• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Osteoporosis melalui Bone Radiograph Menggunakan Evolving Multilayer Perceptron

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Osteoporosis melalui Bone Radiograph Menggunakan Evolving Multilayer Perceptron"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Osteoporosis

Osteoporosis adalah kelainan tulang yang dikarakterisasikan dengan densitas massa tulang yang rendah dan deteriorisasi jaringan tulang, dengan subsekuensi kerapuhan tulang dan mengakibatkan tulang menjadi rawan patah (Bartl & Frisch, 2009).

2.1.1 Patofisiologi

Pada wanita yang memasuki fase menopause dan pasca menopause, proses osteoporosis yaitu penurunan densitas massa tulang akan terjadi secara berlanjut dan bertahap. Sementara pada pria osteoporosis terjadi lebih lambat, namun seperti halnya dengan wanita, hal ini disebabkan karena meningkatnya proses resorpsi sel osteoclast yang merupakan akibat langsung dari penurunan hormone steroid, seperti pada penderita hypogonadism (Bartl & Frisch, 2009).

Penurunan hormon steroid ini juga memiliki dampak langsung terhadap sel-sel yang memiliki reseptor estrogen alpha atau beta, seperti pada sel-sel mesenchymal progenitor di sumsum tulang yang memproduksi sel osteoblast (sel pembangun tulang) dan sel adipocytes (sel lemak). Hormon estrogen lah yang akan mempromosikan perubahan osteoblastogenic menjadi osteoblast, dan juga akan menghambat proses adipogenesis (pembentukan lemak). Oleh karena itu, pada usia lanjut proses pembentukan sel-sel tulang akan menurun karena dampak langsung dari pergeseran keseimbangan proses produksi sel tulang dan sel lemak di sumsum tulang, yang mana akan lebih banyak proses pembentukan sel adiposit (Bartl & Frisch, 2009). 2.1.2 Jenis-jenis osteoporosis

(2)

dan penyakit dari organ lain di tubuh (penyakit ginjal, tumor, dll). Osteoporosis dapat dibagi atas beberapa jenis berdasarkan penyebaran, umur, jenis kelamin, dan histology (Bartl & Frisch, 2009).

A. Penyebaran

Osteoporosis dapat terlokalisir pada satu tulang atau satu bagian tubuh, yaitu osteoporosis focal atau osteoporosis regional, berbeda dari osteoporosis pada yang bersifat sistemik atau diseluruh tubuh. Faktor-faktor penyebab utama proses osteoporosis adalah (Bartl & Frisch, 2009) :

 Kurangnya aktifitas tubuh

Contohnya adalah osteoporosis regional yang terjadi pada satu tulang setelah mengalami patah tulang atau cedera syaraf motorik. Kurangnya pergerakan pada bagian tubuh tersebut akan menyebabkan peningkatan proses osteoplastic resorption yang mana jika terjadi secara ekstensif, akan menyebabkan komplikasi pada ginjal (hypercalciuria dan hyperphospaturia). Dan jika aktivitas pergerakan pada bagian tubuh tersebut dimulai kembali, proses osteoporosis ini dapat berhenti dan tulang dapat menjadi normal kembali, khususnya pada anak-anak dan remaja.

 Penyakit Complex regional pain syndrome (CRPS, Sudeck’s disease, algodystrophy, symphatetic reflex dystrophy)

Penyakit-penyakit ini biasanya terjadi pada bagian tangan, lutut, pergelangan kaki dan dikarakteristikkan dengan pembengkakan dan rasa sakit. Kondisi ini akan berakhir pada terjadinya proses osteoporosis pada tulang-tulang bagian tubuh yang terlibat.

 Osteoporosis sementara

Pada awalnya hal ini ditemukan pada tulang pinggul wanita hamil yang mana tulang akan kembali normal setelah proses hamil dan melahirkan terlewati.Telah ditemukan juga suatu penyakit osteoporosis sementara pada tulang-tulang sendi lutut dan pergelangan kaki terutama pada laki-laki dan perempuan muda.

(3)

terbatas hanya dalam kurun waktu 1 tahun dan akan sembuh dengan sendirinya. Bersamaan dengan CRPS gangguan ini sekarang dinamakan sebagai “bone marrow oedema syndrome”.

