan legitimasi politik, yang secara langsung maupun tidak langsung berarti kehilangan kekuasaan, sehingga mereka akan mematikan gerakan oposisi sejak dini.

(6)

disertai dengan usaha merumuskan hukum yang dapat menjamin upaya penegakkan hukum. Sampai sejauh ini penegakkan hukum masih sangat sulit diwujudkan karena berbagai kelemahan di dalam sistem hukum kita.

Krisis tersebut hendaknya segera dipikirkan dasar ideologinya maupun segi praktisnya agar sistem politik dan proses suksesi di Indonesia dapat berjalan secara lancar dan stabil. Bila tidak segera dicarikan dasar ideologinya maka akan selalu terjadi krisis kepemimpinan dalam Islam di Indonesia (Rochmat, 2005: 65). Islam di Indonesia ternyata belum punya dasar ideologi untuk melahirkan pemimpin pada tingkat nasional. Memang dua presiden pertama, Soekarno dan Soeharto, memerintah cukup lama dan hal tersebut menunjukkan mereka memiliki legitimasi yang kuat; namun harus diingat bahwa mereka tidak mendasarkan diri pada ideologi Islam. Memang mereka mencari dukungan kepada umat Islam untuk memperoleh legitimasi tersebut, dengan sedikit memberi konsesi sebagai imbalannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam hanya menjadikan pelengkap bagi ideologi negara. Konsesi-konsesi yang diberikan oleh Soekarno dan Soeharto memang kelihatan cukup signifikan bila di lihat dari simbol-simbol keagamaan yang mencuat dalam pentas perpolitikan nasional. Apakah kita puas dengan peran marginal tersebut?

(7)

kekuatan-kekuatan ekstraparlementer secara tragis, karena dianggap telah gagal membawa nahkoda bangsa kepada aspek salvation (keselamatan).

Baik Presiden Soekarno maupun Soeharto telah gagal melakukan transformasi di dalam tubuh umat Islam menuju modernisasi yang sesuai dengan identitas bangsa yang mayoritas beragama Islam. Hal itu terjadi karena mereka tidak dibesarkan dalam tradisi Islam dan tidak tahu caranya memasukkan roh Islam ke dalam suatu paradigma baru yang sesuai dengan dunia modern. Paradigma baru sangat perlu supaya umat Islam dapat berpartisipasi secara maksimal, dengan disertai perasaan ikhlas yang menjadi ciri dari suatu agama.

Mereka melakukan modernisasi model top-down (dari atas ke bawah) dengan menggerakkan perangkat birokrasi yang mendukung kekuasaannnya. Birokrasi menjadi suatu kelas tersendiri yang bukan melayani rakyat tetapi melayani kekuasaan. Birokrasi mempunyai misi untuk mengelabuhi rakyat yang masih bodoh agar dalam setiap pemilu mendukung kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru. Birokrasi cenderung menjadi pelayan kekuasaan dan bukan pelayan masyarakat. Birokrasi telah berkembang begitu kuat untuk mendukung sentralisasi kekuasaan, dengan mengenalkan program-program pemerintah yang mendukung status quo, bukannya mengajak rakyat untuk merumuskan sendiri masalahnya sehingga mereka merasakan kegunaan dari program tersebut, disamping adanya kesinambungan antara tradisi dan modernisasi dalam pembangunan (Wahid, 1999: 7).

(8)

agama ke arah modernisasi. Sebaliknya mereka mengembangkan suatu sumber keku-asaan tersendiri untuk mempertahankan kekukeku-asaannya.

D. Krisis Ideologi Islam di Indonesia

Dua presiden berikutnya mewakili dua kelompok Islam yang berbeda; Presiden B.J. Habibie mewakili suatu kelompok Islam ICMI dan Presiden KH Abdurrahman Wahid yang dikenal dengan sebutan Gus Dur mewakili kelompok ormas keagamaan NU. Keduanya hanya bertahan sebentar dalam kursi krepresidenan. Hal itu menunjukkan bahwa mereka kurang mempunyai legitimasi di kalangan umat Islam secara keseluruhan karena adanya krisis ideologi di tubuh umat Islam Indonesia. Lebih parah lagi karena persaingan di tubuh umat Islam tidak diselesaikan secara legal formal.