 Penyakit osteolytic lainnya

Proses osteoporosis dapat terjadi akibat penyakit osteolytic, seperti infeksi, tumor, trauma dan juga penyakit metabolic, vascular, congenital serta perubahan genetik.

 Osteoporosis sistemik

Penyakit ini lebih sering muncul dibandingkan osteoporosis regional. Terlepas dari namanya, osteoporosis sistemik bukan berarti osteoporosis yang terjadi pada seluruh tulang kerangka di tubuh dalam satu waktu, namun mempunyai distribusi yang simetris (kanan dan kiri). Juvenile dan Postmenopausalosteoporosis umumnya mempengaruhi tulang kerangka axial (tulang belakang), sementara yang osteoporosis primer akan mengenai tulang tubular, khususnya laki-laki. Akibatnya, adanya densitas massa tulang yang normal pada tulang-tulang tubular, bukan berarti tulang axial tidak mungkin mengalami osteoporosis. Hal ini penting untuk diperhatikan dalam evaluasi pengukuran Bone Mineral Density (BMD) yang dilakukan lokal akan hanya mewakili tulang yang diukur saja, dan tidak dapat diekstrapolasi ke tulang-tulang lainnya.

B. Umur dan jenis kelamin

 Idiopathic Juvenile Osteoporosis

Osteoporosis ini biasanya terjadi pada anak-anak atau remaja di antara usia 8 sampai 18 tahun. Diagnosa penyakit ini meliputi osteogenesis imperfecta, cushing syndrome dan penyakit-penyakit sumsum tulang yang didiagnosa dari analisis darah, sumsum tulang, dan biopsi tulang.

 Idiopathic Osteoporosis di dewasa muda

(4)

 Postmenopausal (type I) osteoporosis

Osteoporosis ini adalah osteoporosis yang paling umum ditemukan pada wanita pada umur di antara 51 sampai 75 tahun akibat dari postmenopause. Hilangnya densitas tulang sebenarnya dimulai tahun-tahun sebelumnya dan bertambah parah seiring waktu dengan menopause (perimenopausal). Sekitar 30% dari semua wanita akan terkena osteoporosis setelah menopause. Berkurangnya produksi hormone estrogen pada wanita menopause akan meningkatkan proses penghancuran tulang yang tidak mampu diimbangi oleh proses pembentukannya, terutama pada tulang-tulang kompak yang rentan seperti tulang vertebrae dan tulang panggul yang dapat berakhir pada patah tulang. Hal yang sama dapat juga terjadi pada pria dikarenakan berkurangnya hormone testosterone namun tidak secepat dan sehebat menurunnya hormone estrogen pada wanita.

C. Nilai densitas tulang

Di dalam praktik klinis, degree of severity (tingkat keparahan) dari penyakit tulang harus ditentukan secara akurat sebelum keputusan diambil untuk strategi terapi. Pada wanita, osteoporosis bisa didiagnosa jika nilai densitas tulang (BMD) sebesar 2.5 SD (standar deviasi) di bawah rata-rata dengan referensi populasi muda. Kategori diagnosa adalah sebagai berikut (Bartl & Frisch, 2009):

 Normal : nilai densitas tulang yang lebih tinggi 1 SD dibawah rata-rata nilai wanita muda ( nilai T lebih tinggi atau sama dengan -1 SD)

 Osteopenia (densitas rendah) : nilai densitas tulang lebih tinggi 1 SD dibawah rata-rata wanita muda, namun kurang dari 2.5 SD dari nilai normal (nilai T <-1 dan > -2.5 SD)

 Osteoporosis: nilai densitas tulang 2.5 SD atau lebih daripada nilai rata-rata wanita muda (nilai T kurang dari atau sama dengan -2.5 SD)

 Osteoporosis berat: nilai densitas 2.5 SD atau lebih dibawah nilai rata-rata wanita muda disertai dengan terdapatnya patah tulang yang diakibatkan osteoporosis.

(5)

setelah dilakukan pemantaun secara mendalam terhadap perbedaan densitas tulang berdasarkan usia, jenis kelamin, dan ras.

D. Histologi

Ketebalan tulang dapat diperiksa secara mikroskopis, dimana pada tulang panggul normal sebesar 20-25%, dan jika nilai tersebut turun hingga 16% maka dapat dikatakan bahwa penipisan tulang sudah terjadi (Bartl & Frisch, 2009).

2.1.3 Faktor resiko

Banyak faktor resiko yang dihubungkan dengan terjadinya osteoporosis pada pria. Hampir setengah dari seluruh faktor adalah akibat genetik atau usia, dengan sisanya akibat terhadap variabel yang dapat dimodifikasi. Bakhireva dkk secara prospektif meneliti prediktor dari kehilangan massa tulang pada usia tua (usia 45 sampai 92 tahun) dan menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi massa tulang:

usia >75 tahun

rendahnya indeks massa tubuh (<24 kg/m2)penurunan berat badan > 5% selama 4 tahunmerokok

kurangnya aktifitas fisik

Pada kelompok tersebut kejadian hilangnya massa tulang lebih besar pada leher femur dan vertebra lumbar dibanding dengan yang aktif secara fisik. Resiko fraktur osteoporosis akan meningkat, tidak hanya dengan BMD yang rendah (<18,5 kg/m2) tetapi juga dengan riwayat fraktur sebelumnya dan menurunnya berat badan lebih dari 10 persen dalam waktu singkat.

Terdapat beberapa faktor yang bisa di ubah dan yang tidak bisa diubah yang dapat mempercepat terjadinya osteoporosis hingga fraktur osteoporosis. Beberapa faktor resiko yang tidak dapat diubah contohnya (Brinker & O’Connor, 2008):

 Faktor genetik

 Riwayat keluarga dekat mengalami fraktur osteoporosis

(6)

 Usia tua, dikatakan bahwa pria atau wanita yang telah berusia diatas 70 tahun, akan meningkat resiko mengalami osteoporosis setiap kelipatan 5 tahun berikutnya

 Ras kaukasia

Beberapa faktor resiko yang masih dapat diubah:  Perilaku merokok

 Rendahnya massa tubuh

 Rendahnya konsumsi vitamin D dan kalsium  Peminum alcohol yang berlebih

 Aktifitas fisik yang kurang

 Trauma minor yang berkelanjutan terus menerus  Kesehatan yang buruk

 Defisiensi estrogen pada wanita

2.1.4 Tanda dan gejala

Nyeri tulang belakang adalah gejala yang paling sering dialami seseorang terutama pada usia tua yang telah mengalami osteoporosis. Nyeri terebut harus diperiksa oleh dokter untuk memastikan bahwa gejala tersebut memang disebabkan oleh proses osteoporosis. Terdapat beberapa gjala lainnya yang sering dijumpai pada pasien-pasien osteoporosis:

 Berkurangnya tinggi tubuh

 Berubahnya postur tubuh (bungkuk)  Tulang belakang yang terasa bergeser  Kontraksi otot yang tidak sinkron

Gejala osteoporosis yang paling berat adalah ketika sudah dijumpainya patah tulang yang terjadi akibat trauma-trauma ringan seperti terjatuh.

2.1.5 Pencegahan dan Pengobatan

Penatalaksanaan osteoporosis membutuhkan edukasi dan usaha terhadap

modifikasi gaya hidup, asupan kalsium dan vitamin D yang adekuat, berhenti

(7)

osteoporosis sekunder adalah dengan intervensi spesifik untuk proses penyakit

individu termasuk menghindari penggunaan hormon tiroid yang berlebihan (Thyroid

Replacement Therapy), menjalani paratiroidektomi untuk hiperparatiroidisme, dan

pemberian dosis terendah kortikosteroid untuk kontrol penyakit (Bartl & Frisch,

2009).

Pencegahan terjadinya proses osteoporosis merupakan hal penting yang pertama kali harus dilakukan, dikarenakan memang tidak ada metode yang sepenuhnya efektif dan aman dalam mengembalikan jaringan tulang yang telah hilang. Prinsip pencegahan adalah dengan memaksimalkan proses formasi tulang disaat muda dan mengurangi hal-hal yang memicu resorpsi tulang di saat tua. Hal-hal pencegahan yang umum berupa:

 Nutrisi yang adekuat

 Modifikasi gaya hidup (mengurangi konsumsi alkohol dan merokok)  Aktifitas fisik yang baik