Secara selintas krisis kepemimpinan tersebut merupakan masalah politik, tetapi bila dikaji lebih mendalam lagi hal tersebut berhubungan dengan krisis ideologi di kalangan umat Islam di Indonesia, yang disebabkan selama ini kita tidak membiasakan dialog antar ideologi. Berbeda dengan Kristen, sebenarnya Islam adalah suatu agama yang tidak menekankan segi ideologi (beliefs/keyakinan), tetapi lebih menekankan pada peran akal untuk mengatur alam semesta yang diamanatkan kepada kita untuk menjalankan peran sebagai khalifah (pemimpin) di bumi. Islam adalah hasil sintesa dari Yahudi yang menekankan hukum (law) dan Kristen yang menekankan keyakinan (beliefs) (Nasr, 1994: 146-147)

(9)

kepentingan kelompok-kelompok Islam tersebut. Hal tersebut menghendaki adanya usaha saling memahami tradisi dari berbagai kelompok yang berbeda, untuk kemudian di rumuskan suatu peraturan yang bersifat legal-formal sebagai pedoman di dalam tata cara pergaulan di antara mereka.

Namun ada kecenderungan untuk bersifat eksklusif pada gerakan-gerakan radikal keagamaan yang tidak memperjuangkan aspirasi ideologinya tidak melalui partai politik melainkan melalui pressure groups. Dalam era reformasi ini, banyak dari kalangan mereka yang membentuk partai-partai politik baru yang menyempal dengan alasan ideologi yang tidak begitu kental, namun dalam jangka panjang dapat membahayakan integritas bangsa karena mereka dapat memanfaatkan kelemahan kebijakan otonomi daerah, dimana daerah kabupaten dijadikan batu loncatan dalam memperjuangkan ideologinya. Konsekuensinya Indonesia akan terbagi ke dalam daerah-daerah ideologi yang masing-masing bersifat eksklusif. Bila tidak diwaspadai, hal itu akan menyebabkan krisis kepemimpinan dalam Islam di Indonesia.

Krisis kepemimpinan bermula dari krisis ideologi, sedangkan krisis ideologi bermula dari masalah reinterpretasi ajaran agama Islam. Reinterpretasi ajaran agama bukan pekerjaan mudah karena banyak faktor yang menyebabkan hasil interpretasi berbeda-beda dan kadang saling bertentangan.

E. Gagalnya Kebangkitan Islam Indonesia

(10)

mempertimbangkan tradisi dari masing-masing gerakan Islam, karena di dalam mengatasi masalah kita berangkat dari realitas bukan dari teks-teks al-Qur’an yang akan melahirkan multi tafsir.

Berbagai kelompok keagamaan telah menetapkan truth claim (klaim kebenaran) bagi kelompoknya dan menutup wacana dialog yang sebenarnya dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan berbagai hadits yang nampak kontradiktif untuk dicarikan

sinthesisnya, disamping adanya hadits yang berbunyi “Tuntutlah ilmu walaupun sampai

ke negeri Cina”.

Sekresi yang paling umum dalam Islam di Indonesia adalah santri-abangan (Maarif, 1988: 14). Kelompok santri menganggap kelompok abangan tidak peduli dengan konsep umat yang mensyaratkan pelaksanaan syariah dalam negara, sebaliknya kelompok abangan tidak merasa dibela kepentingannya oleh kelompok santri tersebut. Kalau persepsi tersebut jalan terus maka kedua blok tersebut tidak akan pernah dalam satu bahasa dalam perjuangan politik dan akan terus terjadi persaingan tidak sehat antara

‘partai nasionalis’ (kelompok abangan) dengan ‘partai agama’, dimana selalu dimenang

-kan oleh pihak nasionalis. Ironis-kan?