 Fisioterapi

 Mengurangi resiko jatuh

Penanganan non-farmakologis tersebut berperan sebagai pendukung utama penanganan farmakologis yang diberikan dan akan jauh mengurangi resiko terjadinya fraktur osteoporosis. Penanganan farmakologis termasuk:

a. Kalsium

Kadar kalsium darah normalnya berkisar 9.5 – 10.5 mg/dL. The National Osteoporosis Foundation merekomendasikan konsumsi kalsium senilai 1000mg/hari pada pria dan wanita di bawah usia 50 tahun dan 1200mg/hari setelah diatas usia 50 tahun yang dibagi dalam beberapa dosis per harinya. Suplemen kalsium terdapat dalam dua bentuk, yaitu kalsium karbonat dan kalisum sitrat (Lane & Edward, 1997).

b. Vitamin D

(8)

osteopenia hingga terjadi osteoporosis. Sumber vitamin D didapat dari tiga bentuk (Dell & Green, 2008):

- paparan sinar matahari (ultraviolet)

- makanan ( ikan salmon, tuna, dan lainnya) - suplemen vitamin D

c. Kalsitonin

Kalsitonin merupakan hormon yang beraksi mengurangi aktifitas osteoclast, dan juga memiliki efek analgesik yang mekanisme nya belum jelas. Dibeberapa negara maju terdapat sediaan injeksi kalsitonin yang diekstrak dari salmon dengan dosis 100IU per harinya (Lucas & Einhom, 1993).

d. Estrogen dan terapi hormon

Penurunan atau hilangnya produksi hormon estrogen pada wanita dewasa akan meningkatkan proses remodeling tulang. Terapi pengganti hormon estrogen mengembalikan keseimbangan remodeling tulang, mencegah hilangnya massa tulang, dan mengurangi resiko terjadinya fraktur osteoporosis (Lucas & Einhom, 1993).

e. Bisphosponates

Bisphoponates merupakan analog yang aktif dan stabil dari pirophospate, yang mampu menekan proses resorpsi oleh osteoclast dan menghambat turnover tulang. Beberapa contoh produk biphosponate yang banyak di pasaran (Lucas & Einhom, 1993):

- Etindronate - Alendronate - Pamindronate - Residronate

Bisphosponate berkerja secara primer di dalam trabekula tulang, namun kurang efektif dalam mencegah resorpsi tulang kortikal contohnya pada fraktur osteoporosis tulang panggul (Lane & Edward, 1997).

2.2 Image Processing

(9)

disebut dengan intensitas (intensity) atau tingkat keabuan (gray level) dari citra pada titik tersebut. Jika nilai x, y, dan nilai intensitas dari f secara keseluruhan berhingga (finite) atau terbatas dan bernilai diskrit maka citra tersebut dinamakan citra digital.

Citra digital dapat ditulis dalam bentuk matriks seperti pada persamaan 2.1.

� , = [

Nilai pada posisi (x,y) atau suatu irisan antara baris dan kolom disebut dengan picture elements, image elements, pels, atau piksel(pixels).

2.2.1File Format

Citra memiliki tipe file yang beragam. Sebuab format file citra mengandung informasi dan metadata dari fungsi citra. Setiap format mimiliki karakteristik masing-masing. Beberapa format tersebut adalah :

a. JPEG (.jpg)

Joint Photographic Experts Group (JPEG) Format ini digunakan untuk menyimpan citra hasil kompresi yang menggunakan metode JPEG.

b. Bitmap (.bmp)

Bitmap adalah format penyimpanan standar tanpa kompresi yang dapat digunakan untuk menyimpan citra biner hingga citra warna.

c. Portable Network Graphics (.png)

PNG merupakan format penyimpanan citra terkompresi. Format ini dapat digunakan pada citra grayscale, citra dengan color pallete, dan juga citra full color.

d. Tagged Image Format (.tif, .tiff)

Tagged Image Format merupakan format penyimpanan citra yang dapat digunakan untuk menyimpan citra bitmap hingga citra dengan warna palet terkompresi.

e. Graphics Interchange Format (.gif)

(10)

f. DICOM (.dcm)

Digital Imaging and Communication in Medicine (DICOM) merupakan standar pengolahan (penyimpanan, komunikasi, percetakan, dan pemrosesan) untuk keperluan medis (Kristianto, 2010). DICOM diciptakan oleh National Electrical Manufacturers Association (NEMA) untuk mendukung proses pendistribusian dan proses review gambar medis seperti CT scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan USG.

2.3 Perbaikan Citra (Image Enhancement)

Perbaikan citra bertujuan untuk dapat meningkatkan kualitas dari sebuah citra dalam hal pandangan manusia (human vision) dan pandangan komputer (computer vision) agar dapat diolah dengan lebih mudah. Perbaikan citra dapat dilakukan dengan operasi titik (point operation), operasi spasial (spatial operation), operasi geometri (geometric operation), dan operasi aritmatik (artihmetic operation).

2.3.1 Ekualisasi histogram (histogram equalization)

Untuk dapat menghasilkan histrogram citra yang seragam dibutuhkan metode ekualisasi histogram. Fungsi distribusi kumulatif yang merupakan perhitungan kumulatif dari histogram dapat didefinisikan sebagai berikut:

� = − ∙ ∑ ℎ ; � = , , , … , −

=

.

M = pixel

N = grayscale, dan

h(k) = histogram pada suatu nilai gray value k. 2.3.2 Adaptif histogram equalization

(11)

CR BR BR CR

BR IR IR BR

BR IR IR BR

CR BR BR CR

Gambar 2.1. Struktur regional citra (Pertiwi, 2011)

Gray level yang baru untuk setiap region size didapatkan dengan cara menghitung Cumulative Distribution Function (CDF). Perhitungan tersebut berlaku untuk setiap regional lokal (i, j).

2.4 Ekstraksi Fitur (Feature Extraction)

Ekstraksi fitur merupakan bagian fundamental dari analisis citra. Fitur adalah karakteristik atau ciri unik dari suatu objek (Putra, 2010). Karakteristik fitur yang baik sebaiknya memenuhi persyaratan seperti berikut ini:

1. Dapat membedakan suatu objek dengan yang lainnya (discrimination). 2. Memperhatikan kompleksitas komputasi.

3. Independence (tidak terikat) yang berarti bersifat invarian terhadap berbagai transformasi (rotasi, penskalaan, pergeseran, dan lain sebagainya).

4. Jumlahnya sedikit, karena fitur yang jumlahnya sedikit akan dapat menghemat waktu komputasi dan ruang penyimpanan untuk proses selanjutnya (proses pemanfaatan fitur).

Gray Level Co-occurrence Matrix (GLCM) diusulkan pertama kali oleh Haralick pada tahun 1973 dam memiliki 28 fitur untuk menjelaskan pola spasial. GLCM menggunakan perhitungan tekstur pada orde kedua. Misalkan, f(x,y) adalah citra dengan ukuran Nx dan Ny yang memiliki piksel dengan kemungkinan hingga L level dan vektor r adalah vektor arah ofset spasial. GLCM

→(i,j) didefinisikan sebagai jumlah piksel dengan j1, ..., L yang terjadi pada ofset vektor r terhadap piksel dengan nilai i1, ..., L, yang dapat dinyatakan dalam rumus (Newsam & Kammath 2005):

(12)

Sebagai ilustrasi, ketetanggaan piksel dapat dipilih ke arah timur (kanan).Salah satu cara untuk merepresentasikan hubungan ini yaitu berupa (1,0), yang menyatakan hubungan dua piksel yang sejajar secara horizontal dengan piksel bernilai 1 diikuti dengan piksel bernilai 0, sehingga jumlah kelompok piksel yang memenuhi hubungan tersebut dihitung. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Contoh penentuan awal matriks GLCM (Kadir & Susanto 2013) Matriks pada Gambar 2.2 dinamakan matrix framework. Matriks ini kemudian diolah menjadi matriks simetris dengan cara menambahkan dengan hasil transposnya, seperti yang terlihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Matriks framework menjadi matriks simetris (Kadir & Susanto 2013)

(13)

Gambar 2.4. Normalisasi matriks GLCM (Kadir & Susanto 2013)

Untuk mendapatkan fitur tekstur GLCM, hanya 14 besaran yang diusulkan oleh Haralick (1973) untuk dipakai. Beberapa fitur yang akan dipakai nantinya adalah contrast,correlation, energy, dan homogeneity.

A. Contrast merupakan ukuran keberadaan variasi aras keabuan piksel citra dihitung dengan cara seperti berikut:

Contrast = ∑ | − | � ,, .