Apakah mereka yang notabene bergabung dalam partai nasionalis mau dianggap tidak memperdulikan agamanya? Saya yakin tidak! Mereka semua tidak mau digolongkan sebagai atheis dan mereka masih mengikuti tradisi keagamaan yang diterima secara umum. Mereka dapat saja meniru negara Islam sekuler Turki. Bagi mereka urusan

politik harus dibedakan dengan urusan agama. Pada dasarnya kelompok “nasionalis” dan

“agamis” mempunyai misi yang sama hendak mewujudkan aspek salvation berupa

(11)

peradaban yang melibatkan semua orang baik dari umat agama yang berbeda maupun sesama umat beragama yang berbeda aliran. Penciptaan peradaban itu berkaitan dengan urusan politik, dan agama dapat mengantarkan orang untuk melakukan aktivitas politik secara ikhlas untuk Allah.

Gejala sekresi dapat dilihat lebih awal lagi semenjak Islam memasuki kontak dengan peradaban modern Barat. Pertamakali lahir gerakan Islam yang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh H. Samanhudi. Organisasi yang bercorak ekonomi itu menjelma menjadi partai Sarekat Islam pada tahun 1912 di bawah pimpinan HOS Cokroaminoto. Walaupun HOS Cokroaminoto dibesarkan dalam sistem pendidikan modern (Barat), namun dia mendapat dukungan baik dari umat Islam yang berlatar belakang perkotaan maupun pedesaan karena umat Islam sedang menantikan munculnya seorang pemimpin, walaupun mereka membawa persepsi yang bermacam-macam. Hal itu telah dicermati oleh pihak Belanda untuk menja-lankan politik devide et impera

(memecah-belah) dengan mengakui cabang-cabang SI sebagai organisaasi yang otonom dari pusat (Central Sarekat Islam) (Kartodirjo, 1993, 108).

Di dalam SI berkembang berbagai macam pemahaman tentang Islam, dan sikap revolusionernya digerakkan oleh konsep Imam Mahdi (milleniarisme atau mesianisme) dan konsep-konsep komunisme yang radikal itu.

(12)

ringan, sedangkan mau masuk ke dalam SI putih tidak at home karena tidak memberikan jaminan ideologis terhadap keinginannya yang radikal, walaupun pemahaman Islam HOS Cokroaminoto sudah menerima sosialisme.

Perpecahan dalam tubuh SI sekaligus menghapus kesempatan Islam untuk tampil sebagai meanstream ideologi politik di Indonesia karena kepemimpinan politik nasional segera diambil alih oleh ideologi nasionalisme. Hal itu terjadi karena nasionalisme bersifat open minded (terbuka) dan tidak mau menghakimi pemahaman keaga-maan seseorang dengan hukum wajib dan dosa.

Dorongan dari agama selalu ada di dalam pribadi mereka yang dituduh tidak Islami, seperti terungkap dari pengakuan Hasan Raid (2001: 452-455) yang terjun ke dalam PKI sejalan dengan petunjuk surat al-Ra’du ayat 11, yaitu tentang usaha suatu kaum merubah keadaan, dari kaum tertindas menjadi kaum tak tertindas. Dia tidak sendirian masuk PKI, karena ada beberapa haji yang ikut masuk seperti H. Misbach, H. Datuk Batuah yang masuk PKI. Hasan Raid sependapat dengan Mansour Fakih yang ingin mewujudkan masyarakat tauhidi, suatu konsep masyarakat tanpa kelas.

Menurut Masdar F Mas’udi (Raid, 2001: 439-444), Al-Qur’an sebagai petunjuk

bukan ditentukan oleh metode atau prosedur pemahamannya, tetapi oleh komitmen kemanusiaan yang ada pada mufassir tersebut. Pemahaman al-Qur’an yang terpenting adalah persoalan paradigma dan komitmen kemanusiaan mufassir sendiri. Tafsir

al-Qur’an harus bersifat transformatif, yaitu untuk memihak kepada mayo-ritas manusia

(13)

Nabi. Persoalan yang timbul antara kelompok elit Makkah dan Muhammad SAW sebenarnya bukan seperti banyak diduga umat Islam, yakni hanya persoalan keyakinan agama, akan tetapi lebih bersumber kepada ketakutan terhadap konsekuensi sosial ekonomi dari doktrin Nabi Muhammad SAW yang melawan segala bentuk dominasi ekonomi, pemusatan atau monopoli harta.