B. Correlation merupakan ukuran ketergantungan linear antar nilai aras keabuan dalam citra. Correlation dihitung dengan cara seperti berikut:

Correlation = ∑ ∑ � � , −μ

μ

=

= .

Dengan :

μ′= ,

=

= .

μ′= ,

=

= .

σ′= ,

=

= ( −μ′) .

σ′= ,

=

= −μ′ .

C. Energy merupakan nilai dari jumlah kuadrat pada elemen-elemen matriks GLCM. Energy dihitung dengan cara seperti berikut:

Energy = ∑ � ,, .

(14)

matriks GLCM diagonal. Homogeneity dihitung dengan cara seperti berikut:

Homogeneity =∑ � ,

+| − |

, .

2.5 Pattern Recognition

Dalam melakukan pengembangan sistem cerdas, diperlukan sebuah teknik pengenalan pola yang akan memberikan gambaran bagaimana sebuah objek dalam pengambilan pengetahuan dan kesimpulan.

2.5.1Struktur dan sistem pengenalan pola

Struktur dari sistem pengenalan pola dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Struktur sistem pengenalan pola (Putra, 2010)

Menurut gambar 2.5, sistem terdiri atas sensor, algoritma atau mekanisme pencari fitur, dan algoritma untuk klasifikasi atau pengenalan.

a. Sensor berfungsi untuk menangkap objek dari dunia nyata dan kemudian diubah menjadi sinyal digital. Pada penelitian ini sensor lebih dispesifikasikan pada kamera atau alat pengolah citra lainnya.

b. Pra-pengolahan berfungsi untuk mempersiapkan citra agar dapat menghasilkan ciri yang lebih baik pada tahap selanjutnya.

(15)

d. Algoritma klasifikasi berfungsi untuk mengelompokkan fitur ke dalam kelas yang sesuai sementara Algoritma deskripsi berfungsi untuk memberikan deskripsi pada sinyal.

2.5.2 Fitur dan vektor fitur

Fitur didapat melalui pengolahan berbagai metode atau algoritma feature extraction. Fitur dapat dinyatakan dengan variabel kontinu, diskret, atau diskret-biner. Sementara Vektor fitur (features vector) merupakan gabungan atau kombinasi dari beberapa fitur yang dinyatakan ke dalam vektor kolom atau vektor baris.

2.5.3 Supervised dan Unsupervised Learning

Pengenalan pola terarah (supervised) dan tak terarah (unsupervised) berkaitan dengan bagaimana klasifikasi akan dilakukan. Sebuah pola dikatakan supervised apabila vektor fitur pelatihan tersedia dan telah diketahui kelas-kelasnya yang kemudian vektor fitur pelatihan tersebut digunakan untuk merancang pemilah. Sementara pola dikatakan unsupervised apabila sekumpulan vektor fitur dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok (cluster) berdasarkan tingkat kemiripannya dan tidak terdapat vektor fitur pelatihan untuk proses klasifikasi.

2.6 Evolving Connectionist Systems (ECoS)

Jaringan Saraf Tiruan (JST), sistem fuzzy, evolutionary computation, hybrid system, dan metode-metode lain dari adaptive machine learning merupakan beberapa metode dalam komputasi cerdas, namun terdapat sejumlah masalah saat menerapkan teknik ini untuk proses berkembang yang kompleks (Kasabov, 2007). Hal tersebut antara lain:

1. Sulit dalam menentukan arsitektur sistem. Komputasi cerdas biasanya memiliki model arsitektur yang tetap, seperti jumlah neuron dan koneksi yang tetap. Hal ini membuat sistem kesulitan dalam beradaptasi terhadap data yang baru dengan distribusi yang tidak diketahui.

2. Catastrophic forgetting yaitu memungkinkan suatu sistem untuk melupakan sebagian besar dari pengetahuan terdahulu ketika sedang melakukan pembelajaran terhadap data baru.

(16)

4. Kurangnya fasilitas dalam merepresentasikan pengetahuan. Banyak arsitektur dari komputasi cerdas yang dapat mengambil beberapa parameter statistik selama pelatihan, akan tetapi hal tersebut tidak memfasilitasi ekstraksi dari aturan-aturan yang ada ke dalam bentuk informasi linguistik yang dapat dimengerti.

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, peningkatan connectionist serta penggabungan teknik dan metode perlu dilakukan baik dalam hal pembelajaran algoritma maupun pengembangan sistem.

Aturan-aturan dalam sistem yang terus berkembang secara dinamis, untuk meningkatkan kinerja proses yang terus-menerus berkembang merupakan bagian dari kecerdasan buatan yang disebut dengan Evolving Intelligent Systems (EIS). EIS merupakan sistem informasi yang dapat mengembangkan struktur, fungsi, dan pengetahuannya secara mandiri dengan cara terus-menerus, self-organized, adaptif, dan interaktif. Salah satu bentuk dari metode EIS adalah Evolving Connectionist Systems (ECoS) yaitu suatu metode pembelajaran yang adaptif, bertahap dan sistem representasi pengetahuan yang mengembangkan struktur dan fungsinya, dimana dalam sistem tersebut terdapat arsitektur connectionist yang terdiri dari neuron (unit pengolah informasi) dan hubungan antar-neuron.

ECoS adalah sistem komputasi cerdas yang berdasarkan JST, tetapi menggunakan teknik lain dari komputasi cerdas yang beroperasi secara terus menerus dan dapat mengadaptasikan strukturnya melalui interaksi terhadap lingkungan dan sistem lainnya (Kasabov, 2007). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.6.

(17)

Proses adaptasi didefinisikan melalui:

1. Sekumpulan aturan yang diatur untuk dapat terus berkembang. 2. Satu set parameter yang dapat berubah selama sistem beroperasi.

3. Sebuah aliran input informasi yang datang secara terus menerus yang mungkin terjadi pada distribusi data yang tidak menentu.

4. Kriteria goal atau tujuan yang ditetapkan untuk mengoptimalkan kinerja sistem dari waktu ke waktu.

Secara khusus sistem EIS, dan ECoS terdiri dari empat bagian utama yaitu: 1. Data masukan.

2. Pra-pengolahan dan evaluasi fitur. 3. Pemodelan.

4. Pengetahuan masukan.

Proses interaksi ECoS dapat dilihat pada Gambar 2.7 Proses tersebut mengilustrasikan bagian-bagian dari sebuah EIS yang melakukan proses berbagai jenis informasi secara adaptif dan kontinu. Pengolahan online dari semua informasi dapat membuat ECoS untuk berinteraksi dengan pengguna dan sistem cerdas.

(18)

Simple Evolving Connectionist Systems (SECoS) diusulkan sebagai implementasi minimalis dari algoritma ECoS. SECoS dikembangkan oleh (Watts & Kasabov 2000). Model SECoS diciptakan untuk beberapa alasan. Pertama yaitu sebagai alternatif yang lebih sederhana dari Evolving Fuzzy Neural Networks (EFuNN) karena kerumitan pada struktur fuzzification dan defuzzification EFuNN, SECoS lebih mudah untuk diimplementasikan, dengan sedikit matriks koneksi dan jumlah neuron yang lebih sedikit, dan pemrosesan yang terlibat dalam simulasi jaringan SECoS jauh lebih sedikit.

a. Arsitektur SECoS

Simple Evolving Connectionist Systems (SECoS) memiliki 3 lapisan neuron. Input layer merupakan lapisan pertama, lapisan kedua yaitu hidden layer yang dapat berevolusi, dan output layer merupakan lapisan ketiga dengan fungsi aktivasi simple saturated linear.

Fungsi aktivasi dari sebuah evolving layer adalah seperti berikut:

�� = − � .

dimana Dn adalah jarak antara input vector dan incoming weight vector pada neuron tersebut. Ketika jaringan ECoS terhubung sepenuhnya, hal tersebut memungkinkan untuk mengukur jarak di antara input vector dan incoming weight vector dari setiap evolving-layer neuron.

Algoritma ECoS yang akan diimplementasikan pada penelitian ini adalah Simple Evolving Connectionist System (SECoS). Jaringan SECoS terdiri dari tiga layer neuron yaitu input layer, evolving layer dan output layer. Pengukuran jarak yang digunakan pada evolving layer adalah normalisasi Manhattan distance seperti berikut:

� =∑ |� −�,�|

� =1

∑�=1|� +�,�| .

dimana c adalah jumlah input neuron di SECoS, I adalah input vector, dan W adalah input ke evolving layer weight matrix.