Mansour Fakih mengkritik paradigma pembaharu dengan wataknya yang

“elitisme” yang lebih menekankan ‘reformasi’ dan bukan ‘transformasi’ sosial yang dapat

melakukan perubahan secara mendasar. Apalagi paradigma fundamentalisme, karena

wataknya yang lebih merupakan ‘teologi untuk kebesaran Tuhan’, yang tidak mempunyai

makna terhadap perubahan nasib kaum miskin dan tertindas.

F. Penutup

Memang kita telah mempunyai ideologi Pancasila sebagai suatu dasar negara, namun Pancasila disakralkan oleh regim Orde Lama dan Orde Baru sehingga yang lahir hanyalah tafsir Pancasila yang mendukung kekuasaannya, bukan berupa peraturan perundang-undangan yang legal-formal sebagai patokan di dalam menjalankan kekuasaan negara. Sebagai konsekuensinya pada zaman reformasi sekarang ini, dengan dibukanya kran kebebasan, telah memunculkan berbagai gerakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi Islam.

(14)

menjadi lebih bagus lagi. Gerakan ini telah melahirkan gerakan yang bersifat anti-thesis Jaringan Islam Liberal (JIL).

Memang sudah menjadi sunatullah bahwa orang selalu ingin mencari salvation

dengan mengikuti pola dialektika thesis-antithesis-synthesis, yang mana synthesis ini sekaligus memerankan diri sebagai thesis baru. Proses itu akan berkembang alami bila tidak ada campur tangan kekerasan di dalamnya. Dengan demikian perlu disusun mekanisme kehidupan yang demokratis, dengan didukung berbagai perangkat hukum yang dapat menjamin kepastian hukum semua warga negara.

Daftar Rujukan:

Armstrong, Karen, 2000, Sepintas Sejarah Islam, A.b. Ira Puspito Rini, Yogyakarta: Ikon Teralitera.

Jansen, G.H., 1979, Militant Islam, London: Pan Books.

Kartodirdjo, Sartono, 1993, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Jilid II, Jakarta, Gramedia.

Maarif, Syafii, 1988, Islam dan Politik di Indonesia: Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Yogyakarta, IAIN Suka Press.

Mahfud MD, Moh, 2000, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta. Nasr, Seyyed Hossein, 1994, Ideals and Realities of Islam, London: Allen and Unwin. Raid, Hasan, 2001, Pergulatan Muslim Komunis, Yogyakarta: LKPSM-SYARIKAT. Rochmat, Saefur, 2005, “Aspek Immaterial dalam Modernisasi”, Inovasi, Vol. 3, Th. 17. _____________, 2003, “Perubahan Kurikulum Perguruan Tinggi pada Era Otonomi

Daerah”, Fondasia, Vol. 1, No. 3.

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam konsep ini, keselamatan manusia tidak ditentukan oleh perbuatan yang dilakukannya, melainkan berdasarkan anugerah dari Allah yang diterima melalui iman kepada Tuhan

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah

“SMS Gateway adalah sebuah perangkat lunak yang menggunakan bantuan komputer dan memanfaatkan teknologi seluler yang diintegrasikan guna mendistribusikan pesan

Pada proses persidangan perkara persaingan usaha dan pembacaan putusan KPPU harus dilaksanakan terbuka untuk umum, Pasal 43 ayat (1) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor

Hasil kadar air dengan metode elektrokinetik untuk setiap besaran voltase didapat kadar air tertinggi pada 6 V pada dasar (15 cm) sebessar 132,5 % dikarenakan pada

Untuk menganalisis validitas kriteria dapat digunakan rumus r product moment Contoh Uji Reliabilitas Contoh Perhitungan Korelasi Butir untuk soal bentuk uraian No Responden No

 Mengamati untuk Mengamati untuk mengidentifikasi mengidentifikasi dan merumuskan dan merumuskan masalah tentang masalah tentang distribusi obat dan distribusi obat dan

Kegiatan umroh juga merupakan agenda rutinan didalam Yayasan Jam‟iyah Sholawat Ibrohimiyah. Kegiatan ini dibuka secara umum untuk diikuti semua masyarakat, tidak hanya jamaah