(19)

b. SECoS Learning Algorithm

Algoritma pembelajaran SECoS (Watts & Kasabov 2000) adalah seperti berikut ini:

Gambar 2.8 PseudoCode SeCOS

Ketika sebuah node ditambahkan, bobot vektor masukan diberi inisialisasi sesuai dengan input vector I dan bobot vektor keluarnya diinisialisasi sesuai dengan desired output vector Od (Kasabov, 2007).

Modifikasi bobot masuk pada winning node j dilakukan dengan cara seperti berikut:

�, � + = �, � + � � − �, � .

di mana:

 �, � merupakan bobot masuk , pada saat � .

 �, � + merupakan bobot masuk , pada saat � + .

 � merupakan learning rate 1.

 � merupakan komponen ke-i pada input vector I.

Sedangkan modifikasi bobot keluar dari node j dilakukan dengan cara seperti berikut:

�,� � + = �,� � + � (� × �) .

Function SECoS() While(Vector(P)) :

IF (A¬max) LESS THAN treshold : AddNode()

ELSE

- error = CalcError(OutputVector, TargetVector) IFerror >EthrOR NodeTarget is not active :

AddNode() ELSE

(20)

di mana:

 �,� � merupakan bobot keluar , � pada saat �

 �,� � + merupakan bobot masuk , � pada saat � +

 � merupakan learning rate 2

 � merupakan nilai aktivasi dari node j

 �merupakan error pada saat p yang dihitung berdasarkan

Persamaan 2.17.

� = �− �� .

di mana:

 � merupakan nilai aktivasi dari keluaran o.

 �� merupakan nilai aktivasi hasil perhitungan dari o.

2.7 Penelitian Terdahulu

Adapun beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan osteoporosis antara lain: Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

2014 Menggunakan Fisher Encoding of

Local Descriptors, tercapai

peningkatan sensitivity dan

specifity sebesar 16% dan 13%

dibandingkan dengan

menggunakan model

(21)

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu (Lanjutan)

No Nama Peneliti Tahun Hasil

3. Florian Yger 2014 Tercapai

sensitivity dan specificity sebesar 62% dan 66% menggunakan metode Marginal-Haar

4. Kavya R, Joshi

Manisha Shivaram

2015 Menggunakan

Feed Forward Neural Network Classifier,

tercapai

sensitivity sebesar 95%

5. Khaled Harrar,

Latifa Hamami, Eric Lespesailles, Rachid Jennane

2013 Sensitivity 100%

dari p-WhE untuk diagnosis

Gambar

Gambar 2.1. Struktur regional citra (Pertiwi, 2011)
Gambar 2.2. Contoh penentuan awal matriks GLCM (Kadir & Susanto 2013)
Gambar 2.4. Normalisasi matriks GLCM (Kadir & Susanto 2013)
Gambar 2.5 Struktur sistem pengenalan pola (Putra, 2010)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Bagi peneliti diharapkan dapat memanfaatkan dengan baik dari ilmu bimbingan dan konseling yang telah didapat selama di bangku perkuliahan khususnya mengenai upaya

[r]

Sedangkan sel surya adalah sebuah alat yang mengkonversikan energi foton (cahaya sebagai partikel) menjadi energi listrik. Agar mampu menjadi sumber tenaga listrik dengan daya output

Pada tahun 1992 Korea Utara mencapai perjanjian pengawasan dengan badan tenaga atom internasional (IAEA), tetapi apa yang terjadi di tahun 1994 Korea Utara melanggar perjanjian

Gaya penulisan lain yang dapat digunakan adalah dengan menuliskan kata kunci (IF, THEN, ELSE dsb) ditulis dengan huruf kapital dan kata-kata yang tercantum dalam kamus data

Faktor faktor yang mempengaruhi kredit macet dalam pembiayaan murabahah adalah dua faktor yaitu faktor internal yang disebabkan oleh ketidaktaatan pihak kreditur dalam

Kinerja kesehatan, keselamatan, kemanan dan lindungan adalah nilai-nilai inti dari rumah sakit dan akan di kelolah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari bisnis

Symbolisen laskimen hyödyntäminen lukion pitkän matematiikan integraalilaskennan opetuksessa..